Anda di halaman 1dari 15

Kritik Seni

Esai: “Mengupas Seni Grafis di Dalam Perjalanan Seni Rupa Indonesia”


Bagian kedua dari dua tulisan

Wahyu Widyantono
3080550009
Seni Grafis
Institut Kesenian Jakarta
Esai
Mengupas Seni Grafis di Dalam Perjalanan Seni Rupa Indonesia
Indonesia, sebuah negara yang diproklamirkan kemerdekaannya pada tanggal 17
Agustus 1945. Sejarah mencatat perjalanan menuju kemerdekaan itu tidaklah mulus semulus
aspal hotmix. Fase pertama kolonialisme yang berlangsung di negeri ini ada semenjak
kedatangan kaum pedagang asal negeri Belanda, yaitu VOC sekitar abad 16. Hasil bumi
Indonesia seperti kayu manis, lada , dan kopi menarik perhatian mereka sebagai komoditi
perdagangan yang ‘laku keras’ di Eropa. Sebelum itu, sekitar abad 15, Kerajaan Inggris ‘sempat’
bercokol di bumi nusantara ini. Raffles, Daendels, nama-nama yang dicatat dalam ingatan yang
mempunyai bukti dan masih ‘dinikmati’ sampai saat ini. Kebun Raya Bogor dan sebuah jalan
yang melintasi Pulau Jawa, jalan dari Anyer sampai Panarukan1.
Fase kedua adalah pendudukan oleh Negara Jepang pada tahun 1942-1945. Fase ini
dapat dikatakan sebagai latarbelakang dimulainya seni grafis di Indonesia, namun perlu diingat
juga bahwa teknik grafis atau mencetak telah ada sebagai tradisi sejak dahulu. Dapat diketahui
dengan melihat relief candi, batik, buku lontar, dll. Yang menarik adalah pembuatan buku-buku
lontar –buku-buku ini umumnya hanya dibuat bagi kepentingan keluarga raja, pemuka agama,
dan cendekiawan. Isi tulisannya adalah tentang sejarah, silsilah keturunan, ajaran agama,
falsafah hidup, dan karya-karya sastra- yang memakai teknik pembuatan dan bahan yang
berbeda dengan jaman sekarang. Bahannya terbuat dari bagian daun pohon lontar, sejenis
pohon dari keluarga palma. Begitu pula menulisi dan menggambarinya tidak lalu kemudian
mencetaknya, tetapi mengerat permukaannya dengan menggunakan ujung pisau yang tajam.
Kemudian pada bekas keratan tersebut dilumuri bubuk pewarna, agar tulisan dan gambar
menjadi jelas2. Sebenarnya teknik ini (rubbing) dipakai oleh orang Cina dalam menuliskan
ajaran kebijaksanaan di dinding gua3 kemudian setelah menemukan kertas, mereka mencetak
di atas kertas untuk kepentingan penyebaran ajaran-ajaran tersebut dan disertakan stempel
atau cap dari dinasti kerajaan yang memerintah. Sejalan dengan perkembangan ajaran itu,
mereka kemudian ‘berkelana’ mencari daerah baru untuk menyebarkannya -seperti ajaran

1
Dokumentasi film oleh Pramoedya Ananta Toer
2
Perjalanan Seni Rupa Indonesia, “Dari Prasejarah hingga Masa Kini”
3
History of Art, “Prints”
Nasrani melalui Gospel, Gold and Glory, semenjak penemuan mesin cetak oleh Johannes
Guttenberg yang berasal dari Mainz, Jerman (sekitar abad ke 15)- salah satunya adalah
Indonesia atau jaman dahulu dikenal dengan nama Swarna Dwipa4. Raden Saleh juga sempat
membuat karya lithograph yang tidak dikerjakan di Indonesia tetapi di Eropa, selama ia
bermukim di Prancis dan Belanda5. Seniman lainnya M. Pirngadi dengan etsa, Raden Mas
Djojana dengan cukilan kayu6.
Kembali kepada fase kedua kolonialisme di Indonesia oleh Jepang pada tahun 1942-
1945. Mengapa menjadi hal yang patut dicatat sebagai latar belakang adanya seni grafis di
Indonesia? Hal ini adalah menyangkut propaganda. Diketahui bahwa pada fase ini, Jepang
mendirikan sebuah badan untuk memberikan kesempatan bagi tumbuhnya dunia kesenian
Indonesia yang tentunya mengharapkan balasan agar stabilitas politik pemerintahan
pendudukannya tidak terganggu. Badan ini adalah POETRA (Poesat Tenaga Rakjat) yang
dipimpin oleh 4 serangkai, yaitu Soekarno, Hatta, Ki Hadjar Dewantara, dan Kyai Haji Mansyur.
Bagian Kebudayaan dipegang oleh S. Soedjojono yang dibantu oleh Affandi7. S. Sudjojono
sendiri sebelumnya pada tahun 1938 mendirikan PERSAGI atau Persatuan Ahli Gambar
Indonesia dengan diketuai oleh Agus Djaya. PERSAGI mempunyai arti penting bagi
pembentukan karakter di dalam Seni Rupa Indonesia, khususnya pada seni lukis. Ketika
Sudjojono ‘pindah’ ke Jogja bergabung dengan Affandi yang pada tahun 1946 berhasil
mendirikan sanggar pertama seni lukis yang bernama “Seniman Masyarakat”. Kelompok ini
kemudian dirubah namanya menjadi “Seniman Muda Indonesia” atau SIM yang dipimpin oleh
S.Sudjojono sendiri. Setelah POETRA ditiadakan yang kemudian digantikan oleh Keimin Bunka
Sidhoso, yang banyak mendatangkan seniman dari Jepang di bidang seni grafis untuk keperluan
pembuatan poster-poster propaganda Jepang Cahaya Asia. Jepang akhirnya menyerah kepada
sekutu setelah dua kotanya, Hiroshima dan Nagasaki di bom atom pada tahun 1945 akibat
penyerangan secara tiba-tiba Pearl Harbour, AS yang memacu Perang Dunia ke-2 di Asia.

4
Arus Balik, Pramoedya Ananta Toer
5
Lahirnya Seni Grafis Indonesia, Kaboel Suadi
6
Seni Grafis dalam Koleksi Galeri Nasional Indonesia
7
Sejarah Seni Rupa Indonesia
Masa Kemerdekaan
Pada masa kemerdekaan, seni grafis berkembang cukup baik akibat belum terjaminnya
kemerdekaan itu dengan adanya agresi militer I dan II (1946-1948). Dengan berpegang pada
perjanjian Renville dan perjanjian Roem-Royen dan dilanjutkan pada Konferensi Meja Bundar di
Den Haag, Belanda, akhirnya kedaulatan Indonesia sepenuhnya diakui oleh dunia internasional
pada tahun 1949.
Mengapa cukup baik? Sebabnya adalah ketika Sekretariat Negara Urusan Pemuda
Perhubungan Luar Negeri pada tahun 1946 , tepatnya 17 Agustus 1946 menugaskan para
seniman membuat karya grafis untuk dikirimkan ke negara-negara sahabat yang telah
mengakui kedaulatan Indonesia. Peristiwa itu bisa dikatakan sebagai diplomasi kebudayaan
pertama. Tujuannya adalah sebagaimana Kabul Suadi, “Karya grafis dipilih untuk menunjukkan
kepada dunia bahwa Indonesia adalah bangsa yang beradab dan berkebudayaan tinggi, meski
baru satu tahun merdeka. Disamping sasaran ideal semacam itu, alasannya juga praktis, karena
patroli Belanda yang berlangsung gencar menyulitkan kita untuk memperingati kemerdekaan
dengan upacara mengerek bendera, atau berkumpul di tempat-tempat terbuka. Jadi
pendekatan kebudayaan menjadi pilihan tepat dan cerdas”8. Dua pelukis yang ditunjuk oleh
pemerintah adalah Baharoedin M.S dari Jakarta dan Mochtar Apin yang tinggal di Bandung
karena keduanya mengerti hal-hal mengenai seni grafis. Baharoedin sendiri bekerja di
percetakan Balai Pustaka sebagai pembuat klise. Konon, mereka memanfaatkan kertas
simpanan di gudang milik percetakan tersebut dalam menghasilkan karya-karya ‘tugas’ yang
dilakukan di Balai Pustaka. Di Jogja, kegiatan grafis dilakukan oleh pelukis Suromo yang diminta
oleh S. Sudjojono membuat ilustrasi dengan teknik cukil kayu untuk Majalah Seniman dari
kelompok SIM atau Seniman Muda Indonesia yang terbit pada tahun 1947. Tokoh lainnya
adalah Abdulsalam, seorang ilustrator yang menguasai teknik drypoint. Mengutip St. Takdir
Alisjahbana pada pengantar karya ‘tugas’ tersebut, “Pahatan lino yang disajikan sekarang ini
ialah salah satu contoh yang lain pula, betapa keras hati angkatan baru Indonesia untuk
menjelmakan dirinya”. Karya ‘tugas’ itu sendiri berbentuk album karya (bibliofil) seni grafis yang
berjumlah 19 lembar (9 lembar karya Mochtar Apin, selebihnya adalah karya Baharoedin) dan

8
Utang kepada Apin, Baharoedin, dan Suromo. Setengah Abad Seni Grafis Indonesia, Bentara Budaya Jakarta
dicetak sebanyak 36 eksemplar. Tekniknya adalah teknik cukil pada lino (linoleum, sejenis karet
yang populer di dalam seni grafis). Setelah keterlibatan mereka pada proyek tersebut, kalangan
seni rupa sepakat menjuluki kedua pelukis itu sebagai “perintis seni grafis” di Indonesia9. Pada
tahun 1948, kembali Mochtar Apin menerbitkan seri cukil pada lino yang berisikan 12 karya di
atas kertas yang berukuran 16x21cm yang bermaksud mengajukan seni grafis sebagai sebuah
pengertian. Sebelumnya, itikad semacam itu telah dilakukan di dalam proyek pemerintah dalam
rangka menyambut ulang tahun kemerdekaaan Indonesia yang pertama. Namun menurut
pengamat Sanento Yuliman, tampak jelas bahwa proyek itu adalah propaganda pemerintah dan
seni grafis, atau dalam hal ini teknik cukilan, adalah teknik yang paling lekat dengan
kepentingan itu. Jelas pula bahwa motif proyek grafis 1946 disemangati oleh suatu hal, yang
jauh dari sebuah pengertian kesadaran individu. Diakui bahwa proyek itu memang peristiwa
perintisan perkembangan seni grafis di Indonesia, tetapi sulit dinyatakan melahirkan sebuah
pengertian atau kesadaran tentang otonomi seni grafis itu sendiri. Kepentingan politik yang
menjadi sasaran utama proyek tersebut, membuat seni grafis tidak dilihat dari segi artistiknya,
melainkan lebih pada nilai propagandanya, sifat reproduktif seni grafis diukur tidak berdasarkan
kapasitas estetik melainkan fungsi pragmatisnya. Hal ini berkebalikan dengan proyek Mochtar
Apin 1948. Proyek itu membawa kesadaran, pengertian, bahkan tradisi baru yang belum pernah
dilakukan oleh seorang seniman. Pada bulan Desember 1947, sejumlah pelukis Indonesia
mengadakan pameran di Belanda, Mochtar Apin adalah satu-satunya seniman yang
‘menyejajarkan’ cetak cukilan lino, menampilkannya berjajar dengan lukisan. Kesadaran
individu terefleksikan melalui karya-karya grafisnya itu sehingga Mochtar Apin dianggap
sebagai Bapak Seni Grafis Indonesia10.
Telah disebutkan tadi bahwa di Jogja, kegiatan grafis dilakukan oleh Suromo dalam
memenuhi ‘pesanan’ S. Sudjojono. Kegiatan ini terus berlangsung dan pada tahun 1950,
Suromo menulis untuk Mimbar Indonesia nomor 6, Pebruari 1950: “Pada tahun-tahun sesudah
proklamasi kemerdekaan, timbul ide di antara pelukis-pelukis muda, pertama, untuk lebih
menyebarkan lagi hasil-hasil seni rupa Indonesia di masyarakat, jadi karya seni rupa tidak hanya
tinggal pada beberapa orang saja, kedua, dengan cara atau jalan bagaimana dapat mengatasi

9
ibid
10
Seni Grafis, dari Cukil sampai Stensil. Pembicaraan tentang Seni Grafis, Aminuddin TH Siregar.
kesukaran tentang alat lukis-melukis, dimana pada waktu itu sudah sangat sukar didapatkan cat
minyak, bahan yang selalu digemari oleh para pelukis pada umumnya. Rasa gelisah dan hasrat
untuk mencari sesuatu meliputi hidup sehari-hari; akhirnya timbul cukil-mencukil kayu. Teknik
ini merupakan jalan lain lagi untuk menjelmakan apa yang menjadi kandungan jiwa. (catatan
penulis: bertolak belakang dengan idiom dari Gustave Courbet, “Painting is the last exit”).
Cukilan atau woodcut telah lama dipakai oleh seniman-seniman lain negeri untuk berbagai
maksud. Sebagai kesenian biasa, untuk ilustrasi buku, exlibris, poster, dll. Dalam hal ini perlu
dikemukakan hasil seniman Jepang yang terkenal dengan cukilan-cukilan kayunya yang
berwarna beberapa. Di Indonesia baru dilakukan percobaan-percobaan yang dimulai di Jakarta
oleh Baharuddin, M. Apin (Mochtar Apin). Kemudian di Solo oleh Zaini, Suromo, B. Resobowo
(Basuki Resobowo), dan di Jogjakarta oleh O. Effendi (Oesman Effendi), Surono, Abd. Salam
(Abdulsalam), Ramli, Sudibio. Cukilan kayu lebih efisien dari lukisan biasa, sebab, satu gambar
bisa dikalikan menjadi banyak. Tekniknya begini: dengan cukil (semacam pahat U kecil atau
lainnya) orang yang mencukil gambar-gambar dihendaki di permukaan sepotong kayu yang
halus rata. Bagian yang jadi putih dicukil, yang jadi hitam dibiarkan hitam. Selesainya, dengan
pertolongan rol karet bertinta, permukaan kayu tadi dikenakan tinta, lalu dicetakkan di kertas
cetak. Dengan jalan begitu orang dapat mencetak banyak, seperti klise. Di mana-mana biasanya
pencukil mencetakkan sendiri kira-kira 10-15 cetakan atau lebih, kemudian negatifnya (cetakan)
dibuang, karena biasanya sudah tumpul. Hasil ini kadang-kadang menganduk efek-efek
tersendiri yang tidak disengaja, sehingga menambah kehidupan dalam nilai keindahannya.
Kemudian lalu dibubuhi tanda tangan. Hasil ini dinamakan “asli”-nya. Sudut ekonomis ini
untungnya, memungkinkan peminat bisa memiliki sebuah hasil seni, dengan tidak usah
membayarnya seharga sebuah kesenian, seperti misalnya lazim berlaku pada lukisan atau
coretan. Untuk keperluan tertentu, dengan pertolongan klise logam, gambar cukilan kayu dapat
dicetak sebanyak dikehendaki di percetakan sebagai reproduksi. Hasil-hasil dari percobaan
tersebut di atas boleh dibilang sama dengan hasil yang dicapai dengan seni lukis. Pandangannya
juga sama, yaitu kebanyakan melepaskan diri dari tata cara akademi, konvensi, dan tradisi11.

11
Seni Grafis, dari Cukil sampai Stensil. Seni Grafik Indonesia, Suromo
Dari tulisan Suromo tersebut dapat diambil hal yang menarik tentang kelangkaan bahan
kebutuhan melukis, yaitu cat minyak pada saat itu sehingga menimbulkan kegiatan ‘melarikan
diri’ dari melukis dengan penggunaan media dan teknik grafis. Alasan bahwa karya seni ‘harus’
tunggal dan auratik, ditinggalkan agar pencurahan isi kandungan jiwa tetap berlangsung seperti
akhir dari tulisan Suromo pada Mimbar Indonesia, melepaskan diri dari tata cara akademi,
konvensi, dan tradisi. Hubungan antara seni lukis dan perkembangan seni grafis di Indonesia
ternyata sangat mesra, tetapi mengapa ada anggapan bahwa karya-karya seni grafis yang
dicetak di atas kertas dengan penguasaan teknik yang ‘njlimet’ baik dalam lithograph, etsa
aquatint, sugar lift, atau mezzotint di nomor duakan setelah karya-karya seni lukis di atas
kanvas? apakah karena ‘senioritas’ seni lukis? Apakah karena memang sejarahnya seni grafis
hanya digunakan untuk ilustrasi buku? Bagaimana dengan karya-karya Ukiyo-e yang berwarna
seperti lukisan? atau karena penguasaan teknik grafis yang berat, terpaku pada konvensi
tertentu sehingga menjadi kaku dan ‘dibenci’ oleh senirupais? terutama masalah penggandaan
sehingga karya seni grafis dianggap murahan karena tidak orisinal (fac-simili) selain matrixnya?
bagaimana dengan anggapan dari M.C Escher bahwa seni grafis berkemampuan untuk
berkomunikasi secara simultan dengan sejumlah besar orang? Bagaimana dengan monotype
dan monoprint? atau karena ukurannya yang relatif kecil sehingga tidak ada ‘kung’-nya?
bagaimana pop art dengan cetak saringnya? atau versus digital prints dan digital arts? atau
bahkan karena pasar seni rupa? apakah karena status kepemilikan dari seorang kolektor yang
eksklusif sehingga berharga? Saya tidak tahu.

Bersambung

Ket: Gambar Sampul adalah karya grafis Widayat berjudul “Turun ke Kota Menonton Pasar malam”, cukilan kayu
yang dimuat majalah Indonesia nomor 2/VI/Pebruari 1955
Masa Majalah Kebudayaan
Pada masa penggunaan seni grafis di berbagai majalah kebudayaan, sekitar kurun waktu
1947-1972, seni grafis di Indonesia pelan-pelan meraih perhatian di kalangan seniman.
Majalah-majalah kebudayaan seperti, Seniman, terbitan SIM, dengan karya cukil kayu Suromo
dan Abdul Salam, yang terbawa oleh pemikiran S. Sudjojono, sebagai ketua SIM. Subyek
masalah dituangkan dengan gaya sarkastik dan penggunaan seni grafis sebagai alat agitasi dan
propaganda politis akibat keberpihakan majalah Seniman dalam gambaran revolusi dan senjata.
Sebuah karikatur cukil kayu dari Abdul Salam dengan teks “Basoeki di Negeri Belanda
Menggambar Helfreich” dalam Seniman nomor 3, Juli 1947, merupakan kecaman langsung S.
Sudjojono lewat tulisannya di masa PERSAGI dulu dalam menilai seni lukis (dan pribadi
seniman) Basuki Abdullah. (lihat gambar)
Kemudian pada 1950an, mingguan Pembangoenan, majalah Indonesia, Zenith, Budaya,
dan Seni (Jogja) menampilkan gaya seni grafis yang merupakan citraan panorama antropologis
pedesaan Indonesia, terutama daerah Jogja. Pembangoenan juga memuat “Profil Sang
Pengarang” yang pada saat itu adalah Mochtar Apin dan memajang karya-karya grafisnya.
Suatau pencitraan yang menganjurkan adanya pilihan profesi kehidupan seni modern.
Gambaran sebagai tanda semacam cita-cita kebudayaan dalam kesenian di tengah masyarakat
dari republik yang baru berdiri, sesuai dengan itikad dari Mochtar Apin (yang tidak lagi
memuatkan karyanya di majalah-majalah lain) dalam memberikan pengertian seni grafis dalam
proyek yang dilakukannya pada tahun 1948. Karya lainnya yang ditampilkan adalah milik
Baharoedin MS, antara lain berjudul “Ibu dan Anak”, karya grafis cukilan lino. Tokoh lainnya
yang bergaya panorama antropologis adalah Widayat yang akrab dengan suasana pasar dan
lanskap desa yang terpencil dari keramaian politik di kota berbeda dengan pesan sosial-
politiknya ketika menggarap karya cukil kayu di majalah Seniman. Seniman grafis lainnya adalah
Soendoro, Abdul Kadir, Ng. sembiring, dan Wim Nirahua. Widayat juga membuat karya etsa
untuk sampul depan majalah Indonesia no.3/VII/Maret 1956 yang berjudul “Ke Pasar” yang
menggambarkan sosok-sosok lugu dengan lansekap sunyi dan terpencil jalanan dusun pada dini
hari. Sama halnya dengan cukilan kayu yang berjudul “Penjualan Arang” (Zenith
no.11/III/Nopember 1953) menampilkan sosok-sosok dusun yang sedang mendaki bukit-bukit
terjal, namun yang perlu diingat adalah penggambaran sosok-sosok itu seringkali diungkapkan
dalam gaya yang berkelakar dan santai, latar sosial menjadi bersuasana cair dan tidak diniatkan
membuat tragis keadaan. Ini yang membuat karya-karya grafisnya tidak terdapat pada sebagian
penggrafis yang lain. Berbeda dengan Suromo, karakter sosoknya berasa keras dengan latar
sosialnya, seperti pada karya cukil kayu yang berjudul “Rapat” dan “Persiapan”, Majalah Seni
no. 11/I/Nopember 1955. (lihat gambar)
Pada tahun 1964, majalah Zaman Baru pimpinan Rivai Apin secara intensif memuat
karya-karya grafis. Majalah ini berafiliasi dengan Lekra yang berideologi kiri. Karya-karya yang
dimuat tidak hanya karya dari penggrafis seperti We Peor, Ng Sembiring, Arifin, dll yang berasal
dari negeri sendiri, namun karya-karya penggrafis negeri lain, seperti misalnya karya grafis cukil
kayu Shie Feng, “Rakyat Panama Bangkit Bangkit Berjuang” lalu karya Li Hwa, “Di Bawah
Pemerintahan Kuomintang (RRC)”. Kemudian serial karya grafis cukil kayu dari penggrafis
Belgia, Frans Masereel, “Derita Manusia”. Negara Meksiko, Jepang juga ikut memajang karya-
karyanya di majalah ini dengan judul-judul dan citraan yang merupakan agitasi dan propaganda.
Memang pada kisaran tahun 1960an, situasi politik di Indonesia memanas setelah presiden
diangkat sebagai presiden seumur hidup dan partai komunis menjadi partai terbesar ketiga
pemenang pemilu. Propaganda anti AS banyak menginspirasi karya-karya grafis. Juga
pemikiran-pemikiran Lenin yang mengacu pada Karl Marx dan Engels. Semisal karya Arifin yang
berjudul “Ganyang Malaysia, Ganyang Filem Imperialis AS” (Zaman Baru no.V/VI 1964) dan
karya dari Suhardjo Pudjonadi, “Tuntutan dan Perjuangan Kaum Tani” (Zaman Baru no. VII/VIII
1964) merupakan karya-karya grafis yang bermuatan politis dan propaganda.
Pemuatan karya-karya cukil kayu dari penggrafis negeri lain -yang tidak dilakukan oleh
sejumlah majalah lainnya- mengesankan adanya suatu niat bagi pendidikan seni grafis,
kalaupun tidak, sebagai perbandingan dalam pencapaian artistik dan politis dari karya-karya
realisme sosial di kalangan penggrafis Indonesia. Penggambaran suasana desa, petani, sosok-
sosok dusun sangat berbeda dengan realisme antropologis (1950an) yang merupakan ide
inspirasi karya-karya grafis sebelumnya (karya-karya Widayat). Dalam realisme sosialis, petani
digambarkan sebagai sosok yang telah sadar tindakan dan melambangkan suatu perlawanan.
Perlawanan dimaksudkan sebagai penolakan terhadap penghisapan oleh kaum borjuis bagi klas
tani dan buruh. Seperti pada karya cukil kayu Wen Peor “Yang Bangkit (petani)” (Zaman Baru
no. VII/VIII 1964) dan “Petani” (Zaman Baru, Nopember 1964). Petani menjadi suatu citraan
politis dan hiper representasi dalam mencapai tujuannya menjauhkannya dari realitas sosial
petani yang sesungguhnya. Kemudian karya cukil kayu dari Suhardjo Pudjonadi berjudul “Anak
Tani Bekerja Belajar” (Zaman Baru no. III/IV 1964) adanya dua pesawat tempur yang melintas
langit di atas padang sawah (lihat gambar). Gambaran dua pesawat tempur tadi tidak sama
dengan tampilan gerobak di dalam karya-karya cukil kayu Suromo, Ng Sembiring, dll yang setia
pada pencitraan kehidupan di desa. Makna pesawat tempur adalah sebagai perlambangan
bagaimana situasi negara pada saat itu bukan semata-mata citraan otentik dari suatu
pemandangan di desa.

Masa Surut
Pada kurun waktu 1970an, pemuatan karya-kraya grafis di majalah Horison lebih terlihat
sebagai anti klimaks dari eksistensi seni grafis di senirupa Indonesia, setelah pada awalnya
sekitar tahun 1940an bangkit dengan karya-karya Mochtar Apin, kemudian 1950an sebagai
potret antropologis seperti karya-karya Widayat, Suromo, dll, lalu sekitar tahun 1960an dengan
agitasi dan propagandanya yang garang. Majalah sastra Horison adalah satu-satunya media
cetak kebudayaan yang terbit setelah tahun 1965. Karya grafis dicoba kembali dimuat namun
dengan intensitas yang berbeda hanya sebagai ilustrasi cerita pendek di majalah tersebut.
Demikianlah perjalanan seni grafis di Indonesia bagaimana awal mulanya sampai pada
akhirnya’ hilang’ ditelan jaman. Bersama tamatnya majalah-majalah kebudayaan perintis dan
berganti dengan majalah Horison, menghilang pula nama-nama seperti, Suromo, Abdul Salam,
Abdul Kadir, Widayat, Wim Nirahua, Ng Sembiring, dan Wen Peor sebagai penggiat seni grafis di
media kebudayaan, sebagai gantinya muncul nama-nama seperti, antara lain, Srihadi, Pirous,
Popo Iskandar, T Sutanto, Harjadi Suadi, But Muchtar, Sukamto, dll yang mempunya karakter
grafis cukil yang ‘lain’ dari pendahulu mereka.

Sekian
Lampiran:

Abdul Salam, Basoeki di negeri Belanda cukilan kayu di Majalah Seniman


Baharudin MS Widayat
“Ibu dan Anak” cukil lino “Kampung Joyonegoro”

Ng Sembiring, “Gadis Desa” cukil kayu


Suromo, “Rapat” cukil kayu Wen Peor, “Yang Bangkit Petani”

Arifin, “Ganyang Malaysia” Suhardjo P, “Tuntutan & Perjuangan kaum Tani”


Suhardjo P, “Anak Tani Bekerja Belajar”
Kepustakaan
1. Setengah Abad Seni Grafis Indonesia, Bentara Budaya Jakarta
2. Seni Grafis, dari Cukil sampai Stensil, Bentara Budaya Jakarta

Anda mungkin juga menyukai