Anda di halaman 1dari 9

Nama : Zidni Hafidzah Ilma (32)

Kelas : X MIPA 4

Biografi Haji Agus Salim. Ia dikenal sebagai salah satu pahlawan Indonesia, Mengenai
kehidupan Haji Agus Salim berikut profilnya. Haji Agus Salim lahir dengan
nama Mashudul Haq yang berarti “pembela kebenaran”. Dia Lahir di Kota Gadang, Agam,
Sumatera Barat, Hindia Belanda, 8 Oktober 1884.

Dia menjadi anak keempat Sultan Moehammad Salim, seorang jaksa di sebuah pengadilan
negeri. Karena kedudukan ayahnya Agus Salim bisa belajar di sekolah-sekolah Belanda
dengan lancar, selain karena dia anak yang cerdas.

Dalam usia muda, dia telah menguasai sedikitnya tujuh bahasa asing; Belanda, Inggris, Arab,
Turki, Perancis, Jepang, dan Jerman. Pada 1903 dia lulus HBS (Hogere Burger School) atau
sekolah menengah atas 5 tahun pada usia 19 tahun dengan predikat lulusan terbaik di tiga
kota, yakni Surabaya, Semarang, dan Jakarta.

Kehidupan Haji Agus Salim


Karena itu, Agus Salim berharap pemerintah mau mengabulkan permohonan beasiswanya
untuk melanjutkan sekolah kedokteran di Belanda. Tapi, permohonan itu ternyata ditolak. Dia
patah arang. Tapi, kecerdasannya menarik perhatian Kartini, anak Bupati Jepara. Sebuah
cuplikan dari surat Kartini ke Ny. Abendanon, istri pejabat yang menentukan pemberian
beasiswa pemerintah pada Kartini:

Lalu, Kartini merekomendasikan Agus Salim untuk menggantikan dirinya berangkat ke


Belanda, karena pernikahannya dan adat Jawa yang tak memungkinkan seorang puteri
bersekolah tinggi. Caranya dengan mengalihkan beasiswa sebesar 4.800 gulden dari
pemerintah ke Agus Salim. Pemerintah akhirnya setuju. Tapi, Agus Salim menolak.

Dia beranggapan pemberian itu karena usul orang lain, bukan karena penghargaan atas
kecerdasan dan jerih payahnya. Salim tersinggung dengan sikap pemerintah yang
diskriminatif. Apakah karena Kartini berasal dari keluarga bangsawan Jawa yang memiliki
hubungan baik dan erat dengan pejabat dan tokoh pemerintah sehingga Kartini mudah
memperoleh beasiswa?
Karir Politik Haji Agus Salim
Belakangan, Agus Salim memilih berangkat ke Jedah, Arab Saudi, untuk bekerja sebagai
penerjemah di konsulat Belanda di kota itu antara 1906-1911. Di sana, dia memperdalam
ilmu agama Islam pada Syech Ahmad Khatib, imam Masjidil Haram yang juga pamannya,
serta mempelajari diplomasi. Sepulang dari Jedah, dia mendirikan sekolah HIS (Hollandsche
Inlandsche School), dan kemudian masuk dunia pergerakan nasional.

Karir politik Agus Salim berawal di SI, bergabung dengan HOS Tjokroaminoto dan Abdul
Muis pada 915. Ketika kedua tokoh itu mengundurkan diri dari Volksraad sebagai wakil SI
akibat kekecewaan mereka terhadap pemerintah Belanda, Agus Salim menggantikan mereka
selama empat tahun (1921-1924) di lembaga itu. Tapi, sebagaimana pendahulunya, dia
merasa perjuangan “dari dalam” tak membawa manfaat. Dia keluar dari Volksraad dan
berkonsentrasi di SI.

Pada 1923, benih perpecahan mulai timbul di SI. Semaun dan kawan-kawan menghendaki SI
menjadi organisasi yang condong ke kiri, sedangkan Agus Salim dan Tjokroaminoto
menolaknya. Buntutnya SI terbelah dua: Semaun membentuk Sarekat Rakyat yang kemudian
berubah menjadi PKI, sedangkan Agus Salim tetap bertahan di SI. Karier politiknya
sebenarnya tidak begitu mulus.

Dia pernah dicurigai rekan-rekannya sebagai mata-mata karena pernah bekerja pada
pemerintah. Apalagi, dia tak pernah ditangkap dan dipenjara seperti Tjokroaminoto. Tapi,
beberapa tulisan dan pidato Agus Salim yang menyinggung pemerintah mematahkan
tuduhan-tuduhan itu. Bahkan dia berhasil menggantikan posisi Tjokroaminoto sebagai ketua
setelah pendiri SI itu meninggal dunia pada 1934.

Peran Haji Agus Salim


Selain menjadi tokoh SI, Agus Salim juga merupakan salah satu pendiri Jong Islamieten
Bond. Di sini dia membuat gebrakan untuk meluluhkan doktrin keagamaan yang kaku.
Dalam kongres Jong Islamieten Bond ke-2 di Yogyakarta pada 1927, Agus Salim dengan
persetujuan pengurus Jong Islamieten Bond menyatukan tempat duduk perempuan dan laki-
laki. Ini berbeda dari kongres dua tahun sebelumnya yang dipisahkan tabir; perempuan di
belakang, laki-laki di depan. ”Ajaran dan semangat Islam memelopori emansipasi
perempuan,” ujarnya.

Agus Salim pernah menjadi anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada
akhir kekuasaan Jepang. Ketika Indonesia merdeka, dia diangkat menjadi anggota Dewan
Pertimbangan Agung. Kepiawaiannya berdiplomasi membuat dia dipercaya sebagai Menteri
Muda Luar Negeri dalam Kabinet Syahrir I dan II serta menjadi Menteri Luar Negeri dalam
Kabinet Hatta. Sesudah pengakuan kedaulatan Agus Salim ditunjuk sebagai penasehat
Menteri Luar Negeri.

Dengan badannya yang kecil, di kalangan diplomatik Agus Salim dikenal dengan julukan
The Grand Old Man, sebagai bentuk pengakuan atas prestasinya di bidang diplomasi. Sebagai
pribadi yang dikenal berjiwa bebas. Dia tak pernah mau dikekang oleh batasan-batasan,
bahkan dia berani mendobrak tradisi Minang yang kuat. Tegas sebagai politisi, tapi sederhana
dalam sikap dan keseharian.

Dia berpindah-pindah rumah kontrakan ketika di Surabaya, Yogyakarta, dan Jakarta. Di


rumah sederhana itulah dia menjadi pendidik bagi anak-anaknya, kecuali si bungsu, bukan
memasukkannya ke pendidikan formal. Alasannya, selama hidupnya Agus Salim mendapat
segalanya dari luar sekolah. ”Saya telah melalui jalan berlumpur akibat pendidikan kolonial,”
ujarnya tentang penolakannya terhadap pendidikan formal kolonial yang juga sebagai bentuk
pembangkangannya terhadap kekuasaan Belanda. Agus Salim wafat pada 4 November 1954
dalam usia 70 tahun.

Dalam teori komunikasi, pola berpikir seseorang dipengaruhi oleh latar belakang hidup di
lingkungannya. Seorang tokoh yang berperan dalam gerakan moderen Islam di Indonesia,
Agus Salim, memiliki pola berpikir yang dipengaruhi oleh lingkungannya dalam hal sosial-
intelektual. Dia adalah anak dari pejabat pemerintah yang juga berasal dari kalangan
bangsawan dan agama.

Jadi, sejak kecil ia hidup di lingkungan yang penuh dengan nuansa-nuansa keagamaan.
Setelah menyelesaikan studi sekolah pertengahannya di Jakarta, dia bekerja untuk konsulat
Belanda di Jeddah (1906-1909). Di sini dia mempelajari kembali lebih dalam tentang Islam,
kendatipun dia memberi pengakuan: “meskipun saya terlahir dalam sebuah keluarga Muslim
yang taat dan mendapatkan pendidikan agama sejak dari masa kanak-kanak, [setelah masuk
sekolah Belanda] saya mulai merasa kehilangan iman.”
Walaupun demikian, tidak berarti bahwa Agus Salim adalah seorang yang anti-nasionalisme.
Perjuangannya dalam mempersiapkan kemerdekaan bangsa kita adalah bukti bahwa dia
adalah seorang yang berjiwa nasionalisme. Perjuangan Agus salim dalam meraih
kemakmuran bagi rakyat Indonesia patut kita apresiasi bersama sebagai rasa syukur kita
kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Selanjutnya, kenikmatan hidup saat ini yang kita rasakan di Indonesia tak lain dan tak bukan
adalah hasil jerih payah dari para pejuang kemerdekan dan alangkah lebih baik apabila
perjuangan mereka di masa lalu dapat kita hayati untuk merevitalisasi semangat dalam diri
menggali secara konsisten khazanah-khazanah keislaman, kemoderenan, dan keindonesiaan.

Hal yang dapat diteladani :

 Jiwa dan kepemimpinan yang besar


 Memiliki rasa cinta tanah air dan rasa kebangsaan/Nasionalisme yang tinggi
 Patriotisme yang tinggi dan pantang menyerah
 Kepercayaan diri yang kuat untuk merdeka
 Berani membela kebenaran dan keadilan
 Memiliki jiwa pengabdian yang tinggi
 Rela berkorban untuk kepentingan bangsa dan negara
 Jujur dan bertanggung jawab
 Mengutamakan kepentingan bangsa dan negara/kepentingan umum
 Budi pekerti yang baik dan bertindak terpuji dalam kehidupan sehari-hari

Hal Yang Menarik :

1. Ulama Rasional Panutan Para Santri

Ada beberapa hal yang patut diapresiasi dari cara Agus Salim melakukan dakwah. Diantara
yang cukup menonjol adalah berpikir rasional dalam menyikapi pesan-pesan agama.
Misalnya dalam hal puasa yang mengikuti waktu matahari terbit dan terbenam. Ketika tinggal
di Amerika, Salim selalu sahur jam 4 subuh dan berbuka jam 7 malam. Padahal sesuai waktu
setempat, berbuka seharusnya pada pukul 10 malam. Dalam perkara ini, Salim melakukan
ijtihad dengan berpuasa mengikuti kebiasaan di Indonesia. Salim juga berpendapat
bahwa wine boleh diminum asal tidak memabukkan. Hal ini diperoleh dari keterangan Emil
Salim yang dikutip Majalah Tempo Edisi Kemerdekaan (Agustus 2013). Menurut Emil :
“Om tahu batas. Ia tidak mabuk. Tubuhnya yang dihangatkan, bukan otak”, begitu penjelasan
putra Bey Salim (adik Agus Salim) ketika diwawancarai wartawan Tempo. Satu lagi tindakan
Salim yang dirujuk banyak ulama hingga sekarang adalah dibukanya tabir pembatas antara
laki-laki dan perempuan, ketika berlangsung musyawarah Jong Islamieten Bond (JIB).
Menurutnya tabir itu merupakan produk budaya Arab – bukan Islam, simbol penindasan
terhadap kaum perempuan.

Meski sikap Salim cenderung nyeleneh dan bertentangan dengan banyak ulama ketika itu,
namun ia tak dicap menganut aliran liberal. Malah pemikirannya itu kemudian, banyak dipuji
oleh tokoh-tokoh Islam seperti Nurcholish Madjid dan Ahmad Syafii Maarif. Kita bisa
memahami kedalaman ilmu Agus Salim, karena ia sempat berguru selama lima tahun di
Hejaz, Arab Saudi. Salah satu ulama yang mempengaruhi cakrawala pemikirannya adalah
Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, yang juga merupakan pamannya. Dari ulama
tersebut ia memperoleh banyak ilmu baru, terutama mengenai fikih Islam.

2. Pemimpin yang Mau Hidup Miskin

Haji Agus Salim merupakan sedikit dari pemimpin bangsa yang mau hidup susah. Jika saja ia
mau meneruskan pekerjaannya sebagai konsulat Belanda di Arab Saudi, mungkin Salim tak
akan hidup melarat. Pada awal abad ke-20 Salim sudah beroleh gaji sangat besar, 200 gulden
per bulan. Menurut budayawan Ridwan Saidi, gaji itu sangat besar untuk ukuran orang
Melayu. Sebagai perbandingan, sebuah keluarga dengan satu istri dan tiga anak, saat itu dapat
hidup layak hanya dengan 15 gulden per bulan. Namun Salim meninggalkan itu semua, dan
memilih menjadi aktivis Sarekat Islam (SI).

Ketika menjadi aktivis SI, Salim juga menjabat sebagai pemimpin redaksi “Hindia Baroe”,
koran yang dimiliki beberapa pengusaha Belanda. Melalui koran ini, ia sering mengkritik
kebijakan pemerintah kolonial yang tidak pro-rakyat. Oleh para pemiliknya, Salim diminta
untuk tidak terlalu keras mengkritik pemerintah. Namun permintaan itu malah dijawabnya
dengan pengunduran diri. Karena ingin hidup bebas dan idealis, Salim tak mempunyai
pendapatan tetap. Akibatnya ia kerap berpindah-pindah rumah, dari kontrakan satu ke
kontrakan lainnya. Mohammad Roem, aktivis JIB yang sering bertandang ke rumah Salim
menceritakan, bahwa rumahnya di Tanah Tinggi – Jakarta Pusat, berada di kawasan becek. Ia
juga pernah tinggal di Jatinegara, yang mana keluarga Salim hanya menempati satu ruangan.
Di rumah itu, Roem melihat koper-koper bertumpuk di pinggir ruang dan beberapa kasur
digulung. Meski sudah menjabat sebagai menteri luar negeri, Salim dan keluarganya masih
tinggal di rumah kontrakan. Terakhir ia mondok di Jalan Gereja Theresia No. 20, Menteng,
tempat dimana ia menghabiskan masa tuanya.

3. Mendidik Anak Tanpa Sekolah Formal


Karakter ini boleh jadi tak dimiliki oleh pemimpin bangsa lainnya, yang hidup sezaman
dengannya. Pada awal abad ke-20, hampir semua tokoh-tokoh bangsa menyekolahkan
anaknya hingga ke jenjang yang paling tinggi. Malah banyak pula yang menyekolahkannya
hingga ke mancanegara. Namun Salim berbeda dengan yang lain. Bukan karena ia tak
mampu membiayai pendidikan putra-putrinya, namun ia beranggapan sekolah kolonial tak
membuat anak mandiri. Prinsip Agus Salim sama seperti halnya Mohammad Syafei, pendiri
INS Kayutanam. Bedanya Syafei membangun sekolah dengan kurikulum mandiri, sedangkan
Salim mengajarkan anak-anaknya sendiri.

Menurut Siti Asiah, putri Agus Salim, ketujuh anaknya itu tidak pernah mengenyam bangku
pendidikan formal, kecuali si bungsu Mansur Abdur Rachman Ciddiq. Salim bersama istrinya
Zainatun Nahar-lah, yang mengajarkan anak-anaknya secara bergantian. Pendidikan ala
keluarga Salim, biasanya berlangsung sambil bermain atau ketika sedang makan. Menurut
Siti Asiah atau yang akrab disapa Bibsy, paatje dan maatje (panggilan untuk ayah-ibunya)
sering menyanyikan lagu-lagu yang liriknya diambil dari karya sastrawan dunia. Selain itu
ayahnya juga pandai berhumor, sehingga bisa memikat dan tak membosankan. Untuk melatih
kemampuan berbahasa, sedari kecil mereka telah mengajak anak-anak berbicara Bahasa
Belanda, sehingga bahasa itu ibarat bahasa ibu mereka.

Pendidikan home schooling ala Agus Salim tak semata-mata membuat anak pintar, namun
juga memperhatikan pertumbuhan jiwa mereka. Ia bersama istrinya, tak menginginkan anak-
anak terkekang oleh kehendak orang tua. Oleh karenanya, ia mengharamkan memberi
kualifikasi seperti “kamu nakal” atau “kamu jahat” kepada anak-anaknya. Meski tak
mengenyam pendidikan formal, namun anak-anak Salim bisa tumbuh dan “menjadi orang”.
Ketika W.R. Supratman memainkan lagu Indonesia Raya dengan biola, putri tertuanya Dolly
– yang ketika itu berusia 15 tahun, mengiringinya dengan piano. Sedangkan putranya, Islam
Besari Salim, terjun di dunia militer dan sempat menjadi atase militer Indonesia di China.

4. Humoris yang Intelek

Agus Salim merupakan seorang intelektual yang humoris dan seorang humoris yang intelek.
Pada saat menjadi pimpinan Sarekat Islam, Salim sering berseberangan dengan anggota yang
beraliran komunis. Ia kerap kali dicerca dan diejek oleh pengikut SI berhaluan kiri. Dalam
salah satu kesempatan di podium, Muso pernah mengejek Cokroaminoto seperti kucing, dan
Agus Salim yang mirip kambing. Muso berteriak kepada hadirin : “Saudara-saudara, orang
yang berjanggut itu seperti apa? “Kambing!” jawab hadirin. “Lalu, orang yang berkumis itu
seperti apa? “Kucing!” Begitu giliran Salim berpidato, ia tak mau kalah. “Saudara-saudara,
pertanyaan yang tadi belum lengkap. Orang yang tidak berkumis dan tidak berjanggut itu
seperti apa?” Salim menjawab sendiri, “Anjing!”

Kisah yang lain. Dalam suatu pertemuan SI, setiap akhir kalimat yang disampaikan Agus
Salim, selalu disambut oleh para peserta dengan sahutan “mbek, mbek, mbek”. Itu untuk
mengejek janggutnya yang panjang seperti janggut kambing. Meski diejek oleh banyak
orang, namun Salim tak kehilangan akal. Ia malah dengan entengnya menukas, “Tunggu
sebentar. Sungguh menyenangkan, kambing-kambing-pun mendatangi ruangan ini untuk
mendengar pidato saya. Sayang mereka kurang mengerti bahasa manusia, sehingga menyela
dengan cara yang kurang pantas. Saya sarankan kepada mereka agar keluar ruangan sekadar
makan rumput di lapangan. Kalau pidato saya untuk manusia ini selesai, mereka akan
disilakan masuk kembali dan saya akan berpidato dalam bahasa kambing untuk mereka.”

Satu lagi humor Agus Salim yang diingat orang ialah ketika ia diundang makan malam. Pada
acara tersebut ia memilih menyantap hidangan dengan tangannya. Seorang Eropa terkesima
dengan tindakan tersebut dan langsung menegur, “Mengapa Anda makan menggunakan
tangan, padahal sudah tersedia sendok”. Salim lantas menjawab, ”Saya menyuap dengan
tangan sendiri untuk masuk ke mulut saya. Sedangkan sendok yang Tuan-tuan pakai, pernah
masuk ke mulut banyak orang.” Begitulah beberapa cuplikan humor intelek khas Agus Salim.

5. Menguasai Banyak Bahasa Asing

Agus Salim adalah sedikit dari orang Indonesia yang fasih berbicara dalam sembilan bahasa
asing. Selain Bahasa Melayu dan Bahasa Minang yang menjadi bahasa ibunya, Salim juga
menguasai Bahasa Belanda, Arab, Inggris, Jepang, Prancis, Jerman, Mandarin, Latin, Jepang
dan Turki. Ia juga menguasai beberapa bahasa daerah, seperti Bahasa Jawa dan Sunda.
Karena penguasaannya yang komplet, Salim beberapa kali ditugaskan pemerintah mewakili
Indonesia dalam berbagai perundingan. Pada tahun 1947, ia bersama Sutan Sjahrir menjadi
wakil Indonesia dalam Konferensi Inter-Asia di New Delhi. Selanjutnya Salim memimpin
delegasi Indonesia ke Timur Tengah untuk memperoleh pengakuan kedaulatan. Hasilnya,
Indonesia beroleh dukungan kemerdekaan dari Mesir (10 Juni 1947), Lebanon (29 Juni
1947), dan Suriah (2 Juli 1947). Selanjutnya Agus Salim kembali mendampingi Sutan
Sjahrir, dalam sidang Dewan Keamanan PBB di Lake Success Amerika Serikat. Dalam
Perjanjian Renville, Agus Salim kembali diutus untuk berunding dengan Belanda. Kali ini ia
pergi bersama Perdana Menteri Amir Sjarifuddin, Ali Sastroamijoyo, Mohammad Roem, dan
Ir. Djuanda.

Kefasihan Salim dalam menguasai bahasa asing, dikisahkan pula oleh seorang Indonesianis
George McTurnan Kahin. Suatu hari Kahin mengundang Salim dan Ngo Dinh Diem makan
di ruang dosen Cornell University. Ketika itu ia diminta sebagai pembicara tamu di
universitas tersebut, sedangkan Diem sedang mengumpulkan dukungan bagi Vietnam
Selatan. Belakangan, tokoh yang terkenal jago omong itu menjadi Perdana Menteri di
negerinya. Melihat keduanya asik berdebat dalam Bahasa Prancis, Kahin begitu terperangah.
Namun ia lebih terperangah lagi, ketika melihat Diem terpana mendengarkan kata-kata Agus
Salim.

6. Pendebat yang Kritis

Dalam suatu pertemuan, penulis pernah mendengar kesan seseorang yang mengatakan bahwa
orang Minang itu suko maota, pandai maota, dan lamak maota (suka bicara, pandai bicara,
dan enak ketika berbicara). Dari sifat itulah kemudian tumbuh sifat inklusif dan egaliter pada
kebanyakan pribadi Minangkabau. Seperti laki-laki Minang yang suka maota di lapau, Agus
Salim juga tangkas dalam bersilat lidah. Kepiawaian ini berguna sekali ketika ia menjadi
wartawan, diplomat, dan politisi. Dalam sidang Volksraad misalnya, Salim pernah berbantah-
bantahan dengan Bergmeyer tentang kata ekonomi. Hal ini bermula ketika Salim tak
diperkenankan berpidato dalam Bahasa Melayu. Saat itu Bergmeyer dengan maksud
mengejek, menyela pidato Salim dan bertanya, “Apa kata ekonomi itu dalam Bahasa
Melayu” Bukannya menjawab, ia lantas membalas pertanyaan tersebut dengan pertanyaan
yang sama, “Coba Tuan sebutkan dahulu apa kata ekonomi itu dalam Bahasa Belanda, nanti
saya akan sebutkan Bahasa Melayunya”. Karena memang tak ada padanannya dalam Bahasa
Belanda, sontak tantangan tersebut membuat geger seisi ruang sidang.

Ketika menulis di berbagai media, sering pula ia menggunakan keahliannya itu untuk
mengkritisi kebijakan pemerintah. Di harian Neratja terbitan 25 September 1917, ia pernah
menulis : “dalam negeri kita, janganlah kita yang menumpang”. Tulisan ini untuk mengkritik
kebijakan Belanda yang mendiskriminasi masyarakat inlander. Kemudian di harian Fadjar
Asia, 29 November 1927, ia menulis tentang polisi dan rakyat : “sikap polisi terhadap rakyat,
istimewa keganasan dan kebuasan polisi dalam memeriksa orang yang kena dakwa atau yang
hanya kena sangka-sangka rupanya belum berubah-ubah. Hampir tiap hari ada pesakitan di
depan landraad yang mencabut pengakuan di depan polisi yang lahir bukan karena betul
kejadian melainkan hanya karena kekerasan siksa …” Demikian goresan pena Salim, yang
dimuat di beberapa media terbitan Hindia-Belanda.

7. Guru yang Tak Menggurui

Menurut pendapat banyak aktivis muslim pra-kemerdekaan, Agus Salim merupakan mentor
yang menyenangkan. Selain ramah dan menggugah, Salim juga merupakan tipikal guru yang
membimbing.
Ringkasan
Agus Salim adalah pejuang kemerdekaan Indonesia yang terkenal dalam sebuah organisasi
bernama Sarekat Islam. Laki-laki yang lahir pada hari kedelapan bulan Oktober tahun 1884
ini juga pernah menempuh pendidikan di sekolah khusus anak-anak Eropa di Europeesche
Lagere School (ELS) yang kemudian berlanjut di Hoogere Burgerschool (HBS) di Batavia.
Beliau juga berperan sebagai salah satu anggota panitia 9 BPUPKI yang mempersiapkan
UUD 1945. Karena kepiawaian beliau dalam hubungan internasional, beliau dipercaya
sebagai menteri muda luar negeri kabinet Sjahrir II dan III, serta menjabat sebagai menteri
luar negeri pada kabinet Amir Sjarifuddin dan Hatta.
Pada tahun 1952, Haji Agus Salim menjabat sebagai Ketua di Dewan Kehormatan PWI. Hal
tersebut menjadi penutup karirnya di dunia kancah politik. Beliau beralih menghabiskan masa
tuanya sebagai penulis buku. Buku yang telah terbit dari tangannya berjudul "Bagaimana
Takdir, Tawakal dan Tauchid Harus Dipahamkan". Buku tersebut kemudian diperbaiki
menjadi "Keterangan Filsafat Tentang Tauchid, Takdir dan Tawakal".
Buku yang telah beliau tulis juga merupakan buah karya dari pengalamannya sebagai jurnalis
pada masa mudanya. Agus Salim muda merintis karir sebagai Redaktur II di Harian Neratja
yang kemudian diangkat menjadi Ketua Redaktur. Tidak berhenti disana, beliau juga menjadi
pemimpin Harian Hindia Baroe di Jakarta, dan kemudian mendirikan Suratkabar Fadjar Asia.
Di tengah-tengah karir beliau di dunia jurnalistik, beliau menikah dengan Zaenatun Nahar
dan dikaruniai 8 orang anak.
Namun sayang, karir beliau harus terhenti pada tanggal 4 November 1954. Beliau
meninggalkan dunia ini untuk selama-lamanya. Jasad beliau dimakamkan di TMP Kalibata,
Jakarta. Segala perjuangan yang dilakukan beliau baik di dunia politik maupun media masa
telah mengharumkan nama bangsa Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai