Anda di halaman 1dari 10

KLIPING TUGAS SENI BUDAYA

REPRODUKSI KARYA SENI LUKIS

Oleh:
Nama :
Kelas
SMA NEGRI 1 DUKUPUNTANG(ganti nama
sekolah dengan sekolah sobat)
1. Lukisan : Tjap Go Meh (Sindu Sudjojono – tahun
1940)

 
Pelukisa : Sindu Sudjojono
Jika pada lukisan "Di Depan Kelamboe Terboeka" ekspresi Sudjojono terlihat
sunyi tetapi mencekam, maka dalam karya "Tjap Go Meh", 1940 ini, ia
mengungkapkan emosinya dengan meluap-luap. Dalam lukisan karnaval
perayaan keagamaan Cina tersebut, selain dihadirkan suasana hiruk pikuk juga
muncul nuansa ironi. Ironi itu bisa sebatas pada karnaval yang meluapkan
berbagai emosi dengan absurd, namun lebih jauh lagi bisa mengandung
komentar ketimpangan sosial. Hal itu mengingat setting sosial tahun pembuatan
karya, adalah pada masa depresi ekonomi, tekanan pemerintah kolonial yang
makin keras pada para nasionalis, dan euforia menjelang kedatangan Jepang.
Pada latar depan, terlihat seorang wanita dalam tarian dan gandengan seorang
bertopeng, diapit oleh seorang ambtenar yang berdasi dan seorang pemusik
bertopeng buaya. Di sisi kanannya ada seorang kerdil yang berdiri tegak
termangu-mangu, sedangkan di latar belakang berombak massa yang berarak
dan menari dalam kegembiraan. Walaupun lukisan ini berukuran kecil, namun
Sudjojono benar-benar telah mewujudkan kredo jiwo ketok nya dalam melukis.
Dalam "Tjap Go Meh" ini terlihat spontanitas yang meluap tinggi. Deformasi
orang-orang dalam arakan dan warna-warnanya yang kuat, menukung seluruh
ekspresi yang absurd itu.
Sudjono dalam masa Persagi dan masa Jepang berusaha merealisir seni lukis
Indonesia baru, seperti yang sangat kuat disuarakan lewat tulisan-tulisan dan
karyanya. Jiwa semangat itu adalah menolak estetika seni lukis Mooi Indie yang
hanya mengungkapkan keindahan dan eksotisme saja. Dengan semangat
nasionalisme, Sudjojono ingin membawa seni lukis Indonesia pada kesadaran
tentang realitas sosial yang dihadapi bangsanya dalam penjajahan. Disamping
itu. dia ingin membawa nafas baru pengungkapan seni lukis yang jujur dan
empati yang dalam dari realitas kehidupan lewat ekspresionisme. Kedua
masalah yang diperjuangkan tersebut, menempatkan Sudjojono sebagai
pemberontak estetika "Mooi Indie" yang telah mapan dalam kultur kolonial
feodal. Lukisan Sudjojono "Di Depan Kelamboe Terboeka" dan "Tjap Go
Meh" ini, merupakan implementasi dan perjuangan estetika yang mengandung
moral etik kontekstualisme dan nasionalisme. Dengan kapasitas kesadaran dan
karya-karya yang diperjuangkan, banyak pengamat yang menempatkan
Sudjojono sebagai Bapak Seni Lukis Indonesia.
Biografi sindu sudjojono
Masa sekolah
Soedjojono terlahir Soedjiojono lahir dari keluarga transmigran asal Pulau Jawa.
Ayahnya, Sindudarmo, adalah mantri kesehatan di perkebunan karet
Kisaran, Sumatera Utara, beristrikan Marijem, seorang buruh perkebunan. Ia
lalu dijadikan anak angkat oleh seorang guru HIS, Joedhokoesoemo. Oleh
bapak angkat inilah, Djon (nama panggilannya) diajak ke Jakarta (waktu itu
masih bernama Batavia) pada 1925. Ia menamatkan HIS di Jakarta, lalu
melanjutkan SMP di Cimahi, dan menyelesaikan SMA di Perguruan Taman
Siswa di Yogyakarta. Di Yogyakarta itulah ia sempat belajar montir sebelum
belajar melukis kepada RM Pirngadie selama beberapa bulan. Sewaktu di
Jakarta, ia belajar kepada pelukis Jepang, Chioyi Yazaki.
Karier guru
Ia sempat menjadi guru di Taman Siswa seusai lulus dari Taman Guru di
perguruan yang didirikan oleh Ki Hajar Dewantara itu. Ia ditugaskan oleh Ki
Hajar Dewantara untuk membuka sekolah baru di Rogojampi, Banyuwangi,
tahun 1931.
Pelukis
Namun ia kemudian memutuskan untuk menjadi pelukis. Pada tahun 1937, ia
ikut pameran bersama pelukis Eropa di Bataviasche Kunstkring, Jakarta. Inilah
awal namanya dikenal sebagai pelukis. Pada tahun itu juga ia menjadi pionir
mendirikan Persatuan Ahli Gambar Indonesia (Persagi). Oleh karena itu, masa
itu disebut sebagai tonggak awal seni lukis modern berciri Indonesia. Ia sempat
menjabat sebagai sekretaris dan juru bicara Persagi. Selain sebagai pelukis, ia
juga dikenal sebagai kritikus seni rupa pertama di Indonesia. Lukisannya punya
ciri khas kasar, goresan dan sapuan bagai dituang begitu saja ke kanvas. Objek
lukisannya lebih menonjol kepada kondisi faktual bangsa Indonesia yang
diekspresikan secara jujur apa adanya.
Pandangan Politik
Arian Arifin Wardiman salah satu cucu S. Sudjojono yang mewarisi talenta
seninya (foto oleh Arbi Sumandoyo)
Sebagai seorang kritikus seni rupa, ia dianggap memiliki jiwa nasionalis. Djon
sering mengecam Basoeki Abdoellah sebagai tidak nasionalistis karena hanya
melukis keindahan Indonesia sekadar untuk memenuhi selera pasar turis. Dua
pelukis ini pun kemudian dianggap sebagai musuh bebuyutan. Sengketa ini
mencair ketika Ciputra, pengusaha penyuka seni rupa, mempertemukan Djon,
Basoeki Abdoellah, dan Affandi dalam pameran bersama di Pasar Seni Ancol,
Jakarta. Pada masa Orde Lama, ia pernah ikut dalam Lekra dan bahkan Partai
Komunis Indonesia. Ia sempat menjadi wakil partai di parlemen. Namun, pada
1957, ia dipecat dari partai dengan alasan resmi pelanggaran etik karena
ketidaksetiaan kepada keluarga/istri. Tahun 1959 setelah didesak tuntutan Mia
Bustam, istri pertamanya, Sudjojono resmi bercerai dari Ibu yang memberi
delapan anak untuk pasangan ini, setelah secara sembunyi-sembunyi mencintai
Rosalina Poppeck - seorang sekretaris dan penyanyi - selama beberapa tahun,
yang kemudian dinikahinya sekaligus mengganti nama istri barunya menjadi
Rose Pandanwangi.
Pameran
 Pameran Sketsa dan Peluncuran Buku "Hidup Mengalun Dendang" di Bentara
Budaya Jakarta, 6-13 Juni 2017

2. Lukisan : Kakak dan Adik (Basuki Abdullah – tahun 1971)


Pelukis : Basuki abdullah
Lukisan Basuki Abdullah yang berjudul “Kakak dan Adik” (1978) ini
merupakan salah satu karyanya yang menunjukkan kekuatan penguasaan teknik
realis. Dengan pencahayaan dari samping, figur kakak dan adik yang dalam
gendongan terasa mengandung ritme drama kehidupan. Dengan penguasaan
proporsi dan anatomi, pelukis ini menggambarkan gerak tubuh mereka yang
mengalunkan perjalanan sunyi. Suasana itu, seperti ekspresi wajah mereka yang
jernih tetapi matanya menatap kosong. Apabila dengan pakaian mereka yang
bersahaja dan berwarna gelap, sosok kakak beradik ini dalam selubung
keharuan. Dari berbagai fakta tekstur ini, Basuki Abdullah ingin
mengungkapkan empatinya pada kasih sayang dan kemanusiaan.
Namun demikian, spirit keharuan kemanusian dalam lukisan ini tetap dalam
bingkai Romantisisime. Oleh karena itu, figur kakak beradik lebih hadir sebagai
idealisasi dunia utuh atau bahkan manis, daripada ketajaman  realitas
kemanusiaan yang menyakitkan. Pilihan konsep estetis yang demikian dapat
dikonfirmasikan pada semua karya Basuki Abdullah yang lain. Dari berbagai
mitologi, sosok-sosok tubuh yang telanjang, sosok binatang, potret-potret orang
terkenal, ataupun hamparan pemandangan, walaupun dibangun dengan
dramatisasi namun semua hadir sebagai dunia ideal yang cantik dengan penuh
warna dan cahaya.
Berkaitan dengan konsep estetik tersebut, Basuki Abdullah pernah mendapat
kritikan tajam dari S. Sudjojono. Lukisan Basuki Abdullah dikatakan sarat
dengan semangat Mooi Indie yang hanya berurusan dengan kecantikan dan
keindahan saja. Padahal pada masa itu, bangsa Indonesia sedang menghadapi
penjajahan, sehingga realitas kehidupannya sangat pahit, kedua pelukis itu
sebenarnya memang mempunyai pandangan estetik yang berbeda, sehingga
melahirkan cara pandang/pengungkapan yang berlainan. Dalam kenyataannya
estetika Basuki Abdullah yang didukung kemampuan teknik akademis yang
tinggi tetap menempatkannya sebagai pelukis besar. Hal itu terbukti dari
berbagai penghargaan yang diperoleh, juga didukung dari masyarakat bawah
sampai kelompok elite di istana, dan juga kemampuan bertahan karya-karyanya
eksis menembus berbagai masa.
Biografi Basuki abdulah
Basoeki Abdullah lahir di Desa Sriwidari, Surakarta Jawa Tengah, 27 Januari
1915 dengan Indonesia yang masih berstatus Hindia Belanda. Lahir dari
pasangan R. Abdullah Suryosubroto dan Raden Nganten Ngadisah. Kakek
Basuki Abdullah adalah seorang figure sejarah Kebangkitan Nasional
Indonesia, yaitu dokter Wahidin Sudirohusodo. Ayahnya adalah seorang pelukis
juga, salah satu tokoh Mooi indie. Sejak dari kecil (umur 4 tahun) Basuki
Abdullah sudah mulai menyukai dunia seni. Ia mulai suka menggambar figur-
figur penting seperti Yesus Kristus, Mahatma Ghandi, dll. Dalam usianya yang
masih muda Basoeki Abdullah telah berhasil menggambar dengan tingkat
kemiripan dan teknis yang luar biasa.

Masa muda
Bakat melukisnya terwarisi dari ayahnya, Abdullah Suriosubroto, yang juga
seorang pelukis dan penari. Sedangkan kakeknya adalah seorang tokoh
Pergerakan Kebangkitan Nasional Indonesia pada awal tahun 1900-an yaitu
Doktor Wahidin Sudirohusodo. Sejak umur 4 tahun Basuki Abdullah mulai
gemar melukis beberapa tokoh terkenal diantaranya Mahatma
Gandhi, Rabindranath Tagore, Yesus Kristus dan Krishnamurti.
Pendidikan formal Basuki Abdullah diperoleh di HIS Katolik dan Mulo Katolik
di Solo. Berkat bantuan Pastur Koch SJ, Basuki Abdullah pada tahun 1933
memperoleh beasiswa untuk belajar di Akademik Seni Rupa (Academie Voor
Beeldende Kunsten) di Den Haag, Belanda, dan menyelesaikan studinya dalam
waktu 3 tahun dengan meraih penghargaan Sertifikat Royal International of
Art (RIA).

Basuki Abdullah mendapatkan pendidikan yang masih diselenggarakan oleh


pemerintah Belanda. Pendidikan dasar hingga menengahnya ditempuh di HIS
(Hollands Inlandsche Scool) kemudian dilanjutkan ke MULO (Meer Ultgebried
Lager Onderwijs). Pada tahun 1913 Basuki Abdullah mendapatkan bea siswa
untuk melanjutkan pendidikannya di Akademi Seni Rupa (Academie Voor
Beldeende Kunsten) di Den Haag, Belanda berkat bantuan dari Pastur Koch SJ.
Ia menyelesaikan studinya dalam waktu dua tahun lebih dua bulan dan meraih
penghargaan sertifikat Royal International of Art (RIA). Tak berhenti disana
setelah itu ia juga mengikuti semacam program studi banding di beberapa
sekolah seni rupa di Paris dan Roma.
3. Lukisan : Pengemis (Affandi - tahun 1974)

Affandi : Affandi
Lukisan Affandi yang menampilkan sosok “Pengemis” (1974) ini merupakan
manifestasi pencapaian gaya pribadinya yang kuat. Lewat Ekspresionisme, ia
luluh dengan objek-objeknya bersama dengan empati yang tumbuh lewat proses
pengamatan dan pendalaman. Setelah empati itu menjadi energi yang masak,
maka terjadilah proses penuangan dalam lukisan seperti letupan gunung
menuntaskan gejolak lavanya. Dalam setiap ekspresi, selain garis-garis
lukisannya memunculkan energi yang meluap juga merekam penghayatan
keharuan dunia batinnya. Dalam lukisan ini terlihat sesosok tubuh renta
pengemis yang duduk menunggu pemberian santunan dari orang yang lewat.
Penggambaran tubuh renta lewat sulur- sulur garis yang mengalir, menekankan
ekspresi penderitaan pengemis itu. Warna coklat hitam yang membangun sosok
tubuh, serta aksentuasi warnawarna kuning kehijauan sebagai latar belakang
semakin mempertajam suasana muram yang terbangun dalam ekspresi
keseluruhan.
Namun dibalik kemuraman itu, vitalitas hidup yang kuat tetap dapat dibaca
lewat goresan-goreasn yang menggambarkan gerak sebagaian figur lain. Dalam
konfigurasi objek-objek ini, terjadilah komposisi yang dinamis. Dinamika itu
juga diperkaya dengan goresan spontan dan efek tekstural kasar dari
‘plototan’tube cat yang menghasilkan kekuatan ekspresi.
Pilihan sosok pengemis sebagai objek-objek dalam lukisan tidak lepas dari
empatinya pada kehidupan masyarakat bawah. Affandi adalah penghayat yang
mudah terharu, sekaligus petualang hidup yang penuh vitalitas. Objek-objek
rongsok dan jelata selalu menggugah empatinya. Namun selain itu, berbagai
fenomena kehidupan yang dinamis juga terus menggugah kepekaaan estetiknya.
Oleh karena itu, ia sering disebut sebagai seorang humanis dalam karya seninya.
Dalam berbagai penyataan dan lukisannya, ia sering mengungkapkan bahwa
matahari, tangan, dan kaki merupakan ymbol kehidupan. Matahari merupakan
manifestasi dari semangat hidup. Tangan menunjukkan sikap yang keras dalam
berkarya, dan merealisasi segala idenya. Kaki merupakan ungkapan simbolik
dari motivasi untuk terus melangkah maju dalam menjalani kehidupan. Simbol-
simbol itu memang merupakan kristalisasi pengalaman dan sikap hidup Affandi,
maupun proses perjalanan keseniannya yang keras dan panjang. Lewat sosok
pengemis dalam lukisan ini, kristalisasi pengalaman hidup yang keras dan
empati terhadap penderitaan itu dapat terbaca.

Biografi Affandi
Affandi dilahirkan di Cirebon pada tahun 1907, putra dari R. Koesoema,
seorang mantri ukur di pabrik gula di Ciledug, Cirebon. Dari segi pendidikan, ia
termasuk seorang yang memiliki pendidikan formal yang cukup tinggi. Bagi
orang-orang segenerasinya, memperoleh pendidikan HIS, MULO, dan
selanjutnya tamat dari AMS, termasuk pendidikan yang hanya diperoleh oleh
segelintir anak negeri.
Namun, bakat seni lukisnya yang sangat kental mengalahkan disiplin ilmu lain
dalam kehidupannya, dan memang telah menjadikan namanya tenar sama
dengan tokoh atau pemuka bidang lainnya.

Pada umur 26 tahun, pada tahun 1933, Affandi menikah dengan Maryati, gadis
kelahiran Bogor. Affandi dan Maryati dikaruniai seorang putri yang nantinya
akan mewarisi bakat ayahnya sebagai pelukis, yaitu Kartika Affandi.
Sebelum mulai melukis, Affandi pernah menjadi guru dan pernah juga bekerja
sebagai tukang sobek karcis dan pembuat gambar reklame bioskop di salah satu
gedung bioskop di Bandung. Pekerjaan ini tidak lama digeluti karena Affandi
lebih tertarik pada bidang seni lukis.
Sekitar tahun 30-an, Affandi bergabung dalam kelompok Lima Bandung, yaitu
kelompok lima pelukis Bandung. Mereka itu adalah Hendra
Gunawan, Barli, Sudarso, dan Wahdi serta Affandi yang dipercaya menjabat
sebagai pimpinan kelompok. Kelompok ini memiliki andil yang cukup besar
dalam perkembangan seni rupa di Indonesia. Kelompok ini berbeda
dengan Persatuan Ahli Gambar Indonesia(Persagi) pada tahun 1938, melainkan
sebuah kelompok belajar bersama dan kerja sama saling membantu sesama
pelukis.
Pada tahun 1943, Affandi mengadakan pameran tunggal pertamanya di Gedung
Poetera Djakarta yang saat itu sedang berlangsung pendudukan tentara Jepang
di Indonesia. Empat Serangkai—yang terdiri dari Ir. Soekarno, Drs.
Mohammad Hatta, Ki Hajar Dewantara, dan Kyai Haji Mas Mansyur—
memimpin Seksi Kebudayaan Poetera (Poesat Tenaga Rakyat) untuk ikut ambil
bagian. Dalam Seksi Kebudayaan Poetera ini Affandi bertindak sebagai tenaga
pelaksana dan S. Soedjojono sebagai penanggung jawab, yang langsung
mengadakan hubungan dengan Bung Karno.
Poster propaganda Boeng, ajo, Boeng! karya Affandi, 1945
Ketika republik ini diproklamasikan 1945, banyak pelukis ambil bagian.
Gerbong-gerbong kereta dan tembok-tembok ditulisi antara lain "Merdeka atau
mati!". Kata-kata itu diambil dari penutup pidato Bung Karno, Lahirnya
Pancasila, 1 Juni 1945. Saat itulah, Affandi mendapat tugas membuat poster.
Poster yang merupakan ide Soekarno itu menggambarkan seseorang yang
dirantai tetapi rantainya sudah putus. Yang dijadikan model adalah
pelukis Dullah. Kata-kata yang dituliskan di poster itu ("Bung, ayo bung")
merupakan usulan dari penyair Chairil Anwar. Sekelompok pelukis siang-
malam memperbanyaknya dan dikirim ke daerah-daerah.
Bakat melukis yang menonjol pada diri Affandi pernah menorehkan cerita
menarik dalam kehidupannya. Suatu saat, dia pernah mendapat beasiswa untuk
kuliah melukis di Santiniketan, India, suatu akademi yang didirikan
oleh Rabindranath Tagore. Ketika telah tiba di India, dia ditolak dengan alasan
bahwa dia dipandang sudah tidak memerlukan pendidikan melukis lagi.
Akhirnya biaya beasiswa yang telah diterimanya digunakan untuk mengadakan
pameran keliling negeri India.
Sepulang dari India, Eropa, pada tahun lima puluhan, Affandi dicalonkan
oleh PKI untuk mewakili orang-orang tak berpartai dalam
pemilihan Konstituante. Dan terpilihlah dia, seperti Prof. Ir. Saloekoe
Poerbodiningrat dsb, untuk mewakili orang-orang tak berpartai. Dalam sidang
konstituante, menurut Basuki Resobowo yang teman pelukis juga, biasanya
katanya Affandi cuma diam, kadang-kadang tidur. Tapi ketika sidang komisi,
Affandi angkat bicara. Dia masuk komisi Perikemanusiaan (mungkin sekarang
HAM) yang dipimpin Wikana, teman dekat Affandi juga sejak sebelum
revolusi.
Topik yang diangkat Affandi adalah tentang perikebinatangan, bukan
perikemanusiaan dan dianggap sebagai lelucon pada waktu itu. Affandi
merupakan seorang pelukis rendah hati yang masih dekat dengan flora, fauna,
dan lingkungan walau hidup di era teknologi. Ketika Affandi mempersoalkan
'Perikebinatangan' tahun 1955, kesadaran masyarakat terhadap lingkungan
hidup masih sangat rendah.
Affandi juga termasuk pimpinan pusat Lekra(Lembaga Kebudayaan Rakyat),
organisasi kebudayaan terbesar yang dibubarkan oleh rezim Suharto. Dia bagian
seni rupa Lembaga Seni Rupa) bersama Basuki Resobowo, Henk Ngantung, dan
sebagainya.
Pada tahun enampuluhan, gerakan anti imperialis AS sedang
mengagresi Vietnamcukup gencar. Juga anti kebudayaan AS yang disebut
sebagai 'kebudayaan imperialis'. Film-film Amerika, diboikot di negeri ini.
Waktu itu Affandi mendapat undangan untuk pameran di gedung USIS Jakarta.
Dan Affandi pun, pameran di sana.
Ketika sekelompok pelukis Lekra berkumpul, ada yang mempersoalkan.
Mengapa Affandi yang pimpinan Lekra kok pameran di tempat perwakilan
agresor itu. Menanggapi persoalan ini, ada yang nyeletuk: "Pak Affandi
memang pimpinan Lekra, tetapi dia tak bisa membedakan antara Lekra dengan
Lepra!" kata teman itu dengan kalem. Keruan saja semua tertawa.

Meski sudah melanglangbuana ke berbagai negara, Affandi dikenal sebagai


sosok yang sederhana dan suka merendah. Pelukis yang kesukaannya makan
nasi dengan tempe bakar ini mempunyai idola yang terbilang tak lazim. Orang-
orang lain bila memilih wayang untuk idola, biasanya memilih yang bagus,
ganteng, gagah, bijak, seperti; Arjuna, Gatutkaca, Bima, Krisna.

Namun, Affandi memilih Sokrasana yang wajahnya jelek namun sangat sakti.
Tokoh wayang itu menurutnya merupakan perwakilan dari dirinya yang jauh
dari wajah yang tampan. Meskipun begitu, Departemen Pariwisata Pos dan
Telekomunikasi (Deparpostel) mengabadikan wajahnya dengan menerbitkan
prangko baru seri tokoh seni/artis Indonesia. Menurut Helfy Dirix (cucu tertua
Affandi) gambar yang digunakan untuk perangko itu adalah lukisan self-
portraitAffandi tahun 1974, saat Affandi masih begitu getol dan produktif
melukis di museum sekaligus kediamannya di tepi Kali Gajahwong Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai