Disusun oleh:
Adinda Fikar Salsabila
Alisya Jihan Rumagit
Fiona Magfirah Latif
Naufal Pasya Aldri
Raditya Athif Athaya
Zulyana Putrisia
Kelompok 6
Kekuatan-kekuatan inilah yang menjadi dasar Soewardi Soerjaningrat dalam memperjuangkan
kesatuan dan persamaan lewat nasionalisme kultural sampai dengan nasionalisme politik.
Kelompok 6
4. Mendirikan Perguruan Nasional Taman Siswa
Setelah kembali dari pengasingan bersama dengan teman-temannya, Ki Hajar Dewantara
mendirikan sebuah perguruan yang bercorak nasional, National Onderwijs Instituut Taman Siswa
(Perguruan Nasional Taman Siswa) pada Juli 1922, lembaga pendidikan yang memberikan
kesempatan bagi para pribumi kelas bawah untuk bisa memperoleh hak pendidikan seperti halnya
para priyayi maupun orang-orang Belanda.
Perguruan ini mengubah metode pengajaran kolonial yaitu dari sistem pendidikan
“perintah dan sanksi” kependidikan pamong yang sangat menekankan pendidikan mengenai
pentingnya rasa kebangsaan kepada peserta didik agar mereka mencintai bangsa dan tanah air dan
berjuang untuk memperoleh kemerdekaan.
Dalam membangun Taman Siswa, banyak rintangan yang dihadapi Ki Hajar Dewantara.
Pemerintah kolonial Belanda berusaha membatasi dengan mengeluarkan ordonansi sekolah liar
pada 1 Oktober 1932.
Di Indonesia, Ki Hajar Dewantara mencurahkan perhatian di bidang Pendidikan sebagai
bagian dari alat perjuangan meraih kemerdekaan. Perguruan Taman Siswa sangat menekankan
pendidikan rasa kebangsaan kepada peserta didik agar mereka mencintai tanah air dan berjuang
untuk memperoleh kemerdekaan.
Di tengah keseriusannya di bidang pendidikan, Ki Hajar Dewantara tetap rajin berkarya
dengan menulis. Tema tulisannya kemudian beralih dari nuansa politik ke pendidikan dan
kebudayaan berwawasan kebangsaan. Melalui tulisan-tulisannya itulah Ki Hajar Dewantara
berhasil meletakkan dasar-dasar pendidikan nasional bagi negeri Indonesia.
Namun kolonial Belanda juga mengadakan usaha bagaimana cara melemahkan perjuangan
gerakan politik yang dipelopori oleh Taman Siswa. Tindakan kolonial Belanda tersebut adalah
“Onderwijs Ordonantie (OO) 1932” (Ordonansi Sekolah Liar) yang dicanangkan oleh Gubernur
Jenderal pada 17 September 1932. Dan pada 15-16 Oktober 1932 MLPTS mengadakan sidang
istimewa di Tosari Jawa Timur untuk merundingkan ordinasi tersebut.
Media massa Indonesia hampir semuanya menentang ordonansi tersebut. Di antaranya:
Harian Suara Surabaya, Harian Perwata Deli, dan berbagai organisasi politik (Pengurus Besar
Muhammadiyah, Perserikatan Ulama, PSII, PBI, Perserikatan Himpunan Istri Indonesia dan
sebagainya). Dengan adanya aksi tersebut maka Gubernur Jenderal pada 13 februari 1933
mengeluarkan ordinasi baru yaitu membatalkan “OO 1932” dan berlaku mulai 21 Februari 1933.
Perjuangannya di bidang pendidikan dan politik inilah membuat pemerintah Indonesia
menghormatinya dengan berbagai jabatan dalam pemerintahan Republik Indonesia. Di antaranya
adalah mengangkat Ki Hajar Dewantara sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (1950),
mendapat gelar doktor honoris causa dari Universitas Gajah Mada (1959) serta diangkat sebagai
pahlawan nasional pada tahun 1959.
Kelompok 6
Sebagai menteri pendidikan pertama di Indonesia, beliau telah melakukan berbeagai
pergerakan nasional yang membantu mengantar Indonesia mencapai kemerdekaan yang dibahas
pada buku Ki Hadjar Dewantara: Putra Keraton Pahlawan Bangsa.
Kelompok 6
D.N AIDIT
Dipa Nusantara Aidit (30 Juli 1923 – 22 November
1965) adalah seorang politikus komunis Indonesia, yang
menjabat sebagai Sekretaris Jenderal Partai Komunis
Indonesia (PKI) dari tahun 1951 hingga eksekusi kilatnya pada
saat pembantaian di Indonesia 1965-1966. Lahir dengan nama
Achmad Aidit di Pulau Belitung, ia akrab dipanggil "Amat".
Aidit dididik dalam sistem pendidikan kolonial Belanda.
Ia dilahirkan dengan nama Achmad Aidit di Belitung,
dan dipanggil "Amat" oleh orang-orang yang akrab dengannya.
Ia merupakan anak Abdullah Aidit, yang pernah memimpin
gerakan pemuda di Belitung melawan kekuasaan kolonial
Belanda, dan setelah merdeka sempat menjadi anggota DPRS
mewakili rakyat Belitung. Abdullah Aidit juga pernah
mendirikan sebuah perkumpulan keagamaan, "Nurul Islam",
yang berorientasi kepada Muhammadiyah.
Adapun ibu D.N. Aidit bernama Mailan. Sang ibu berasal dari keluarga ningrat Belitung,
putri dari Ki Agus Haji Abdul Rachman dan Nyayu Aminah. Ki Agus dikenal sebagai peneroka
kampung Batu Itam sekaligusDipa Nusantara Aidit (30 Juli 1923 – 22 November 1965)[3] adalah
seorang politikus komunis Indonesia, yang menjabat sebagai Sekretaris Jenderal Partai Komunis
Indonesia (PKI) dari tahun 1951 hingga eksekusi kilatnya pada saat pembantaian di Indonesia
1965-1966. Lahir dengan nama Achmad Aidit di Pulau Belitung, ia akrab dipanggil "Amat". Aidit
dididik dalam sistem pendidikan kolonial Belanda.
Kehidupan awal
Ia dilahirkan dengan nama Achmad Aidit di Belitung, dan dipanggil "Amat" oleh orang-
orang yang akrab dengannya. Ia merupakan anak Abdullah Aidit, yang pernah memimpin gerakan
pemuda di Belitung melawan kekuasaan kolonial Belanda, dan setelah merdeka sempat menjadi
anggota DPRS mewakili rakyat Belitung. Abdullah Aidit juga pernah mendirikan sebuah
perkumpulan keagamaan, "Nurul Islam", yang berorientasi kepada Muhammadiyah.
Adapun ibu D.N. Aidit bernama Mailan. Sang ibu berasal dari keluarga ningrat Belitung,
putri dari Ki Agus Haji Abdul Rachman dan Nyayu Aminah. Ki Agus dikenal sebagai peneroka
kampung Batu Itam sekaligus tuan atas tanah yang dibukanya.Asal-usul Aminah masih belum
jelas, tetapi sumber sekunder menyebut leluhur ibu Aidit datang dari Nagari Maninjau, Sumatera
Barat. Aidit merupakan anak sulung dari empat bersaudara. Sang ayah meninggal selagi Aidit
masih kecil sehingga ia dibesarkan oleh ayah tiri. Aidit memiliki dua saudara tiri, yaitu Asahan
dan Sobron.
Kelompok 6
Setelah menamatkan pelajaran HIS di Bangka, ia bertolak ke Jawa. Ia dititipkan oleh sang
ibu pada orang sekampungnya, Maninjau, yang telah lama merantau dan menetap di Bandung,
yakni Isa Anshari. Selama hampir empat tahun, Aidit tinggal bersama keluarga Isa Anshari
sehingga mereka sudah layaknya adik-kakak. Hubungan pribadi Aidit dan Isa tetap terpelihara
sampai kelak mereka menjadi lawan politik. Mereka masih rutin bertemu, bahkan Aidit pernah
membawakan buku tentang komunisme untuk putra sulung Isa Anshary, Endang Saifuddin
Anshari. Menjelang dewasa, Achmad Aidit mengganti namanya menjadi Dipa Nusantara Aidit. Ia
memberitahukan hal ini kepada ayahnya, yang menyetujuinya begitu saja.
Pada 1940, ia mendirikan perpustakaan "Antara" di daerah Tanah Tinggi, Senen, Jakarta
Pusat. Setelah itu, Aidit dan teman seindekosnya yang bernama Mochtar mengusahakan sebuah
penjahitan yang juga diberi nama "Antara". Lokasinya yang strategis menjadikannya tempat
mangkal aktivis pada masa itu, seperti Adam Malik dan Chaerul Saleh. Di sini, berkumpul pula
para seniman yang terkenal dengan nama seniman Senen. Sebagian besar terdiri atas para
pendatang dari Minangkabau yang banyak berjualan dan membuka restoran.
Kemudian Aidit masuk ke Sekolah Dagang ("Handelsschool"). Ia belajar teori politik
Marxis melalui Perhimpunan Demokratik Sosial Hindia Belanda (yang belakangan berganti nama
menjadi Partai Komunis Indonesia). Dalam aktivitas politiknya itu pula ia mulai berkenalan
dengan orang-orang yang kelak memainkan peranan penting dalam politik Indonesia. Menurut
sejumlah temannya, Mohammad Hatta mulanya menaruh banyak harapan dan kepercayaan
kepadanya, dan Aidit menjadi anak didik kesayangan Hatta. Namun belakangan mereka
berseberangan jalan dari segi ideologi politiknya.[butuh rujukan]
Meskipun ia seorang Marxis dan anggota Komunis Internasional (Komintern), Aidit
menunjukkan dukungan terhadap paham Marhaenisme Sukarno dan membiarkan partainya
berkembang tanpa menunjukkan keinginan untuk merebut kekuasaan. Sebagai balasan atas
dukungannya terhadap Sukarno, ia berhasil menjadi Sekjen PKI, dan belakangan Ketua. Di bawah
kepemimpinannya, PKI menjadi partai komunis ketiga terbesar di dunia, setelah Uni Soviet dan
Tiongkok. Ia mengembangkan sejumlah program untuk berbagai kelompok masyarakat, seperti
Pemuda Rakyat, Gerwani, Barisan Tani Indonesia (BTI), Lekra, dan lain-lain.
Dalam kampanye Pemilu 1955, Aidit dan PKI berhasil memperoleh banyak pengikut dan
dukungan karena program-program mereka untuk rakyat kecil di Indonesia. Dalam dasawarsa
berikutnya, PKI menjadi pengimbang dari unsur-unsur konservatif di antara partai-partai politik
Islam dan militer. Berakhirnya sistem parlementer pada tahun 1957 semakin meningkatkan
peranan PKI, karena kekuatan ekstra-parlementer mereka. Ditambah lagi karena koneksi Aidit dan
pemimpin PKI lainnya yang dekat dengan Presiden Sukarno, maka PKI menjadi organisasi massa
yang sangat penting di Indonesia.
Pada 1965, PKI menjadi salah satu partai politik terbesar di Indonesia, dan menjadi
semakin berani dalam memperlihatkan kecenderungannya terhadap kekuasaan. Pada tanggal 30
September 1965 terjadilah tragedi nasional yang dimulai di Jakarta dengan diculik dan dibunuhnya
enam orang jenderal dan seorang perwira. Peristiwa ini dikenal sebagai Peristiwa G-30-S.[butuh
rujukan] Aidit dituduh sebagai dalang peristiwa ini. Dan dia akhirnya dihukum mati oleh militer.
Kelompok 6
Ada beberapa versi tentang kematian D.N. Aidit ini. Menurut versi pertama, Aidit
tertangkap di Jawa Tengah, lalu dibawa oleh sebuah batalyon Kostrad ke Boyolali. Kemudian ia
dibawa ke dekat sebuah sumur dan disuruh berdiri di situ. Kepadanya diberikan waktu setengah
jam sebelum "diberesi". Waktu setengah jam itu digunakan Aidit untuk membuat pidato yang
berapi-api. Hal ini membangkitkan kemarahan semua tentara yang mendengarnya, sehingga
mereka tidak dapat mengendalikan emosi mereka. Akibatnya, mereka kemudian menembaknya
hingga mati. versi yang lain mengatakan bahwa ia diledakkan bersama-sama dengan rumah tempat
ia ditahan. Betapapun juga, sampai sekarang tidak diketahui di mana jenazahnya dimakamkan.
Kelompok 6