XI MIPA 2
TUGAS SBK
Perjalanan kariernya sebagai pelukis dilakukan dalam masa yang panjang sejak 1960, dan
karya-karyanya telah dipamerkan dalam ratusan kali pameran berskala nasional maupun
internasional. Pameran tunggalnya telah dilaksanakan lima kali termasuk di antaranya: Pameran
Retrospektif I untuk karya 1960-1985, di TIM pada tahun 1985 dan Retrospektif II untuk karya
1985-2002, di Galeri Nasional, Jakarta pada tahun 2002. Selain itu, beberapa kali ditunjuk
sebagai ketua delegasi, anggota juri, dan kurator pameran seni rupa tingkat internasional,
mewakili Indonesia. Memperoleh banyak penghargaan atas prestasinya sebagai seniman dan
budayawan, di antaranya adalah: Anugerah Seni oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
(1985), dan Satyanlancana Kebudayaan oleh Presiden Republik Indonesia (2002). Karya-
karyannya yang menjadikan Pirous sebagai seniman pembaru seni lukis modern dengan latar
belakang karya Islam. Pada tahun 2000an Pirous mengadakan pameran tunggal yang menyajikan
pameran yang komperhensif dengan keberagaman tema dan gaya lukisnya. Pembeda pameran itu
yaitu Ayat-ayat Semesta yang berfokuf pada gaya karya Pirous.
Sindoedarsono Soedjojono
Sudjojono dijuluki sebagai Bapak Seni Rupa Indonesia Modern. Julukan ini diberikan
kepadanya karena Sudjojono adalah senimaan pertama Indonesia yang memperkenalkan
modernitas seni rupa Indonesia dengan konteks kondisi faktual bangsa Indonesia. Ia biasa
menulis namanya dengan “S. Sudjojono”. Pada tahun 1937, ia ikut pameran bersama pelukis
Eropa di Bataviasche Kunstkring, Jakarta. Inilah awal namanya dikenal sebagai pelukis. Pada
tahun itu juga ia menjadi pionir mendirikan Persatuan Ahli Gambar Indonesia (Persagi).
Lukisannya punya ciri khas kasar, goresan dan sapuan bagai dituang begitu saja ke kanvas.
Pameran Sketsa & Peluncuran Buku S. Sudjojono adalah Pameran tentang Seni Sketsa yang
diberi judul "Hidup Mengalun Dendang". Sudah hampir 25 tahun karya-karya dari S.
Sudjojono (1913-1986). hadir kembali dan kali ini dengan karya sketsa-sketsa yang akan
dilaksanakan di daerah Bentara Budaya Jakarta. Sebelumnya pada 1981 Sudjojono sudah pernah
menyelenggarakan pameran tunggal di Pusat Kebudayaan Jepang, Di Jalan Cemara, Jakarta.
Salah satu karya pameran sketsa S. Sudjojono yang berjudul "Hidup Mengalun Dendang" ini
istimewa karena bersamaan dengan peluncuran autobiografi S. Sudjojono, Cerita tentang saya
dan orang-orang Sekitar Saya, serta biografi Rose Pandawangi, Kisah Mawar Pandawangi. Dari
kedua buku ini, yang disatukan menjadi satu, menyuguhkan banyak inside story dunia
kreatif Sudjojono maupun Rose (Istri Pak Djon) sebagai seniman lukis dan nyanyi serta
bagaimana mereka saling mendukung di kehidupan kreatif masing-masing.
Affandi Koesoema
Hendra Gunawan
Adalah seorang pelukis dan pematung. Sejak masih di SD telah tekun belajar sendiri
mengambar segala macam yang ada disekitarnya. Mula-mula pada seorang pelukis
pemandangan Wahdi Sumanta, Abdullah Suriosubroto (ayah Basuki Abdullah). Kemudian
bertemu dan berkenalan dengan Affandi, Sudarso, dan Barli. Mereka lalu membentuk
kelompok Lima serangkai. Di rumah tempat tinggal Affandi mereka mengadakan latihan
melukis bersama dengan tekun dan mendalam. Dari Wahdi, ia banyak menggali pengetahuan
tentang melukis. Kegiatannya bukan hanya melukis semata, tetapi pada waktu senggang ia
menceburkan diri pada kelompok sandiwara Sunda sebagai pelukis dekor. Dari pengalaman
itulah, ia mengasah kemampuannya. Pada tahun 1938 Hendra Gunawan belajar membuat patung
secara otodidak. Pengalamannya di front perjuangan banyak memberi inspirasi baginya. Dari
sinilah lahir karya-karya lukisan Hendra yang revolusioner. Lukisan Pengantin Revolusi,
disebut-sebut sebagai karya empu dengan ukuran kanvas yang besar, tematik yang menarik dan
warna yang menggugah semangat juang. Tahun 1946, ia pertama kali menyelenggarakan
pameran tunggal dan menampilkan karya lukisan revolusinya di Gedung Komite Nasional
Indonesia Pusat (KNIP) di Jl. Malioboro, Yogyakarta. Pameran ini disponsori dan dibuka oleh
Soekarno, merupakan pameran lukisan pertama kali sejak berdirinya pemerintah RI. Pada tahun
1947, ia bersama Affandi, Sudarso, Kusnadi, Trubus, Sutioso, dan lain-lainnya mendirikan
sanggar Pelukis Rakyat. 1948 sempat belajar selama 3 bulan di Percetakan A.C. Nix Bandung
dan juga membuat ilustrasi buku De Bousren Oorlogkarya Dr. Douwes Dekker yang naskahnya
diselundupkan dari Afrika Selatan. Tahun 1950 membuat patung Jenderal Sudirman di halaman
gedung DPRD Yogyakarta yang merupakan patung batu pertama sesudah Prambanan.
Nashar
R. M. Pirngadie,
Tio Tjay
(lahir pada 1946 Di Jakarta dengan nama Tio Hok Tjay)
Adalah seorang pelukis Indonesia yang lama menetap di Brasil. Pada 1967 ia berimigrasi ke
negara Amerika Selatan itu bersama keluarganya yang pindah ke sana. Ia banyak
menyelenggarakan pameran di São Paulo; pada 1971 hingga 1975 ia menetap di Manaus, dan
pada 1976 ikut serta dalam pameran Bienal Nacional de São Paulo. Lukisannya sangat kuat
dipengaruhi oleh warna latin yang dominan di Brasil. Pada tahun 1980-an Tio Tjay kembali ke
Indonesia dan berkarya di negara kelahirannya.