Anda di halaman 1dari 10

Melany Sudarsono

XI MIPA 2

TUGAS SBK

Menganalisis 10 tokoh seniman

Abdul Djalil Pirous 


Lahir di Meulaboh, Aceh pada tanggal 11 Maret 1932.

Perjalanan kariernya sebagai pelukis dilakukan dalam masa yang panjang sejak 1960, dan
karya-karyanya telah dipamerkan dalam ratusan kali pameran berskala nasional maupun
internasional. Pameran tunggalnya telah dilaksanakan lima kali termasuk di antaranya: Pameran
Retrospektif I untuk karya 1960-1985, di TIM pada tahun 1985 dan Retrospektif II untuk karya
1985-2002, di Galeri Nasional, Jakarta pada tahun 2002. Selain itu, beberapa kali ditunjuk
sebagai ketua delegasi, anggota juri, dan kurator pameran seni rupa tingkat internasional,
mewakili Indonesia. Memperoleh banyak penghargaan atas prestasinya sebagai seniman dan
budayawan, di antaranya adalah: Anugerah Seni oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
(1985), dan Satyanlancana Kebudayaan oleh Presiden Republik Indonesia (2002). Karya-
karyannya yang menjadikan Pirous sebagai seniman pembaru seni lukis modern dengan latar
belakang karya Islam. Pada tahun 2000an Pirous mengadakan pameran tunggal yang menyajikan
pameran yang komperhensif dengan keberagaman tema dan gaya lukisnya. Pembeda pameran itu
yaitu Ayat-ayat Semesta yang berfokuf pada gaya karya Pirous.
Sindoedarsono Soedjojono 

(Kisaran, Sumatera UtaraMei 1913 – 25 Maret, Jakarta, 1985)

Sudjojono dijuluki sebagai Bapak Seni Rupa Indonesia Modern. Julukan ini diberikan
kepadanya karena Sudjojono adalah senimaan pertama Indonesia yang memperkenalkan
modernitas seni rupa Indonesia dengan konteks kondisi faktual bangsa Indonesia. Ia biasa
menulis namanya dengan “S. Sudjojono”. Pada tahun 1937, ia ikut pameran bersama pelukis
Eropa di Bataviasche Kunstkring, Jakarta. Inilah awal namanya dikenal sebagai pelukis. Pada
tahun itu juga ia menjadi pionir mendirikan Persatuan Ahli Gambar Indonesia (Persagi).
Lukisannya punya ciri khas kasar, goresan dan sapuan bagai dituang begitu saja ke kanvas.
Pameran Sketsa & Peluncuran Buku S. Sudjojono adalah Pameran tentang Seni Sketsa yang
diberi judul "Hidup Mengalun Dendang". Sudah hampir 25 tahun karya-karya dari S.
Sudjojono (1913-1986). hadir kembali dan kali ini dengan karya sketsa-sketsa yang akan
dilaksanakan di daerah Bentara Budaya Jakarta. Sebelumnya pada 1981 Sudjojono sudah pernah
menyelenggarakan pameran tunggal di Pusat Kebudayaan Jepang, Di Jalan Cemara, Jakarta.
Salah satu karya pameran sketsa S. Sudjojono yang berjudul "Hidup Mengalun Dendang" ini
istimewa karena bersamaan dengan peluncuran autobiografi S. Sudjojono, Cerita tentang saya
dan orang-orang Sekitar Saya, serta biografi Rose Pandawangi, Kisah Mawar Pandawangi. Dari
kedua buku ini, yang disatukan menjadi satu, menyuguhkan banyak inside story dunia
kreatif Sudjojono maupun Rose (Istri Pak Djon) sebagai seniman lukis dan nyanyi serta
bagaimana mereka saling mendukung di kehidupan kreatif masing-masing.
Affandi Koesoema

(Cirebon, Jawa Barat, 1907 - 23 Mei 1990)

Adalah seorang pelukis yang dikenal sebagai Maestro Seni Lukis Indonesia, mungkin pelukis


Indonesia yang paling terkenal di dunia internasional, berkat gaya ekspresionisnya dan
romantisme yang khas. Sebelum mulai melukis, Affandi pernah menjadi guru dan pernah juga
bekerja sebagai tukang sobek karcis dan pembuat gambar reklame bioskop di salah satu gedung
bioskop di Bandung. Pekerjaan ini tidak lama digeluti karena Affandi lebih tertarik pada bidang
seni lukis. Sekitar tahun 30-an, Affandi bergabung dalam kelompok Lima Bandung, yaitu
kelompok lima pelukis Bandung. Mereka itu adalah Hendra Gunawan, Barli, Sudarso,
dan Wahdi serta Affandi yang dipercaya menjabat sebagai pimpinan kelompok. Kelompok ini
memiliki andil yang cukup besar dalam perkembangan seni rupa di Indonesia. Kelompok ini
berbeda dengan Persatuan Ahli Gambar Indonesia(Persagi) pada tahun 1938, melainkan sebuah
kelompok belajar bersama dan kerja sama saling membantu sesama pelukis. Pada tahun 1943,
Affandi mengadakan pameran tunggal pertamanya di Gedung Poetera Djakarta yang saat itu
sedang berlangsung pendudukan tentara Jepang di Indonesia. Pada tahun 1950-an ia banyak
mengadakan pameran tunggal di India, Inggris, Eropa, dan Amerika Serikat. Pelukis yang
produktif, Affandi telah melukis lebih dari dua ribu lukisan.
Delsy Syamsumar

(Medan, 7 Mei 1935 – Jakarta, 21 Juni 2001)

Adalah seorang pelukis “Neoklasik” Indonesia berasal dari Sungai Puar, Sumatera Barat.


Pelukis ini telah menampakkan bakat melukisnya sejak usia 5 tahun. Di waktu perang revolusi
keluarganya memilih tinggal di Bukittinggi. Pada usia 17 tahun Delsy telah mampu melukis
komik sejarah dan karangannya sendiri yang ia kirim sendiri per pos ke majalah ibukota.
Karyanya seperti Komik “Mawar Putih” tentang “Bajak Laut Aceh” dimuat di majalah “Aneka”
telah membuat ia terkenal diseluruh Indonesia pada usia yang amat muda. Ilustrasinya banyak
mendapat sambutan literature-literatur seni di Australia dan Perancis sebagai pembuat kartun di
beberapa masmedia dan cover cover novel Indonesia serta di perfilman sebagai Art Director
senior. Ia sebagai seorang Art Director Film sempat meraih penghargaan pada Festival Nasional
dan Asia. Disanggarnya selain ia mendidik pelukis pelukis muda berbakat juga membimbing
mereka menjadi tenaga perfilman handal (peraih Piala Film dan Sinetron). Pameran tunggal
Delsy pada tahun 1985 di Balai Budaya dianggap sebagai peristiwa seni nasional karena gaya cat
minyaknya selaras membawakan ilustrasinya yang telah terlebih dahulu dikenal, ekspresif dan
ekstensial dan selalu mudah di ingat orang (pengamat Seni Rupa Agus Darmawan T. dalam
“Suara Pembaharuan”) Khas lukisan Delsy banyak dianggap terletak pada kemahirannya
melukiskan wanita. Namun sebenarnya kemampuan melukiskan ekpresi dan gerak tokoh-
tokohnya yang komunikatif dengan pemandangan karyanya. Namun dalam melukiskan wanita,
pengamat karyanya itu mengambil kesimpulan bahwa anatomi wanita-wanita dalam kanvas
Delsy bagai menemukan “medan yang tepat dan kuat” menangkap daya hidup.

Hendra Gunawan

(Bandung, Hindia Belanda, 11 Juni 1918 – Bali, Indonesia, 17 Juli1983)

Adalah seorang pelukis dan pematung. Sejak masih di SD telah tekun belajar sendiri
mengambar segala macam yang ada disekitarnya. Mula-mula pada seorang pelukis
pemandangan Wahdi Sumanta, Abdullah Suriosubroto (ayah Basuki Abdullah). Kemudian
bertemu dan berkenalan dengan Affandi, Sudarso, dan Barli. Mereka lalu membentuk
kelompok Lima serangkai. Di rumah tempat tinggal Affandi mereka mengadakan latihan
melukis bersama dengan tekun dan mendalam. Dari Wahdi, ia banyak menggali pengetahuan
tentang melukis. Kegiatannya bukan hanya melukis semata, tetapi pada waktu senggang ia
menceburkan diri pada kelompok sandiwara Sunda sebagai pelukis dekor. Dari pengalaman
itulah, ia mengasah kemampuannya. Pada tahun 1938 Hendra Gunawan belajar membuat patung
secara otodidak. Pengalamannya di front perjuangan banyak memberi inspirasi baginya. Dari
sinilah lahir karya-karya lukisan Hendra yang revolusioner. Lukisan Pengantin Revolusi,
disebut-sebut sebagai karya empu dengan ukuran kanvas yang besar, tematik yang menarik dan
warna yang menggugah semangat juang. Tahun 1946, ia pertama kali menyelenggarakan
pameran tunggal dan menampilkan karya lukisan revolusinya di Gedung Komite Nasional
Indonesia Pusat (KNIP) di Jl. Malioboro, Yogyakarta. Pameran ini disponsori dan dibuka oleh
Soekarno, merupakan pameran lukisan pertama kali sejak berdirinya pemerintah RI. Pada tahun
1947, ia bersama Affandi, Sudarso, Kusnadi, Trubus, Sutioso, dan lain-lainnya mendirikan
sanggar Pelukis Rakyat. 1948 sempat belajar selama 3 bulan di Percetakan A.C. Nix Bandung
dan juga membuat ilustrasi buku De Bousren Oorlogkarya Dr. Douwes Dekker yang naskahnya
diselundupkan dari Afrika Selatan. Tahun 1950 membuat patung Jenderal Sudirman di halaman
gedung DPRD Yogyakarta yang merupakan patung batu pertama sesudah Prambanan.

Nashar 

(Pariaman, Sumatra Barat, 3 Oktober1928 – Jakarta, 13 April 1994)

Adalah seorang pelukis ternama Indonesia. Nashar banyak belajar senirupa dari S.


Sudjojono di Yogyakarta, seorang pelukis besar yang kemudian hari dinobatkan sebagai Bapak
Seni Lukis Modern Indonesia. Dia juga menerima pelajaran dari perupa ekspresionis, Affandi,
yang mengajarinya melukis dengan mengambil objek kehidupan sehari-hari, yang terus
dipertahankan sepanjang hidupnya. Ditambah dengan didikan yang keras dari seorang ayah dan
dibesarkan dalam kelaparan dan penderitaan, telah menjadikannya legenda yang nyaris sempurna
untuk seorang pelukis, sehingga dia-pun dianggap sebagai salah satu maestro senirupa Indonesia.
Nashar pernah mengadakan pameran tunggal di Taman Ismail Marzuki (TIM) pada tanggal 22
sampai 28 Februari 1973 dengan menampilkan empat puluh buah karya-karya lukisannya yang
baru dan yang lama.
Hendrik Hermanus Joel Ngantung atau juga dikenal dengan nama Henk Ngantung

(Manado, Sulawesi Utara, 1 Maret 1921 – Jakarta, 12 Desember 1991)

Beliau adalah pelukis Indonesia dan Gubernur DKI Jakarta untuk periode 1964-1965. Kesetiaan


Henk melukis terus berlanjut meski dia digerogoti penyakit jantung dan glaukoma yang
membuat mata kanan buta dan mata kiri hanya berfungsi 30 persen. Pada akhir 1980-an, dia
melukis dengan wajah nyaris melekat di kanvas dan harus dibantu kaca pembesar. Sebulan
sebelum wafat, saat ia dalam keadaan sakit-sakitan, pengusaha Ciputramemberanikan diri
mensponsori pameran pertama dan terakhir Henk.

Raden Saleh Sjarif Boestaman 

(1807 atau 1811- 23 April 1880)

Adalah pelukis Indonesia beretnis Arab-Jawa yang mempionirkan seni modern Indonesia


(saat itu Hindia Belanda). Lukisannya merupakan perpaduan Romantisisme yang sedang populer
di Eropa saat itu dengan elemen-elemen yang menunjukkan latar belakang Jawa sang pelukis.
Kebetulan di instansi itu ada pelukis keturunan Belgia, A.A.J. Payen yang didatangkan
dari Belanda untuk membuat lukisan pemandangan di Pulau Jawa untuk hiasan kantor
Departemen van Kolonieen di Belanda. Payen tertarik pada bakat Raden Saleh dan berinisiatif
memberikan bimbingan. Payen memang tidak menonjol di kalangan ahli seni lukis di Belanda,
tetapi mantan mahaguru Akademi Senirupa di Doornik, Belanda, ini cukup membantu Raden
Saleh mendalami seni lukis Barat dan belajar teknik pembuatannya, misalnya melukis dengan cat
minyak. Terkesan dengan bakat luar biasa anak didiknya, Payen mengusulkan agar Raden Saleh
bisa belajar ke Belanda. Dua tahun pertama di Eropa ia pakai untuk memperdalam bahasa
Belanda dan belajar teknik mencetak menggunakan batu. Sedangkan soal melukis, selama lima
tahun pertama, ia belajar melukis potret dari Cornelis Kruseman dan tema pemandangan
dari Andries Schelfhout karena karya mereka memenuhi selera dan mutu rasa seni
orang Belanda saat itu. Krusseman adalah pelukis istana yang kerap menerima pesanan
pemerintah Belandadan keluarga kerajaan. Raden Saleh makin mantap memilih seni lukis
sebagai jalur hidup. Ia mulai dikenal, malah berkesempatan berpameran di Den Haag
dan Amsterdam. Melihat lukisan Raden Saleh, masyarakat Belanda terperangah. Mereka tidak
menyangka seorang pelukis muda dari Hindia dapat menguasai teknik dan menangkap watak
seni lukis Barat.

R. M. Pirngadie,

(Banyumas, 1875 - meninggal tahun 1936 pada umur 61 tahun)


Adalah pelukis naturalis dari aliran Mooi Indie dari Hindia Belanda. Pada usia 11 tahun ia
mulai berkerja di Kantor Register, membuat gambar peta dan disanalah ia pertama kali
memegang kuas dan cat. Tahun 1889, ketika berusia 14 tahun, ia mulai belajar melukis pada
seorang pelukis bangsa Jerman. Pada tahun 1928, ia bekerja pada Bataviaasch Genootschap van
Kunsten en Wetenschappen (kini menjadi Museum Nasional), Jakarta. Dalam perjalanannya
kesenirupaannya, ia kemudian dikenal sebagai salah satu pelukis yang menganut aliran
naturalisme. Karena karya lukis yang ia buat melukiskan sesuatu yang nyata dan alami seperti
tampak pada aslinya. Selain itu, ia juga termasuk dalam golongan kelompok mazhab Hindia
Molek atau Mooi Indie, bersama sejumlah pelukis lainnya seperti R. Abdullah Suriosubroto
(1878-1914), dan Wakidi (1889-1979). Ketiganya di anggap sebagai pelanjut pelukis Raden
Saleh yang dikenal sebagai perintis aliran seni lukis modern di tanah air. Dalam melukis,
R.M.Pirngadi kerap menggunakan objek alam yang berkesan tentram, tenang, dan damai,
sebagai gambar lukisannya. Pelukis yang sudah sering mengadakan pameran tunggal di kota-
kota besar di Jawa ini pernah beberapa kali mendapat penghargaan yakni, tahun 1905, ia
menerima piagam penghargaan lukisan terbaik pada pameran di Annual Fair, Surabaya. Tahun
1907, ia menerima penghargaan II pada pameran lukisan cat air, Surabaya. Tahun 1912, ia
menerima dua medali pada pameran lukisan, Surabaya. Tahun 1913, ia mendapat hadiah untuk
lukisan pemandangan Indonesia terbaik pada The Gent Expositio. Tahun 1914, is mendapat
hadiah pertama untuk lukisan cat air terbaik pada Pameran Kolonial, Semarang. Tahun 1919, ia
mendapat hadiah pertama dan kedua pada perlombaan membuat kulit buku terindah.

Tio Tjay 
(lahir pada 1946 Di Jakarta dengan nama Tio Hok Tjay)
Adalah seorang pelukis Indonesia yang lama menetap di Brasil. Pada 1967 ia berimigrasi ke
negara Amerika Selatan itu bersama keluarganya yang pindah ke sana. Ia banyak
menyelenggarakan pameran di São Paulo; pada 1971 hingga 1975 ia menetap di Manaus, dan
pada 1976 ikut serta dalam pameran Bienal Nacional de São Paulo. Lukisannya sangat kuat
dipengaruhi oleh warna latin yang dominan di Brasil. Pada tahun 1980-an Tio Tjay kembali ke
Indonesia dan berkarya di negara kelahirannya.

Anda mungkin juga menyukai