Anda di halaman 1dari 8

Sejarah dan Perkembangan Persagi (Persatuan Ahli Gambar Indonesia)

Dalam kesempatan kali ini,kami akan membahas tentang lahirnya salah satu organisasi seni rupa
Indonesia yaitu Periode PERSAGI atau singkatan dari nama organisasi Persatuan Ahli-Ahli Gambar
Indonesia yang lahir 23 Oktober 1938 di salah satu gedung sekolah dasar di daerah Jakarta di Gang Kaji.
Organisasi ini petama kali diketuai oleh Agus Djaya Suminta dan sekretarisnya S. Sudjojono, dengan
anggota antara lain: Ramli, Abdulsalam, Otto Djaya, S. Tutur, Emira Soenassa, L. Setijoso, S. Sudiardjo,
Saptarita Latif, H. Hutagalung, Sindusisworo, TB. Ateng Rusyian, Syuaib Sastradiwilja, Sukirno dan
Suromo. Berdirinya Perkumpulan pertama di Jakarta ini, berupaya mengimbangi lembaga kesenian asing
Kunstring yang mampu menghimpun lukisan – lukisan modern. PERSAGI berupaya dan menggali nilai –
nilai yang yang mencerminkan kepribadian Indonesia yang sebenarnya.

PERSAGI mempunyai tujuan agar para seniman lukis Indonesia dapat menciptakan karya seni yang
kreatif dan berkepribadan Indonesia. yuk cari tau Tujuan berlandaskan pada misi untuk mencari sintesis
dari lukisan tradisional dan modern, serta mengembangkan gaya mereka sendiri yang bercirikan ke-
Indonesiaan.

Ciri – ciri lukisan pada periode PERSAGI :

· Mementingkan nilai psikologis

· Bertema perjuangan rakyat

· Tidak terikat pada obyek alam yang nyata

· Memiliki kepribadian Indonesia

· Didasari oleh semangat dan keberanian

Sejarah dan Perkembangan Persagi

(persatuan ahli gambar indonesia)

Sejarah perjalanan seni rupa di Indonesia mempunyai rentang waktu yang cukup panjang. Tidak hanya
sebatas pada waktu Indonesia sudah merdeka, tetapi jika di runut terdapat fase dalam pemetaan seni
rupa di Indonesia. Tentunya ketika membicarakan sejarah panjang seni lukis Indonesia Modern, tidak
dapat dilepaskan periode-periode sebelumnya. Yaitu periode Raden Saleh dan Moi Indie, jadi
diharapkan akan terjadi kejelasan kausalitas dari tiap periodenya. Pembahasan tulisan ini seputar seni
rupa modern di Indonesia sebelum dan sesudah kemerdekaan. Di mana kita tahu seni rupa modern
Indonesia mempunyai cikalnya pada masa penajajahan Belanda. Pengaruh pemikiran dan artistik Barat
sungguh besar dalam mengubah kondisi masyarakat In Lander. Walaupun ada yang beranggapan orang
In Lander dikekang kebebasan dalam mengakses pendidikan, dan pendidikan hanya dinikmati oleh
kalangan Ningrat atau Bangsawan.

Selanjutnya sebagai pokok bahasan tulisan ini adalah periode di mana terdapat gejolak dalam pemikiran
dan artistik pada masa Pergerakan Indonesia. Yaitu ditandai dengan munculnya organisasi pelajar dan
lahirnya tokoh-tokoh Pergerakan yang akan mengubah nasib Hindia Belanda menjadi Indonesia. Pada
masa itu pula lahir sekelompok seniman yang tergabung dalam Persatuan Ahli Gambar Indonesia
(Persagi). Sebelum kelahiran Persagi tentunya disebabkan oleh periode sebelumya, yaitu periode Mooi
Indie atau mazhab Hindia Molek yang memuja keindahan alam Nusantara dan gadis pribumi.

Salah satu lukisan Mooi Indie Karya dari Wakidi, pelukis pribumi yang lukisannya tentang pemandangan.

Periode Mooi Indie yang memesona.

Kekayaan dan keindahan Nusantara tidak hanya menggoda Kolonial Belanda untuk menjajah Hindia
Belanda yang subur dan hijau serta kaya akan hasil bumi. Selain menjajah Hindia Belanda(Indonesia
sebelum merdeka) koloni Belanda juga terpesona dengan keindahan alamnya. Sehingga selain
mengeruk kekayaan alam Hindia Belanda dan menjajah rakyat pribumi. Belanda dengan para pekerja
seninya juga mendokumentasikan keindahan alamnya. Dengan mendokumentasikan alam, flora, fauna
serta kehidupan untuk kepentingan ilmu pengetahuan, juga didokumentasikan melalui lukisan untuk
apreasiasi seni.

Gaya lukisan mooi Indie atau Hindia Molek muncul di Batavia pada awal abad 20. Di mana pada waktu
terdapat berbagai status sosial yang beragam di Batavia, salah satunya adalah kalangan masyarakat
menengah Belanda yang tinggal di lingkungan pribumi. Kalangan menengah Belanda tersebut membawa
pola baru dalam kehidupan, salah satunya adalah dengan megoleksi benda-benda seni termasuk lukisan.
Memasuki tahun 1920-an pertumbuhan tempat tinggal orang Belanda di Batavia adalah di kawasan
Weltervreden Selatan dan Tenggara. Di samping itu, sepanjang kawasan tepi kota yaitu Gondangdia
Baru dan Menteng berderet-deret bangunan orang Belanda dengan halaman depan dan di belakang
yang rapi dan teratur. Kelompok masyarakat menengah Belanda itulah yang menjadi patron seni lukis
yang mulai berkembang. Kondisi megoleksi lukisan tersebut mulai tumbuh pada akhir abad ke-19.

Sebagai penanda sekaligus penguat akan hadirnya budaya yang mengandung nilai estetika tersebut
datang dari pemerintah kolonial sendiri. Pemerintah kolonial mendirikan lembaga kebudayaan
Nederlandsch Indische Kunstkring pada 1 April 1902. Kemudian dalam perkembangannya lembaga
kebudayaan ini dikenal di Batavia dengan sebutan Bataviaasche Kunstkring. Lembaga kebudayaan
tersebut menjadi penampung aspirasi kalangan elite Belanda dan intelektual pada kelas menengah
Belanda. Lembaga kesenian tersebut menaungi berbagai seni, antara lain seni lukis, musik, tari, drama,
maupun pidato kebudayaan dan membaca. Dengan adanya lembaga kebudayaan tersebut, maka dunia
seni pada zaman itu menjadi semarak dan bergairah. Pameran dan pertunjukan sering diadakan di
gedung tersebut. kegiatan yang dibuat dengan makna sejarah besar adalah pameran seni lukis pada
tahun 1903 yang menampilkan karya duplikat dari Rembrant van Rijn di Batavia.

Dengan berdirinya lembaga kesenian sebagai patronase seni lukis dan tersedianya prasarana-prasarana
yang lain semakin membuka kesempatan ruang yang kondusif untuk mempertemukan minat
masyarakat dan visi pelukis. Maka dari itu banyak pelukis profesional Eropa yang berdatangan ke Hindia
Belanda, untuk dapat mengeksplor alamnya yang indah. Walaupun sebelumnya ada pelukis yang bekerja
di bawah instruksi pemerintah Belanda. Mereka adalah pelukis yang ditugasi oleh V.O.C atau
pemerintah Hindia Belanda untuk membuat pendokumentasian sebagai laporan dinas dan kepentingan
ilmiah. Mereka itu boleh dikatakan pekerja di bidang artsitik yang mendokumentasikan melalui sketsa
atau lukisan. Pelukis yang ditugaskan antara lain C.G.C. Reinwardt, A.J.Bik, Th.Bik dan A.A.J. Payen.
Pelukis yang terakhir disebut dikenal sebagai guru dari pelukis pribumi bangsawan Raden Saleh.

Lukisan dari Walter Spies "Die Landschaft un ihre Kinder" 1941, yang melukiskan pemandangan alam di
Bali.

Selain itu pula muncul pelukis-pelukis profesional yang bekerja untuk melukis, tidak diperintah oleh
pemerintah kolonial. Mereka datang dari daratan Eropa tepatnya negeri Belanda, pelukis tersebut
datang untuk dapat mendokumentasikan keindahan alam Hindia. Tercatat nama-nama pelukis terkenal
di Hindia Belanda seperti, P.A.J. Moojen, W.O.J. Nieuwenkamp yang datang pada tahun 1904.
Selanjuthya menyusul pelukis lain seperti, Du Chattel, Carel Dake, Dolf Breetvelt, Isaac Israel, Marius
Bauer, dan Romualdo Locatelli. Kedatangan pelukis tersebut membawa faham baru dalam aliran seni,
yaitu aliran impresionisme dan ekspresionisme. Di mana pada waktu itu di Eropa memang sedang
berkembang aliran jenis baru tersebut, sehingga para pelukis tersebut membawa faham baru yang lebih
segar bagi wacana seni di Hindia Belanda. Mereka melukis alam dan kehidupan di negeri yang eksotis
dan kaya akan cahaya. Sehingga mereka rela datang dari jauh untuk dapat menangkap momen estetis
tersebut. Di mana pemandangan alam dengan hamparan sawah, sungai, tumbuhan tropis, dan adat
penduduk pribumi, selalu menggoda untuk dapat digoreskan di atas kanvas.

Kedatangan para pelukis dari Eropa tersebut membuat semarak dunia kesenian di Batavia pada waktu
itu. Para pelukis tersebut pada umumnya tergoda oleh eksotisme dunia timur. Mereka mendatangi
tempat-tempat seperti lembah, gunung, desa, sungai, hamparan sawah, melukis kegiatan adat dan gadis
desa yang cantik. Mereka berkelana ke berbagai daerah di Jawa, Sumatra hingga ke Bali. Keindahan alam
Hindia memaksa mereka untuk dapat berlama-lama tinggal di Hindia, untuk dapat mendokumentasikan
moment estetis alam dan kebudayaan. Para pelukis yang menetap lama di Hindia antara lain Willem
Dooyewaard, Rolland Strasser, Walter Spies, Rudolf Bonnet, dan Willem Hofker. Para pelukis di atas
tergoda dengan eksotisme alam Hindia, khususnya pulau Bali yang memiliki keindahan alam bagai surga.

Pada intinya para pelukis Eropa tersebut datang ke Hindia untuk melukis keindahan alamnya yang
eksotis. Dan dari lukisan yang dihasilkan para pelukis Eropa tersebut melahirkan istilah Mooi Indie.
Sebutan istilah tersebut tentunya tidak terdapat dalam terminologi sejarah seni lukis mainstream Barat.
Karena istilah Mooi Indie sendiri menjadi populer di Hindia Belanda (Indonesia) semenjak S.Sudjojono
memakainya untuk mengejek pelukis-pelukis pemandangan dalam tulisannya pada tahun 1939. Namun
sebelumnya istilah Mooi Indie pernah dipakai untuk memberi judul reproduksi lukisan pemandangan
Hindia Belanda karya cata air Du Chattel yang diterbitkan dalam bentuk portofolio di Amsterdam tahun
1930.

Periode Mooi Indie telah begitu besar menyumbang dalam lanskap seni rupa modern di Indonesia awal.
Tetapi setelah cukup lama menjadi barometer seni lukis modern Hindia Belanda, akhirnya Mooi Idie
mendapat reaksi keras dari kaum Bumiputera. Dan seiring dengan gejolak ekonomi serta politik yang
tidak kondusif menjelang tahun 1930-an. Di mana pada tahun-tahun tersebut lahir pemikiran kritis dari
kaum Bumiputera, mereka merindukan akan kebebasan yang setelah sekian lama terpasung oleh
kolonial. Gerakan-gerakan mulai muncul dalam bidang pendidikan, politik, kebangsaan, nasionalisme
dan kebudayaan. lahir pula kelompok-kelompok pergerakan yang nantinya akan membawa ke gerbang
kemerdekaan bangsa Indonesia. Di lain pihak lahir pula pergerakan budaya yang memperjuangkan nilai-
nilai nasionalisme, salah satunya adalah Persagi (Persatuan Ahli Gambar Indonesia.

Foto Anggota Persagi dalam rapat tahunan 1940 di Jakarta.

Lahirnya Persagi (Persatuan Ahli Gambar Indonesia).

Lahirnya Persagi tentunya bukan tanpa sebab atau kasualitas, Persagi lahir sebagai bentuk protes atas
nilai estetika oleh yang di usung oleh Mooi Indie. Tentu saja tidak disebabkan oleh satu persoalan
tersebut di atas, tetapi banyak faktor yang melatarbelakangi lahirnya pergerakan budaya tersebut.
kondisi ekonomi dan politik pada masa tersebut memang menuntut pembaruan dalam segala bidang,
tak terkecuali dalam bidang seni dan budaya. Di mana pada waktu kondisi ekonomi di Batavia memang
sedang kacau. Memasuki tahun 1930-an, keadaan Batavia telah berbeda dengan awal abad 20.
Keadaan semacam itu membuat keadaan masyarakat pribumi semakin sulit dalam kehidupan, dan
memang keadaan pada zaman tersebut belum dapat dikatakan nyaman. Kondisi sosial masyarakat
bawah yang kehidupannya berat, ternyata menggugah kesadaran dan visi baru kelompok Persagi untuk
mengungkapkan realitas yang ada. Tokoh utama dalam pergerakan budaya tersebut adalah Sudjojono
yang menorehkan pemikirannya dalam tulisan yang banyak di muat di majalah atau surat kabar pada
waktu itu.

Memang pada waktu itu kondisi Hindia Belanda sedang dalam progres untuk menuju pencerahan yang
dikomandoi oleh kaum Pribumi terpelajar. Pada dasawarsa kedua abad 20-an memang muncul
pergerakan pemuda yang di pelopori oleh Boedi Utomo sejak tahun 1908. Selanjutnya di susul dengan
berdirinya perguruan Taman Siswa tahun 1922, Sumpah Pemuda 1928, dan pada bidang sastra muncul
Poejangga Baroe tahun 1933, serta Polemik Kebudayaan 1935 sampai 1939. Dengan adanya organisasi
pergerakan pemuda tersebut, ternyata menjadi stimultan dan terus memunculkan perkumpulan di
bidang lain. Salah satunya adalah perkumpulan seniman yang mengibarkan bendera Nasionalisme dan
berpihak pada Kerakyatan. Tepatnya pada tanggal 23 Oktober 1938 Persagi lahir, yang merupakan
akronim dari Persatuan Ahli Gambar Indonesia.

Suasana rapat tahunan Persagi.

Deklarasi Persagi pada bulan Oktober tersebut berlangsung di Gedung Sekolah Rakyat “Ksatryan School
met de Qur’an”, di Gang Kaji Batavia. Pengurus Persagi pada periode pertama terdiri dari Agus Djaja
sebagai ketua, Sudjojono sebagai sekretaris dan Rameli sebagai komisaris. Selain nama pengurus di atas
sebagai anggota Persagi antara lain Soediardjo, L.Setiyoso, Emiria Soenassa, Saptarita Latief, Herbert
Hoetagaloeng, S. Toetoer, Sindhusisworo, Soeaib, Soekirno, Soerono, Suromo dan Otto Djaja. Sebagai
kelompok pergerakan di bidang budaya yang mengibarkan semangat baru dan panji-panji Nasionalisme
Kerakyatan, Persagi aktif mengadakan rapat tahuan, diskusi, melukis bersama, dan pameran.

Tujuan dari kelompok Persagi ditekankan pada pencarian corak seni lukis Indonesia yang baru lewat
kerjasama di sanggar dan diskusi antara sesama anggota. Pemahaman dari Persagi melukis tidak hanya
pemandangan sawah, sungai, pantai dan gadis yang cantik. Tetapi melukis harus juga melihat dari sisi
kemanusiaannya, selain estetika tedapat nilai lain yang harus dimunculkan dalam sebuah karya seni.
Keyakinan lainnya adalah dalam melukis hendaknya bersikap sederhana dan jujur mengungkapkan
objek. Realitas objek-objek di sekitar pelukis sesungguhnya merupakan kesaksian kehidupan yang kaya.
Berkarya dengan jujur dan sederhana artinya membuat karya seni sesuai dengan realita yang ada dan
tanpa ada untuk membaguskan objeknya. Misalkan lingkungan sekitar tentang peperangan, penderitaan
rakyat kecil, gadis desa, objek tersebut digambar dengan jujur tanpa ada unsur rekayasa untuk
memperindahnya. Biarkan realita itu bicara dalam sebuah karya seni, itulah faham yang diterus
dikobarkan oleh kelompok Persagi.

Adalah S. Sudjojono yang aktif menyuarakan semangat seni lukis Indonesia Baru melalui tulisan-
tulisannya yang dimuat di majalah dan surat kabar. Seni lukis sebagai salah satu unsur kebudayaan suatu
bangsa dengan sendirinya seharusnya mengungkapkan corak yang cocok dengan watak bangsa itu.
Meskipun demikian, lukisan-lukisan Indonesia pada saat itu belum juga mempunyai corak Indonesia. Hal
itu karena kultur yang ada masih hilir-mudik. Di satu pihak masih besifat kejawaan, kekunoan, dan di lain
pihak bersifat kebaruan jawa dan bahkan kebarat-baratan. Lewat tulisannya, Sudjojono menganjurkan
kepada para pelukis untuk mempelajari kehidupan rakyat jelata di kampung-kampung dan di desa-desa.

Lukisan Agus Djaja "The Pursuit"

Bertolak dari kebiasaan para pelukis Mooi Indie, para pelukis yang tergabung dalam Persagi mencipta
lukisan dari objek yang ada di lingkungan sekitar. Para pelukis tersebut melukis tentang kehidupan nyata
yang ada di sekitar mereka, tentang susana kampung, tentang penderitaan rakyat, seni pertunjukan,
perjuangan, gerilyawan, dan gadis pribumi dengan nuansa yang sesungguhnya. Jadi para anggota
persagi melukis realita tentang penderitaan rakyat jelata, selain menyentuh nilai estetika lukisan
hendaknya menyentuh nilai kemanusiaan. Tetapi tidak semua anggota persagi mencipta karya yang
berbau kemanusaiaan tetapi ada juga yang masih menggambar pemandangan. Selain itu ada juga yang
mengadopsi tema budaya lokal seperti wayang, dimana itu terlihat pada corak lukisan Agus Djaja.
Lukisan Agus Djaja mengadopsi unsur wayang, yang telah dideformasi dan tampak lebih ekspresif dan
manusiawi. Hal ini dapat dilihat pada lukisannya yang berjudul “The Pursuit” (Pengerjaran). Dalam
lukisan tersebut tampak sosok wayang sedang naik kuda sambil memanah, dimana lukisan tersebut
merepresentasikan tokoh Arjuna yang gagah berani dalam dunia pewayangan.

Selain itu lukisan-lukisan Agus Djaja menggambarkan tentang kesenian rakyat, seperti yang berjudul
“Ronggeng”, Tjap Go Meh”, “Topeng”, De Goochelaar (Tukang Sulap), dan “Koeda Kepang”. Lain lagi
dengan Sudjojono, lukisan Sudjojono mencerminkan kegelisahan dalam menyelami realitas kehidupan.
Karya-karya dari Sudjojono antara lain “Di Depan Kalmboe Terboeka”, “Mainan”, “Djoengkatan”, “Anak-
anak Soenter”, “Tjap Go Meh” dan “Kawan-kawan Revolusi”. Selanjutnya ada pelukis Emiria Soenassa,
adalah salah satu pelukis wanita Indonesia pertama yang bergulat dengan seni lukis sebagai ekspresi.
Maka dari itu Emiria bergabung dengan Persagi sebagai media untuk mengepreksikan konsep
estetikanya. Karya dari Emiria memiliki corak primitif yang mengungkapkan rasa naif yang jujur. Dimana
itu tercermin dalam beberapa karyanya antara lain “Roemah di Tepi Hoetan” dan “Perkawinan Dajak”.

Karya dari Sudjojono "Di Depan Kalambu Terbuka" sedang di display oleh Mike Susanto (Dosen saya
sewaktu Kuliah) dalam suatu pameran.

Otto Djaja merupakan pelukis termuda dalam Persagi, dan merupakan adik dari Agus Djaja. Karakter
lukisan dari Otto Djaja mempunyai karakter naif yang cukup kuat. Karya-karyanya yang dikenal
mempunyai karakter naif antara lain pada “Pertemoean” dan “Kethoek Tiloe”. Selanjutnya pelukis
Persagi lainnya adalah R.M. Soerono, Soediardjo, dan Suromo. R.M. Soerono merupakan salah satu
pelukis yang berbakat dalam seni lukis. Bakat seninya diasah oleh pulukis Belanda yaitu Velthyusen,
hingga menjadi pelukis profesional. Lukisan-lukisannya antara laian berjudul “Terug van de Weide”
(Kembali dari Padang Rumput), “Tarian Timoer” dan “Perahu Majang”. Anggota lain yang sudah terjun
ke dunia profesional dalam dunia artistik adalah R.Soediardjo dan Suromo. Kedua orang tersebut
bekerja sebagai drafter (penggambar) yang menangani pekerjaan lukisan kaca, mural dan keramik di
biro arsitek Robert Deppe, di Batavia. S.Soediardjo mendapat perhatian besar dari para pengamat seni,
karena kekuatan ekspresi lukisannya yang di pamerkan di Batavia Kunstkring yaitu “Bade om Zielenheid”
(Doa untuk Pendeta)

Suromo adalah pelukis yang mengasah kemampuan artistiknya dengan bekerja di Batavia, sebagai
desainer atau penggambar pada perusahaan Robert Deppe. Selain itu Suromo memeroleh kemampuan
melukisnya dengan belajar akademis di Pringadi. Setelah pada masa setelah Persagi Suromo tetap
dikenal sebagai pelukis yang aktif, dengan sifat sebagai “een geboren schilder” (pelukis berbakat), yang
lebih suka bekerja dengan produktif daripada berdebat dalam wacana. Anggota Persagi lainnya adalah
Abdul Salam, pelukis kelahiran Banyumas 1912, adalah ilustrator majalah mingguan “Pembangoen” dari
surat kabar “Pemandangan”. Selain itu ia juga bekerja di bagian menggambar Kantor Statistik dan di
kantor Biro Reklame “A de le Mar” Batavia. Suromo juga mengasah bakat melukisnya pada pelukis
Belanda Pip Pijpers. Karya-karya dari Suromo memunculkan karakter kejujuran dan mengabdi pada
realitas yang ada.

Pelukis Persagi selanjutnya adalah G.A. Soekirno, yang karakter lukisannya mempunyai kecenderungan
pada gaya karikatural. Pelukis-pelukis di atas adalah yang memegang mempunyai karakter dalam ide
maupun konsep. Mereka mencoba membuat lukisan dengan gaya tersendiri tanpa dibayang-bayangi
oleh gaya Moii Indie. Sehingga dari corak lukisannya cenderung ekspresif dan impresionisme, di Smana
kedua aliran tersebut memang berasal dari Eropa. Tetapi ada Pelukis Persagi yang masih tetap berkarya
di bawah pengaruh Mooi Indie. Mereka adalah Herbert Hutagaloeng dan S. Toetoer, yang masih
berkutat dengan lukisan pemandangan yang indah dan hijau. Lukisan dari Herbert Hutagalung yang
pernah dipamerkan dalam pameran bersama Persagi adalah “Eenzaam Bamboevolt” (Rakit Bambu yang
Terasing). S. Toetoer yang masih senada karyanya dengan Herbert Hutagaloeng, menampilkan jenis
karya yang masih berbau Mooi Indie. Karya-karya yang pernah dipamerkan dalam pameran pertama
persagi antara lain “Indonesische Venus”, “Pemandangan di Molenvliet” dan “Pemandangan di Mega
Mendoeng”. Menurut beberapa pengamat S.Toetoer mempunyai kekuatan warna yang berkualitas.

Untuk dapat membuktikan eksistensi kelompok mereka, maka dari itu Persagi mencoba mengadakan
pameran sebagai bukti keberadaannya. Tetapi bukan usaha yang mudah untuk dapat memamerkan
karya seni mereka pada zaman itu. Di mana kekuatan birokrasi pemerintahan di Batavia pada waktu itu
masih dipegang oleh pemerintah Belanda. Persagi mencoba untuk dapat berpameran di gedung
Bataviasche Kunstkring, tetapi upaya untuk pameran di gedung tersebut di tolak. Penolakan tersebut
langsung dilontarkan oleh ketua dari Bataviasche Kunstkring, Mvr. De Loos Haaxman bahwa bangsa
Indonesia dianggap hanya cocok sebagai petani. Pernyataan yang senada datang dari pelukis Velthuysen
di koran Nieuwsgier , bahwa pelukis Indonesia lebih baik menanam padi saja, daripada melukis. sebab
kalau menanam padi, orang Jawa udah mengerti dan menguasai.

Lukisan Otto Djaja "Pertemuan" yang memilki corak naif yang kuat.

Itulah pernyataan dari para penguasa Belanda yang diskriminatif, maka dari itu Persagi mencari jalan lain
untuk dapat pameran perdana. Tetapi pada akhirnya Persagi dapat berpameran di toko buku Koff & Co.
Pameran perdana tersebut diikuti oleh para anggota Persagi dan karya yang dipamerkan tanpa seleksi
yang ketat, para pelukis dapat memutuskan lukisan yang akan dipamerkan. Pameran perdana tersebut
berlangsung di bulan April 1940. Tahun berikutnya Persagi akhirnya dapat juga berpameran di gedung
Bataviasche Kunstkring pada tanggal 7 sampai 30 Mei 1941. Keberhasilan tersebut merupakan
fenomena yang sangat bermakna untuk pelukis pribumi. Laporan bernada positif datang dari surat kabar
Bataviaasch Nieuwsblad, mengungkapkan bahwa pelukis pribumi yang sebagian besar adalah para
pemuda, tidak menemui kesulitan dalam berkarya. Warna-warna lukisan mereka mencolok, dan
pandangan keseniannya sering muncul lebih menyakinkan daripada bentuk lukisannya yang masih
mencari-cari.
Itulah beberapa kegiatan yang dilakukan oleh Persagi sebagai bukti eksistensi kelompok. Dengan
membawa faham baru tentang corak seni lukis Indonesia yang baru, pelukis tersebut lepas dari tradisi
lama. Dalam karya-karya mereka menampilkan beragam objek yang tidak hanya eksotis dan romantis.
Tetapi dalam karya mereka terdapat kedalaman makna berupa nilai-nilai yang ditanamkan terhadap
karya seni. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Sudjojono tentang gaya lukisan Mooi Indie. Bahwa
lukisan-lukisan Mooi Indie yang serba tenang dan damai dikatakan sebagai pelepas jemu para turis yang
dinegerinya hanya melihat skyscrapers (bangunan-bangunan pencakar langit). Lebih jauh Sudjojono
mengungkapkan bahwa seniman Persagi tidak bisa menghormati pelukis-pelukis yang enak-enak
menggambarkan lembah, gunung, awan-awan, dan mimpi di sorga sambil berkata : “O, romantisnya
Priangan”. Disisi lain pelukis-pelukis itu tidak mendengarkan para petani yang mengeluh, merintih, dan
menangis sebab kakinya terekena cangkul, berdarah dan luka parah. Lukisan-lukisan Mooi Indie itu
barankali bagus, namun rasa kemanusiaannya tidak ada.

S.Sodjojono tokoh sekaligus penggerak Persagi.

Dengan keragaman konsep estetis atau kekayaan wacana dalam tubuh Persagi akhirnya melahirkan
berbagai bentuk karya yang khas dari setiap senimannya. Disamping itu mereka mempunyai pandangan
yang sama dalam mencari corak seni lukis Indonesia yang baru. Serta memperjuangkan harkat pelukis
pribumi di mata orang Belanda, maka dari itu lukisan-lukisan anggota Persagi mempunyai corak yang
lain dibandingkan dengan Mooi Indie. Kredo antiteknik dalam proses kreatif mereka semakin
menguatkan kecenderungan kebebasan menuju ke corak lukisan ekspresionisme. Dalam perjalanan
Persagi yang cukup singkat itu, tahap pematangan visi estetik anggotanya baru tercapai setelah Persagi
bubar. Persagi bubar pada waktu pendudukan Jepang di Batavia sekitar tahun 1942, tetapi eksponen-
eksponennya masih tetap berkarya dan tumbuh menjadi pelukis-pelukis yang mengisi kehidupan seni
lukis Indonesia modern.

Itulah Persagi yang memberontak tradisi lama yang ditanamkan oleh kolonial Belanda, dimana konsep
estetis yang menurutkan selera turistis dihantam dengan konsep jiwa Nasionalisme kerakyatan. Dengan
megibarkan panji-panji kerakyatan diharapkan corak seni lukis Indonesia baru akan muncul. Walaupun
secara teknik karya dari pelukis Persagi masih mengadopsi dari Barat, yaitu teknik ekspresionisme dan
impresionisme. Tetapi kandungan estetika dan konsep seni yang ada dalam karya seniman Persagi,
mempunyai jiwa yang diharapkan membawa corak yang baru. Melalui penciptaan objek yang sesuai
dengan realita diharapkan dapat memunculkan semangat dan jiwa Nasionalisme akan tumbuh pada tiap
senimannya. Wacana paradigma seni lukis Indonesia Baru dari Persagi, akhirnya memberikan warisan
yang laten yaitu perdebatan orientasi antara Timur dan Barat. Indentitas merupakan elemen yang
menjadi wacana krusial dalam setiap periode perkembangan seni lukis modern Indonesia. Dengan itu
Persagi telah membuktikan lewat paradigma dan karya yang membawa perubahan dalam seni lukis
Indonesia modern.[]

///Diolah dari berbagai sumber.

Anda mungkin juga menyukai