Anda di halaman 1dari 10

11.

Agus Djaya (1913-1994)

Pelukis terkenal Indonesia ini lahir dari keluarga Bangsawan Banten pada tanggal 1 April 1913
dengan nama asli Raden Agus Djaja Suminta. Dengan latar belakang tersebut, tak heran ia
mendapatkan pendidikan yang baik. Setelah menamatkan pendidikan di Indonesia, Agus Djaja
melanjutkan belajar di Akademi Rijks (Academy of Fine Art) Amsterdam, Belanda. Selama
berada di Eropa, ia sempat berkenalan dengan beberapa seniman besar dunia, diantaranya Pablo
Picasso, Salvador Dali termasuk Ossip Zadkine, pematung Polandia yang terkenal.
Sekembalinya ke Indonesia Agus Djaja mendirikan Persagi (Persatuan Ahli Gambar Indonesia)
sekaligus memimpinnya pada tahun 1938-1942 yang merupakan organisasi pertama seniman
senirupa di Indonesia. Oleh sebab itu, Agus Djaja dinyatakan sebagai salah seorang cikal bakal
seni lukis Indonesia. Setelah itu, ia direkomendasikan oleh Bung Karno untuk menjadi Ketua
Pusat Kebudayaan Bagian Senirupa pada tahun 1942-1945.

Selain menjadi pelukis, pada jaman revolusi kemerdekaan Agus Djaja aktif sebagai Kolonel Intel
dan F.P (persiapan lapangan). Ia absen untuk tidak mengadakan pameran tunggal hampir selama
40 tahun karena peran dan kondisi bangsa pada saat itu. Setelah jaman revolusi telah usai, April
pada tahun 1976 ia mengadakan pameran tunggal di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Lebih dari
70 lukisan dipajangnya. Agus Djaja mempunyai ciri khas dengan warna biru dan merah yang
terkesan memberi nuansa magis. Ia juga sering menuangkan objek wayang dalam setiap
karyanya. Setelah lama malang melintang di Ibukota, akhirnya Agus Djaja memutuskan untuk
pindah Bali. Di sana ia mendirikan galeri impian di tepi pantai Kuta.
12. S. Sudjojono

Hasil karya s. Sudjojono

S. Soedjojono yang bernama lengkap Sindu Sudjojono lahir pada tanggal 14 Desember 1913 di
Kisaran dan meninggal pada tanggal 25 Maret 1985. Semua berawal dari ketika ia pindah ke
Jakarta, ia mulai tertarik dengan dunia seni rupa dan belajar pada pelukis Jepang bernama Chioji
Yazaki. Sebelumnya ia sempat ditunjuk menjadi Guru di Taman Siswa, dan disuruh membuka
sekolahan baru. Namun sudah kepalang mencintai dunia seni. Inilah awal namanya melejit. Pada
tahun yang sama ia mendirikan Persagi ( Persatuan Ahli Gambar Indonesia).

Lukisan karyanya menggambarkan goresan ekspresif, berstektur, dan sapuan. Karya lukisnya
banyak bertemakan perjuangan Indonesia untuk mengusir penjajah Belanda. Dan setelah
merdeka, karya lukisnya banyak bertemakan tentang alam, aktifitas masyarakat, bunga dan
Budaya.

Hasil karya S. Sudjojono : Cap go meh, Pasukan Kita, Wanita di Atas Bukit dan lain-lain.
13. Popo Iskandar

Hasil Karya Popo Iskandar

Popo Iskandar seorang pelukis dan sekaligus dosen di IKIP Bandung yang sekarang berubah
namanya menjadi UPI. Lahir pada tanggal 18 Desember 1926 dan meninggal tanggal 29 Januari
2000. Berawal dari pengaruh abangnya, Popo menggeluti dunia seni rupa dan diajar oleh Hendra
Gunawan dan Barli Samitawinata. Pada saat itu Popo memiliki bakat dengan alirannya sendiri,
karena kegemarannya yang menulis kucing. Popo akhirnya mendapat julukan pelukis kucing.

Dengan sisi pelukisnya ia bisa melihat ekspresi dari kucing-kucing yang digambarnya namun
ternyata bukan hanya kucing yang dilukisnya melainkan ayam, banteng, bunga, kebun bambu
dan lain-lain, uniknya warna yang digunakan hanya 2-3 warna.
14. Srihadi Soedarsono

Hasil Karya Srihadi Soedarsono

Srihadi Soedarsono lahir pada tanggal 4 Desember 1931 di Surakarta. Adalah salah satu pelukis
yang karyanya di buru banyak kolektor dalam dan luar negeri. Dimulai pada tahun 1945-1948 ia
menjadi wartawan pelukis dan bergabung dengan Seniman Indonesia Muda pada tahun 1847-
1952, dan ia mulai aktif mengikuti pameran-pameran di Solo dan yogyakarta. Pengetahuannya
terhadap dunia seni membuat ia menjadi dosen di Universitas Indonesia yang sekarang menjadi
Institut Teknologi Bandung.

Awal dari karyanya mencangkup geometris sintetik. Hingga pada tahun 1960 ia bereksperimen
terhadap bentuk-bentuk abstrak, sampai menginjak tahun 1970 karyanya cenderung beraliran
impresionis. Dan karya terakhirnya terinspirasi dari ajaran Zen muncul bentuk simplifikasi.

Hasil karya Srihadi Soedarsono : Doa dalam Penantian, Perahu Jukung, The Warior – The
Energy of Love And Peace dan lain-lain.
15. Djoko Pekik

Hasil Karya Djoko Pekik

Djoko Pekik lahir pada tanggal 2 Januari 1937 di Grobogan Jawa Tengah. Bakatnya melukis
sudah terlihat sejak ia masih kecil. Namun sayangnya, ia dari keluarga tidak berada, sehingga
masa kecilnya terlewati dengan membantu kedua orang tuanya dan sama sekali tidak ada cita-
cita menjadi pelukis. Pendidikan formalnya tidak mencapai SD, akhirnya ia bergabung dengan
LEKRA (Lembaga Kebudayaan Rakyat), disinilah Djoko Pekik mulai berkreatifitas dengan
melukis, dan lukisannya masuk 5 besar terbaik saat itu.

Pada saat Djoko berada dalam penahanan sel pasca peristiwa G30/S PKI, seorang peneliti
bernama Astari banyak membaca karya-karya Djoko, hingga akhirnya ia diikut sertakan di
Amerika pada tahun 1989 untuk mengikuti pameran lukisan. Mendadak nama Djoko Pekik
terkenal di Indonesia, para kolektorpun memburu karya-karyanya, karena dianggap sangat
ekspresif. Ia mampu mencurahkan seluruh perasaannya di atas kanvas.

Pada tahun 1999, ia sempat menjual karyanya dengan harga 1 milyar. Wow, keren ya.

Hasil karya Djoko Pekik : Celeng, Go to Hell Crocodile, Yes I am a Whore, Becak Driver is
Being Baby, Bumi Tarung, Pasangan Hidup, Tak seorangpun Pulang dan lain-lain.
16. Jeihan Sukmantoro

Hasil Karya Jeihan Sukmantoro

Pelukis terkenal di Indonesia lainnya adalah Jeihan Sukmantoro lahir pada tanggal 26 September
1938. Dalam caranya melukis memiliki ciri khas dan berkarakter figuratif dengan mata hitam
dan warna datar sederhana. Ternyata ia memadukan aura mistik timur dan mistik barat ke
lukisannya.

Latar belakangnya pernah menduduki bangku kuliah di ITB, hal ini memicu sikapnya yang
disiplin dan konsisten dalam bidang seninya.

Hasil karya Jeihan Sukmantoro : Nuriah, Sandra, Uni, Mimin, Nyai, Didi dan lain-lain.
17. Widayat

hasil karya widayat

Lahir di Kutoarjo Jawa Tengah tahun 1923, ia pindah ke Bandung saat meneruskan sekolah
menengahnya namun tidak tamat. Ia sangat menyukai Flora dan Fauna karena terinspirasi dari
pengalaman saat ia bekerja di bidang kehutanan. Gaya lukisannya batik kontemporer. Pada tahun
1949, ia sempat belajar dengan ASRI ( Akademi Seni Rupa Indonesia) di Jogja.

Beberapa penghargaan pun telah disandangnya dalam bidang seni rupa, sampai akhirnya karya
terbaiknya “Kali Bawang” mendapatkan penghargaan dari pemerintah RI.

Hasil karya Widayat : Abstraksi Dekora, Ayam, Burung-burung di Pulau Dua, Dialog dengan
Burung, Dua Turis Melihat Pertunjukan Kuda Lumping, Ikan-ikan, Taman Firdaus, Gunung
Merapi Meletus dan lain-lain.
18. WAKIDI

Hasil Karya Wakidi

Pelukis lokal generasi Indie Mooi, lahir di Semarang (Jawa Tengah) 1887 dan meninggal di Padang
(Sumatera Barat) 1983. Meski berdarah Jawa (orang tuanya berasal dari Semarang, tapi kemudian bekerja
di Plaju), ia dikenal sebagai pelukis dengan tema-tema tentang panorama dan kehidupan Sumatera Barat.
Tahun 1903, ia dikirim ke Bukit Tinggi untuk belajar ke Sekolah Raja yang merupakan sekolah pelatihan
guru di Sumatera pada saat itu. Di sana bakat artistiknya diketahui oleh seorang guru Belanda, dan ia
diberi kesempatan untuk pergi ke Semarang, tempat ia mempelajari seni lukis dengan pelukis Belanda
Van Dijk. Dari pelukis inilah, tertanam jiwa naturalis pada WAKIDI.
Selama hidupnya ia mengajar banyak murid, walaupun sedikit yang telah mengikuti gaya naturalistisnya.
Selama pernikahannya yang pertama, mempunyai banyak anak dan setelah kematian isteri yang pertama
sekitar 1952, ia menikah kembali dengan seorang wanita yang jauh lebih muda yang dengannya ia
mempunyai dua orang anak. Ia melanjutkan mengajar seni di Bukit Tinggi pada akhir 1950-an serta
melukis pada waktu-waktu senggangnya. Ia hidup tenang, jauh dari arus utama kehidupan seni rupa; ia
mencintai musik dan biasa memainkan biola. Dikenal juga sebagai pendidik, ketika mengajar di INS
Kayu tanam, ia menjadi guru tokoh nasional Mohammad Hatta dan Jendral A.H. Nasution. Penerima
Anugerah Seni RI 1983.
19. Chusin Setiadikara
Chusin Setiadakara, salah satu seniman lukis senior yang dimiliki Indonesia ini sedang
menyelenggarakan Pameran Tunggal pertamanya di Tahun 2011, dengan diberi judul ‘Chusin’s
Realistic Painting, A Thesis’, pameran ini seperti seakan memberikan suatu tema pembahasan
berskala besar yang berhubungan dengan Chusin dan gaya realis lukisan yang menjadi ciri khas
dirinya.
Seperti yang kita ketahui, Chusin Setiadikara terkenal dengan gaya lukisan realisnya dan
pendekatan fotografis, yang artinya setiap model lukisan yang dib uatnya pertama kali dihasilkan
melalui media foto dan baru dituangkan ke atas kanvas dengan menggunakan media Charcoal
serta Cat Minyak, hasilnya adalah suatu ciri khas Chusin dimana dalam beberapa lukisannya
terasa seperti sebuah kolase, ia menggabungkan drawing charcoalnya dengan lukisan cat minyak,
beberapa objek terkadang dijadikan satu seperti membawa

pesan terselubung akan arti yang ingin di sampaikan.


Situs Taman Ismali Marzuki dalam profil Chusin Setiadikara mengatakan “Bagi Chusin, melukis
dengan pendekatan realisme fotografis bukanlah sekedar menyalin kenyataan ke atas kanvas,
akan tetapi gaya realisme fotografis tersebut juga dianggapnya sebagai idiom. Selain itu, Chusin
juga menggunakan pendekatan yang bukan sekedar material.”

Seniman yang lahir pada tahun 1949 di Bandung Jawa barat ini dalam setiap lukisannya sering
sekali menjadikan Pasar Kintamani yang berada di Bali menjadi Subject matter lukisannya,
setelah sebelumnya tinggal menetap di Bandung, pada tahun 1987 ia pindah dan kemudian
menetap tinggal di Bali, hal tersebut dilakukan karena ia merasa gelisah karena proses kreatif
dirinya sebagai seorang pelukis tidak berjalan kemana-m ana, setelah pindah ke Bali, barulah ia
kembali mengevaluasi dirinya sebagai seorang pelukis.
Pameran yang di selenggarakan di Galeri Nasional Indonesia sampai tanggal 25 Maret 2011 ini
menurut saya merupakan pameran yang wajib di datangi oleh penggemar Seni Rupa Indonesia,
selain di dukung kuratorial oleh Jim Supangkat, bisa dibilang Pameran ‘Chusin’s Realistic
Painting, A Thesis’ ini bukan sembarang pameran, karena apa yang di Sajikan oleh Pameran
Tunggal Chusin ini bukan sekedar pameran lukisan yang menampilkan karya seorang seniman
lukis senior Indonesia, tapi juga merupakan sebuah manifesto dari seorang Chusin Setiadakara
akan karir berkaryanya sebagai seorang pelukis realis.
Contoh hasil karya Chusin:
20. Wahdi Sumanta

Hasil Karya Wahdi Sumanta

Pelukis natura lis, lahir di Bandung, Oktober 1917. Sejak di bangku kelas tiga HIS, telah gemar
menggambar. Tamat HIS tahun 1935, mendapat bimbingan dari pelukis Abdullah Suriosubroto,
ayah pelukis Basuki Abdullah selama beberapa bulan karena dorongan Dr. Kadmirah yang
melihat bakat yang dimilikinya. Kemudian ia mengembangkan bakat itu dengan berlatih
bersama-sama dengan pelukis Affandi yang ketika tinggal di Gang Wangsareja, Bandung. Selain
Affandi pelukis lain yang sering melukis bersama pada waktu itu ialah Barli Sasmitawinata,
Sudarso dan Hendra Gunawan. Tahun 1964, ketika Bandung diduduki Belanda, Wahdi
mengungsi ke Sumedang, kembali tahun 1951. Selama dalam pengungsian ia tidak melukis sama
sekali. Setiba di Bandung ia menggabungkan diri dengan Himpunan Pelukis Bandung St. Lucas
Gilde yang dipimpin oleh dokter berkebangsaan Austria. Anggota lainnya yang pribumi ialah
Barli, Kerton Sujana, Rudiyat, dan Suwaryono (Soewarjono). Perkumpulan itu secara tetap
setiap tah un menyelenggarakan pameran, paling tidak dua kali, biasanya di Gedung YPK.
Karena kesulitan hidup sebagai pelukis, Wahdi sempat melamar menjadi guru Sekolah Rakyat
dan diterima, tetapi hanya bertahan selama dua tahun. Ia kemudian membuka toko mebel ‘Sri
Tunggal’ di Cicadas. Perusahaan itu berkembang dengan baik, sehingga ia mampu membeli
sebidang tanah di Kiaracondong yang kemudian dijadikan ‘Sanggar Sangkuriang’.
Tahun 1975 ia bersama Affandi, Barli, dan Sudarso mengadakan pameran bersama di TIM
dengan sponsor DIU. Tahun 1976 ia mengadakan pameran tunggal atas sponsor Ajip Rosidi di
Balai Budaya Jakarta. Tahun 1977 mengadakan pameran tunggal di TIM atas Sponsor DKJ.
Tahun 1975 setelah selesai mengadakan pameran bersama, ia meresmikan ‘Sanggar Sangkurian’.
Tahun 1979, atas usaha Ramadhan K.H., Wahdi sempat melawat ke Eropa, yang dijadikan
kesempatan olehnya untuk melihat-lihat lukisan klasik dalam museum-museum.

Anda mungkin juga menyukai