Anda di halaman 1dari 16

Disusun Oleh:

Taufiqur Rahman

XI AK 2

Jl. Sultan Trenggono NO.87 Demak

SMKN1demak @yahoo.com
Ki hajar dewantara dan hari pendidikan nasional
Ki Hajar Dewantara Lahir di Yogyakarta pada tanggal 2 Mei 1889.Terlahir dengan nama Raden Mas Soewardi
Soeryaningrat. Ia berasal dari lingkungan keluarga kraton Yogyakarta. Raden Mas Soewardi Soeryaningrat, saat genap
berusia 40 tahun menurut hitungan Tahun Caka, berganti nama menjadi Ki Hadjar Dewantara. Semenjak saat itu, ia
tidak lagi menggunakan gelar kebangsawanan di depan namanya. Hal ini dimaksudkan supaya ia dapat bebas dekat
dengan rakyat, baik secara fisik maupun hatinya.
Perjalanan hidupnya benar-benar diwarnai perjuangan dan pengabdian demi kepentingan bangsanya. Ia
menamatkan Sekolah Dasar di ELS (Sekolah Dasar Belanda) Kemudian sempat melanjut ke STOVIA (Sekolah Dokter
Bumiputera), tapi tidak sampai tamat karena sakit. Kemudian ia bekerja sebagai wartawan di beberapa surat kabar
antara lain Sedyotomo, Midden Java, De Express, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer dan Poesara. Pada
masanya, ia tergolong penulis handal. Tulisan-tulisannya sangat komunikatif, tajam dan patriotik sehingga mampu
membangkitkan semangat antikolonial bagi pembacanya.
Selain ulet sebagai seorang wartawan muda, ia juga aktif dalam organisasi sosial dan politik. Pada tahun 1908,
ia aktif di seksi propaganda Boedi Oetomo untuk mensosialisasikan dan menggugah kesadaran masyarakat Indonesia
pada waktu itu mengenai pentingnya persatuan dan kesatuan dalam berbangsa dan bernegara.
Kemudian, bersama Douwes Dekker (Dr. Danudirdja Setyabudhi) dan dr. Cipto Mangoenkoesoemo, ia
mendirikan Indische Partij (partai politik pertama yang beraliran nasionalisme Indonesia) pada tanggal 25 Desember
1912 yang bertujuan mencapai Indonesia merdeka.
Mereka berusaha mendaftarkan organisasi ini untuk memperoleh status badan hukum pada pemerintah
kolonial Belanda. Tetapi pemerintah kolonial Belanda melalui Gubernur Jendral Idenburg berusaha menghalangi
kehadiran partai ini dengan menolak pendaftaran itu pada tanggal 11 Maret 1913. Alasan penolakannya adalah
karena organisasi ini dianggap dapat membangkitkan rasa nasionalisme rakyat dan menggerakan kesatuan untuk
menentang pemerintah kolonial Belanda.
Sehubungan dengan rencana perayaan itu, ia pun mengkritik lewat tulisan berjudul Als Ik Eens Nederlander
Was (Seandainya Aku Seorang Belanda) dan Een voor Allen maar Ook Allen voor Een (Satu untuk Semua, tetapi
Semua untuk Satu Juga). Tulisan Seandainya Aku Seorang Belanda yang dimuat dalam surat kabar de Expres milik dr.
Douwes Dekker itu antara lain berbunyi:
Sementara itu, pada zaman Pendudukan Jepang, kegiatan di bidang politik dan pendidikan tetap dilanjutkan.
Waktu Pemerintah Jepang membentuk Pusat Tenaga Rakyat (Putera) dalam tahun 1943, Ki Hajar duduk sebagai salah
seorang pimpinan di samping Ir. Soekarno, Drs. Muhammad Hatta dan K.H. Mas Mansur.
Setelah zaman kemedekaan, Ki hajar Dewantara pernah menjabat sebagai Menteri Pendidikan, Pengajaran dan
Kebudayaan yang pertama. Nama Ki Hadjar Dewantara bukan saja diabadikan sebagai seorang tokoh dan pahlawan
pendidikan (bapak Pendidikan Nasional) yang tanggal kelahirannya 2 Mei dijadikan hari Pendidikan Nasional, tetapi
juga ditetapkan sebagai Pahlawan Pergerakan Nasional melalui surat keputusan Presiden RI No.305 Tahun 1959,
tanggal 28 November 1959. Penghargaan lain yang diterimanya adalah gelar Doctor Honoris Causa dari Universitas
Gajah Mada pada tahun 1957.Dua tahun setelah mendapat gelar Doctor Honoris Causa itu, ia meninggal dunia pada
tanggal 28 April 1959 di Yogyakarta dan dimakamkan di sana.
Kemudian oleh pihak penerus perguruan Taman Siswa, didirikan Museum Dewantara Kirti Griya, Yogyakarta,
untuk melestarikan nilai-nilai semangat perjuangan Ki Hadjar Dewantara. Dalam museum ini terdapat benda-benda
atau karya-karya Ki Hadjar sebagai pendiri Tamansiswa dan kiprahnya dalam kehidupan berbangsa. Koleksi museum
yang berupa karya tulis atau konsep dan risalah-risalah penting serta data surat-menyurat semasa hidup Ki Hadjar
sebagai jurnalis, pendidik, budayawan dan sebagai seorang seniman telah direkam dalam mikrofilm dan dilaminasi
atas bantuan Badan Arsip Nasional.
Bangsa ini perlu mewarisi buah pemikirannya tentang tujuan pendidikan yaitu memajukan bangsa secara
keseluruhan tanpa membeda-bedakan agama, etnis, suku, budaya, adat, kebiasaan, status ekonomi, status sosial,
dan sebagainya, serta harus didasarkan kepada nilai-nilai kemerdekaan yang asasi.
Hari lahirnya, diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional. Ajarannya yang terkenal ialah tut wuri handayani
(di belakang memberi dorongan), ing madya mangun karsa (di tengah menciptakan peluang untuk berprakarsa), ing
ngarsa sungtulada (di depan memberi teladan).

Ki Hajar Dewantara dalam hari pendidikan nasional


Pendiri Taman Siswa ini adalah Bapak Pendidikan Nasional. Lahir di Yogyakarta pada tanggal 2 Mei 1889.
Hari lahirnya, diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional. Ajarannya yang terkenal ialah tut wuri
handayani (di belakang memberi dorongan), ing madya mangun karsa (ditengah menciptakan peluang untuk
berprakarsa), ing ngarsa sungtulada(di depan memberi teladan). Ia meninggal dunia di Yogyakarta tanggal
28 April 1959 dan dimakamkan di sana.

Perjalanan hidupnya benar-benar diwarnai perjuangan dan pengabdian demi kepentingan bangsanya. Ia
menamatkan Sekolah Dasar di ELS (Sekolah Dasar Belanda) Kemudian sempat melanjut ke STOVIA
(Sekolah Dokter Bumiputera), tapi tidak sampai tamat karena sakit. Kemudian ia bekerja sebagai wartawan
di beberapa surat kabar antara lain Sedyotomo, Midden Java, De Express, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda,
Tjahaja Timoer dan Poesara. Pada masanya, ia tergolong penulis handal. Tulisan-tulisannya sangat
komunikatif, tajam dan patriotik sehingga mampu membangkitkan semangat antikolonial bagi pembacanya.

Selain ulet sebagai seorang wartawan muda, ia juga aktif dalam organisasi sosial dan politik. Pada tahun
1908, ia aktif di seksi propaganda Boedi Oetomo untuk mensosialisasikan dan menggugah kesadaran
masyarakat Indonesia pada waktu itu mengenai pentingnya persatuan dan kesatuan dalam berbangsa dan
bernegara.

Mereka berusaha mendaftarkan organisasi ini untuk memperoleh status badan hukum pada pemerintah
kolonial Belanda. Tetapi pemerintah kolonial Belanda melalui Gubernur Jendral Idenburg berusaha
menghalangi kehadiran partai ini dengan menolak pendaftaran itu pada tanggal 11 Maret 1913. Alasan
penolakannya adalah karena organisasi ini dianggap dapat membangkitkan rasa nasionalisme rakyat dan
menggerakan kesatuan untuk menentang pemerintah kolonial Belanda.

Kemudian setelah ditolaknya pendaftaran status badan hukum Indische Partij ia pun ikut membentuk Komite
Bumipoetra pada November 1913. Komite itu sekaligus sebagai komite tandingan dari Komite Perayaan
Seratus Tahun Kemerdekaan Bangsa Belanda. Komite Boemipoetra itu melancarkan kritik terhadap
Pemerintah Belanda yang bermaksud merayakan seratus tahun bebasnya negeri Belanda dari penjajahan
Prancis dengan menarik uang dari rakyat jajahannya untuk membiayai pesta
perayaan tersebut.

Akibat karangannya itu, pemerintah kolonial Belanda melalui Gubernur Jendral Idenburg menjatuhkan
hukuman tanpa proses pengadilan, berupa hukuman internering (hukum buang) yaitu sebuah hukuman
dengan menunjuk sebuah tempat tinggal yang boleh bagi seseorang untuk bertempat tinggal. Ia pun dihukum
buang ke Pulau Bangka.

Namun mereka menghendaki dibuang ke Negeri Belanda karena di sana mereka bisa memperlajari banyak
hal dari pada di daerah terpencil. Akhirnya mereka diijinkan ke Negeri Belanda sejak Agustus 1913 sebagai
bagian dari pelaksanaan hukuman.

Setelah pulang dari pengasingan, bersama rekan-rekan seperjuangannya, ia pun mendirikan sebuah
perguruan yang bercorak nasional, Nationaal Onderwijs Instituut Tamansiswa (Perguruan Nasional
Tamansiswa) pada 3 Juli 1922. Perguruan ini sangat menekankan pendidikan rasa kebangsaan kepada
peserta didik agar mereka mencintai bangsa dan tanah air dan berjuang untuk memperoleh kemerdekaan.

Setelah zaman kemedekaan, Ki Hajar Dewantara pernah menjabat sebagai Menteri Pendidikan, Pengajaran
dan Kebudayaan yang pertama. Nama Ki Hadjar Dewantara bukan saja diabadikan sebagai seorang tokoh
dan pahlawan pendidikan (bapak Pendidikan Nasional) yang tanggal kelahirannya 2 Mei dijadikan hari
Pendidikan Nasional, tetapi juga ditetapkan sebagai Pahlawan Pergerakan Nasional melalui surat keputusan
Presiden RI No.305 Tahun 1959, tanggal 28 November 1959. Penghargaan lain yang diterimanya adalah
gelar Doctor Honoris Causa dari Universitas Gajah Mada pada tahun 1957. Dua tahun setelah mendapat
gelar Doctor Honoris Causa itu, ia meninggal dunia pada tanggal 28 April 1959 di Yogyakarta dan
dimakamkan di sana.
Napak Tilas Perjuangan Ki Hajar Dewantara dalam hari
pendidikan nasional
Sosbud / Selasa, 4 Mei 2010 12:53 WIB

SETIAP memperingati hari Pendidikan Nasional setiap tanggal 2 Mei kita diingatkan pada Bapak
Pendidikan Nasional Ki Hajar Dewantara yang terkenal karena perjuangan untuk pendidikan kaum pribumi
dengan mendirikan Taman Siswa di Yogyakarta.

Jika Anda berkesempatan datang ke Yogyakarta untuk berlibur maka sempatkanlah mengunjungi makam
dan museum ini. Sedikit banyak Anda akan terbayang petikan-petikan sejarah dari perjuangan Ki Hajar
Dewantara di zaman kolonial.

Jika posisi Anda di Jalan Malioboro, dengan berjalan ke arah timur kira-kira 2 kilometer tepatnya di Jalan
Tamansiswa No.31 Anda bisa menemukan Museum Dewantara Kirti Griya yang menyimpan peninggalan
dan dokumentasi dari tokoh yang tergabung dalam kelompok "tiga serangkai" ini.

Museum ini akan memberikan pengalaman tersendiri bagi Anda karena sekelumit gambaran tentang
kehidupan Ki Hadjar Dewantara, baik dalam kancah pendidikan, politik, dan juga kehidupan keluarga masih
tersimpan rapi. Bangunan museum ini juga masih dipertahankan sesuai dengan keadaan saat beliau dan
keluarga tinggal ditempat ini.

Satu hal yang menunjukan kesederhanaan di museum ini adalah tidak terteranya harga tiket masuk. Di depan
pintu masuk hanya terdapat semacam kotak untuk menerima sumbangan biaya tiket dan harganya juga tidak
ditentukan. Ini akan mengingatkan kita akan perjuangan beliau yang tanpa pamrih.

Museum ini buka setiap hari kerja. Hari Senin sampai Kamis mulai pukul 08:00-14:00 WIB, hari Juma't
mulai pukul 08:00-11:00 WIB, dan hari Sabtu mulai pukul 08:00-12.30 WIB. Saat memasuki bangunan
seluas 300 meter persegi ini Anda akan merasa nyaman karena bentuk bangunan seperti rumah biasa
sehingga menimbulkan kesan ramah.

Setelah memuaskan dahaga akan cuplikan sejarah kehidupan Ki Hajar Dewantara, Anda bisa melanjutkan
perjalanan dengan mengunjungi makam beliau yang terletak di kompleks Taman Wijayabrata yang
merupakan makam keluarga besar Taman Siswa.

Yogyakarta terkenal sebagai Kota Pelajar, maka tidak lengkap rasanya apabila Anda berkunjung tanpa
mendatangai kedua tempat yang mengandung nilai bersejarah bagi perjalanan pendidikan di Indonesia ini.
(MI/ICH)
Ki Hajar Dewantara dan Taman Siswa

Redaktur Achmad Zulfikar Saturday, May 1, 2010


Setelah pulang dari pengasingan, bersama rekan-rekan seperjuangannya, ia pun mendirikan sebuah perguruan yang
bercorak nasional, Nationaal Onderwijs Instituut Tamansiswa (Perguruan Nasional Tamansiswa) pada 3 Juli 1922.

Perguruan ini sangat menekankan pendidikan rasa kebangsaan kepada peserta didik agar mereka mencintai bangsa
dan tanah air dan berjuang untuk memperoleh kemerdekaan.

Taman Siswa Tempoe Doloe

Tidak sedikit rintangan yang dihadapi dalam membina Taman Siswa. Pemerintah kolonial Belanda berupaya
merintanginya dengan mengeluarkan Ordonansi Sekolah Liar pada 1 Oktober 1932. Tetapi dengan kegigihan
memperjuangkan haknya, sehingga.. ordonansi itu kemudian dicabut.

Di tengah keseriusannya mencurahkan perhatian dalam dunia pendidikan di Taman Siswa, ia juga tetap rajin menulis.
Namun tema tulisannya beralih dari nuansa politik ke pendidikan dan kebudayaan berwawasan kebangsaan.
Tulisannya berjumlah ratusan buah. Melalui tulisan-tulisan itulah dia berhasil meletakkan dasar-dasar pendidikan
nasional bagi bangsa Indonesia.

Sementara itu, pada zaman Pendudukan Jepang, kegiatan di bidang politik dan pendidikan tetap dilanjutkan. Waktu
Pemerintah Jepang membentuk Pusat Tenaga Rakyat (Putera) dalam tahun 1943, Ki Hajar duduk sebagai salah
seorang pimpinan di samping Ir. Soekarno, Drs. Muhammad Hatta dan K.H. Mas Mansur.

Semua manusia yang hidup pasti akan mati , begitulah jalan hidup . Akhirnya, Ki Hajar Dewantara meninggal dunia
pada tanggal 28 April 1959 di Yogyakarta dan dimakamkan di sana. Semoga Jasa beliau terus dikenang sepanjang
masa .

Setelah meninggalnya Ki Hajar Dewantara oleh pihak penerus perguruan Taman Siswa, didirikan Museum
Dewantara Kirti Griya, Yogyakarta, untuk melestarikan nilai-nilai semangat perjuangan Ki Hajar Dewantara. Dalam
museum ini terdapat benda-benda atau karya-karya Ki Hajar sebagai pendiri Taman Siswa dan kiprahnya dalam
kehidupan berbangsa.

Koleksi museum yang berupa karya tulis atau konsep dan risalah-risalah penting serta data surat-menyurat semasa
hidup Ki Hajar sebagai jurnalis, pendidik, budayawan dan sebagai seorang seniman telah direkam dalam mikrofilm
dan dilaminasi atas bantuan Badan Arsip Nasional.

Bangsa ini perlu mewarisi buah pemikirannya tentang tujuan pendidikan yaitu memajukan bangsa secara
keseluruhan tanpa membeda-bedakan agama, etnis, suku, budaya, adat, kebiasaan, status ekonomi, status sosial,
dan sebagainya, serta harus didasarkan kepada nilai-nilai kemerdekaan yang asasi.

Ki Hajar Dewantara dengan Ajarannya yang terkenal ialah tut wuri handayani, ing madya mangun karsa , dan ing
ngarsa sungtulada.

Berkat Jasa Ki Hajar Dewantara di bidang Pendidikan maka , tanggal kelahirannya 2 Mei dijadikan hari Pendidikan
Nasional, dan juga ditetapkan sebagai Pahlawan Pergerakan Nasional melalui surat keputusan Presiden RI No.305
Tahun 1959, pada tanggal 28 November 1959.
Sejarah Ki Hadjar Dewantara bersama hari pendidikan nasional

Raden Mas Soewardi Soerjaningrat (EYD: Suwardi Suryaningrat, sejak 1922 menjadi Ki Hadjar Dewantara,
EYD: Ki Hajar Dewantara, beberapa menuliskan bunyi bahasa Jawanya dengan Ki Hajar Dewantoro; lahir di
Yogyakarta, 2 Mei 1889 – meninggal di Yogyakarta, 26 April 1959 pada umur 69 tahun[1]; selanjutnya disingkat
sebagai "Soewardi" atau "KHD") adalah aktivis pergerakan kemerdekaan Indonesia, kolumnis, politisi, dan pelopor
pendidikan bagi kaum pribumi Indonesia dari zaman penjajahan Belanda. Ia adalah pendiri Perguruan Taman Siswa,
suatu lembaga pendidikan yang memberikan kesempatan bagi para pribumi jelata untuk bisa memperoleh hak
pendidikan seperti halnya para priyayi maupun orang-orang Belanda.
Tanggal kelahirannya sekarang diperingati di Indonesia sebagai Hari Pendidikan Nasional. Bagian dari semboyan
ciptaannya, tut wuri handayani, menjadi slogan Departemen Pendidikan Nasional. Namanya diabadikan sebagai salah
sebuah nama kapal perang Indonesia, KRI Ki Hajar Dewantara. Potret dirinya diabadikan pada uang kertas pecahan
20.000 rupiah.

Masa muda dan awal karier


Soewardi berasal dari lingkungan keluarga Keraton Yogyakarta. Ia menamatkan pendidikan dasar di ELS (Sekolah
Dasar Eropa/Belanda). Kemudian sempat melanjut ke STOVIA (Sekolah Dokter Bumiputera), tapi tidak sampai tamat
karena sakit. Kemudian ia bekerja sebagai penulis dan wartawan di beberapa surat kabar antara lain Sediotomo,
Midden Java, De Expres, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer, dan Poesara. Pada masanya, ia tergolong
penulis handal. Tulisan-tulisannya komunikatif dan tajam dengan semangat antikolonial.

Aktivitas pergerakan
Selain ulet sebagai seorang wartawan muda, ia juga aktif dalam organisasi sosial dan politik. Sejak berdirinya Boedi
Oetomo (BO) tahun 1908, ia aktif di seksi propaganda untuk menyosialisasikan dan menggugah kesadaran masyarakat
Indonesia (terutama Jawa) pada waktu itu mengenai pentingnya persatuan dan kesatuan dalam berbangsa dan
bernegara. Kongres pertama BO di Yogyakarta juga diorganisasi olehnya.
Soewardi muda juga menjadi anggota organisasi Insulinde, suatu organisasi multietnik yang didominasi kaum Indo
yang memperjuangkan pemerintahan sendiri di Hindia Belanda, atas pengaruh Ernest Douwes Dekker (DD). Ketika
kemudian DD mendirikan Indische Partij, Soewardi diajaknya pula.

Dalam pengasingan
Dalam pengasingan di Belanda, Soewardi aktif dalam organisasi para pelajar asal Indonesia, Indische Vereeniging
(Perhimpunan Hindia).
Di sinilah ia kemudian merintis cita-citanya memajukan kaum pribumi dengan belajar ilmu pendidikan hingga
memperoleh Europeesche Akte, suatu ijazah pendidikan yang bergengsi yang kelak menjadi pijakan dalam mendirikan
lembaga pendidikan yang didirikannya. Dalam studinya ini Soewardi terpikat pada ide-ide sejumlah tokoh pendidikan
Barat, seperti Froebel dan Montessori, serta pergerakan pendidikan India, Santiniketan, oleh keluarga Tagore.
Pengaruh-pengaruh inilah yang mendasarinya dalam mengembangkan sistem pendidikannya sendiri.

Taman Siswa
Soewardi kembali ke Indonesia pada bulan September 1919. Segera kemudian ia bergabung dalam sekolah binaan
saudaranya. Pengalaman mengajar ini kemudian digunakannya untuk mengembangkan konsep mengajar bagi sekolah
yang ia dirikan pada tanggal 3 Juli 1922: Nationaal Onderwijs Instituut Tamansiswa atau Perguruan Nasional
Tamansiswa. Saat ia genap berusia 40 tahun menurut hitungan penanggalan Jawa, ia mengganti namanya menjadi Ki
Hadjar Dewantara. Ia tidak lagi menggunakan gelar kebangsawanan di depan namanya. Hal ini dimaksudkan supaya ia
dapat bebas dekat dengan rakyat, baik secara fisik maupun jiwa.
Semboyan dalam sistem pendidikan yang dipakainya kini sangat dikenal di kalangan pendidikan Indonesia. Secara
utuh, semboyan itu dalam bahasa Jawa berbunyi ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri
handayani. ("di depan menjadi teladan, di tengah membangun semangat, dari belakang mendukung"). Semboyan ini
masih tetap dipakai dalam dunia pendidikan rakyat Indonesia, terlebih di sekolah-sekolah Perguruan Tamansiswa.

Pengabdian di masa Indonesia merdeka


Dalam kabinet pertama Republik Indonesia, KHD diangkat menjadi Menteri Pengajaran Indonesia (posnya disebut
sebagai Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan) yang pertama. Pada tahun 1957 ia mendapat gelar doktor
kehormatan (doctor honoris causa, Dr.H.C.) dari universitas tertua Indonesia, Universitas Gadjah Mada. Atas jasa-
jasanya dalam merintis pendidikan umum, ia dinyatakan sebagai Bapak Pendidikan Nasional Indonesia dan hari
kelahirannya dijadikan Hari Pendidikan Nasional (Surat Keputusan Presiden RI no. 305 tahun 1959, tanggal
28 November 1959).
Ia meninggal dunia di Yogyakarta tanggal 26 April 1959.
Pendidikan tempo dulu

Pada masa tahun 1945 sampai 1960-an, para gadis remaja masih mendapat nasehat nasehat tentang
etika, dunia wanita dewasa, pendidikan ketrampilan wanita seperti pekerjaan rumah tangga, menjahit dan
memasak dan sebagainya langsung dari ibunya atau dari anggota keluarga lainnya seperti tante, bude atau
sesepuh lainnya.
Ungkapan bahwa “sorga dibawah telapak kaki ibu” adalah suatu ungkapan yang sangat dalam artinya
yang secara umum bisa diartikan bahwa masa depan anak tergantung kepada kepandaian dan tingkat
pendidikan ibu. Lebih jauh lagi dapat dikatakan bahwa masa depan bangsa tergantung pada peran ibu,
sehingga ada ungkapan menyatakan bahwa “Wanita adalah tiang negara, rusak wanita, rusaklah negara”.
Pengaruh seorang ibu terhadap anak amat besar pengaruhnya. Betapa tidak, sejak bayi masih dalam
kandungan ibu sudah menentukan masa depan (kesehatan) bayi yang akan lahir kelak. Sekarang sangat
mudah mendapatkan bukti bukti yang konkrit, misalnya bila bayi itu memang dikehendaki, dia akan lahir
dengan baik dan sempurna demikian pula pertumbuhannya sebaliknya bila tidak dikehendaki, maka bayi itu
akan lahir cacat, digugurkan atau terlantar setelah lahir akibat dari upaya melenyapkan rasa malu dengan
minum jamu, obat obatan atau tidak merawat kandungan dengan baik. Belum lagi bagi perkawinan yang sah,
hanya karena kemiskinan, karena terlalu banyak anak akhirnya anak menjadi “terlantar” sengaja maupun
tidak sengaja.
Demikianlah maka sejak dalam kandungan ibu sudah menentukan masa depan bayi dan selanjutnya
masa depan anaknya dengan “pitutur” atau petuah2 yang selalu diberikan bahkan sampai akan menginjak
masa berumah tangga.
Berdasarkan arsip sejarah Indonesia, wanita sejak jaman dahulu kala dipersiapkan menjadi ibu yang baik,
yang bijaksana, menjadi panutan bagi anak anaknya bahkan di lingkungan kerajaan terkadang memang
disiapkan untuk menjadi pendamping raja atau bahkan memimpin kerajaan, baik sebagai ibu suri maupun
sebagai ratu, terbukti keberhasilan pemerintahan Ratu Sima (abad ke 7) dari kerajaan Kalingga, maupun
Tribhuana Tunggadewi yang naik tahta pada th.1328 di kerajaan Majapahit, demikian pula di Aceh, Sumatra
Barat, Sulawesi Selatan dll.
Pendidikan tempo dulu pada umumnya diberikan langsung oleh ibu, diarahkan oleh ayah dan
sekaligus juga diberi contoh sebagai suri tauladan oleh orang tua maupun orang orang sekelilingnya yang
sangat dijaga agar tetap berada dalam suasana tertib, santun sesuai dengan pelajaran dan contoh etika yang
diberikan.
Meskipun anak anak gadis bersekolah disekolah umum, tetapi dirumah tetap mengikuti dan patuh
pada pola tradisi yang ada. Sehingga meskipun berpendidikan tinggi, etika dan tradisi masih dijaga dengan
baik.
Dalam buku “Wulang Estri” karya Sri Paku Alam ke II, tertulis wejangan/nasehat bagi wanita dari
seorang ayah kepada putrinya yang ditulis dalam bentu mocopat, dengan bahasa Jawa bagaimana menyikapi
masa depan yaitu menjadi ibu rumah tangga yang baik.
Adapun isi buku “Wulang Estri” tersebut antara lain adalah:
a. Mengenai pengetahuan (kecakapan) berumah tangga yang harus diketahui oleh para wanita, seluk beluk
berumah tangga yaitu :
b. Petuah untuk tidak sombong dan berbuat semena mena, yaitu:
c. Mengerti obat obatan/jamu serta merawat diri agar tetap sehat dan cantik:
d. Wanita harus pandai berhemat dan cermat:
Sebenarnya masih banyak contoh contoh pendidikan perempuan yang diwujudkan dalam bentuk
tembang, maka empat buah contoh bait diatas adalah gambaran ajaran para orang tua kepada anak
gadisnya yang dipersiapkan menyongsong masa depan dalam rumah tangga, yaitu harus
bijaksana,cerdas limpat, waspada, sabar, narima, bekti nastiti, gemi, gumati, cawis lan tansah manis
merak ati.
Pendidikan wanita Jawa Tempo Doeloe ini, hendaknya dapat kita jadikan perbandingan, mana yang baik kita
terapkan, dan yang kurang baik dan tidak sesuai dengan jaman kita tinggalkan.
Namun demikian yang pasti adalah pentingnya dan perlunya para ibu memberikan petuah kepada putri
putrinya, sebagai bekal menghadapi hidup agar tidak mudah terjadi keretakan rumah tangga yang
mempengaruhi perkembangan anak anak. Sebagai penutup tulisan ini,marilah kita simak kata kata pujangga
besar Jawa, Raden Ranggawarsita yang berbunyi: “Wadon nir wadonira,karana kaprabaweng salokorukmi”
yang artinya: Sifat wanita akan hilang karena pengaruh harta benda.
KejamnyaPendidikan Zaman Dulu
Tri Hartati (47) masih ingat apa saja yang dibawanya dalam tas saat duduk di bangku sekolah dasar. Sebuah
sabak, beberapa kapur, dan kain gombal atau kain bekas. "Kalau ketemu guru, mengucapkan selamat pagi.
Jalan di depan guru, nunduk. Guru-guru saya galak. Kalau tidak membuat pekerjaan rumah, saya dimarahi
atau disetrap (berdiri di kelas) dan membersihkan toilet," ujar Tri, sembari tertawa.

Kenangan terhadap sabak-alat tulis zaman dulu berupa papan tulis kecil dengan bingkai kayu-menyeruak
benak Tri ketika melihat Pameran Pendidikan Tempo Doeloe, pekan lalu di SLB Pembina, Yogyakarta.

Tri sebenarnya hanya mengalami masa "sabak" selama dua tahun, yakni ketika duduk di kelas I dan II SD
Panembahan, Yogyakarta. Menginjak kelas III, era buku tulis dan pensil sudah masuk. Namun, sabak tetap
diingat karena selalu membuatnya tertawa geli. Juga masa- masa ketika ia telanjang kaki saat sekolah.

Wanita yang sekarang mengajar di SLB Darma Rena Ring Putra Yogyakarta ini mengakui, dulu, para guru
"cukup otoriter" dalam mengajar. Karena itulah, murid-murid jadi patuh. Anehnya, Tri tak dendam kepada
guru, bahkan sayang. Ia masih hafal wajah guru-guru yang pernah mengajarnya.

Apa yang dikatakan Tri, walaupun singkat, memberi gambaran sistem pendidikan zaman dulu. Pameran di
SLB Pembina yang diselenggarakan Museum Anak Kolong Tangga bersama Dinas Pendidikan DIY 18-23
Januari itu mengajak benak menelusuri "keunikan" pendidikan zaman dulu di penjuru dunia.

Selain beberapa sabak, ada juga rapor berbahasa Belanda milik siswa di Yogyakarta tahun 1938 atau 1939.
Ada juga aneka buku bacaan dan pelajaran bagi siswa SD yang ditulis bersama oleh orang pribumi dan
Belanda. Misalnya, buku berjudul Gelis Pinter Matja karangan R Wignjadisastra dan A Van Dijck yang
diterbitkan tahun 1933.

Lewat buku-buku itu tecermin bagaimana Indonesia dijajah Belanda. Semakin kentara hal itu jika
mencermati gambar ilustrasi dari buku sekolah berbahasa Belanda. Seorang guru Belanda sedang mengajar
sejumlah murid pribumi. Sang guru mengenakan sepatu, para murid nyeker, telanjang kaki.

Bagaimana dengan negara lain? Ternyata setali tiga uang. Pelukis Belanda, Jan Steen, tahun 1665 melukis
seorang anak yang hendak dipukul gurunya dengan plak karena tulisannya buruk. Plak merupakan alat
seperti tongkat kayu. Dalam ilustrasi sebuah buku berbahasa Belanda, seorang murid digambarkan sedang
dipukul pantatnya oleh guru. Tersemat tulisan di sana, yang artinya "guru adalah tirani".

Sama seperti Indonesia, China juga mengalami "penjajahan" dalam bidang pendidikan. Lembaran kertas
yang berisi deretan kalimat berbahasa Inggris bersanding dengan terjemahannya dalam huruf China. Kertas
keluaran tahun 1943 itu diedarkan di Hollywood.

"Dulu, orang-orang China yang tinggal di Hollywood diharuskan bisa berbahasa Inggris," ujar Astuti
Kusumaningrum, Sekretaris Yayasan Dunia Damai yang menaungi Museum Anak Kolong.

Menjelajah pendidikan tempo dulu tak hanya menyiratkan hal suram karena banyak pula keasyikan.
Misalnya, mencermati alat-alat tulis yang dipakai. Salah satunya dypticon, alat tulis Yunani berupa kotak
yang diisi penuh dengan lilin. Walau hanya replika, itu sudah cukup. Ada juga kotak mainan dari kayu
hingga rautan bergambar wajah kartun.

Wajah pendidikan dari zaman ke zaman terentang lewat puluhan teks, foto, buku, dan lukisan koleksi
Museum Anak Kolong Tangga ini. Pendidikan zaman dulu tak seindah dan secanggih sekarang. Namun,
hasilnya tidak lagi diragukan. Sejarah telah mencatat.
Sulitnya pendidikanTempoe Doloe

Tidak sedikit rintangan yang dihadapi dalam membina Taman Siswa. Pemerintah kolonial Belanda
berupaya merintanginya dengan mengeluarkan Ordonansi Sekolah Liar pada 1 Oktober 1932. Tetapi
dengan kegigihan memperjuangkan haknya, sehingga.. ordonansi itu kemudian dicabut.

Di tengah keseriusannya mencurahkan perhatian dalam dunia pendidikan di Taman Siswa, ia juga tetap
rajin menulis. Namun tema tulisannya beralih dari nuansa politik ke pendidikan dan kebudayaan
berwawasan kebangsaan. Tulisannya berjumlah ratusan buah. Melalui tulisan-tulisan itulah dia berhasil
meletakkan dasar-dasar pendidikan nasional bagi bangsa Indonesia.

Sementara itu, pada zaman Pendudukan Jepang, kegiatan di bidang politik dan pendidikan tetap
dilanjutkan. Waktu Pemerintah Jepang membentuk Pusat Tenaga Rakyat (Putera) dalam tahun 1943, Ki
Hajar duduk sebagai salah seorang pimpinan di samping Ir. Soekarno, Drs. Muhammad Hatta dan K.H. Mas
Mansur.

Semua manusia yang hidup pasti akan mati , begitulah jalan hidup . Akhirnya, Ki Hajar Dewantara
meninggal dunia pada tanggal 28 April 1959 di Yogyakarta dan dimakamkan di sana. Semoga Jasa beliau
terus dikenang sepanjang masa .

Setelah meninggalnya Ki Hajar Dewantara oleh pihak penerus perguruan Taman Siswa, didirikan Museum
Dewantara Kirti Griya, Yogyakarta, untuk melestarikan nilai-nilai semangat perjuangan Ki Hajar Dewantara.
Dalam museum ini terdapat benda-benda atau karya-karya Ki Hajar sebagai pendiri Taman Siswa dan
kiprahnya dalam kehidupan berbangsa.

Koleksi museum yang berupa karya tulis atau konsep dan risalah-risalah penting serta data surat-menyurat
semasa hidup Ki Hajar sebagai jurnalis, pendidik, budayawan dan sebagai seorang seniman telah direkam
dalam mikrofilm dan dilaminasi atas bantuan Badan Arsip Nasional.

Bangsa ini perlu mewarisi buah pemikirannya tentang tujuan pendidikan yaitu memajukan bangsa secara
keseluruhan tanpa membeda-bedakan agama, etnis, suku, budaya, adat, kebiasaan, status ekonomi, status
sosial, dan sebagainya, serta harus didasarkan kepada nilai-nilai kemerdekaan yang asasi.

Ki Hajar Dewantara dengan Ajarannya yang terkenal ialah tut wuri handayani, ing madya mangun karsa ,
dan ing ngarsa sungtulada.

Berkat Jasa Ki Hajar Dewantara di bidang Pendidikan maka , tanggal kelahirannya 2 Mei dijadikan hari
Pendidikan Nasional, dan juga ditetapkan sebagai Pahlawan Pergerakan Nasional melalui surat keputusan
Presiden RI No.305 Tahun 1959, pada tanggal 28 November 1959.
Mengintip Sejarah Pendidikan Indonesia tempo dulu saat belanda berkuasa

Kesulitan keuangan dari Belanda akibat Perang Dipenogoro pada tahun 1825 sampai 1830 (Mestoko
dkk,1985:11, Mubyarto,1987:26) serta perang Belanda dan Belgia (1830-1839) mengeluarkan biaya yang
mahal dan menelan banyak korban. Belanda membuat siasat agar pengeluaran untuk peperangan dapat
ditutupi dari negara jajahan. Kerja paksa dianggap cara yang paling ampuh untuk memperoleh keuntungan
yang maksimal yang dikenal dengan cultuurstelsel atau tanam paksa (Nasution, 1987:11). Kerja paksa dapat
dijalankan sebagai cara yang praktis untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya. Rakyat miskin selalu
menjadi bagian yang dirugikan karena digunakan sebagai tenaga kerja murah. Rakyat miskin yang sebagian
bekerja sebagai petani juga dimanfaatkan untuk menambah kas negara penguasa.
Untuk melancarkan misi pendidikan demi pemenuhan tenaga kerja murah, pemerintah
mengusahakan agar bahasa Belanda bisa diujarkan oleh masyarakat untuk mempermudah komunikasi antara
pribumi dan Belanda. Lalu, bahasa Belanda menjadi syarat Klein Ambtenaarsexamen atau ujian pegawai
rendah pemerintah pada tahun 1864. (Nasution, 1987:7). Syarat tersebut harus dipenuhi para calon pegawai
yang akan digaji murah. Pegawai sedapat mungkin dipilih dari anak-anak kaum ningrat yang telah
mempunyai kekuasaan tradisional dan berpendidikan untuk menjamin keberhasilan perusahaan (Nasution,
1987:12). Jadi, anak dari kaum ningrat dianggap dapat membantu menjamin hasil tanam paksa lebih efektif,
karena masyarakat biasa mengukuti perintah para ningrat. Suatu keadaan yang sangat ironis, kehidupan
terdiri dari lapisan-lapisan sosial yaitu golongan yang dipertuan (orang Belanda) dan golongan pribumi
sendiri terdapat golongan bangsawan dan orang kebanyakan.
Pendidikan dasar berkembang sampai tahun 1930 dan terhambat karena krisis dunia, tidak terkecuali
menerpa Hindia Belanda yang disebut mangalami malaise (Mestoko dkk, 1985 :123). Masa krisis ekonomi
merintangi perkembangan lembaga pendidikan. Lalu, lembaga pendidikan dibuat dengan biaya yang lebih
murah. Kebijakan yang dibuat termasuk penyediaan tenaga pengajar yang terdiri dari tenaga guru untuk
sekolah dasar yang tidak mempunyai latar belakang pendidikan guru (Mestoko, 1985:158), bahkan lulusan
sekolah kelas dua dianggap layak menjadi guru. Masalah lain yang paling mendasar adalah penduduk sulit
mendapatkan uang sehingga pendidikan bagi orang kurang mampu merupakan beban yang berat. Jadi,
pendidikan semakin sulit dijangkau oleh orang kebanyakan. Pendidikan dibuat untuk alat penguasa, orang
kebanyakan menjadi target yang empuk diberi pengetahuan untuk dijadikan tenaga kerja yang murah.
Pendidikan dibuat oleh Belanda memiliki ciri-ciri tertentu. Pertama, gradualisme yang luar biasa
untuk penyediaan pendidikan bagi anak-anak Indonesia. Belanda membiarkan penduduk Indonesia dalam
keadaan yang hampir sama sewaktu mereka menginjakkan kaki, pendidikan tidak begitu diperhatikan.
Kedua, dualisme diartikan berlaku dua sistem pemerintahan, pengadilan dari hukum tersendiri bagi golongan
penduduk. Pendidikan dibuat terpisah, pendidikan anak Indonesia berada pada tingkat bawah. Ketiga,
kontrol yang sangat kuat.
Pemerintah Belanda berada dibawah kontrol Gubernur Jenderal yang menjalankan pemerintahan atas
nama raja Belanda. Pendidikan dikontrol secara sentral, guru dan orang tua tidak mempunyai pengeruh
langsung politik pendidikan. Keempat, Pendidikan beguna untuk merekrut pegawai. Pendidikan bertujuan
untuk mendidik anak-anak menjadi pegawai perkebunan sebagai tenaga kerja yang murah. Kelima, prinsip
konkordasi yang menjaga agar sekolah di Hindia Belanda mempunyai kurikulum dan standar yang sama
dengan sekolah di negeri Belanda, anak Indonesia tidak berhak sekolah di pendidikan Belanda. Keenam,
tidak adanya organisasi yang sistematis. Pendidikan dengan ciri-cri tersebut diatas hanya merugikan anak-
anak kurang mampu. Pemerintah Belanda lebih mementingkan keuntungan ekonomi daripada perkembangan
pengetahuan anak-anak Indonesia.
Pemerintah Belanda juga membuat sekolah desa. Sekolah desa sebagai siasat untuk mengeluarkan
biaya yang murah. Sekolah desa diciptakan pada tahun 1907. Tipe sekolah desa yang dianggap paling cocok
oleh Gubernur Jendral Van Heutz sebagai sekolah murah dan tidak mengasingkan dari kehidupan agraris
(Nasution, 1987:78). Kalau lembaga pendidikan disamakan dengan sekolah kelas dua, pemerintah takut
penduduk tidak bekerja lagi di sawah. Penduduk diupayakan tetap menjadi tenaga kerja demi pengamankan
hasil panen.
Sekolah desa dibuat dengan biaya serendah mungkin. Pesantren diubah menjadi madrasah yang
memiliki kurikulum bersifat umum. Pesatren dibumbui dengan pengetahuan umum. Cara tersebut dianggap
efektif, sehingga pemerintah tidak usah membangun sekolah dan mengeluarkan biaya (Nasution, 1987:80).
Guru sekolah diambil dari lulusan sekolah kelas dua, dianggap sanggup menjadi guru sekolah desa. Guru
yang lebih baik akan digaji lebih mahal dan tidak bersedia untuk mengajar di lingkungan desa.
Masa penjajahan Belanda berkaitan dengan pendidikan merupakan catatan sejarah yang kelam. Penjajah
membuat pendidikan sebagai alat untuk meraup keuntungan melalui tenaga kerja murah. Sekolah juga dibuat
dengan biaya yang murah, agar tidak membebani kas pemerintah. Politik etis menjadi tidak etis dalam
pelaksanaannya, kepentingan biaya perang yang sangat mendesak dan berbagai masalah lain menjadi
kenyataan yang tercatat dalam sejarah pendidikan masa Belanda.
Mengintip Sejarah Pendidikan Indonesia tempo dulu saat jepang berkuasa

Belanda digantikan oleh kekuasaan Jepang. Jepang membawa ide kebangkitan Asia yang tidak kalah
liciknya dari Belanda. Pendidikan semakin menyedihkan dan dibuat untuk menyediakan tenaga cuma-cuma
(romusha) dan kebutuhan prajurit demi kepentingan perang Jepang (Mestoko, 1985 dkk:138). Sistem
penggolongan dihapuskan oleh Jepang. Rakyat menjadi alat kekuasaan Jepang untuk kepentingan perang.
Pendidikan pada masa kekuasaan Jepang memiliki landasan idiil hakko Iciu yang mengajak bangsa
Indonesia berkerjasama untuk mencapai kemakmuran bersama Asia raya. Pelajar harus mengikuti latihan
fisik, latihan kemiliteran, dan indoktrinasi yang ketat.

Sejarah Belanda sampai Jepang dipahami sebagai alur penjelasan kalau pendidikan digunakan sebagai alat
komoditas oleh penguasa. Pendidikan dibuat dan diajarkan untuk melatih orang-orang menjadi tenaga kerja
yang murah. Runtutan penjajahan Belanda dan Jepang menjadikan pendidikan sebagai senjata ampuh untuk
menempatkan penduduk sebagai pendukung biaya untuk perang melalui berbagai sumber pendapatan pihak
penjajah. Pendidikan pula yang akan dikembangkan untuk membangun negara Indonesia setelah merdeka.

Setelah kemerdekaan, perubahan bersifat sangat mendasar yaitu menyangkut penyesuaian bidang
pendidikan. Badan pekerja KNIP mengusulkan kepada kementrian pendidikan, pengajaran, dan kebudayaan
supaya cepat untuk menyediakan dan mengusahakan pembaharuan pendidikan dan pengajaran sesuai dengan
rencana pokok usaha pendidikan (Mestoko, 1985:145). Lalu, pemerintah mengadakan program
pemberantasan buta huruf. Program buta huruf tidak mudah dilaksanakan dengan berbagai keterbatasan
sumber daya, kendala gedung sekolah dan guru. Kementrian PP dan K juga mengadakan usaha menambah
guru melalui kursus selama dua tahun. Kursus bahasa jawa, bahasa Inggris, ilmu bumi, dan ilmu
pasti(Mestoko dkk, 1985:161). Program tersebut menunjukkan jumlah orang yang buta huruf seluruh
Indonesia sekitar 32,21 juta (kurang lebih 40%), buta huruf pada tahun 1971. Buta huruf yang dimaksud
adalah buta huruf latin (Mestoko dkk, 1985:327). Jadi, kegiatan pemberantasan buta huruf di pedesaan yang
diprogramkan oleh pemerintah untuk menanggulangi angka buta aksara di Indonesia dan buta pengetahuan
dasar, tetapi pendidikan kurang lebih tidak berdampak pada rumah tangga kurang mampu.

Kemerdekaan Indonesia tidak membuat nasib orang tidak mampu terutama dari sektor pertanian menjadi
lebih baik. Pemaksaan atau perintah halus gampang muncul kembali, contoh yang paling terkenal dengan
akibat yang hampir serupa seperti cara-cara dan praktek pada jaman Jepang, bimas gotong royong yang
diadakan pada tahun 1968-1969 disebut bimas gotong royong karena merupakan usaha gotong royong antara
pemerintah dan swasta (asing dan nasional) untuk meyelenggarakan intensifikasi pertanian dengan
menggunakan metode Bimas (Fakih, 2002:277, Mubyarto, 1987:37). Adapun tujuannya adalah untuk
meningkatkan produksi beras dalam waktu sesingkat mungkin dengan mengenalkan bibit padi unggul baru
yaitu Peta Baru (PB) 5 dan PB 8.37. Pada jaman penjajahan Belanda juga pernah dilakukan cultuurstelsel,
Jepang memaksakan penanaman bibit dari Taiwan. Jadi, rakyat dipaksakan mengikuti kemauan dari pihak
penguasa. Cara tersebut kurang lebih sama dengan yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia sebagai cara
untuk menghasilkan panen yang lebih maksimal. Muller (1979:73) menyatakan berdasarkan penelitian yang
dilakukan di Indonesia bahwa sebagaian besar masyarakat yang masih hidup dalam kemiskinan, paling-
paling hanya bisa memenuhi kebutuhan hidup yang paling minim, dan hampir tidak bisa beradaptasi aktif
sedangkan golongan atas hidup dalam kemewahan.

Pendidikan pada masa Jepang dan setelah kemerdekaan sulit dicapai oleh orang-orang dari rumah tangga
kurang mampu. Mereka diajarkan dan diberi pengetahuan untuk kepentingan pihak penguasa. Mereka
dijadikan tenaga kerja yang diandalkan untuk mencapai keuntungan yang maksimal. Setelah jaman
kemerdekaan, rakyat dari rumah tangga kurang mampu terus menjadi sumber pemaksaan secara halus untuk
pengembangan bibit padi unggul. Pendidikan sebagai alat penguasa untuk mengembangkan program yang
dianggap dapat mendukung peningkatan pemasukan pemerintah.
Sekolah Jaman Sekarang

Mungkin kita masih ingat bagaimana sepuluh atau duapuluh tahun yang lalu, ketika kita bersekolah di Sekolah Dasar
ataupun Sekolah Menengah Pertama.
Ada 3 D yang biasa kita Lakukan: Duduk, Diam, Dengar
Kalau orang bule bilang;"Enak tenan!"
Kalau orang kita bilang,"Bertapa kok!"
Kalau orang hiperaktif bilang,"Bosen kali ye!"
Namun sayang sekarang tidak ada hal semacam itu lagi. Skarang yang diminta harus aktif aktif dan aktif. Siapa yang
harus aktif? Murid atau guru nih? Dua-duanya dong.

Sayang beribu sayang, banyak sekolah di Indonesia belum siap untuk itu. Kurikulum yang katanya membuat anak jadi
lebih aktif sudah dibuat dan direvisi berkali-kali. Hasilnya? tetap saja gaya duapluh tahun yang lalu lagi! Apa itu?
penjejalan hapalan! Hapalan sangat penting, tetapi bukan sesuatu yang mutlak. Gaya santai dan tetap fokus pada
pelajaran lebih diminati. Sayang sekali lagi, gurunya nggak siap buat seperti itu. Paling enak ya, kasih catatan, baca
buku, dan guru duduk menjelaskan. (Disinyalir banyak guru macam begini yang kena penyakit wasir!)

Bagaimana mengatasinya? mau tidak mau gurunya dulu yang digarap. Namun semuanya UUD (Ujung-Ujungnya
Duit!), alias anggaran negara tidak mencukupi untuk hal itu. Walhasil, keinginan untuk mencerdaskan kehidupan
bangsa - seperti yang disebutkan dalam pembukaan UUD 45- akan berakhir dengan impotensi kecerdasan bangsa.
Berarti, kita sebagai orangtua (kalau sudah punya anak-anak usia sekolah lho!), jangan berpangku tangan dan
percaya seratus persen bahwa guru-guru di sekolah pasti melakukan semuanya untuk kita. Mereka pun dalam dilema
untuk penmingkatan profesionalisme mereka. Beruntunglah beberapa gelintir guru yang bekerja di Sekolah Swasta
dengan dana besar yang sangat-sangat diperhatikan profesional developmentnya dalam rangka peningkatan kualitas
pelayanan pendidikan.

Apabila anda memiliki anak-anak usia sekolah dasar, apa yang harus anda lakukan? Cobalah lebih melekatkan
pengawasan dan pendampingan pada anak-anak anda. Waktu mereka di rumah lebih lama daripada di sekolah.
Cobalah untuk membaca cerita bersama, walau anda sangat wagu dalam bercertita, terus saja. Cobalah untuk
menerapkan matematika yang ada di buku anak-anak anda dengan kehidupan sehari-hari. Contohnya, penghitungan
uang, luas tanah, isi bak mandi dan lain sebagainya.

Pendek kata, sekolah jaman sekarang adalah bentuk masa lalu yang diberi pakaian masa kini dan kesempitan! Lha
wong duitnya nggak cukup buat beli bahan pakaiannya! Mari, kita lihat dan cermati yang terjadi di sekitar kita.
Sebagai seorang yang berkecimpung di dunia pendidikan, forum seperti ini juga sebagai pemberdayaan semua orang
dalam mendukung pendidikan anak-anak kita. Masa depan lebih kejam dari masa kini, bung! Mari!

Pendidikan jaman sekarang


Pemerintah melalui Departemen Pendidikan Nasional berusaha memajukan daya saing ataupun mutu
pendidikan masyarakatnya. Hal ini terlihat dari berbagai sarana dan prasaran pendidikan terus mengalami
perbaikan dari tahun ke tahun, kurikulum yang terus direvisi, system dan kebijakan pendidikan yang semakin
memanjakan para pelaku pendidikan. Intinya pemerintah telah habis-habisan mengeluarkan dana yang tidak
sedikit berupaya keras memperbaiki taraf pendidikan dengan segenap instrumennya, dan wajarlah kalau
kemudian pemerintah dalam hal ini, Departemen Pendidikan Nasional menuntut dan mematok standar
kelulusan di setiap jenjang pendidikan.
Di sinilah dilemma itu muncul, sementara kondisi pendidikan real terbilang stagnant, tapi pemerintah
menghendaki kualitas pendidikan tiap tahun semakin meningkat. Hal ini dibuktikan dengan penetapan
standar kelulusan yang secara kwantitas terus merangkak naik setiap tahunnya. Upaya dan tindakan
pemerintah ini agar menciptakan pendidikan yang memiliki daya saing dengan bangsa-bangsa lain dan juga
mempersiapan generasi yang dapat diandalkan dalam menghadapi era globalisasi. Dilain pihak sekolah,
siswa dan masyarakat dihadapkan pada situasi yang complicated.
Setiap sekolah pasti tidak ingin ada siswanya yang tidak lulus ujian nasional, rentang waktu yang cukup lama
ditempuh oleh siswa dihanyutkan hanya dengan nilai beberapa mata pelajaran saja. Selain itu sekolah juga
tidak mau dikecam dan disalahkan oleh para siswa dan orang tua siswa, jika banyak yang gagal dalam ujian
nasional. Para guru pun tidak ingin melihat ada siswanya yang gagal dalam menempuh ujian nasional,
bahkan seorang GTT atau guru honorer yang Cuma dapat kesra Rp 350.000,00 pun menginginkan para
siswanya tersenyum saat membuka surat hasil ujian nasionalnya. Sebagaian besar para guru tahu dan paham
betul seperti apa kemampuan anak didiknya, tapi tak tega rasanya kalau anak didiknya itu putus asa dan
depresi karena gagal ujian.
Dipungkiri atau tidak, disukai atau tidak disukai, konflik bathin menghinggapi “team sukses” ujian nasional
di setiap sekolah. Ujung-ujungnya yaaaa…tahu sendirilah….dan sudah bukan rahasia lagi manufer-manufer
yang dilancarkan setiap sekolah agar siwanya bisa lulus. Namun yang paling disayangkan adalah manufernya
terkadang terlampau berlebihan, tidak memperkirakan kemampuan asli siswanya. Bukannya meremehkan
pihak manapun, seorang siswa yang jarang belajar, malas, dan intelgensia yang minim, dapat mencapai nilai
Ujian Nasional yang terbilang tinggi !! sungguh mencengangkan, celakanya lagi siswa tersebut tidak tahu diri
alias tidak mengukur kemampuan aslinya. Lulus ujian dengan nilai yang tinggi, dia mendaftar pada sekolah-
sekolah favorite. Ini akan menjadi boomerang bagi sekolah-sekolah favorite yang kebetulan menampung
siswa seperti ini.
Di sisi lain siswa yang kebetulan hanya mengandalkan kemampuan asli dirinya hanya maraup nilai yang
standar atau sedikit diatas standar, dan ini memyebabkan dirinya terlempar ke “sekolah-sekolah negeri
pinggiran” atau bahkan sekolah swasta. Sekedar pelipur lara, bagi siswa yang kebetulan menanggung
“takdir” ini janganlah putus asa dan patah semangat untuk belajar. Sekolah favorite atau bukan, sekolah
negeri ataupun swasta sama saja karena suksesnya pendidikan tidak ditentukan oleh hal tersebut. Yakinlah
bahwa Semangat dan belajar keras adalah kunci sukses pendidikan seseorang untuk bekal di kehidupan kelak.
Tuntutan Guru pada pendidikan Zaman Sekarang
Dahulu kala guru sosok yang harus dihormati dan dipatuhi. Namun sayangnya, sikap menghormati guru
ditunjukkan dengan dengan kepatuhan yang mematikan kreatifitas. Berargumentasi dengan guru dulu boleh
dibilang tabu saat itu. Kini zaman berubah guru yang masih menerapkan sistem pembelajaran seperti itu
tidak bisa lagi di terima murid zaman kini.

Mengubah cara pandang mengajar memang tidak mudah memerlukan keberanian dan pengorbanan. Hal itu
diakui Anggani Sudono MA dihadapan sekitar 50 Guru TK-SD dalam pelatihan pendidikan ”Pembelajaran
yang Berpusat pada Anak“  beberapa waktu lalu. Anggani yang berpengalaman mengajar 26 tahun ini
menuturkan pengalamannya ketika memutuskan pindah mengajar ke sekolah internasional. Di situ ia
mengalami shock budaya.

Jika sebelumya ia melihat murid patuh mendengarkan guru, di sekolah internasional anak-anak demikian
bebas menyampaikan aspirasinya kepada guru. “Awalnya saya merasa anak-anak kok pada kurang ajar
kepada guru karena selalu di debat,“ katanya maka baru seminggu mengajar ia merasa menyerah
menghadapi anak-anak. Sejak itu ia mulai belajar paradigma baru mengajar.

Menurut Anggani Sudono yang harus diketahui dan konsisten dijalankan oleh guru zaman sekarang, selain
proses pembelajaran adalah mengenai sarana dan prasarana, serta kurikulum. Anggani melanjutkan
pembelajaran yang berpusat pada peserta didik itu guru harus mengerti kebutuhan setiap anak, semua yang
dilakukan di kelas harus ada saling menghargai serta memberikan pengalaman mengapresiasi anak.            

Selain itu setiap guru hendaknya memahami karakteristik anak didik juga harus menjadikan lingkungan
pembelajaran menarik. Untuk itu bisa memanfaatkan yang ada di lingkungan. ”Biasakan membuat anak
membaca karena akan mengembangkan kualitas. Dengan budaya membaca dan menulis, anak akan berpikir
matematis,” ungkap Anggani.

Pelatihan gratis ini diselenggarakan Komunitas Pelatihan Pendidikan Perguruan Islam Al Izhar Pondok Labu
(KPP–PIIPL) bekerjasama dengan Depdiknas Dirjen PMPTK (Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga
Kependidikan)
pendidikan zaman sekarang

Pendidikan merupakan kebutuhan sepanjang hayat.Setiap manusia membutuhkan pendidikan, sampai kapan
dan dimanapun ia berada. Pendidikan sangat penting artinya, sebab tanpa pendidikan manusia akan sulit
berkembang dan bahkan akan terbelakang. Dengan demikian pendidikan harus betul-betul diarahkan untuk
menghasilkan manusia yang berkualitas dan mampu bersaing, di samping memiliki budi pekerti yang luhur
dan moral yang baik.

Tujuan pendidikan yang kita harapkan adalah mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan
manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa
dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani,
kepribadian yang mantap, mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan”. Pendidikan
harus mampu mempersiapkan warga negara agar dapat berperan aktif dalam seluruh lapangan kehidupan,
cerdas, aktif, kreatif, terampil, jujur, berdisiplin dan bermoral tinggi, demokratis, dan toleran dengan
mengutamakan persatuan bangsa dan bukannya perpecahan.

Mempertimbangkan pendidikan anak-anak sama dengan mempersiapkan generasi yang akan datang. Hati
seorang anak bagaikan sebuah plat fotografik yang tidak bergambar apa-apa, siap merefleksikan semua yang
ditampakkan padanya.

Mengenai kecenderungan merosotnya pencapaian hasil pendidikan selama ini, langkah antisipatif yang perlu
ditempuh adalah mengupayakan peningkatan partisipasi masyarakat terhadap dunia pendidikan, peningkatan
kualitas dan relevansi pendidikan, serta perbaikan manajemen di setiap jenjang, jalur, dan jenis pendidikan.
Untuk meningkatkan mutu pendidikan di daerah, khususnya di kabupaten/kota, seyogyanya dikaji lebih dulu
kondisi obyektif dari unsur-unsur yang terkait pada mutu pendidikan, yaitu: (1) Bagaimana kondisi gurunya?
(persebaran, kualifikasi, kompetensi penguasaan materi, kompetensi pembelajaran, kompetensi sosial-
personal, tingkat kesejahteraan); (2) Bagaimana kurikulum disikapi dan diperlakukan oleh guru dan pejabat
pendidikan daerah?; (3) Bagaimana bahan belajar yang dipakai oleh siswa dan guru? (proporsi buku dengan
siswa, kualitas buku pelajaran); (4) Apa saja yang dirujuk sebagai sumber belajar oleh guru dan siswa?; (5)
Bagaimana kondisi prasarana belajar yang ada?; (6) Adakah sarana pendukung belajar lainnya? (jaringan
sekolah dan masyarakat, jaringan antarsekolah, jaringan sekolah dengan pusat-pusat informasi); (7)
Bagaimana kondisi iklim belajar yang ada saat ini?.

Mutu pendidikan dapat ditingkatkan dengan melakukan serangkaian pembenahan terhadap segala persoalan
yang dihadapi. Pembenahan itu dapat berupa pembenahan terhadap kurikulum pendidikan yang dapat
memberikan kemampuan dan keterampilan dasar minimal, menerapkan konsep belajar tuntas dan
membangkitkan sikap kreatif, demokratis dan mandiri. Perlu diidentifikasi unsur-unsur yang ada di daerah
yang dapat dimanfaatkan untuk memfasilitasi proses peningkatan mutu pendidikan, selain pemerintah
daerah, misalnya kelompok pakar, paguyuban mahasiswa, lembaga swadaya masyarakat daerah, perguruan
tinggi, organisasi massa, organisasi politik, pusat penerbitan, studio radio/TV daerah, media masa/cetak
daerah, situs internet, dan sanggar belajar.
PENDIDIKAN JAMAN SEKARANG
Kalau kita membaca buku-buku sejarah perjuangan bangsa merebut kemerdekaan dari penjajah Belanda, ada
beberapa sekolah yang didirikan Belanda seperti misalnya: Hollandsch-Inlandsche School (HIS), pendidikan
dasar; Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), setara dengan SMP; Algeme(e)ne Middelbare School
(AMS), setara dengan SMA. Pada zaman itu, sekolah-sekolah ini hanya diperuntukkan bagi orang Indonesia
pribumi. Yang dimaksud dengan pribumi adalah anak-anak golongan bangsawan, tokoh terkemuka, dan
pegawai negeri. Selain dari itu, dipastikan tak bisa mengenyam pendidikan.

Sekarang zaman kemerdekaan. Sudah tua pula: 62 tahun. Tapi, berbedakah pendidikan zaman kemerdekaan
dengan zaman penjajahan? Saya terpaksa menjawab: tidak :( . Mungkin saya adalah generasi yang masih
beruntung bisa menikmati pendidikan tinggi dengan biaya yang masih cukup terjangkau oleh kantong orang
tua saya yang PNS biasa. Pendidikan strata satu saya yang saya tempuh di ITS, hanya berbiaya Rp. 650.000
per semester. Sekarang? Adakah institusi perguruan tinggi negeri top yang menawarkan biaya segitu? UI
yang terkenal dengan Fakultas Kedokteran-nya, ITB dengan segala Teknik-nya, UGM, Unair, dan bahkan
ITS, tak ada lagi yang menawarkan biaya pendidikan segitu. Berikut kutipan dari Jawa Pos tentang biaya
pendidikan di ITS:

Maba ITS wajib membayar Rp 1.250.000 untuk SPP, Rp 900.000 untuk orientasi dan informasi, serta Rp
3.500.000 untuk sumbangan pengembangan institusi (SPI). Jumlah seluruhnya Rp 5.650.000. “Mereka yang
mengajukan keringanan boleh mencicil dalam satu semester,” kata Sugeng.

Kini, bahkan playgroup yang sejatinya hanya tempat bermain telah mencekik leher orang tua dengan biaya
berjuta-juta. Sekolah-sekolah SMP dan SMA favorit tempat siswa bisa belajar bersama siswa-siswa berotak
jenius juga telah melambungkan biayanya.

Jika dulu pemerintah Belanda hanya mengkhususkan pendidikan hanya bagi golongan bangsawan, sama saja
dengan pemerintah Indonesia di zaman merdeka ini: mengkhususkan pendidikan hanya bagi golongan
bangsawan pula. Jika dulu definisi bangsawan adalah keluarga yang memiliki hubungan darah dengan
pembesar keraton, kini bangsawan diukur dari seberapa besar uang yang Anda miliki. Semakin besar uang
Anda, semakin ningrat pula kedudukan Anda.

Anda mungkin juga menyukai