Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sejarah suatu bangsa seringkali melahirkan sosok-sosok pemimpin besar yang karakter,
sikap, dan pemikirannya menjadi landasan dasar perjuangan sebuah bangsa dalam menempuh
kemerdekan. Bahkan, tidak sedikit pula di antara mereka, dengan kharisma luar biasa berhasil
mempengaruhi bangsa lain di luar wilayah mereka dengan mengusung kemerdekaan bangsa
mereka sendiri dengan ideologi dan kepercayaan yang sama. Pada mulanya di masa tradisional,
adanya pemahaman mengenai ‘sang penolong’ atau ‘utusan Tuhan’ hampir dimiliki oleh setiap
bangsa serta menjadi harapan dan kekuatan dari masyarakat tersebut. Akan tetapi, seiring
berjalannya waktu, kepercayaan terhadap ‘sang penolong’ tersebut mulai luntur dan digantikan
oleh pemahaman ‘sosok pahlawan’ yang lebih rasional, terutama dalam membangun persepsi
bangsa menuju kemerdekaan dan kemakmuran.
Dalam sejarah Indonesia sendiri pun, ada banyak sosok pemimpin dan pemikir besar dalam
proses mendapatkan kemerdekaan dari penjajahan Belanda. Adanya perubahan dalam melakukan
pergerakan perjuangan saat itu kemudian mengubah keadaan perjuangan ke jalur yang lebih
terstuktur dan terintegritas. Generasi ‘pahlawan’ inipun diwarnai dengan berbagai ragam ideologi,
cara pandang, dan sikap yang setiap kejadiannya memiliki pengaruh yang tidak sedikit terhadap
perkembangan perjuangan bangsa Indonesia. Perbedaan-perbedaan ini didasarkan oleh latar
belakang dan berbagai peristiwa hidup yang berbeda-beda. Hal ini daapt terlihat dari pendidikan,
latar belakang keluarga, masyarakat dan pengalaman hidup yang dialami oleh tokoh pergerakan
dan lain-lain, salah satunya Agus Salim.
Ada alasan mengapa Agus Salim dijuluki sebagai The Grand Old Father Indonesia. Ada
alasan pula mengapa Agus Salim dipandang bukan hanya sebagai seorang ulama yang
berintelektual tinggi, namun juga sebagai seorang jurnalis dan politisi yang berdedikasi. Agus
Salim semasa perjuangannya memiliki banyak karya yang dimuat di berbagai media massa.
Bermodalkan pemikiran yang tajam dan kepribadiannya yang sederhana sekaligus eksentrik, cara
pandang dan buah pikirnya mengenai Indonesia sejak masa kolonial hingga pasca kemerdekaan
merupakan argumentasi yang sudah sewajarnya memiliki apresiasi.

1
Pemikiran Agus Salim mengenai Islam, nasionalisme, dan negara bukan hanya merupakan
isu nasional yang dituliskan lantas disebarkan melalui surat kabar. Pada masa itu, kehadiran Agus
Salim sebagai salah seorang pemuka besar Sarekat Islam dan dihormati secara nasional cukup
untuk membuat ketir Kolonial Belanda dan rasa segan yang besar dari berbagai pihak asing yang
berinteraksi dengannya. Berdasarkan berbagai sumber data, Agus Salim selalu digambarkan
sebagai seseorang dengan kepribadian yang cerdas. Beliau pintar berdiplomasi dan luhur
beragama. Hal ini menimbulkan semacam prestise tersendiri bagi Agus Salim dalam menghadapi
Belanda. Tentu saja Belanda tidak menyukai pemikiran dan cara pandangnya, tetapi fakta Agus
Salim sebagai seorang figur yang bersahaja dan dihormati bukan hanya oleh masyarakat Hindia
Belanda, tetapi juga pihak asing lainnya, hal ini pun membuat kolonial Belanda harus berpikir dua
kali untuk merencanakan sesuatu terhadapnya. Jika ditelusuri lebih jauh, dapat ditemukan bahwa
selama hidupnya, Agus Salim memiliki catatan biografi yang bersih dan tidak pernah ditahan
Belanda.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, dapat dikatakan bahwa pemikiran Agus Salim
mengenai Islam, nasionalisme, dan negara (politik) merupakan suatu pembahasan yang menarik
dan berpengaruh dalam dinamika pergerakan bangsa Indonesia sejak masa kolonial Belanda.
Meninjau hal itu, dirumuskanlah dua pertanyaan berikut:

1. Bagaimana biografi dan latar belakang Haji Agus Salim?


2. Bagaimana pendapat dan pemikiran Haji Agus salim mengenai Islam,
Nasionalisme, dan Negara (Politik)?

1.3 Tujuan Penelitian

Penulisan makalah ini bertujuan memenuhi kriteria penilaian dalam mata kuliah sejarah
pemikiran Islam di Indonesia berupa tugas kelompok dalam bentuk makalah. Selain itu, penulisan
ini juga bertujuan untuk memberikan pengetahuan baru bagi pembaca dalam menafsirkan dan
merefleksikan mengenai cara pandang dan pemikiran Haji Agus Salim itu sendiri.

2
1.4 Manfaat Penulisan

Pembahasan mengenai pemikiran Haji Agus Salim kiranya merupakan sebuah pembahasan
mengenai sikap beliau dalam menanggapi berbagai kebijakan dan sikap Belanda pada masa
kolonial hingga mencapai kemerdekaan. Akan tetapi, pembahasan mengenai cara pandang Agus
Salim termasuk topik yang cukup jarang dibahas. Hal ini mengingat pembahasan yang sering
dilakukan mengenai beliau hanya terpaut pada dinamika dan peristiwa hidup yang beliau alami.
Oleh karena itu, hendaklah makalah ini memberi informasi yang berguna bagi pembaca agar
mengetahui lebih jauh mengenai seorang Agus Salim, mengambil pelajaran darinya, dan mampu
merefleksikannya untuk kehidupan yang lebih baik.

1.5 Metode Penulisan

Metode Penulisan yang digunakan disini terdiri dari pengumpulan sumber data yang
didapatkan dari berbagai pihak. Sumber berupa buku dan jurnal yang dianggap memiliki
keterkaitan tertentu yang mampu menunjang analisa penulis.

3
BAB II
HAJI AGUS SALIM
BIOGRAFI SINGKAT DAN ANALISIS PEMIKIRANNYA

2.1 Biografi dan Latar Belakang Haji Agus Salim

Haji Agus Salim dilahirkan di koto Gadang, Bukit Tinggi pada 8 Oktober 1884. Beliau
lahir dari seorang pejabat pemerintahan sekaligus dari kalangan bangsawan beragama. Haji Agus
Salim terlahir dengan nama Mashudul Haq, dan merupakan anak kelima dari pasangan Sutan
Mohammad Salim dan Siti Zainab. Ayah Agus Salim adalah seorang Jaksa di Riau yang mana
sifat dan karakter ayahnya meresap dalam dirinya hingga dewasa. Tentu saja hal ini bukannya
tanpa sebab, adanya perbedaan pandangan yang dilihat oleh Sutan Mohammad Salim dalam adat
Minangkabau serta pekerjaannya sebagai Jaksa membuat keluarga mereka sering berpindah-
pindah tempat tinggal. Dalam adat Minangkabau, hal itu dianggap sebuah pelanggaran adat, ibu
dalam adat Minangkabau berkedudukan sebagai patokan keturunan dalam keluarga. Demikian
juga dalam urusan mengurus anak, dalam adat Minangkabau ibu mempunyai kewenangan penuh
dalam mengurus anak.1 Dengan dibawanya anak dan istri oleh Sutan Mohammad Salim keluar
dari daerah Minangkabau memunculkan penolakan dengan cara yang telah ditentukan oleh adat.
Sutan Mohammad Salim berpendapat bahwa laki-lakilah yang bertanggung jawab dalam
mengasuh dan mengurus keluarganya. Sikap inilah yang akan diresapi oleh anak- anak Sutan
Mohammad Salim dewasa kelak.
Selain itu, Kota Gadang sebagai kota kelahiran Haji Agus Salim juga memberikan suatu
pengaruh bagi sikap dan kepribadian Haji Agus Salim. Kota yang mempunyai pemandangan indah
ini merupakan penghasil penduduk baik laki-laki maupun perempuan yang terkenal kepintarannya
di atas rata-rata. Hampir semua masyarakat di sana bekerja sebagai pegawai pemerintah dan
mempunyai pendidikan dari Eropa.2 Keadaan koto Gadang dapat dikatakan lebih maju dari daerah
sekitar. Meskipun keadaan agamanya masih sangat tradisional dan kolot, dalam kehidupan

1
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1995), Tokoh-Tokoh Pemikir Paham Kebangsaan : Haji Agus Salim dan
Muhammad Husmi Thamrin. Jakarta : Cv. Dwi Jaya Karya. Hal.9
2
Panitia Buku Peringatan Seratus Tahun Haji Agus Salim (1984), Seratus Tahun Haji Agus Salim, Jakarta: PT. Sinar
Agape Press. Hal.34

4
masyarakat belum dirasakan sebagai sumber kemajuan dalam hidup. Interaksi sosial dan
budayalah yang menjadi sebuah sumber bagi kehidupan masyarakat.3 Menurut Haji Agus Salim
tentang hal tersebut, para ulama hanya mengutamakan segi ibadah dan fiqih, dan melupakan segi
kemasyarakatan.
Pada saat menginjak umur 7 tahun pada tahun 1891, Haji Agus Salim masuk ke sekolah
dasar Belanda, yaitu ELS (Europeesche Lagere Scholl) di Bukit Tinggi.4 Masuknya Haji Agus
Salim di sekolah tersebut menuai pertentangan dalam keluarga ayahnya yang beranggapan bahwa
Agus Salim akan mengubah agamanya menjadi Kristen. Disinilah terlihat kecerdasan seorang Haji
Agus Salim, guru-gurunya pun memberikan pujian bagi dirinya.
Enam tahun belajar di ELS tepatnya pada tahun 1898, Agus Salim menuai prestasi yang
gemilang. Setelah tamat, Haji Agus Salim pun pergi ke Jakarta untuk melanjutkan studinya.
Dengan meninggalkan seluruh keluarganya dikampung halaman, Haji Agus Salim pun resmi
merantau. Studinya dilanjutkan di HBS (Hoger Burgelijke School) dan dalam lima tahun
bersekolah disana, pada tahun 1903, Haji Agus Salim lulus dengan nilai terbaik saat ujian akhir.
Pada masa itu bisa dikatakan bahwa jarang sekali ada anak pribumi yang bersekolah di HBS5.
Gurunya di HBS meramalkan bahwa suatu saat nanti Haji Agus Salim akan menjadi orang penting
bagi Indonesia.
Besar minatnya untuk melanjukan studinya ke jenjang selanjutnya, namun banyak
kegagalan dalam semua usahanya. Setelah lulus Haji Agus salim bekerja di sebuah pertambangan
di Indragiri. Pada tahun 1906, Salim berangkat ke Jeddah, Arab Saudi untuk bekerja di Konsulat
Belanda di sana. Pada periode inilah Salim berguru pada Syeh Ahmad Khatib, yang masih
merupakan pamannya.
Haji Agus Salim kemudian terjun ke dunia jurnalistik sejak tahun 1915 di Harian Neratja
sebagai Redaktur II. Setelah itu diangkat menjadi Ketua Redaksi. Menikah dengan Zaenatun Nahar
dan dikaruniai 8 orang anak. Kegiatannya dalam bidang jurnalistik terus berlangsung hingga
akhirnya menjadi Pemimpin Harian Hindia Baroe di Jakarta. Kemudian mendirikan Surat kabar

3
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1995), Tokoh-Tokoh Pemikir Paham Kebangsaan : Haji Agus Salim dan
Muhammad Husmi Thamrin. Jakarta : Cv. Dwi Jaya Karya. Hal.10
4
Panitia Buku Peringatan Seratus Tahun Haji Agus Salim (1984), Seratus Tahun Haji Agus Salim, Jakarta: PT. Sinar
Agape Press. Hal.36
5
Panitia Buku Peringatan Seratus Tahun Haji Agus Salim (1984), Seratus Tahun Haji Agus Salim, Jakarta: PT. Sinar
Agape Press. Hal.38

5
Fadjar Asia. Dan selanjutnya sebagai Redaktur Harian Moestika di Yogyakarta dan membuka
kantor Advies en Informatie Bureau Penerangan Oemoem (AIPO). Bersamaan dengan itu Agus
Salim terjun dalam dunia politik sebagai pemimpin Sarekat Islam.
Pada tahun 1915 saat Haji Agus Salim dan keluarganya menetap di Jawa, selain memasuki
pergerakan yang menjadi patokan awal gerakan politik di Indonesia di kalangan kaum muslimin.
Karir politiknya dimulai pada 1915 ketika ia bergabung dengan Sarekat Islam (SI), semakin
kuatnya SI saat itu menjadi duri bagi Belanda dan akhirnya, Belanda meminta bantuan Hajdi Agus
Salim untuk menyelidiki SI. Namun, fakta yang terjadi di lapangan-terutama mengenai tuduhan
tidak berdasar yang dialamatkan Belanda itu justru membuat Agus Salim menjadi anggota SI6 dan
menjadi pemimpin kedua di SI setelah H.O.S. Tjokroaminoto. Bagi Islam di Indonesia, munculnya
SI tahun 1912 sebagai partai politik pertama merupakan bukti yang jelas tentang kaitannya islam
dengan realitas politik di Indonesia. Sejak itu, Haji Agus Salim banyak terlibat dalam pentas politik
bangsa ini, terutama berperan pada masa perjuangan kemerdekaan. Haji Agus Salim memberikan
sebuah ide yang sangat penting, yaitu mengusahakan cita-cita sarekat islam dapat terjalankan
dengan lancar baik dikalangan masyarakat kaum intelektual maupun rakyat awam secara
keseluruhan di Indonesia sehingga usaha menuju terciptanya masyarakat Islam Indonesia yang
berdaulat dan merdeka secara perlahan terwujud melalui surat kabar.7
Sejak itu, Haji Agus Salim banyak terlibat dalam pentas politik bangsa ini, terutama
berperan pada masa perjuangan kemerdekaan. Peran sertanya dalam perjuangan kemerdekaan RI
antara lain: Anggota Volksraad (1921-1924); Anggota panitia 9 BPUPKI yang mempersiapkan
UUD 19945; Menteri Muda Luar Negeri Kabinet Sjahrir II 1946 dan Kabinet III 1947; Pembukaan
hubungan diplomatik Indonesia dengan negara-negara Arab, terutama Mesir pada tahun 1947;
Menteri Luar Negeri Kabinet Amir Sjarifuddin 1947; Menteri Luar Negeri Kabinet Hatta 1948-
1949.

6
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1995), Tokoh-Tokoh Pemikir Paham Kebangsaan : Haji Agus Salim dan
Muhammad Husmi Thamrin. Jakarta : Cv. Dwi Jaya Karya. Hal. 40
7
Ibid

6
2.2 Analisis dan Pemikiran Agus Salim

Berbicara mengenai cara pandang Agus Salim setelah terjun langsung dalam Sarekat Islam
dan dunia perpolitikan Hindia Belanda, secara tidak langsung pembicaraan tersebut mengarah
pada tulisan-tulisan, pidato, dan karakter pribadinya dalam merumuskan permasalahan dan solusi.
Riwayat pendidikannya yang bersinggungan langsung dengan sistem Belanda dan Agama
membuat Agus Salim selalu memiliki landasan yang kuat dan rasional dalam mengkritisi ataupun
memberi saran terhadap Belanda. Terlebih, ia memiliki posisi di berbagai media jurnalistik.
Mengingat ia adalah seorang yang pintar berdiplomasi, Ia memiliki kemampuan untuk
menghimpun massa dan mendorong orang-orang untuk mengikuti cara pikirnya tanpa paksaan.
Di masa sebelum merdeka, Agus Salim memiliki begitu banyak cara pandang yang dimuat di
berbagai surat kabar ataupun saat ia berkhotbah dan ceramah. Berdasarkan berbagai sumber, salah
satu pandangan menarik yang pernah ia ucapkan ia pandangan mengenai kemandirian dan usaha
perjuangan bangsa dalam meraih kemerdekaan8. Seperti yang telah kita ketahui, upaya dalam
mencari kebebasan dan pengakuan sebagai warga yang merdeka tidak selalu berjalan dengan
mulus. Kolonial Belanda hobi memasang janji, namun tidak pernah tertarik untuk menepati
sehingga sering menimbulkan keresahan dari diri warga pribumi. Kemandirian dan usaha
perjuangan bangsa yang dimaksudkan Agus Salim tidak hanya terbatas pada ‘berjuang’ saja, tetapi
mencakup segala aspek seperti: pendidikan, ekonomi, budaya, dan sebagainya. Hal ini tentu saja
berdasarkan landasan bahwa bangsa yang merdeka adalah bangsa yang memiliki kesanggupan
untuk menopang dan menegakkan punggung bangsanya sendiri. Sebagaimana yang pernah
diucapkan beliau:

“… bangsa yang hendak mencapai kemerdekaannya, yang hendak menurut kekuatan dan
kecakapan akan berdiri sendiri, tak harus senantiasa menadahkan tangan, menantikan
pemberian orang saja, melainkan harus menggerakkan segala tenaganya dan berusaha sekuat-
kuatnya. Sebelum kita membuktikan bahwa kita kuat dan pandai mengikhtiarkan segala

8
Muhammad Yazid, (1987), Haji Agus Salim (1984-1954) Riwayat Hidup, Peranan, dan Beberapa Pemikirannya,
Jakarta: UI-Skripsi

7
keperluan kita sendiri,tidaklah layak kita beroleh kemerdekaan akan berdiri sebagai bangsa
sendiri.9”

Di sisi lain, faktor kemandirian bangsa yang ditegaskan oleh Agus Salim, beliau katakan
bahwa semua itu dapat dilakukan jika bangsa Indonesia sendiri memiliki keinginan untuk berjuang
dan pantang menyerah. Salah satu contoh di sini ialah, Agus Salim tidak menganjurkan pendidikan
yang tergantung pada pihak asing. Ia beralasan, jika seandainya pendidikan, terutama dalam
menanamkan budi pekerti, pemahaman bangsa, pembentukan karakter dan mental tergantung pada
Belanda, sudah sepatutnya bahwa bangsa Indonesia sendiripun harus bisa mengusahakannya
sendiri, dengan instrumen-instrumen seperti perlengkapan ngajar-mengajar dan para guru dari para
pribumi10. Pendidikan yang disuguhkan oleh Belanda bukanlah satu-satunya tempat untuk
membentuk suatu generasi yang pandai dan berdikari. Rasa nasionalisme Agus Salim mengenai
kemandirian bangsa pun terlihat dengan adanya sikap skeptis beliau terhadap penolakan-
penolakan Belanda terhadap mahasiswa-mahasiswa pribumi di sekolah mereka. Tentu saja hal ini
pun menjadi suatu landasan yang kuat dari Agus Salim terhadap pendiriannya.
Sementara itu, pemikiran beliau mengenai kemandirian dalam pendidikan bangsa pun
bukan hanya sekedar tulisan dan ucapan belaka. Dalam proses pendidikan di keluarganya, Agus
Salim sendiri yang turun langsung dalam mengajar dan mendidik anak-anaknya11. Diketahui
berdasarkan data yang ada, semasa zaman sebelum kemerdekaan, Agus Salim tidak pernah
menyekolahkan anak-anaknya di sekolah formal Belanda. Tentang hal ini, beliau beralasan bahwa
rasa ketidakpercayaan yang besar terhadap Belanda adalah alasannya.
Proses kemandirian bangsa yang diterangkan Agus Salim juga mencakup ihwal ekonomi,
terutama kenaikan derajat karena harta benda dan kekayaan12. Pandangan mengenai syarat
kemerdekaan adalah kekayaan bangsa merupakan salah satu pemahaman yang di masa itu sering
dilontarkan oleh Belanda terhadap kaum pribumi demi melemahkan mental mereka dan
menurunkan semangat nasionalisme. Dalam hal ini, Agus Salim berargumen bahwa syarat untuk
mencapai kemerdekaan bukanlah saat bangsa memiliki harta benda yang banyak sehingga naik

9
Ibid,-
10
Ibid,-
11
Mukayat, (1985), Haji Agus Salim; Karya dan Pengabdiannya, Jakarta: KEMENDIKBUD.
12
Muhammad Yazid, OP.Cit,-

8
derajat bangsanya. Namun, bangsa dapat dikatakan merdeka jika mereka memiliki ‘hak merdeka’,
baik secara idividu maupun kelompok. Seperti dikutip dalam tulisannya,

“… bahwa tiap-tiap bangsa yang hina papa beroleh kemerdekaan dan hak-hak kebebasan
lebih dulu, setelah itu mendapat kekuasaan, akhirnya mengumpulkan harta13.”

Agus Salim juga menolak perkataan Belanda mengenai kemerdekaan yang harus dicapai
dengan jalan mengangsur-angsur14. Hal ini menimbulkan semacam polemik, terutama rasa
kebencian terhadap Belanda yang semakin menjadi-jadi dari kalangan pribumi. Salah satu alasan
yang memperkuat ketidakpercayaan bangsa ini adalah dengan janji November Belofte, yang
dikeluarkan langsung oleh ratu Wihelmina pada November 1918 yang tidak pernah ditepati
Belanda. Di sisi lain, Belanda beranggapan bahwa ketidaksiapan bangsa Indonesia untuk merdeka
dilandasi dengan ilmu pengetahuan bangsa yang masih minim. Terang saja, Agus Salim dengan
keras membantah pernyataan tersebut dengan,

“bahwa kemajuan dan kemerdekaan suatu bangsa, tidak tergantung kepada


kecerdasannya dalam ilmu pengetahuan, melainkan pada kekuatannya dalam memaksa
bangsa-bangsa lain akan mengakui kemerdekaannya dan ketinggiannya derajat itu.”

Agus Salim berpikir bahwa alasan bangsa Belanda mengenai kekurangan pendidikan bagi
bangsa Indonesia itu dinilai terlalu mengada-ada. Masalahnya, bahkan walaupun bangsa Indonesia
sendiri pun sangat menginginkan pemberdayaan masyarakatnya melalui pengembangan ilmu
pengetahuan, Belanda akan berupaya untuk menghalangi proses kemajuannya. Oleh karena itu,
minimnya pengetahuan bukanlah alasan, tetapi merdeka untuk mendapatkan hak-hak tersebutlah
menjadi penghalang dalam pelaksanaannya.
Perihal ucapannya mengenai memaksa bangsa-bangsa lain, hal ini tentunya bukan dalam
makna ‘harfiah’ dari kata memaksa itu sendiri. Agus Salim menjelaskannya berdasarkan contoh
peristiwa sejarah lain, yakninya kemenangan Jepang atas Rusia. Jepang, sebagai negara yang
dulunya pernah mengisolasi diri, berhasil bangkit dan berperang. Kemenangan yang mereka capai

13
Ibid,-
14
Ibid,-

9
sebagai bangsa yang Asia pertama yang memenangkan pertempuran terhadap bangsa Eropa inipun
kemudian memunculkan pandangan baru mengenai derajat mereka sebagai bangsa yang mendapat
pengakuan dan integritas. Dapat dimaknai bahwa, Jepang secara tidak langsung berhasil memaksa
bangsa lain untuk mengakui keberadaan dirinya.
Akan tetapi, dalam perjuangan meraih kemerdekaan tersebut, Agus Salim berpandangan
bahwa jalan yang ditempuh tetaplah jalan yang aman dan diridhoi oleh Allah. Beliau tidak
menganjurkan kemenangan yang didapatkan dengan jalur bersenjata ataupun kekerasan. Hal ini
dilandasi dengan filosofi Islam beliau yang mendalam. Sebagai seorang murid dari Syekh Ahmad
Khatib saat beliau berada di Jeddah, pemahaman mengenai peperangan dan perjuangan dalam
Islam dipahami dengan sangat baik. Hal ini sesuai dengan ucapannya,

”…Melawan dengan kekerasan tentu kita berdosa kepada Allah dan kepada dunia.
Apalagi tiada akan lain akibatnya melainkan kebinasaan juga atas diri kita karena kita sudah
tertinggal. Jalan yang terbuka bagi kita tiada lain, melainkan jalan keamanan. Kita sekalian
harus bersatu hati dan bersatu haluan meminta dan menuntut: Hukum Persamaan derajat,
persamaan hak dan persamaan hokum antara sekalian penduduk Hindia dan terutama sekali, hak
akan diberi campur bermusawarat dan bersuara dengan secukup-cukupnya dalam hal mengurus
rumah tangga tanah air kita15.”

Dalam proses perjalanannya, pandangan Agus Salim kiranya memiliki pengaruh yang
besar terhadap pergerakan kaum pribumi Indonesia, khususnya kaum agamawan yang berasal dari
Sarekat Islam. Posisi beliau yang tinggi dan dihormati nyatanya memberi pengaruh yang kuat
terhadap para anggota SI, terutama dalam mengarahkan rasa nasionalisme mereka agar lebih
Islami. Agus Salim menginginkan setiap anggotanya memiliki pengetahuan yang cerdas, radikal,
serta bergerak pada jalur yang islami dengan niat murni karena Allah, yang ditandai dengan sikap
dan cita-cita hidup yang tulus untuk kemerdekaan bangsa Indonesia. Di samping itu, Agus Salim
juga menekankan adanya persatuan antara kaum petani, pedagang, dan pekerja daalm upaya
menentang segala perbudakan politik dan ekonomi. Ia menyerukan cita-cita dan pemikirannya
dalam ceramah-ceramah dan forum pertemua SI, media massa seperti surat kabar neratja, dunia

15
Ibid,-

10
Islam dan sebagainya, radio-radio, rapat-rapat Volksraad dan lain-lain. Sebagaimana yang
dikatakannya,

“Pemuda-pemuda Islam harus mengajukan pengetahuannya dan hidup secara agama.


Kebangsaan hendaknya dijiwai cita-cita keagamaan16”

Pemikiran Agus Salim mengenai nasionalisme Islam ini juga bertolak dari perjalanan
sejarah bangsa Indonesia sendiri. Dapat dikatakan, Agus Salim memiliki semacam kekhawatiran
terhadap para pemuda Islam yang acuh tak acuh terhadap agamanya sendiri dan akhirnya menjadi
sinis dan mengikuti gaya dan kultur dari pihak asing, terutama Belanda. Masalahnya, jika berbicara
menggunakan fakta dan logika, keteguhan pendirian mengenai agama itu sangat penting. Hal ini
disebabkan, keteguhan yang murni dan tulus karena Allah itulah yang nantinya melahirkan
semangat nasionalisme dan perjuangan yang sangat kuat dan tidak tergiur oleh Belanda. Pemikiran
ini juga bertolak belakang dari adanya pemikiran politik Belanda yang pernah diajukan oleh ahli
politik Belanda dalam perang Aceh, Snouck Hongronje, mengenai pemisahan antara agama dan
negara dalam perpolitikan dan urusan kenegaraan. Seiring perjalanan waktu, taktik Belanda
tersebut berhasil. Pemisahan antara agama dan negara pada nyatanya mampu memanipulasi dan
mengadu domba bangsa Indonesia. Bagi Agus Salim, perkara itu bukanlah perkara enteng. Hal
tersebut bisa menimbulkan semacam kebencian terhadap agama Islam dan anggapan-anggapan
buruk lain seperti menghambat kemajuan cara berpikir bangsa dan segala macamnya. Oleh karena
itu, hal tersebut harus dicegah dan diluruskan permasalahannya17.
Pemurnian ajaran Islam dan pembenaran kembali mengenai Islam dan nasionlisme negara
ini juga tercermin dalam tindakan Agus Salim di dalam SI dengan mengadakan aturan pelarangan
adanya dualism partai di tubuh SI pada tahun 1921. Terang saja, hal ini membuat semua anggota
SI yang memiliki dua partai atau golongan harus memilih untuk tetap bergabung atau keluar dari
SI, khususnya keluarnya Semaun, Darsono, beserta kawan-kawannya yang memiliki landasan
berpikir komunis. Sikap ini jugalah yang mendasari perubahan landasan politik SI menjadi Non-

16
Sarah Nadjib Bamhemod, (2015), Pemikiran Politik Haji Agus Salim tentang Nasionalisme Islam, Medan: USU-
Skripsi
17
…., (1954), Djedjak Langkah Hadji A. Salim; Pilihan Karangan, Utjapan, dan Pendapat Beliau dari Dulu sampai
Sekarang, Djakarta: Tintamas.

11
kooperasi dengan pihak Belanda dan menamainya kondisi politiknya tersebut dengan Politik
Hijrah pada tahun 1924.
Salah satu hal yang paling menarik mengenai Agus Salim dan pemikirannya di sini adalah,
perihal perbedaan pendapatnya dengan Ir.Soekarno mengenai arti dan maksud ‘nasionalisme’ itu
sendiri. Ini dikatakan menarik karena perbedaan pendapat dan penyaluran pemikiran tersebut
dilakukan ketika kedua orang ini sedang mengikuti forum-forum, terutama BPUPKI dan PPKI.
Menilik tentang hal ini, perlu diketahui mengenai perbedaan karakter dan latar belakang antara
Agus Salim dan Soekarno. Pada dasarnya, Agus Salim seorang ulama yang berkecimpung
dibidang politik (SI), dengan orientasi pembentukan negara yang didasari oleh Islam. Sementara,
Soekarno adalah tokoh yang netral terhadap agama dan memiliki pandangan bahwa agama berbeda
dengan negara sehingga dalam penyelesaian urusannya pun harus diselesaikan dengan urusan
negara saja tanpa mencampur baurkan dengan agama. Pendapat ini pun terang-terangan dibantah
oleh Agus Salim,

“Agama yang menghambakan manusia kepada berhala “tanah air” itu mendekatkan
kepada persaingan berebut-rebut kekayaan, kemegahan dan kebesaran; kepada membusukkan,
memperhinakan, dan merusakkan tanah air orang lain. Dengan tidak mengingati hak dan
keadilan…18”

Dalam hal ini, Agus Salim memberi perumpamaan dengan menilik peristiwa sejarah yang
dialami Eropa, yakninya mengenai kehausan emansipasi wilayah oleh pasukan Napoleon
Bonaparte. Keinginan dan kecintaan yang berlebihan terhadap ‘tanah air’ tersebut bisa
mendatangkan rasa tamak yang berlebihan dan sulit untuk berhenti-yang pada akhirnya justru akan
menimbulkan kerugian terhadap bangsa sendiri. Dapat dikatakan, Agus Salim menginginkan dasar
negara yang dapat terikat kuat dengan diri, namun juga memiliki dinding pembatas bagi bangsa
dari ketamakan tersebut, yakninya Syariat Islam.
Terang saja, pendapat Agus Salim ditolak oleh Soekarno. Ia berdalih, bahwa nasionalisme
yang ditawarkan olehnya bukanlah nasionalisme yang serupa dengan Eropa. Ia menggambarkan
nasionalisme yang dimilikinya adalah nasionalisme yang sama dengan yang diperjuangkan oleh
tokoh-tokoh revolusioner seperti Mahatma Gandhi dan CR. Das dari India, Sun Yat Sen dari

18
Muhammad Yazid, Op.Cit,-

12
China, berbagai tokoh revolusioner lainnya. Soekarno menamai nasionalisme-nya dengan
nasionalisme ke-Timur-an19, yakninya nasionalisme yang tidak agresif, suka menyerang-nyerang,
bersikap membabi buta dan semacamnya. Akan tetapi nasionalisme yang lahir oleh perasaan suka
dan duka sebagai bangsa Indonesia.
Berdasarkan hal tersebut, dapat dikatakan bahwa nasionalisme yang diajukan oleh Agus
Salim dan Soekarno perihal tujuan dan bidang kerja sama, tetapi memiliki cara pandang dan
landasan dasar yang berbeda. Soekarno yang berasal dari PNI dan Agus Salim berasal dari SI yang
di antara keduanya, memang memiliki landasan ideology yang berbeda pula. Akan tetapi, meski
memiliki pandangan yang berbeda, diketahui bahwa Soekarno sangat menghormati kebijaksanaan
Agus Salim dan di masa setelah kemerdekaan, Agus Salim menjabat sebagai Mentri Muda Luar
Negeri Indonesia pada masa Kabinet Syahrir II dan III. Agus Salim juga sering mendapat
kepercayaan sebagai perwakilan Indonesia dalam forum-forum internasional. Hal ini juga tidak
terlepas dari keahlian dan kecerdasan Agus Salim dalam berdiplomasi. Di sisi lain, Agus salim
juga sangat menghargai Soekarno. Hal ini dibuktikan dengan, meski mereka berdua memiliki cara
pandang yang berbeda, Agus Salim tetap mendukung dan berada di sisi pemerintahan Soekarno
hingga akhir hayatnya.

19
Ibid,-

13
BAB III
KESIMPULAN

Sebagai seorang tokoh berintelektual yang sangat dihormati dan dihargai bangsa, semasa
perjalanan hidupnya, Agus Salim justru hidup dengan penuh kesederhanaan dan tidak terikat
dengan berbagai tawaran kekayaan yang diberikan padanya. Diketahui, Agus Salim adalah seorang
pejabat ‘melarat’ dalam struktur pemerintahan Indonesia pasca kemerdekaan. Beliau sering
berpindah rumah, tidak memiliki mobil, memilih hidup seadanya, namun memiliki jiwa yang
sangat bijak dan intelektual yang begitu berdikari. Agus Salim adalah salah satu tokoh yang sering
digambarkan sebagai seseorang yang keras kepala karena keyakinannya, namun juga bersabar
dalam menghadapi berbagai polemik. Hal ini dibuktikan dengan sikap sabarnya menghadapi
Semaun, Darsono, dan golongan kiri lain yang berusaha untuk mengambil alih dan memengaruhi
SI agar menolak bergabung dengan Volksraad serta mengubah taktik politik kooperasi menjadi
non-kooperasi. Agus Salim merupakan salah satu tokoh yang menolak ajakan tersebut. Hal ini
bukan karena Agus Salim memihak terhadap Belanda, namun pranalar beliau mengenai dinamika
bangsa Indonesia yang saat itu masih terpecah belah dan sulit berbaur, baik antar golongan, partai,
maupun daerah. Tentu saja hal ini menimbulkan semacam kontradiksi antara rasa nasionalisme
mandiri yang ingin diterapkan oleh Agus Salim. Akan tetapi, dapat dikatakan dari kenyataan ini
bahwa Agus Salim bukanlah tipikal orang yang terburu-buru. Beliau seseorang yang memiliki ide,
namun bukan seseorang yang egois terhadap keinginannya. Beliau seseorang yang keras kepala,
namun dengan sikap eksentriknya, ia memilih untuk hidup sederhana.
Pemikiran-pemikiran Agus Salim di masa itu memiliki pengaruh yang sangat besar dalam
dinamika pergerakan kebangsaan, khususnya SI. Penolakan terhadap paham nasionalisme ‘tanah
air’ Soekarno tak lantas membuat Agus Salim mundur dari kancah perpolitikan Indonesia. Beliau
tetap menelurkan karya-karyanya dan berbicara di berbagai forum nasional maupun internasional.
Intelektualitasnya yang tinggi dan keahliannya dalam berdiplomasi membuatnya dihormati dan
dihargai oleh semua orang. Ia memiliki kecakapan Bahasa yang tangguh sehingga tak jarang Agus
Salim sering mendapat pujian publik. Kiranya, pemikiran-pemikiran dari The Grand Old Father
itu bukan hanya terealisasi di masa hidup beliau saja. Akan tetapi, kita sebagai generasi penerus
hendaklah mengambil kesimpulan dan pembelajaran dari beliau dan memanfaatkannya demi
kebaikan kita dan bangsa Indonesia di masa depan.

14
DAFTAR PUSTAKA

…., (1954), Djedjak Langkah Hadji A. Salim; Pilihan Karangan, Utjapan, dan Pendapat Beliau
dari Dulu sampai Sekarang, Djakarta: Tintamas.
Mukayat, (1985), Haji Agus Salim; Karya dan Pengabdiannya, Jakarta: KEMENDIKBUD.
Suradi, (1997), Haji Agus Salim dan Konflik Politik dalam Sarekat Islam, Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan.
Bamhemod, Sarah Nadjib, (2015), Pemikiran Politik Haji Agus Salim tentang Nasionalisme Islam,
Medan: USU-Skripsi
Panitia Buku Peringatan Seratus Tahun Haji Agus Salim (1984), Seratus Tahun Haji Agus Salim,
Jakarta: PT. Sinar Agape Press
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1995), Tokoh-Tokoh Pemikir Paham Kebangsaan :
Haji Agus Salim dan Muhammad Husmi Thamrin. Jakarta : Cv. Dwi Jaya Karya
Yazid,Muhammad (1987), Haji Agus Salim (1984-1954) Riwayat Hidup, Peranan, dan Beberapa
Pemikirannya, Jakarta: UI-Skripsi

15

Anda mungkin juga menyukai