“Sudahlah kita tidak akan bisa mengalahkan Belanda hanya dengan menggunakan
bambu runcing dan semangatmu yang berkoar-koar itu, mereka menggunakan
peralatan yang canggih dan tidak sebanding dengan peralatan kita” kata
Pabiseang.
"Saya tidak bisa hanya tinggal di kerajaan, sedangkan rakyat sedang berjuang
demi tanah yang selama ini menjadi tempat tinggal nenek moyang kami. Kami
yakin kami bisa mengalahkan Belanda." ucap Andi Depu.
"Apa yang bisa kamu dapat dan kamu andalkan dari semangatmu itu” kata
Pabiseang.
“Kamu seorang perempuan yang punya keluarga, saya sebagai suami tidak akan
mengijinkan hal itu" lanjutnya.
Perdebatan itu membuat Andi depu dan suaminya tidak bisa bersama lagi.
Akhirnya, Andi Depu dan suaminya memutuskan berpisah. Selepas bercerai
dengan suaminya, Andi bersama putranya bergabung dengan pergerakan rakyat
Mandar dalam memerangi penjajahan. Lulusan Volschool (sekolah rakyat atau
desa) ini aktif di berbagai organisasi.
’’ Mua’ sawa Namardekai tau anna iyya Namewawa tama diNaraka oh Puang
Mala’biu, Buayyimmi Naraka batuammu, anna iyaupa
Puang Meondong Mettama dinarakamu. E.. luluare iyya nasangna iyyamo tu’u
dio pendiriannu’o “ (kalau pun berjuang untuk kemerdekaan ini yang akan
membawa kita kedalam neraka, wahai Tuhanku yang maha mulia, tolong buka
kan neraka-Mu untukku. Biar aku sendiri yang akan melompat kedalamnya.
Wahai saudaraku sekalian itulah pendirianku) ucapnya sambil menutup pidatonya.
“ Organiasi ini merupakan suatu wadah gerakan yang melibatkan wanita, sebagai
tempat pelatihan dan penggodokan semangat juang wanita Mandar untuk ikut
berperan dalam merebut kemerdekaan dari pendudukan militer Jepang” kata Andi
Depu.
Saat terdengar kabar Jepang mulai terdesak oleh Sekutu dalam Perang
Asia Timur Raya, Andi Depu kembali turut menggagas pembentukan organisasi
bernama Islam Muda pada April 1945.
“Mari kita menyebarkan berita bahagia ini diseluruh tanah Mandar. Proklamasi
merupakan tonggak sejarah bagi bangsa Indonesia yang ingin lepas dari belenggu
penjajahan” ucap Andi Depu ke pada rekan rekan seperjuannya.
“Mari kita rebut kekuasaan dan senjata para tentara Jepang” sahut para pemuda.
Di beberapa daerah termasuk Mandar, terjadi pertempuran dan bentrokan
antara pemuda melawan pasukan Jepang yang telah kalah tapi masih bersenjata
lengkap. Perampasan senjata Jepang terjadi di Matangnga dan Tompotora,
Mamuju. Sementara di Pambusuang terjadi peristiwa pembunuhan tentara Jepang
yang tidak mau menyerahkan senjatanya.
Melalui kelaskaran Kris Muda Mandar yang dipimpin Andi Depu, maka
gerakan perjuangan semakin terarah dan terkoordinir dengan rapi, baik dari aspek
perencanaan maupun eksekusi hingga para pemuda yang tergabung dalam
kelaskaran ini ikut berjuang mendampingi Andi Depu.
Ibu Agung H.A. Depu bersama Putra Mara’dia Tomadzio, Hamzi Majid,
bergegas menuju Tomadzio (Campalagian) untuk memimpin pengibaran bendera
merah putih , tepatnya di halaman rumah Mara’dia (markas pejuang sektor
Tomadzio). Pengibaran bendera yang dijahit sendiri oleh Putri Mara’dia, A.Lies
Madjid ini, berlangsung secara sederhana tanpa diiringi lagu Indonesia Raya.
Itupun hanya dihadiri beberapa orang pejuang Mandar saja. pada waktu itu pula
dibentuk panitia yang bertugas menyelidiki lagu kebangsaan serta arti dan ukuran
bendera merah-putih.
“Mari kita mengambil kesempatan untuk mengetahui arti lagu kebangsaan dan
ukuran bendera yang sebenarnya, karena Jepang sedang terdesak oleh sekutu”
ucap Andi Depu.
Namun, pengibaran bendera ini tidak berlangsung lama, pada hari itu juga
diturunkan oleh Pasukan Belanda, kemudian bendera itu dibawa ke Majene.
Setelah A. Mappeawa Majid, bersama para pejuang lainnya melakukan negosiasi
dengan pihak Belanda, akhirnya bendera tersebut dapat dikibarkan keesokan
harinya .
“kami tidak akan menurunkan bendera kamu” jawab para pemuda Mandar.
“bagaimana jika disamping bendera Merah Putih dikibarkan bendera Merah Putih
Biru?” negosiasi tentara Belanda.
Namun keinginan pihak Belanda tersebut ditantang keras oleh para tokoh
pejuang dan tokoh pemuda di Mandar. Sehingga Belanda memberikan tawaran
agar bendera Merah Putih dikibarkan berdampingan dengan bendera Merah Putih
Biru (bendera Belanda), tetapi hal inipun tidak dapat diterima oleh para pejuang di
Mandar.
“jika kalian tidak ingin melakukan hal itu, kami akan menurunkan secara paksa”
tegas tentara Belanda.
Para prajurit Belanda itu kemudian bergegas menuju ke tiang bendera dan
bermaksud menurunkan Sang Saka Merah Putih. Namun, sebelum prajurit
Belanda menyentuh tiang bendera itu, para pengawal istana dan masyarakat
sekitar yang hanya bersenjatakan keris dan tombak berupaya dengan sekuat
tenaga menghalang-halangi prajurit tersebut. Sebelumnya, para pengawal istana
itu diberi titah oleh Andi Depu bahwa tidak seorang pun yang boleh menurunkan
bendera Merah Putih itu.
“Andi,di depan ada tentara Belanda yang ingin menurunkan bendera secara
paksa” lapor pengawal tersebut.
“bukankah itu suara teriakan Andi Depu? Apakah yang terjadi?” kata salah satu
rakyat
Misi Belanda itu akhirnya membuahkan hasil pada Desember 1946. Andi
Depu kala itu dalam perjalanan pulang dari Makassar usai melakukan koordinasi
dengan pejuang Republik di sana. Pasukan Belanda sudah siap menyergap dan
terjadilah pertempuran sengit selama beberapa jam. Banyak korban berjatuhan.
Andi Depu yang berada dalam situasi terdesak pun ditangkap. Dia ditangkap
Belanda bersama 16 orang pimpinan dan anggota Laskar Kris Muda, kemudian
dibawa dan dijebloskan ke penjara Layang Makassar.
Andi Depu dan para pemimpin perjuangan rakyat Mandar akhirnya bebas
menjelang penyerahan kedaulatan Indonesia secara penuh pada akhir 1949 sesuai
hasil Konferensi Meja Bundar (KMB). Selepas dari penjara, Andi Depu turut
mendukung pembubaran NIT. Akibatnya, ia sempat ditahan lagi oleh sisa-sisa
orang-orang NIT selama sebulan.
Pelayan