Anda di halaman 1dari 7

Sejarah Perkembangan Seni Rupa/Lukis Modern Di Indonesia

Seni lukis modern Indonesia dimulai dengan masuknya penjajahan Belanda di


Indonesia. Pada zaman seni rupa Indonesia baru ini, terjadi beberapa perkembangan
seperti berikut :

1. Masa Raden Saleh (Perintisan)


Perkembangan seni rupa modern Indonesia dimulai dari kemunculan pelukis
Raden Saleh. Corak lukisan beliau adalah romantis dan naturalis. Tidak salah jika para
ahli memandang Raden Saleh Syarif Bustaman (1807–1880) sebagai perintis seni
lukis modern Indonesia karena Raden Saleh merupakan orang Indonesia pertama
yang mendapat bimbingan melukis secara khusus dari pelukis-pelukis bergaya
naturalis dan realis keturunan Belgia yang pernah tinggal di Indonesia yakni A.A.J.
Payen. Lukisannya yang terkenal antara lain : Merapi, Binatang Buas, Hutan Terbakar.
gambar 2 Hutan Terbakar
gambar 1 Merapi
2. Masa Indonesia Jelita (Mooi Indie)
Seni rupa Indonesia sejak meninggalnya Raden Saleh sempat mengalami masa
kekosongan. Pada awal abad ke-20, munculnya Abdullah Suryosubroto yang juga
keturunan bangsawan Solo. Kehadiran beliau bukan untuk melanjutkan gaya melukis
Raden Saleh. Pada awalnya, Abdullah ke Eropa bermaksud mempelajari ilmu
kedokteran. Namun, niat itu berubah karena ketertarikannya terhadap dunia seni
lukis yang kemudian mengantarkannya menjadi mahasiswa pada salah satu akademi
kesenian di Eropa.
Sepulang dari Eropa, Abdullah S.R. (1878–1941) bermukim di Bandung dan
kemudian mengembangkan gaya melukis sendiri, yang kemudian dikenal dengan
sebutan Indonesia Jelita (Mooi Indie). Periode ini memiliki ciri khas yaitu
pengambilan objek alam yang indah, tidak mencerminkan nilai jiwa yang merdeka,
teknik melukis tidak dibarengi dengan nilai spiritual yang menonjol dan banyak
menonjolkan erotisme saat melukis objek manusia.. Lukisan-lukisan itu hanya
membawa satu makna, yaitu ‘Indies yang molek’ bagi orang asing dan para
wisatawan. Pelukis yang terkenal lain yang terkenal pada periode ini antara lain Mas
Pirngadi, Wakidi, Basuki Abdullah serta beberapa pelukis asal Eropa yang datang ke
Indonesia.

gambar 3 Lukisan pemandangan Priangan oleh Abdullah Suriosubroto (tahun 1935)


3. Masa Cita Nasional (Periode Persagi)
Gaya melukis Mooi Indie tidak terlepas dari kaca mata orang Barat yang
memandang bahwa alam Indonesia adalah surga. Padahal pada kenyataannya
kehidupan rakyat Indonesia itu penuh dengan kemelut, kemelaratan, tekanan, dan
berbagai penderitaan hidup lainnya. Kondisi inilah yang memunculkan kelompok
pelukis yang memiliki empati tinggi terhadap kemelaratan rakyat jelata sebagai
penolakan dari gerakan sebelumnya. Hal ini dapat dimaklumi, mengingat kebanyakan
pelukis yang bergabung dengan kelompok ini berasal dari kalangan rakyat sehingga
mereka merasakan penderitaan dan kepahitan hidup rakyat terjajah.
S. Sudjojono (1913–1986) sebagai penggerak kelompok ini sama sekali tidak
pernah belajar seni rupa ke Eropa. Pelukis-pelukis yang tergabung ke dalam
kelompok ini antara lain Agus Djaya Suminta, L. Sutioso, Rameli, Abdul Salam, Otto
Jaya, S. Sudiarjo, Emiria Sunassa, Saptarita Latif, Herbert Hutagalung, S. Tutur, Hendro
Jasmara, dan Sutioso.
Untuk memperkokoh gerakan dan menyamakan persepsi, kelompok ini kemudian
membentuk Perkumpulan Ahli Gambar Indonesia (PERSAGI) pada 1938 di Jakarta.
Karena tujuan utamanya adalah menggalang solidaritas nasional antarseniman lokal
dalam mengembangkan seni lukis yang bercorak Indonesia asli, mereka senantiasa
membuat sketsa-sketsa tentang corak kehidupan masyarakat saat itu di berbagai
tempat.

gambar 4 Di Depan Kelambu Terbuka gambar 5 Sayang Saya Bukan Anjing


Di masa ini, S. Sudjojono berhasil menciptakan karya monumental, seperti Di
Depan Kelambu Terbuka, Cap Gomeh, Jongkatan, Mainan Anak-Anak Sunter, Sayang
Saya Bukan Anjing, serta Nyekar dan Bunga Kamboja. Agus Djaya Suminta
menghasilkan karya Bharata Yudha, Arjuna Wiwaha, Dalam Taman Nirwana dan
Suara Suling di Malam Hari, Tari Tayuban. Sementara itu, Otto Jaya melahirkan karya
Penggodaan dan Wanita Impian. Ciri khas periode ini antara lain: Mengedepankan
nilai psikologis, Mengangkat tema perjuangan, Tidak terikat objek alam,
Mengedepankan kepribadian Indonesia, Dilandasi semangat keberanian

gambar 6 Penggodaan dan Wanita Impian gambar 7 Tari Tayuban


4. Masa Pendudukan Jepang
Pada zaman pendudukan Jepang, tepatnya pada 1942, PERSAGI dipaksa bubar.
Seniman yang lahir dari kalangan grass root (akar rumput), yakni masyarakat bawah,
jumlahnya semakin banyak. Pada 1945, Jepang mendirikan sebuah lembaga dengan
nama Jepang Keimin Bunka Shidoso (Pusat Kebudayaan) yang pengajarnya
merupakan mantan anggota PERSAGI seperti Agus Djaya Suminta dan S. Sudjojono.
Pada masa ini, sekalipun kehidupan perekonomian masyarakat Indonesia serba
kekurangan, namun kehidupan berkesenian tampak berkobar-kobar. Para pelukis
pun mendapat angin segar dari tentara pendudukan Jepang. Angin segar ini
dimanfaatkan oleh para pelukis Indonesia untuk melakukan pameran. Tujuannya di
samping memamerkan karya-karya pelukis lokal, juga sebagai ajang penyebaran rasa
kebangsaan kepada masyarakat luas. Pelukis yang turut serta memamerkan karya
lukisnya ialah Basuki Abdullah, Affandi, Kartono Yudhokusumo, Nyoman Ngedon,
Hendra Gunawan, Henk Ngantung, dan Otto Jaya.
Sebagai wadah tempat penampungan aspirasi rakyat, dibentuklah lembaga yang
berupaya mempersiapkan segala sesuatu hal yang mungkin terjadi. Lembaga itu
didirikan oleh Ir. Soekarno, K.H. Manshur, dan Ki Hajar Dewantara dengan nama
Poesat Tenaga Rakjat atau POETRA. Salah satu bidang yang dikelola lembaga ini
adalah seni lukis. Dengan demikian, seni lukis pun memiliki peran aktif dalam
menyebarkan jiwa nasionalisme. Secara tidak langsung dapat dikatakan bahwa seni
lukis memiliki andil besar dalam mencapai kemerdekaan bangsa Indonesia. Para
pelukis yang pernah aktif dalam lembaga POETRA adalah para pelukis dari berbagai
aliran seperti S. Sudjojono, Affandi, Hendra Gunawan, Sudarso, Barli Sasmita dan
Wahdi.

5. Masa Seni Lukis Sesudah Kemerdekaan


Keadaan negara setelah proklamasi kemerdekaan 1945 tidak menghentikan
aktivitas kesenian. Saat itu seni lukis dijadikan media untuk berjuang. Perkembangan
seni lukis di Indonesia menunjukkan kemajuan yang pesat karena seni lukis telah
menyatu dengan semangat perjuangan kemerdekaan bangsa. Jiwa kepahlawanan ini
dibuktikan dalam bentuk poster-poster perjuangan dan lukisan sketsa di tengah-
tengah pertempuran. Salah seorang pelukis yang pernah melakukan hal itu ialah
Djajengasmoro bersama kelompok Pelukis Front-nya.
Pindahnya pusat pemerintahan ke Yogyakarta pada 1946 diikuti dengan hijrahnya
para pelukis. Kota Yogyakarta pun menjadi pusat para pelukis. Pada 1946 di
Yogyakarta, Affandi, Rusli, Hendra Gunawan, dan Harijadi membentuk perkumpulan
Seni Rupa Masyarakat. Setahun kemudian, yaitu pada 1947 mereka bergabung
dengan perkumpulan Seniman Indonesia Muda (SIM) yang dibentuk pada 1946 di
Madiun dengan pelopor Sudjojono.

6. Masa Seni Lukis zaman Pendidikan Formal


Pada 1949, R. J. Katamsi dengan beberapa seniman anggota SIM, Pelukis Rakjat,
POETRA, dan Budayan Taman Siswa merintis akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI)
yang kini berubah menjadi ISI. Tujuan didirikannya akademi ini adalah untuk
mencetak calon-calon seniman. Para tokoh ASRI antara lain S. Soedjojono, Hendra
Gunawan, Djajengasmoro, Kusnadi, dan Sindusiswono.
Sementara itu, di Bandung pada 1950-an berdiri pula Balai Perguruan Tinggi Guru
Gambar yang dipelopori oleh Syafe’i Soemardja. Ia dibantu oleh Mochtar Apin, Ahmad
Sadali, Sudjoko, dan Edi Karta Subarna. Sejak 1959, lembaga ini berubah nama
menjadi jurusan Seni Rupa pada Institut Teknologi Bandung (ITB).
Pada 1964, berdiri pula jurusan Pendidikan Seni Rupa IKIP Bandung (saat ini
bernama Universitas Pendidikan Indonesia) yang dipelopori oleh Barli, Karmas, Popo
Iskandar, Radiosuto, dan Wiyoso Yudoseputo. Sebagian alumni Jurusan Seni Rupa IKIP
Bandung yang menekuni seni lukis adalah seniman Oho Garha, Nana Banna, Hidayat,
Dadang MA, dan Hardiman. Beberapa tahun kemudian dibuka jurusan seni rupa di
IKIP lainnya di seluruh Indonesia.

7. Masa Seni Lukis Baru Di Indonesia


Sejalan dengan perkembangan teknologi dan masyarakat yang mulai maju, sekitar
1974 lahirlah kelompok seniman muda di berbagai daerah. Para seniman muda yang
tergabung dalam gerakan ini antara lain Jim Supangkat, S. Prinka, Satyagraha, F. X.
Harsono, Dede Eri Supria, dan Munni Ardi. Mereka menampilkan corak baru dalam
penggarapan karyanya. Pameran perdana karya mereka yang diadakan di Taman
Ismail Marzuki (TIM) Jakarta banyak mengundang perhatian masyarakat. Karya-karya
para seniman muda yang kebanyakan masih kuliah itu didasari oleh alasan-alasan
sebagai berikut.
Membongkar peristilahan seniman sebagai atribut yang hanya dilekatkan pada
kalangan akademis saja, sementara masyarakat kecil yang bergiat dalam kesenian
tidak mendapat tempat yang semestinya.Berusaha menciptakan sesuatu yang baru
dengan berbagai media, konsep berkarya, dan lain-lain. Penciptaan karya seni
tersebut tidak terkecuali seni yang diterapkan pada hal yang dipandang sakral.

Anda mungkin juga menyukai