Masa Perintisan
Masa Perintisan adalah masanya Raden Saleh yang merupakan juru gambar Belanda. Karya
Raden Saleh antara lain : Antara Hidup dan Mati (pertarungan antara seekor banteng dan
dua ekor singa), Penangkapan Diponegoro, Perkelahian dengan Binatang Buas, Perburuan,
Hutan Terbakar, Banjir, Harimau dan Mangsanya, Merapi yang Meletus.
Salah satu lukisan Mooi Indie Karya dari Wakidi, pelukis pribumi yang lukisannya tentang pemandangan.
Periode Mooi Indie yang memesona.
Kekayaan dan keindahan Nusantara tidak hanya menggoda Kolonial Belanda
untuk menjajah Hindia Belanda yang subur dan hijau serta kaya akan hasil bumi.
Selain menjajah Hindia Belanda(Indonesia sebelum merdeka) koloni Belanda juga
terpesona dengan keindahan alamnya. Sehingga selain mengeruk kekayaan alam
Hindia Belanda dan menjajah rakyat pribumi. Belanda dengan para pekerja seninya
juga mendokumentasikan keindahan alamnya. Dengan mendokumentasikan alam,
flora, fauna serta kehidupan untuk kepentingan ilmu pengetahuan, juga
didokumentasikan melalui lukisan untuk apreasiasi seni.
Gaya lukisan mooi Indie atau Hindia Molek muncul di Batavia pada awal abad
20. Di mana pada waktu terdapat berbagai status sosial yang beragam di Batavia,
salah satunya adalah kalangan masyarakat menengah Belanda yang tinggal di
lingkungan pribumi. Kalangan menengah Belanda tersebut membawa pola baru
dalam kehidupan, salah satunya adalah dengan megoleksi benda-benda seni
termasuk lukisan. Memasuki tahun 1920-an pertumbuhan tempat tinggal orang
Belanda di Batavia adalah di kawasan Weltervreden Selatan dan Tenggara. Di
samping itu, sepanjang kawasan tepi kota yaitu Gondangdia Baru dan Menteng
berderet-deret bangunan orang Belanda dengan halaman depan dan di belakang
yang rapi dan teratur. Kelompok masyarakat menengah Belanda itulah yang menjadi
patron seni lukis yang mulai berkembang. Kondisi megoleksi lukisan tersebut mulai
tumbuh pada akhir abad ke-19.
Sebagai penanda sekaligus penguat akan hadirnya budaya yang mengandung
nilai estetika tersebut datang dari pemerintah kolonial sendiri. Pemerintah kolonial
mendirikan lembaga kebudayaan Nederlandsch Indische Kunstkring pada 1 April
1902. Kemudian dalam perkembangannya lembaga kebudayaan ini dikenal di
Batavia dengan sebutan Bataviaasche Kunstkring. Lembaga kebudayaan tersebut
menjadi penampung aspirasi kalangan elite Belanda dan intelektual pada kelas
menengah Belanda. Lembaga kesenian tersebut menaungi berbagai seni, antara
lain seni lukis, musik, tari, drama, maupun pidato kebudayaan dan membaca.
Dengan adanya lembaga kebudayaan tersebut, maka dunia seni pada zaman itu
menjadi semarak dan bergairah. Pameran dan pertunjukan sering diadakan di
gedung tersebut. kegiatan yang dibuat dengan makna sejarah besar adalah
pameran seni lukis pada tahun 1903 yang menampilkan karya duplikat dari
Rembrant van Rijn di Batavia.
Dengan berdirinya lembaga kesenian sebagai patronase seni lukis dan tersedianya prasarana-
prasarana yang lain semakin membuka kesempatan ruang yang kondusif untuk mempertemukan
minat masyarakat dan visi pelukis. Maka dari itu banyak pelukis profesional Eropa yang berdatangan
ke Hindia Belanda, untuk dapat mengeksplor alamnya yang indah. Walaupun sebelumnya ada pelukis
yang bekerja di bawah instruksi pemerintah Belanda. Mereka adalah pelukis yang ditugasi oleh V.O.C
atau pemerintah Hindia Belanda untuk membuat pendokumentasian sebagai laporan dinas dan
kepentingan ilmiah. Mereka itu boleh dikatakan pekerja di bidang artsitik yang mendokumentasikan
melalui sketsa atau lukisan. Pelukis yang ditugaskan antara lain C.G.C. Reinwardt, A.J.Bik, Th.Bik dan
A.A.J. Payen. Pelukis yang terakhir disebut dikenal sebagai guru dari pelukis pribumi bangsawan
Raden Saleh.
Lukisan dari Walter Spies "Die Landschaft un ihre Kinder" 1941, yang melukiskan pemandangan alam di Bali.
Selain itu pula muncul pelukis-pelukis profesional yang bekerja untuk melukis,
tidak diperintah oleh pemerintah kolonial. Mereka datang dari daratan Eropa
tepatnya negeri Belanda, pelukis tersebut datang untuk dapat mendokumentasikan
keindahan alam Hindia. Tercatat nama-nama pelukis terkenal di Hindia Belanda
seperti, P.A.J. Moojen, W.O.J. Nieuwenkamp yang datang pada tahun 1904.
Selanjuthya menyusul pelukis lain seperti, Du Chattel, Carel Dake, Dolf Breetvelt,
Isaac Israel, Marius Bauer, dan Romualdo Locatelli. Kedatangan pelukis tersebut
membawa faham baru dalam aliran seni, yaitu aliran impresionisme dan
ekspresionisme. Di mana pada waktu itu di Eropa memang sedang berkembang
aliran jenis baru tersebut, sehingga para pelukis tersebut membawa faham baru
yang lebih segar bagi wacana seni di Hindia Belanda. Mereka melukis alam dan
kehidupan di negeri yang eksotis dan kaya akan cahaya. Sehingga mereka rela
datang dari jauh untuk dapat menangkap momen estetis tersebut. Di mana
pemandangan alam dengan hamparan sawah, sungai, tumbuhan tropis, dan adat
penduduk pribumi, selalu menggoda untuk dapat digoreskan di atas kanvas.
Kedatangan para pelukis dari Eropa tersebut membuat semarak dunia
kesenian di Batavia pada waktu itu. Para pelukis tersebut pada umumnya tergoda
oleh eksotisme dunia timur. Mereka mendatangi tempat-tempat seperti lembah,
gunung, desa, sungai, hamparan sawah, melukis kegiatan adat dan gadis desa yang
cantik. Mereka berkelana ke berbagai daerah di Jawa, Sumatra hingga ke Bali.
Keindahan alam Hindia memaksa mereka untuk dapat berlama-lama tinggal di
Hindia, untuk dapat mendokumentasikan moment estetis alam dan kebudayaan.
Para pelukis yang menetap lama di Hindia antara lain Willem Dooyewaard, Rolland
Strasser, Walter Spies, Rudolf Bonnet, dan Willem Hofker. Para pelukis di atas
tergoda dengan eksotisme alam Hindia, khususnya pulau Bali yang memiliki
keindahan alam bagai surga.
Pada intinya para pelukis Eropa tersebut datang ke Hindia untuk melukis
keindahan alamnya yang eksotis. Dan dari lukisan yang dihasilkan para pelukis
Eropa tersebut melahirkan istilah Mooi Indie. Sebutan istilah tersebut tentunya tidak
terdapat dalam terminologi sejarah seni lukis mainstream Barat. Karena istilah Mooi
Indie sendiri menjadi populer di Hindia Belanda (Indonesia) semenjak S.Sudjojono
memakainya untuk mengejek pelukis-pelukis pemandangan dalam tulisannya pada
tahun 1939. Namun sebelumnya istilah Mooi Indie pernah dipakai untuk memberi
judul reproduksi lukisan pemandangan Hindia Belanda karya cata air Du Chattel
yang diterbitkan dalam bentuk portofolio di Amsterdam tahun 1930.
Periode Mooi Indie telah begitu besar menyumbang dalam lanskap seni rupa modern di
Indonesia awal. Tetapi setelah cukup lama menjadi barometer seni lukis modern Hindia
Belanda, akhirnya Mooi Idie mendapat reaksi keras dari kaum Bumiputera. Dan seiring
dengan gejolak ekonomi serta politik yang tidak kondusif menjelang tahun 1930-an. Di mana
pada tahun-tahun tersebut lahir pemikiran kritis dari kaum Bumiputera, mereka merindukan
akan kebebasan yang setelah sekian lama terpasung oleh kolonial. Gerakan-gerakan mulai
muncul dalam bidang pendidikan, politik, kebangsaan, nasionalisme dan kebudayaan. lahir
pula kelompok-kelompok pergerakan yang nantinya akan membawa ke gerbang kemerdekaan
bangsa Indonesia. Di lain pihak lahir pula pergerakan budaya yang memperjuangkan nilai-
nilai nasionalisme, salah satunya adalah Persagi (Persatuan Ahli Gambar Indonesia.
Foto Anggota Persagi dalam rapat tahunan 1940 di Jakarta.
Lahirnya Persagi (Persatuan Ahli Gambar Indonesia).
Lahirnya Persagi tentunya bukan tanpa sebab atau kasualitas, Persagi lahir
sebagai bentuk protes atas nilai estetika oleh yang di usung oleh Mooi Indie. Tentu
saja tidak disebabkan oleh satu persoalan tersebut di atas, tetapi banyak faktor yang
melatarbelakangi lahirnya pergerakan budaya tersebut. kondisi ekonomi dan politik
pada masa tersebut memang menuntut pembaruan dalam segala bidang, tak
terkecuali dalam bidang seni dan budaya. Di mana pada waktu kondisi ekonomi di
Batavia memang sedang kacau. Memasuki tahun 1930-an, keadaan Batavia telah
berbeda dengan awal abad 20. Keadaan semacam itu membuat keadaan
masyarakat pribumi semakin sulit dalam kehidupan, dan memang keadaan pada
zaman tersebut belum dapat dikatakan nyaman. Kondisi sosial masyarakat bawah
yang kehidupannya berat, ternyata menggugah kesadaran dan visi baru kelompok
Persagi untuk mengungkapkan realitas yang ada. Tokoh utama dalam pergerakan
budaya tersebut adalah Sudjojono yang menorehkan pemikirannya dalam tulisan
yang banyak di muat di majalah atau surat kabar pada waktu itu.
Memang pada waktu itu kondisi Hindia Belanda sedang dalam progres untuk
menuju pencerahan yang dikomandoi oleh kaum Pribumi terpelajar. Pada
dasawarsa kedua abad 20-an memang muncul pergerakan pemuda yang di pelopori
oleh Boedi Utomo sejak tahun 1908. Selanjutnya di susul dengan berdirinya
perguruan Taman Siswa tahun 1922, Sumpah Pemuda 1928, dan pada bidang
sastra muncul Poejangga Baroe tahun 1933, serta Polemik Kebudayaan 1935
sampai 1939. Dengan adanya organisasi pergerakan pemuda tersebut, ternyata
menjadi stimultan dan terus memunculkan perkumpulan di bidang lain. Salah
satunya adalah perkumpulan seniman yang mengibarkan bendera Nasionalisme dan
berpihak pada Kerakyatan. Tepatnya pada tanggal 23 Oktober 1938 Persagi lahir,
yang merupakan akronim dari Persatuan Ahli Gambar Indonesia.
Deklarasi Persagi pada bulan Oktober tersebut berlangsung di Gedung
Sekolah Rakyat “Ksatryan School met de Qur’an”, di Gang Kaji Batavia. Pengurus
Persagi pada periode pertama terdiri dari Agus Djaja sebagai ketua, Sudjojono
sebagai sekretaris dan Rameli sebagai komisaris. Selain nama pengurus di atas
sebagai anggota Persagi antara lain Soediardjo, L.Setiyoso, Emiria Soenassa,
Saptarita Latief, Herbert Hoetagaloeng, S. Toetoer, Sindhusisworo, Soeaib,
Soekirno, Soerono, Suromo dan Otto Djaja. Sebagai kelompok pergerakan di bidang
budaya yang mengibarkan semangat baru dan panji-panji Nasionalisme Kerakyatan,
Persagi aktif mengadakan rapat tahuan, diskusi, melukis bersama, dan pameran.
Tujuan dari kelompok Persagi ditekankan pada pencarian corak seni lukis
Indonesia yang baru lewat kerjasama di sanggar dan diskusi antara sesama
anggota. Pemahaman dari Persagi melukis tidak hanya pemandangan sawah,
sungai, pantai dan gadis yang cantik. Tetapi melukis harus juga melihat dari sisi
kemanusiaannya, selain estetika tedapat nilai lain yang harus dimunculkan dalam
sebuah karya seni. Keyakinan lainnya adalah dalam melukis hendaknya bersikap
sederhana dan jujur mengungkapkan objek. Realitas objek-objek di sekitar pelukis
sesungguhnya merupakan kesaksian kehidupan yang kaya. Berkarya dengan jujur
dan sederhana artinya membuat karya seni sesuai dengan realita yang ada dan
tanpa ada untuk membaguskan objeknya. Misalkan lingkungan sekitar tentang
peperangan, penderitaan rakyat kecil, gadis desa, objek tersebut digambar dengan
jujur tanpa ada unsur rekayasa untuk memperindahnya. Biarkan realita itu bicara
dalam sebuah karya seni, itulah faham yang diterus dikobarkan oleh kelompok
Persagi.
Adalah S. Sudjojono yang aktif menyuarakan semangat seni lukis Indonesia
Baru melalui tulisan-tulisannya yang dimuat di majalah dan surat kabar. Seni lukis
sebagai salah satu unsur kebudayaan suatu bangsa dengan sendirinya seharusnya
mengungkapkan corak yang cocok dengan watak bangsa itu. Meskipun demikian,
lukisan-lukisan Indonesia pada saat itu belum juga mempunyai corak Indonesia. Hal
itu karena kultur yang ada masih hilir-mudik. Di satu pihak masih besifat kejawaan,
kekunoan, dan di lain pihak bersifat kebaruan jawa dan bahkan kebarat-baratan.
Lewat tulisannya, Sudjojono menganjurkan kepada para pelukis untuk mempelajari
kehidupan rakyat jelata di kampung-kampung dan di desa-desa.
Bertolak dari kebiasaan para pelukis Mooi Indie, para pelukis yang tergabung
dalam Persagi mencipta lukisan dari objek yang ada di lingkungan sekitar. Para
pelukis tersebut melukis tentang kehidupan nyata yang ada di sekitar mereka,
tentang susana kampung, tentang penderitaan rakyat, seni pertunjukan, perjuangan,
gerilyawan, dan gadis pribumi dengan nuansa yang sesungguhnya. Jadi para
anggota persagi melukis realita tentang penderitaan rakyat jelata, selain menyentuh
nilai estetika lukisan hendaknya menyentuh nilai kemanusiaan. Tetapi tidak semua
anggota persagi mencipta karya yang berbau kemanusaiaan tetapi ada juga yang
masih menggambar pemandangan. Selain itu ada juga yang mengadopsi tema
budaya lokal seperti wayang, dimana itu terlihat pada corak lukisan Agus Djaja.
Lukisan Agus Djaja mengadopsi unsur wayang, yang telah dideformasi dan tampak
lebih ekspresif dan manusiawi. Hal ini dapat dilihat pada lukisannya yang berjudul
“The Pursuit” (Pengerjaran). Dalam lukisan tersebut tampak sosok wayang sedang
naik kuda sambil memanah, dimana lukisan tersebut merepresentasikan tokoh
Arjuna yang gagah berani dalam dunia pewayangan.
Selain itu lukisan-lukisan Agus Djaja menggambarkan tentang kesenian rakyat,
seperti yang berjudul “Ronggeng”, Tjap Go Meh”, “Topeng”, De Goochelaar (Tukang
Sulap), dan “Koeda Kepang”. Lain lagi dengan Sudjojono, lukisan Sudjojono
mencerminkan kegelisahan dalam menyelami realitas kehidupan. Karya-karya dari
Sudjojono antara lain “Di Depan Kalmboe Terboeka”, “Mainan”, “Djoengkatan”,
“Anak-anak Soenter”, “Tjap Go Meh” dan “Kawan-kawan Revolusi”. Selanjutnya ada
pelukis Emiria Soenassa, adalah salah satu pelukis wanita Indonesia pertama yang
bergulat dengan seni lukis sebagai ekspresi. Maka dari itu Emiria bergabung dengan
Persagi sebagai media untuk mengepreksikan konsep estetikanya. Karya dari Emiria
memiliki corak primitif yang mengungkapkan rasa naif yang jujur. Dimana itu
tercermin dalam beberapa karyanya antara lain “Roemah di Tepi Hoetan” dan
“Perkawinan Dajak”.
Pada bulan Mei 1940, awal Perang Dunia II, Belanda diduduki oleh Nazi Jerman. Hindia-
Belanda mengumumkan keadaan siaga dan di Juli mengalihkan ekspor untuk Jepang ke
Amerika Serikat dan Inggris. Negosiasi dengan Jepang yang bertujuan untuk mengamankan
persediaan bahan bakar penerbangan kegagalan pada bulan Juni 1941, dan Jepang memulai
penaklukan Asia Tenggara di bulan Desember tahun itu. Pada bulan yang sama, faksi dari
Sumatra penerima bantuan Jepang untuk mengadakan revolusi terhadap pemerintahan
Belanda. Pasukan Belanda yang terakhir dikalahkan Jepang Maret 1942.
Selama pendudukan, Jepang juga bentuk persiapan untuk kemerdekaan BPUPKI (Badan
Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) atau (Dokuritsu JUNBI Chosa-
kai?) Dalam bahasa Jepang. Badan ini bertugas membentuk persiapan untuk pra-
kemerdekaan dan membuat dasar negara dan digantikan oleh PPKI bertugas mempersiapkan
kemerdekaan.
Sistem stratifikasi sosial pada zaman Jepang ditempatkan di kelas Bumiputera Eropa Timur
serta kelompok asing, kecuali Jepang. Hal ini disebabkan oleh keinginan hati masyarakat
Jepang Indonesia untuk membantu mereka dalam perang Asia Timur.
Saat ini, industrialisasi modern tentu saja berdampak jauh lebih luas daripada industrialisasi
di era kolonial Belanda. Di daerah perkotaan, ada pergeseran dalam struktur kerja dan
angkatan kerja. Misalnya, sekarang muncul jenis-jenis pekerjaan baru yang sebelumnya tidak
ada, yaitu konsultasi, advokasi, dan organisasi bantuan hukum. Buruh juga mengalami
pergeseran, terutama dalam hal gender. Di masa lalu, sangat dimonopoli oleh tenaga kerja
laki-laki. Tapi kali ini, perempuan telah berperan dalam semua bidang pekerjaan.
Berdasarkan ini, menentukan kelas sosial tidak lagi hanya ditentukan oleh aspek ekonomi
saja, tetapi juga oleh aspek-aspek lain, seperti faktor kelangkaan dan profesionalisme
seseorang. Hal ini disebabkan oleh masyarakat industri adalah kreativitas sangat mengahrgai
dapat menambah nilai dalam pekerjaan mereka. Akibatnya, berpendidikan tinggi orang-orang
yang sangat dihargai oleh masyarakat industri. Sebaliknya, orang-orang dengan pendidikan
rendah ditempatkan di strata yang lebih rendah.
Pemberontakan yang dipimpin oleh seorang ulama muda Tengku Abdul Jalil, seorang guru di
Cot Plieng, Lhokseumawe. Upaya Jepang untuk membujuk sang ulama tidak berhasil,
sehingga Jepang melakukan serangan mendadak di pagi hari ketika orang-orang sedang
melakukan shalat subuh. Dengan persenjataan sederhana / orang mabuk mencoba untuk
menahan serangan dan berhasil memukul mundur pasukan Jepang untuk kembali ke
Lhokseumawe. Jadi adalah serangan kedua, berhasil digagalkan oleh rakyat. Hanya dalam
serangan terakhir (ketiga) Jepang berhasil membakar masjid sementara pemimpin
pemberontakan (Teuku Abdul Jalil) berhasil melarikan diri dari pengepungan musuh, tapi
akhirnya ditembak saat berdoa.
Peristiwa Singaparna
Peristiwa Indramayu terjadi di April 1944 karena kewajiban paksa untuk deposit porsi nasi
dan pelaksanaan kerja paksa / kerja paksa / Romusha yang telah menghasilkan penderitaan
berkepanjangan rakyat.
Teuku Giyugun Hamid adalah seorang perwira, bersama dengan satu peleton pasukan
melarikan diri ke hutan untuk melawan. Hal ini terjadi di November 1944.
Resistensi ini dipimpin oleh Syodanco Supriyadi, Syodanco Muradi, dan Dr. Ismail.
Resistensi ini disebabkan karena masalah mengumpulkan beras, Romusha dan Heiho paksa
dan di luar batas kemanusiaan. Sebagai anak dari para pejuang tidak tega melihat penderitaan
rakyat. Selain itu, sikap pelatih militer Jepang tentara Indonesia sombong dan merendahkan.
Perlawanan PETA di Blitar adalah resistansi terbesar di Jawa. Tetapi tipu muslihat Jepang
melalui Kolonel Katagiri (Komandan pasukan Jepang), pasukan PETA berhasil ditipu dengan
berpura-pura dikonsultasikan. PETA empat perwira dijatuhi hukuman mati dan tiga lainnya
disiksa sampai mati. Sementara Syodanco Supriyadi lolos.
Perlawanan ini dipimpin oleh perwira Teuku Gyugun Hamid. Latar belakang perlawanan ini
karena sikap arogan dari Jepang dan kejam kepada orang-orang pada umumnya dan
Indonesia pada khususnya tentara.
Perlawanan ini dipimpin oleh seorang pemimpin tim (Bundanco), Kusaeri dan rekan.
Perlawanan awal tanggal yang direncanakan April 21, 1945 diketahui Jepang yang Kusaeri
ditangkap pada tanggal 25 April 1945. Kusaeri divonis hukuman mati tetapi tidak dieksekusi
karena Jepang tertekan oleh Sekutu.
Aspek Politik
Kebijakan pertama yang dilakukan Dai Nippon (pemerintah militer Jepang) adalah melarang
semua rapat dan kegiatan politik. Pada tanggal 20 Maret 1942, mengeluarkan peraturan yang
terlarut semua organisasi politik dan asosiasi bentuk. Pada September 8, 1942 dikeluarkan
UU no. 2 Jepang mengontrol organisasi nasional seluruh.
Dalam kedua aspek ini, Anda akan menemukan bagaimana cara mempraktekkan eksploitasi
ekonomi dan sosial yang dilakukan Jepang untuk masyarakat Indonesia dan Anda dapat
membandingkan dampak ekonomi dan sosial dengan dampak politik dan birokrasi. Hal ini
menempatkan sistem regulasi ekonomi pemerintah Jepang adalah sebagai berikut:
Kegiatan ekonomi diarahkan untuk kepentingan perang, seluruh potensi sumber daya alam
dan bahan baku yang digunakan untuk industri yang mendukung mesin perang. Jepang
menyita seluruh perkebunan, pabrik, bank dan perusahaan sangat penting. Banyak
kebohongan lahan pertanian bera sebagai akibat dari penekanan difokuskan pada kebijakan
ekonomi dan industri perang. Penyebab kondisi penurunan produksi pangan dan kelaparan
dan kemiskinan telah meningkat secara dramatis.
Dalam aspek militer ini, Anda akan memahami bahwa tubuh militer Jepang dibuat semata-
mata karena kondisi militer Jepang semakin putus asa dalam perang Pasifik.
Memasuki tahun kedua pendudukan (1943), Jepang intensif untuk mendidik dan melatih para
pemuda Indonesia di bidang militer. Hal ini karena situasi di medan perang (Asia – Pasifik)
semakin mempersulit Jepang. Mulai dari Sekutu pukulan di pertempuran laut dari Midway
(Juni 1942) dan sekitar Laut Koral (Agustus ’42 – Februari 1943). Kondisi itu diperparah
dengan jatuhnya Guadalacanal yang merupakan basis kekuatan Jepang di Pasifik (Agustus
1943). Dikutip dari: https://id.wikipedia.org/
Tidak banyak yang diketahui tentang dampak positif dari pendudukan Jepang di Indonesia.
Ada juga dampak positif yang dapat disajikan meliputi:
4. Di bidang ekonomi kumyai yaitu pembentukan koperasi ditujukan untuk kebaikan bersama.
5. Mendirikan sekolah dasar sebagai 6 tahun, 9 tahun lebih muda dari yang lama, dan SLTA
Selain dampak positifnya berakhir, Jepang juga membawa dampak negatif yang luar biasa,
antara lain:
1. Penghapusan semua organisasi politik dan lembaga-lembaga warisan sosial dari Hindia Belanda
pada kenyataannya banyak dari mereka yang bermanfaat bagi kemajuan ilmu pengetahuan,
sosial, ekonomi, dan kesejahteraan warga.
2. Romusha, mobilisasi masyarakat Indonesia (khususnya warga Jawa) untuk kerja paksa di bawah
kondisi yang tidak manusiawi.
3. Mobilisasi semua sumber daya seperti makanan, pakaian, logam, dan minyak demi perang.
4. Akibatnya, petani padi dan berbagai bahan makanan Jepang kehilangan begitu banyak orang
yang menderita kelaparan.
Seni LUKIS
-Sejarah, Macam-Macam
Sponsors Link
Seni lukis merupakan salah satu dari sekian banyak cabang-cabang seni rupa. Seni lukis
sendiri adalah seni yang mengapresiasikan kreatifitas seorang seniman melalui bidang dua
dimensi, seperti kanvas, papan, kertas, dan sebagainya dengan cara melukis. Dengan cara
melukis, seorang seniman akan menghasilkan sebuah seni yang dinamakan seni lukis.
Melukis sendiri adalah sebuah kegiatan mengolah medium dua dimensi atau permukaan dari
objek tiga dimensi untuk mendapat kesan tertentu. Medium lukisan sering kali dilukiskan
diatas kanvas, akan tetapi pada saat sekarang ini medianya bisa berupa kertas, papan, dan
bahkan film di dalam fotografi bisadianggap sebagai media lukisan, alat yang digunakan
dalam melukispun beragam asalkan dapat memberikan imaji tertentu sesuai dengan media
yang digunakan.
Sejarah
Searah Seni Lukis secara umum dapat dibedakan kedalam 5 bagian yaitu zaman prasejarah,
zaman klasik, zaman pertengahan, zaman reinassance, dan zaman art nouveaou. Pembagian
sejarah ini dibagi sesuai dengan perkembangan zaman, dan berikut adalah sejarah seni lukis
Zaman Prasejarah
Menurut sejarahnya, keberadaan seni lukis sangat erat hubunganya dengan gambar seperti
yang telah dijelaskan sebelumnya. Peninggalan-peninggalan historis dari zaman prasejarah
menggambarkan bahwa sejak ribuan tahun yang lalu, nenek moyang manusia telah memulai
kegiatan menggambarnya dimulai dari membuat gambar di tembok atau dinding gua untuk
mengisyaratkan bagian-bagian penting yang terjadi dalam kehidupan. Diawal keberadaanya
sebuah gambar hanya dibuat dengan material sederhana seperti kapur, arang, atau baan-bahan
lainnya.
Salah satu teknik yang sangat terkenal dari seni lukis di zaman prasejarah adalah
menempelkan tangan di dinding gua lalu menyemburnya dengan kunyahan daun atau batu
mineral yang memiliki warna yang kemudian mendapatkan hasil jiplakan tangan warna-warni
di dinding gua yang bisa dilihat sampai saat ini. Kemudahan dalam berkesenian lukis yang
memang lebih dianggap mudah dibanding dengan cabang seni rupa lainnya seperti seni
patung dan seni keramik membuat seni lukis berkembang dengan pesat dan cepat.
(baca: fungsi seni kriya)
Objek seni lukis pada zaman prasejarah didominasi dengan karya-karya yang menghasilkan
lukisan manusia, binatang, dan objek-objek alam seperti pohon kulit, bukit, gunung, sungai,
dan laut, objek ini dilukis dengan menonjolkan bentuk yang dianggap sakral, misalnya untuk
melukiskan binatang banteng maka orang-orang zaman prasejarah akan menonjolkan baian
tanduk banteng karena menggambarkan simbol vital seekor banteng.
Pada zaman prasejarah juga ada orang-orang tertentu dalam satu kelompok masyarakat lebih
banyak menghabiskan waktunya untuk menggabar daripada kegiatan mencari makan.
Kemudian muncullah selera cita rasa keindahan dalam kegiatanya menggambar dan terus
menerus melakukan kegiatan tersebut sehingga menjadi seorang seniman seni lukis, dari
situlah muncul seniman-seniman pertama yang ada di muka bumi sehingga kegiatan melukis
mulai dinilai sebagai kegiatan berkesenian.
Zaman Klasik
Di zaman klasik seni lukis banyak dimaksudkan untuk meniru semirip mungkin bentuk-
bentuk yang ada di alam. Hal ini menegaskan bahwa sebagai buntut berkembangnya ilmu
pengetahuan maka orang-orang memiliki kesadaran bahwa seni lukis dapat dijadikan sebuah
komunikasi yang lebih baik dibandingkan kata-kata jika dilihat dari banyak hal. Seni lukis
pada zaman klasik pada zaman ini kemudian dikenal dengan dimaksudkan untuk tujuan-
tujuan tertentu seperti misalnya:
1. Mistisme, tujuan mistisme berkembang sebagai akibat karena pada zaman klasik diketaui
belum memiliki agama.
2. Propaganda, tujuan ini contohnya adalah adanya grafiti di reruntuhan kota pompeii.
Zaman Pertengahan
Pada zaman pertengahan kehidupan religi sudah mulai menjadi dominasi utama dalam
kehidupan manusia, dan sebagai akibat adanya pengaruh agama yang sangat kuat bahka
mungkin terlalu kuat, pada zaman ini seni lukis mengalami penjauhan dari ilmu pengetahuan.
Lukisan pada zaman ini didominasi dengan objek simbol, bukan realisme, dan seni lukispun
semakin tidak sejalan dengan realitas kehidupan manusia. Lukisan pada zaman pertengahan
terkenal digunakan untuk kegiatan propaganda dan religi. Beberapa agama yang melarang
penggambaran hewan dan manusia mendorong perkembangan abstakisme (pemisahan unsur
bentuk yang “benar” dari benda. (baca: unsur-unsur kebudayaan)
Zaman Renaissance
Pada masa setalah kekalahan Turki, yang diawali dari kota Firenze banyak muncul ilmuwan
dan budayawan (termasuk seniman lukis) yang hijrah dari Bizantium menuju daerah
semenanjung Italia sekarang. Keluarga yang menguasai kota Firenze memberikan dukungan
penuh pada ilmu pengetahuan modern sehingga sinergi antara seni lukis dan ilmu
pengetahuan memberikan sebagian besar sumbangan terhadap kebudayaan baru di Eropa.
Seni rupa menemukan jiwa barunya dalam kelahiran kembali seni zaman klasik.
Sains di kota ini tidak lagi dianggap sebuah kepercayaan sihir, tetapi menjadi sebuah alat
untuk merebut kembali kekuasaan Eropa yang diarampas oleh Turki. Pada akhirnya,
pengaruh seni di kota Firenze menyebar ke seluruh Eropa hingga ke Eropa Timur. Dari
zaman ini pula dikenal melahirkan seniman-seniman yang berpengaruh terhadap
perkembangan seni lukis, dan berikut adalah tokoh-tokoh yang dikenal di masa Renaissance
sepeti Tomasssi, Donatello, Leonardo da Vinci, Michaelangelo, dan Rapael.
Masuk ke Indonesia
Sejarah seni lukis di Indonesia dimulai dengan masuknya Penjajahan Belanda, pelukis
Indonesia banyak mengambangkan aliran romantisme sesuai dengan kecenderungan seni
rupa Eropa Barat pada zaman itu. Raden Saleh Syarif Bustaman yang merupakan salah
seorang asisten yang cukup beruntung bisa mempelajari melukis gaya Eropa yang
dipraktikkan langsung oleh pelukis Belanda.
Raden Saleh kemudian melanjutkan belajar melukis ke negri Belanda, sehingga berhasil
menjadi seorang pelukis Indonesia yang disegani dan menjadi pelukis istana di beberapa
negera Eropa. Tapi seni lukis Indonesia tidak melalui perkembangan yang sama seperti
zaman renaisans di Eropa, sehingga perkembangannya pun tidak melalui tahapan yang sama.
Pada masa revolusi di Indonesia membuat banyak pelukis Indonesia beralih dari tema-tema
romantisme menjadi cenderung ke arah “kerakyatan”. Objek yang berhubungan dengan
keindahan alam Indonesia dianggap sebagai tema yang mengkhianati bangsa, sebab dianggap
menjilat kepada kaum kapitalis yang menjadi musuh ideologi komunisme yang populer pada
masa itu. Selain itu, alat lukis seperti cat dan kanvas yang semakin sulit didapat membuat
lukisan Indonesia cenderung ke bentuk-bentuk yang lebih sederhana, sehingga melahirkan
abstraksi.
Kemapanan seni lukis Indonesia yang belum mencapai tataran keberhasilan sudah diporak-
porandakan oleh gagasan modernisme yang membuahkan seni alternatif atau seni
kontemporer, dengan munculnya seni konsep (conceptual art): “Installation Art”, dan
“Performance Art”, yang pernah menjamur di pelosok kampus perguruan tinggi seni sekitar
1993-1996. Kemudian muncul berbagai alternatif semacam “kolaborasi” sebagai mode
1996/1997. Bersama itu pula seni lukis konvensional dengan berbagai gaya menghiasi galeri-
galeri, yang bukan lagi sebagai bentuk apresiasi terhadap masyarakat, tetapi merupakan
bisnis alternatif investasi.
Affandi
Agus Djaya
Bagong Kussudiardja
Barli Sasmitawinata
Basuki Abdullah
Djoko Pekik
Dwi Januartanto
Dullah Suweileh
Ferry Gabriel
Hendra Gunawan
Herry Dim
Jeihan
Kartika Affandi
Mario Blanco
Idris
Otto Djaya
Popo Iskandar
Raden Saleh
Sudjojono
Srihadi
Trubus
Atim Pekok
Darpo.S