Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

TEORI BELAJAR KONSTRUKTIVISME DAN APLIKASINYA

DI SEKOLAH/ MADRASAH/PESANTREN

Diajukan untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Strategi Pembelajaran PAI


Dosen : Dr. Dede Husni Mubarok, M.Pd.I.

Disusun Oleh :
ASRIYAH
NIM : 2011000850

PASCA SARJANA
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM DARUSSALAM CIAMIS JAWA BARAT
Kampus Pesantren Darussalam Kotak Pos 2 Tlp./Faks. ( 0265 ) 774376
Ciamis Jawa Barat 46271
Email : iaidciamis@plasa.com

TAHUN 2021
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang dengan rahmat-Nya, sehingga penulis
dapat menyelesaikan tugas makalah TEORI BELAJAR KONSTRUKTIVISME DAN
APLIKASINYA DI SEKOLAH/ MADRASAH/PESANTREN tepat pada waktunya.
Shalawat serta salam juga semoga selalu tercurahkan kepada baginda Rasulullah SAW,
sang revolusioner dan pemimpin umat manusia.
Dalam pembuatan makalah ini, tentu tak lupa penulis mengucapkan terima kasih
kepada Dosen Pengampu yang telah membimbing penulis selama ini. Tentunya makalah
ini, masih jauh dari kesempurnaan. Olehnya itu penulis senantiasa mengharapkan kritik
dan saran yang membangun. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua. Amiin
Yaa Robbal „Aalamiin.
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Ciamis, 22 November 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................... i

DAFTAR ISI .......................................................................................................... ii

A. Pendahuluan ...................................................................................................... 1
B. Pengertian .......................................................................................................... 2
C. Proses Belajar Menurut Teori Konstruktivisme.................................................4
D. Konstruksi Pengetahuan Menurut Lev Vygotsky ............................................ 6
E. Teori Konstruktivisme dan Aplikasinya di Sekolah/Madrasah dan Pesantren..7
F. Kesimpulan ........................................................................................................ 9
REFERENSI .......................................................................................................... 9

ii
A. Pendahuluan
Dalam dunia pendidikan, masih banyak yang menerapkan pembelajaran yang
bersifat teacher centred, yaitu pembelajaran berpusat pada guru. Guru yang aktif
dalam proses pembelajaran, sehingga siswa hanya duduk mendengarkan
penjelasan guru. Hal ini menyebabkan siswa hanya menerima transfer
pengetahuan dari seorang guru dan pencapaian hasil belajar kurang optimal.
Masalah tersebut kemudian memunculkan sebuah teori pembelajaran
kontruktivisme sebagai jawaban atas berbagai persoalan pembelajaran dalam
masa kontemporer. Di dalam model Pembelajaran kontruktivisme pengetahuan
tidak ditransferkan dari guru ke pada siswa, namun dibangun sendiri oleh siswa.
Dengan kata lain, teori konstruktivisme menekankan bahwa pengetahuan adalah
buatan kita sendiri. Pengetahuan merupakan salah satu hasil dari kontruksi
kognitif melalui kegiatan individu dengan membuat struktur, kategori, konsep dan
skema yang diperlukan untuk membuat pengetahuan tersebut.1

Konstruktivisme adalah bentuk kata hasil dari serapan bahasa Inggris


constructivism berasa dari "to construct", yang berarti menyusun atau membuat
struktur. Konsep pendidikan konstruktivisme ini adalah proses penstrukturan atau
pengorganisasian. Adapun menurut istilah, konstruktivisme merupakan suatu
aliran dalam filsafat ilmu, psikologi dan teori belajar mengajar yang menekankan
bahwa pengetahuan kita adalah konstruksi (bentukan) kita sendiri, demikian
dikemukakan Solrun B. Kristinsdottir (2001: 15).
Dalam perkembangannya dewasa ini teori konstruktivisme diterapkan dalam
pendidikan secara lebih luas lagi. Teori pendidikan konstruksivisme merupakan
tradisi berfikir para genius dan pendekatan konstruktivisme ini dianggap valid
pada tahapan perkembangan ilmu dewasa ini dan dikembangkan untuk tujuan
meningkatkan mutu lulusan pendidikan, terutama pendidikan tinggi. Begitu juga
seperti dikemukan Kuhn, konstruktivisme merupakan paradigma alternatif yang
muncul sebagai dampak revolusi ilmiah yang terjadi dalam beberapa dasawarsa
terakhir. Seiring dengan hal tersebut, kemudian konstruktivisme menjadi kata
kunci dalam hampir setiap pembicaraan di berbagai kalangan ilmuwan.
Proses Pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) merupakan salah satu
wilayah yang memanfaatkan seruan konstruksionis, misalnya perlunya peserta
1
didik berpartisipasi aktif dalam proses pembelajaran, Anak membangun sendiri
skema skema dari pengalaman sendiri dengan lingkungannya. Di sini peran guru
adalah sebagai fasilitator dan bukan sebagai pemberi informasi. Guru perlu
menciptakan lingkungan yang kondusif bagi para siswanya.2
Guru tidak hanya sekedar memberikan pengetahuan kepada siswa. Siswa
harus membangun sendiri pengetahuan didalam benaknya. Guru dapat
memberikan kemudahan untuk proses ini, dengan memberi kesempatan siswa
untuk menemukan atau menerapkan ide-ide mereka sendiri, dan mengajar siswa
menjadi sadar dan secara sadar menggunakan strategi mereka sendiri untuk
belajar.8
Para ahli konstruktivisme beranggapan bahwa satu-satunya alat yang
tersedia bagi seseorang untuk mengetahui sesuatu adalah inderanya. Seseorang
berinteraksi dengan objek dan lingkungannya dengan melihat, mendengar,
mencium, menjamah, dan merasakannya.
Teori konstruktivisme lahir dari pemikir-pemikir Barat yang notabene non-
Muslim, maka sebelum diterapkan dalam praktik pembelajaran disekolah
madrasah dan pesantren, perlu disimak relevansinya dengan teori-teori
pembelajaran dalam pendidikan Islam. Tulisan ini diarahkan untuk mengkaji dan
mencermati bagaimanakah teori pembelajaran menurut pandangan
konstruktivisme dan bagaimanakah aplikasinya teori tersebut dalam pembelajaran
di sekolah, madrasah dan pesantren.

B. Pengertian
Pendidikan pada dasarnya merupakan interaksi antara faktor-faktor yang
terlibat di dalamnya guna mencapai tujuan. Proses sederhana yang
menggambarkan interaksi unsur pendidikan dapat secara jelas dilihat dalam
proses belajar yang terjadi di lembaga pendidikan formal, tepatnya di kelas, yaitu
manakala guru mengajarkan nilai-nilai ilmu dan keterampilan kepada anak didik,
dan anak didik menerima pengajaran tersebut maka dari itu terjadilah apa yang
dinamakan proses belajar.
Menurut Undang-undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional, dinyatakan: Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk

2
mewujudkan suasana belajar mengajar dan proses pembelajaran agar peserta
didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan
spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia,
serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

Teori Kontruktivisme didefinisikan sebagai pembelajaran yang bersifat


generatif, yaitu tindakan menciptakan suatu makna dari apa yang depelajari.
Belajar sebagai kegiatan manusia membangun atau menciptakan pengetahuan
dengan memberi makna pada pengetahuannya sesuai dengan pengalamannya.
Pengetahuan tidak bisa ditransfer dari guru kepada orang lain, karena setiap orang
mempunyai skema sendiri tentang apa yang diketahuinya. Pembentukan
pengetahuan merupakan proses kognitif dimana terjadi proses asimilasi dan
akomodasi untuk mencapai suatu keseimbangan sehingga terbentuk suatu skema
yang baru.
Teori konstruktivisme juga mempunyai pemahaman tentang belajar yang
lebih menekankan pada proses daripada hasil. Hasil belajar sebagai tujuan dinilai
penting, tetapi proses yang melibatkan cara dan strategi dalam belajar juga dinilai
penting. Dalam proses belajar, hasil belajar, cara belajar, dan strategi belajar akan
mempengaruhi perkembangan tata pikir dan skema berpikir seseorang. Sebagai
upaya memperoleh pemahaman atau pengetahuan, siswa ”mengkonstruksi” atau
membangun pemahamannya terhadap fenomena yang ditemui dengan
menggunakan pengalaman, struktur kognitif, dan keyakinan yang dimiliki.
Sebagai suatu teori, konstruktivisme berkaitan dengan proses kognitif
seseorang yang melakukan komunikasi pada situasi tertentu. Kemampuan orang
dalam menyusun atau membingkai pesan-pesan komunikasi untuk situasi dan
kondisi tertentu relatif akan berhasil dibandingkan dengan mereka yang
melakukannya dengan berbekal pengalaman kognitif yang kompleks juga akan
lebih berhasil dalam komunikasi dibandingkan dengan melakukannya secara apa
adanya.7
Dengan demikian, belajar menurut teori konstruktivisme bukanlah sekadar
menghafal, akan tetapi proses mengkonstruksi pengetahuan melalui pengalaman.
Pengetahuan bukanlah hasil ”pemberian” dari orang lain seperti guru, akan tetapi
hasil dari proses mengkonstruksi yang dilakukan setiap individu. Pengetahuan
3
hasil dari ”pemberian” tidak akan bermakna. Adapun pengetahuan yang diperoleh
melalui proses mengkonstruksi pengetahuan itu oleh setiap individu akan
memberikan makna mendalam atau lebih dikuasai dan lebih lama tersimpan atau
diingat dalam setiap individu.
Von Galserfeld (dalam Paul, S., 1996) mengemukakan bahwa ada
beberapa kemampuan yang diperlukan dalam proses mengkonstruksi
pengetahuan, yaitu;
1) kemampuan mengingat dan mengungkapkan kembali pengalaman,
2) kemampuan membandingkan dan mengambil keputusan akan
kesamaan dan perbedaan,
3) kemampuan untuk lebih menyukai suatu pengalaman yang satu dari
pada lainnya.
Faktor-faktor yang juga mempengaruhi proses mengkonstruksi
pengetahuan adalah konstruksi pengetahuan seseorang yang telah ada, domain
pengalaman, dan jaringan struktur kognitif yang dimilikinya. Proses dan hasil
konstruksi pengetahuan yang telah dimiliki seseorang akan menjadi pembatas
konstruksi pengetahuan yang akan datang. Pengalaman akan fenomena yang baru
menjadi unsur penting dalam membentuk dan mengembangkan pengetahuan.
Keterbatasan pengalaman seseorang pada suatu hal juga akan membatasi
pengetahuannya akan hal tersebut. Pengetahuan yang telah dimiliki orang tersebut
akan membentuk suatu jaringan struktur kognitif dalam dirinya.

C. Proses Belajar Menurut Teori Konstruktivisme


Secara konseptual, proses belajar jika dipandang dari pendekatan kognitif,
bukan sebagai perolehan informasi yang berlangsung satu arah dari luar ke dalam
diri siswa, melainkan sebagai pemberian makna oleh siswa kepada
pengalamannya melalui proses asimilasi dan akomodasi yang bermuara pada
pemutahkiran struktur kognitifnya. Kegiatan belajar lebih dipandang dari segi
prosesnya dari pada segi perolehan pengetahuan dari fakta-fakta yang terlepas-
lepas. Proses tersebut berupa “…..constructing and restructuring of knowledge
and skills (schemata) within the individual in a complex network of increasing
conceptual consistency…..”. Pemberian makna terhadap obyek dan pengalaman
oleh individu tersebut tidak dilakukan secara sendiri-sendiri oleh siswa,
4
melainkan melalui interaksi dalam jaringan sosial yang unik, yang terbentuk baik
dalam budaya kelas maupun di luar kelas. Oleh sebab itu pengelolaan
pembelajaran harus diutamakan pada pengelolaan siswa dalam memproses
gagasannya, bukan semata-mata pada pengelolaan siswa dan lingkungan
belajarnya bahkan pada unjuk kerja atau prestasi belajarnya yang dikaitkan
dengan sistem penghargaan dari luar seperti nilai, ijasah, dan sebagainya.
Paradigma konstruktivistik memandang siswa sebagai pribadi yang sudah
memiliki kemampuan awal sebelum mempelajari sesuatu. Kamampuan awal
tersebut akan menjadi dasar dalam mengkonstruksi pengetahuan yang baru. Oleh
sebab itu meskipun kemampuan awal tersebut masih sangat sederhana atau tidak
sesuai dengan pendapat guru, sebaiknya diterima dan dijadikan dasar
pembelajaran dan pembimbingan.
Dalam belajar konstruktivistik guru atau pendidik berperan membantu
agar proses pengkonstruksian belajar oleh siswa berjalan lancar. Guru tidak
menstransferkan pengetahuan yang telah dimilikinya, melainkan membantu siswa
untuk membentuk pengetahuannya sendiri. Guru dituntut untuk lebih memahami
jalan pikiran
atau cara pandang siswa dalam belajar. Guru tidak dapat mengklaim bahwa satu
satunya cara yang tepat adalah yang sama dan sesuai dengan kemauannya.
Peranan kunci guru dalam interaksi pendidikan adalah pengendalian yang
meliputi;
1. Menumbuhkan kemandirian dengan menyediakan kesempatan untuk
mengambil keputusan dan bertindak.
2. Menumbuhkan kemampuan mengambil keputusan dan bertindak, dengan
meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan siswa.
3. Menyediakan sistem dukungan yang memberikan kemudahan belajar agar
siswa mempunyai peluang optimal untuk berlatih.
Menurut Paul Suparno (tt : 61) teori belajar kontruksivisme memiliki ciri-ciri
sebagai berikut:
a. Belajar berarti membentuk makna. Makna diciptakan oleh siswa dari apa yang
mereka lihat, dengar, rasakan, dan alami. Konstruksi arti itu dipengaruhi oleh
pengertian yang telah ia punyai.

5
b. Konstruksi arti itu adalah proses yang terus-menerus. Setiap kali berhadapan
dengan fenomena atau persoalan yang baru, diadakan rekonstruksi, baik secara
kuat maupun lemah.
c. Belajar bukanlah kegiatan mengumpulkan fakta, melainkan lebih suatu
pengembangan pemikiran dengan membuat pengertian yang baru. Belajar
bukanlah hasil perkembangan, melainkan merupakan perkembangan itu sendiri,
suatu perkembangan yang menuntut penemuan dan pengaturan kembali pemikiran
seseorang.
d. Proses belajar yang sebenarnya terjadi pada waktu skema seseorang dalam
keraguan yang merangsang pemikiran lebih lanjut. Situasi ketidakseimbangan
(disequilibrium) adalah situasi yang baik untuk memacu belajar.
e. Hasil belajar dipengaruhi oleh pengalaman pelajar dengan dunia fisik dan
lingkungannya.
f. Hasil belajar seseorang tergantung pada apa yang telah diketahui si pelajar:
konsep-konsep, tujuan, dan motivasi yang mempengaruhi interaksi dengan bahan
yang dipelajari.
Dari pandangannya tersebut, dapat diambil sebuah makna bahwa belajar
dalam teori konstruktivisme merupakan suatu proses organik untuk menemukan
sesuatu, bukan suatu proses mekanik untuk mengumpulkan fakta. Belajar itu suatu
perkembangan pemikiran dengan membuat kerangka pengertian yang berbeda.
D. Konstruksi Pengetahuan Menurut Lev Vygotsky (1896-1934)
Teori belajar kokonstruktivistik merupakan teori belajar yang di pelopori
oleh Lev Vygotsky. Teori belajar ko-kontruktinvistik atau yang sering disebut
sebagai teori belajar sosiokultur merupakan teori belajar yang titik tekan
utamanya adalah pada bagaimana seseorang belajar dengan bantuan orang lain
dalam suatu zona keterbatasan dirinya yaitu Zona Proksimal Developmen (ZPD)
atau Zona Perkembangan Proksimal dan mediasi. Di mana anak dalam
perkembangannya membutuhkan orang lain untuk memahami sesuatu dan
memecahkan masalah yang dihadapinya.
Zone of Proximal Development (ZPD) merupakan jarak antara tingkat
perkembangan sesungguhnya yang didefinisikan sebagai kemampuan pemecahan
masalah secara mandiri dan tingkat perkembangan potensial yang didefinisikan

6
sebagai kemampuan pemecahan masalah di bawah bimbingan orang dewasa atau
melalui kerjasama dengan teman sejawat yang lebih mampu.
Berdasarkan teori Vygotsky, Yuliani (2005: 46) menyimpulkan beberapa
hal yang perlu untuk diperhatikan dalam proses pembelajaran, yaitu:
a. Dalam kegiatan pembelajaran hendaknya anak memperoleh kesempatan yang
luas untuk mengembangkan zona perkembangan proksimalnya atau potensinya
melalui belajar dan berkembang.
b. Pembelajaran perlu dikaitkan dengan tingkat perkembangan potensialnya dari
pada perkembangan aktualnya.
c. Pembelajaran lebih diarahkan pada penggunaan strategi untuk mengembangkan
kemampuan intermentalnya daripada kemampuan intramentalnya.
d. Anak diberikan kesempatan yang luas untuk mengintegrasikan pengetahuan
deklaratif yang telah dipelajarinya dengan pengetahuan prosedural untuk
melakukan tugas-tugas dan memecahkan masalah
e. Proses Belajar dan pembelajaran tidak sekedar bersifat transferal tetapi lebih
merupakan ko-konstruksi.
Inti dari teori belajar kokonstruktivistik ini adalah penggunaan alat berfikir
seseorang yang tidak dapat dilepaskan dari pengaruh lingkungan sosial
budayanya. Lingkungan sosial budaya akan menyebabkan semakin kompleksnya
kemampuan yang dimiliki oleh setiap individu.

E. Teori Konstruktivisme dan Aplikasinya di Sekolah/Madrasah dan Pesantren

Dalam pembahasan ini kita akan melihat teori pendidikan konstruksivisme


dan aplikasinya dalam pembelajaran di sekolah/madrasah dan pesantren.

Proses pembelajaran konstruktivisme mencakup dua kegiatan yaitu proses


belajar dan mengajar (teaching and learning process). Dalam pandangan
konstruktivisme, konsep belajar lebih difokuskan pada pengembangan konsep dan
pemahaman yang mendalam dari pada sekedar pembentukan perilaku atau
keterampilan. Menurutnya belajar merupakan proses aktif pelajar mengkonstruksi
pengertian dan pemahaman. Belajar bukan suatu perwujudan hubungan stimulus-
respon. Belajar memerlukan pengaturan diri dan pembentukan struktur konseptual
melalui refleksi dan abstraksi. Sedangkan dalam pandangan pendidikan Islam,

7
belajar atau ta'lim mencakup kegiatan yang luas, tidak sekedar terkait
pengembangan pengetahuan saja, melainkan juga pengembangan keterampilan,
pembentukan sikap dan perilaku yang baik. Belajar tidak hanya mencakup aspek
pengetahuan yang sempit, namun juga meliputi berbagai pengetahuan,
keterampilan, nilai dan sikap yang tercermin jelas dalam perilaku manusia di
setiap aspek kehidupan dan setiap tindakan.
Menurut Al- Attas bahwa konsep belajar menurutnya bahwa pengetahuan itu
dibagi ke dalam dua bagian, yakni al-'ilm yang menunjuk kepada pengetahuan
yang hanya dapat mungkin diterima oleh insan dengan daya usaha kerja amal
ibadah serta kesucian hidupnya, yakni dengan keihsanannya dan dengan khidmat
sejati ibadah kepada Tuhannya Yang Hak demi ridha-Nya belaka dan yang
kemungkinan dapat diterimanya itu bergantung kepada kehendak dan karunia
Allah Swt.

Kemudian yang kedua adalah 'ilm bentuk jamaknya 'ulum adalah


pengetahuan yang diperoleh sebagai hasil pencapaian sendiri daya usaha al-
aqliyah melalui pengalaman hidup indera jasmani dan nazar akali dan
pemerhatian, penyelidikan, dan pengkajian. Pengetahuan ini berdasar pada
pengumpulan kesimpulan- kesimpulan yang diperoleh dari kenyataan hidup
duniawi. Pencapaian pengetahuan jenis kedua ini ditempuh melalui proses
penginderaan terhadap objek luar serta pengolahan lewat akal pikiran. Di sini
indera dan akal manusia merupakan alat yang memegang peranan yang cukup
vital dalam pencapaian pengetahuan. Indera merupakan pintu gerbang dalam
pencapaian pengetahuan dan akal yang akan memprosesnya lebih lanjut sehingga
menjadi pola-pola pengetahuan.
Pembelajaran di sekolah/madrasah dan khususnya di pesantren para
guru/ustadz mengajar bukan hanya sekedar transfer pengetahuan dari pengajar
kepada siswa(santri)nya. Mengajar lebih diarahkan sebagai upaya membantu si
belajar agar dapat belajar secara maksimal. Peran pengajar tidak lagi sebagai
transmitter pengetahuan tetapi sebagai fasilitator dan motivator bagi
perkembangan potensi si belajar. Dalam pandangan pendidikan Islam ( pesantren)
tidak hanya memfasilitasi pengembangan aspek kognitif saja, tetapi juga
memfasilitasi perkembangan semua potensi yang ada pada diri si belajar, yang
8
mencakup potensi kognitif, afektif dan psikomotor.
Hal ini kemudian juga berimplikasi kepada peran guru, karena disamping
sebagai fasilitator dan motivator, dalam pendidikan Islam guru juga dituntut
mampu memerankan diri sebagai model (role model) perilaku yang baik bagi si
belajar. Oleh karena itu, menurut pandangan pendidikan Islam, guru atau pendidik

dituntut untuk memiliki kepribadian sesuai dengan nilai-nilai Islam sehingga


benar-benar dapat dijadikan model (al-uswah al-hasanah) bagi para peserta
didiknya. Sesuai pula menurut Al-Ghazali ada dua tujuan akhir yang ingin di
capai dalam proses pendidikan, yakni: pertama, mencapai kesempurnaan insani
yang bermuara pada pendekatan diri kepada Allah, kedua, kesempurnaan jasmani
yang bermuara pada kebahagiaan dunia dan akhirat, demikian dalam Abudin
(2001 : 86)
F. Kesimpulan
Dapat disimpulkan bahwa dalam teori belajar kontruktivisme, proses belajar
merupakan proses penciptaan makna sebagai hasil dari pemikiran individu
melalui interaksi dalam suatu konteks sosial. Pengetahuan tidak dapat dipisahkan
dari aktivitas di mana pengetahuan itu dikonstruksikan, dan di mana makna
diciptakan, serta dari komunitas budaya di mana pengetahuan didiseminasikan
dan diterapkan. Melalui aktivitas, interaksi sosial, tersebut penciptaan makna
terjadi.

Teori kontruktivisme merupakan bagian dari proses pembelajaran yang


bersifat generatif, yaitu tindakan mencipta sesuatu makna dari apa yang dipelajari.
Salah satu teori atau pandangan yang sangat terkenal berkaitan dengan teori
belajar konstruktivisme adalah teori perkembangan mental yang merupakan
bagian dari teori kognitif. Pendukung dari teori konstruksivisme menegaskan
bahwa penekanan teori kontruktivisme pada proses untuk menemukan teori atau
pengetahuan yang dibangun dari realitas lapangan. Peran guru dalam
pembelajaran menurut teori kontruktivisme adalah sebagai fasilitator atau
moderator.
Pembelajaran di sekolah/madrasah dan khususnya di pesantren para
guru/ustadz mengajar bukan hanya sekedar transfer pengetahuan dari pengajar
kepada siswa(santri)nya. Mengajar lebih diarahkan sebagai upaya membantu si
9
belajar agar dapat belajar secara maksimal. Peran pengajar tidak lagi sebagai
transmitter pengetahuan tetapi sebagai fasilitator dan motivator bagi
perkembangan potensi si belajar. Dalam pandangan pendidikan Islam ( pesantren)
tidak hanya memfasilitasi pengembangan aspek kognitif saja, tetapi juga
memfasilitasi perkembangan semua potensi yang ada pada diri si belajar, yang
mencakup potensi kognitif, afektif dan psikomotor.

Refrensi:
Agus N Cahyo, Panduan Aplikasi Teori-Teori Belajar Mengajar Teraktual dan
Terpopuler, (Jogjakarta: Diva Press, 2013), Cet. I, h. 13.
Rusmono, Strategi Pembelajaran dengan Problem Based Learning itu Perlu
Untuk Meningkatkan Profesionalitas Guru, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2014), Cet.
II, h. 12-13.

Al-Attas Muhammad Naquib, 1981, Islam and Secularism, terj. Karsimo


Djojokusumo, Bandung: Pustaka Jaya.

Budianto. 2010. Teori Belajar dan Implikasi dalam Pembelajaran, (Online),


(http://edukasi.kompasiana.com.teori belajar dan implikasinya dalam
pembelajarn),

Nata Abuddin, 2001, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, Seri Kajian
Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Wahid Nanang. 2009. Teori Belajar Konstruktisme


http:// indoskripsi.com.judul skripsi makalah tentang teori belajar
konstruktivisme teori belajar bermakna.

10

Anda mungkin juga menyukai