Anda di halaman 1dari 3

Nama : Said Muhammad Rohid Habibi

Kelas : XC OTKP
No. Absen : 29

A. Seni Budaya di Era Kemerdekaan

Pertumbuhan seni rupa berjalan terus hingga tahun 1950 pada masa setelah
kemerdekaan indonesia dengan munculnya lembaga pendidikan kesenian formal
seperti Akademi Seni Rupa (ASRI) Yogyakarta dan Balai Perguruan Tinggi Guru
Gambar bagian Seni Rupa ITB. Sekitar tahun 1975, muncul karya-karya seni rupa
baru yang tidak lagi dapat disebut sebagai seni lukis dalam arti umum dan
merupakan sikap pemberontakan terhadap kemapanan seni dan seniman yang ada.
Hal tersebut disambut dengan tanggapan kurang positif, bahkan cemoohan oleh para
seniman, masyarakat dan pemerhati seni.

Karya-karya seni rupa baru cenderung bersifat eksperimental atau


memberi pengalaman baru dari apa yang telah ada dengan maksud memenuhi
tuntutan zaman dan situasi yang berkembang. Seniman dalam grup ini adalah
Harsono, Nanik Mirna, Siti Adiyati Subangun, Ris Purwono, S. Prinka, Bonyong
Munni Ardhi, dan Jim Supangkat.

Periode Persagi, pada masa ini di Indonesia sedang terjadi pergolakan. Bangsa
Indonesia berjuang untuk mendapatkan hak yang sejajar dengan bangsa-bangsa lain,
terutama hak untuk merdeka dari penjajahan asing. Pergolakan di segala bidang pun
terjadi, seperti dalam bidang kesenian yang berusaha mencari ciri khas Indonesia.
Pelopor masa ini yang dikenal memilki semangat tinggi adalah S. Sdjojono, ia tidak
puas dengan kehidupan seni rupa Jelita yang serba indah, karena dianggap bertolak
belakang dengan kejadian yang melanda bangsa Indonesia.

Sebagai langkah perjuangannya maka S. Sudjojono dan Agus Jayasuminta


bersama kawan-kawannya mendirikan PERSAGI (Persatuan Ahli-ahli Gambar
Indonesia). Persagi bertujuan untuk mengembangkan seni lukis di Indonesia dengan
mencari corak Indonesia asli. Konsep persagi itu sendiri adalah semangat dan
keberanian, bukan sekedar kecakapan melukis melainkan melukis dengan tumpahan
jiwa. Karya-karya S. Sudjojono (Di depan kelambu terbuka, Cap Go Meh, Jongkatan,
Bunga kamboja), karya Agus Jayasuminta (Barata Yudha, Arjuna wiwaha, Dalam
Taman Nirwana), karya Otto Jaya (Penggodaan, Wanita impian).

Periode Pendudukan Jepang, kegiatan melukis pada masa ini dilakukan dalam
kelompok Keimin Bunka Shidoso. Tujuannya adalah untuk propaganda pembentukan
kekaisaran Asia Timur Raya. Kelompok ini didirikan oleh tentara Dai Nippon dan
diawasi oleh seniman Indonesia, Agus Jayasuminta, Otto Jaya, Subanto, Trubus,
Henk Ngantung, dll. Untuk kelompok asli Indonesia berdiri kelompok PUTRA (Pusat
Tenaga Rakyat), tokoh-tokoh yang mendirikan kelompok ini adalah tokoh empat
serangkai yaitu Ir. Sukarno, Moh. Hatta, KH. Dewantara dan KH. Mas Mansyur.
Khusus yang menangani bidang seni lukis adalah S. Sudjojono dan Affandi. Pelukis
yang ikut bergabung dalam Putra diantaranya Hendra Gunawan, Sudarso, Barli,
Wahdi, dll. Pada masa ini para seniman memiliki kesempatan untuk berpameran,
seperti pameran karya dari Basuki Abdullah, Affandi, Nyoman Ngedon, Hendra
Gunawan, Henk Ngantung, Otto Jaya, dll.

Periode Akademi (1950), Pengembangan seni rupa melalui pendidikan formal.


Lembaga Pendidikan yang bernama ASRI yang berdiri tahun 1948 kemudiaan secara
formal tahun 1950 Lembaga tersebut mulai membuat rumusan-rumusan untuk
mencetak seniman-seniman dan calon guru gambar. Pada tahun 1959 di Bandung
dibuka jurusan Seni Rupa ITB, kemudian dibuka jurusan seni rupa disemua IKIP
diseluruh Indonesia.

Setelah Jepang keluar dari bumi Indonesia, dunia seni lukis mendapatkan angin
segar. Masa kemerdekaan benar-benar mendapatkan kebebasan yang sesungguhnya.

B. Seni Budaya di Era Digital

Diera digital seperti saat ini banyak perubahan yang terjadi hampir disemua aspek
kehidupan. Salah satunya penggunakan media digital untuk membuat sebuah karya
seni.

Seiring cepatnya perkembangan teknologi saat ini orang-orang membuat cara agar
suatu pekerjaan bisa dilakukan dengan cepat dan efisien. Dampak dari teknologi
digital ini telah mengubah kegiatan seperti lukisan yang awalnya butuh proses lama
untuk menggambar objek menjadi lebih mudah dengan menggunakan kamera.
Karya seniman yang memproduksi lukisan digital dan digital printmakers mulai
menemukan penerimaan, sebagaimana meningkatnya kemampuan dan kualitas.
Secara internasional, banyak museum kini mulai mengumpulkan seni digital seperti
Museum Seni San Jose dan departemen cetak Museum Victoria dan Albert juga
memiliki koleksi yang masuk akal namun masih dalam skala kecil.

Salah satu alasan mengapa masyarakat seni yang mapan menemukan kesulitan
untuk menerima seni digital adalah persepsi yang keliru dari digital print yang tanpa
henti direproduksi. Banyak seniman tersebut sebenarnya menghapus file gambar yang
relevan setelah cetak pertama, sehingga membuatnya menjadi karya seni yang
unik.Ketersediaan dan popularitas perangkat lunak manipulasi foto telah melahirkan
sebuah perpustakaan modifikasi gambar, sedikit petunjuk atau tidak sama sekali
mengandung informasi gambar aslinya.

Menggunakan versi elektronik dari kuas, filter dan pembesar, ini adalah
"neographer" yang menghasilkan gambar yang tak terjangkau melalui alat fotografi
konvensional. Selain itu, seniman digital mungkin memanipulasi scan gambar,
lukisan, kolase atau litograf, serta menggunakan salah satu teknik yang disebutkan di
atas dalam kombinasi.

Seniman juga menggunakan sumber lain dari informasi elektronik dan program
untuk menciptakan pekerjaan mereka. Oleh karena itu Diera digital ini kita harus
memanfaatkan dengan baik dan bijak ada gar kita bisa merasakan manfaatnya.

Anda mungkin juga menyukai