Anda di halaman 1dari 13

Persagi

Singkatan dari Persatuan Ahli-Ahli Gambar Indonesia, merupakan suatu gerakan


nasionalisme di bidang seni rupa yang muncul lahir 23 Oktober 1938 di salah satu
sekolah dasar Jakarta di Gang Kaji. Pendirian Persagi dipengaruhi oleh situasi politik pada
masa itu. Mereka melabrak aliran Mooi Indie yang hanya melukiskan keindahan alam
sebagai souvenir bagi pekerja apabila pulang kampung ke Eropa, seolah keelokkan
Pertiwi adalah sebuah eksotisme yang tidak ada perlawanan, semuanya serba damai.

Organisasi-organisasi kepemudaan (jong java,dll) yang bersifat kedaerahan


menginspirasi S. Sudjojono untuk membuat organisasi berskala nasional yang bergerak
di bidang seni

Kemunculan Persagi dilatarbelakangi kemajuan upaya pencarian identitas diri


dan penumbuhan semangat kebangsaan yang marak pada masa-masa tersebut, yang
di bidang politik didorong oleh upaya pencapaian kemerdekaan. Didukung oleh makin
kuatnya aspirasi dan asas kebangsaan yang tumbuh semakin kokoh di bidang
pendidikan. Di sisi lain, para seni rupawan tidak mau ketinggalan dengan para mitranya
di bidang sastra, yang bercita-cita mendobrak konvensi lama dan beku untuk
melahirkan corak yang baru.
Anggota Persagi dapat disebutkan Agoes Djaja (merangkap Ketua), S.
Soedjono (pernah jadi Sekretaris), L. Setijoso, Rameli, Abdulsalam, S. Sudiardjo,
saptaria Latif, H. Hutagalung, S. Tutur, Sindusisworo, TB Ateng Rusyian, Syuaib
Sastradiwilja, Sukirno dan Suromo. Tujuan perjuangan Persagi
adalah mengembangkan seni lukis di kalangan bangsa Indonesia dengan mencari
corak Indonesia Baru. Maksudnya untuk mendapatkan bentuk, interpretasi mengenai
lingkungan dan alam lain, sehingga corak seni lukis Indonesia tidak membebek saja
yang datang dari Barat. Metode belajar yang ditempuh selain melukis bersama juga
menyelenggarakan diskusi, ceramah, pameran dan memperbincangkan masalah seni
global sampai ke Indonesia.

Persagi menyelenggarakan pameran pertama kali sekitar tahun 1938 di toko buku Kolff,
Jakarta. Setelah sebelumnya ditolak oleh pengurus Yayasan saat mengajukan
proposal ke Bataviascshe Kuntkrings. Menurut sekretarisnya, J de Loos Haaxman,
permintaan Persagi ditolak karena prasangka kaum pribumi hanya cocok menjadi
petani. Ternyata kemudian, pameran di Kolff tersebut mengejutkan pra kritikus seni dan
para pelukis Belanda, antara lain Henry van Velthuysen yang mengakui kualitas
gambar para anggota Persagi. Barulah kemudian pada pameran kedua, Persagi dapat
diselenggarakan di Kunstkring pada akhir tahun 1938.

Usia Persagi memang pendek, karena dengan masuknya Jepang pada bulan
Maret semua organ perjuangan bangsa dibubarkan dan digabung dalam POETERA
(poesat Tenaga Rakyat). Namun aspirasi nasionalisme Persagi yang selalu
didengungkan oleh tokoh terpentingnya, S. Soedjojono masih tersisa hingga kapan pun,
bahwa karya seniman harus jujur, karya-karya seninya ibarat "cap jempol"
yang tertinggal di pintu. Lukisan ibarat jiwo ketok (bhs Jawa) yang manusia secara
pribadi harus kelihatan di atas kanvas. Tidak boleh menjiplak dan menjadi duplikat
orang lain.
Sindoedarsono Soedjojono

Lahir di Kisaran, Sumatera Utara 14 Desember 1913 – 25 Maret, Jakarta, 1985. Ia


merupakan pelukis legendaris di Indonesia. Ia sering disebut sebagai Bapak Seni Lukis
Indonesia Modern. Ia biasa ditulis dengan nama S. Sudjojono

Soedjojono lahir dari keluarga transmigran asal Pulau Jawa. Ayahnya,


Sindudarmo, adalah mantri kesehatan di perkebunan karet Kisaran, Sumatera Utara,
beristrikan seorang buruh perkebunan. Ia lalu dijadikan anak angkat oleh seorang guru
HIS, Yudhokusumo. Oleh bapak angkat inilah, Djon (nama panggilannya) diajak ke
Jakarta (waktu itu masih bernama Batavia) pada 1925. Ia menamatkan HIS di Jakarta,
lalu melanjutkan SMP di Bandung, dan menyelesaikan SMA di Perguruan Taman Siswa
di Yogyakarta. Di Yogyakarta itulah ia sempat belajar montir sebelum belajar melukis
kepada RM Pirngadie selama beberapa bulan. Sewaktu di Jakarta, ia belajar kepada
pelukis Jepang, Chioji Yazaki.
Ia sempat menjadi guru di Taman Siswa seusai lulus dari Taman Guru di
perguruan yang didirikan oleh Ki Hajar Dewantara itu. Ia ditugaskan oleh Ki Hajar
Dewantara untuk membuka sekolah baru di Rogojampi, Banyuwangi, tahun 1931.

Namun ia kemudian memutuskan untuk menjadi pelukis. Pada tahun 1937, ia


ikut pameran bersama pelukis Eropa di Kunstkring Jakarya, Jakarta. Inilah awal
namanya dikenal sebagai pelukis, Pada tahun itu juga ia menjadi pionir mendirikan
Persatuan Ahli Gambar Indonesia (Persagi). Oleh karena itu, masa itu disebut sebagai
tonggak awal seni lukis modern berciri Indonesia. Ia sempat menjabat sebagai
sekretaris dan juru bicara Persagi. Selain sebagai pelukis, ia juga dikenal sebagai
kritikus seni rupa pertama di Indonesia. Lukisannya punya ciri khas kasar, goresan dan
sapuan bagai dituang begitu saja ke kanvas. Objek lukisannya lebih menonjol kepada
pemandangan alam, sosok manusia, serta suasana.

]Pandangan Politik

Sebagai seorang kritikus seni rupa, ia dianggap memiliki jiwa nasionalis. Djon sering
mengecam Basoeki Abdoellah sebagai tidak nasionalistis karena melukis perempuan
cantik dan pemandangan alam. Dua pelukis ini pun kemudian dianggap sebagai musuh
bebuyutan. Sengketa ini mencair ketika Ciputra, pengusaha penyuka seni rupa,
mempertemukan Djon, Basoeki Abdoellah, dan Affandi dalam pameran bersama di
Pasar Seni Ancol, Jakarta. Pada masa Orde Lama, ia pernah ikut dalam Lekra dan
bahkan Partai Komunis Indonesia. Ia sempat menjadi wakil partai di parlemen. Namun,
pada 1957, ia dipecat dari partai dengan alasan resmi pelanggaran etik karena
ketidaksetiaan kepada keluarga/istri. Tahun 1959 setelah didesak tuntutan Mia Bustam,
istri pertamanya, Sudjojono resmi bercerai dari Ibu yang memberi delapan anak untuk
pasangan ini, setelah secara sembunyi-sembunyi mencintai Rosalina Poppeck -
seorang sekretaris dan penyanyi - selama beberapa tahun, yang kemudian dinikahinya
sekaligus mengganti nama istri barunya menjadi Rose Pandanwangi.

Daftar Lukisan Terkenal

 Di Depan Kelambu Terbuka


 Cap Go Meh
 Pengungso
 Seko.

LUKISAN ZAMAN PERSAGI

Karya-karya S. Sudjojono (Di Depan Kelambu Terbuka, Cap Go Meh, Jongkatan,


Bunga kamboja)

Karya Agus Jayasuminta (Barata Yudha, Arjuna Wiwaha, Dalam Taman Nirwana)

Karya Otto Jaya (Penggodaan, Wanita Impian)

KETERANGAN LUKISAN

“Pertemuan”

1947-Otto Jaya
Tjap Go Meh (S.Soedjojono) (1940)

Cat minyak di atas kanvas / Oil on canvas, 73 x 51 cm, Inv. 515/SL/B

Dalam karya “Tjap Go Meh”, 1940 ini, ia mengungkapkan emosinya dengan meluap-
luap. Dalam lukisan karnaval perayaan keagamaan Cina tersebut, selain dihadirkan
suasana hiruk pikuk muncul nuansa ironi. Ironi itu bisa sebatas pada karnaval yang
meluapkan berbagai emosi secara absurd, namun lebih jauh lagi bisa mengandung
komentar ketimpangan sosial. Hal itu mengingat setting sosial tahun pembuatan karya,
adalah pada masa depresi ekonomi, tekanan pemerintah kolonial yang makin keras
pada para nasionalis, dan euphoria menjelang kedatangan Jepang.

Pada latar depan, terlihat seorang wanita dalam tarian dan gandengan seorang
bertopeng, diapit oleh seorangambtenar yang berdasi dan seorang pemusik bertopeng
buaya. Di sisi lain ada seorang kerdil yang berdiri tegak temangu-mangu, sedangkan di
latar belakang berombak masa yang berarak dan menari dalam kegembiraan.
Walaupun lukisan ini berukuran kecil, namun Sudjojono benar-benar telah mewujudkan
kredo jiwo ketoknya dalam melukis. Dalam “Tjap Go Meh” ini terlihat spontanitas yang
meluap tinggi. Deformasi orang-orang dalam arakan dan warna-warnanya yang kuat,
mendukung seluruh ekspresi yang absurd itu.

Sudjojono dalam masa Persagi dan masa Jepang berusaha merealisir seni lukis
Indonesia baru, seperti yang sangat kuat disuarakan lewat tulisan-tulisan dan karyanya.
Jiwa semangat itu adalah menolak estetika seni lukis Mooi Indie yang hanya
mengungkapkan keindahan dan eksotisme saja. Dengan semangat nasionalisme,
Sudjojono ingin membawa seni lukis Indonesia pada kesadaran tentang realitas sosial
yang dihadapi bangsa dalam penjajahan. Di samping itu, dia ingin membawa nafas
baru pengungkapan seni lukis yang jujur dan empati yang dalam dari realitas kehidupan
lewat ekpresionisme. Kedua masalah yang diperjuangkan tersebut, menempatkan
Sudjojono sebagai pemberontak estetika “Mooi Indie” yang telah mapan dalam kultur
kolonial feodal. Lukisan Sudjojono “Di Depan Kelamboe Terbuka” dan “Tjap Go Meh”
ini, merupakan implementasi dari perjuangan estetika yang mengandung moral etik
kontekstualime dan nasionalisme. Dengan kapasitas kesadaran dan karya-karya yang
diperjuangkan, banyak pengamat yang menempatkan Sudjojono sebagai Bapak Seni
Lukis Indonesia.

Sejarah Perkembangan Mooi Indie

Dalam masa Hindia-Belanda, Indonesia memasuki periode melukis realis yang dikenal
dengan istilah mooi indie. periode ini dimulai ketika Indonesia telah mengalami
kekosongan hampir setengah abad sejak perkembangan masa awal yang dirintis oleh
Raden Saleh. Kekosongan jarak yang cukup lama tersebut mengakibatkan periode ini
tak memiliki keterkaitan secara langsung dengan karya-karya Raden Saleh yang
meninggal pada tahun 1880, walaupun menggunakan pendekatan gaya melukis realis
yang sama. Dalam karya-karya Raden Saleh terdapat lukisan-lukisan potret wajah dan
pengungkapan kehidupan binatang dengan cara realistis-mendetail ala lukisan-lukisan
renaissance Eropa dengan penggunaan disiplin teknis yang sangat tinggi, tak begitu
dengan karya-karya pada periode mooi indie yang memiliki kecenderungan utama pada
lukisan-lukisan yang mendeskripsika keindahan alam. Walau pada masa ini
berkembang pula penggambaran lukisan potret wajah namun pemandangan alam
mempunyai kedudukan utama dalam seni lukis masa ini.

Nama mooi indie berarti keindahan atau keelokan pada masa Hindia, nama ini
diberikan untuk menamai jenis-jenis karya dan pengangkatan tema seni lukis yang
berlangsung pada masa Hindia Belanda antara tahun 1925 hingga tahun 1938. Pada
masa ini, idealisme seni lukis yang sebenarnya belum terbentuk, yang dapat
dikategorikan secara jelas hanyalah bahwa pada periode ini kelompok seniman dibagi
menjadi dua kelompok, yang juga mendasari perbedaan kelompok dalam masyarakat
kala itu, yaitu kelompok penguasa kolonial (bangsa asing) dan yang kedua adalah
kelompok rakyat pribumi (bangsa Indonesia). Karena terjadinya pembagian strata
dalam masyarakat inilah maka pelukis-pelukis dari kelompok asing kurang memandang
dan menghargai kelompok pelukis pribumi yang jumlahnya terhitung sedikit pun
sebagai teman seperjuangan yang sederajat, maka masing-masing kelompok pun
akhirnya berjuang sendiri-sendiri.

Kelompok bangsa asing yang bersatu menamai kelompok keseniannya dengan nama
Kunst-kring. Mereka berusaha mengungkapkan rasa pendekatan mereka secara
pribadi, tapi tetap dari sudut pandang orang luar terhadap alam lingkungan Indonesia
dengan melukiskan adat-istiadat yang terjadi dalam masyarakat. Bali menjadi
penggambaran bentuk kehidupan budaya yang paling menarik bagi mereka, terlihat
dalam pengangkatan motif-motif atau tema lukisan seperti adu ayam, penari Bali, pesta
ngaben, bekerja di sawah, banguna pura tua dan lain sebagainya. Namun karena
penghayatan yang dilakukan tak cukup dalam, membuat karya-karya mereka terbatas
pada penonjolan teknis dari seni lukisnya saja, sedangkan unsur-unsur kejiwaan yang
dari tema yang dihadirkan justru dirasa gagal, karena lebih menonjolkan keindahan luar
tanpa banyak membawakan latar belakang dari konstelasi kebudayaan yang
sebenarnya.
Sedangkan dari kelompok pribumi yang jumlahnya hanya sedikit terdapat tiga orang
yang dianggap penting, yaitu R. Abdullah Surjosubroto, Wakidi dan Pringadi. Dengan
jumlah yang sangat sedikit ini, ternyata mereka hidup menyebar dan saling berjauhan
antara yang satu dengan yang lainnya dan melakukan pergerakan sendiri-sendiri. R.
Abdullah Surjosubroto atau yang lebih dikenal dengan nama Abdullah Sr. hidup dan
melukis di Bandung, Jawa Barat, Wakidi menetap di Sumatra Barat sedangkan Pirngadi
berkarya di Jakarta dan lebih sering bekerja untuk ilustrasi penulisan. Dalam melukis
pemandangan alam, Abdullah Sr dan Wakidi terlihat lebih produktif dan baik secara
teknis jika dibandingkan dengan M.Pirngadi.

Pada awalnya kecenderungan pengambilan tema lukisan pemandangan alam


dihadirkan oleh pemerintah Hindia Belanda yang mendatangkan para pelukis Belanda
untuk melakukan tugas melukiskan pemandangan alam, kota dan beberapa hal lainnya
di Indonesia, walaupun ada yang datang sendiri karena keinginan bertualang dan
akhirnya tertarik dengan keindahan alam Indonesia. Para pelukis inilah yang akhirnya
mengenalkan kepada orang-orang Indonesia seni lukis pemandangan alam yang telah
berkembang sejak tiga atau empat abad belakangan di Eropa. Dan akhirnya ada
beberapa orang Indonesia yang akhirnya tertarik dengan lukisan pemandangan alam
ini.

Perkembangan borjuisasi di Eropa membawa pengaruh terhadap perkembangan


lukisan pemandangan alam di negeri ini. Di Eropa, perkembangan masyarakat kelas
menengah memberikan dampak terhadap perkembangan lukisan alam, hal ini
dikarenakan masyarakat kelas menengah, yang mayoritas kaum saudagar dan
pengusaha kurang menyukai lukisan yang menggambarkan adegan cerita dari Injil
kesusastraan Klasik yang menjadi kegemaran kaum bangsawan. Mereka lebih
menyukai lukisan yang menggambarkan hal yang biasa saja seperti lukisan
pemandangan alam. Terlebih lagi, lukisan pemandangan alam akan membawa mereka
istirahat sejenak dari kesibukan dan kehidupan kota yang bising dan kotor. Para
saudagar dan pedagang inilah yang membawa cita-rasa ini ke Indonesia. Karena
melakukan interaksi dan pergaulan dengan kaum saudagar dan pedagang inilah,
kalangan teratas masyarakat Indonesia yang merupakan kaum terpelajar terpengaruh
cita-rasa ini.

Dengan adanya pengaruh tersebutlah akhirnya terbentuk konsumen lukisan


pemandangan alam di Indonesia. Para saudagar, pedagang Belanda dan kaum
terpelajar Indonesia menginginkannya sebagai cinderamata dari alam Indonesia. Sudah
tentu hal ini akhirnya meluas ke segala lapisan masyarakat.

Karena adanya pasar yang meminati dan kekaguman masyarakat inilah lukisan
pemandangan alam berkembang pada masa itu, disamping memang kesenangan dari
para seniman itu sendiri untuk melukis pemandangan alam. Para pelukis seperti
Abdullah Sr, M.Pirngadi, dan Wakidi sering meluangkan waktunya untuk mengasingkan
diri dari kehidupan yang ramai dan pergi ke tempat sepi untuk merenungi
pemandangan alam serta dengan tekun malukiskannya.

Secara teknis, penggambaran lukisan pemandangan alam ini menggunakan faedah


teknis yang telah menjadi kebiasaan dan ketentuan dalam seni lukis Belanda dan
Eropa. Dalam teknis ini perspektif harus diperhitungkan secara teliti dan mendetail.
Ruang lukisan pun dibagi menjadi tiga bagian : depan, tengah dan belakang. Salah satu
dari ruang itu akan ditonjolkan dan diberi cahaya sedangkan ruang-ruang lainnya akan
diredam dan dimatikan. Warna-warna pun dipilih dan diambil dengan ketentuan yang
lazim, dicampur baik-baik dan menghindari pencampuran di kanvas untuk menjauhkan
kesan kotor, dan kemudian digoreskan secara halus di atas kanvas.

Pada akhir periode ini, ada beberapa seniman yang cukup dikenal sebagai penerus
angkatan sebelumnya. Salah satunya adalah Basuki Abdullah. Basuki Abdullah adalah
putra dari Abdullah Sr. yang sempat melakukan studi di Rijks Academie di Den Haag,
Belanda. Pada tahun-tahun terakhir masa Hindia Belanda, Basuki Abdullah kerap
mengadakan pameran-pameran di beberapa kota-kota besar di Jawa dengan
menampilkan karya-karya potret manusia, pemandangan dan binatang.
Selain Basuki Abdullah, seniman lain yang cukup dikenal di Jakarta ialah Lee Man
Fong. Ia banyak menyoroti tentang kehidupan di pulau dewata Bali melalui tampilan
tubuh-tubuh wanita dalam lukisannya. Selain itu, ia juga menghadirkan kehidupan kota
Jakarta yang ditampilkan dengan penggambaran penjual kaki lima di pinggiran jalan.
Lee Man Fong juga kerap melukis binatang, burung dara menjadi objek yang sangat
digemari olehnyayang disusun dalam komposisi bidang yang memanjang ke bawah,
sebagaimana lazimnya bentuk lukisan tradisonal Cina. Penggambaran binatang-
binatang yang kerap muncul dalam lkisan tradisional Cina seperti kuda dan harimau
pun muncul dalam beberapa lukisannya namun dengan penggarapan pribadinya.

Periode mooi indie pun memasuki masa akhirnya ketika mendapatkan tentangan dari
berbagai pihak terutama S.Sudjojono. Ia berpendapat bahwa lukisan pemandangan
alam tak mewakili gambaran masyarakat pada saat itu dimana rakyat Indonesia sedang
berjuang melawan penjajah. Dari sinilah dimulai periode baru, realisme sosial.

Contoh Lukisan Zaman Moii Indie

Lukisan Karya Lee Man Fong


Basuki Abdullah “Kakak dan Adik” 1978

Lukisan Basuki Abdullah yang berjudul Kakak dan Adik ini merupakan salah satu
karyanya yang menunjukkan kekuatan penguasaan teknik realis. Dengan pencahayaan
dari samping , figure kakak dan adik yang dalam gndongan terasa mengandung ritme
drama kehidupan. Dengan penguasaan proporsi dan anatomi. Pelukis ini
menggambarkan gerak tubuh mereka yang mengalunkan perjananan sunyi. Suasana
itu, seperti ekspresi wajah mereka yang jernih tetapi matanya menatap kosong. Apalagi
pakaian mereka yang bersahaja dan berwarna gelap, sosok kakak beradik ini dalam
selubung keharuan. Dari berbagai fakta tekstual ini, Basuki Abdullah ingin
mengungkapkan empatinya pada kasih saying dan kemanusiaan.

Namun demikian, spirit keharuan kemanusiaan dalam lukisan ini tetap dalam bingkai
romantisisme. Oleh karena itu, figure kakak beradik lebih hadir sebagai idealism dunia
utuh atau bahkan manis, daripada ketajaman realitas kemanusiaan yang menyakitkan.
Pilihan konsep estetis yang demikian dapat dikonfirmasikan pada semua karya Basuki
Abdullah yang lain. Dari beberapa mitologi, sosok-sosok tubuh yang telanjang , sosok
binatang, potret-potret orang terkenal, ataupun hamparan pemandangan, walaupun
dibangun dengan dramatisasi namun semua hadir sebagai dunia ideal yang cantik
dengan penuh warna dan cahaya.
Berkaitan dengan konsep estetik tersebut, Basuki Abdullah pernah mendapat
kritikan tajam dari sudjojono. Lukisan Basuki Abdullah dikatakan sarat dengan
semangat Mooi Indie yang hanya berurusan dengan kecantikan dan keindahan saja.
Padahal pada masa itu, bangsa Indonesia sedang menghadapi penjajahan, sehingga
realitas kehidupannya sangat pahit. Kedua pelukis itu sebenarnya memang mempunyai
pandangan estetik yang berbeda, sehingga melahirkan cara pengungkapan yang
berlainan. Dalam kenyataan estetik Basuki Abdullah yang didukung kemampuan teknik
akademis yang tinggi tetep menempatkannya sebagai pelukis besar. Hal itu terbukti
berbagai penghargaan yang diperoleh, juga dukungan dari masyarakat bawah sampai
kelompok elite di istana dan juga kemampuan bertahan karya-karyanya eksis
menembus berbagai masa.

Anda mungkin juga menyukai