Anda di halaman 1dari 3

Lahir Raden Hendra Gunawan

(lahir di Bandung, Hindia

Belanda, 11

Juni 1918 – meninggal

di Bali, Indonesia, 17

Juli 1983 pada umur 65 tahun)


 Jakarta

Pekerjaan Seniman, Aktivis

Dikenal Pelukis, Pematung

atas

Suami/istri Karmini

Anak Tresna, Rosa, Jingga

 Raden Prawiranegara
Orang tua
 Raden Odah Tejaningsih
Hendra Gunawan (pelukis)
Hendra Gunawan (lahir di Bandung, Hindia Belanda, 11 Juni 1918 – meninggal
di Bali, Indonesia, 17 Juli 1983 pada umur 65 tahun) adalah seorang pelukis dan
pematung yang terlahir dari pasangan bernama Raden Prawiranegara dan ibunya
bernama Raden Odah Tejaningsih. Sejak masih di SD telah tekun belajar sendiri
mengambar segala macam yang ada di sekitarnya seperti buah-buahan, bunga,
wayang (golek dan kulit) serta bintang film. Bahkan ketika duduk di kelas 7 HIS, ia
sanggup melukis pemandangan alam. Ia mulai serius belajar melukis setamat SMP
Pasundan.
Mula-mula pada pelukis seorang pelukis pemandangan Wahdi Sumanta, Abdullah
Suriosubroto (ayah Basuki Abdullah). Kemudian bertemu dan berkenalan
dengan Affandi, Sudarso, dan Barli. Mereka lalu membentuk kelompok Lima serangkai.
Di rumah tempat tinggal Affandi mereka mengadakan latihan melukis bersama dengan
tekun dan mendalam. Dari Wahdi, ia banyak menggali pengetahuan tentang melukis.
Kegiatannya bukan hanya melukis semata, tetapi pada waktu senggang ia
menceburkan diri pada kelompok sandiwara Sunda sebagai pelukis dekor. Dari
pengalaman itulah, ia mengasah kemampuannya.
Pertemuannya dengan Affandi merupakan fase dan sumber inspirasi jalan hidupnya
untuk menjadi seorang pelukis. Dengan didasari niat yang tulus dan besar, ia
memberanikan diri melangkah maju. Bermodalkan pensil, kertas, kanvas dan cat ia
mulai berkarya. Komunitas dari pergaulannya ikut mendukung dan terus mendorongnya
untuk berkembang. Keberaniannya terlihat ketika ia membentuk Sanggar Pusaka
Sunda pada tahun 1940-an bersama pelukis Bandung dan pernah beberapa kali
mengadakan pameran bersama.
Pada tahun 1938 Hendra Gunawan belajar membuat patung secara otodidak. Selama
zaman Jepang, aktif membimbing para pemuda yang berminat kepada seni lukis dan
seni patung, di samping aktif mengorganisir kegiatan seni di dalam Pusat Tenaga
Rakyat (PUTERA) di bawah pimpinan Tiga Serangkai: Soekarno, Moh. Hatta dan K.H.
Mas Mansyur. Melalui kegiatan ini Hendra Gunawan dan kawan-kawannya banyak
melukis di berbagai pelosok termasuk di tempat-tempat terlarang seperti Pasar Ikan,
Tanjung Priok dan Pelabuhan Cirebon.
Revolusi pun pecah, Hendra ikut berjuang. Baginya antara melukis dan berjuang sama
pentingnya. Pengalamannya di front perjuangan banyak memberi inspirasi baginya.
Dari sinilah lahir karya-karya lukisan Hendra yang revolusioner. Lukisan Pengantin
Revolusi, disebut-sebut sebagai karya empu dengan ukuran kanvas yang besar,
tematik yang menarik dan warna yang menggugah semangat juang. Nuansa
kerakyatan menjadi fokus dalam pemaparan lukisannya.
Setelah proklamasi kemerdekaan Hendra Gunawan membuat poster-poster perjuangan
dan konsep-konsepnya dikirim oleh Angkatan Pemuda Indonesia dari kantor pusat Jl.
Menteng Raya 31 Jakarta (kini Gedung Juang]]). Pada tahun 1945 itu juga dia
mendirikan Pelukis Front bersama Barli, Abedy, Sudjana Kerton Kustiwa Suparto dan
Turkandi mereka aktif melukis pertempuran langsung di front terdepan di samping
membuat produksi perjuangan untuk seluruh Jawa Barat.
Tahun 1946, ia pertama kali menyelenggarakan pameran tunggal dan menampilkan
karya lukisan revolusinya di Gedung Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) di Jl.
Malioboro, Yogyakarta. Pameran ini disponsori dan dibuka oleh Soekarno, merupakan
pameran lukisan pertama kali sejak berdirinya pemerintah RI.
Pada tahun 1947, ia bersama Affandi, Sudarso, Kusnadi, Trubus, Sutioso, dan lain-
lainnya mendirikan sanggar Pelukis Rakyat. Dari sanggar ini banyak melahirkan pelukis
yang cukup diperhitungkan seperti Fajar Sidik dan G. Sidharta. Selain melukis,
mematung juga merupakan bagian dari kesehariannya. 1948 sempat belajar selama 3
bulan di Percetakan A.C. Nix Bandung dan juga membuat ilustrasi buku De Bousren
Oorlogkarya Dr. Douwes Dekker yang naskahnya diselundupkan dari Afrika Selatan.
Tahun 1950 membuat patung Jenderal Sudirman di halaman gedung DPRD
Yogyakarta yang merupakan patung batu pertama sesudah Prambanan. Dalam tahun
sama bersama Affandi, S. Sudjojono, Jayeng Asmoro, Indro Sugondo, Surono, Abdul
Katamsi Kusnadi Sindu Suarno, Setioso, Sri Murton dan lain-lain mendirikan Akademi
Seni Rupa Indonesia (ASRI) di Yogyakarta. Tahun 1951, 1953 membuat Patung Tugu
Muda di Semarang dan Patung Erlangga di Surabaya. Pameran tunggal ke-2
dilakukannya di Hotel Des Indes Jakarta 1957 di antaranya memamerkan lukisan-
lukisan revolusi dalam ukuran besar-besar: seperti Penganten Pasar Cibodas,
Pertempuran di Klenteng, Jenderal Sudirman dan lain-lain.
Hendra Gunawan mengaku dipengaruhi S. Sudjojono dalam kegigihan perjuangan seni,
dan Affandi dalam kesungguhan dan sistematika kerja keras sehari-hari. Ia sendiri
disibukkan oleh kegiatan melukis pasar-pasar dan lukisan dinding sangkok di Klenteng
Bandung terutama dalam gerak dan pelukisan suasana, diakuinya pengaruh dari relief
Candi Borobudur, Prambanan, ukiran klasik, batik, wayang kulit, wayang golek serta
motif hiasan seni kriya berbagai daerah di Indonesia. Ia dikenal suka melukis dengan
ukuran besar, ia pernah melukis "Pangeran Cornel" dan "Arjuna menyusui anaknya",
keduanya berukuran 400 x 200 cm.
Keberpihakannya pada rakyat membuatnya harus mendekam di penjara selama 13
tahun antara tahun 1965-1978, karena ia tercatat sebagai salah seorang
tokoh Lembaga Kebudayaan Rakyat. Ketika dipenjara, ia masih terus melukis dengan
warna-warna yang natural dengan menggunakan kanvas berukuran besar. Semua itu
diperolehnya dari begitu seringnya ia belajar dari ikan, baik warnanya maupun karakter
ikan yang tidak mengenal diam.
Pelukis yang dekat dengan penyair Chairil Anwar memilih Bali sebagai pelabuhan hati
yang teduh, tenang dan ayem. Selain bergaul dengan para pelukis, ia juga bergaul
dengan penyair sekaliber Umbu Landu Paranggi, penyair kelahiran Sumba yang
menetap di Bali. Umbu sangat menghargai Hendra karena selain catatannya kerjanya
didunia seni lukis sebagai maestro ternyata Hendra pun menulis puisi.

Anda mungkin juga menyukai