Anda di halaman 1dari 17

PERKEMBANGAN SENI DAN BUDAYA

INDONESIA ABAD XVIII-XX

A. Seni Rupa
Rupa-rupanya perkembangan seni rupa (visual art) patung, lukis, dan kerajian di
Indonesia sepanjang abad XVII-XX tidaklah selalu berjalan beriringan. Pada periode
tertentu, misalnya, seni lukis mengalami perkembangan yang cukup berarti, baik itu dan
konsep picturalnya maupun estetisnya, sementara itu seni patung dan kerajinan
mengalami kejenuhan. Atau kedua-duanya, misalnya seni patung dan seni lukis pada
masa Islam, hampir tidak mengalami perkembangan kecuali seni kaligrafi. Banyak faktor
yang mempengaruhi proses perkembangan ketiga seni itu. Namun yang jelas, sepanjang
sejarah perkembangan seni rupa di Indonesia selalu dapat dikenali ciri-ciri paling dominan
yakni kesinambungan tradisi (kontinuitas) dan keragaman ekspresi (pruralitas).
Kalau ditelusuri perkembangan seni lukis sejak jaman Islam maka terlihat bahwa seni
lukis pada jaman Islam ditandai dengan munculnya seni kaligrafi, terutama sebagai
ilustrasi dalam kitab-kitab sastra. Sejak masa itu sampai masuknya orang-orang Belanda
ke Nusantara hampir-hampir sulit dikenali bentuk-bentuk dan perkembangan seni lukis
pada masa itu karena terbatasnya sumber. Babakan baru sejarah seni lukis di Indonsia
sesudah masa Islam baru dapat dikenali kembali kira-kira pada masa kedatangan VOC.
Hal itu berkaitan erat dengan kepentingan VOC untuk mendapatkan gambar-gambar
seperti pelabuhan, kota-kota, topografi, dan sebagainya. Pada masa pemerintahan Heeren
XVII, setiap kapal yang melakukan ekspedisi pelayaran ke Nusantara harus mengikutkan
pelukis-pelukis atau juru gambar (teekenaars). Namun agaknya para juru gambar ini tidak
hanya sekedar memenuhi pesanan VOC atau pejabat-pejabat kolonial lain yang
melakukan ekspedisi, tetapi mereka juga mengembangkan kreativitas lukisannya kepada
obyek-obyek lain untuk kenangkenangan pribadi atau dijual lagi sesudah mereka kembali
ke Eropa. Biasanya karyakarya lukis di luar pesanan pemerintah kolonial ini berbentuk
pemandangan alam atau bangunan-bangunan tradisional, atau obyek-obyek tertentu yang
menarik perhatian mereka. Diantara karya para juru gambar yang sekarang masih
tersimpan di beberapa Mosium di Belanda adalah "Iringan Pengawal Seorang Pangeran
Banten" yang dibuat tahun 1596, "Perkawinan di Banten Abad XVII", dan "Delegasi
Diplomatik Pembawa Surat untuk Sultan Agung Tirtoyoso" dibuat tahun 1673. Pada abad
ke-18 sampai pertengahan abad ke-19 sulit diketahui perkembangan seni lukis dengan
media kertas atau kain (kecuali batik) selain beberapa bukti berupa lukisan-lukisan wajah
pejabatpejabat kolonial, bangunan-bangunan kantor pemerintahan dan rumah-rumah
pejabat, yang semuanya merupakan lukisan pesanan. Baru kemudian menjelang Perang
Dunia ke2 ditandai dengan kedatangan pelukis-pelukis Eropa ke Indonesia seperti

Universitas Gadjah Mada 1


Noeuwenkamp, Wolter Spies, Rudolf Bonnet yang masing-masing dengan jelas membawa
liran-aliran seni lukis seperti kubisme, ekspresionisme, surealisme atau simbolisme.
Sekedar menyebut beberapa nama, nama-nama seperti Raden Saleh, Affandi, Basuki
Abdulah, dan lainnya, sedikit banyak mendapat pengaruh dari gaya-gaya lukisan yang
dikembangkan oleh pelukis-pelukis Eropa itu, setidak-tidak nya pada masa awal karier
berkesenian mereka. Para kritikus seni mungkin
berbeda pendapat dan dapat membela pelukis-pelukis Indonsia dengan mengatakan
bahwa mereka tidak terpengaruh oleh pelukis-pelukis Eropa itu, tetapi yang jelas pada
masa revolusi bahkan sampai tahun 1960-an jarang sekali buku-buku seni yang masuk ke
Indonsia.
Sesungguhnya perkembangan seni lukis modern di Jawa diawali dengan munculnya
"Kelompok Lima" di Bandung pada tahun 1935 yang merupakan wadah bagi anak-anak
muda untuk belajar menggambar dan melukis. "Kelompok Lima" ini dipimpin oleh Affandi
dengan anggota-anggotanya Hendra Gunawan, Barli, Soedarso, dan Wahdi. Mereka tidak
mempunyai guru, target lukisannya juga belum jelas, serta masih dalam taraf coba-coba,
yaitu dengan praktek menggambar langsung dan mereka juga belum menguasai teknis
melukis serta anatomi. Mereka umumnya membuat reproduksi fotofoto, spanduk atau
iklan-iklan film.
Pada tahul 1937 di Jakarta dibentuk PERSAGI (Persatuan Ahli Gambar Indonsia) yang
beranggotakan antara lain Agus Djaja, Emiria Sunassa, Otto Djaja, Mochtar Apin, dan
Soedjojono. Ternyata pada .masa pendudukan Jepang keberadaan PERSAGI tetap
dipertahankan oleh pemerintah militer Jepang. Sekalipun Jepang mempunyai kepentingan
terhadap keberadaan PERSAGI sebagai alat untuk propaganda, namun kebebasan
berekspresi masing-masing seniman mendapat peluang besar untuk berkembang.
Pemerintah militer Jepang memprakarsai pendirian Pusat Kebudayaan yang didalamnya
antara lain terdapat sarana untuk berkarya seni lukis yang dibagi menjadi tida kelompok
berlatih. Maing-masing kelompok itu dipimpin oleh Basuki Abdullah, S. Soedjojono, dan
Soebanto Soerjo Soebandrio. Hal itu yang kemudian manjadikan PERSAGI berpengaruh
dalam mengarahkan perkembangan seni rupa di Indonesia.
Pada masa revolusi banyak seniman lukis yang hijrah ke Yogyakarta, diantaranya
Affandi, S. Soedjojono, Hendra Gunawan, Djajeng Asmoro, dan Kusnadi. Mereka ini
kemudian mendirikan sanggar-sanggar lukis dan mengembangkan citra berkesenian
mereka. Affandi mendirikan perkumpulan "Seniman Masyarakat" yang kemudian berubah
menjadi "Seniman Indonsia Muda" dengan anggota S. Soedjojono, Dullah, Harjadi,
Soerono, Soeromo, dan Abdul Salam. Hendara Gunawan bersama Affandi kemudian juga
mendirikan sanggar "Pelukis Rakyat" yang beranggotakan Hendra Gunawan, Kusnadi,
Soedarso, Setjojoso, Trubus Soedarsono, dan Soediardjo. Sekitar tahun 1949 seniman-

Universitas Gadjah Mada 2


seniman muda seperti Abas Alibasjah, Sajono, Edhi Soenarso, Rustamadji, Juski hakim,
Chairul bachri, Sutopo, Ali Marsaban, Nasir Bondan, Sasongko, Djoni Trisno, dan beberapa
seniman lainnya bergabung mendirikan sanggar yang bertjuan antara lain memberikan
kesempatan bagi seniman-sniman muda untuk mengembangkan bakat-bakatnya. Tema-
tema perjuangan pada masa revolusi dan kebebasan berekspresi tanpa terikat dengan
kaidah-kaidah tertentu pada masa sesudah revolusi mewarnai perkembangan seni lukis di
Indonesia yang sudah berkembang ke arah profesi barn. Pada tahun 1970-an ketika "boom
lukisan" mewarnai jagad seni lukis di Indonsia, telah mengantarkan para seniman lukis ke
pintu ujian citra berkesenian mereka. Tuntutan untuk memenuhi pasar dan proses
kreativitas yang konstan mendapat respon yang bermacam-macam dari para seniman.
Mereka yang tahan uji dan mampu menyeimbangkan tuntutan pasar dengan kreativitas
dan mutu berkeseniannya tetap berdiri kokoh sebagai "maestro". Untuk sekedar menyebut
dua nama barangkali Affandi dan Basuki Abdullah termasuk dalam kelompok itu.
Sementara itu beberapa seniman lukis jatuh pada kepentingan pasar yang sekedar
melukis, sekalipun tidak meninggalkan aspek estetika, seperti tukang yang membuat
barang-barang dagangan demi kepentingan pasar. Perkembangan seni lukis di Indonesia
akhir-akhir ini semakin marak dengan munculnya seniman-seniman lukis "baru" baik itu dari
kalangan birokrat, militer, kaum profesional, ibu-ibu pejabat dan konglomerat, sekalipun
aktivitas berkesenian mereka dianggap "sekedar" hobi.
Seni patting di Jawa agaknya mengalami kemandegan yang cukup panjang sejak
jaman Islam sampai akhir masa kolonial. Kondisi itu tentu saja sangat berpengaruh
terhadap apresiasi seni patung masyarakatnya. Tradisi seni patung di Jawa yang sudah
mengakar pada jaman pra Hindu dan jaman Hindu, pada masa kolonial hampir-hampir
sudah terlupakan. Kondisi seperti itu tidak terjadi di Bali. Di Bali, perkembangan seni
patung dapat dirunut dengan jelas benang merahnya sejak jaman pra Hindu sampai
sekarang karena memang seni patting di sana mendapat dukungan dari kondisi budaya
dan lingkungannya. Walter Spies, misalnya, seorang pelukis Barat yang kemudian
menetap di Bali, karya-karyanya tetap mempertahankan ciri-ciri seni patung Bali kuno dan
cukup berpengaruh terhadap perkembangan seni lukis dan seni patung senimanseniman
Bali pada masa akhir kolonial dan masa sesudah merdeka.
Perkembangan seni patung di Jawa sebenarnya mempunyai kaitan erat dengan
perkembangan seni lukis. Hendra Djarmara, misalnya, yang dianggap sebagai perintis
pembuatan patung modern dengan karya awalnya patung "Kartini" yang dibuat tahun
1943, memulai karirnya sebagai pelukis. Selama tiga tahun sesudah patung "Kartini" itu
muncul tidak ada lagi karya lain yang dapat dianggap sebagai perkembangan lebih lanjut,
sekalipun kemudian Affandi disebut-sebut sebagai pematung pertama pada masa
pendudukan Jepang. Menurut Jim Supangkat terdapat tiga gejala awal pertumbuhan seni

Universitas Gadjah Mada 3


patung baru Indonsia yang tidak berhubungan satu dengan lainnya. Gejala pertama yaitu
upaya dari beberapa pelukis untuk melakukan percobaan membuat patung sebagai
pelampiasan mencari media ekspresi lain. Gejala kedua yakni pembuatan patting untuk
melayani kebutuhan mendirikan monumen-monumen, dan gejala ketiga akibat dari
perkembangan jurusan seni patung di akademi-akademi seni rupa (Supangkat, 1992: 45-
46).
Periode awal kebangkitan seni patung sesudah Hendra Djarmara menciptakan patung
"kartini", pada tahun 1940-an Affandi pernah mengadakan pameran patung yang terbuat
dari tanah liat sebagai pelengkap dari pameran lukisannya. Secara teknis patung Affandi
pada tahun itu dan beberapa tahun kemudian masih sangat sederhana, tidak dicetak, dan
dibuat dengan cara yang hampir sama dengan cara melukis Affandi, yakni mengolah
lumpur tanah hat basah dan membentuk patung dengan tangan. Pada tahun 1948
bersama kawan-kawan pelukisnya Affandi kembali menyelenggarakan pameran,
termasuk memamerkan karya patungnya tahun itu, yakni patung "potret diri" yang terbuat
dari tanah liat merah. Pada tahun 1949 Affandi juga menciptakan patung yang sama
"potret diri". Sejak pembuatan patung tahun 1949 itu praktis Affandi lebih inten menggeluti
seni lukisnya dan kegiatan seni patting banyak dilaksankan oleh kawan-kawannya.
Pada periode kedua perkembangan seni patung di Jawa masih berkaitan erat dengan
semangat revolusi dengan pembuatan monumen-monumen. Beberapa karya patung yang
merefleksikan semangat itu antara lain patting "Jendral Sudirman" yang didirikan di depan
gedung DPRD. Patting itu dibuat dari batu andesit pada tahun 1952 oleh pelukis Hendra
Gunawan. Patung "Pemuda Pejuang" yang dibuat dari batu andesit pada tahun 1953 oleh
Sajono, atau patung "Jeritan Tak Terdengar" karya Amrus Natalsa tahun 1954 yang
terbuat dari kayu, atau patting "Jendral Urip Sumodiharjo" karya Trubus Sudharsono, juga
merefleksikan semangat itu. (lihat gambar 2 dan 3). Bersamaan dengan itu pula muncul
beberapa patung yang bertemakan kerakyatan seperti patting "Ibu sedang menyusui"
karya Trubus Sudharsono, salah seorang senior sanggar Pelukis Rakyat, dibuat tahun
1953. Patting itu terbuat dari batu andesit dan penguasaan anatomi manusia semakin
berkembang. Begitu juga patting "Kelaparan" dari Edhi Sunarso yang dibuat tahun 1953
menggambarkan tema yang sama (lihat gambar 4 dan 5).
Munculnya pematung-pematung akademik pada tahun 1970-an seperti Mon Mudjiman,
Husna, Sarpomo, Untung Murdianto, I. Pamungkas Gardjito, J. Sumartono, Harsono, Tri
Santoso, Sutarjo, Azmir, Kasman Ks, Hajar Satoto, Anusapati, Suwardi, Budi Rahayu,
Cengker, Caries, Winarno dan lainnya, telah merangsang munculnya bermacam-macam
bentuk ekspresi baru seni patting baik itu polos atau berwarna yang dilandasi dengan
teori dan prinsip-prinsip dasar yang bersumber dari pendidikan seni patung di Eropa
maupun di Amerika. Sekalipun demikian, agaknya semangat kepahlawanan dalam

Universitas Gadjah Mada 4


bahasa ekspresi patung itu masih tetap muncul akhir abad ke-20 ini, ketika kebutuhan
akan pewarisan nilai-nilai perjuangan dan pendidikan melalui media patung terus
berlangsung. Munculnya banyak monumen di Jawa pada masa itu merupakan bagian dari
salah satu perkembangan seni patung dengan semangat kepahlawanan itu. Disatu sisi,
perkembangan seni patung juga dirangsang oleh pertumbuhan ekonomi dan
perkembangan kota. Ketika kelompok menengah baru mulai mapan akibat pertumbuhan
ekonomi dan penataan tata ruang kota akibat perkembangan kota, perkembangan seni
patung dekoratif tidak dapat dibendung lagi. Di sisi lain, sekalipun seni patung dekoratif
tidak meninggalkan kaidah-kaidah estetika dan melibatkan tidak hanya pematung
profesional tetapi juga amatir, namun agaknya perkembangan seni patung dekoratif itu
sebagian merupakan tuntutan dari pemenuhan simbol-simbol kelompok menengah
perkotaan dan kemajuan ekonomi masyarakat. Hal yang hampir sama dengan seni lukis.
Hanya barangkali yang membedakan dengan seni lukis, pematung-pematung "baru" baik
itu dari kalangan sipil atau militer, atau dari kalangan yang lain, jarang menampakkan diri.
Seperti halnya perkembangan seni patung di Jawa pada abad ke-18, perkembangan
seni kerajinan juga suliti digambarkan secara jelas karena terbatasnya sumber. Pada awal
abad XX barangkali dapat dilihat sebagai babak baru dari perkembangan kerajinan rakyat.
Ketika itu pemerintah Hindia Belanda kesulitan mendatangkan perlengkapan tentaranya
karena terjadi konflik dengan Inggris. Gubernur Jendral Daendels pada saat itu
mengeluarkan kebijaksanaan yang intinya agar perkembangan usaha kerajian rakyat,
terutama pakaian, sabuk, sepatu, tempat peluru, pakaian kuda mendapat pembinaan dan
pengarahan agar keperluan tentara kolonial dapat dipenuhi dari tanah Hindia Belanda
sendiri. Ketika Raffles berkuasa, pada tahun 1811 di Jawa baru berkembang kurang lebih
28 jenis kerajinan rakyat, diantaranya padai besi, pembuatan gong, perhiasan dari logam
mulia, anyaman, tembikar, tenun, dan pembuatan kertas. Pada umumnya produk-produk
kerajinan rakyat waktu itu masih terbats untuk memenuhi kebutuhan sendiri dan
kebutuhan lokal. Laporan residen Surakarta, misalnya, menyebutkan bahwa pada tahun
1880-an hasil-hasil kerajinan di Jawa tidak begitu maju. Di Surakarta sendiri yang paling
menonjol adalah usaha kerajinan tembikar dan anyaman untuk memenuhi kebutuhan luar
desa. Itupun tidak terjadi perubahan dalam produksi, corak, maupun kualitasnya. Tetap
sama seperti tahun-tahun sebelumnya.
Sementara itu di beberapa daerah lain di Jawa juga terdapat jenisOjenis kerajinan
rakyat antara lain kerajian kayu, anyaman, pemahatan batu, tembikar, pengolahan kulit,
tenun, dan batik. Dari semua jenis itu hanya ukir dan batik yang berkembang dan
mempunyai kualitas baik, dibanding dengan produk dari Eropa yang di impor ke Hindia
Belanda. Kerajinan batik dengan berbagai ragam motif, seperti dari Solo, Lasem,
Semarang, Pekalongan, Indramayu, dan beberapa tenun seperti tenun "gedog" dari Tuban

Universitas Gadjah Mada 5


sangat terkenal pada masa itu dan bahkan sampai sekarang. Hasil kerajinan lain yang
hanya melayani komsumen terbatas seperti seni bordir dan tenun bersulang benag emas
berkembang di daerah Solo. Mutu keduanya itu disebut-sebut tidak kalah dengan produk
dari Paris. Barang-barang kerajinan lain yang mempunyai nilai seni seperti anyaman
pandan dan anyaman bambu dari Singaparna, Tanjungsari, dan Tangerang bahkan pada
waktu itu ada yang di ekpor ke Eropa.
Kebijakan pemerintah kolonial untuk menjadikan usaha kerajinan sebagai alternatif lain
peluang kerja di luar pertanian, merupakan salah satu pendorong berkembangnya
kerajinan rakyat pada permulaan abad XX. Langkah-langkah awal untuk memajukan
kerajinan rakyat sebenarnya sudah dimulai sejak tahun 1888 ketika Direktur Pengajaran,
Kepercayaan dan Kerajinan bekerjasama dengan lembaga swasta Perhimpunan Hindia
Belanda Untuk Kerajinan dan Pertanian yang dipimpin oleh Van Der Kemp merumuskan
usulan yang intinya mendorong perkembangan kerajinan rakyat melalui penyuluhan,
modal, dan peralatan teknologi. Realisasi usulan itu membuahkan hasiI yang kemudian
pada Sekaten tahun 1905 diselenggarakan pameran kerajian yang pertama kali dengan
menyajikan bermacam-macam produk kerajinan rakyat. Kemudian tahun 1909 pemerintah
Hindia Belanda mendirikan sekolah-sekolah pertukangan di Jakarta, Surabaya, dan
Semarang serta sekolah kerajinan jurusan seni ukir kayu dan seni ukir tanduk, anyaman,
dan keramik di Ngawi Jawa Timur. Lembaga swasta zending juga mendirikan sekolah
kerajinan di Kediri, Majawarna, Kuwu, Mendut, dan Waru. Begitu juga organisasi pemuda
Jong Java merintis berdirinya koperasi kerajinan di kalangan pengrajin dan usaha kerajinan
rakyat. Tahun 1914 sekolah pertukangan diperluas ke daerah-daerah yang potensial untuk
pengembangan kerajinan rakyat.
Pada masa pendudukan Jepang dan masa revolusi, kerajinan tenun dan cor logam
mengalami kemajuan yang pesat akibat blokade dan isolasi Barat yang tidak
memungkinkan barang-barang impor masuk ke Indonesia. Pada tahun 1950-an kerajinan
cor logam di Batur (Klaten) dan Tegal mengalami kemajuan pesat bahkan sampai
sekarang. Sementara itu, kerajinan rakyat yang lain mengalami ketnunduran, seperti
kerajinan payung di Juwiring (Kiaten) terpaksa harus mengubah produknya dari payung
hujan menjadi payung mainan anak-anak. Dari kasus itu dapat dilihat bahwa
perkembangan kerajinan rakyat di Jawa sangat dipengaruhi oleh perkembangan politik,
kondisi-kondisi sosial, dan peluang-pelunag ekonom is yang tersedia.

B. Seni Bangun
Seni bangun yang berkembang pada masa penjajahan di Indonesia tidak lepas dari
pengaruh seni bangun yang berkembang di Eropa. Peninggalan dari hasil seni bangun
pada masa penjajahan in antara lain bangunan beteng, bangunan istana, gereja, dan

Universitas Gadjah Mada 6


rumah tempat tinggal. Bangunan beteng tertua dari masa pengaruh Barat berada di Banda
yang didirikan Portugis pada pertengahan abad 16. Bangunan beteng ini dibuat dari batu
karang yang dibalut dengan tanah. Bentuk beteng Portugis umumnya berbentuk belah
ketupat dan masing-masing sudutnya juga berbentuk belah ketupat kecil yang menjorokke
luar. Kecuali di Banda beteng Portugis terdapat di Solor, Flores, dan Timor. Sementara itu
beteng Belanda juga banyak di berbagai tempat. Beteng Fort Rotterdam, misalnya, berada
di Makasar, atau beteng -beteng lain seperti vesting, verstrerking, Vestenburg, Vredeburg.
Benteng Belanda biasanya berbentuk bintang persegu delapan yang meniru bentuk
benteng yang ada di Belanda pada waktu itu.
Semula bangsa Belanda mendirikan gudang (pakhuizen) untuk menyimpang barang-
barang dagangan. Namun kemudian untuk melindungi din dan harta kekayaannya itu
didirikanlah bangunan benteng. Melalui bangunan gudang dan benteng inilah bangsa
Belanda melakukan penyerangan terhadap penguasa-penguasa setempat.
Kemudian setelah keadaan aman bangsa Belanda mendirikan bangunan rumah tempat
tinggal. Umumnya bangunan rumah, terutama di Jakarta pada masa itu berupa rumah
tanpa halaman dan berjejer-jejer padat seperti rumah di negeri Beland. Kemudian mereka
mengganti gaya bangunan rumah dengan halam luas di luar kota yang disebut landhuizen.
Semula memang mereka membangun rumah tanpa serambi tetapi kemudian mereka
melengkapinya dengan serambi-serambi lebar sepeti pendopo, sebuah gang dengan
kanan kirinya terdapat deretan kamar tidur. Sementara serambi belakang dan bangunan-
bangunan samping digunakan untuk dapur, kamar mandi, kamar pelayan, dan sebagainya.
Rumah landhuizen ini kemudian dikenal dengan rumah gaya kolonial atau "coloniale stujl",
atau sering disebut "indische stijl", "Oud holland stijl". Tentu saja pengaruh arsitektur Klasik
Eropa juga berpengaruh pada bangunan-bangunan rumah ini, seperti gaya Doria, Ionia,
Korinthia, dan renaisan yang bercampur dengan gaya seni bangun setempat.
Bangunan istana tertua dibangun tahun 1617 yang sekarang digunakan untuk Arsip
Nasional di Jakarta. Di Bogor pada tahun 1763 juga dibangun sebuah istana untuk tempat
tinggal penguasa kolonial. Bangunan istana di Bogor ini dibangun atas perintah Gubernur
Jenderal Van Inhoff. Banguan itu kemudian pada tahun 1834 direstorasi karena rusak
akibat gempa bumi. Istana Negara yang sekarang, dahulu dibangun untuk tempat tinggal
Gubernur Jenderal tatkala sedang bertugas di Jakarta.
Pada tahun 1930-an mulai banyak dibuat perumahan pegawai dan dilakukan perbaikan
kampong (kampoeng verbetering). Perusahaan semacam real estate yang membangun
rumah-rumah untuk disewa atau dijual juga sudah ada, seperti di wilayah Cihapit, Bandung.
Berkat jasa seorang apoteker dari Semarang bernama F. Tillema, para pengusaha swasta
Belanda juga mendirkan rumah-rumah untuk para pegawainya.

Universitas Gadjah Mada 7


Sebelum itu, pada tahun 1920-an para arsitek Belanda telah mendirikan bangunan umum
dan rumah megah di berbagai kota di Indonsia. Bangunan umum itu berupa perkantoran
untuk perusahaan swasta, seperti Bank, Jawatan Kereta Api, Pelayaran, kantor
pemerintahan, dan perumahan pejabat pemerintah.
Perkembangan seni bangun di Indonesia pada waktu tentu saja tidak bisa dilepaskan
dari peranan para arsitek Belanda. Diantara arsitek itu adalah Henri Maclaine Pont,
Herman Thomas Karsten, C.P. Wolff Schoemaker, W. Lemei, dan C. Citroen. Henri
Maclaine, misalnya, karyanya di Indonesia sangat banyak, yang terkenal antara lain
gedung ITB sekarang. Ia terkenal sebagai ilmuwan arsitektur yang pandai memadukan
gaya Eropa dengan gaya tradisional. Di rumahnya, di daerah Trowulan, Mojokerto, ia
membuat semacam museum dengan arsitektur yang diilhami gaya bangunan kuno
Majapahit. Ia juga membuat komplek bangunan gereja katolik di Poh Sarang, sebelah
selatan Kediri dengan gaya arsitektur mirip Trowulan. Bentuk bangunan gereja katolik
karya Henri Maclaine Pont berbeda dengan gaya bangunan gereja-gereja yang ada di
Jawa. Selain ahli dalam seni bangun Eropa ia juga menguasai prinsip-prinsip seni bangun
tradisional Bali dan Jawa. Kemudian ia juga membuat wilayah pemukiman seperti wilayah
Darmo di Surabaya serta melakukan rekonstruksi kota kuno Majapahit.
Arsitek Herman Thomas Karsten, teman sejawat Henri Maclaine Pont juga banyak
merancang bangunan gaya Eropa yang dipadu dengan gaya tradisional. Ia merupakan
perencana bangunan perkantoran dan bekerja sama dengan pemerintah kota. Selain itu ia
juga membangun bangunan umum lainnya seperti Pasar, Museum, perumahan, dan studi
perkembangan kota. Pasar Johar di Semarang adalah salah satu karyanya yang selesai
dibangun pada tahun 1933. Pasar Johar ini merupakan pasar termodern dan terbesar pada
masa itu. Karya lainnya yiatu bangunan gedung Musium Sonobudoyo di Yogyakarta.
Arsitek lainnya yang juga banyak membantu perkembangan seni bangun di Indonesia
adalah C.P. Wolff Schoemaker. Karya terbesarnya antara lain Villa Isola yang terletak di
Jalan Lembang Bandung yang dibangun tahun 1933 dan gedung Societeit Concordia yang
juga terletak di Bandung. Ia juga membangun perumahan, gereja dan lain sebaginya. Ia
kemudian menjadi guru Bung Karno dalam ilmu tehnik.
Arsitek W. Lemei terkenal sebagai perancang kantor gubernuran di Surabaya yang
termegah dan termodern di Hindia Belanda. Arsitek C. Citroen juga terkenal sebagai
perancang bangunan gedung gubernuran di Surabaya dan juga tempat pemukiman elite di
jalan SEdap Malam, jalan Jimerto, dan jalan Ondomohen. Tidak hanya itu saja karya
Citroen tetapi banyak karya lain yang tersebar terutama di Surabaya seperti rumah sakit
dan gereja.

C. Seni Pertunjukkan/Teater

Universitas Gadjah Mada 8


Selma periode klasik sesungguhnya seni pertunjukkan sudah mengalami
perkembangan, baik dari segi kualitas maupun kuantitasnya. Perkembangan itu terus
berlanjut sampai abad XX dengan melintasi persentuhan dengan kebudayaan Hindu-
Buda, Islam, dan kebudayaan Barat. lnformasi mengenai keberadaan dan perkembangan
seni pertunjukkan pada periode klasik diperoleh dari sumber-sumber prasasti, relief candi,
dan naskah-naskah kesusasteraan.
Dari prasasti, misalnya, banyak memberikan informasi mengenai seni musik, seni
suara, seni tari, dan pertunjukkan wayang. Sebutan seperti tuwung, mrdangga, murawa,
curing, dan padahi merupakan sebutan untuk jenis alat-alat musik pada masa klasik itu.
Sementara untuk seni suara, di dalam prasasti sering dijumpai kata-kata widu mangidung.
Adapun untuk seni tari juga dalam prasasti disebutkan dengan kata mangigel atau
inigelaken dan mamirus atau tari topeng.
Pada bangunan candi baik itu candi periode Jawa Tengah maupun periode Jawa Timur
terdapat relief-relief yang menggambarkan bermacam-macam bentuk alat musik, orang
menari, dan sebagainya. Pada Candi Borobudur, misalnya, terdapat relief yang
menggambarkan alat musik kendang, alat musik petik, alat musik tiup, simbal, siter, dan
kecapi serta suatu adegan seorang wanita yang sedang menari. Atau pada candi Sukuh,
misalnya terdapat relief antara lain menggambarkan bentuk alat musik bendhe dan
terompet.
Mat musik kendang disebut dalam naskah kesusasteraan yang berasal dari abd XIIXIII,
yakni dalam kitab Smaradahana, Hariwangsa, dan Tantri Kamandaka. Alat musik jenis
kendang ternyata digolongkan dalam alat tabeh-tabehan atau alat tetabuhan. Alat musik
simbal di dalam kitab Arjunawiwaha isebut dengan istilah barebet. Sementara itu, alat
musik berupa gambang disebut pertama kali dalam kitab Malat. Begitu juga alat musik
berupa gong sering disebut dalam kitab Arjunawiwaha, Sutasoma, Lubdhaka, dan
Hariwijaya. Misalnya dalam Arjunawiwaha (4:10) disebutkan "ghurna ng gong bheri". Atau
dalam kitab Sutasoma (88:3) disebutkan "muny ang gong pangarah", atau dalam
Lubdhaka (19:10) disebutkan "Rojeh gong gumuruh" dan dalam kitab Hariwangsa
disebutkan "rojeh gong grebeg ning bala". Mat musik berupa suling disebut-sebut dalam
kitab Ramayana, Wirataparwa, dan Smaradahana. Mat musik kecapi dan rebab banyak
disebut dalam kitab Kidung Harsa Wijaya, kitab Malat, dan kitab Tantri Kamandaka. Dalam
kitab-kitab itu alat musik kecapi disebut kacapi atau kacchapi sedangkan alat musik rebab
disebut jelas rebab, misalnya dalam kitab Malat : "rebab mum alangu".
Selain berbagai alat musik yang disebut-sebut dalam sumber-sumber tertulis juga
disebut pula adanya tartan, wayang, lawak, dan seni suara. Tarian, misalnya, disebut igel
atau angigel sedangkan penari disebut men men. Dalam kitab kidung Harsawijaya,
misalnya dijumpai kata-kata angidung yang artinya menyanyi, angringgit artinya

Universitas Gadjah Mada 9


memainkan ringgit atau wayang, anepuk atau anapuk artinya menari topeng, amidu atau
widu artinya menyanyi, agugujengan yang artinya melawak., dan lain sebagainya.
Berdasarkan data-data tersebut diatas jelas bahwa pada masa klasik sudah
berkembang kegiatan kesenian terutama seni musik atau gamelan, seni suara atau
tembang, seni tari, seni lawak, seni pertunjukkan wayang.

3.1. Seni Pertunjukkan Kraton


Pada bagian ini akan dibicarakan hanya beberapa seni pertunjukan yaitu wayang
boneka, wayang orang, Langendriya, dan langen Mandrawanara. Wayang boneka
menggunakan boneka tiga dimensi atau dua dimensi sebagi pelaku cerita. Dibanding
dengan wayang wong, wayang boneka usianya lebih tua. Wayang boneka juga tidak
hanya dikenal di Indonesia saja tetapi juga di Cina, India, Malaysia, Turki, dan Thailand.
Para sarjana berbeda pendapat mengenai asal usul wayang boneka ini. Sebagian besar
sarjana menganggap wayang boneka ini ash Indonesia atau tepatnya asil Jawa.
Dari data-data sejarah setidak-tidak sekitar tahun 900 di Indonesia sudah dikenal
adanya wayang kulit dengan cerita berinduk pada cerita epos India. Pada masa itu fungsi
wayang hanya berupa media upacara untuk memangil roh nenek moyang. Pada masa
Kadiri pertunjukan wayang sudah lengkap dengan gamelan, suluk, sinden, dan kelir. Di
istana kerajaan Kadiri wayang diselenggarakan secara teratur. Kemudian pada masa
Majapahit, cerita wayang tidak hanya terpaku pada Mahabarata dan Ramayana tetapi
sudah dikembangkan cerita ruwat seperti Sudamala atau bersifat keagamaan seperti
Dewaruci atau cerita mitos Jawa seperti Tantu Panggelaran. Bentuk rupa wayang pada
masa Majapahit ini sekarang masih dapat dijumpai pada wayang Bali dan wayang yang
berkembang di Lombok.

Pada masa Islam ternyata wayang semakin berkembang terutama pada zaman
kasultanan Demak. Bentuk wayang disempurnakan sampai pada masa Mataram Islam
sekitar abaci 17. Bentuk wayang kulit yang sekarang berkembang di Jawa adalah warisan
dari penyempurnaan-penyempurnaan yang dilakukan sejak zaman Demak sampai masa
Mataram itu. Pada Masa Islam selain cerita Mahabarata dan Ramayana juga berkembang
cerita-cerita seperti cerita Panji, Amir Hamzah, dan cerita Babad. Dari cerita-cerita itu
kemudian jenis-jenis baru wayang juga muncul seperti wayang gedog, wayang golek
(wayang boneka tiga dimensi yang terbuat dari kayu), wayang tengul (juga boneka dari
kayu), Wayang Krucil, dan wayang golek Sunda.
Dengan melihat wayang yang mempunyai pola baku itu terlihat bahwa seniman-
seniman istana pada waktu menunjukkan kemahirannya yang luar biasa. Dari seni kraton
ini kemudian sampai ke kalangan rakyat yang kemudian menjadi bagian dari seni rakyat.

Universitas Gadjah Mada 10


karena wayang sudah menyatu di kalangan kraton dan rakyat biasa sehingga pada waktu
itu di setiap istana terdapat terdapat tempat pementasan wayang. Begitu juga di rumah-
rumah para bangsawan pasti ada bagian yang dinamakan pringgitan yang terbuat dari.
Ketika bangsawan itu akan mementaskan wayang makan pringgitanini akan digeser,
sehingga rumah bangsawan itu menjadi panggung pementasan. Begitu juga pada rumah-
rumah rakyat yang berkecukupan mereka selalu membangun rumah yang didesain untuk
sewaktu-waktu dapat dijadikan panggung pementasan wayang.
Wayang Orang bersumber pada wayang boneka. Wayang orang berdasarkan prasasti
Wimalasrana sudah ada sejak tahun 930 yang disebut dengan wayang wwang. Baru
kemudian pada abad 18 wayang orang menjadi tradisi di istana Yogyakarta. Pada masa
Kadiri juga berkembang jenis wayang orang yang menggunakan topeng atau disebut raket
Yang ceritanya tidak bersumber pada Ramayana dan Mahabarata. Kemudian pada masa
Majapahit cerita yang diangkat dalam pegelaran raket adalah cerita Panji. Pada masa
Demak rupanya wayang wwang tidak hidup tetapi raket justru digemari. Bahkan raket juga
dikembangkan di istana Banten abad 17. Akan tetapi ketika Belanda menyerbu Cirebon,
mulailah tradisi raket ini menyebar ke kalangan masyarakat. Bahkan sekarang masih ada
penduduk yang menyimpan topeng tersebut seperti di desa Losari dan desa Selangit.
Sampai sekarang di Demak dan terutama di pesisir, wayang topeng masih memainkan
cerita Panji dan cerita-cerita lain seperti Andaga, Benco (tembem dan Doyok), Klana,
Turas (pentul dan Bancak), dan masih banyak lagi. Ketika Kraton Surakarta dan
Yogyakarta pecah, wayang topeng hidup di kraton surakarta dan wayang orang
dihidupkan kembali di Yoyakarta. Sementara itu, wayang topeng di Yogyakarta hidup di
lingkungan kesenian rakyat.
Peletak kebangkitan wayang wwanga atau wayang wong atau wayang orang di
Yogyakarta adalah hamengkubuwana I. Ia menciptakan lakon Gandawardaya dan
Jayasemadi. Selain itu juga dikembangkan wayang kulit, wayang gedog dan beberapa
tarian sakral bedaya, srimpi, lawung, sekar Madura, beksa wayang, dan beksa tameng.
Begitu juga Hamengkubuwana II menciptakan lakon wayang wong seperti Jayapusaka.
Raja Hamengkubuwana V menciptakan lakon Pragolomukti, Petruk dadi Ratu, Pergiwa
pergiwati. Wayang wong pada abad 19 kemudian tersebar ke luar istana dan menjadi
tontonan rakyat dan fungsinya berubah menjadi seni pertunjukan hiburan.
Sementara itu, Langdriya dan Langen Mandrawanara yang merupakan seni kraton
berkembang di wilayah Kepatihan yang pertama kali menciptakan langendria ini adalah RT
Purwadiningrat yang kemudian dikembangkan oleh KGPA Mangkubumi. Langendria ini
mengambil cerita Damarwulan. Pada Masa Mangkunegara IV (Surakarta) memerintahkan
Raden Rio Tandakusuma mengubah langendria Purwadiningratan Yogyakarta ini ke

Universitas Gadjah Mada 11


dalam gaya Surakarta. Hasil ciptaan gaya Surakarta ini pertama kali dipentaskan pada
tahun 1881 ketika Mangkunegara IV dinobatkan menjadi raja.
Langen Mandra Wanara diciptakan oleh YUdanegara III yang kemudian menjadi patih
dengan nama Danureja VII. Langen Mandra Wanara ini memainkan kisah Ramayana.
Unsur-unsur kesenian rakyat juga dimasukkan dalam langen Mandra Wanara ini. Hal itu
terlihat dan penggunaan bahasa Kraton yang halus yang diselingi dengan bahasa kasar
yang mudah dimengerti rakyat. Untuk memasukkan unsur kesenian rakyat ini terbuka keti
muncul suatu adegan tentara monyet. Unsur kesenian rakyat ini dimasukan karena
penciptanya sendir juga pencipta kesenian rakyat Srandul.

B. Seni Pertunjukan Rakyat


Seni pertunjukan rakyat ini sangat banyak sekali jumlahnya. hampir di setiap suku
bangsa memiliki satu atau lebih kesenian rakyat. Di Jawa Timur terdapat kesenian rakyat
kentrung yakni berupa cerita yang disampaikan secara lisan oleh dalang kentrung. Jenis
kesenian kentrung ini di beberapa tempat mempunyai nama yang berbeda-beda. Misalnya
di Banyumas dinamakan Timplung, ada nama lain emprak, Opak, Apem, Puja Rsul, dan
lain-lain. Ceritanya seperti Lahirnya Nabi Musa, Nabi Yusuf atau legenda rakyat Jaka
Tarub.
Di Jawa Tumur juga terdapat kesenian rakyat Wayang Beber Pacitan yang hanya
dipentaskan untuk upacara ruwatan dan nadar saja. wayang ini berbentuk lukisan di atas
kerta. Lukisan wayang beber terdiri 6 gulung dan tiap gulung berisi 4 adegan. Sementara
itu di Jawa tengah terdapat kesenian Rakyat Dalang Jemblung (Banyumas). Kesenian ini
sebenarnya pertunjukan wayang kulit biasa. Hanya saja dialog, gamelan dan sebaginya
dilakukan dengan suara mulut, baik oleh satu orang atau beberapa orang. Di Jawa Barat
ada kesenian Ubrug (Banten) yang menggunakan bahsa campuran Jawa, Sunda, dan
Indonsia. Para penarinya berbusana Srimpi-an dan pemain lakon berbusana sesuai
dengan cerita yang dekat dengan kehidupan keseharian.
Di daerah Bogor, Bekasi, dan Kerawang juga terdapat kesenian Rakyat Topeng Banyet.
Kesenian ini dinamakan topeng banyet sekalipun sekarang para pemainnya tidak ada
yang memakai topeng. Dahulu memang masih menggunakan topeng seperti topeng Si
Jantuk (mirip wajah Semar tanpa rahang bawah) dan kedok merah untuk tokoh Minak
Jingga. Di daerah Subang, Bandung dan sekitarnya terdapat kesenian longser yang
hampir mirip dengan topeng banyet hanya ditambah pesinden (juru kawih). Di Cirebon
terdapat kesenian Sintren yang disertai dengan adegan kesurupan (trance) enari
sintrennya. Masih banyk lagi kesenian di Jawa Barat ini seperti Topeng Blantek, Ronggeng
Gunung, dan Manoreh.

Universitas Gadjah Mada 12


Begitu juga di luar Jawa banyak sekali kesenian rakyat yang sampai sekarang masih
tetap berkembang. Di Riau, misalnya, terdapat kesenian yang disebut Makyong. Kesenian
ini juga terdapat di Muangthai, .Singapura, dan Malysia. Seluruh pemain kesenian ini
adalah wanita. Seni ini melibatkan seni musik, tari, sastra, dan tradisi setempat. Di
Minagkabau terdapat kesenian Randai. Kesenian Randal ini mempunyai empat unsur
yakni kaba (tutur), gurindam yang berupa penceriteraan dengan dendang dan iringan
karawitan, unsur bentuk tari, dan unsur dialog pemain. Di Bali terdapat kesenian rakyat
diantaranya adalah Topeng Pajegan dan Topeng Panca. Topeng pajegan (yang berarti
borongan) karena kesenian ini hanya dilakukan oleh seorang penari yang memainkan 15
jenis topeng dalam satu cerita. Sementara itu Topeng Panca terdiri dari 5 orang penari.
Agaknya kesenian ini merupakan perkembangan dari Topeng Pajegan. Topeng Panca
pada tahun 1940 melahirkan jenis baru yakni Topeng Prembun yang merupakan
penggabungan seni topeng, seni baris berbaris, dan tari.

C. Seni Pertunjukan Modern


Perintis teater modern di Indonesia adalah satu rombongan teater yang disebut Teater
Bangsawan. Tahun 1870-an di Penang, Malaysia muncul rombongan teaer dari India yang
oleh penduduk setempat dinamai "Wayang Parsi". Kemudian setelah rombongan ini
kembali ke India dan menjual semua peralatan pentas kepada Mohammad Pushi,
Muhammad Pushi atau terkenal dengan Mamak Pushi membentuk rombongan teater
Pushi Indera bangsawan of Penang. Rombongan ini mengadakan pentas di di beberapa
kota di Malaysia, Singapura, Sumatra, dan di Batavia (jakarta). Pada pementasan di
Jakarta itulah rombongan teater ini bubar dan semua peralatannya dibeli oleh Jaafar yang
kemudian membentuk rombongan barn yang dinamainya Stamboel. Sementara itu
pengaruh teater Indera Bangsawan di Sumatra telah mendorong lahirnya teater Indera
Ratoe Opera yang berpusat di Deli.
Beberapa tahun kemudian berdiri Komedi Stamboel yang didirikan oleh peranakan
Indo-Prancis yang lahir di Surabaya, August Mehieu. Komedi ini didukung dana oleh Yap
Goam Tay dan Cassim bekas pemain Indera Bangsawan. Cerita yang dipentaskan oleh
rombongan Komedi Stamboel ini antara lain "Ali Baba dengan 40 Penyamun", "Cerita
1001 Malam", "Penangkap Ikan dengan Suatu Jin", dan lain-lain. Pada tahun 1906
Komedi ini bubar dan bekas pemainnya mendirikan rombongan-rombongan baru seperti
"Opera bangswan", "Sinar Bintang Hindia", Komedi Opera Stamboel", dan "Opera
Permata Stamboel".
Di lingkungan masyarakat Cina peranakan pada tahun 1908 muncul "Opera Derma
atau "Tjoe Tee Hie". Kemudian disusul Tjia Im yang muncul tahun 1911, dan rombongan-
rombongan lain seperti Kim Ban Lian dan Tjin Ban Lian. Pada tahun 1925 seorang

Universitas Gadjah Mada 13


peranakan Cina, T.D. Tio Jr atau Tio Tik Djien mendirikan rombongan Orion. Rombongan
Orion ini sangat populer karena bintang panggungnya yang bernama Miss Riboet dan
kemudian rombongan ini lebih terkenal dengan nama Miss Riboet's Orion.
Di Surabaya seorang Rusia kelahiran Penang, Willy Klimanoff, mendirikan satu
rombongan baru "Dardanella" tanggal 21 Juni 1926. Rombongan ini tidak kalah
populernya dengan rombongan Miss Riboet's Orion karena didukung oleh bintang
panggung terkenal Tan Tjeng Bok. Masa kejayaan Dardanella ini memudar setelah
melakukan pertunjukkan keliling ke Cina, Burma, dan Eropa. Dua orang pemainnya
setelah kembali ke Indonesia yakni Piedro dan Dja mendirikan rombongan Bolero.
Sementar itu Fifi Young dan Nyoo Cheong pada tahun 1937 mendirikan rombongan baru
Fifi Young's Pagoda.
Hampir setahun sesudah Jepang menduduki Indonesia kegiatan seni pertunjukkan
melemah. Baru pada Desember 1942 muncul kembali teater Bintang Surabaya yang
dipimpin oleh Fred Young. Para anggota teater ini adalah bekas bintang-bintang
Dardanella seperti Fifi Young, Tan Tjeng Bok, Astaman, Ali Yogo, dan Dahlia.
Rombongan teater Dardanella masih melanjutkan tradi teater tahun 1930-an. la tidak
menetap di satu kota saja tetapi melakukan pementasan di berbagai kota besar di
Indonsia. Kemudian rombongan ini memutuskan untuk menetap di Jakarta yang
dianggapnya lebih strategis karena sebagian besar pendudunya memahami bahasa
Melayu. Rombongan ini sering mementaskan cerita seperti "Kris Bali, "Air Mata Ibu",
"Merah Delima" karya Andjas Asmara, dan lain-lain.
Pada tahun 1943 banyak bermuncul rombongan teater barn seperti Dewi Mada yang
dipimpin suami istri Ferry Kok dan Dewi Mada, teater Warna Sari pimpinan Dasaad
Muchsin, dan teater Irama Masa pimpinan Ali Yugo. Semua teater ini menggunakan
bahasa Indonesia. Kemudian menyusul beberapa rombongan teater yang menggunakan
bahasa daerah seperti teater Miss Tjitjih pimpinan Abubakar Bafakih yang menggunakan
bahasa Sunda. Rombongan sandiwara Wargo pimpinan Suripto muncul kemudian
dengan menggunakan bahasa Jawa. Seorang tokoh teater Tio Jr membentuk kembali
rombongan teater Miss Ribut di Solo.
Sesudah Indonsia merdeka sampai tahun 1949 kegiatan teater hampir-hampir berhenti
sama sekali karena sebagian seniman ikut dalam perjuangan.Untuk yang pertama kali
sesudah perang Kemerdekaan muncul Organisasi Keluarga Pencinta Seni Tunas Muda
yang kemudian dikenal dengan teater Bogor pada 1 September 1952. Lakon pertama
yang dipentaskan adalah Pahlawan Kelana karya Endang Achmadi yang sekaligus
menjadi sutradara lakon tersebut. Teater ini mendominasi kegiatan perteateran di
Indonesia sampai sekurang.kurangnya tahun 1957. Rombongan ini tidak saja
mementaskan naskah drama berbahasa Indonesia tetapi juga mementaskan naskah

Universitas Gadjah Mada 14


drama berbahasa Sunda seperti Suling Jeung Peuting dan naskah asing yang diadaptasi
dengan lakon Hantu Sang Tumenggung karya Hendrik Ibsen.

D. Sastra
Kebijaksanaan pemerintah Belanda untuk mendirikan sekolah-sekolah di Nusantara
pada akhir abad 19 ternyata tidak saja kebutuhan akan pegawai-pegawai yang cakap
terpenehui, tetapi disisi lain kegemaran membaca dan kesadaran kebangsaan bangsa
Indonsia mulai tumbuh. Beberapa orang berbakat mulai menulis bermacam-macam
karangan dan sementara yang lain menerbitkan suratkabar-suratkabar baik berbahasa
Melayu, bahasa daerah, atau bahasa Belanda.
Munculnya suratkabar-suratkabar berbahasa Melayu tidak hanya di Jakarta saja tetapi
juga di kota-kota besar lainnya. Pada tahun 1862 muncul surat kabar Bintang Timur yang
terbit di Surabaya, surat kabar Pelita Ketjil yang terbit tahun 1882 di Padang, tahun 1867
terbit suratkabar Bianglala di Jakarta, dan di Bandung terbit suratkabar Medan Prijaji.
Suratkabar-suratkabar ini menjadi salah satu media pengungkapan olah sastra tulis bangsa
Indonesia pada waktu itu. Kemudian beberapa sastrawan menerbitkan karyakarya sastra
mereka dalam bentuk buku.
Ceitera-ceritera bersambung berbentuk roman banyak bermunculan di suratkabar-
suratkabar, balk yang berbahasa Melayu maupun berbahasa Belanda. Salah satu cerita
bersambung yang menarik, berbahasa Melayu, terbit di suratkabar Medan Prijaji dengan
judul "Hikajat Siti Mariah". Sekalipun cerita roman ini oleh pengarangnya, H. Mukti, diberi
judul "hikayat" tetapi lebih banyak melukiskan kehidupan sehari-hari. Pemimpin redaksi
Medan Prijaji, Raden Mas Tirto Adhisuryo, melalui suratkabar yang dipimpinnya juga
menerbitkan cerita roman berjudul "Boesono" dan "Nyai Permana".
Sementara itu, pengarang lain yang juga seorang wartawan, Mas Marco Martodikromo,
termasuk pengarang roman yang produktif pada jamannya. Ia menerbitkan banyak
karangan antara lain Mata Gelap (1914), Studen Hidjo (1919), Syair Rempah-Rempah
(1919), dan Rasa Merdeka (1924). Seorang yang kemudian menjadi tokoh partai komunis,
Semaun, menerbitkan roman berjudul Hikayat Diroen tahun 1924. Karena pengarang
tersebut, Mas Marco Martodikromo dan Semaun termasuk penganut faham kiri, semua
karangannya kebanyakan berisi hasuta-hasutan untuk memberontak. Oleh karena itu,
karya-karya mereka sering disebut "bacaan liar".
Pengarang lain bangsa Belanda yang simpati pada bangsa Indonesia menerbitkan
beberapa karya sastra. Ia adalah Eduard Douwes Dekker dengan nama samaran Multatuli.
Salah satu karyanya yang mempunyai pengaruh besar terutama dalam membangkitkan
kesadaran kebangsaan adalah "Max Havelaar". Karya ini yang menggambarkan
penderiaan rakyat dan kesewenangan penguasa lahir berdasarkan pengalaman

Universitas Gadjah Mada 15


pengarangnya ketika ia bertugas di Indonesia. Edward Douwes Dekker pada tahun 1856
menjadi asisten residen Lebak, Banten dan melihat tindakan bupati dan pejabat lain secara
sewenang-wenang memeras rakyat. Ia kemudian mengundurkan diri dari jabatannya
karena protesnya terhadap kesewang-wenangan itu tidak diperhatikan oleh Belanda.
Melihat kondisi penerbitann karya-karya sastra yang dinilai oleh pemerintah Belanda
dapat membangkitkan kesadaran kebangsaan itu kemudian pemerintah Belanda
mengadakan bimbingan dalam -bacaan Rakyat. Maka pada tahun 1908 dibentuk
Commissie voor de Inlandsche School en Volkslectuur atau Komisi Bacaan Rakyat. Komisi
ini kemudian pada tahun 1917 dirubah menjadi Kantoor voor de Volkslectuur (Kantor
Bacaan Rakyat) atau Balai Pustaka. Tugas dari komisi ini semula adalah memeriksa dan
mencetak naskah-naskah cerita rakyat yang ditulis dalam bahasa daerah. Namun
kemudian kemudian diterbitkan buku-buku terjemahan yang mengkisahkan kepahlawanan
orang-orang Belanda dan cerita klasik Eropa. Bahkan kemudian menerbitkan karangan-
karangan barn.
Pada tahun 1914 Balai Pustaka menerbitkan roman pertama dalam bahasa Sunda
karangan D.K. Ardiwinata berjudul Beruang Ka Nu Ngarora (Racun bagi kaum muda).
Sebuah saduran dari karya J. Van Maurik diterbitkan dengan judul Cerita Si Jamin dan si
Johan pada tahun 1918. Penyadurnya adalah Merari Siregar. Merari Siregar juga menulis
roman berjudul Azab dan Sengsara Seorang Anak Gadis. Roman ini merupakan roman
pertama berbahasa Indonsia yang diterbitkan Balai Pustaka tahun 1920. Roman ini
merupakan kritik tersembunyi kepada adat dan kebiasaan buruk yang dianggapnya tidak
lagi cocok dengan zaman modern, yakni terutama mengani masalah kawin paksa.
Sejak terbitnya cerita roman dalam bahasa Indonesia itu kemudian disusul karya-karya
sastra dalam bahasa yang sama. Pada tahun 1922 terbit sebuah cerita roman berjudul Siti
Nurbaya karya Marah Rush dan pada tahun yang sama juga terbit roman Muda Teruna
karya Muhammad Kasim. Tema kawin paksa agaknya menjadi tema yang paling digemari
pada masa itu. Hal itu terlihat dari cerita roman Siti Nurbaya. Disitu digambarkan nasib
jelek seorang perempuan yang tidak kesampaikan kawin dengan lelaki pujaanya karena ia
dipaksa oleh orang tuanya kawin dengan lelaki lain. Persoalan kawin paksa atau campur
tangan orang tua dalam pemilihan jodoh menjadi tema dalam cerita-cerita roman yang
diterbitkan Balai Pustaka itu. Tema-tema semacam itu terlihat dalam cerita Karam Dalam
gelombang Percintaan karya Kedjora yang diterbitkan Balai Pustaka tahun 1926 atau
roman Pertemuan karya 'Abas Sutan Pamuntjak yang diterbitkan Balai Pustaka tahun
1928. Begitu juga roman Tjinta jang Membawa Maut karya Abd. Ager dan Nursiah
Iskandar yang diterbitkan Balai Pustaka tahun 1926.
Pengarang lain yang juga menentang adat perkawinan adalah Adi Negoro. Dalam
cerita roman yang berjudul Darah Muda yang diterbitkan Balai Pustaka tahun 1927 itu dan

Universitas Gadjah Mada 16


roman Asmara Djaya yang terbit tahun 1928, digambarkan bagaimana orang-orang muda
menentang adat dalam membela haknya untuk menentukan jojohnya sendiri. Cerita roman
lain yang terpenting yang diterbitkan Balai Pustaka adalah Salah Asuhan (1928). Karya
Abdul Muis ini dalam melihat adat kawin paksa lebih realistis. Pertentangan antara kaum
muda dan tua tidak sekedar dilihat sebagai suatu pertentangan yang ekstrem. Tetapi ia
menjelaskan kebaikan dan keburukan dari kedua kelompok itu, yakni kelompok pemuda
dan kelompok tua.

Universitas Gadjah Mada 17

Anda mungkin juga menyukai