Tujuan perkumpulan ini adalah kemajuan nusa dan bangsa yang harmonis dengan jalan
memajukan pengajaran, pertanian, peternakan, perdagangan, teknik dan industri,
kebudayaan, mempertinggi cita-cita kemanusiaan untuk mencapai kehidupan bangsa yang
terhormat.
Ia banyak memperoleh pengalaman dari seringnya berpindah tempat tugas. Antara lain, ia
semakin banyak mengetahui kesengsaraan rakyat dan secara langsung dapat membantu
mereka. Sebagai dokter, ia tidak menetapkan tarif, bahkan adakalanya pasien dibebaskan
dari pembayaran.
Kemudian pada tahun 1924, ia mendirikan Indonesische Studie Club (ISC) yang
merupakan wadah bagi kaum terpelajar Indonesia. ISC berhasil mendirikan sekolah
tenun, bank kredit, koperasi, dan sebagainya. Pada tahun 1931 ISC berganti nama menjadi
Persatuan Bangsa Indonesia (PBI). Di bawah pimpinannya, PBI berkembang pesat.
Sementara itu, tekanan dari Pemerintah Kolonial Belanda terhadap pergerakan nasional
semakin keras. Lalu Januari 1934, dibentuk Komisi BU-PBI, yang kemudian disetujui oleh
kedua pengurus-besarnya pertengahan 1935 untuk berfusi. Kongres peresmian fusi dan
juga merupakan kongres terakhir BU, melahirkan Partai Indonesia Raya atau disingkat
PARINDRA, berlangsung 24-26 Des 1935. Sutomo diangkat menjadi ketua. Parindra
berjuang untuk mencapai Indonesia merdeka.
Selain bergerak di bidang politik dan kedokteran, dr. Sutomo juga aktif di bidang
kewartawanan. Ia bahkan memimpin beberapa buah surat kabar. Dalam usia 50 tahun, ia
meninggal dunia di Surabaya pada tanggal 30 Mei 1938.
Ki Hajar Dewantara - Pahlawan Indonesia
Ki Hadjar Dewantara cenderung lebih tertarik dalam dunia jurnalistik atau tulis-menulis, hal ini
dibuktikan dengan bekerja sebagai wartawan dibeberapa surat kabar pada masa itu, antara
lain, Sediotomo, Midden Java, De Expres, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer, dan
Poesara. Gaya penulisan Ki Hadjar Dewantara pun cenderung tajam mencerminkan semangat
anti kolonial. Seperti yang ia tuliskan berikut ini dalam surat kabar De Expres pimpinan Douwes
Dekker :
"....Sekiranya aku seorang Belanda, aku tidak akan menyelenggarakan pesta-
pesta kemerdekaan di negeri yang telah kita rampas sendiri kemerdekaannya.
Sejajar dengan jalan pikiran itu, bukan saja tidak adil, tetapi juga tidak pantas
untuk menyuruh si inlander memberikan sumbangan untuk dana perayaan itu. Ide
untuk menyelenggaraan perayaan itu saja sudah menghina mereka, dan sekarang
kita keruk pula kantongnya. Ayo teruskan saja penghinaan lahir dan batin itu!
Kalau aku seorang Belanda, hal yang terutama menyinggung perasaanku dan
kawan-kawan sebangsaku ialah kenyataan bahwa inlander diharuskan ikut
mengongkosi suatu kegiatan yang tidak ada kepentingan sedikit pun baginya".
Tulisan tersebut kemudian menyulut kemarahan pemerintah Kolonial Hindia Belanda kala itu
yang mengakibatkan Ki Hadjar Dewantara ditangkap dan kemudian ia diasingkan ke pulau
Bangka dimana pengasingannya atas permintaannya sendiri. Pengasingan itu
juga mendapat protes dari rekan-rekan organisasinya yaitu Douwes Dekker dan Dr. Tjipto
Mangunkusumo yang kini ketiganya dikenal sebagai 'Tiga Serangkai'. Ketiganya kemudian
diasingkan di Belanda oleh pemerintah Kolonial.
Ernest Douwes Dekker - Nama lengkapnya Dr. Ernest François Eugène Douwes Dekker atau
Danudirdja Setiabudi. Lahir di Pasuruan, 8 Oktober 1879. Pendidikan HBS, Universitas Zurich
Swiss.
Ia adalah seorang Indo yang dijuluki Penjahat Internasional karena sikapnya yang terang-terangan
menentang agresi bangsa-bangsa Eropa terhadap bangsa Asia dan Afrika.
Di masa perjuangan, ia dikenal sebagai orang yang pertama kali mencanangkan semboyan 'Indie
Los Van Holland' (Indonesia lepas dari Negri Belanda).
Dalam membantu menghindari kaum lemah dari penindasan golongan penguasa dengan cara terjun
ke dunia jurnalistik dan menggunakan media untuk menyebarkan gagasan-gagasannya.
Awalnya ia menjadi wartawan bebas sampai menerbitkan majalah sendiri. Tahun 1910 di Bandung
ia menerbitkan majalah "Het Tajdeschrift" yang menjelaskan cita-cita politiknya yang mendapat
sambutan cukup luas.
Tanggal 1 Maret 1912 ia menerbitkan "De Express" yang terkenal bernada tajam dan tidak jemu-
jemu menyerang dan menentang politik penjajahan Belanda.
Harian itu menjadi sarana bagi pemuda-pemuda Indonesia untuk mengemukakan buah pikiran
mereka mengenai perjuangan membebaskan bangsa dan penjajahan.
Komite mendesak agar Pemerintah secepatnya mengadakan perubahan dalam hubungan kolonial
membentuk Parlemen dan meningkatkan usaha mencerdaskan rakayat. Suwardi Suryaningrat
menulis brosur berjudul "Als Ik een Nederlanderwas" (seandainya aku seorang Belanda). Dr. Tjipto
menulis dalam "De Express" artikel "Kracht of Vress"(kekuatan dan ketakutan). Pemerintah
Belanda gempar, Tjipto Mangunkusumo, Suwardi Suryaningrat, Abdul Muis dan Wigyadisastra
ditangkap dan dipenjarakan.
Setia Budi yang baru pulang dari Negri Belanda menulis karangan yang menyanjung Tjipto,
Suwardi sebagai Pahlawan kita Tulisan itu menjadi alasan Pemerintah menangkap dan menahannya.
Abdul Muis dan Wignyadisastra dibebaskan namun Suwardi, Tjipto dan Setiabudi dijatuhi
hukuman buang di alam negri dan berdasarkan permintaan mereka diubah dibuang ke negri
Belanda. Selama berada di luar negri Setiabudi berhasil mendapatkan akte Guru Eropa.
Ketika Agresi Belanda akhir 1948 ia ditangkap di Kaliurang, kemudian dipenjara di Wirogunan-
Yogyakarta dan tanggal 2 Desember 1948 dipindahkan ke Jakarta. Setelah pengakuan kedaulatan
RI, ia bersama tokoh-tokoh RI dibebaskan. Selama + 40 tahun ia berjuang untuk kemerdekaan
tanah air Indonesia, mengalami siksaan, hinaan yang luar biasa termasuk hidupnya selama 17 tahun
dipenjara.
Jika Setia Budi dan kaum intelektual kala itu mampu menyumbangkan keintelektualannya untuk
negri ini, bagaimana dengan keintelektualan kita sekarang. Rasa intelektualnya sih masih melekat,
namun apa yang sudah kita perbuat ? Bila sudah begini, apakah masih layak disebut kaum
intelektual? Jawabannya, ada pada diri kita sendiri tentunya !!