Anda di halaman 1dari 13

KARYA TULIS ILMIAH BIOLOGI

BUKTI EVOLUSI RESISTENSI HAMA (AEDES AEGYPTI) TERHADAP


INSEKTISIDA

Karya Tulis Ilmiah ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Pelajaran Biologi
yang

Diberikan oleh Ibu Sri Susiyanti, S.Si

Disusun oleh

Shyla Aulia Delfi

XII MIPA 3

MAN 3 JAKARTA

Jalan Rawasari Selatan Komp. Perkantoran Rawakerbau no. 6 Cempaka Putih


Website : http://www.man3-jkt.sch.id
Email : man3_jkt@yahoo.co.id
Telepon/Fax : (021)4219163
Kota Administrasi Jakarta Pusat 10510
KATA PENGANTAR

Puji syukur pada Allah SWT yang telah memberikan saya kemudahan untuk dapat
menyelesaikan karya ilmiah berjudul “BUKTI EVOLUSI RESISTENSI HAMA
(AEDES AEGYPTI) TERHADAP INSEKTISIDA” ini sesuai dengan waktu yang
ditentukan. Tanpa adanya berkat dan rahmat Allah SWT tidak mungkin rasanya
dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik dan tepat pada waktunya.

Tujuan dari penyusunan karya ilmiah ini adalah untuk pemenuhan tugas Mata
Pelajaran Biologi yang diberikan oleh Ibu Sri Susiyanti, S.Si. Dalam karya ilmiah
ini saya memaparkan bagaimana evolusi resistensi nyamuk aedes aegypti
terhadap insektisida.

Saya  dengan penuh kesadaran, menyadari bahwa karya tulis ini masih sangat
jauh dari kata sempurna. Maka dari itu kritik dan saran sebagai masukan bagi saya
kedepan dalam pembuatan karya ilmiah sangatlah berarti. Akhir kata penulis
mengucapkan mohon maaf bila ada kata-kata dalam penyampaian yang kurang
berkenan. Sekian dan terima kasih.

Jakarta, 12 Februari 2021

Penyusun

Shyla Aulia Delfi


DAFTAR ISI

BAB I.................................................................................................................................4
1.1 Latar Belakang Masalah...........................................................................................4
1.2 Rumusan Masalah....................................................................................................5
1.3 Tujuan Penelitian.....................................................................................................5
BAB II...............................................................................................................................6
2.1 Nyamuk Aedes Aegypti...........................................................................................6
2.2 Resistensi.................................................................................................................7
2.3 Faktor-faktor yang menyebabkan berkembangnya resistensi...................................8
2.4 Proses terjadinya resistensi.......................................................................................8
BAB III............................................................................................................................11
3.1 Kesimpulan............................................................................................................11
3.2 Saran......................................................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................12
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Evolusi merupakan salah satu teori maupun cabang dalam khasanah ilmu
pengetahuan. Teori tersebut menyatakan terjadinya sebuah perubahan pada
makhluk hidup atau spesies secara gradual (perlahanlahan). Perubahan yang
dihasilkan membutuhkan waktu yang cukup lama dalam menghasilkan spesies
atau makhluk hidup yang baru. Teori evolusi menjadi sebuah teori yang tenar
ketika dipopulerkan oleh seorang ilmuan Inggris Chalres Darwin (1809-1882).
Teori evolusi Darwin dihasilkan dari sebuah ekspedisi yang Darwin lakukan pada
saat pelayaran menjelajahi daratan maupun lautan Amerika Selatan.

Teori evolusi Darwin merupakan penyempurna dari teori evolusi sebelum-


sebelumnya. Teori evolusi sudah jauh hari muncul zaman Yunani kuno. Pertama
kali teori tersebut dipopulerkan oleh Thales (600 SM), yang menyatakan air
adalah induk asal usul serta sumber adanya sesuatu. Anaximander (611–547 SM0,
menyatakan makhluk hidup berasal dari lumpur yang dipanasi oleh sinar
matahari. Aristoteles (384–322 SM), menyatakan bahwa makhluk hidup berasal
dari benda mati (Abiogenesis), Heraklitus, menyatakan bahwa segala sesuatu
dirubah menjadi bentuk baru. Hal tersebut menjadi tonggak sejarah perkembangan
teori evolusi.

Namun seiring dengan perjalanan waktu teori evolusi mengalami penyempurnaan


atau modifikasi hingga sampai saat ini. Seperti halnya teori evolusi Darwin
menjadi teori evolusi sintesis modern. Adapun salah satu bukti terkait adanya
evolusi di muka bumi ini yaitu evolusi resistensi hama (aedes aegypti) terhadap
insektisida.
1.2 Rumusan Masalah

1. Apa itu nyamuk aedes aegypti?


2. Apa yang dimaksud resistensi hama?
3. Apa saja faktor-faktor yang menyebabkan berkembangnya
resistensi?
4. Bagaimana proses evolusi resistensi nyamuk aedes terhadap
insektisida?

1.3 Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui lebih mendalam mengenai hama serangga


nyamuk aedes aegypti.
2. Untuk mengetahui lebih mendalam konsep resistensi terhadap
evolusi.
3. Untuk mengetahui apa saja faktor-faktor yang memengaruhi
berkembangnya resistensi pada hama.
4. Untuk mengetahui proses yang terjadi pada evolusi resistensi
nyamuk aedes.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Nyamuk Aedes Aegypti

Aedes aegypti merupakan jenis nyamuk yang dapat membawa virus dengue
penyebab penyakit demam berdarah. Selain dengue, Ae Aegypti juga merupakan
pembawa virus demam kuning (yellow fever) dan chikungunya. Penyebaran jenis
ini sangat luas, meliputi hampir semua daerah tropis di seluruh dunia. Aedes
aegypti bersifat diurnal atau aktif pada pagi hingga siang hari. Penularan penyakit
dilakukan oleh nyamuk betina karena hanya nyamuk betina yang mengisap darah.
Hal itu dilakukannya untuk memperoleh asupan protein yang diperlukannya untuk
memproduksi telur. Nyamuk jantan tidak membutuhkan darah, dan memperoleh
energi dari nektar bunga ataupun tumbuhan. Jenis ini menyenangi area yang gelap
dan benda-benda berwarna hitam atau merah. Adapun klasifikasi nyamuk Aedes
Aegyti adalah sebagai berikut:

Kerajaan : Animalia

Alam : Haiwan

Filum : Arthropoda

Sub Filum : Mandibulata


Kelas : Insecta

Sub Kelas : Pterygota

Ordo : Diptera

Sub Ordo : Nematocera

Familia : Culicidae

Subfamilia : Culicinae

Genus : Aedes

Sub Genus : Stegomnya

Spesies : Aedes Aegypti

Nama Binominal : Aedes Aeygpti

Di Indonesia, nyamuk Ae Aegypti umumnya memiliki habitat di

lingkungan perumahan, di mana terdapat banyak genangan air bersih

dalam bak mandi ataupun tempayan. Oleh karena itu, jenis ini bersifat

urban, bertolak belakang dengan Ae Albopictus yang cenderung berada di

daerah hutan berpohon rimbun.

2.2 Resistensi

Resistensi adalah kemampuan serangga (nyamuk) untuk bertahan hidup terhadap


pengaruh insektisida yang biasanya mematikan. Dengan kata lain, hama
mengembangkan resistensi terhadap bahan kimia melalui seleksi alam sehingga
kebanyakan organisme yang bertahan hidup dan meneruskan genetik atau
keturunannya.

Jenis - jenis resistensi :

a. Resistensi Tunggal
Fenomena dimana hama resisten terhadap satu jenis pestisida yang telah
digunakan.
b. Multipel resistensi
Multiple resistensi adalah fenomena di mana OPT resisten terhadap lebih
dari satu kelas pestisida. Hal ini dapat terjadi jika salah satu pestisida
digunakan sampai menampilkan resistensi hama dan kemudian lain
digunakan sampai mereka resisten terhadap yang satu itu, dan sebagainya.
c. Resistensi silang
Resistensi silang / Cross, sebuah fenomena yang terkait, terjadi ketika
mutasi genetik yang membuat tahan hama ke salah satu pestisida juga
membuatnya tahan terhadap pestisida lain, terutama yang dengan mirip
mekanisme aksi.

Menanggapi resistensi pestisida, manajer hama / pengendali hama yang


meningkatan penggunaan pestisida akan memperburuk masalah. Selain itu, ketika
pestisida beracun terhadap spesies yang makan atau bersaing dengan hama,
populasi hama kemungkinan akan berkembang lebih lanjut, membutuhkan lebih
banyak pestisida. Hal ini kadang-kadang disebut sebagai pestisida perangkap, atau
treadmill pestisida, karena petani terus membayar lebih dan kurang
menguntungkan.

2.3 Faktor-faktor yang menyebabkan berkembangnya resistensi

Faktor-faktor yang menyebabkan berkembangnya resistensi meliputi faktor genetik,


biologi dan operasional (Georgiou, 1983). Faktor genetik antara lain meliputi frekuensi,
jumlah dan dominansi resisten. Faktor biologi-ekologi meliputi perilaku hama, jumlah
generasi per tahun, keperidian, mobilitas dan migrasi. Faktor operasional meliputi jenis
dan sifat insektisida yang digunakan, jenis-jenis insektisida yag digunakan sebelumnya,
persistensi, jumlah aplikasi dan stadium sasaran, dosis, frekuensi dan cara aplikasi,
bentuk formulasi ,dan yang lain. Faktor genetik dan biologi-ekologi lebih sulit dikelola
dibandingkan faktor operasional. Faktor genetik dan biologi merupakan sifat asli
serangga sehingga di luar pengendalian kita. Dengan mempelajari sifat-sifat tersebut
dapat dihitung risiko munculnya populasi resisten suatu jenis serangga.

2.4 Proses terjadinya resistensi

Resistensi larva dan nyamuk Ae. Aegypti terjadi pada insektisida temefos dan malathion.
Temefos adalah larvasida yang paling banyak digunakan untuk membunuh larva Ae.
Aegypti. Penggunaan temefos sudah dipakai sejak tahun 1976. Empat tahun kemudian
yakni 1980, temefos 1% (abate) ditetapkan sebagai bagian dari progam pemberantasan
massal Aedes aegypti di Indonesia. Jadi bisa dikatakan, temefos sudah digunakan hampir
30 tahun. Bukan tidak mungkin penggunaan dalam waktu lama memicu resistensi.

Larva Ae. Aegypti dikatakan resisten apabila LC (Lethal Concentration) 99 24 jam


melebihi 0,02 mg/l temefos 1%. Laporan resistensi larva Aedes aegypti terhadap temefos
sudah ditemukan di beberapa negara seperti Brazil, Bolivia, Argentina, Venezuela, Kuba,
French Polynesia, Karibia, dan Thailand. Bertolak belakang dengan temuan di negara-
negara tersebut, bahwa larva Ae. Aegypti dari 5 kelurahan di Banjarmasin Utara masih
rentan terhadap temefos 1%. LC99 24 jam jauh lebih rendah dari 0,02 mg/l. Namun
demikian, sudah mulai terlihat adanya indikasi penurunan kerentanan larva terhadap
temefos. Hal itu mengimplikasikan perlunya evaluasi berkala terhadap keefektivitasan
temefos di kemudian hari. Hasil itu dimuat dalam Bioscientiae 2006.

Malathion termasuk golongan organofosfat parasimpatomimetik, yang berarti berikatan


irreversibel dengan enzim kolinesterase pada sistem saraf serangga. Akibatnya, otot tubuh
serangga mengalami kejang, kemudian lumpuh, dan akhirnya mati. Malathion digunakan
dengan cara pengasapan (fogging). Dosis yang dipakai adalah 5% yaitu campuran antara
malathion dan solar sebesar 1:19.

Uji kerentanan Ae. Aegypti terhadap malathion pada lokasi yang tidak pernah, pernah,
dan sering difogging dengan konsentrasi pengujian adalah0,04%, 1%, dan 5%. Pada
konsentrasi malathion 0,04%, tingkat kematian 100% nyamuk pada lokasi yang tidak
pernah dan sering terpapar malathion terjadi pada menit ke-15 dan ke-20. Selanjutnya,
pada konsentrasi malathion 1%, tingkat kematian 100% pada lokasi yang tidak pernah
dan pernah adalah menit ke-10 dan ke-15. Dari kedua konsentrasi itu, statistik tidak
menunjukkan perbedaan bermakna tingkat kematian 100% antara ketiga lokasi sampel
nyamuk tersebut (p>0,05). (22)

Terakhir, pada konsentrasi malathion 5% perbedaan tingkat kematian baru terlihat. Pada
menit ke-5 setelah dipapari konsentrasi malathion 5%, seluruh nyamuk yang berasal dari
lokasi tidak pernah difogging mati; sedangkan nyamuk yang mati dari lokasi pernah dan
sering difogging hanya 71,3% dan 65,1%. Setelah mencapai menit ke-10, barulah semua
nyamuk dari lokasi pernah difogging mati. Sementara itu, seluruh nyamuk dari lokasi
sering difogging baru mati setelah menit ke-15.

Larva nyamuk Ae. Aegypti diduga juga resistens larva terhadap beberapa jenis
insektisida. Penelitian di Rio de Janeiro dan Espirito Santo, Brazil menunjukkan
resistensi terhadap temefos (0,012 mg/L), dengan mortalitas hanya 74% sampai 23,5%.
Sementara itu, resistensi juga terlihat pada nyamuk betina dewasa terutama terhadap
temefos dan fenitrothion. Dalam penelitiannya, malathion masih cukup mempan
membunuh nyamuk dewasa.

Nyamuk Ae. Aegypti terhadap beberapa kelompok besar insektisida yaitu DDT,
fenitrothion, malathion, deltamethrin, dan permethrin. Setelah dipapari selama 1jam
(kecuali 4 jam untuk DDT), nyamuk Culex (nyamuk yang paling sering ditemukan di
rumah-rumah) menunjukkan resistensi yang tinggi terhadap DDT 4%, deltamethrin
0,05%, fenitrothion 1%, dan permethrin 0,75% dengan persentase kematian berturut-turut
adalah 0%, 11%, 21,2%, dan 10,1%. Resistensi sedang Culex ditemukan pada paparan
propoxur 0,1% dengan persentase kematian 66%. Fakta menarik, Culex masih didapatkan
sensitif terhadap malathion 5% dimana tingkat kematiannya mencapai 100%.

Di sisi lain, Aedes masih rentan 100% terhadap fenitrothion 1% dan malathion 0,8%.
Pada deltamethrin 0,05%, tingkat kematian Aedes mencapai 82,7%, dan pada permethrin
0,75% hanya 34,8%. Selain itu, WHO 1996 melaporkan, di banyak negara nyamuk Culex
telah resisten terhadap insektisida golongan organofosfat, karbamat, dan piretroid. Salah
satu penjelasan mengapa nyamuk Culex banyak mengalami resistensi adalah adanya
kemungkinan tempat perindukan (breeding places) Culex terpapar/terkontaminasi oleh
insektisida yang digunakan saat fogging untuk membasmi Aedes.

Dari data-data penelitian diatas, terlihat sudah ada tanda-tanda resistensi larva dan
nyamuk dewasa Ae. Aegypti terhadap insektisida. Di Jakarta, sebagian besar larva Ae.
Aegypti di Tanjung Priok telah resisten terhadap insektisida organofosfat yaitu 44,8 %
resisten sedang dan 50% sangat resisten. Di Mampang Prapatan, sebagian besar larva Ae.
Aegypti juga telah resisten terhadap insektisida organofosfat yaitu 57,2% resisten sedang
dan 9,8% sangat resisten.

Ada beberapa variabel yang mempengaruhi tingkat resistensi nyamuk terhadap suatu
pestisida. Variabel-variabel tersebut antara lain konsentrasi pestisida, frekuensi
penyemprotan, dan luas penyemprotan pestisida. Fenomena resistensi itu, lanjutnya,
dapat dijelaskan dengan teori evolusi. Ketika suatu lokasi dilakukan penyemprotan
pestisida, nyamuk yang peka akan mati, sebaliknya yang tidak peka akan tetap
melangsungkan hidupnya. Paparan pestisida yang terus menerus menyebabkan nyamuk
beradaptasi sehingga jumlah nyamuk yang kebal bertambah banyak. Apalagi, nyamuk
yang kebal tersebut dapat membawa sifat resistensinya ke keturunannya. Tak berhenti
sampai disitu, nyamuk yang sudah kebal terhadap satu jenis pestisida tertentu akan terus
mengembangkan diri agar bisa kebal terhadap jenis pestisida yang lain.
BAB III

PENUTUP
3.1 Kesimpulan

Evolusi berarti perubahan pada sifat-sifat terwariskan suatu populasi organisme dari satu
generasi ke generasi berikutnya. Perubahan-perubahan ini disebabkan oleh kombinasi tiga
proses utama: variasi, reproduksi, dan seleksi. Salah satu ilmuwan yang mengemukakan
teori evolusi adalah Darwin. Bukti evolusi yaitu berkembangnya resistensi nyamuk
terhadap insektisida. Resistensi adalah kemampuan serangga (nyamuk) untuk bertahan
hidup terhadap pengaruh insektisida yang biasanya mematikan. Ada beberapa variabel
yang mempengaruhi tingkat resistensi nyamuk terhadap suatu pestisida. Variabel-variabel
tersebut antara lain konsentrasi pestisida, frekuensi penyemprotan, dan luas
penyemprotan pestisida. Fenomena resistensi itu, lanjutnya, dapat dijelaskan dengan teori
evolusi. Ketika suatu lokasi dilakukan penyemprotan pestisida, nyamuk yang peka akan
mati, sebaliknya yang tidak peka akan tetap melangsungkan hidupnya.

3.2 Saran

Kita harus lebih banyak menambah wawasan mengenai bukti evolusi ini. Apalagi
jika teori tentang evolusi seringkali menjadi bahan perdebatan sekaligus
mengundang penolakan dari berbagai golongan terutama dari golongan
agamawan. Alasan penolakan tersebut tidak lain karena evolusi dianggap
bertentangan dengan dalil yang tercantum dalam kitab suci yang mereka yakini.
Kemunculan dan perkembangan teori evolusi tidak bertujuan untuk membuat
manusia meragukan kebenaran kitab suci yang diyakininya akan tetapi justru
dapat memperkuat keyakinan seseorang terhadap kebenaran agamanya.
Sebagaimana Iskandar (2008) menyatakan bahwa teori evolusi tidak bertentangan
dengan agama mana pun di dunia. Perdebatan yang selama ini terjadi disebabkan
karena keterbatasan ilmu pengetahuan itu sendiri. Namun seiring dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, teori evolusi pun mengalami
perkembangan menurut masanya.

DAFTAR PUSTAKA
Campbell, N.A., Jane B.R., Lawrence G.M. 2003. Biologi. Jakarta: Erlangga.

Iskandar, Djoko T. 2008. Evolusi. Jakarta: Universitas Terbuka. pp. 1-44.

http://eprints.ums.ac.id/37112/7/BAB%20I.pdf

http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/119/jtptunimus-gdl-ayuyulisty-5930-3-babii.pdf

https://cdsindonesia.wordpress.com/2008/04/08/manajemen-resistensi-pestisida-sebagai-
penerapan-pengelolaan-hama-terpadu/

https://id.wikipedia.org/wiki/Resistansi_pestisida

Anda mungkin juga menyukai