Anda di halaman 1dari 16

Ikonografi Karya Sudjojono “Di Depan Kelamboe Terboeka”

Zuliati
Bentara Budaya Yogyakarta
Jalan Suroto No. 2, Kotabaru, Yogyakarta
Tlp. (0274) 560404, E-mail: bentarabudayayk@gmail.com

Volume 1 Nomor 1,
April 2014: 1-16 ABSTRAK
Tinjauan Ikonografi dalam Karya Sudjojono “Di Depan Kelamboe Terboeka”.
Penelitian ini mengupas lukisan “Di Balik Kelamboe Terboeka” karya Sudjojono
secara ikonografi. Sebagai cabang ilmu sejarah seni, Ikonografi mempelajari
makna dari sebuah karya seni melalui kajian aspek internal dan eksternal. Aspek
internal sebuah karya seni seperti subject matter, gaya, dan aliran, sedangkan aspek
eksternal berkaitan dengan situasi sosiohistoris yang melingkupi ketika karya
seni tersebut dibuat. Maka dengan menggunakan pendekatan ikonografi akan
diperoleh pemaknaan yang lebih luas dari sebuah karya seni. Berdasarkan penelitian
dapat disimpulkan bahwa “Di Depan Kelamboe Terbuka” menggambarkan jiwa
nasionalisme sebagai pemberontak estetika Mooi Indie yang telah mapan dalam
kultur kolonial feodal. Karya tersebut menunjukkan pergulatan pemikiran dalam
suatu situasi sosial yang didominasi konsep estetika tertentu. Sudjojono mampu
merumuskan konsep seni yang berasal dari kejujuran dan kepekaan dalam melihat
realitas sosial dan dikenal dengan kredo jiwa ketok.

Kata kunci: ikonografi, Sudjojono, Di Balik Kelamboe Terboeka, mooi indie

ABSTRACT
The Iconographic Study of Sudjono’s ‘Di Depan Kelamboe Terboeka’. This
study discusses the iconography of ‘Di Depan Kelamboe Terboeka’, a painting created
by an influential painter in modern visual art of Indonesia, Sindudarsono Sudjono.
Iconography as a branch of Art History learns the meaning of an artwork through the
study of its internal and external aspects. The internal aspects include the items contained
in an artwork such as a subject matter, style, and genre, whereas the external ones are
related to the socio-historical situation in which the work of art is created. Iconography
provides a broader understanding of a work of art. Based on this study, ‘Di Depan
Kelamboe Terboeka’ is one of Sudjono’s achievements depicting the spirit of nationalism
as a rebel of the settle Mooi Indie aesthetics in the feudal-colonial culture. This painting
reflects the creator’s inner conflict in dealing with a certain social situation dominated
by a particular aesthetical concept. Sudjono was successful in formulizing an art concept
originated from his honesty and sensitiveness in witnessing the social reality known with
a credo ‘jiwa kethok’.

Keywords: iconography, Sodjojono, Di Balik Kelamboe Terboeka, mooi indie

1
Zuliati, Ikonografi Karya Sudjojono

Pendahuluan nomor 41-42 tahun 1949 antara lain menulis:


“S. Sudjojono 101 –demikianlah ia menyebut
Sejarah seni rupa modern Indonesia sangat
dirinya– adalah orang yang dengan sadar me-
dipengaruhi oleh sosok Sindudarsono Sudjojono mahamkan hakikat seni pada umumnya dan
(selanjutnya ditulis Sudjojono). Ia lahir di Kisaran, seni lukis pada khususnya, dan orang yang
Sumatera Utara pada tanggal 14 Desember 1913 pertama-tama di Indonesia yang menghasil-
(atau menurut sumber lain pada tahun 1912 dan kan buah-buah seni lukis menurut teknik dan
1917). Kota Kisaran pada masa itu merupakan langgam baru serta visi yang sesuai dengan
salah satu kota kecil yang terletak di jalur raksasa semangat zaman. Di waktu Bangsa Indonesia
perkebunan Pantai Timur Sumatera. Sudjojono tertidur dalam dekapan penjajahan, di waktu
lahir dari pasangan Sindudarmo dan Maridjem. pelukis Indonesia sebagian besar berjual dan
Dia adalah satu-satunya anak dalam keluarga ini. mengaku dirinya seniman, di waktu beberapa
Ayahnya bekerja sebagai kuli kontrak di perkebun- orang muda yang berbakat dengan ragu-ragu
an tembakau Deli. Sudjojono cukup beruntung meraba-raba jalan kesenian yang licin itu, jiwa
bisa memperoleh kesempatan untuk belajar meng- Sudjojono tumbuh dan berkembang dan tak
lama kemudian menghasilkan buah-buahnya
gambar kepada seorang guru bernama Marsudi
yang membuka halaman baru dalam sejarah
Judokusumo. Sudjojono melalui masa kecilnya di
seni lukis Indonesia.”
Kisaran. Selanjutnya dia dan keluarganya pindah
ke Batavia. Ia menamatkan pendidikan dasarnya Bagaimanapun mengingat usia Sudjojono
di Jakarta dan meneruskan pendidikan ke seko- yang masih terhitung muda, pencapaian-penca-
lah menengah pertama Teosofische Kweekschool di paiannya sangat berpengaruh dalam dunia seni
Gunung Sari, Lembang, Bandung (Siregar, 2010: rupa pada masa itu. Sejak akhir 1930-an hingga
21-23). dekade 1950-an, kepeloporan Sudjojono dalam
Sudjojono merupakan tokoh penting dalam pengembangan seni lukis di tanah air memang
pergulatan pemikiran untuk mencari bentuk seni sulit disangkal. Dia berhasil merumuskan suatu
rupa yang mempunyai corak Indonesia. Seperti gagasan yang mengarahkan munculnya kesadaran-
yang dikatakan oleh Sanento Yuliman (Siregar, kesadaran baru, nilai-nilai, dan paradigma baru
2010:36), Sudjojono adalah penggagas utama ter- pula. Salah satu rumusan mengenai seni yang ke-
ciptanya revolusi baru seni lukis Indonesia. Revo- mudian menjadi sebuah kredo yang populer di
lusi itu dilakukan oleh Sudjojono pada kuartal dunia seni rupa Indonesia sampai saat ini adalah
terakhir dasawarsa 1930-an bersamaan dengan “jiwa ketok” atau jiwa tampak.
pencarian corak baru seni lukis Indonesia yang Salah satu karyanya yang paralel dengan ni-
dihasratkan berbeda dengan corak sebelumnya. lai-nilai estetik yang diperjuangkan dan termak-
Berkat ketajaman pikiran disertai keberanian tub dalam sebuah kredo “jiwa ketok” adalah Di
mengartikulasikan gagasan-gagasannya dan rasa Depan Kelamboe Terboeka ( selanjutnya ditulis
kebangsaan yang tinggi mendorong Sudjojono DDKT). Karya ini dianggap sebagai salah satu
untuk terlibat aktif dalam pergerakan-pergerakan karya penting Sudjojono dan menunjukkan satu
yang bersemangatkan nasionalisme khususnya di gaya melukis baru di tengah zaman yang sedang
bidang kesenian. Ia merupakan tokoh penting memuja lukisan-lukisan bergaya romantik dengan
dalam mendirikan Persagi (Persatuan Ahli Gam- menghadirkan sisi-sisi keindahan alam dan ma-
bar Indonesia), turut mendirikan SIM (Seniman nusia Indonesia yang disebutnya sebagai lukisan
Indonesia Muda), juga pernah menjadi pembina Mooi Indie. Mengingat arti penting lukisan DDKT
seni lukis dalam seksi kebudayaan Poetera dan Kei- dan ketokohan Sudjojono dalam perkembangan
min Bunka Shidoso pada zaman Jepang. Sudjojono seni lukis di Indonesia, penulis tertarik mengkaji
bahkan disebut sebagai Bapak Seni Lukis Indone- lebih lanjut lukisan tersebut, terutama dari aspek
sia Baru oleh Trisno Sumardjo pada tahun 1949. keterkaitan dengan situasi zaman ketika lukisan
Trisno Sumardjo dalam Majalah Mimbar Indonesia tersebut dibuat dan terefleksikan dari lukisan terse-

2
Journal of Urban Society’s Art | Volume 1 No. 1, April 2014

but. Untuk mendapatkan analisis yang lebih ter- nilai baru. Sebagaimana munculnya Kelompok Per-
arah, sistematis, dan tajam, penulis menggunakan sagi yang diusung oleh Sudjojono, berangkat dari
pendekatan ikonografi. penolakan terhadap nilai-nilai estetis masa-masa
Mengkaji karya seni rupa yang berasal dari sebelumnya yang disebut dianggap tidak bisa me-
masa lampau otomatis menggiring pada kesadaran wakili ciri kebangsaan karena hanya menawarkan
ruang dan waktu. Untuk menyajikan cerita pada keindahan yang bersifat turistik.
masa lalu dibutuhkan suatu konstruksi kesejarahan. Aspek sinkronik berkaitan dengan keterkaitan
Kajian sejarah seni rupa tidak saja membahas objek beragam fakta-fakta sosial, budaya, bahkan mental
karya seni rupa sebagai artefak, tetapi juga fakta- dari masyarakat suatu zaman ketika karya seni di-
fakta sosial dan mental masyarakat sehingga akan hasilkan. Dalam hal ini karya Sudjojono DDKT
diperoleh suatu konstruksi pengetahuan mengenai akan menemukan konteksnya ketika dipahami me-
sejarah yang lebih lengkap dan menyeluruh. Karya lalui penelusuran sejarah sosiokultural pada masa
seni sebagai bagian dari kebudayaan juga mam- tahun 1930-1940-an. Selanjutnya, melalui kajian
pu mengungkapkan jiwa zaman (zeitgeist). Dari ikonografi juga bisa diperoleh pemaknaan karya
pemahaman terhadap simbol-simbol yang terdapat yang lebih dalam.
dalam sebuah karya seni akan diperoleh sebuah Ada tiga pertanyaan yang akan dijawab dalam
gambaran dari penampang kebudayaan masyarakat penelitian ini, yaitu (1) bagaimana gaya karya
pada suatu waktu. Untuk memperoleh gambaran DDKT; (2) bagaimana tema dan konsep lukisan
yang menyeluruh tersebut dibutuhkan pembacaan DDKT; dan (3) bagaimana makna intrinsik lukisan
dengan menggunakan berbagai pendekatan dan DDKT.
teori. Sebagaimana yang disampaikan sejarawan Untuk memahami dan menganalisis makna-
Agus Burhan (2003: 3) bahwa sejarah seni rupa makna yang terkandung dalam lukisan DDKT
merupakan konstruksi berbagai fakta yang me- diperlukan seperangkat pendekatan dan teori.
nyangkut dunia seni rupa dalam perspektif waktu Pendekatan dan teori utama yang akan dipakai
yang dipengaruhi oleh cara pandang, konsep, atau adalah ikonografi yang dirumuskan oleh Erwin
teori-teori yang dipergunakan. Panofsky. Ikonografi merupakan cabang dari seja-
Oleh karena itu, kajian sejarah seni rupa rah seni yang berhubungan dengan pokok bahasan
bersifat multidisipliner. Selain berurusan dengan atau makna dari karya seni. Menurut Panofsky
berbagai dokumen dan fakta-fakta visual yang ber- (1955: 26), untuk memperoleh makna dari suatu
kaitan dengan gaya, juga dibutuhkan pemahaman karya seni harus mengikuti tiga tahapan yang si-
pada tema atau konsep serta makna intrinsik yang fatnya prerequisite atau berurutan dan saling terkait
esensial. Salah satu pendekatan yang bisa digunakan satu sama lain. terdiri dari tahapan pre-ikonografi,
dalam kajian sejarah adalah pendekatan ikonografi. analisis ikonografi, dan interpretasi ikonologi.
Melalui pendekatan ini, karya seni akan menjadi Tahap pertama disebut tahap praikono-
perhatian utama dalam mengkaji sejarah seni, grafi, yaitu tahapan untuk mengidentifikasi dan
meskipun demikian juga dibutuhkan pemaham- mendeskripsikan fenomena karya seni berdasar-
an pada aspek konstektual dan simbolik. Dengan kan pada ciri-ciri visual yang tampak seperti: kon-
demikian, dalam kajian ikonografi terdapat aspek figurasi garis, warna, bentuk, teknik, dan mate-
diakronik, sinkronik, dan simbolik. rial yang digunakan. Pada tahapan ini karya seni
Kajian terhadap karya Sudjojono ini aspek dideskripsikan secara faktual dan ekspresional.
diakroniknya berkaitan dengan sejarah seni lukis Makna faktual dipahami dengan cara mengiden-
sebagai gerak dialektikal, ide, atau konsep kesenian tifikasi bentuk yang tampak dalam objek karya
berdasarkan perkembangan dari awal sampai akhir seni. Makna ekspresional dipahami berdasarkan
berdasarkan urutan waktu. Dalam prosesnya kon- kejadian (events) yang terlihat di dalam karya ber-
sep atau ide baru muncul dari pergulatan pemikiran dasarkan pengalaman praktis (practical experience)
berdasar nilai-nilai lama yang telah ada dan diper- dari pengamat. Deskripsi formalistik ini kemudian
juangkan dalam medan seni untuk menghasilkan dikonfirmasikan menggunakan prinsip korektif

3
Zuliati, Ikonografi Karya Sudjojono

pada sejarah gaya/style. Prinsip korektif pada tahap liki kecenderungan/ identik dengan bentuk-bentuk
ini akan ditinjau pula karya Sudjojono sebelumnya yang hanya ada di alam mimpi.
yang berjudul Ibu (1935) dan Tjap Go Meh (1940) Tahap kedua dalam kajian ini disebut tahap
sebagai komparasi. analisis ikonografis, yaitu proses membaca arti se-
Untuk mendukung analisis pada tahap pra- kunder dari aspek tekstual (ciri-ciri visual/motif
ikonografi ini diperlukan teori-teori seni sebagai artistik) dengan melihat hubungan antara ciri vi-
teori pendukung, di antaranya teori yang berke- sual sebuah karya seni dengan tema dan konsep
naan dengan struktur seni. Untuk mengkaji struk- berdasarkan interpretasi dari imaji atau gambar,
tur seni dalam karya DDKT akan digunakan teori cerita, dan alegori (kiasan atau perlambangan).
dari Edmund Burke Felmand dan Herbert Read. Untuk itu, diperlukan kajian-kajian kepustakaan
Menurut Feldman (1967: 222-278) struktur karya sebagai pendukung berupa berbagai teori seperti
seni terdiri dari: (a) elemen-elemen seni rupa (garis, antropologi, sosiologi, sosial-budaya, atau gaya hi-
bentuk, tone/gelap-terang, dan warna), (b) pengor- dup, karya-karya sastra, dan filsafat sesuai konteks
ganisasian elemen seni (kesatuan, keseimbangan, karya yang dikaji. Tema atau konsep yang spesifik
ritme, dan proporsi), dan (c) kontribusi penikmat diekspresikan oleh objek karya seni dan kejadian
terhadap karya seni. Demikian juga yang dikatakan (events) di dalam karya tersebut. Pada tahap ini
oleh Herbert Read dalam bukunya The Meaning menggunakan prinsip korektif sejarah tipe. Un-
of Art bahwa elemen karya seni rupa terdiri dari: tuk itu, perlu diperbandingkan dengan karya lain,
garis, tone/gelap-terang, warna, bentuk, dan kesa- dalam hal ini akan dibandingkan dengan karya
tuan. Pelacakan pseudo-formalistik pada tahap ini Agus Djaya yang berjudul Ronggeng. Pemilihan
adalah sebagai syarat untuk memperoleh kepastian karya Agus Djaya sebagai pembanding, berdasarkan
mengenai gaya lukisan tersebut. kesamaannya dengan Sudjojono di Persagi. Juga
Pemahaman mengenai gaya lukisan meru- karya Affandi yang berjudul Ibu (1940). Karya Af-
pakan syarat yang tidak bisa dihindari dalam fandi ini dipilih sebagai pembanding dalam prinsip
mempelajari sejarah seni rupa. Gaya lukisan akan korektif karena karya ini dibuat dalam masa yang
memperlihatkan kecenderungan-kecenderungan berdekatan dengan karya Sudjojono.
ekspresi visual yang bisa dikelompokkan atau dikla- Untuk memperoleh tema atau konsep lukisan
sifikasikan untuk menentukan gaya berdasar waktu, DDKT dibutuhkan konfirmasi sumber-sumber
wilayah, teknik, subject matter, dan lain sebagainya. literer, di antaranya adalah buku biografi karya
Dengan memperoleh pemahaman mengenai gaya Mia Bustam yang berjudul Sudjojono dan Aku.
lukisan akan membantu untuk membaca “hidden Buku ini merupakan catatan biografi Mia Bustam
language” dari karya seni. Gaya lukisan dapat dide- selama menjadi istri pertama dari S. Sudjojono.
teksi melalui unsur-unsur seni rupa dan hubungan Meskipun karya DDKT dibuat sebelum menikah,
kualitatif antara elemen-elemennya. Gaya lukisan di dalam buku ini memuat kisah-kisah masa lalu
DDKT akan dianalisis menggunakan teori dari dari Sudjojono. Selanjutnya novel Bumi Manusia
Feldman (1967: 138-204) yang membagi gaya yang ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer. Novel
menjadi empat yaitu: (1) gaya ketepatan objektif ini merupakan bagian pertama dari tetralogi yang
(objective accurancy), yaitu kecenderungan karya ditulis oleh Pramoedya. Dengan mengambil set-
seni yang merujuk pada fenomena alam; (2) gaya ting tahun awal 1900-an sampai revolusi, novel
susunan formal (formal order), yaitu karya seni yang ini mampu menggambarkan dengan rinci situasi
diciptakan melalui aplikasi pola ukuran yang meto- sosial, budaya, politik, pandangan hidup, dan
dik untuk mencapai keseimbangan, stabilitas, dan mental masyarakat pada waktu itu. Dengan gaya
keindahan; (3) gaya emosi (emotion), yaitu gaya bahasa yang lugas Pramoedya tidak melewatkan
yang berangkat dari keyakinan bahwa fungsi utama setiap detail dari hal-hal yang sifatnya fisik seperti
dari seni visual adalah menciptakan bentuk-bentuk gambaran mengenai rumah tinggal, arsitektur dan
yang tidak mampu direkam kamera, yaitu getaran perlengkapannya, pakaian, adat kebiasaan, sopan-
emosi; dan (4) gaya fantasi, yaitu, gaya yang memi- santun, dan lain sebagainya sehingga tepat untuk

4
Journal of Urban Society’s Art | Volume 1 No. 1, April 2014

dijadikan referensi pendukung. dan buku karya dari hasil penelitian Agus Burhan
Pada tahap ikonografi ini juga akan dilacak (2009) yang telah diterbitkan menjadi buku ber-
mengenai gaya hidup masyarakat pada masa 1930- judul Perkembangan Seni Lukis Mooi Indie sampai
1940-an. Referensi-referensi lain yang berkaitan Persagi di Batavia, 1900-1942.
dengan gaya hidup antara lain buku karya Djoko Menurut Sartono Kartodirdjo (1987: 53) ga-
Soekiman (2011) yang berjudul Kebudayaan Indis. ya hidup adalah suatu totalitas dari pelbagai tata
Ia memaparkan lebih detail mengenai kebudayaan cara, adat kebiasaan, struktur kelakuan, kompleks
yang diakibatkan kontak antara bangsa Belanda lambang-lambang, sikap hidup serta mentalitas da-
dan kaum pribumi yang disebutnya sebagai ke- ri suatu golongan sosial yang secara menyeluruh
budayaan Indis. Pemaparan ini digunakan untuk memengaruhi kehidupannya sehari-hari. Gaya
menganalisis simbol-simbol yang terdapat di dalam hidup sebagai suatu totalitas menunjukkan suatu
lukisan Sudjojono. koherensi, tidak lain karena kesemuanya dijiwai
Tahap ketiga, disebut juga tahap interpre- oleh suatu etos serta pandangan hidup yang sama
tasi ikonologis, yaitu tahapan untuk memberikan dalam suatu kelompok masyarakat.
makna intrinsik atau simbolik yang subtil atau Gaya hidup merupakan suatu fungsi dari stra-
mendasar dari objek karya seni agar bisa memas- tifikasi sosial, yaitu sebagai petunjuk perbedaan
tikan prinsip-prinsip filosofis karya seni pada suatu ataupun garis pemisah antargolongan. Dengan
zaman. Pada tahap ini diperlukan intuisi sintetik kata lain, melalui pemilihan simbol-simbol yang
berdasar pada kondisi psikologis dan weltan- mencirikan suatu gaya hidup seperti rumah ting-
schauung atau pandangan hidup dari pengamat. gal, kendaraan, pakaian, makanan, sopan-santun,
Prinsip korektif pada tahapan ini menggunakan dan gaya bahasa bisa menunjukkan kelas sosial
gejala-gejala budaya sesuai konteks dari objek. Pada seseorang atau sekelompok orang. Secara keselu-
tahapan ini, pemaknaan terhadap lukisan DDKT ruhan pendekatan ikonografi dalam makalah ini
akan dilakukan dengan menggunakan teori simbol akan dibingkai dengan pendekatan mengenai gaya
dari Suzanne K. Langer. hidup dan sosiohistoris.
Menurut Langer (Yulimarni, 2011) simbol
dibedakan menjadi dua jenis, yaitu simbol seni Praikonografi “Di Depan Kelamboe
dan simbol di dalam seni. Simbol seni disebut juga Terboeka”
dengan bentuk ekspresi, sebagai ekspresi dari jali-
nan antara sensibilitas, emosi, perasaan, dan kog- Lukisan “Di Depan Kelamboe Terboeka”
nisi impersonal, yang merupakan ciri utama dari (DDKT) karya Sudjojono yang berangka tahun
karya seni. Simbol seni dikatakan juga sebagai citra 1939 objek utamanya adalah sosok perempuan.
absolut (tidak terbatas), citra yang sebaliknya akan Pada latar depan, tampak sosok perempuan, ram-
menjadi irasional karena secara harfiah tidak ter- butnya terjurai lepas, dengan kebaya bermotif
gambarkan. Sementara yang dikatakan simbol di bunga-bunga kecil berwarna-warna cerah, dibalut
dalam seni adalah arti perlambangan yang dimuat- kain jarik berlatar warna hitam dengan motif batik
kan pada karya tersebut atau sebuah metafora, tumpal berwarna merah menyala di pinggir kain,
sebuah citra dengan signifikansi harfiahnya yang terjuntai ke bawah sampai batas mata kaki, duduk
jelas ataupun tersamar. Dengan demikian, menu- dengan posisi gelisah, dan tampak tak nyaman.
rut Langer dalam seni adalah sebuah simbol dan Sebelah tangan tersampir pada bahu kursi dan ta-
sekaligus juga bermuatan simbol. ngan satunya lagi menumpu di kursi kayu berwarna
Untuk memahami gejala-gejala kultural akan cokelat seperti sedang menyangga beban berat.
latar sosial masyarakat Batavia tempat Sudjojono Paduan warna cerah kuning, merah, dan hijau
tinggal dan berkarya, penulis menggunakan ref- dari kebaya yang dipakai tidak mampu menutupi
erensi mengenai kaitan antara gaya hidup dengan kegalauan dan kelelahan yang memancar dari tata-
kelas sosial dalam buku karya Sartono Kartodirdjo pan sepasang mata hitam milik perempuan itu.
yang berjudul Perkembangan Peradaban Priyayi Corak bunga-bunga kecil yang menghiasi kebaya

5
Zuliati, Ikonografi Karya Sudjojono

tersebut juga tidak sanggup memberi nuansa ceria atau tekstur kasar. Tampak Sudjojono tidak berke-
dalam lukisan ini. Hal yang paling mencolok dari hendak untuk mengejar ketepatan bentuk objek
lukisan ini adalah wajah pucat dari perempuan itu, secara proporsional dan ideal sebagaimana yang
tampak sepasang mata hitam yang menatap lurus tertangkap oleh mata kita. Akan tetapi, lukisan ini
ke depan. Tatapan matanya tampak lelah menang- terasa mempunyai ritme dan elan vital.
gung kepedihan dan kemarahan. Bibirnya pun Untuk memperoleh kepastian mengenai gaya
terkatup rapat. Raut mukanya pucat. Di bagian lukisan, pada tahapan ini juga akan diperbanding-
atas kepala perempuan tersebut diisi dengan warna kan dengan karya-karya S. Sudjojono yang lain,
merah menyala dalam goresan yang bebas-lepas yaitu Ibu (1935), Tjap Go Meh (1940), dan Potret
dan kuat cenderung liar. Tetangga (1947). Perbandingan ini untuk meli-
Di latar belakang, bagian atas kepala perem- hat gaya Sudjojono. Dalam karya Ibu yang dibuat
puan tersebut diisi dengan warna merah menyala pada tahun 1935 lukisan lebih realistik, meskipun
dalam goresan yang bebas-lepas dan kuat cende- demikian sudah terlihat kuat ekspresi dari wajah
rung liar, tampak kelambu (jaring untuk nyamuk seorang ibu yang terlihat muram dan sedih.
yang berbentuk tenda dipasangkan menutup ba- Meskipun mempunyai perbedaan dalam tema
gian atas tempat tidur) berenda warna putih yang lukisan, dalam karya Tjap Go Meh juga ditemu-
sedang tersibak dengan pengait sepasang bunga kan suatu konsistensi dan kesesuaian aspek-aspek
berkelopak kecil, berdaun hijau, dan berpita merah visual dengan lukisan sebelumnya seperti goresan
memberikan impresi romantic, tetapi muram dan garis dan aspek kebentukan. S. Sudjojono meng-
sedih serta kesepian yang mencekam. Suatu kon- ungkapkan emosinya dengan meluap-luap. Pada
tras dengan penggambaran perempuan di latar latar depan, terlihat seorang wanita dalam tarian
depan yang terkesan dingin dan terkurung rasa dan gandengan seorang bertopeng, diapit oleh
sepi. Dalam lukisan tersebut terdapat empat buah seorang laki-laki yang berdasi dan seorang pemusik
tanda tangan dari pelukisnya “SS 101” , keterangan bertopeng buaya. Di sisi lain ada seorang kerdil
tempat “Djakarta” dan berangka tahun 1939. yang berdiri tegak termangu-mangu, sedangkan di
Warna-warna dalam lukisan ini tampak kuat latar belakang berombak masa yang berarak dan
dan kontras, hasil campuran warna yang suram, menari dalam kegembiraan. Wajah-wajah dalam
merupakan jalinan dari warna merah, putih, kun- lukisan tersebut hadir dalam bentuk-bentuk yang
ing, hijau yang dikomposisikan juga dengan warna tidak lazim. Demikian juga dengan bentuk tubuh
coklat tua. Pemilihan warna yang kuat didukung yang tidak mengejar proporsi ideal penggambaran
oleh goresan kasar mampu meredam kontras warna manusia. Umumnya mengalami deformasi seperti
dan memunculkan kesatuan yang harmonis. Pe- bibir yang dipanjangkan dan hampir semua sosok
nempatan warna juga memberikan efek keruangan dalam lukisan tersebut mengenakan semacam to-
sehingga terasa oleh penulis bahwa sosok perem- peng.
puan tersebut sedang dilukis dalam sebuah kamar Walaupun lukisan ini berukuran kecil, Sud-
tidur dengan kelambu terbuka di latar belakang. jojono benar-benar telah mengekspresikan situasi
Garis-garis yang digoreskan secara bebas dan imaji- yang penuh kegembiraan, namun juga ada ironi
natif membentuk bidang-bidang dan bentuk objek dan suatu sikap kritis penuh sindiran. Dalam
yang dinamis. Karakteristik garis dalam lukisan ini Tjap Go Meh ini terlihat spontanitas yang me-
mempunyai spontanitas yang tinggi dengan tarikan luap tinggi. Deformasi orang-orang dalam arakan
panjang-panjang mengalir tanpa hambatan. dan warna-warnanya yang kuat, mendukung selu-
Garis dalam seni lukis mempunyai peran ruh ekspresi dari perayaan Tjap Go Meh. Dalam
yang penting. Garis dapat merupakan batas suatu lukisan Potret Tetangga (1947) aspek kebentukan
benda sekaligus juga memancarkan ekspresi dari semakin realistik, tetapi kita masih bisa merasakan
pelukisnya. Cat yang digoreskan secara kasar dan kekuatan ekspresi kemuraman dari seorang bapak
tumpuk-menumpuk atau impasto pada lukisan yang merupakan tetangga Sudjojono ketika tinggal
tersebut juga memunculkan efek berupa daya raba di daerah Prambanan Yogyakarta.

6
Journal of Urban Society’s Art | Volume 1 No. 1, April 2014

Gambar 1. Perbandingan antara karya Sudjojono Di Depan Kelamboe Terboeka (1939, cat minyak di atas kanvas) dan
Tjap Go Meh (1940, cat minyak di atas kanvas, 73x51 cm). Sumber : Dokumentasi Mikke Susanto

Gambar 2. Perbandingan antara karya Sudjojono Ibu (1935) dan Potret Tetanggaku (1947).
Sumber : Dokumentasi Mikke Susanto

7
Zuliati, Ikonografi Karya Sudjojono

Berdasarkan analisa formal tersebut dan proses dan penciptaan yang mendasari terbentuknya suatu
komparasi dengan karya Sudjojono yang lain ke- objek seni, dengan cara menguraikannya menjadi
mudian dikoreksi menggunakan teori mengenai komponen-komponen terpisah dan setiap kompo-
gaya. Merunut pada teori gaya yang dikemukakan nen ditetapkan sifat-sifatnya serta kegunaannya.
oleh Feldman, gaya lukisan DDKT ini bisa dikate- Tahap kedua ini akan dimulai dengan mema-
gorikan ke dalam gaya emosi yang bisa dilacak hami aspek konteks karya DDKT yang kemudian
dari aspek kebentukan. Bentuk-bentuk dalam kar- dianalisis bagian-bagian dari karya seni yang mem-
ya Sudjojono tersebut tidak mengejar ketepatan punyai keterkaitan dengan tipe-tipe pada zaman
bentuk-bentuk yang ideal dan halus sebagaimana tersebut. Karya Sudjojono juga akan dikompara-
lukisan realistic, tetapi lebih mengutamakan keku- sikan dengan karya dari seniman yang sezaman
atan ekspresi dari objek gambar. Hal ini dibuktikan dengan Sudjojono, yaitu karya Agus Djaya yang
dengan penggunaan garis yang spontan, mengalir, berjudul Ronggeng dan karya Affandi yang ber-
bebas-lepas tanpa hambatan. Fungsi utama dari judul Ibu (1941).
unsur-unsur visual dari lukisan tersebut adalah Pembacaan terhadap lukisan DDKT dengan
untuk menciptakan bentuk-bentuk yang tidak menggunakan pendekatan ikonografi harus juga
mampu direkam kamera, yaitu getaran emosi. didukung oleh bukti-bukti literer. Karya Sudjo-
Selanjutnya Feldman juga menyatakan bahwa jono yang berangka tahun 1939 ini dibuat dalam
gaya juga bisa diklasifikasikan menurut tekniknya. situasi masyarakat Indonesia sedang berjuang
Berdasarkan teknik yang digunakan gaya lukisan melawan penjajahan. Masa penuh kesulitan dan
Sudjojono di atas bisa dikategorikan sebagai gaya kemiskinan di mana-mana terutama di kalangan
ekspresi yang merupakan implementasi dari aliran masyarakat yang berada di desa-desa atau perkam-
ekspresionisme. Canaday (1962: 360) menjelas- pungan. Kondisi sulit akibat penjajahan tersebut
kan bahwa lukisan ekpresionis adalah kebebasan mendorong munculnya patologi sosial. Tidak
dalam melakukan distorsi dari bentuk dan warna sedikit orang-orang yang berbondong-bondong
untuk mengejar ekspresi dari sensasi dari dalam pindah ke perkotaan untuk mengadu nasib atau
dan emosi. Ekspresionisme terutama berkaitan tetap memilih tinggal di desa dan pasrah serta ter-
dengan intensi, perasaan personal, pathos (kepe- jebak dalam kemiskinan yang pahit. Bagi sebagian
dihan), untuk menggambarkan tragedi, kekerasan, orang yang oportunis, situasi tersebut juga diman-
dan hal-hal yang mengerikan. faatkan untuk mencari keuntungan dengan cara
mendekati pihak-pihak yang sedang berkuasa dan
Ikonografi “Di Depan Kelamboe Terboeka” mempunyai kemampuan ekonomi terutama kaum
penjajah Belanda atau para bangsawan. Beragam
Pada tahap kedua atau tahap ikonografi beru- cara dilakukan orang untuk mendapatkan uang
pa identifikasi makna sekunder yang bersumber dan menaikkan derajat sosial. Seperti yang tergam-
dari pembacaan aspek-aspek tekstual karya seni bar dalam novel karya Pramoedya, Bumi Manusia,
dan melihat hubungannya dengan konteksnya seorang gadis desa bernama Sanikem atau Ikem
untuk memperoleh pemahaman mengenai tema anak seorang juru tulis Sastrotomo yang dijual oleh
dan konsep karya tersebut. Sebagai prinsip korek- orang tuanya seharga 25 gulden untuk menjadi
tif dibutuhkan pembandingan dalam sejarah tipe. gundik orang Belanda bernama Herman Mellema.
Tema diartikan sebagai suatu sumber penciptaan Kisah dalam novel tersebut tidak jauh berbeda
yang menarik minat seorang seniman dan menjadi dengan kesaksian dari Mia Bustam berkenaan de-
atau dijadikan sebagai pengutamaan studi seninya. ngan sosok perempuan dalam lukisan Sudjojono.
Pada akhirnya suatu tema menjadi konsepsi tentang Menurut Mia Bustam, sosok perempuan dalam
apa saja dari seniman yang disampaikan atau di- lukisan DDKT bernama Adhesi, seorang perem-
amanatkan melalui karya seninya (Burhan, 2003). puan yang lari ke Batavia dari rumahnya karena
Konsep sendiri menurut Yulimarni (2011) meru- dijual atau dipaksa menikah dengan seorang haji di
pakan upaya filosofis untuk menggali pemikiran daerah Cirebon. Ketidakberdayaan Adhesi mem-

8
Journal of Urban Society’s Art | Volume 1 No. 1, April 2014

bawanya untuk menjadi pelacur di daerah Pasar tisan, dan kekuasaan serta kemewahan golongan
Senen yang membuatnya bertemu dan berkencan atas masyarakat Hindia Belanda.
dengan Sudjojono. Seperti yang dikatakan oleh Pada masa-masa tahun 1930-1940-an mun-
Sudjojono dalam buku Mia Bustam (2006:48-49): cul suatu kebudayaan Indis, yaitu percampuran
“Aku (Sudjojono) kemudian menjadi langganan antara kebudayaan yang dibawa oleh bangsa Be-
tetap, karena tertarik oleh kisah hidupnya. Ia landa dengan budaya asli penduduk pribumi.
gadis berasal dari Cirebon yang dipaksa kawin Kebudayaan tersebut muncul akibat kontak yang
dengan seorang haji. Ia kemudian melarikan lama dan intensif antara bangsa Belanda dengan
diri, terdampar di Jakarta, dan masuk di dunia penduduk pribumi. Kebudayaan ini menyebar dan
pelacuran. Aku terpikir untuk mengentaskan- tampak pada berbagai macam unsur kebudayaan
nya dari dunia nafsu, dan kuajak dia agar mau seperti pada bahasa, kelengkapan hidup, kesenian,
hidup bersamaku. Ia tidak menolak kubawa ke arsitektur, pendidikan, gaya pakaian, ilmu penge-
Sunter. Sejak itu, untuk menghapus kenangan tahuan, dan lain-lain. Kebiasaan-kebiasaan terse-
dan jejak hidupnya yang lalu, namanya kuganti but kemudian diadopsi dan menjadi bagian dari
dengan Miryam. Tapi bapak dan ibu menjadi gaya hidup golongan tertentu masyarakat Hindia
gempar, marah, dan sedih sehingga mereka
Belanda. Gaya hidup sendiri adalah suatu totali-
menjadi sangat kurus”.
tas dari pelbagai tata cara, adat istiadat, struktur
Dalam situasi yang sulit, dekade 1930-an juga kelakuan, kompleks lambang-lambang, sikap hidup
ditandai dengan munculnya gairah terhadap zaman serta mentalitas dari suatu golongan sosial yang
baru. Hal ini sebenarnya sudah dirintis dan ter- secara menyeluruh memengaruhi kehidupannya
bangun sejak awal abad ke-20 di Hindia Belanda. sehari-hari. Sebagai suatu totalitas menunjukkan
Ditandai oleh munculnya pergerakan nasional yang suatu koherensi, tidak lain karena semuanya dijiwai
dimotori oleh kelas menengah yang memperoleh oleh suatu ethos serta pandangan hidup yang sama
pendidikan dari Belanda. Penjajahan Belanda yang (Soekiman, 2011: 19-20).
mengakibatkan kemiskinan, penindasan, dan pen- Pemahaman mengenai gaya hidup dari ke-
deritaan batin bagi masyarakat telah mendorong budayaan Indis dibutuhkan untuk memahami
sejumlah orang untuk bergerak mencari perspektif dan melakukan prinsip korektif sejarah tipe pada
baru. Kaum nasionalis muncul dan berkembang simbol-simbol yang terdapat dalam lukisan Di De-
dari pelbagai bidang, termasuk kebudayaan dan pan Kelamboe Terboeka. Dalam lukisan tersebut
kesenian. Latar sosial seperti itulah yang turut terdapat sosok perempuan yang mengenakan ke-
memengaruhi Sudjojono untuk mengadakan baya dan jarik duduk di atas kursi dengan kelambu
pergerakan nasional di bidang seni lukis. di latar belakang. Pada masa tersebut, umumnya
Agus Burhan (2008) dalam bukunya yang perempuan mengenakan kebaya sebagai pakaian
berjudul Perkembangan Seni Lukis Mooi Indie sehari-hari. Seperti tampak dalam foto yang me-
sampai Persagi di Batavia, 1900-1942 menyebut- nunjukkan seorang perempuan (Ibu Fatmawati
kan bahwa di bidang kebudayaan dan kesenian Soekarno) di depan sebuah mikrofon. Soekiman
pun tidak mau ketinggalan untuk mencari suatu (2011: 30) menyebutkan dalam bukunya bahwa
corak seni lukis yang mencerminkan identitas ke- pakaian dan kelengkapannya dalam kebudayaan
budayaan Indonesia. Pada masa-masa sebelumnya Indis, banyak dipengaruhi oleh kebudayaan Eropa,
seni lukis Indonesia didominasi oleh karya-karya sedangkan masyarakat pribumi, yaitu pembantu
yang banyak terpengaruh oleh seni lukis dari Barat rumah tangga, para nyai, kaum perempuan indis
terutama yang beraliran romantisisme. Umumnya mengenakan sarung dan kebaya. Kain dan kebaya
lukisan-lukisan tersebut memuat keindahan alam juga dikenakan untuk pakaian sehari-hari oleh para
Indonesia terdiri dari hamparan sawah, aliran su- perempuan Eropa.
ngai dan gunung yang menjulang kebiru-biruan di Kebiasaan memakai kebaya di kalangan
kejauhan. Selain lukisan pemandangan juga lukisan perempuan Hindia Belanda juga disebutkan da-
potret yang menggambarkan kecantikan, keekso- lam novel Bumi Manusia, seperti penggambaran

9
Zuliati, Ikonografi Karya Sudjojono

Gambar 3. Kebaya yang dikenakan perempuan dalam lukisan Di Depan Kelamboe Terboeka.
Sumber : Dokumentasi Mikke Susanto

Nyai Ontosoroh yang dikatakan “….. dan segera lair tersebut berbahan dasar kayu jati berkualitas
kemudian muncul seorang wanita pribumi, baik dengan ukiran motif bergaya Jawa atau ber-
berkain, berkebaya putih dihiasi renda-renda….” campur dengan motif bergaya Eropa (Soekiman,
(Pramoedya, 2010: 32). Hal ini juga tampak dalam 2011:30). Mengenai perabotan Mia Bustam juga
buku Mia Bustam, ia tidak diperbolehkan memakai bercerita bahwa pada masa itu setelah menikah
pakaian ala Barat oleh Sudjojono. Hal ini terlihat dengan Sudjojono mereka berbelanja perabotan
dalam percakapan (Bustam, 2006: 34): rumah:
“Mengapa tidak boleh (memakai rok)?” tanyaku “Pada hari Minggu berikutnya kami pergi ber-
(Mia Bustam) belanja, mencari perabot pengisi rumah. Satu
“Kau terlalu patut memakai rok-rokmu itu.” setel meja makan dengan enam kursi dan satu
“Lho, lha malah baik toh?” lemari makan seharga 65 rupiah. Satu lemari
“Tapi dengan begitu kau menarik perhatian
laki-laki lain. Lalu kau akan direbutnya dariku.”
“Kok lucu! Apa semua laki-laki lain tukang
ngrebut istri orang? Dan apa aku akan mau
direbut begitu saja?”
Mas Djon (Sudjojono) tidak menjawab. Tapi
karena aku sangat mencintainya aku menurut
saja. Semua pakaian non grata aku simpan
baik-baik.

Kebudayaan Indis juga terlihat pada perleng-


kapan rumah tangga, seperti meja, kursi, dan al-
mari yang merupakan barang baru dikenal oleh
suku Jawa setelah orang Eropa datang di Nusantara.
Kemudian golongan bangsawan dan priyayi mu-
lai menggunakan peralatan rumah tangga tersebut
yang kemudian disebut meubelair. Sementara itu
rakyat kebanyakan tetap menggunakan peralatan
rumah tangga yang sederhana, misalnya tikar se-
bagai alas duduk. Selain para priyayi yang meng-
gunakan peralatan rumah tangga berupa almari,
Gambar 4. Perempuan (Ibu Fatmawati Soekarno) meng-
meja kursi dan ranjang berkelambu adalah orang gunakan kain kebaya dengan motif bunga-bunga kecil
Indo dan masyarakat timur asing (Cina, Arab dan pada tahun 1940-an. Sumber : Dokumentasi Mikke
sebagainya). Perabotan rumah tangga atau meube- Susanto

10
Journal of Urban Society’s Art | Volume 1 No. 1, April 2014

pakaian besar seharga 15 rupiah, meskipun


barang bekas tapi kuat dan bagus bentuknya.
Satu setel kursi rotan dengan bantalan ber-
warna terracota seharga 35 rupiah…..” (Bus-
tam, 2006: 32)

Gambar 7. Kelambu dalam lukisan Di Depan Kelamboe


Terboeka. Sumber : Dokumentasi Mikke Susanto

Gambar 5. Kursi dalam lukisan Di Depan Kelamboe


Terboeka berwarna cokelat, merujuk pada kursi yang
terbuat dari bahan dari kayu. Sumber : Dokumentasi
Mikke Susanto

Gambar 8. Ranjang berkelambu di Museum Bronbeek


yang biasa digunakan pada zaman Hindia Belanda
untuk melindungi dari gigitan nyamuk. Sumber: http://
kolomkita.detik.com/baca/artikel/2/2027/sejarah_
hindia_belanda_di_belanda. Diakses pada tanggal 10
Januari 2012.

Gambar 5 merupakan gambar dari kelambu


dan kursi yang setipe dengan visual yang terdapat
dalam lukisan DDKT.
Motif batik tumpal banyak dipengaruhi oleh
kebudayaan India di pesisir Jawa mulai pada abad
Gambar 6. Kursi Betawi yang biasa digunakan
masyarakat Hindia Belanda. Sumber: www.google.
ke-19. Kain batik dengan motif tumpal ini banyak
co.id/imgres?q=kursi+lenong+betawi+kuno. Di akses diperdagangkan oleh para pedagang Cina dan In-
pada tanggal 10 Januari 2011. dia di kota-kota pantai Jawa dan Sumatra, seperti

11
Zuliati, Ikonografi Karya Sudjojono

kan ‘jiwa ketok’ atau ekspresi yang terlihat. Oleh


karena itu, ia sangat menekankan bahwa lukisan
yang baik harus terasa kuat gerakan pensilnya.
Lukisan yang berkualitas baik tidak harus halus.
Lewat goresan pensil dan kuas, seorang pelukis bisa
mengungkapkan jiwanya dan sekaligus diketahui
kemampuannya. Berbagai ungkapan kredo teknik
tersebut sebenarnya juga merupakan fenomena
pemberontakan pelukis ekspresionisme yang in-
gin mengungkapkan kepekatan hati akibat situasi
Gambar 9. Motif Batik Tumpal dalam lukisan Di Depan sosial yang penuh ketimpangan dan kepahitan.
Kelamboe Terboeka. Sumber : Dokumentasi Mikke Selain itu, pandangan seni ini menolak konsep
Susanto estetis dari lukisan mooi indie yang pada masa itu
mendominasi (Burhan, 2008:73-74).
Dalam karya Agus Djaya terdapat kesamaan
dengan karya Sudjojono yang menghadirkan sosok
perempuan dalam lukisannya. Dilacak dari seja-
rah tipe pakaiannya, perempuan dalam lukisan
Sudjojono berasal dari masyarakat menengah ke
bawah, sedangkan dalam karya Agus Djaya, so-
sok ronggeng juga merepresentasikan masyarakat
kelas baru. Dalam lukisan Affandi, perbandingan
ditujukan pada kualitas ekspresif garis dan emosi
yang tertampilkan pada lukisan berjudul Ibu, setipe
dengan lukisan Sudjojono.

Gambar 10. Motif Batik Tumpal biasa digunakan perem-


puan daerah pesisir. Sumber: http://elyshashalies1.
blogspot.com.

Semarang khususnya Cirebon dan Lasem. Motif


batik tumpal ini memiliki kedekatan tipe dengan
motif batik yang dikenakan oleh perempuan dalam
lukisan Di Depan Kelambu Terbuka. Dalam novel
Bumi Manusia juga digambarkan Sanikem (Nyai
Ontosoroh) sebelum berangkat ke rumah Herman
Mellema membawa harta benda berupa pakaian
kebaya dan kain batik yang jumlahnya lebih dari
enam buah (Toer, 2010:121).
Agus Djaya merupakan salah seorang pendiri
Persagi bersama-sama dengan Sudjojono. Pandang-
an seni lukis dari persagi adalah menekankan keju-
juran menangkap realitas kehidupan, merupakan
elemen yang dialogis dengan semangat nasional-
isme akibat kepahitan situasi kolonial. Ungkapan Gambar 11. Foto lukisan Agus Djaya berjudul Ronggeng,
atau kredo yang terkenal dari Soedjojono adalah cat minyak di atas kanvas 63 x 73 cm. Sumber: Buku
mewujudkan kesenian sama dengan memperlihat- Koleksi Lukisan dan Patung Soekarno, 1964

12
Journal of Urban Society’s Art | Volume 1 No. 1, April 2014

sensibilitas, emosi, perasaan, dan kognisi imper-


sonal, yang merupakan ciri utama dari karya seni.
Simbol seni dikatakan juga sebagai citra absolut
(tidak terbatas), citra yang sebaliknya akan menjadi
irasional karena secara harfiah tidak tergambarkan.
Sementara yang dikatakan simbol di dalam seni
adalah arti perlambangan yang dimuatkan pada
karya tersebut atau sebuah metafora, sebuah citra
dengan signifikansi harfiahnya yang jelas ataupun
tersamar. Dengan demikian, menurut Langer, seni
adalah sebuah simbol dan sekaligus juga bermuatan
simbol (Yulimarni, 2011).
Pada tahap ketiga ini akan dipaparkan terlebih
dahulu situasi sosial yang melatarbelakangi lukisan
karya Sudjojono. Sejak abad ke-18 sampai awal
abad ke-20 muncul golongan sosial baru sebagai
pendukung kuat kebudayaan Indis di daerah jajah-
an Hindia Belanda. Menurut Kartodirdjo (1987:
Gambar 12. Foto lukisan Affandi berjudul Ibu (1940). 11), dalam bukunya Perkembangan Peradaban Pri-
Sumber: Buku Koleksi Lukisan Affandi, 2005 yayi menyebutkan bahwa masyarakat Hindia Be-
landa terdiri dari: (1) elite birokrasi yang terdiri atas
Berdasarkan analisis tersebut, dapat diperoleh Pangreh Praja Eropa dan pangreh Praja Pribumi,
simpulan mengenai tema dan konsep lukisan Di (2) priyayi birokrasi termasuk priyayi ningrat, (3)
Depan Kelamboe Terboeka. Sudjojono ingin priyayi profesional (priyayi dibagi dua, ada priyayi
menggambarkan realitas masyarakat pada zaman gedhe dan priyayi cilik), (4) golongan Belanda dan
itu sekaligus ironi mengenai ketimpangan sosial golongan Indo yang secara formal masuk status
dari masyarakat pada waktu itu. Selain itu, juga Eropa dan mempunyai tendensi kuat untuk meng-
ingin merumuskan satu corak baru seni lukis yang identifikasikan diri dengan pihak Eropa, dan (5)
berbeda dengan lukisan mooi indie. Corak baru orang kecil (wong cilik) yang tinggal di kampung.
tersebut ditandai dengan lukisan yang mampu Sartono Kartodirdjo menyebutkan bahwa di
mengekspresikan emosi dan sensasi batin yang kalangan masyarakat Jawa tradisional dibedakan
bersimpati pada tema-tema kepedihan tragedi antara kaum elit dan orang kebanyakan. Golong-
kemiskinan. an elit di sini terbagi atas bangsawan dan priyayi.
Mereka yang tidak termasuk kedua golongan itu
Ikonologis “Di Depan Kelamboe Terboeka” disebut wong cilik, termasuk di dalamnya kaum
pedagang, perajin, tukang, dan lain sebagainya.
Pada tahap ini akan dilakukan pemaknaan Akan tetapi, seiring perkembangan zaman, pem-
terhadap karya Di Depan Kelamboe Terboeka bagian kelas tersebut tidak berlaku mutlak dan
(DDKT) berdasarkan intuisi sintetik yang di- muncul “homines novi” (orang-orang baru) yang
pengaruhi oleh kondisi psikologi dan pandangan sudah memperoleh pendidikan sehingga mampu
hidup dari penulis. Selain itu digunakan prinsip melakukan mobilitas vertikal dan menciptakan
korektif berupa gejala-gejala kultural. Selain itu kelas menengah baru.
juga akan digunakan teori simbol dari Suzanne Masing-masing kelompok sosial dalam ma-
K. Langer. Menurut Langer, simbol dibedakan syarakat mempunyai ciri-ciri tertentu yang dengan
menjadi dua jenis, yaitu simbol seni dan simbol jelas menunjukkan perbedaan dengan kelompok
di dalam seni. Simbol seni disebut juga dengan sosial lainnya, terutama kelompok sosial dari rakyat
bentuk ekspresi, sebagai ekspresi dari jalinan antara kebanyakan. Ciri-ciri yang membedakan terlihat

13
Zuliati, Ikonografi Karya Sudjojono

dari perbedaan adat sopan-santun dan bahasa nasionalisme untuk membebaskan diri dari pen-
juga hal-hal yang berwujud konkret seperti ben- jajahan. Kelompok sosial terdididik ini umumnya
tuk rumah, tempat kediaman, pakaian, dan gelar berasal dari golongan priyayi. Perhatian mereka
pada nama. Simbol-simbol tersebut menjadi gaya tertuju pada kesengsaraan hidup, kemiskinan, ke-
hidup yang bisa menjadi penunjuk status sosial. terbelakangan pendidikan, dan penindasan. Me-
Agus Burhan, menjelaskan dengan lebih men- reka tidak segan-segan untuk mengerahkan dana,
detail struktur sosial masyarakat Hindia Belanda waktu, tenaga untuk kepentingan umum. Sebagai
di Batavia pada masa 1930-1942, yaitu terdiri contoh Ki Hadjar Dewantara dengan sekolah rak-
dari campuran dari penghuni asli dan pendatang. yatnya Taman Siswa.
Lapisan yang pertama adalah lapisan atas atau elit Demikian pula halnya dengan Sudjojono yang
dan priyayi, sedangkan lapisan yang kedua adalah mewakili suatu golongan masyarakat terdidik. Su-
masyarakat kelas bawah. Pada kedua lapisan inilah djojono dalam masa Persagi dan masa Jepang beru-
pendatang-pendatang dari luar yang terpanggil oleh saha merumuskan seni lukis Indonesia baru, seperti
tuntutan ekonomi dan pendidikan meresap pada yang sangat kuat disuarakan lewat tulisan-tulisan
kelompok masyarakat itu. dan karyanya. Jiwa semangat itu adalah menolak
Selanjutnya dijelaskan oleh Agus Burhan estetika seni lukis Mooi Indie yang hanya meng-
(2008: 55-57) bahwa di Batavia, masyarakat ke- ungkapkan keindahan dan eksotisme saja. Dengan
las bawah terdiri dari orang-orang Betawi asli dan semangat nasionalisme, Sudjojono ingin membawa
para pendatang. Orang Betawi asli yang tinggal seni lukis Indonesia pada kesadaran tentang reali-
di kampung kebanyakan bekerja sebagai petani, tas sosial yang dihadapi bangsa dalam penjajahan.
perajin kecil, atau tukang kereta sado. Gelombang Di samping itu, dia ingin membawa nafas baru
urbanisasi dan kecilnya diferensiasi serta kesem- pengungkapan seni lukis yang jujur dan empati
patan kerja menyebabkan merebaknya kehidupan yang dalam dari realitas kehidupan lewat ekpre-
jalanan seperti pelacuran dan gelandangan. Dari sionisme. Karya-karya Sudjojono mencerminkan
catatan studi tentang buruh di Batavia pada tahun kegelisahannya dalam menyelami realitas kehidup-
1937 menunjukkan bahwa rata-rata penghasilan an. Gelora kehidupan yang kalut pada masyarakat
mereka antara 30-35 sen setiap hari yang sebagian terbaca dalam lukisannya. Lukisan itu bagai buku
besar habis untuk memenuhi kebutuhan makan. penghidupan bagi mereka yang membacanya.
Pada masa itu Sudjojono telah bekerja sebagai Secara keseluruhan lukisan itu mengekspresikan
pengajar di Ardjoenaschool dengan gaji 35 gulden perasaan kemanusiaan yang dalam. Seperti yang
sebulan sehingga mampu menghidupi dirinya den- dirumuskan oleh Sudjojono:
gan cukup layak. Dia bisa dimasukkan ke dalam “Apakah kesenian itu? Untuk menjawab hal ini
golongan masyarakat dengan status sosial priyayi susah sekali. Sama susahnya dengan memberi
kecil, yaitu kelompok masyarakat terdidik yang keterangan atau jawaban kalau orang bertanya:
mempunyai keahlian spesifik dan bisa menempati apakah listrik itu? Orang bisa menangkap dan
posisi sebagai guru. Jadi, tidak mengherankan den- memakai kekuatan listrik, tetapi menerangkan
gan pendapatannya ia mampu membiayai kesenan- apa itu listrik sebenarnya orang. Begitu juga
kesenian. Untuk menerangkan kesenian itu
gannya dalam plesiran ke Pasar Senen dan juga
saya saya tidak bisa, tetapi barangkali saya bisa
memungkinkan untuk memiliki rumah dengan
dengan jalan contoh-contoh dari buah-buah
perabotan yang mencerminkan gaya hidup kelom-
buatan orang yang sampai sekarang diakui
pok priyayi. sebagai buah kesenian membuka sedikit tabir
Awal abad ke-20 juga ditandai dengan mun- dunia kesenian sampai bentuk kesenian tadi
culnya semangat sivilitas yang masih embrional dan bisa terlihat. Kalau seorang seniman membuat
mulai menemukan bentuknya di akhir 1930-an. suatu barang kesenian, maka sebenarnya buah
Semangat tersebut adalah keinginan yang meng- kesenian tadi tidak lain dari jiwanya sendiri
gelora dari kelompok terdidik masyarakat pribumi yang kelihatan. Kesenian adalah jiwa kethok.
untuk merumuskan pergerakan yang bercirikan Jadi kesenian adalah jiwa (Siregar, 2010:26).

14
Journal of Urban Society’s Art | Volume 1 No. 1, April 2014

Rumusan mengenai konsep seni tersebut akibat penjajahan sekaligus juga gejolak nasional-
mewujud dalam karya Di Balik Kelamboe Ter- isme untuk mencari suatu konsepsi dan atau corak
boeka yang menggambarkan keberpihakan Sudjo- seni lukis yang baru.
jono pada realitas masyarakat pribumi yang tragis. Lukisan DDKT adalah karya seni yang di
Sudjojono berhasil menghadirkan ekspresi muka dalamnya tidak saja memuat bukti-bukti visual
seorang perempuan yang lelah menjalani kehidup- hasil pencapaian Sudjojono, tetapi juga menun-
an, memilih menjadi pelacur untuk menghidupi jukkan pergulatan pemikiran dalam suatu situasi
dirinya daripada dipaksa menikah dengan orang sosial yang didominasi konsep estetika tertentu.
yang tidak dicintai. Sudjojono mampu merumuskan konsep seni yang
Kedua masalah berupa pencarian konsep seni berasal dari kejujuran dan kepekaan dalam melihat
lukis yang baru dan keinginannya untuk mengung- realitas sosial dan dikenal dengan kredo jiwa ketok.
kapkan realitas masyarakat dalam lukisan-lukisan-
nya sehingga bisa tercermin jiwa zaman penderi- Ucapan Terima Kasih
taan dari masyarakat pribumi akibat penjajahan,
menempatkan Sudjojono sebagai pemberontak Atas terselesaikannya hasil penekitian ini,
estetika Mooi Indie yang telah mapan dalam kultur penulis mengucapkan terima kasih kepada: (1)
kolonial feodal. Dengan demikian, lukisan Sudjo- Bentara Budaya Yogyakarta yang telah memberi
jono Di Depan Kelamboe Terbuka, dapat dimaknai dana penelitian, (2) Program Pascasarjana ISI
sebagai upaya perjuangan pencarian konsep este- Yogyakarta, dan (3) Dr. M. Agus Burhan sebagai
tika yang bersumber dari konteks masyarakat dan pembimbing penelitian ini.
menghasilkan suatu kredo seni sebagai jiwa ketok
serta keinginan yang berkobar berlandaskan jiwa Kepustakaan
nasionalisme. Pencapaian-pencapaian Sudjojono
tersebut membuatnya layak disebut sebagai Bapak Burhan, M. Agus. 2008. Perkembangan Seni
Seni Lukis Indonesia. Lukis Mooi Indië sampai Persagi di Batavia,
1900-1942. Jakarta: Penerbit Galeri Nasional
Simpulan Indonesia dan Departemen Kebudayaan dan
Pariwisata Republik Indonesia.
Melalui kajian ikonografi bisa memperoleh ______________. 2003. “Seni Rupa Modern
pemahaman terhadap artefak karya seni lukis Di Indonesia: Tinjauan Sosiohistoris” dalam
Depan Kelamboe Terboeka (DDKT), baik pada Aspek-Aspek Seni Visual Indonesia: Politik dan
aspek tekstual, kontekstual, maupun pemaknaan Gender. Yogyakarta: Yayasan Seni Cemeti.
yang lebih subtil. Selain itu, juga memberikan Bustam, Mia. 2006. Aku dan Sudjojono. Jakarta:
pemahaman bahwa karya seni mampu mengung- Pustaka Utan Kayu.
kapkan fakta-fakta sosial dan mental suatu zaman Canaday, John. 1962. Mainstreams of Modern Art.
dengan menggunakan konstruksi pengetahuan New York: Simon And Schuster.
yang saling berkait dan mendukung. Dalam ka- Feldman, Edmund Burke. 1967. Art as Image and
jian ini telaah terhadap karya seni lukis Sudjojono Idea. New Jersey: Prentice Hall, Inc.
memperoleh ikatan dengan konteksnya melalui Kartodirdjo, Sartono. 1987. Perkembangan
analisis pada gaya hidup. Peradaban Priyayi. Yogyakarta: Gadjah Mada
Dari analisis formal juga diperoleh simpulan University Press.
bahwa lukisan karya Sudjojono mempunyai gaya Panofsky, Erwin. 1955. Meaning in the Visual Arts.
lukisan formal dan ekspresionisme, tetapi mempu- Chicago: The University of Chicago Press.
nyai kekuatan dan perbedaan dengan karya-karya Siregar, Aminudin Th. 2010. Sang Ahli Gambar:
seniman dari Barat karena mampu menghadirkan Sketsa, Gambar, dan Pemikiran S. Sudjojono.
jiwa jaman masyarakat Hindia Belanda pada masa Tangerang: S. Sudjojono Centre.
itu yang berada dalam kondisi penuh penderitaan Soekiman, Djoko. 2011. Kebudayaan Indis dari

15
Zuliati, Ikonografi Karya Sudjojono

Zaman Kompeni sampai Revolusi. Yogyakarta: Program “Night Club”, Yayasan Seni Cemeti.
Komunitas Bambu.
Toer, Pramoedya Ananta. 2010. Bumi Manusia. Majalah:
Cetakan ke-15. Jakarta: Lentera Dipantara. Sumardjo, Trisno. 1949. “Sudjojono Bapak Seni
Lukis Indonesia Baru” dalam Majalah Mimbar
Tesis: Indonesia, No. 41, 8 Oktober 1949. Jakarta:
Yulimarni. 2011. “Tabut Subarang Tahun 2010 Yayasan Dharma.
dalam Tradisi Muharram Masyarakat
Pariaman di Sumatera Barat” [Tesis] Program www.google.co.id/imgres?q=kursi+lenong+betawi
Pascasarjana ISI Yogyakarta. +kuno di akses pada tanggal 10 Januari 2011.
http://kolomkita.detik.com/baca/artikel/2/2027/
Makalah: sejarah_hindia_belanda_di_belanda diakses
Burhan, M. Agus. 2003. “Kesadaran Sejarah dalam pada tanggal 10 Januari 2012.
Seni Rupa Kontemporer”. Bahan Kuliah http://elyshashalies1.blogspot.com

16

Anda mungkin juga menyukai