A. Seni Rupa
Rupa-rupanya perkembangan seni rupa (visual art) patung, lukis, dan kerajian di
Indonesia sepanjang abad XVII-XX tidaklah selalu berjalan beriringan. Pada periode
tertentu, misalnya, seni lukis mengalami perkembangan yang cukup berarti, baik itu dan
konsep picturalnya maupun estetisnya, sementara itu seni patung dan kerajinan
mengalami kejenuhan. Atau kedua-duanya, misalnya seni patung dan seni lukis pada
masa Islam, hampir tidak mengalami perkembangan kecuali seni kaligrafi. Banyak faktor
yang mempengaruhi proses perkembangan ketiga seni itu. Namun yang jelas, sepanjang
sejarah perkembangan seni rupa di Indonesia selalu dapat dikenali ciri-ciri paling dominan
yakni kesinambungan tradisi (kontinuitas) dan keragaman ekspresi (pruralitas).
Kalau ditelusuri perkembangan seni lukis sejak jaman Islam maka terlihat bahwa seni
lukis pada jaman Islam ditandai dengan munculnya seni kaligrafi, terutama sebagai
ilustrasi dalam kitab-kitab sastra. Sejak masa itu sampai masuknya orang-orang Belanda
ke Nusantara hampir-hampir sulit dikenali bentuk-bentuk dan perkembangan seni lukis
pada masa itu karena terbatasnya sumber. Babakan baru sejarah seni lukis di Indonsia
sesudah masa Islam baru dapat dikenali kembali kira-kira pada masa kedatangan VOC.
Hal itu berkaitan erat dengan kepentingan VOC untuk mendapatkan gambar-gambar
seperti pelabuhan, kota-kota, topografi, dan sebagainya. Pada masa pemerintahan Heeren
XVII, setiap kapal yang melakukan ekspedisi pelayaran ke Nusantara harus mengikutkan
pelukis-pelukis atau juru gambar (teekenaars). Namun agaknya para juru gambar ini tidak
hanya sekedar memenuhi pesanan VOC atau pejabat-pejabat kolonial lain yang
melakukan ekspedisi, tetapi mereka juga mengembangkan kreativitas lukisannya kepada
obyek-obyek lain untuk kenangkenangan pribadi atau dijual lagi sesudah mereka kembali
ke Eropa. Biasanya karyakarya lukis di luar pesanan pemerintah kolonial ini berbentuk
pemandangan alam atau bangunan-bangunan tradisional, atau obyek-obyek tertentu yang
menarik perhatian mereka. Diantara karya para juru gambar yang sekarang masih
tersimpan di beberapa Mosium di Belanda adalah "Iringan Pengawal Seorang Pangeran
Banten" yang dibuat tahun 1596, "Perkawinan di Banten Abad XVII", dan "Delegasi
Diplomatik Pembawa Surat untuk Sultan Agung Tirtoyoso" dibuat tahun 1673. Pada abad
ke-18 sampai pertengahan abad ke-19 sulit diketahui perkembangan seni lukis dengan
media kertas atau kain (kecuali batik) selain beberapa bukti berupa lukisan-lukisan wajah
pejabatpejabat kolonial, bangunan-bangunan kantor pemerintahan dan rumah-rumah
pejabat, yang semuanya merupakan lukisan pesanan. Baru kemudian menjelang Perang
Dunia ke2 ditandai dengan kedatangan pelukis-pelukis Eropa ke Indonesia seperti
B. Seni Bangun
Seni bangun yang berkembang pada masa penjajahan di Indonesia tidak lepas dari
pengaruh seni bangun yang berkembang di Eropa. Peninggalan dari hasil seni bangun
pada masa penjajahan in antara lain bangunan beteng, bangunan istana, gereja, dan
C. Seni Pertunjukkan/Teater
Pada masa Islam ternyata wayang semakin berkembang terutama pada zaman
kasultanan Demak. Bentuk wayang disempurnakan sampai pada masa Mataram Islam
sekitar abaci 17. Bentuk wayang kulit yang sekarang berkembang di Jawa adalah warisan
dari penyempurnaan-penyempurnaan yang dilakukan sejak zaman Demak sampai masa
Mataram itu. Pada Masa Islam selain cerita Mahabarata dan Ramayana juga berkembang
cerita-cerita seperti cerita Panji, Amir Hamzah, dan cerita Babad. Dari cerita-cerita itu
kemudian jenis-jenis baru wayang juga muncul seperti wayang gedog, wayang golek
(wayang boneka tiga dimensi yang terbuat dari kayu), wayang tengul (juga boneka dari
kayu), Wayang Krucil, dan wayang golek Sunda.
Dengan melihat wayang yang mempunyai pola baku itu terlihat bahwa seniman-
seniman istana pada waktu menunjukkan kemahirannya yang luar biasa. Dari seni kraton
ini kemudian sampai ke kalangan rakyat yang kemudian menjadi bagian dari seni rakyat.
D. Sastra
Kebijaksanaan pemerintah Belanda untuk mendirikan sekolah-sekolah di Nusantara
pada akhir abad 19 ternyata tidak saja kebutuhan akan pegawai-pegawai yang cakap
terpenehui, tetapi disisi lain kegemaran membaca dan kesadaran kebangsaan bangsa
Indonsia mulai tumbuh. Beberapa orang berbakat mulai menulis bermacam-macam
karangan dan sementara yang lain menerbitkan suratkabar-suratkabar baik berbahasa
Melayu, bahasa daerah, atau bahasa Belanda.
Munculnya suratkabar-suratkabar berbahasa Melayu tidak hanya di Jakarta saja tetapi
juga di kota-kota besar lainnya. Pada tahun 1862 muncul surat kabar Bintang Timur yang
terbit di Surabaya, surat kabar Pelita Ketjil yang terbit tahun 1882 di Padang, tahun 1867
terbit suratkabar Bianglala di Jakarta, dan di Bandung terbit suratkabar Medan Prijaji.
Suratkabar-suratkabar ini menjadi salah satu media pengungkapan olah sastra tulis bangsa
Indonesia pada waktu itu. Kemudian beberapa sastrawan menerbitkan karyakarya sastra
mereka dalam bentuk buku.
Ceitera-ceritera bersambung berbentuk roman banyak bermunculan di suratkabar-
suratkabar, balk yang berbahasa Melayu maupun berbahasa Belanda. Salah satu cerita
bersambung yang menarik, berbahasa Melayu, terbit di suratkabar Medan Prijaji dengan
judul "Hikajat Siti Mariah". Sekalipun cerita roman ini oleh pengarangnya, H. Mukti, diberi
judul "hikayat" tetapi lebih banyak melukiskan kehidupan sehari-hari. Pemimpin redaksi
Medan Prijaji, Raden Mas Tirto Adhisuryo, melalui suratkabar yang dipimpinnya juga
menerbitkan cerita roman berjudul "Boesono" dan "Nyai Permana".
Sementara itu, pengarang lain yang juga seorang wartawan, Mas Marco Martodikromo,
termasuk pengarang roman yang produktif pada jamannya. Ia menerbitkan banyak
karangan antara lain Mata Gelap (1914), Studen Hidjo (1919), Syair Rempah-Rempah
(1919), dan Rasa Merdeka (1924). Seorang yang kemudian menjadi tokoh partai komunis,
Semaun, menerbitkan roman berjudul Hikayat Diroen tahun 1924. Karena pengarang
tersebut, Mas Marco Martodikromo dan Semaun termasuk penganut faham kiri, semua
karangannya kebanyakan berisi hasuta-hasutan untuk memberontak. Oleh karena itu,
karya-karya mereka sering disebut "bacaan liar".
Pengarang lain bangsa Belanda yang simpati pada bangsa Indonesia menerbitkan
beberapa karya sastra. Ia adalah Eduard Douwes Dekker dengan nama samaran Multatuli.
Salah satu karyanya yang mempunyai pengaruh besar terutama dalam membangkitkan
kesadaran kebangsaan adalah "Max Havelaar". Karya ini yang menggambarkan
penderiaan rakyat dan kesewenangan penguasa lahir berdasarkan pengalaman