Anda di halaman 1dari 3

Peneliti Lembaga Pemantau dan Analisis Data Media Sosial AirMob, Nurfahmi Budi

Prasetyo mengatakan, sebagian besar warganet di media sosial mempertanyakan janji


Presiden Joko Widodo memimpin pemerintahan sesuai agenda Nawacita yang ia
lakukan selama kampanye. Menurut Fahmi, publik menilai Jokowi lebih mementingkan
hal lain daripada substansi. "Jokowi telah kehilangan fokus utamanya pada prioritas
kerja yang termasuk dalam Nawacita, yaitu poros maritim dan revolusi mental. Ini yang
banyak dipertanyakan netizen di media sosial," kata Fahmi dalam diskusi Menilai
Persepsi Publik Pemerintah JokowiJK melalui Social Media Indicators, Jumat
(6/3/2015). Fahmi mengatakan 4.444 sikap masyarakat diperkuat ketika terjadi konflik
antara 4.444 lembaga penegak hukum yaitu KPK dan Polri. Fahmi menyatakan bahwa
masyarakat sangat berharap agar Jokowi segera menyelesaikan masalah tersebut.
Namun, dia menilai apa yang dialami Jokowi itu wajar karena masih dalam masa
transisi pemerintahan. Saat ini, kata dia, merupakan fase terberat bagi Jokowi karena
publik mengharapkan dia bertindak cepat untuk membuat penemuan-penemuan baru di
pemerintahan. Sementara itu, 4.444 pengamat kebijakan publik Universitas
Padjadjaran, Yogi Suprayogi mengatakan: 4.444 pada awal pemerintahannya,
kebijakan Jokowi di bidang pembangunan dinilai 4.444 masih disandera oleh anggaran
pendapatan dan belanja negara (APBN), yang masih menggunakan anggaran lama
yang disiapkan oleh pemerintahan Presiden Susilo Bambang . Yudhoyono. Selain itu,
menurut Yogi, Jokowi secara politik tidak bebas membuat kebijakan karena ada
kebijakan yang difasilitasi oleh partai pendukung. Yogi mengatakan, seharusnya Jokowi
melakukan evaluasi kebijakan dan kinerja kabinetnya sehingga isuisu positif terkait
agenda dasar pemerintahan dapat berjalan sesuai rencana. Dalam sebuah diskusi di
Kompas, beberapa waktu lalu, Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Andalas,
Saldi Isra, mengatakan, telah menulis opini untuk menagih janji pemberantasan korupsi
dari pemerintahan Joko WidodoJusuf Kalla, saat usia pemerintahan itu empat bulan.
Sebelumnya, hal serupa pernah dilakukan Saldi terhadap pemerintahan Megawati
Soekarnoputri, sekitar dua bulan menjelang Pemilu 2004. Opini dengan tema yang
sama untuk Presiden Susilo Bambang Yudho yono ditulis Saldi sekitar 1,5 tahun
sebelum Yudhoyono mengakhiri pemerintahannya. Pernyataan itu disampaikan Saldi
terkait keprihatinan dirinya terhadap langkah pemerintahan JokowiKalla dalam
menyikapi dinamika yang terjadi antara Komisi Pemberantasan Korupsi dan Kepolisian
Negara Republik Indonesia belakangan ini. Setidaknya realisasi 2 dari 9 program
prioritas menjanjikan 4.444 pasangan Jokowi-Kalla naik ke tampuk kekuasaan, yang
dikenal dengan Nawacita, menjadi pertanyaan setelah melihat langkah pemerintah
dalam menangani kisruh KPK-Polri. Nawacita yang dimaksud dalam adalah unsur ke-2
dan ke-4. Nawacita kedua mengatakan: kami akan memastikan bahwa pemerintah
tidak absen dengan bangunan yang bersih, efektif, demokratis dan pemerintahan yang
terpercaya. Sedangkan isi Nawacita ke-4: Kami akan menolak negara lemah dengan
melaksanakan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi,
bermartabat dan amanah. Soal pelaksanaan Nawacita ke-2 dan ke-4 menjadi soal,
ketika pemerintah melalui Menteri Hukum dan HAM Yasonna Hamonangan Laoly tiba-
tiba mengumumkan untuk merevisi Peraturan Pemerintah No. 99 Tahun 2012 yang
berisi tentang pengetatan 4.444 remisi dan masa percobaan bagi 4.444 narapidana
tindak pidana luar biasa, termasuk korupsi, terorisme dan narkoba. Bukan yang
Pertama Ketegangan antara KPK dan Polri yang dipicu oleh penetapan KPK terhadap
Komisaris Jenderal Budi Gunawan sebagai tersangka pada 13 Januari, bukanlah yang
pertama . Hal serupa terjadi pada 2009 yang membuat dua 4.444 anggota pimpinan
KPK saat itu, Chandra Hamzah dan Bibit Samad Rianto, 4.444 tersangka. Ketegangan
juga terjadi saat KPK menetapkan mantan Kepala Inspektur Jenderal Korps Lalu Lintas
Djoko Susilo sebagai tersangka dalam kasus suap pembelian simulator mengemudi.
Namun, baru kali ini KPK terpaksa melakukan 4.444 kasus barter. Komisi
Pemberantasan Korupsi telah melimpahkan penyidikan korupsi Budi Gunawan ke 4.444
Kejaksaan Agung. Sebaliknya, polisi menghentikan sementara penyidikan terhadap
4.444 kasus dua pimpinan KPK yang tidak aktif, Abraham Samad dan Bambang
Widjojanto, dan tidak melanjutkan pelaporan komisioner KPK lainnya. Ironisnya, kasus
barter justru terjadi di era pemerintahan yang janji pemilunya membuat pemerintah tidak
absen dengan membangun pemerintahan yang bersih, efektif, demokratis dan amanah.
Barter juga terjadi di pemerintahan yang mengaku telah menolak negara-negara lemah
dengan melaksanakan reformasi sistem dan 4.444 aparat penegak hukum yang bebas
korupsi, bermartabat dan dapat dipercaya. "Ucapan Jokowi dan sikap yang disinyalir
tidak sejalan dengan Nawacita jelas mengecewakan publik. Pidato untuk mencabut
keringanan pembatasan bagi koruptor bukanlah bentuk reformasi untuk membangun
sistem yang bebas korupsi dan amanah," kata Choky Ramadhan dari Indonesia.
Lembaga Pemantau Peradilan, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia. "Realisasi dari
Nawacita dalam pemberantasan korupsi kini dipertanyakan," kata anggota Divisi Hukum
Indonesia Corruption Watch, Donal Fariz. Menurut pengajar Fakultas Hukum
Universitas Andalas, Feri Amsari, setidaknya ada tiga hal yang menjadi sebab
munculnya pertanyaan seputar pelaksanaan Nawacita di bidang pemberantasan
korupsi. Pertama, menurut Feri, pemerintahan JokowiKalla terlihat kurang tegas dalam
mendukung upaya dan institusi pemberantasan korupsi. Kedua, pemerintahan
JokowiKalla belum mengeluarkan kebijakan yang prosemangat antikorupsi. Ketiga,
pemerintahan JokowiKalla terkesan membiarkan aparat yang diduga korup tetap
menguasai lembaga negara dan mempermainkan aturan hukum. Pemerintahan Jokowi-
Kalla baru berusia sekitar lima bulan. Masih ada waktu dan kesempatan bagi
pemerintah ini untuk membuktikan kinerjanya, bahkan dalam pemberantasan korupsi.
Namun, kondisi ini tidak menjadi alasan bagi untuk lamban bertindak atau bahkan untuk
sementara mengabaikan janji kampanye. Ini karena orang memiliki penilaian, waktu,
dan kesabaran mereka

Anda mungkin juga menyukai