Karya Tulis Ilmiah ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Pelajaran Biologi
yang
Disusun oleh
XII MIPA 3
MAN 3 JAKARTA
Puji syukur pada Allah SWT yang telah memberikan saya kemudahan untuk dapat
menyelesaikan karya ilmiah berjudul “BUKTI EVOLUSI RESISTENSI HAMA
(AEDES AEGYPTI) TERHADAP INSEKTISIDA” ini sesuai dengan waktu yang
ditentukan. Tanpa adanya berkat dan rahmat Allah SWT tidak mungkin rasanya
dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik dan tepat pada waktunya.
Tujuan dari penyusunan karya ilmiah ini adalah untuk pemenuhan tugas Mata
Pelajaran Biologi yang diberikan oleh Ibu Sri Susiyanti, S.Si. Dalam karya ilmiah
ini saya memaparkan bagaimana evolusi resistensi nyamuk aedes aegypti
terhadap insektisida.
Saya dengan penuh kesadaran, menyadari bahwa karya tulis ini masih sangat
jauh dari kata sempurna. Maka dari itu kritik dan saran sebagai masukan bagi saya
kedepan dalam pembuatan karya ilmiah sangatlah berarti. Akhir kata penulis
mengucapkan mohon maaf bila ada kata-kata dalam penyampaian yang kurang
berkenan. Sekian dan terima kasih.
Penyusun
BAB I.................................................................................................................................4
1.1 Latar Belakang Masalah...........................................................................................4
1.2 Rumusan Masalah....................................................................................................5
1.3 Tujuan Penelitian.....................................................................................................5
BAB II...............................................................................................................................6
2.1 Nyamuk Aedes Aegypti...........................................................................................6
2.2 Resistensi.................................................................................................................7
2.3 Faktor-faktor yang menyebabkan berkembangnya resistensi...................................8
2.4 Proses terjadinya resistensi.......................................................................................8
BAB III............................................................................................................................11
3.1 Kesimpulan............................................................................................................11
3.2 Saran......................................................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................12
BAB I
PENDAHULUAN
Evolusi merupakan salah satu teori maupun cabang dalam khasanah ilmu
pengetahuan. Teori tersebut menyatakan terjadinya sebuah perubahan pada
makhluk hidup atau spesies secara gradual (perlahanlahan). Perubahan yang
dihasilkan membutuhkan waktu yang cukup lama dalam menghasilkan spesies
atau makhluk hidup yang baru. Teori evolusi menjadi sebuah teori yang tenar
ketika dipopulerkan oleh seorang ilmuan Inggris Chalres Darwin (1809-1882).
Teori evolusi Darwin dihasilkan dari sebuah ekspedisi yang Darwin lakukan pada
saat pelayaran menjelajahi daratan maupun lautan Amerika Selatan.
PEMBAHASAN
Aedes aegypti merupakan jenis nyamuk yang dapat membawa virus dengue
penyebab penyakit demam berdarah. Selain dengue, Ae Aegypti juga merupakan
pembawa virus demam kuning (yellow fever) dan chikungunya. Penyebaran jenis
ini sangat luas, meliputi hampir semua daerah tropis di seluruh dunia. Aedes
aegypti bersifat diurnal atau aktif pada pagi hingga siang hari. Penularan penyakit
dilakukan oleh nyamuk betina karena hanya nyamuk betina yang mengisap darah.
Hal itu dilakukannya untuk memperoleh asupan protein yang diperlukannya untuk
memproduksi telur. Nyamuk jantan tidak membutuhkan darah, dan memperoleh
energi dari nektar bunga ataupun tumbuhan. Jenis ini menyenangi area yang gelap
dan benda-benda berwarna hitam atau merah. Adapun klasifikasi nyamuk Aedes
Aegyti adalah sebagai berikut:
Kerajaan : Animalia
Alam : Haiwan
Filum : Arthropoda
Ordo : Diptera
Familia : Culicidae
Subfamilia : Culicinae
Genus : Aedes
dalam bak mandi ataupun tempayan. Oleh karena itu, jenis ini bersifat
2.2 Resistensi
a. Resistensi Tunggal
Fenomena dimana hama resisten terhadap satu jenis pestisida yang telah
digunakan.
b. Multipel resistensi
Multiple resistensi adalah fenomena di mana OPT resisten terhadap lebih
dari satu kelas pestisida. Hal ini dapat terjadi jika salah satu pestisida
digunakan sampai menampilkan resistensi hama dan kemudian lain
digunakan sampai mereka resisten terhadap yang satu itu, dan sebagainya.
c. Resistensi silang
Resistensi silang / Cross, sebuah fenomena yang terkait, terjadi ketika
mutasi genetik yang membuat tahan hama ke salah satu pestisida juga
membuatnya tahan terhadap pestisida lain, terutama yang dengan mirip
mekanisme aksi.
Resistensi larva dan nyamuk Ae. Aegypti terjadi pada insektisida temefos dan malathion.
Temefos adalah larvasida yang paling banyak digunakan untuk membunuh larva Ae.
Aegypti. Penggunaan temefos sudah dipakai sejak tahun 1976. Empat tahun kemudian
yakni 1980, temefos 1% (abate) ditetapkan sebagai bagian dari progam pemberantasan
massal Aedes aegypti di Indonesia. Jadi bisa dikatakan, temefos sudah digunakan hampir
30 tahun. Bukan tidak mungkin penggunaan dalam waktu lama memicu resistensi.
Uji kerentanan Ae. Aegypti terhadap malathion pada lokasi yang tidak pernah, pernah,
dan sering difogging dengan konsentrasi pengujian adalah0,04%, 1%, dan 5%. Pada
konsentrasi malathion 0,04%, tingkat kematian 100% nyamuk pada lokasi yang tidak
pernah dan sering terpapar malathion terjadi pada menit ke-15 dan ke-20. Selanjutnya,
pada konsentrasi malathion 1%, tingkat kematian 100% pada lokasi yang tidak pernah
dan pernah adalah menit ke-10 dan ke-15. Dari kedua konsentrasi itu, statistik tidak
menunjukkan perbedaan bermakna tingkat kematian 100% antara ketiga lokasi sampel
nyamuk tersebut (p>0,05). (22)
Terakhir, pada konsentrasi malathion 5% perbedaan tingkat kematian baru terlihat. Pada
menit ke-5 setelah dipapari konsentrasi malathion 5%, seluruh nyamuk yang berasal dari
lokasi tidak pernah difogging mati; sedangkan nyamuk yang mati dari lokasi pernah dan
sering difogging hanya 71,3% dan 65,1%. Setelah mencapai menit ke-10, barulah semua
nyamuk dari lokasi pernah difogging mati. Sementara itu, seluruh nyamuk dari lokasi
sering difogging baru mati setelah menit ke-15.
Larva nyamuk Ae. Aegypti diduga juga resistens larva terhadap beberapa jenis
insektisida. Penelitian di Rio de Janeiro dan Espirito Santo, Brazil menunjukkan
resistensi terhadap temefos (0,012 mg/L), dengan mortalitas hanya 74% sampai 23,5%.
Sementara itu, resistensi juga terlihat pada nyamuk betina dewasa terutama terhadap
temefos dan fenitrothion. Dalam penelitiannya, malathion masih cukup mempan
membunuh nyamuk dewasa.
Nyamuk Ae. Aegypti terhadap beberapa kelompok besar insektisida yaitu DDT,
fenitrothion, malathion, deltamethrin, dan permethrin. Setelah dipapari selama 1jam
(kecuali 4 jam untuk DDT), nyamuk Culex (nyamuk yang paling sering ditemukan di
rumah-rumah) menunjukkan resistensi yang tinggi terhadap DDT 4%, deltamethrin
0,05%, fenitrothion 1%, dan permethrin 0,75% dengan persentase kematian berturut-turut
adalah 0%, 11%, 21,2%, dan 10,1%. Resistensi sedang Culex ditemukan pada paparan
propoxur 0,1% dengan persentase kematian 66%. Fakta menarik, Culex masih didapatkan
sensitif terhadap malathion 5% dimana tingkat kematiannya mencapai 100%.
Di sisi lain, Aedes masih rentan 100% terhadap fenitrothion 1% dan malathion 0,8%.
Pada deltamethrin 0,05%, tingkat kematian Aedes mencapai 82,7%, dan pada permethrin
0,75% hanya 34,8%. Selain itu, WHO 1996 melaporkan, di banyak negara nyamuk Culex
telah resisten terhadap insektisida golongan organofosfat, karbamat, dan piretroid. Salah
satu penjelasan mengapa nyamuk Culex banyak mengalami resistensi adalah adanya
kemungkinan tempat perindukan (breeding places) Culex terpapar/terkontaminasi oleh
insektisida yang digunakan saat fogging untuk membasmi Aedes.
Dari data-data penelitian diatas, terlihat sudah ada tanda-tanda resistensi larva dan
nyamuk dewasa Ae. Aegypti terhadap insektisida. Di Jakarta, sebagian besar larva Ae.
Aegypti di Tanjung Priok telah resisten terhadap insektisida organofosfat yaitu 44,8 %
resisten sedang dan 50% sangat resisten. Di Mampang Prapatan, sebagian besar larva Ae.
Aegypti juga telah resisten terhadap insektisida organofosfat yaitu 57,2% resisten sedang
dan 9,8% sangat resisten.
Ada beberapa variabel yang mempengaruhi tingkat resistensi nyamuk terhadap suatu
pestisida. Variabel-variabel tersebut antara lain konsentrasi pestisida, frekuensi
penyemprotan, dan luas penyemprotan pestisida. Fenomena resistensi itu, lanjutnya,
dapat dijelaskan dengan teori evolusi. Ketika suatu lokasi dilakukan penyemprotan
pestisida, nyamuk yang peka akan mati, sebaliknya yang tidak peka akan tetap
melangsungkan hidupnya. Paparan pestisida yang terus menerus menyebabkan nyamuk
beradaptasi sehingga jumlah nyamuk yang kebal bertambah banyak. Apalagi, nyamuk
yang kebal tersebut dapat membawa sifat resistensinya ke keturunannya. Tak berhenti
sampai disitu, nyamuk yang sudah kebal terhadap satu jenis pestisida tertentu akan terus
mengembangkan diri agar bisa kebal terhadap jenis pestisida yang lain.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Evolusi berarti perubahan pada sifat-sifat terwariskan suatu populasi organisme dari satu
generasi ke generasi berikutnya. Perubahan-perubahan ini disebabkan oleh kombinasi tiga
proses utama: variasi, reproduksi, dan seleksi. Salah satu ilmuwan yang mengemukakan
teori evolusi adalah Darwin. Bukti evolusi yaitu berkembangnya resistensi nyamuk
terhadap insektisida. Resistensi adalah kemampuan serangga (nyamuk) untuk bertahan
hidup terhadap pengaruh insektisida yang biasanya mematikan. Ada beberapa variabel
yang mempengaruhi tingkat resistensi nyamuk terhadap suatu pestisida. Variabel-variabel
tersebut antara lain konsentrasi pestisida, frekuensi penyemprotan, dan luas
penyemprotan pestisida. Fenomena resistensi itu, lanjutnya, dapat dijelaskan dengan teori
evolusi. Ketika suatu lokasi dilakukan penyemprotan pestisida, nyamuk yang peka akan
mati, sebaliknya yang tidak peka akan tetap melangsungkan hidupnya.
3.2 Saran
Kita harus lebih banyak menambah wawasan mengenai bukti evolusi ini. Apalagi
jika teori tentang evolusi seringkali menjadi bahan perdebatan sekaligus
mengundang penolakan dari berbagai golongan terutama dari golongan
agamawan. Alasan penolakan tersebut tidak lain karena evolusi dianggap
bertentangan dengan dalil yang tercantum dalam kitab suci yang mereka yakini.
Kemunculan dan perkembangan teori evolusi tidak bertujuan untuk membuat
manusia meragukan kebenaran kitab suci yang diyakininya akan tetapi justru
dapat memperkuat keyakinan seseorang terhadap kebenaran agamanya.
Sebagaimana Iskandar (2008) menyatakan bahwa teori evolusi tidak bertentangan
dengan agama mana pun di dunia. Perdebatan yang selama ini terjadi disebabkan
karena keterbatasan ilmu pengetahuan itu sendiri. Namun seiring dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, teori evolusi pun mengalami
perkembangan menurut masanya.
DAFTAR PUSTAKA
Campbell, N.A., Jane B.R., Lawrence G.M. 2003. Biologi. Jakarta: Erlangga.
http://eprints.ums.ac.id/37112/7/BAB%20I.pdf
http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/119/jtptunimus-gdl-ayuyulisty-5930-3-babii.pdf
https://cdsindonesia.wordpress.com/2008/04/08/manajemen-resistensi-pestisida-sebagai-
penerapan-pengelolaan-hama-terpadu/
https://id.wikipedia.org/wiki/Resistansi_pestisida