DISUSUN OLEH:
Kelas : IX – 5
1. Siti Hurriya
2. Annisa Widya R.
3. Mudita Dwi R.
4. Dinda Zahra Devina
5. Rayyhan Andarsyah
6. Rizki Ramadhan
7. Fariz Hidir Mubarok
Raden Saleh Syarif Bustaman lahir di Terbaya, Semarang, Jawa Tengah dari
pasangan Mas Ajeng Zarip Husen dan Sayid Husein bin Alwi bin Awal–Bupati Terbaya
pada waktu itu. Beberapa sumber menyatakan tahun 1807, 1811, dan 1814 sebagai tahun
kelahirannya.
Sejak usia belia, Raden Saleh belajar banyak hal pada orang-orang yang ahli di
bidangnya. Ia menajamkan goresan sketsanya di bawah bimbingan Antonie A.J Paijen
dan J. Th. Bik. Bakat dan kemampuannya ini membawa kesempatan bagi Raden Saleh
untuk mengembangkan diri di Eropa.
Tahun 1829, Raden Saleh muda bertolak ke Belanda menggunakan kapal Pieter en
Karel untuk mengikuti perjalanan dinas seorang pejabat keuangan Hindia Belanda. Di
sana, ia belajar melukis potret pada Cornelis Kruseman dan melukis panorama pada
Andreas Schelfout. Selain itu, gairahnya sebagai ilmuwan muda mendorongnya
memanfaatkan kesempatan itu untuk mempelajari banyak hal di luar melukis.
‘Sang Pelukis Raja’ ini meninggal pada Minggu 25 April 1880. Kepergiannya ke
peristirahatan terakhir diantar oleh banyak orang dari berbagai kalangan.
LUKISAN KARYA RADEN SALEH
Karya-karya Raden Saleh dikenal karena penggunaan Teknik realisnya yang cermat
dan kecakapannya dalam menggambarkan manusia, hewan-hewan besar, seperti singa
dan harimau.
Lukisan ini tentang bencana alam banjir bandang yang melanda sebagian wilayah
Jawa Tengah mencuri perhatian para seniman dan pejabat Belanda. Lukisan ini disebut
salah satu karya masterpiece Raden Saleh. Sapuan kuas Raden Saleh mampu
menggambarkan adegan kesengsaraan yang menyentuh. Terlihat orang-orang pribumi
Jawa Tengah yang bertahan hidup dari banjir dahsyat yang melanda wilayah
Banyumas. Digambarkan bagaimana warga di tempat tertinggi tengah duduk dan
berdiri berhimpit-himpitan, sementara air terus naik mengejar.
2. Sudjojono (1913-1986)
Sudjojono merupakan salah satu pelukis legendaris dan kritikus seni terkenal
Indonesia. Ia dijuluki sebagai Bapak Seni Rupa Modern Indonesia karena
merupakan salah satu tokoh yang memperkenalkan modernitas seni rupa di
Indonesia.
Gaya Lukisan Sudjojono memiliki ciri khas kasar, dengan goresan dan sapuan
bagai dituang begitu saja ke kanvas. Objek lukisannya lebih menonjol kepada
kondisi faktual bangsa Indonesia yang diekspresikan secara jujur apa adanya.
Berikut beberapa lukisan sudjojono yang cukup tekenal dengan makna dalam
pada lukisannya.
a. Ngaso (1964)
Lukisan Ngaso dibuat oleh Sudjojono berdasarkan peristiwa yang terjadi tak
lama setelah proklamasi kemerdekaan atau masa yang disebut sebagai Revolusi
Nasional Indonesia. Dalam lukisan ini, Sudjojono menggambarkan pejuang-pejuang
kemerdekaan yang sedang beristirahat atau ngaso di sebuah reruntuhan, di tengah
pertempuran melawan pasukan Sekutu untuk mempertahankan kemerdekaan
Indonesia.
b. Mengungsi
Lukisan Mengungsi dengan gaya realis yang bertahun 194 ini dibuat dengan latar
belakang peristiwa bersejarah yang dikenal dengan Agresi Militer Belanda ke-2 yang
terjadi di Yogyakarta. Peristiwa yang dialami oleh Sudjojono dan keluarganya
tersebut kemudian diceritakan kembali oleh isterinya Mia Bustam.
3. Affandi
Affandi adalah seorang pelukis terkenal Indonesia yang populer dengan gaya
ekspresionisnya yang khas. Ia lahir pada tanggal 26 Oktober 1907 di Cirebon, Jawa
Barat, dan meninggal pada tanggal 23 Mei 1990 di Yogyakarta.
Meski Affandi sembat belajar formal di HIS, MULO, dan selanjutnya tamat dari AMS,
namun ia belajar melukis secara otodidak dan mengembangkan gaya ekspresionisnya
sendiri. Dipadu dengan gerakan tubuhnya yang energik, ia bisa menghasilkan goresan-
goresan kuat dan spontan di atas kanvas.
Gaya melukisnya yang unik ini memungkinkannya untuk mengekspresikan emosi dan
perasaannya dengan kuat dalam karyanya.
LUKISAN KARYA AFFANDI
Lukisan ini memiliki nilai falsafah hidup yang dalam, dimana setiap individu manusia
yang ada di dunia ini terlahir sebagai makhluk yang paling sempurna. Dimana
kesempurnaan itu terwujud karena adanya kelemahan terbesar yang dimiliki manusia
yang cenderung berbuat untuk mengingkari kodrat sebagai makhluk yang sempurna.
b. Ibuku (1941)
Pada lukisan “Ibu” ini tampak sapuan kuas dan detail-detail kecil yang berhasil
membentuk figur seorang ibu yang tampak berusia lanjut, menyilangkan tangan di
pundaknya dengan tatapan dan raut wajah yang cenderung bersedih. Rambutnya
sedikit menjuntai dan tidak tampak senyum dari bibirnya, memperlihatkan potret ini
dibuat dalam pose dan sudut pandang yang natural.
4. Hendra Gunawan (1918-1983)
Hendra Gunawan adalah seorang seniman Indonesia yang dikenal sebagai pelukis
dan seniman serba bisa.
Ia dilahirkan pada tanggal 11 Juni 1918 di Bandung, Jawa Barat, dan meninggal pada
tanggal 17 Juli 1983 di Jakarta. Gaya melukis Hendra Gunawan sangat beragam.
Pada awal kariernya, ia terpengaruh oleh gaya realis dan naturalis, tetapi kemudian
berkembang menjadi lebih ekspresionis.
Pada masa perjuangan kemerdekaan, Hendra Gunawan juga aktif melukis dengan
tema seputar perjuangan kemerdekaan. Ia ikut turun ke medan perang dengan membuat
poster-poster penyemangat bersama kelompok Seniman Indonesia Muda (SIM).
Lukisan kolosal ini menggambarkan adegan dari Perang Jawa (1825-1830), salah
satu pertempuran paling terkenal dari periode kolonial. Perang ini menelan biaya 20
juta Gulden, dengan ratusan ribu korban di kedua sisi, di mana setengah dari penduduk
Yogyakarta meninggal.
Sosok Diponegoro yang belum selesai dalam lukisan ini menginspirasi banyak
interpretasi. Beberapa mengatakan lukisan yang belum selesai mengacu pada
perjuangan Diponegoro yang belum selesai yang diteruskan ke generasi berikutnya.
Belanda memenangkan perang dan menangkap putra tertua Sultan Hamengkubuwono
III, namun lukisan itu masih menginspirasi perasaan patriotik yang kuat.
5. Srihadi Soedarsono (1931-2022)
Srihadi Soedarsono yang lahir disebuah kota Budaya Surakarta, pada 4 Desember
1931, beliau adalah diantara pelukis terkenal Indonesia yang karyanya banyak diburu
kolektor baik dalam dan luar negeri.
Pada periode 1947-1952 bergabung dalam Seniman Indonesia Muda di Solo dan
Yogyakarta; sejak awal berdiri tahun 1950, sebagai anggota aktif dalam pembentukan
Himpunan Budaya Surakarta di Solo. Juga aktif mengikuti pameran-pameran seni rupa di
Solo dan Yogyakarta.
Pada tahun 1952 ia mulai memasuki pendidikan seni di Balai Pendidikan Universiter
Guru Gambar Fakultas Teknik Universitas Indonesia Bandung (sekarang Fakultas Seni
Rupa Institut Teknologi Bandung). Pada tahun 1955, ia juga menciptakan logo Keluarga
Mahasiswa Seni Rupa (KMSR). Logo berbentuk sebuah palette dengan kata-kata "SENI
RUPA BANDUNG" dengan lambang Universitas Indonesia. Setelah Maret 1959, bentuk
Ganesha menggantikan logo UI di palette tersebut.
LUKISAN KARYA SRIHADI SOEDARSONO
b. Lukisan Jayakarta
Lukisan 'Jayakarta' kisahnya bermula dari lukisan 'Air Mancar' yang memicu
kemarahan Ali Sadikin. Karya yang menghasilkan karya yang menggambarkan kota
Jakarta, sejak tahun 1527 sampai 1970-an itu dibuat bersama Bengel Dharmakarya di
lapangan kampus ITB yang dapat mengakomodasi lukisan berukuran besar.
Awalnya, lukisan tersebut dipajang di ruang khusus untuk menjamu tamu penting
pemerintahan di Balai Kota DKI. Namun, setelah Ali Sadikin tidak lagi menjabat,
ruangan tersebut tidak lagi digunakan sebagai tempat menerima tamu.