Anda di halaman 1dari 11

KARYA ILIMIAH PENDIDIKAN KI HAJAR DEWANTARA

BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pendidikan merupakan salah satu hal yang paling penting dalam perkembangan anak didik yang
diharapkan menjadi manusia Indonesia seutuhnnya sesuai dengan tujuan pendidikan Indonesia yang
nantinya akan menentukan pembangunan bangsa ini. Namun untuk membangun Indonesia tidak
hanya dibutuhkan kecerdasan intelektual saja tetapi juga dibutuhkan keseimbangan semua aspek.
Salah satu sistem pendidikan yang menyeimbangkan semua aspek adalah dengan mengintegrasikan
ajaran Ki Hajar Dewantara ke dalam proses belajar mengajar.

Berbicara tentang Ki Hajar Dewantara yang di sebutkan sebagai bapak pendidikan itu kali ini kami akan
mengupas tentang perjalanan Ki Hajar Dewantara dan Hari Pendidikanx Nasional nya Apa, Mengapa,
Dan Bagaimana Pendidikan Nasional Dipandangan Ki Hajar Dewantara.

Rumusan Masalah:

Riwayat Ki Hajar Dewantar

Siapa tokoh pelopor pendidikan bangsa ini

Karya-karya bapak Ki Hajar Dewantara

Bagaimana arti pendidikan

Bagaimana arti penting nya pendidikan

Tujuan:

Bagi penulis

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas yang diberikan dosen dalam mata kuliah Bahasa
Indonesia. Selain itu, bagi diri kami pribadi makalah ini juga diharapkan bisa digunakan untuk
menambah pengetahuan yang lebih bagi mahasiswa tentang arti pendidikan.

Bagi pembaca

Makalah ini di maksudkan untuk membahas pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara dan untuk
menambah ilmu pengetahuan mengenai pendidikan yang ada di Indonesia. Untukpara pembaca bisa
digunakan untuk langkah menuju ke pengetahuan yang lebih luas, sehingga kedepannya tercipta sdm-
sdm yang unggul.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Riwayat Ki Hajar Dewantara

Ki Hajar Dewantara Lahir di Yogyakarta pada tanggal 2 Mei 1889. Terlahir dengan nama Raden
Mas Soewardi Soeryaningrat. Ia berasal dari lingkungan keluarga kraton Yogyakarta. Raden Mas
Soewardi Soeryaningrat, saat genap berusia 40 tahun menurut hitungan Tahun Caka, berganti nama
menjadi Ki Hadjar Dewantara. Semenjak saat itu, ia tidak lagi menggunakan gelar kebangsawanan di
depan namanya. Hal ini dimaksudkan supaya ia dapat bebas dekat dengan rakyat, baik secara fisik
maupun hatinya. Perjalanan hidupnya benar-benar diwarnai perjuangan dan pengabdian demi
kepentingan bangsanya. Ia menamatkan Sekolah Dasar di ELS (Sekolah Dasar Belanda) Kemudian
sempat melanjut ke STOVIA (Sekolah Dokter Bumiputera), tapi tidak sampai tamat karena sakit.
Kemudian ia bekerja sebagai wartawan di beberapa surat kabar antara lain Sedyotomo, Midden Java,
De Express, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer dan Poesara. Pada masanya, ia tergolong
penulis handal. Tulisan-tulisannya sangat komunikatif, tajam dan patriotik sehingga mampu
membangkitkan semangat antikolonial bagi pembacanya.

Selain ulet sebagai seorang wartawan muda, ia juga aktif dalam organisasi sosial dan politik. Pada
tahun 1908, ia aktif di seksi propaganda Boedi Oetomo untuk mensosialisasikan dan menggugah
kesadaran masyarakat Indonesia pada waktu itu mengenai pentingnya persatuan dan kesatuan dalam
berbangsa dan bernegara. Kemudian, bersama Douwes Dekker (Dr. Danudirdja Setyabudhi) dan dr.
Cipto Mangoenkoesoemo, ia mendirikan Indische Partij (partai politik pertama yang beraliran
nasionalisme Indonesia) pada tanggal 25 Desember 1912 yang bertujuan mencapai Indonesia
merdeka.

Mereka berusaha mendaftarkan organisasi ini untuk memperoleh status badan hukum pada
pemerintah kolonial Belanda. Tetapi pemerintah kolonial Belanda melalui Gubernur Jendral Idenburg
berusaha menghalangi kehadiran partai ini dengan menolak pendaftaran itu pada tanggal 11 Maret
1913. Alasan penolakannya adalah karena organisasi ini dianggap dapat membangkitkan rasa
nasionalisme rakyat dan menggerakan kesatuan untuk menentang pemerintah kolonial Belanda.

Kemudian setelah ditolaknya pendaftaran status badan hukum Indische Partij ia pun ikut membentuk
Komite Bumipoetra pada November 1913. Komite itu sekaligus sebagai komite tandingan dari Komite
Perayaan Seratus Tahun Kemerdekaan Bangsa Belanda. Komite Boemipoetra itu melancarkan kritik
terhadap Pemerintah Belanda yang bermaksud merayakan seratus tahun bebasnya negeri Belanda
dari penjajahan Prancis dengan menarik uang dari rakyat jajahannya untuk membiayai pesta perayaan
tersebut.

Sehubungan dengan rencana perayaan itu, ia pun mengkritik lewat tulisan berjudul Als Ik Eens
Nederlander Was (Seandainya Aku Seorang Belanda) dan Een voor Allen maar Ook Allen voor Een
(Satu untuk Semua, tetapi Semua untuk Satu Juga). Tulisan Seandainya Aku Seorang Belanda yang
dimuat dalam surat kabar de Expres milik dr. Douwes Dekker itu antara lain berbunyi:

"Sekiranya aku seorang Belanda, aku tidak akan menyelenggarakan pesta-pesta kemerdekaan di
negeri yang kita sendiri telah merampas kemerdekaannya. Sejajar dengan jalan pikiran itu, bukan saja
tidak adil, tetapi juga tidak pantas untuk menyuruh si inlander memberikan sumbangan dana
perayaan itu.
Pikiran untuk menyelenggarakan perayaan itu saja sudah menghina mereka dan sekarang kita garuk
pula kantongnya. Ayo teruskan penghinaan lahir dan batin itu! Kalau aku seorang Belanda. Apa yang
menyinggung perasaanku dan kawan-kawan sebangsaku terutama ialah kenyataan bahwa bangsa
inlander diharuskan ikut mengongkosi suatu pekerjaan yang ia sendiri tidak ada kepentingannya
sedikitpun".
Akibat karangannya itu, pemerintah kolonial Belanda melalui Gubernur Jendral Idenburg
menjatuhkan hukuman tanpa proses pengadilan, berupa hukuman internering (hukum buang) yaitu
sebuah hukuman dengan menunjuk sebuah tempat tinggal yang boleh bagi seseorang untuk
bertempat tinggal. Ia pun dihukum buang ke Pulau Bangka.

Douwes Dekker dan Cipto Mangoenkoesoemo merasakan rekan seperjuangan diperlakukan tidak adil.
Mereka pun menerbitkan tulisan yang bernada membela Soewardi. Tetapi pihak Belanda menganggap
tulisan itu menghasut rakyat untuk memusuhi dan memberontak pada pemerinah kolonial. Akibatnya
keduanya juga terkena hukuman internering. Douwes Dekker dibuang di Kupang dan Cipto
Mangoenkoesoemo dibuang ke pulau Banda. Namun mereka menghendaki dibuang ke Negeri
Belanda karena di sana mereka bisa memperlajari banyak hal dari pada didaerah terpencil. Akhirnya
mereka diijinkan ke Negeri Belanda sejak Agustus 1913 sebagai bagian dari pelaksanaan hukuman.

Kesempatan itu dipergunakan untuk mendalami masalah pendidikan dan pengajaran, sehingga Raden
Mas Soewardi Soeryaningrat berhasil memperoleh Europeesche Akte. Kemudian ia kembali ke tanah
air di tahun 1918. Di tanah air ia mencurahkan perhatian di bidang pendidikan sebagai bagian dari alat
perjuangan meraih kemerdekaan.

Setelah pulang dari pengasingan, bersama rekan-rekan seperjuangannya, ia pun mendirikan


sebuah perguruan yang bercorak nasional, Nationaal Onderwijs Instituut Tamansiswa (Perguruan
Nasional Tamansiswa) pada 3 Juli 1922. Perguruan ini sangat menekankan pendidikan rasa
kebangsaan kepada peserta didik agar mereka mencintai bangsa dan tanah air dan berjuang untuk
memperoleh kemerdekaan.

Tidak sedikit rintangan yang dihadapi dalam membina Taman Siswa. Pemerintah kolonial Belanda
berupaya merintanginya dengan mengeluarkan Ordonansi Sekolah Liar pada 1 Oktober 1932. Tetapi
dengan kegigihan memperjuangkan haknya, sehingga ordonansi itu kemudian dicabut.

Di tengah keseriusannya mencurahkan perhatian dalam dunia pendidikan di Tamansiswa, ia juga


tetap rajin menulis. Namun tema tulisannya beralih dari nuansa politik ke pendidikan dan kebudayaan
berwawasan kebangsaan. Tulisannya berjumlah ratusan buah. Melalui tulisan-tulisan itulah dia
berhasil meletakkan dasar-dasar pendidikan nasional bagi bangsa Indonesia.

Sementara itu, pada zaman Pendudukan Jepang, kegiatan di bidang politik dan pendidikan tetap
dilanjutkan. Waktu Pemerintah Jepang membentuk Pusat Tenaga Rakyat (Putera) dalam tahun 1943,
Ki Hajar duduk sebagai salah seorang pimpinan di samping Ir. Soekarno, Drs. Muhammad Hatta dan
K.H. Mas Mansur.

Setelah zaman kemedekaan, Ki hajar Dewantara pernah menjabat sebagai Menteri Pendidikan,
Pengajaran dan Kebudayaan yang pertama. Nama Ki Hadjar Dewantara bukan saja diabadikan sebagai
seorang tokoh dan pahlawan pendidikan (bapak Pendidikan Nasional) yang tanggal kelahirannya 2 Mei
dijadikan hari Pendidikan Nasional, tetapi juga ditetapkan sebagai Pahlawan Pergerakan Nasional
melalui surat keputusan Presiden RI No.305 Tahun 1959, tanggal 28 November 1959. Penghargaan
lain yang diterimanya adalah gelar Doctor Honoris Causa dari Universitas Gajah Mada pada tahun
1957. Dua tahun setelah mendapat gelar Doctor Honoris Causa itu, ia meninggal dunia pada tanggal
28 April 1959 di Yogyakarta dan dimakamkan di sana.

Kemudian oleh pihak penerus perguruan Taman Siswa, didirikan Museum Dewantara Kirti Griya,
Yogyakarta, untuk melestarikan nilai-nilai semangat perjuangan Ki Hadjar Dewantara. Dalam museum
ini terdapat benda-benda atau karya-karya Ki Hadjar sebagai pendiri Tamansiswa dan kiprahnya dalam
kehidupan berbangsa.

Koleksi museum yang berupa karya tulis atau konsep dan risalah-risalah penting serta data surat-
menyurat semasa hidup Ki Hadjar sebagai jurnalis, pendidik, budayawan dan sebagai seorang seniman
telah direkam dalam mikrofilm dan dilaminasi atas bantuan Badan Arsip Nasional.
Bangsa ini perlu mewarisi buah pemikirannya tentang tujuan pendidikan yaitu memajukan
bangsa secara keseluruhan tanpa membeda-bedakan agama, etnis, suku, budaya, adat, kebiasaan,
status ekonomi, status sosial, dan sebagainya, serta harus didasarkan kepada nilai-nilai kemerdekaan
yang asasi. Hari lahirnya, diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional. Ajarannya yang terkenal ialah
tut wuri handayani (di belakang memberi dorongan), ing madya mangun karsa (di tengah menciptakan
peluang untuk berprakarsa), ing ngarsa sungtulada (di depan memberi teladan).

Ki hajar Dewantara adalah tokoh yang punya dedikasi tinggi yang suka membawa spirit
kerakyatan. Dia tidak mau menjaga jarak dengan rakyat kecil, meski dia sendiri adalah keturuan dari
kaum bangsawan. Bahkan untuk menghilangkan sekat pergaulannya, dia menanggalkan nama
ningratnya, Raden mas Suwardi Suryaningrat.

Sikap pedulinya pada golongan jelata juga diwujudkan dalam bentuk yang nyata pula. Bersama dengan
teman-temannya yang lain dia mendirikan perguruan nasional Taman Siswa dengan tujuan untuk
memberi pendidikan pada masyarakat agar mereka mampu membuat karya sendiri. Ini adalah
merupakan langkah awal untuk suatu cita-cita yang lebih tinggi, yaitu merdeka dari penindasan
(penjajahan). Pendidikan utama yang diajarkan oleh Ki hajar Dewantara adalah menjadikan manusia
yang cerdas dan punya manfaat bagi diri sendiri dan orang lain.

2.2 Siapakah tokoh pelopor pendidikan di bangsa ini

Pejuang gigih, politisi handal, guru besar bangsa, pendiri Taman Siswa, memang sudah diakui oleh
sejarah. Tapi sebagai pribadi yang keras tapi lembut, ayah yang demokratis, sosoknya yang sederhana,
penggemar barang bekas, belum banyak orang tahu. Bahkan bagaimana tiba-tiba dia dipanggil dengan
nama Ki Hajar Dewantara juga belum banyak yang tahu.

Tokoh peletak dasar pendidikan nasional ini terlahir dengan nama Raden Mas Soewardi Soeryaningrat,
dilahirkan di Yogyakarta pada hari Kamis, tanggal 2 Mei 1889. Ia berasal dari lingkungan keluarga
kraton Yogyakarta. Pendidikan dasarnya diperoleh di Sekolah Dasar ELS (sekolah dasar Belanda) dan
setelah lulus, ia meneruskan ke STOVIA (sekolah kedokteran Bumi putera) di Jakarta, tetapi tidak
sampai selesai. Kemudian bekerja sebagai wartawan di beberapa surat kabar antara lain Sedya Tama,
Midden Java, De Express, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer, dan Poesara. Ia tergolong
penulis tangguh pada masanya; tulisan-tulisannya sangat tegar dan patriotik serta mampu
membangkitkan semangat antikolonial bagi pembacanya.

Selain menjadi seorang wartawan muda R.M. Soewardi juga aktif dalam organisasi sosial dan politik,
ini terbukti di tahun 1908 dia aktif di Boedi Oetama dan mendapat tugas yang cukup menantang di
seksi propaganda. Dalam seksi propaganda ini dia aktif untuk mensosialisasikan dan menggugah
kesadaran masyarakat Indonesia pada waktu itu mengenai pentingnya kesatuan dan persatuan dalam
berbangsa dan bernegara.

Setelah itu pada tanggal 25 Desember 1912 dia mendirikan Indische Partij yang bertujuan
mencapai Indonesia merdeka, organisasi ini didirikan bersama dengan dr. Douwes Dekker dan dr.
Cipto Mangoenkoesoemo. Organisasi ini berusaha didaftarkan status badan hukumnya pada
pemerintahan kolonial Belanda tetapi ditolak pada tanggal 11 Maret 1913, yang dikeluarkan oleh
Gubernur Jendral Idenburg sebagai wakil pemerintah Belanda di negara jajahan. Alasan penolakannya
adalah karena organisasi ini dianggap oleh penjajah saat itu dapat membangkitkan rasa nasionalisme
rakyat dan bergerak dalam sebuah kesatuan untuk menentang pemerintah kolonial Belanda !

Keras tapi Tidak Kasar. Inilah ciri khas kepribadian Ki Hajar yang diakui rekan-rekan sejawatnya. Kras
maar nooit grof, keras namun tidak pernah kasar. Kesetiaan pada sikapnya ini terlihat jelas pada setiap
kiprahnya.

Ketika partainya, Partai Hindia atau Indische Partij (IP) dibredel pemerintah Belanda (1912), dia tidak
putus asa. Kritik pedas kepada penjajah juga dilancarkan lewat artikelnya dalam de Express November
1913, berjudul Als ik eens Nederlander was (Seandainya saya orang Belanda). Dengan sindiran tajam,
tulisan itu menyatakan rasa malunya merayakan hari kemerdekaan negerinya dengan memungut
uang dari rakyat Hindia yang terjajah. Soewardi bahkan mengirim telegram kepada Ratu Belanda berisi
usulan untuk mencabut pasal 11 RR (Regerings Reglement UU Pemerintahan Negeri Jajahan) yang
melarang organisasi politik di Hindia-Belanda. Karuan saja, akibat tulisan itu Ki Hajar dibuang ke
Belanda pada Oktober 1914. Padahal dia baru saja mempersunting R.A. Sutartinah. Jadi, terpaksa dia
harus berbulan madu di pengasingan.

Dalam masa pembuangan itu tidak dia sia-siakan untuk mendalami masalah pendidikan dan
pengajaran, sehingga berhasil memperoleh Europesche Akte. Setelah kembali ke tanah air di tahun
1918, ia mencurahkan perhatian di bidang pendidikan sebagai bagian dari alat perjuangan meraih
kemerdekaan. Diwujudnyatakan bersama rekan-rekan seperjuangan dengan mendirikan Nationaal
Onderwijs Instituut Tamansiswa atau lebih dikenal dengan Perguruan Nasional Tamansiswa pada 3
Juli 1922, sebuah perguruan yang bercorak nasional.

Perguruan nasional Taman Siswa mencoba memadukan model pendidikan barat dengan budaya-
budaya negeri sendiri. Namun, kurikulum pemerintah Hindia Belanda tidak diajarkan, karena garis
perjuangan Ki Hajar bersifat non-kooperasi terhadap pemerintah kolonial. Sifatnya mandiri.

Tak hanya dalam bersikap, secara fisikpun Ki Hajar memiliki keberanian yang mencengangkan. Ini
terkuak dalam peristiwa rapat umum di Lapangan Ikada (sekarang Monas), 19 September 1945. Saat
itu pemerintah R.I. menghadapi tantangan, apakah presiden dan jajaran kabinetnya berani menembus
kepungan senjata tentara Jepang di sekeliling lapangan. Sebagian menuntut Presiden, Wapres, dan
segenap anggota kabinet hadir di Lapangan Ikada agar tidak mengecewakan rakyat. Yang lain
menolaknya dengan pertimbangan keselamatan.

Akhirnya, semua sepakat untuk hadir. Tapi, siapa menteri yang harus membuka jalan memasuki
Lapangan Ikada, sebelum rombongan presiden. Karena ada kemungkinan Jepang membantai
rombongan menteri yang pertama masuk Ikada untuk mencegah keberhasilan Pemerintah RI
menyatakan eksistensinya kepada rakyat dan dunia internasional. Pada saat kritis inilah sebagai
Menteri Pengajaran Ki Hajar unjuk keberanian. Bersama Menlu Mr. Achmad Subarjo, Mensos Mr. Iwa
Kusuma Sumantri, ia menyediakan tubuhnya menjadi tameng. Padahal bapak enam anak itu bisa
dibilang tak lagi muda. Ketika diingatkan oleh Sesneg Abdul Gafur Pringgodigdo, Ingat, Ki Hajar kan
sudah tua. Justru karena itulah, mati pun tidak mengapa, jawab Ki Hajar enteng.
Sebagai Bapak Pendidikan Nasional Indonesia dan pendiri Tamansiswa, Ki Hajar memang tidak
sendirian berjuang menanamkan jiwa merdeka bagi rakyat melalui bidang pendidikan. Namun telah
diakui dunia bahwa kecerdasan, keteladanan dan kepemimpinannya telah menghantarkan dia sebagai
seorang yang berhasil meletakkan dasar pendidikan nasional Indonesia. Ki Hajar bukan saja seorang
tokoh dan pahlawan pendidikan ini tanggal kelahirannya 2 Mei oleh bangsa Indonesia dijadikan hari
Pendidikan Nasional, selain itu melalui surat keputusan Presiden RI no. 395 Tahun 1959, tanggal 28
November 1959 Ki Hajar ditetapkan sebagai pahlawan Pergerakan Nasional. Penghargaan lainnya
yang diterima oleh Ki Hajar Dewantara adalah gelar Doctor Honoris Causa dari Universitas Gadjah
Mada di tahun 1957.

Orang seringkali lupa, semboyan tutwuri handayani adalah bagian dari kesatuan yang lengkapnya
berbunyi, ing ngarso sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani. Di depan memberi
teladan, di tengah menghidupkan gairah, di belakang memberi pengarahan. Mungkin, peristiwa di
atas sekaligus bisa memberi jawaban, apakah yang harus dilakukan oleh seorang pemimpin kalau anak
buahnya terancam bahaya.

Masalah pendidikan memang rumit. Terlebih lagi jika anggaran dananya juga sedikit. Program
pendidikan yang dicita-citakan bangsa ini begitu besar, namun kesadaran pendidikannya masih sering
tercium aroma komersial. Akibatnya, nilai-nilai pendidikan tergeser begitu jauh dari pusarannya.

Saya mempunyai keyakinan, Saudara Ketua, bahwa seandainya bangsa kita tidak keputusan naluri
atau tradisi, tidak kehilangan garis kontinu dengan zaman yang lampau, maka sistem pendidikan
dan pengajaran di negeri kita pasti akan mempunyai bentuk serta isi dan irama, yang lain daripada
yang kita lihat sekarang (Ki Hadjar Dewantara).

Tulisan di atas adalah pendapat Ki Hadjar Dewantara yang disampaikan dalam Pidato
Penerimaan Gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Gadjah Mada pada 7 November 1956. Tulisan
ini secara jelas memperlihatkan refleksi Ki Hadjar Dewantara tentang keadaan bangsa Indonesia yang
mengalami distorsi atau penyimpangan jalannya sejarah peradaban pada masa silam selama 350-an
tahun sebagai akibat penjajahan Belanda. Situasi penjajahan ini membawa akibat terputusnya tradisi
dan budaya, termasuk di dalamnya sistem pendidikan bangsa Indonesia. Akibatnya, bangsa Indonesia
sangat lama mengalami kevakuman dan terpaksa harus berkiblat ke Barat dalam bentuk, isi, dan
irama sistem pendidikan dan pengajaran. Seandainya tidak ada penjajahan, bangsa Indonesia pasti
akan mempunyai sistem pendidikan yang bentuk, isi, dan iramanya lain.

Ki Hadjar Dewantara melihat bahwa pendidikan ala Belanda yang muncul sebagaiEthische
Politiek pada permulaan abad ke-20 tidak sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia karena hanya
mementingkan aspek intelektual, individual, material, dan kepentingan kolonial serta tidak
mengandung cita-cita kebudayaan nasional. Sistem pendidikan yang berkembang sesudah era itu
masih memperlihatkan pengaruh yang kuat sistem pendidikan ala Belanda.

Padahal dalam tradisi bangsa Indonesia, menurut Ki Hadjar, kita mengenal istilah pendidik
seperti pujangga, dalang, dwidjawara, hadjar, pendita, wiku, begawan, wali, kyai, dan juga istilah
anak didik seperti mentrik, sontrang, dahyang, cantrik, dan santri. Ini menunjukkan bahwa bangsa
Indonesia telah memiliki sejarah pendidikan yang panjang, yang berakar dari budaya bangsa sendiri,
namun terputus karena penjajahan Belanda yang berlangsung selama 350 tahun.

Masa penjajahan Belanda adalah masa terdistorsinya tradisi, budaya, dan pendidikan bangsa
Indonesia. Bangsa Indonesia yang pernah mengalami masa kejayaan dalam berbagai ilmu,
misalnya ketatanegaraan, sastra, budaya, teknologi, pelayaran, pertanian, seperti yang terlhat pada
masa Kerajaan Kutai di Kalimantan Timur (abad IV), Kerajaan Tarumanegara di Jawa Barat (abad V),
Kerajaan Kalingga di Jawa Tengah (abad VI), Kerajaan Sriwijaya di Sumatra (abad VII), dan Kerajaan
Majapahit (abad XIV); mengalami masa-masa pembodohan, pemiskinan, dan pengkerdilan sebagai
bangsa terjajah pada era sesudahnya. Berbagai ilmu khas yang ada di Nusantara banyak yang diambil
dan dipelajari oleh kaum penjajah sehingga di Belanda berkembang apa yang disebut Indology, yakni
studi tentang budaya, bahasa, dan kesusasteraan nusantara. Sementara itu, bangsa Indonesia sebagai
kaum terjajah selama beberapa generasi mengalami titik nadir dalam berbagai aspek itu. Faktanya
adalah tidak ada upaya untuk mengembangkan pendidikan. Kalau akhirnya ada, itupun terbatas bagi
kalangan priyayi dan tidak untuk rakyat kebanyakan atau demi memenuhi kebutuhan pemerintahan
kolonial di bumi nusantara pada waktu itu.

Menyambung Benang Merah

Masa generasi yang hilang pernah dialami bangsa Indonesia. Masa sulit itu terjadi pada waktu
Kerajaan Mataram di era pasca Sultan Agung hingga era Kebangkitan Nasional. Dalam kurun waktu
selama itu, bangsa Indonesia mengalami penetrasi dalam segala hal, seperti politik, ekonomi, sosial,
dan budaya oleh Veerenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) dan pemerintah Hindia Belanda. Masa-
masa itu terjadi pembodohan, pemiskinan, dan pengkerdilan yang luar biasa yang mengakibatkan
hilangnya harkat dan martabat sebagai bangsa besar.

Banyak upaya fisik dan non-fisik yang telah dilakukan oleh putera-puteri terbaik bangsa mulai
dari perlawanan Sultan Agung, Amangkurat, Raden Mas Said atau Pangeran Samber Nyawa, Pangeran
Mangkubumi, Pattimura, Pangeran Diponegoro, Cut Nyak Dien, RA Kartini, dan sebagainya, hingga
perlawanan dengan jalur politik seperti Indische Partij, Budi Utomo, Sarekat Dagang Islam (SDI), serta
perlawanan melalui jalur pendidikan dengan munculnya sekolah keagamaan dan kebangsaan seperti
Perguruan Nasional Taman Siswa atau Nationaal Onderwijs Instituut.

Adalah Raden Mas Suwardi Suryaningrat atau Ki Hadjar Dewantara, putera dari Pakualaman
Yogyakarta, yang secara intens berupaya menyambung kembali garis tradisi bangsa Indonesia yang
terputus dengan kejayaan masa lampau melalui jalur pendidikan. Ki Hadjar dengan perguruan Taman
Siswa, yang didirikannya pada tahun 1922, berupaya meletakkan dasar-dasar kebudayaan bangsa dan
semangat kebangsaan di dalam gerakan pendidikan yang dilakukan di Jawa, Sumatra, Borneo,
Sulawesi, Sunda Kecil, dan Maluku. Semua itu didedikasikan untuk memulihkan harkat dan martabat
bangsa dan menghilangkan kebodohan, kekerdilan, dan feodalisme sebagai akibat nyata dari
penjajahan. Dalam hal ini, Ki Hadjar Dewantara adalah salah satu di antara sekian putera-puteri terbaik
bangsa Indonesia yang telah berupaya menyambung benang merah peradaban bangsa Indonesia yang
sempat terputus sekian lama.

Beberapa Butir Pemikiran Ki Hadjar

Pemikiran Ki Hadjar Dewantara tentang pendidikan memberikan harapan baru untuk kemajuan
bangsa Indonesia, bukan hanya pada masa awal kemerdekaan, masa kemerdekaan, dan masa pasca
kemerdekaan; tetapi juga ketika bangsa ini mengalami carut-marut pendidikan pada masa reformasi
dan globalisasi.

Pertama, Ki Hadjar Dewantara melihat pendidikan dengan perspektif antropologis, yaitu bagaimana
warga masyarakat meneruskan warisan budaya kepada generasi berikutnya dan mempertahankan
tatanan sosial. Tentang hal ini Ki Hadjar menyatakan bahwa pendidikan adalah tempat persemaian
segala benih-benih kebudayaan yang hidup dalam masyarakat kebangsaan. Dengan demikian, segala
unsur peradaban dan kebudayaan tadi dapat tumbuh dengan sebaik-baiknya dan dapat diteruskan
kepada anak cucu yang akan datang.
Ki Hadjar Dewantara bukanlah seorang yang terjebak dalam romantisme kejayaan masa lalu yang
hanya memikirkan pewarisan budaya melalui pendidikan. Kalaupun aspek ini ditekankan oleh Ki
Hadjar, penyebabnya adalah anak-anak bangsa ini pernah mengalami dan merasakan sebagai generasi
yang hilang. Ki Hadjar memandang penting pewarisan budaya ini sebagai cara menyambung kembali
peradaban bangsa yang pernah terdistorsi.

Ki Hadjar juga nemikirkan kemajuan budaya bangsa yang harus selalu bertumbuh. Menurut Ki Hadjar,
pendidikan merupakan proses akulturasi, dalam oengertian, masyarakat tidak hanya menyerap
warisan budaya tetapi juga memadu-kan berbagai unsur budaya tanpa menghancurkan unsur
inti atau tema utama kebudayaan, dalam hal ini kebudayaan nasional (Cultureel Nationalisme). Ki
Hadjar Dewantara (1964:19) memunculkan Asas Tri-Kon, bahwa pertukaran kebudayaan dengan
dunia luar harus dilakukan secara Kontinuitet dengan alam kebudayaannya sendiri,
lalu Konvergensi dengan kebudayaan-kebudayaan lain yang ada, dan akhirnya, jika sudah bersatu
dalam alam universal, bersama-sama mewujudkan persatuan dunia dan manusia yang Konsentris.
Konsentris berarti bertitik pusat satu dengan alam-alam kebudayaan sedunia, tetapi masih tetap
memiliki garis lingkaran sendiri-sendiri. Inilah suatu bentuk dari sifat Bhinneka Tunggal Ika.

Ki Hadjar Dewantara sangat arif dalam menyikapi pengaruh budaya Barat, dia menganjurkan untuk
bersikap selektif terhadap unsur budaya Barat. Dia menyadari bahwa dia pernah mengenyam
pendidikan Barat, baik ketika di ELS (Sekolah Dasar untuk orang Eropa) maupun ketika mengalami
masa pembuangan di Belanda bersama dua sahabat karibnya, Dr. Douwes Dekker dan dr. Cipto
Mangunkusumo. Bahkan menurut kesaksian Bambang Sukawati Dewantara, dalam bukunya yang
berjudul Mereka yang Selalu Hidup: Ki Hadjar Dewantara dan Nyi Hadjar Dewantara, dituliskan
bahwa Ki Hadjar Dewantara, yang pada waktu itu bernama Raden Mas Suwardi Suryaningrat, sangat
senang ketika mendengar kabar dari ayahnya, Suryaningrat, bahwa dia diperbolehkan masuk ELS atas
ijin dari Meester Abendanon.

Kedua, Ki Hadjar Dewantara memiliki pemikiran bahwa pendidikan nasional harus berdasarkan pada
garis hidup bangsanya dan ditujukan untuk keperluan peri kehidupan, yang dapat mengangkat derajat
negeri dan rakyatnya, sehingga bersamaan kedudukan dan pantas bekerjasama dengan lain-lain
bangsa untuk kemuliaan segenap manusia di seluruh dunia. Pemikiran ini menunjukkan bahwa Ki
Hadjar Dewantara adalah seorang yang sangat menghargai pluralisme atau kemajemukan. Dia juga
seorang yang berpikiran futuristik.

Sistem pendidikan nasional yang digagas Ki Hadjar Dewantara 50-an tahun yang lalu adalah sistem
pendidikan yang tanggap dan mampu menjawab tatanan dunia yang mengglobal, yang dipacu oleh
proses pemisahan waktu dari ruang. Pembebasan waktu dan ruang yang oleh Giddens (1990) dan
Sastrapratedja (2001) disebut sebagai disembeddingmerupakan faktor dari proses modernisasi dan
membawa implikasi pada universalisasi yang memungkinkan jaringan global berbagai hubungan
antarbangsa melintasi ruang dan waktu. Apa yang terjadi pada masa sekarang ini tampaknya sudah
diprediksikan oleh Ki Hadjar Dewantara sehingga dalam konsep pendidikan nasional yang digagasnya
diusulkan asas Tri-Kon, yakni kontinuitet, konvergensi, dan konsentris. Asas ini dimaksudkan sebagai
cara untuk mengubah paradigma dan pola berpikir dalam menyikapi kemajemukan budaya nasional
maupun internasional melalui pendidikan dan pengajaran. Wawasan kemajemukan ini membuka
peluang bagi berkembangnya sikap toleran, inklusivisme, dan non-sektarianisme yang merupakan
wujud konkret dari Bhinneka Tunggal Ika.

Ketiga, Ki Hadjar Dewantara juga memandang penting pendidikan budi pekerti. Menurut dia,
pendidikan ala Barat yang hanya berorientasi pada segi intelektualisme, individualisme, dan
materialisme tidak sepenuhnya sesuai dengan corak budaya dan kebutuhan bangsa Indonesia.
Warisan nilai-nilai luhur budaya dan religiusitas bangsa Indonesia yang masih dihidupi dan dijadikan
pedoman hidup keluarga-keluarga di masyarakat Indonesia harus dikembangkan dalam dunia
pendidikan. Nilai-nilai luhur tersebut memperlihatkan kearifan budi pekerti yang memperlihatkan
harkat dan martabat bangsa.

Pendidikan dalam konteks pemikiran Ki Hadjar tidak cukup hanya membuat anak menjadi pintar atau
unggul dalam aspek kognitifnya. Pendidikan haruslah mengembangkan seluruh potensi yang dimiliki
anak seperti daya cipta (kognitif), daya rasa (afektif), dan daya karsa (konatif). Pendidikan juga harus
mampu mengembangkan anak menjadi mandiri dan sekaligus memiliki rasa kepedulian terhadap
orang lain, bangsa, dan kemanusiaan. Dengan demikian, pendidikan akan mampu membawa anak
menjadi seorang yang humanis dan lebih berbudaya.

Sebagai suatu bangsa, Indonesia memiliki sejarah yang sangat tua, bahkan lebih tua dari bangsa adi
daya seperti Amerika dan Australia. Peradaban bangsa Indonesia telah mulai bertumbuh semenjak
pada Abad ke-4 sesudah Masehi. Bangsa Indonesia dalam perspektif historis pernah mengalami
distorsi peradaban selama 350 tahun akibat penjajahan Belanda sehingga mengalami kemunduran
dalam berbagai segi.

Ki Hadjar Dewantara atau Raden Mas Suwardi Suryaningrat, putra dari Pangeran Suryaningrat, cucu
dari KGPAA Paku Alam III, adalah satu di antara putera terbaik bangsa yang berupaya menjalin dan
menyambung kembali peradaban bangsa Indonesia melalui gerakan pendidikan dengan Perguruan
Nasional Taman Siswa atau Nationaal Onderwijs Instituut.

Ki Hadjar Dewantara melalui pemikiran-pemikirannya, meletakkan dasar-dasar pendidikan nasional


yang bercirikan kebangsaan dan kebudayaan nasional. Dia berupaya membangun kembali kesadaran
bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar, bermartabat, dan berperadaban tinggi setara
dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Dialah Bapak Pendidikan Nasional yang pemikiran-pemikirannya
patut dipertimbangkan kembali untuk mengatasi carut-marut pendidikan nasional pada era reformasi
dan globaklisasi sekarang ini.

2.3 Karya-karya Ki Hajar Dewantara

Karya Warisan Pertama Ki Hajar Dewantara adalah Taman Siswa yang menjadi representasi
institusi pendidikan pribumi pada masa kolonial dan tetap eksis sampai hari ini. Kedua adalah tulisan-
tulisan Ki Hajar Dewantara dalam bidang pendidikan dan kebudayaan. Tulisan-tulisan itu dikumpulkan
dan diterbitkan oleh Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa dalam buku Karya Ki Hadjar Dewantara
Bagian I Pendidikan (1962) dan Karya Ki Hadjar Dewantara Bagian II: Kebudayaan (1967). Kepiawaian
dalam menulis karena beliau sejak muda menjadi penulis dan wartawan. Ketiga, Buku Bagian I
Pendidikan terbagi dalam 8 bab: pendidikan nasional, politik pendidikan, pendidikan kanak-kanak,
pendidikan kesenian, pendidikan keluarga, ilmu jiwa, ilmu adab, dan bahasa. Tulisan tertua dalam
buku ini yakni Pendidikan dan Pengajaran Nasional yang disampaikan sebagai prasaran dalam
Kongres Permufakatan Pergerakan Kebangsaan Indonesia (PPPKI) pada 31 Agustus 1928. Ki Hadjar
Dewantara dalam tulisan itu mengatakan bahwa kemerdekaan dalam dunia pendidikan memiliki tiga
sifat: berdiri sendiri, tidak tergantung pada orang lain, dapat mengatur diri sendiri. Buku Bagian II
Kebudayaan terbagai dalam 5 bab: kebudayaan umum, kebudayaan dan pendidikan/kesenian,
kebudayaan dan kewanitaan, kebudayaan dan masyarakat, hubungan dan penghargaan kita. Dua
buku itu adalah representasi pemikiran dan pembuktian dalam praktik pendidikan dan pengajaran
dari Ki Hadjar Dewantara. Pendidikan dan kebudayaan adalah basis kehidupan yang menentukan
kualitas manusia dan bangsa.
2.4 Arti Pendidikan

Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat.

2.5 Penting nya pendidikan

Sebagaimana yang diungkapkan Daoed Joesoef tentang pentingnya suatu pendidikan : Pendidikan
merupakan segala bidang penghidupan, dalam memilih dan membina hidup yang baik, yang sesuai
dengan martabat manusia Dan tentulah dari pernyataan tersebut kita bisa mengambil kesimpulan
bahwa Pendidikan merupakan hal yang sangat penting dan tidak bisa lepas dari kehidupan, maka dari
itu saya bisa membantah kata-kata Pendidikan bukanlah segalanya seperti apa yang Kepala Sekolah
saya sendiri katakan.

Menjadi bangsa yang maju tentu merupakan cita-cita yang ingin dicapai oleh setiap negara di dunia.
Sudah menjadi suatu rahasia umum bahwa maju atau tidaknya suatu negara di pengaruhi oleh faktor
pendidikan. Begitu pentingnya pendidikan, sehingga suatu bangsa dapat diukur apakah bangsa itu
maju atau mundur, karna seperti yang kita ketahui bahwa suatu Pendidikan tentunya akan mencetak
Sumber Daya Manusia yang berkualitas baik dari segi spritual, intelegensi dan skill dan pendidikan
merupakan proses mencetak generasi penerus bangsa.

Apabila output dari proses pendidikan ini gagal maka sulit dibayangkan bagaimana dapat mencapai
kemajuan. Bagi suatu bangsa yang ingin maju, pendidik harus dipandang sebagai sebuah kebutuhan
sama halnya dengan kebutuhan-kebutuhan lainnya. Maka tentunya peningkatan mutu pendidikan
juga berpengaruh terhadap perkembangan suatu bangsa. Kita ambil contoh Amerika, mereka takkan
bisa jadi seperti sekarang ini apabila pendidikan mereka setarap dengan kita. Lalu bagaimana dengan
Jepang? si ahli Teknologi itu? Jepang sangat menghargai Pendidikan, mereka rela mengeluarkan dana
yang sangat besar hanya untuk pendidikan bukan untuk kampanye atau hal lain tentang kedudukan
seperti yang Indonesia lakukan. Tak ubahnya negara lain, seperti Malaysia dan Singapura yang menjadi
negara tetangga kita.

Mungkin sedikit demi sedikit Indonesia juga sadar akan pentingnya suatu pendidikan. Hari Pendidikan
Nasional (Hardiknas) yang jatuh pada tanggal 2 Mei 2010 menitikberatkan atau mengambil tema
pendidikan karakter untuk membangun peradaban bangsa dan seperti yang diberitakan bahwa
Kementrian Pendidikan Nasional telah menyediakan infrastruktur terkait akses informasi bekerja
sama dengan MNC Group, melalui TV berbayarnya, Indovision menyiarkan siaran televisi untuk
pendidikan.Dan juga penyediaan taman bacaan di pusat perbelanjaan. Namun apakah pendidikan
karakter ini bisa mengubah masalah-masalah yang sering kita hadapi dalam dunia pendidikan?

Didalam UU No.20/2003 tentang sistem pendidikan Nasional, tercantum pengertian pendidikan:


pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya sehingga memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan oleh dirinya, masyarakat, banga dan negara Namun satu pertanyaan,
sudahkah pendidikan kita seperti yang tercantum dalam UU tersebut.

Untuk kalangan pelajar sekolah menengah atas dan mahasiswa tidak asing lagi dengan kata makalah.
pastilah anda sebagai pelajar atau mahasiswa sering sekali di berikan tugas membuat makalah. jadi
saya akan coba berikan contoh makalah pendidikan bagi teman-teman sebagai panduan membuat
makalah agar lebih mudah.

BAB III

PENUTUP

A.Kesimpulan

Bangsa ini perlu mewarisi buah pemikirannya tentang tujuan pendidikan yaitu memajukan bangsa
secara keseluruhan tanpa membeda-bedakan agama, etnis, suku, budaya, adat, kebiasaan, status
ekonomi, status sosial, dan sebagainya, serta harus didasarkan kepada nilai-nilai kemerdekaan yang
asasi. Hari lahirnya, diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional. Ajarannya yang terkenal ialah tut
wuri handayani (di belakang memberi dorongan), ing madya mangun karsa (di tengah menciptakan
peluang untuk berprakarsa), ing ngarsa sungtulada (di depan memberi teladan). Pengaruh pemikiran
pertama dalam pendidikan adalah dasar kemerdekaan bagi tiap-tiap orang untuk mengatur dirinya
sendiri. Bila diterapkan kepada pelaksanaan pengajaran maka hal itu merupakan upaya di dalam
mendidik murid-murid supaya dapat berperasaan, berpikiran dan bekerja merdeka demi pencapaian
tujuannya dan perlunya kemajuan sejati untuk diperoleh dalam perkembangan kodrati. Karya Warisan
Pertama Ki Hajar Dewantara adalah Taman Siswa yang menjadi representasi institusi pendidikan
pribumi pada masa kolonial dan tetap eksis sampai hari ini. Kedua adalah tulisan-tulisan Ki Hajar
Dewantara dalam bidang pendidikan dan kebudayaan. Tulisan-tulisan itu dikumpulkan dan diterbitkan
oleh Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa dalam buku Karya Ki Hadjar Dewantara Bagian I Pendidikan
(1962) dan Karya Ki Hadjar Dewantara Bagian II: Kebudayaan (1967).

Anda mungkin juga menyukai