Terlahir dengan nama Raden Mas Soewardi Soeryaningrat. Ia berasal dari lingkungan
keluarga kraton Yogyakarta. Raden Mas Soewardi Soeryaningrat, saat genap berusia
40 tahun menurut hitungan Tahun Caka, berganti nama menjadi Ki Hadjar
Dewantara. Semenjak saat itu, ia tidak lagi menggunakan gelar kebangsawanan di
depan namanya. Hal ini dimaksudkan supaya ia dapat bebas dekat dengan rakyat,
baik secara fisik maupun hatinya.
Selain ulet sebagai seorang wartawan muda, ia juga aktif dalam organisasi sosial dan
politik. Pada tahun 1908, ia aktif di seksi propaganda Boedi Oetomo untuk
mensosialisasikan dan menggugah kesadaran masyarakat Indonesia pada waktu itu
mengenai pentingnya persatuan dan kesatuan dalam berbangsa dan bernegara.
Kemudian, bersama Douwes Dekker (Dr. Danudirdja Setyabudhi) dan dr. Cipto
Mangoenkoesoemo, ia mendirikan Indische Partij (partai politik pertama yang
beraliran nasionalisme Indonesia) pada tanggal 25 Desember 1912 yang bertujuan
mencapai Indonesia merdeka.
Kemudian setelah ditolaknya pendaftaran status badan hukum Indische Partij ia pun
ikut membentuk Komite Bumipoetra pada November 1913. Komite itu sekaligus
sebagai komite tandingan dari Komite Perayaan Seratus Tahun Kemerdekaan Bangsa
Belanda. Komite Boemipoetra itu melancarkan kritik terhadap Pemerintah Belanda
yang bermaksud merayakan seratus tahun bebasnya negeri Belanda dari penjajahan
Prancis dengan menarik uang dari rakyat jajahannya untuk membiayai pesta
perayaan tersebut.
Sehubungan dengan rencana perayaan itu, ia pun mengkritik lewat tulisan berjudul
Als Ik Eens Nederlander Was (Seandainya Aku Seorang Belanda) dan Een voor Allen
maar Ook Allen voor Een (Satu untuk Semua, tetapi Semua untuk Satu Juga). Tulisan
Seandainya Aku Seorang Belanda yang dimuat dalam surat kabar de Expres milik dr.
Douwes Dekker itu antara lain berbunyi:
Pikiran untuk menyelenggarakan perayaan itu saja sudah menghina mereka dan
sekarang kita garuk pula kantongnya. Ayo teruskan penghinaan lahir dan batin itu!
Kalau aku seorang Belanda. Apa yang menyinggung perasaanku dan kawan-kawan
sebangsaku terutama ialah kenyataan bahwa bangsa inlander diharuskan ikut
mengongkosi suatu pekerjaan yang ia sendiri tidak ada kepentingannya sedikitpun".
Namun mereka menghendaki dibuang ke Negeri Belanda karena di sana mereka bisa
memperlajari banyak hal dari pada didaerah terpencil. Akhirnya mereka diijinkan ke
Negeri Belanda sejak Agustus 1913 sebagai bagian dari pelaksanaan hukuman.
Sementara itu, pada zaman Pendudukan Jepang, kegiatan di bidang politik dan
pendidikan tetap dilanjutkan. Waktu Pemerintah Jepang membentuk Pusat Tenaga
Rakyat (Putera) dalam tahun 1943, Ki Hajar duduk sebagai salah seorang pimpinan
di samping Ir. Soekarno, Drs. Muhammad Hatta dan K.H. Mas Mansur.
Dua tahun setelah mendapat gelar Doctor Honoris Causa itu, ia meninggal dunia pada
tanggal 28 April 1959 di Yogyakarta dan dimakamkan di sana.
Bangsa ini perlu mewarisi buah pemikirannya tentang tujuan pendidikan yaitu
memajukan bangsa secara keseluruhan tanpa membeda-bedakan agama, etnis, suku,
budaya, adat, kebiasaan, status ekonomi, status sosial, dan sebagainya, serta harus
didasarkan kepada nilai-nilai kemerdekaan yang asasi. ► crs, dari berbagai sumber
Aktivitas pergerakan
Selain ulet sebagai seorang wartawan muda, ia juga aktif dalam organisasi sosial dan
politik. Sejak berdirinya Boedi Oetomo (BO) tahun 1908, ia aktif di seksi propaganda
untuk menyosialisasikan dan menggugah kesadaran masyarakat Indonesia
(terutama Jawa) pada waktu itu mengenai pentingnya persatuan dan kesatuan dalam
berbangsa dan bernegara. Kongres pertama BO di Yogyakarta juga diorganisasi
olehnya.
Beberapa pejabat Belanda menyangsikan tulisan ini asli dibuat oleh Soewardi sendiri
karena gaya bahasanya yang berbeda dari tulisan-tulisannya sebelum ini. Kalaupun
benar ia yang menulis, mereka menganggap DD berperan dalam memanas-manasi
Soewardi untuk menulis dengan gaya demikian.
Akibat tulisan ini ia ditangkap atas persetujuan Gubernur Jenderal Idenburg dan
akan diasingkan ke Pulau Bangka (atas permintaan sendiri). Namun demikian kedua
rekannya, DD dan Tjipto Mangoenkoesoemo, memprotes dan akhirnya mereka
bertiga diasingkan ke Belanda (1913). Ketiga tokoh ini dikenal sebagai "Tiga
Serangkai". Soewardi kala itu baru berusia 24 tahun.
Dalam pengasingan
Dalam pengasingan di Belanda, Soewardi aktif dalam organisasi para pelajar asal
Indonesia, Indische Vereeniging (Perhimpunan Hindia).
Di sinilah ia kemudian merintis cita-citanya memajukan kaum pribumi dengan
belajar ilmu pendidikan hingga memperoleh Europeesche Akte, suatu ijazah
pendidikan yang bergengsi yang kelak menjadi pijakan dalam mendirikan lembaga
pendidikan yang didirikannya. Dalam studinya ini Soewardi terpikat pada ide-ide
sejumlah tokoh pendidikan Barat, seperti Froebel dan Montessori, serta pergerakan
pendidikan India, Santiniketan, oleh keluarga Tagore. Pengaruh-pengaruh inilah
yang mendasarinya dalam mengembangkan sistem pendidikannya sendiri.
Taman Siswa
Semboyan dalam sistem pendidikan yang dipakainya kini sangat dikenal di kalangan
pendidikan Indonesia. Secara utuh, semboyan itu dalam bahasa Jawa berbunyi ing
ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani. ("di depan menjadi
teladan, di tengah membangun semangat, dari belakang mendukung"). Semboyan ini
masih tetap dipakai dalam dunia pendidikan rakyat Indonesia, terlebih di sekolah-
sekolah Perguruan Tamansiswa.