Anda di halaman 1dari 17

Accelerat ing t he world's research.

Estetika Seni Rupa Indonesia, Sebuah


Jalan Putar
Stanislaus Yangni

Equator Symposium

Cite this paper Downloaded from Academia.edu 

Get the citation in MLA, APA, or Chicago styles

Related papers Download a PDF Pack of t he best relat ed papers 

krit ik Seni (di) Indonesia


St anislaus Yangni

Seni Rupa Modern & Kont emporer di Indonesia


Wayan Eka

M: Moderat or
Must afa Put ra
Estetika Seni Rupa Indonesia, Sebuah Jalan Putar
Studi Kasus Terhadap Sudjojono, Affandi, dan Nashar

Stanislaus Yangni

Pengantar

Mengamati pergerakan seni rupa Indonesia 1 kini, dengan beragam kemunculan


karya-karya yang “menghebohkan,” atau kontemporer istilah trennya kira-kira di
hampir satu dekade terakhir, ada dua kegelisahan yang menimpa saya, yaitu di
ranah pemikiran (estetika dan kajian) dan di ranah berkesenian (seniman dan
penciptaan). Tanpa adanya saling-kelindan yang sehat di antara keduanya, seni
rupa Indonesia tidak akan pernah ada. Jalinan keduanya merupakan unsur
penting pembentuk apa yang sementara ini saya istilahkan “estetika seni rupa
Indonesia.” 2 Di balik megahnya pameran, beragamnya karya, seni rupa kita
mengalami satu bahaya vital bagi kelangsungan hidupnya: stagnasi.
Untuk menelusuri estetika seni rupa Indonesia, di sini kita akan masuk
melalui sejarah seni lukis (modern) yang sarat polemik. Dalam sejarahnya,
“pembunuhan” atau “duka cita” atas seni lukis Indonesia terjadi di berbagai
zaman, antara lain masa kolonial (1600-1945), penjajahan Jepang (1942-1945),
Orde Lama (1945-1965) hingga Orde Baru (1966-1998). Seni lukis Indonesia
hampir selalu dianggap tidak ada dalam konteks dan maksud yang berbeda.
Mula-mula oleh P. A. J. Moyen 1928, kemudian Hopman (1947), Oesman Effendi
1969 karena melihat lesunya seni lukis Indonesia, 3 lalu GSRB 1975 yang
menyatakan duka cita atas seni lukis Indonesia. Di zaman globalisasi ini, terjadi
kematian yang mutakhir terhadap seni lukis, yaitu oleh teknologi. Relevansinya,
hilangnya ekspresi yang inheren dalam karya seni.
Esai ini akan meneliti kenyataan itu dalam konteks yang lebih khusus,
mungkin sedikit memutar, yaitu melalui seni lukis dan pemikiran di balik seni lukis
dan berkesenian yang diusung Sudjojono, Affandi, dan Nashar. Melalui
“Realisme jiwa ketok” Sudjojono, ekspresionisme plototan cat Affandi, dan “Tiga
Non” Nashar, kita akan melihat embrio estetika seni rupa Indonesia yang lahir

1
Saya menyebutnya “seni rupa Indonesia” meskipun berbeda dengan “seni rupa di
Indonesia.” Dalam konteks tulisan ini, penyebutan bisa bergantian sejauh sesuai dalam
pembahasannya.
2
Mungkin pembaca akan bertanya mengapa harus ada “estetika Indonesia”? Mungkin juga
langsung mengaitkannya dengan problem identitas. Esai ini tidak membahas secara khusus
persoalan identitas, melainkan bertujuan langsung untuk membuktikan bahwa keberadaan
“estetika seni rupa Indonesia” itu bisa menjadi titik pijak kita untuk melakukan otokritik dan
membangkitkan seni rupa Indonesia.
3
Lihat tulisan Sanento Yuliman, “Mencari Indonesia dalam Seni Lukis Indonesia,” Seni Lukis
Indonesia Tidak Ada (DKJ, 2007).
2

dari kesadaran berkesenian seniman pada zamannya. 4 Ini tantangan bagi kita
semua, yaitu bagaimana lewat mereka kita menemukan estetika seni rupa
Indonesia di abad 21 – era yang sudah lama meninggalkan problem “seni lukis
Indonesia tidak ada” itu untuk memberi semacam “ancang-ancang” jawaban,
atau semacam problematisasi lebih jauh atas apa yang Sanento simpulkan
hampir 50 tahun silam, bahwa ada sesuatu yang salah dengan kritik seni lukis di
Indonesia.
Esai ini terbagi menjadi tiga bagian. Pertama, “Polemik” yang memaparkan
beberapa momen di mana seni lukis Indonesia selalu dianggap tidak ada, Kedua,
“Corak,” mengetengahkan perihal corak dan kelahiran lukisan, Ketiga, “Estetika,”
melihat kaitan antara corak, otonomi seni, dan jalan lain yang ditawarkan oleh
seni lukis (modern).

I. Polemik

“Semua orang melihat adanya seni lukis di Indonesia sejak


permulaan abad ini. Tapi banyak orang tidak melihat adanya
Indonesia dalam seni lukis. Itulah sebabnya seni lukis baru di
Indonesia sejak mula adanya senantiasa berhadapan dengan
kritik-kritik yang asing terhadapnya: dari waktu ke waktu seni lukis
Indonesia berhadapan dengan kritik yang menyatakannya tidak
ada. Ada sesuatu yang salah dengan seni lukis kita, Anda dapat
menarik kesimpulan. Barangkali demikian. Yang pasti, saya
menarik kesimpulan: ada sesuatu yang salah dengan kritik seni
lukis di Indonesia.5

Indonesia, 1928, dan dua puluh tahun sebelumnya. Dua tonggak bersejarah dari
benih pergerakan telah timbul di benak kaum muda Indonesia. Boedi Utomo
1908 tercatat merupakan organisasi gerakan intelektual yang pertama, walau
pada masa itu tak bisa dilepaskan dari imbas politik etis (politik balas budi)
“Edukasi” 6 Belanda di Indonesia awal abad 20. Politik Etis “Edukasi” memiliki
tujuan “mendidik,” mengajar. Oleh karena itu mereka membangun sekolah, dan
memberi kesempatan beberapa pemuda Indonesia untuk bersekolah di negeri
Belanda.
Tapi sejarah seni lukis Indonesia mencatatkan dirinya sedikit lebih awal
dari hari Kebangkitan Nasional itu. Peristiwa ini berawal dari pertemuan A. A. J.
Payen (1792-1853), pelukis Belgia yang didatangkan dan ditugaskan untuk
melukis pemandangan alam Pulau Jawa oleh pendiri Kebun Raya dengan Raden
Saleh (1807-1880), bocah keturunan ningrat Semarang yang bakat melukisnya
menarik hatinya. Pada 1929, menjelang berakhirnya Perang Jawa Diponegoro,

4
Ini akan menimbulkan pertanyaan, mengapa seni lukis? Pertanyaan ini akan diuraikan dan
dijawab dalam esai ini.
5
Sanento Yuliman, “Mencari Indonesia Dalam Seni Lukis Indonesia,” dalam Seni Lukis
Indonesia Tidak Ada, (DKJ, 2007) hal. 26
6
Dua lainnya adalah “Irigasi” dan “Migrasi.”
3

Payen memfasilitasi Raden Saleh ke Belanda untuk belajar melukis potret dan
teknik melukis realis yang paling handal di zamannya. Demikianlah Raden Saleh
akhirnya menjadi pelukis “pewaris” naturalis-romantik Eropa yang pertama kali
ada di Indonesia pada waktu itu. Karena kemampuan melukis dengan teknik
Barat yang tergolong sempurna inilah Raden Saleh dijuluki “Bapak Seni Lukis
Indonesia Modern.”
Zaman kolonial di Indonesia diwarnai oleh kedatangan guru gambar,
ilustrator, arsitek, desainer asal negeri-negeri Eropa khususnya Belanda yang
punya keterampilan menggambar. Mereka dipekerjakan di Indonesia, ditugaskan
khususnya untuk membangun dan merencanakan bangunan publik kota,
mendokumentasi alam Indonesia dan isinya lewat gambar, 7 serta membuat
gambar ilustrasi dan sampul untuk buku-buku pelajaran sekolah. 8 Pola
“mencatat” alam lewat gambar ini mau tidak mau mempengaruhi cara pelukis
Indonesia melukis.
Tak hanya teknik menggambar yang diwariskan, melainkan juga isi, tema.
Apa yang digambarkan mula-mula adalah “kepentingan” dokumentasi Belanda
yang dengan mata mereka melihat Indonesia, hingga terinternalisasi dalam
benak pelukis Indonesia. Impian melihat “keindahan alam tropis” itu “menular”
secara tak disadari. Hasil paling tampak berupa lukisan dengan corak yang kita
sebut mooi indie itu, marak di 1925-1935an.
Karena itu, “murid-murid” mereka, baik Mas Pirngadie (1875-1936) yang
pernah diajak berkeliling Indonesia oleh J. E. Jasper untuk membuat gambar
berbagai kain tenun dan benda kerajinan lain, 9 maupun Raden Saleh, yang
kendati beda generasi, akhirnya memiliki tradisi teknis melukis dan hasil lukisan
yang serupa. Bersama dengan seniman seangkatan, meski beda wilayah, anak
Wahidin Sudirohusodo, Abdullah Suriosubroto (1878-1041), yang disekolahkan di
Belanda, dan Wakidi (1889-1979), murid Van Dick di Kweekschool, Bukittinggi,
Sumatera Barat, yang juga mengajar di sana, terbentuklah wajah seni lukis
Indonesia masa kolonial. 10
Dalam melukis, waktu itu, tampak belum tumbuh kesadaran bahwa
lukisan memiliki nilai lain selain dokumentasi. Dengan kata lain, melukis hanya
keterampilan memindahkan apa yang ada di luar ke atas kanvas, sepersis
mungkin. Melukis adalah perihal mengingat, memotret.
Karena itu, mungkin tak heran jika P. A. J. Moojen (baca: Moyen, 1879-
1955), arsitek Gedung Kuntskring dan Masjid Cut Meutia yang pernah
bersekolah di Antwerp itu menyebut masa 1928 yang bertepatan dengan
Sumpah Pemuda adalah muram. Muram bagi apa? Bagi tumbuhnya “seni Jawa

7
Selain oleh A. A. J. Payen, Dokumentasi pemandangan alam indonesia dilakukan antara lain
oleh Van Den Kherkoff (1830-1908), G Van Achterberg, dan J. Leo Eland (1884-1952).
8
Balai Pustaka 1920an mengeluarkan buku-buku pelajaran yang ilustratornya orang Belanda,
ditambah sebagian kecil ilustrator Indonesia.
9
Indonesian Batik Designs, Dover Publications (Cornell University Press, 2006) adalah hasil
dokumentasi dari J. E. Jasper dan Mas Pirngadie.
10
Konon, pada waktu itu juga sebenarnya telah hadir tak hanya juru gambar, ada juga pelukis
asing seperti Max Fleischer, Isaac Israels yang gaya lukisannya berbeda, meski mungkin
mereka tak banyak berhubungan dengan institusi akademis waktu itu.
4

Nasional,” (sebut “Indonesia Nasional”). 11 Sebab ia, yang juga melukis, melihat
lukisan dari Raden Saleh sampai Pirngadie tak jauh berbeda. Teknik masih
sama, hanya kalau Raden Saleh cenderung menggambar obyek, kejadian,
peristiwa, Pirngadie melukis pemandangan alam. Dan teman-teman
“seangkatan”nya, seperti Abdullah Surio Subroto, dan Wakidi, hasil lukisannya
juga serupa dengan lukisan para “ahli gambar” asing yang ditugaskan membuat
dokumentasi tentang alam Indonesia.
Moyen melihat ada yang salah dalam pendidikan seni Indonesia hingga ia
seakan putus asa, tak punya harapan untuk masa depan. Ia mengatakan bahwa
pelukis kalangan Bumiputera telah “salah asuh, salah arah” maka kesenian
mereka jadi terasing dari jawa.
Lalu datanglah Regnault, yang koleksi lukisannya dipamerkan sekitar
1934-1938, hingga pelukis-pelukis Indonesia zaman itu, seperti Oesman Effendi,
Sudjojono, Agus Djaja, dan lainnya mulai mengenal apa yang ada dalam lukisan
selain dokumentasi. Mereka berkenalan dengan lukisan Van Gogh, Renoir,
Cezanne, Degas, Utrillo, Chagall, dan beberapa pelukis Eropa lain. Perlahan
disadarilah bahwa lukisan tak sekadar gambar (yang sering difungsikan juga
sebagai ilustrasi buku) yang selama ini dibuat oleh para arsitek, desainer, juru
gambar, dan sebagainya itu. Di dalam lukisan koleksi Regnault itu, terlihat ada
banyak cara, kemungkinan, dan kebebasan mewujudkan. Lukisan bukan sekadar
rekaman obyek, bukan pula sebatas tema, tapi cara. Dan cara bukan pula
sebatas teknik menggambar seperti yang diajarkan juru gambar Belanda itu.
Demikianlah Sudjojono menyadari ketidakberesan yang ada di dunia seni
lukis kita. Maka melalui PERSAGI nya yang muncul di tengah polemik
kebudayaan rentang 1933-1939,12 ia bicara mengenai kesadaran itu. Kain tenun,
ritual keagamaan, petani membajak sawah, pegunungan, lautan, nelayan,
jembatan, dan lain sebagainya adalah kenyataan yang ada di Indonesia, sekitar
kita. Dan itulah yang digambar para pelukis dokumenter itu. Lalu apa kita pelukis
yang sedang mencari corak ini tidak boleh menggambar itu semua? Boleh, kata
pelukis PERSAGI, asalkan cara menggambarkannya berbeda. Sudjojono
menegaskan bahwa “Bukan tema, tetapi cara.” 13 Cara apa? Cara mewujudkan,
kata Sudjojono, dan ini berbeda dari sekadar teknik (cara) menggambar. Pendek
kata, bukan cara menggambar (teknik), melainkan cara menggambarkan
(melibatkan rasa seniman). Karena itu, katanya “Djadi gambar ini soeatoe boeah
dari pekerdjaan proces djiwa kita dan boekan gambar klise dari optische opname
mata kita sadja.” 14 Bukan hanya mata, kepala, dan teknik menggambar saja,
melainkan melibatkan watak, jiwa, dan rasa. Begitu singkatnya yang hendak

11
Lihat tulisan Sanento, “Mencari Indonesia dalam Seni Lukis Indonesia” (1969) dalam Seni
Lukis Indonesia Tidak Ada (Dewan Kesenian Jakarta, 2007)
12
Masa di mana keindonesiaan ditelaah. Di dunia sastra yang paling mengemuka adalah
perdebatan yang diusung oleh Pujangga Baru 1933, diwarnai perdebatan paling ‘panas’
antara Sutan Takdir Alisyahbana dan Sanusi Pane.
13
Lihat “Menoedjoe Tjorak Seni Loekis Persatoean Indonesia Baroe,” dalam Seni Loekis,
Kesenian dan Seniman (Indonesia Sekarang, 1946), hal. 10.
14
Sudjojono, “Menuju ke Corak Seni Lukis Persatuan Indonesia Baru,” dalam Seni Lukis
Indonesia Tidak Ada, hal. 29
5

ditekankan Sudjojono. Sebab mata, pengetahuan dalam kepala, dan teknik bisa
seragam, tapi watak, jiwa dan rasa berbeda di setiap orang.
Itulah sebabnya saat cucu dari Wahidin, anak dari Abdullah Surio
Subroto, Basoeki Abdullah yang terhitung satu generasi dengan PERSAGI,
muncul masih dengan corak ayahnya yang “mooi indie,” melukis obyek dengan
persis, melukis cerita mitologi seperti gambar ilustrasi buku, dan tubuh
perempuan yang dilukiskannya molek, serta masih menonjolkan kehalusan
teknik, Sudjojono sengit.
Periode polemik kebudayaan di tengah kolonialisme itu berlanjut hingga
masuknya Jepang ke Indonesia, 1942, yang “mengajak” Indonesia membangun
“Asia Timur Raya.” Di zaman yang telah berubah itu, tumbuhlah kesadaran lain,
yaitu seni harus mampu memenuhi fungsi sosial propaganda. Apa yang muncul
pada zaman Jepang, Keimin Bunka Shidoso, POETRA, hingga setelahnya,
Pelukis Rakyat, Lekra, dan berbagai lembaga kerakyatan lain berfokus pada
gerakan kerakyatan. Di masa ini, lukisan yang tidak digarap jelas seperti foto,
atau poster, apalagi abstrak, dianggap tidak bisa dipahami rakyat, dan tidak
berguna. Maka teknik realis-fotografis di periode 1950-1960an menjadi hal yang
harus dikuasai para seniman. Kondisi tersebut dipengaruhi juga oleh tradisi
realisme-sosialis yang memiliki karakter gambar poster yang kuat. Para seniman
Indonesia pada masa itu akrab dengan tradisi realis-sosialis-marxis, dan banyak
dipengaruhi oleh keberadaan para cendekiawan muda rentang 1950-1960an,
antara lain Soekarno, Sjahrir, Hatta, M. Natsir, Tan Malaka, dan sebagainya.
Seni lukis sarat gerakan kebudayaan. Di masa itu seni tak berdiri sendiri. Ia
(harus) “mengabdi” pada sesuatu yang lain: politik, kekuasaan, rakyat. 15
Tapi lagi-lagi Sudjojono menegaskan bahwa lukisan juga tidak sekadar
membuat rakyat paham. Ia percaya bahwa apa yang kita cari demi munculnya
corak Indonesia adalah yang “murtad” dari itu semua. Maka, para pelukis waktu
itu setengah ‘dipaksa’ agar bisa keluar dari perangkap realis-fotografis yang
pesannya jelas untuk propaganda, juga mooi indie dengan teknik yang
memanjakan mata. Sebab hanya dengan itu, menurut Sudjojono, kita bisa
menemukan corak.
Namun setelah PERSAGI muncul pun, seni lukis Indonesia masih
dianggap tidak ada. Salah satu kritik yang keras datang dari J. Hopman: “Jika
saya mengatakan bahwa kita dengan tiba-tiba saja berhadapan dengan seni
lukis Indonesia, sebetulnya perkataan saya itu salah. Seni lukis itu belum ada,
dan untuk sementara waktu ia juga tidak akan ada.” 16 Bagi Hopman, lukisan
kelompok PERSAGI yang ia lihat pada pameran di Gedung Kunstskring pada
1947 itu masih meniru Barat. Dalam tulisannya ia juga mengatakan, “Ada dua hal
pasti: di Indonesia sekarang ada minat pada seni bentuk dan kecakapan.” 17

15
Pada 1960an ideologi kerakyatan menempati posisi dominan, utama, hingga ada penolakan
terhadap seni abstrak. Seni abstrak dituduh Barat, produk imperialisme. Semboyan “politik
adalah panglima” memperkuat seni “masuk” dalam propaganda politik. Lihat Sanento, Kritik
Seni di Indonesia, Skripsi (Institut Teknologi Bandung, 1969.)
16
Lihat “Hari Kemudian Seni Rupa di Indonesia” terjemahan Suradji dari tulisan Hopman di
majalah Uitzicht, Januari 1947 dalam Seni Lukis Indonesia Tidak Ada (Dewan Kesenian
Jakarta, 2007)
17
Idem.
6

Menurut Hopman, lukisan Indonesia baru sampai pada “layak dilihat” belum
sampai pada tingkatan mencari “hakekat pribadi,” hingga belum muncul
kekhasannya.
Sudjojono yang telah mati-matian menggugah kesadaran seniman pada
masa itu akan keberadaan yang personal, yang hakiki dalam lukisan itu tentu
saja marah. Sudjojono tidak menolak teknik Barat, bahkan ia menyadari betapa
pentingnya teknik. Ia juga tidak menolak bahwa lukisan memiliki fungsi sosial.
Namun ia menegaskan juga bahwa kelahiran lukisan butuh lompatan seorang
seniman dari apa yang teknis itu. Maka ia dengan keras menjawab Hopman,
“Kita bangsa Indonesia mengakui, bahwa corak seni lukis di sini bercorak Barat
sekarang. Tetapi untuk dikatakan bahwa ini bukan seni lukis Indonesia, ini tidak
benar.”18
Pada masa selanjutnya, visi “pencarian corak” PERSAGI ini seakan
“dihentikan” dan “digantikan” oleh generasi kampus ASRI yang pada 1974.
Mereka membuat peryataan Desember Hitam dengan menyematkan tulisan
pada karangan bunga sebagai bentuk duka cita atas seni lukis Indonesia.
Gerakan Seni Rupa Baru (GSRB) adalah nama yang mereka gunakan untuk
membawa argumen “Kematian seni lukis Indonesia” itu.
Seni “baru” jenis apa yang dicita-citakan kaum muda yang tergabung
dalam GSRB itu? Seni yang “Menolak lirisisme, kedalaman (deepness),
ketunggalan, penciptaan yang dilakukan oleh tangan seniman,” kata FX.
Harsono, corong bicara GSRB waktu itu. 19 Karena itu, “keunikan dari jiwa
seniman yang terpancar tidak lagi dianggap sebagai sesuatu yang penting,”
lanjutnya. Mereka menyebut jenis seni yang “dianut” GSRB adalah eksperimen.
Karena itu, muncul berbagai karya kolaborasi, performance art, seni aktivisme,
protes sosial, dan sebagainya yang mengutamakan pesan dengan berbagai
simbol.
Tak hanya itu, GSRB juga menegaskan perbedaan angkatannya dengan
angkatan sebelumnya. Ia menganggap angkatan sebelumnya penganut
modernisme, yang di dalamnya terdapat pencarian identitas keindonesiaan yang
“... menghadirkan gaya dekoratif yang direpresentasikan dengan dipakainya
unsur-unsur ornamen, relief candi, topeng-topeng, kesenian tradisional, dan
semua yang dianggap benda tradisi.” 20 Kalau Sudjojono mendengar ini, tepat jika
ia sinis, sebab ternyata GSRB salah kaprah memahami pernyataannya beberapa
tahun silam persis mengenai pencarian corak.21 Perihal ini, Basoeki Resobowo
menandaskan, “Keindonesiaan itu tidak usah ditujukan atau didasarkan kepada

18
Sudjojono, “Kami Tahu Kemana Seni Lukis Indonesia Akan Kami Bawa,” dalam Seni Lukis
Indonesia Tidak Ada (Dewan Kesenian Jakarta, 2007).
19
FX. Harsono, “Desember Hitam, GSRB, dan Konmtemporer,” dalam
gerakgeraksenirupa.wordpress.com (10 Nov 2014)
20
Idem.
21
“Saudara mungkin tertarik dan pergi mempelajari barang-barang di Museum Jakarta. Tetapi
ingatlah Saudara, bahwa Saudara itu tak akan berhasil banyak mempelajari kesenian
museum itu, sebab jiwa kesenian di situ sudah berbau kemenyan, beroncom, terbenam di
jaman Majapahit, Mataram, Sriwijaya, dan kebesaran Indragiri. Dia tak hidup lagi.” (dalam
Menuju ke “Corak Seni Lukis Persatuan Indonesia Baru”).
7

yang lama (tinggalan-tinggalan semacam arca-arca, golek, atau wayang beber,


dan lain-lain).22
GSRB yang anggotanya kaum muda kampus ASRI itu ingin bertindak
lain. Bagi mereka, seni harus bisa melawan kekuasaan Orde Baru yang tumbuh
sejak 1966. Selain menolak “tangan seniman,” mereka juga menolak seni yang
dikatakannya “memuat jiwa seniman.” Bagi mereka, seni adalah sebuah
aktivisme subversif ketimbang ekspresi pribadi. Seni sarat eksperimen tapi tidak
personal. Pendek kata, seni harus tidak personal jika ia ingin punya fungsi luas.
Kematian seni lukis pada 1974 ini bisa berarti kematian ekspresi dalam bentuk
yang dimaksud GSRB: jiwa, kedalaman, dan tangan seniman.
Di balik yang subversif dan sarat kepentingan, seni modern memuat
aspek “otonomi” yang ditolak oleh GSRB. Namun, seni diam-diam mengelak dari
“keharusan” menjadi “budak” kepentingan. Sebab ia (seni) punya apa yang
Sanento sebut “otonomi,” “Seni lukis mempunyai distansi dari aktualitas:
otonomi.”23 Otonomi sudah demikian adanya, semacam keniscayaan yang
melekat dalam seni (modern). Perihal otonomi ini kerap disalahpahami, baik
dalam rangka “modernisme” maupun dalam konteks polemik kebudayaan ketika
terjadi benturan antara “seni untuk seni” dan “seni untuk rakyat.” Pandangan
mengenai otonomi dan seni, dan klaim “ideologi modernisme” yang ditujukan
GSRB pada PERSAGI itu, kendati mungkin belum sempat ditulis Sanento,
ternyata telah menambah daftar panjang dari kesimpulan yang Sanento tarik
empat puluh lima tahun silam itu.

II. Corak

“Carilah tjorak mewoedjoedkan kita itoe agar bisa tjorak


Indonesia itoe terlihat. Pakailah tjara saudara sendiri-sendiri
oentoek mendapat nasionalisme seni loekis kita itoe.”
(Sudjojono)24

Setelah uraian pandangan-pandangan seputar “kematian” seni lukis di atas, kita


akan masuk lebih jauh menelusuri estetika seni rupa Indonesia. Di sini kita akan

22
Lihat Sanento, “Mencari Indonesia dalam Seni Lukis Indonesia,” dalam Seni Lukis
Indonesia Tidak Ada, hal. 23.
23
Bagi Sanento, seni punya nilai lain, nilai artisik yang tidak bisa disamakan dengan nilai
politik, moral, dan sebagainya. Lihat Skripsi Sanento hal. 134.

“Otonomi senilukis berarti djuga bahwa senilukis, sebagai suatu bidang


kegiatan atau pengalaman yang chas, memiliki kategori-kategori dan
penilaian sendiri dan bukan merupakan bidang jang adanja ditetapkan
atau beralasan pada perannja sebagai alat dari bidang kegiatan lain.
Meskipun, umpamanja, senilukis berpengaruh pada perbaikan moral
atau pada kesejahteraan masjarakat, namun kategori-kategori dan nilai-
nilai moral atau politik bukanlah kategori2 dan nilai2 artistik dan tak
dapat menggantikannja.”
24
Sudjojono, “Menoedjoe Tjorak Seni Loekis Persatoean Indonesia Baroe,” dalam Seni
Loekis, Kesenian, dan Seniman (Indonesia Sekarang, 1946).
8

menelusuri perihal corak yang berkaitan langsung dengan otonomi seni (modern)
yang problematis tapi tak terelakkan.
Sedikit menyinggung awalnya, sejarah seni lukis kita dimulai dari gambar
(teknis). Entah itu untuk kepentingan dokumentasi, ritual, pesan propaganda, dan
sebagainya. Karena gambar harus memuat pesan, dan dipahami oleh orang lain,
maka perwujudannya juga seragam: ada kaidahnya. Perihal ekspresi personal,
“sapuan kuas” itu baru pada masa Sudjojono disadari, benar-benar digali,
ditekankan demi penemuan “corak.” Maka sanggar, sebagai bentukan awal dari
pendidikan seni lukis era PERSAGI, melatih anggotanya untuk melukis di luar
tanpa teori dulu sebelumnya. Lukisan adalah ekspresi. Dan dalam ekspresinya
itu, seorang seniman telah memuat kehidupan masyarakatnya. Itulah pentingnya
berinteraksi dengan kondisi sosial-budaya masyarakatnya. Atas dasar ini, salah
satu alasannya, konon, sketsa lahir. Pendek kata, dalam sanggar, “gambar” yang
teknis itu berusaha “dilampaui,” diganti dengan “sketsa” yang lebih menekankan
spontanitas.25
Affandi (1907-1990), Sudjojono (1913-1985), dan Nashar (1928-1994)
hidup dan berkarya dalam satu masa yang sama. Karena karya dan
pemikirannya, mereka bisa dikatakan tiga pelopor pembentuk wajah “seni lukis
Indonesia baru” yang lahir dari tradisi sanggar.
Affandi dan Nashar adalah dua seniman yang “berkebalikan” di mata
Sudjojono. Sementara ia kagum dengan Affandi, saat melihat pertama kali
lukisan cat airnya, sebaliknya Nashar. Ia dikatakan Sudjojono sebagai “tidak
berbakat.”
Corak, atau stijl, kata Sudjojono, tidak bisa dilepaskan dari nasionalisme
diri masing-masing pelukis. Ia memuat “rasa hidup, filsafat, perasaan warna, ...” 26
dan sebagainya yang mempengaruhi eksekusi (cara mewujudkan) lukisan.
Lukisan lahir saat corak lahir. Dan corak tak bisa dilepaskan dari lingkungan
tempat seniman itu tumbuh dan berkembang. Karena itu, Sudjojono mengatakan
“Carilah tjorak mewoedjoedkan kita itoe agar bisa tjorak Indonesia itoe terlihat.
Pakailah tjara saudara sendiri-sendiri oentoek mendapat nasionalisme seni loekis
kita itoe.” Lalu bagaimana caranya?

“Dari itoe lebih baik kita peladjari hidoep ra’jat djelata di


kampoeng2, desa2 dan djoega gambar-gambaran berwarna
anak-anak kita dari kelas 1 sampai kelas 5 sekolah rendah atau
sekolah Schakel, jang masih toelen rasa warna dan tjoraknya dan
beloem diroesak oleh peladjaran goeroe-goeroe menggambar
jang berasa warna Barat.”27

25
Bukankah selama ini (saat zaman kolonial) juga mereka “menyeket” alam, menggambar
apa yang ada di sekitar? Sketsa dalam tradisi sanggar PERSAGI (meskipun “Ahli gambar”)
berbeda. Tak hanya gambar bentuk dengan ketepatan anatomis, volume, perspektif,
melainkan juga ekspresi yang memperhitungkan tarikan garis, spontanitas. Yang dihadirkan
bukan lagi harus tepat, tapi bagaimana relasi antara mata, tangan, dan kepala.
26
“Menuju ke Corak Seni Lukis Persatuan Indonesia Baru,” dalam Seni Lukis Indonesia Tidak
Ada, hal. 29
27
Sudjojono, “Menoedjoe Tjorak Seni Loekis Persatoean Indonesia Baroe,” dalam Seni
Loekis, Kesenian, dan Seniman (Indonesia Sekarang, 1946).
9

Kemudian Sudjojono menegaskan juga, “Di merekalah terletak kesenian jang


merdeka, segar, dan hidoep. Tengoklah kesoekaaan warna mereka, kesoekaan
tjorak pakaian mereka, kesoekaan lagoe dan rasa sajoer mereka.”28 Dalam
pencarian corak itu Sudjojono juga menekankan nasionalisme. Nasionalisme
dalam konteks ini menjadi semacam keniscayaan yang ada pada seniman yang
sedang mencari corak, dan menemukan coraknya.
Karena itu, saat melihat lukisan cat air Affandi untuk pertama kalinya,
yang Affandi katakan hanya “membesarkan foto” saja, seraya memuji “Bagus
sekali,” Sudjojono berkata pada dirinya sendiri bahwa itu sudah lukisan. 29
Mengapa? Sebab di sana Sudjojono melihat adanya “corak.” Di sana ada “jejak
tangan.” Jika Affandi “menyalin” atau “mengkopi” foto, tentu hasilnya mirip, tapi ia
dengan cat airnya mampu tidak sekadar memindah gambar. Ada “kecelakaan”
lain dengan media cat air, kertas, dan tangan Affandi sendiri yang membuat itu
menjadi “lukisan.” Penemuan corak berarti juga mengatasi apa yang diistilahkan
Deleuze sebagai “representasi” (gambaran mapan yang sudah ada, foto dalam
konteks Affandi di atas).
Kalau Affandi mengatasi “gambar” (representasi) dengan eksekusi visual
langsung di atas kertas lukis, Nashar berbeda lagi. Di “Surat Kelima” kumpulan
Surat-Surat Malamnya, Nashar menceritakan bagaimana ia mengamati lagi dua
lukisan yang menurutnya tidak jalan dalam hal imajinasi dan fantasi. Nashar
mencari sebabnya. Ia menelusuri ingatannya saat melukis itu, obyek yang ingin
ia lukis – di sebuah kampung yang pernah ia tingali dalam waktu lama, berharap
ia dapat merasa mengalaminya lagi. Tapi ia tiba-tiba sadar, jika ia mengingat-
ingat, lalu bagaimana keadaannya saat itu saat melukis? Bukankah akhirnya ia
hanya “terperangkap” oleh pikirannya saja? Akibatnya, perhatiannya juga terbagi,
antara di kampung itu dan di atas kertas lukis yang sedang dihadapinya. Nashar
menemukan:

“Akhirnya jalan yang kutempuh, ialah setelah ada beberapa garis


tentang obyeknya, maka tentang kampung itu aku tinggalkan
sama sekali. Aku hanya memperhatikan kemungkinan-
kemungkinan yang ada di atas kertas lukis itu saja. Hasilnya, aku
merasa lancar dalam melukis. Cara yang sama, ialah aku
mengambil beberapa garis dari sebuah sketsaku, kemudian
sketsa itu aku lupakan. Aku kembali menghadapi kertas lukis lagi.
Apakah cara begini dapat dipertahankan untuk hariku
mendatang, aku tidak tahu. Sebenarnya aku ingin tahu juga
bagaimana kemungkinan-kemungkinannya nanti.”30

Penyatuan dengan kertas lukis dan alat lukislah yang membebaskan


Nashar dari bayangannya tentang kampung dan obyek kampung itu. Ia berusaha

28
Idem.
29
Lihat S. Sudjojono, “Tentang Affandi,” dalam Affandi 70 Tahun (DKJ, 1978), hal. 20. Di sana
ia menulis, “Memang betul lukisan itu hanya pembesaran sebuah foto biasa, tapi gambar itu
sudah lukisan.” Sudjojono telah menunjukkan bedanya antara “lukisan” dan “gambar.”
30
“Surat Kelima,” dalam Surat-Surat Malam, hal. 15-16
10

“mengatasi” “gambar-gambar siap pakai” kampung yang telah mapan di


kepalanya. Beberapa garis “mengenai” kampung itu hanya sebagai pemantik
yang harus dilepaskannya saat ia mulai melukis. Nashar sadar bahwa melukis
bukan memindahkan gambaran kepala ke atas bidang lukis, melainkan situasi
jiwanya saat itulah yang harus dimunculkannya. Mungkin, lapisan warna-warna,
dan kontur yang saling kelindan di lukisannya itulah hasil dari “penyatuan”nya.
Dalam konteks penciptaan lukisan, corak menjadi kemungkinan-
kemungkinan yang kerapkali tak terduga. Sebab itu Nashar pun menanti
berbagai kemungkinan yang akan muncul. “Kemungkinan” demikian ini juga
mendebarkan bagi setiap pelukis yang masih setia dengan “tangan”nya. Perihal
kemungkinan yang tak terduga ini bisa dilihat paling jelas pada lukisan Affandi
yang “sarat” kecelakaan. Dibandingkan dengan Sudjojono dan Nashar, Affandi
yang paling spontan dalam melukis. Seluruh lukisannya bisa dikatakan
“persoalan yang nyaris selesai-tidak jadi selesai-hancur-nyaris selesai-tidak jadi
selesai,” dan seterusnya. Garis-garis dari plototan catnya yang langsung dari
tube terus menerus saling timpa, saling kelindan, saling menghancurkan-
menebus-menghancurkan-menebus ... Sampai ritme lahir dari yang khaos itu,
tanpa Affandi pun berpretensi membentuknya, lukisan begitu saja selesai karena
tenaga Affandi juga sudah habis. Demikianlah lukisan muncul, membawa seluruh
kemungkinan yang dihadapi Affandi dengan sangat cepat di atas kanvas.
Dibanding lukisan Affandi yang penuh “perang,” tegangan, dan energi,
lukisan Nashar tampak diam, membatu. “Figur”nya muncul sebagai hasil dari
lapisan warna yang ia hadapi di atas kanvas, penimpaan warna cat akrilik yang
sebagiannya dibiarkan transparan, dan sapuan kuas yang “seret” seperti
meninggalkan bekas oil pastel (krayon). Figur itu berupa bidang yang saling
timpa, hasil dari Nashar yang menginginkan ritme ada dalam lukisannya. Sejak
1975, ia belajar, dan memutuskan untuk mengolah ritme ini lebih khusus. Nashar
pelan-pelan meninggalkan “benda bergerak” yang selalu ingin ia lukis, dan
bergeser untuk “melukis gerak.”
Pilihan itu lebih tampak saat ia bertemu Putu Wijaya. “Kolaborasi” antara
keduanya melahirkan karya bagi masing-masing. Putu menghasilkan “Nol,”
“Entah,” dan “Lho,” sedangkan Nashar dengan bentuk yang nonfiguratif,
nondefinitif, dan nonnaratif. Dari sana Nashar seakan memiliki kredo bahwa
kebebasan, pada saatnya, akan membatasi dirinya sendiri. 31 Begitulah kelahiran
ritme dalam lukisan Nashar, juga Affandi: terjadi dengan sendirinya. Setelah
“pergumulan” yang mengatasi teknis, yang estetik itu muncul dalam bentuk yang
tak naratif. Ia jauh dari “Forma Ideal” yang kita bayangkan, bahkan cenderung
luput.
Apa hubungan corak dengan ritme? Corak bisa dikatakan sebentuk ritme,
semacam keniscayaan painting yang lahir dari perpaduan antara optikal mata
dengan tangan dan berelasi dengan jiwa. Ini kesadaran yang bisa dibilang baru
dalam tradisi melukis seniman Indonesia setelah sebelumnya melukis diyakini

31
Lihat “Melukis Gerak Alam,” dalam Dari Khaos ke Khaosmos, Estetika Seni Rupa (Erupsi,
2012).
11

adalah menggambar dan hasilnya harus “indah,” atau memuat pesan yang dapat
dipahami khalayak.
Penghayatan Nashar atas ritme, terhadap irama kehidupan yang selalu ia
renungkan menghasilkan “Tiga Non:” Non konsep, non estetik, dan non teknis.
Nashar bukannya tidak percaya pada konsep, teknik, dan yang estetik, dan
mungkin juga ia “dituduh” tidak mampu mencapai ketiganya – tapi lebih dari
anggapan itu, yang terpenting adalah bahwa ketiganya itu telah menjadi tolok
ukur dalam seni rupa, dan berpotensi “menghambat” seniman dalam berkarya.
Sebab itu, bagi Nashar, ketiganya itu harus diatasi dengan cara menyatukan diri
dengan lingkungannya.
Corak juga bukan pola mapan yang menjadi panduan, atau ciri khas.
Meskipun lukisan Affandi punya “corak” yang dikenali, tapi pada setiap kanvas,
problem yang dihadapi berbeda, dan sering terjadi varian corak yang tak
sepenuhnya bisa didefinisikan. Perihal “varian corak” 32 ini bisa dilihat lebih
banyak pada Sudjojono. Ada realisme-fotografis, misalnya Mengungsi (1957),
Gedung Volksraad (1978) ada juga yang realisme-ekspresif, misalnya, Cap Go
Meh (1939/40), Kawan-Kawan Revolusi (1947), Perusing a Poster (1956). Ada
pula yang ekspresionis-abstrak dengan tidak meninggalkan bentuk, misalnya
Petani (1979), Pengemudi Becak (1981), realisme-yang ekspresif dengan
muatan surealis, antara lain Rontok (1978), realisme-ekspresif-bermuatan
abstrak, Ramai-Ramai Masuk Surga (1985), Parodi (1974), dan sebagainya yang
semuanya adalah varian dari “realisme jiwa ketok”nya. 33
Corak bagi Sudjojono juga merupakan sebuah nasionalitet. Perushing a
Poster (1956), sebuah “potret” rakyat jelata Indonesia yang beramai-ramai
melihat ‘pengumuman’ di ruang publik, mungkin trotoar, atau pojokan jalan.
Manusia-manusia itu digarap dengan teknik realis, tampak sangat dekat dengan
sekitar kita. ada peristiwa di sana, kita tidak tahu pasti apa, namun yang pasti,
rakyat sedang ada bersama di tempat umum, seperti menanti dan ingin tahu
sesuatu. Yang tidak biasa adalah latar belakangnya, juga beberapa bagian tubuh
figur juga “sekenanya” tampak tak perlu diselesaikan. Lukisan Saya dan Tiga
Venus (1974) kalau diamati lebih jauh, merupakan semacam “manifesto politik”
Sudjojono dalam berkesenian. Itulah momen saat “panas” nya GSRB dan seni
kontemporer yang mereka ramaikan. Dalam lukisan-lukisannya, tampak metode
“Turba,” alias “Turun ke Bawah” yang menjadi metode Lekra, banyak dilakukan
oleh seniman PERSAGI dan ex PERSAGI masa itu.

“Zonder melepaskan tjinta pada manoesia lain di doenia


internasional kita boleh mengatakan diri kita seorang
internasionalis, sesoedah kita bisa mendjadi seorang nasionalis
jang bagoes. Bagaimana seorang seniman hendak
menggambarkan kesoesahan doenia besar, kalau rasa dia ta’
sanggoep mengerti dan ta’ berani menggambarkan kedjelekan

32
Perihal ini lebih detail bisa dilihat dalam “Realisme Jiwa Ketok sebagai Strategi
Representasi dalam Seni Lukis Indonesia Baru,” dalam Dari Khaos ke Khaosmos, Estetika
Seni Rupa (Erupsi, 2012).
33
“Realisme jiwa ketok” itu lebih menjadi semacam ideologi berkesenian, yang berkaitan erat
dengan cara mewujudkan, bukan corak lukisan, gaya, atau aliran.
12

keadaan nenek-nenek, iboe-iboe, bapak-bapak, anak-anak,


paktjik-paktjik, teman-teman, adik-adik, dan bangsanja di doenia
ketjil ini, jang orang seboetkan Indonesia?”34

“Pergi ke Realisme” yang diteriakkan Sudjojono pada 1949 itu seakan


merupakan titik mulai lagi dalam berkesenian. Ia menyadarkan seniman
Indonesia bahwa realismelah yang cocok dengan masyarakat kita zaman itu.
“Realisme bukanlah kepunyaan Barat saja, realisme adalah kepunyaan kita
bersama, kepunyaan tiap-tiap manusia,”35 kata Sudjojono. Realisme yang seperti
apa dan bagaimana, itu yang perlu dicari.
Pengemis yang dilukis Affandi bukan semata obyek yang dilukis dengan
teknik realis untuk menghadirkan belas kasihan orang, atau membuat pengemis
menjadi “simbol” atau ikon dari penderitaan. Corak bukan ikon, simbol, atau
representasi dari sesuatu. Affandi melukiskan pengemis yang telah menjadi-
Affandi, bukan pengemis sebagai obyek diam. Karena itu, ingat kata Sudjojono
yang ditegaskan juga oleh Basuki Resobowo bahwa memang “tidak banyak
gunanya menggunakan barang-barang museu, wayang beber, atau apapun yang
ada di museum.”
Lebih dari sekadar tema, narasi, obyek, corak juga tidak sekadar nama
aliran, gaya, melainkan memuat “logic of painting” itu sendiri. Logika
ekspresionisme plototan cat Affandi berbeda dengan logika ekspresionisme
Munch, Kokoschka, Van Gogh, dan sebagainya. “Logika” ekspresionisme Affandi
memuat tarikan, tekanan tangan pada tube cat, jangkauan tangan, cara Affandi
menyapukan minyak pada kanvas, dan sebagainya – hal-hal yang dikatakan
Sudjojojo sebagai “bekas tangan.” Logika ekspresionisme Affandi memuat udara,
bau, warna, dan situasi sekelilingnya. Begitu pula “corak” Van Gogh, sapuan
kuas dan tekstur, gerakan patah-patah kuasnya, dan campuran warnanya
berbeda juga dengan Sudjojono yang menyapu kuasnya lebar-lebar dengan arah
yang seringkali berlawanan. Demikian juga realisme Sudjojono berbeda dengan
Coubert, Dullah, Trubus, dan sebagainya. Abstrak Nashar juga berbeda dengan
abstrak Mondrian, Avrey, atau ... walau memiliki kesaamaan bentukan (luar).
Melalui “corak,” painting “diselamatkan.” Ia dilahirkan kembali dari
berbagai bahaya “gambar-gambar siap-pakai” (representasi). Keberadaan
“corak” ini membuka jalan bagi kita untuk menelaah lukisan tidak linear (urutan
tahun terciptanya), melainkan lewat corak, “logika”nya.
Maka, corak atau stijl menjadi fokus penting dalam perkembangan seni
lukis Indonesia, baik dari segi karya maupun dari kritiknya. Bagi penemuan seni
lukis Indonesia, corak ini menjadi hal vital sebab ia meleburkan antara yang
personal-subyektif dengan yang obyektif. Apa kaitannya corak tersebut dengan
otonomi? Mengapa seni harus otonom? Bagaimana seni – dalam otonominya,
terhubung dengan masyarakat? Apakah seni harus memuat pesan untuk bisa
terhubung dengan masyarakat? Seni hanya dapat terhubung dengan masyarakat

34
Sudjojono, “Seorang Seniman dengan Sendirinja Haroes Seorang Nasionalis,” dalam Seni
Loekis, Kesenian, dan Seniman (Indonesia Sekarang, 1946)
35
Lihat Sudjojono, “Kami Tahu Kemana Seni Lukis Indonesia Akan Kami Bawa,” dalam Seni
Lukis Indonesia Tidak Ada (DKJ, 2007), hal. 38.
13

jika ia punya otonomi, dan otonomi berarti ia punya “corak.” Asumsi itulah yang
akan dijabarkan di bawah ini.

III. Estetika, Penutup

“Modern painting is an atheistic game.” (Francis Bacon)


“When art is no more than art, it vanishes.” (Rancière)36

Dalam sejarah (masa) modern, ada kekhawatiran bahwa seni lukis tidak lagi
terhubung dengan realitas masyarakatnya. Seni lukis ditempatkan sebagai
sesuatu yang punya bahasa sendiri, analog, dan berbeda dari bahasa gambar,
representasi, ilustrasi. Otonom. Di satu sisi, kesadaran akan posisi seni demikian
ini penting karena kesadaran bahwa seni memiliki “nilai artistiknya sendiri itu
“menyelamatkan,” “membebaskan” seni dari bahasa representasi. Seni “otonom”
dalam arti dia memiliki “raison d’etre” istilah yang digunakan dalam skripsi
Sanento (1968), semacam “logika sensasi,” istilah Deleuzian.
Di sisi lain, seni yang notabene “berbahasa analog” daripada “digital” 37 itu
seringkali membuatnya menjadi “barang asing.” Mengenai ini, Sudjojono dengan
lantangnya telah menjawab, dan Affandi lewat karyanya juga telah membuktikan
bahwa dengan “corak” yang seakan lukisan menjadi “barang asing” itulah lukisan
mampu mengatasi kehidupan, dan pada saat yang bersamaan ia memuat
kehidupan, sebab walau bagaimanapun, lukisan lahir dari kehidupan itu sendiri,
terkait dengan kehidupan.
Lukisan modern itu ibarat permainan yang “atheis,” kata Bacon. Ya,
lukisan (modern) bukan lagi sebagai “alat bantu” dari agama (Bacon mengatakan
ini dalam konteks seni Barat Modern). 38 Otonomi dalam seni bisa dibilang
niscaya sebab ia memuat pengalaman. Dalam keniscayaan otonominya itu, seni
memuat apa yang bukan seni. Ia harus mengatasi “kategori seni” itu sendiri untuk
jadi seni. Seperti juga lukisan yang harus mengatasi segala “kaidah lukisan” itu
untuk jadi lukisan. Inilah yang diperjuangkan (dan diperlihatkan) oleh antara lain
Sudjojono, Affandi dan Nashar, yaitu bagaimana mereka menghidupi

36
Jacques Rancière, “The Aesthetics Revolution and it Outcomes” dalam Dissensus On
Politics and Aesthetics (Continuum, 2010), hal. 123.
37
Lihat Logic of Sensation, hal. 117.
38
Lihat Logic of Sensation, hal. 8
14

kehidupannya (bukan dalam arti materi, tapi sosial, politik, budaya) lewat
melukis, dan lukisan.
Di bagian “Polemik” sudah disinggung mengenai Sudjojono yang percaya
bahwa untuk mencari corak, dibutuhkan “murtad”nya lukisan 39 dari setidaknya
dua hal, pertama, dokumentasi yang digarap dengan kompetensi teknik, kedua,
propaganda yang harus memuat pesan politik. Lalu di mana politik, agama,
budaya, dan sebagainya itu? Ia termuat dalam “corak.” Karena lukisan “memuat”
berbagai aspek itulah, maka ia tidak sekadar “gambar bercerita.” “In order for art
to be art, it must be more than art, that is, carry this promise of impacting life.”40
Dengan kata lain, dia (seni) harus “murtad” karena dia melihat dan membentuk
kenyataan itu dengan cara yang berbeda. Ia harus mengatasi hidup untuk bisa
menyuguhkan (kembali) hidup. Dan corak adalah bentuk dari “penyuguhan” itu –
sebagai bentuk dari pengatasan, dan dengan cara (mewujudkannya) yang unik.
Sketsa, yang menjadi tradisi sanggar saat para pelukis memulai belajar,
bisa menjadi salah satu contohnya. Dalam sketsa, yang dilihat bukan isinya,
melainkan garis dan spontanitasnya. Karena itu, yang muncul bukan lagi “Pasar
Burung Ngasem di Yogyakarta,” atau “Pantai Parangtritis,” “Pelabuhan
Semarang,” dsb, melainkan suasana pasar, keriuhan, gerak gerik orang, postur
tubuh, dan sebagainya, yang selain sebagai “studi” tapi juga “riset” ekspresi
personal, dan melatih kemampuan menangkap atmosfer – gerak masyarakat di
sana. Itu yang dilakukan misalnya oleh Affandi, Lim Keng, dan sebagainya.
Dalam sketsa, kebalikan dengan drawing (teknis), muncul garis yang tidak
“patuh” pada bentuk. Tapi garis itulah (kontur) yang justru tampak
“menghidupkan” bentuk.
Garis kontur itu merupakan salah satu bentuk dari otonomi seni,
mengelak untuk diseragamkan. Pada kontur termuat “penseel vooering” (istilah
Sudjojono).41 Lukisan Affandi berisi “tumpukan” dan jalinan garis kontur, yang
kadang memisah, mengikat. Lewat kontur pula ritme lukisan Affandi lahir. Dalam
konteks inilah otonomi ditempatkan, yaitu sebagai “corak,” logic of painting yang
memuat eksperimentasi “mencari corak” dan dalam pencariannya, seorang
seniman terhubung dengan masyarakatnya.
Karena itu, lukisan, dalam bentuknya yang paling embrionik, sketsa,
tampak otonom, tampak lepas dari kenyataan, berjarak, namun sebenarnya sarat
memuat kenyataan itu. Ia tidak mirip, namun nyata. Dan untuk jadi “nyata” itulah
ia tampak berjarak pada kenyataan, lalu mengatasinya. Jika gagal, ia hanya
“menyalin” kenyataan itu.
Maka, alih-alih bicara mengenai keindahan, estetika di sini lebih spesifik
ditempatkan dalam pencarian corak, sebuah “act of painting” yang sarat
kemungkinan dan mendebarkan. Itulah sebabnya mengapa lukisan menjadi

39
Bdk. Francis Bacon dalam Deleuze, Logic of Sensation (hal. 8). Setidaknya ada dua hal
yang membuat hubungan lukisan modern itu berbeda. Di masa kini, ia tak lagi memenuhi
fungsinya sebagai “dokumentasi” karena teknologi fotografi jauh lebih kompeten untuk
kebutuhan ini. Kedua, kepetingan religius yang dulu dimuat oleh painting, kini tidak ada
(dalam seni lukis Barat). Dalam konteks itu, maka Bacon mengatakan bahwa lukisan modern
adalah sejenis permainan yang atheis.
40
Joseph. J. Tanke. 2011. Jacques Ranciere: An Introduction. London: Continuum, hal. 84.
41
Berbeda dari garis outline yang dapat dipelajari dan sifatnya teknis.
15

“haptik,” bukan lagi optik (digital), bukan lagi sekadar gerakan tangan (taktikal).
Tapi keduanya telah melebur, dan menjadi yang lain.
Dalam coraklah termuat “distansiasi” dari realitas (otonom). Melalui
distansiasinya ini, seni lukis (modern) Indonesia telah membuka jalan lain bagi
kita, yang tidak jauh-jauh dari realitas: pertama, penemuan kembali lukisan
melalui “corak,” dan pada saat yang bersamaan, nasionalisme Indonesia. Kedua,
ia mengajak kita meninggalkan paradigma representasi, tidak hanya dalam ranah
berkesenian (karya), juga ranah pemikiran (kajian, kritik seni). Sebab melalui
peristiwa “pencarian corak,” perjalanan seni lukis (modern) Indonesia sendiri
telah membuktikan bahwa ada sejarah yang perlu “diralat.” Mungkin juga ini
“jawaban” dari kegelisahan Sanento mengenai kritik yang salah itu: bahwa seni
lukis Indonesia selalu dianggap tidak ada karena ia dinilai melalui paradigma
yang tak cocok, yaitu representasi.

Daftar Pustaka

Deleuze, Gilles. 2003. Francis Bacon: The Logic of Sensation (Trans. Daniel W.
Smith). London: Continuum.
Dermawan T., Agus. 2009. Elegi Artistik: Tentang Nashar dan Lukisan-
Lukisannya. Jakarta: Asosiasi Pecinta Seni Indonesia.
Hafiz & Ugeng T. Moetidjo (ed.) 2007. Seni Lukis Indonesia Tidak Ada. Jakarta:
Dewan Kesenian Jakarta
Harsono, FX. 2009. Seni Rupa, Perubahan, Politik. Magelang: Langgeng
Iskandar, Popo. 1977. Affandi: Suatu Jalan Baru dalam Ekspresionisme. Jakarta:
Akademi Jakarta
Majalah TEMPO Edisi 30 September “Lekra dan Geger 1965.”
Nashar. 1976. Surat-Surat Malam. Jakarta: Budaya Jaya
Nïcolaides, Kimon. 1969. The Natural Way to Draw: A Working Plan for Art
Study. USA: Houghton Mifflin Company.
Paterson, Mark. 2007. The Sense of Touch, Haptics, Affects and Technologies
Bloomsbury Academic.
Rancière Jacques. 2010. Dissensus On Politics and Aesthetics. (Trans. Steven
Corcoran). London: Continuum.
Rosidi, Ajip, Zaini, Sudarmadji (ed.). 1978. Affandi 70 Tahun. Jakarta: Dewan
Kesenian Jakarta
Sudjojono. 1946. Seni Loekis, Kesenian dan Seniman. Jakarta: Indonesia
Sekarang
Tanke, Joseph. J. 2011. Jacques Rancière: An Introduction. London: Continuum.
Yangni, Stanislaus. 2012. Dari Khaos ke Khaosmos: Estetika Seni Rupa.
Yogyakarta: Erupsi
16

Yuliman, Sanento. 1968. Beberapa Masalah Dalam Kritik Senilukis di Indonesia.


(Skripsi tidak diterbitkan), Institut Teknologi Bandung.

Website:

FX. Harsono, “Desember Hitam, GSRB, dan Kontemporer”


https://gerakgeraksenirupa.wordpress.com/2013/05/19/desember-hitam-
gsrb-dan-kontemporer/ (diunduh 10 November 2014)
Joseph J. Tanke. “What is the Aesthetic Regime?” dalam
parrhesiajournal.org/parrhesia12/parrhesia12_tanke.pdf

Anda mungkin juga menyukai