Anda di halaman 1dari 4

Di lain pihak lahir pula pergerakan budaya yang memperjuangkan nilai-nilai nasionalisme, salah satunya

adalah Persagi (Persatuan Ahli Gambar Indonesia.

Foto Anggota Persagi dalam rapat tahunan 1940 di Jakarta.Lahirnya Persagi (Persatuan Ahli Gambar
Indonesia).

Lahirnya Persagi tentunya bukan tanpa sebab atau kasualitas, Persagi lahir sebagai bentuk protes atas
nilai estetika oleh yang di usung oleh Mooi Indie. Tentu saja tidak disebabkan oleh satu persoalan
tersebut di atas, tetapi banyak faktor yang melatarbelakangi lahirnya pergerakan budaya tersebut.
kondisi ekonomi dan politik pada masa tersebut memang menuntut pembaruan dalam segala bidang,
tak terkecuali dalam bidang seni dan budaya. Di mana pada waktu kondisi ekonomi di Batavia memang
sedang kacau. Memasuki tahun 1930-an, keadaan Batavia telah berbeda dengan awal abad 20.
Keadaan semacam itu membuat keadaan masyarakat pribumi semakin sulit dalam kehidupan, dan
memang keadaan pada zaman tersebut belum dapat dikatakan nyaman. Kondisi sosial masyarakat
bawah yang kehidupannya berat, ternyata menggugah kesadaran dan visi baru kelompok Persagi untuk
mengungkapkan realitas yang ada. Tokoh utama dalam pergerakan budaya tersebut adalah Sudjojono
yang menorehkan pemikirannya dalam tulisan yang banyak di muat di majalah atau surat kabar pada
waktu itu.Memang pada waktu itu kondisi Hindia Belanda sedang dalam progres untuk menuju
pencerahan yang dikomandoi oleh kaum Pribumi terpelajar. Pada dasawarsa kedua abad 20-an memang
muncul pergerakan pemuda yang di pelopori oleh Boedi Utomo sejak tahun 1908. Selanjutnya di susul
dengan berdirinya perguruan Taman Siswa tahun 1922, Sumpah Pemuda 1928, dan pada bidang sastra
muncul Poejangga Baroe tahun 1933, serta Polemik Kebudayaan 1935 sampai 1939. Dengan adanya
organisasi pergerakan pemuda tersebut, ternyata menjadi stimultan dan terus memunculkan
perkumpulan di bidang lain. Salah satunya adalah perkumpulan seniman yang mengibarkan bendera
Nasionalisme dan berpihak pada Kerakyatan. Tepatnya pada tanggal 23 Oktober 1938 Persagi lahir, yang
merupakan akronim dari Persatuan Ahli Gambar Indonesia.

Suasana rapat tahunan Persagi.Deklarasi Persagi pada bulan Oktober tersebut berlangsung di Gedung
Sekolah Rakyat “Ksatryan School met de Qur’an”, di Gang Kaji Batavia. Pengurus Persagi pada periode
pertama terdiri dari Agus Djaja sebagai ketua, Sudjojono sebagai sekretaris dan Rameli sebagai
komisaris. Selain nama pengurus di atas sebagai anggota Persagi antara lain Soediardjo, L.Setiyoso,
Emiria Soenassa, Saptarita Latief, Herbert Hoetagaloeng, S. Toetoer, Sindhusisworo, Soeaib, Soekirno,
Soerono, Suromo dan Otto Djaja. Sebagai kelompok pergerakan di bidang budaya yang mengibarkan
semangat baru dan panji-panji Nasionalisme Kerakyatan, Persagi aktif mengadakan rapat tahuan,
diskusi, melukis bersama, dan pameran.Tujuan dari kelompok Persagi ditekankan pada pencarian corak
seni lukis Indonesia yang baru lewat kerjasama di sanggar dan diskusi antara sesama anggota.
Pemahaman dari Persagi melukis tidak hanya pemandangan sawah, sungai, pantai dan gadis yang cantik.
Tetapi melukis harus juga melihat dari sisi kemanusiaannya, selain estetika tedapat nilai lain yang harus
dimunculkan dalam sebuah karya seni. Keyakinan lainnya adalah dalam melukis hendaknya bersikap
sederhana dan jujur mengungkapkan objek. Realitas objek-objek di sekitar pelukis sesungguhnya
merupakan kesaksian kehidupan yang kaya. Berkarya dengan jujur dan sederhana artinya membuat
karya seni sesuai dengan realita yang ada dan tanpa ada untuk membaguskan objeknya. Misalkan
lingkungan sekitar tentang peperangan, penderitaan rakyat kecil, gadis desa, objek tersebut digambar
dengan jujur tanpa ada unsur rekayasa untuk memperindahnya. Biarkan realita itu bicara dalam sebuah
karya seni, itulah faham yang diterus dikobarkan oleh kelompok Persagi.Adalah S. Sudjojono yang aktif
menyuarakan semangat seni lukis Indonesia Baru melalui tulisan-tulisannya yang dimuat di majalah dan
surat kabar. Seni lukis sebagai salah satu unsur kebudayaan suatu bangsa dengan sendirinya seharusnya
mengungkapkan corak yang cocok dengan watak bangsa itu. Meskipun demikian, lukisan-lukisan
Indonesia pada saat itu belum juga mempunyai corak Indonesia. Hal itu karena kultur yang ada masih
hilir-mudik. Di satu pihak masih besifat kejawaan, kekunoan, dan di lain pihak bersifat kebaruan jawa
dan bahkan kebarat-baratan. Lewat tulisannya, Sudjojono menganjurkan kepada para pelukis untuk
mempelajari kehidupan rakyat jelata di kampung-kampung dan di desa-desa.

Lukisan Agus Djaja "The Pursuit"Bertolak dari kebiasaan para pelukis Mooi Indie, para pelukis yang
tergabung dalam Persagi mencipta lukisan dari objek yang ada di lingkungan sekitar. Para pelukis
tersebut melukis tentang kehidupan nyata yang ada di sekitar mereka, tentang susana kampung,
tentang penderitaan rakyat, seni pertunjukan, perjuangan, gerilyawan, dan gadis pribumi dengan
nuansa yang sesungguhnya. Jadi para anggota persagi melukis realita tentang penderitaan rakyat jelata,
selain menyentuh nilai estetika lukisan hendaknya menyentuh nilai kemanusiaan. Tetapi tidak semua
anggota persagi mencipta karya yang berbau kemanusaiaan tetapi ada juga yang masih menggambar
pemandangan. Selain itu ada juga yang mengadopsi tema budaya lokal seperti wayang, dimana itu
terlihat pada corak lukisan Agus Djaja. Lukisan Agus Djaja mengadopsi unsur wayang, yang telah
dideformasi dan tampak lebih ekspresif dan manusiawi. Hal ini dapat dilihat pada lukisannya yang
berjudul “The Pursuit” (Pengerjaran). Dalam lukisan tersebut tampak sosok wayang sedang naik kuda
sambil memanah, dimana lukisan tersebut merepresentasikan tokoh Arjuna yang gagah berani dalam
dunia pewayangan.Selain itu lukisan-lukisan Agus Djaja menggambarkan tentang kesenian rakyat,
seperti yang berjudul “Ronggeng”, Tjap Go Meh”, “Topeng”, De Goochelaar (Tukang Sulap), dan “Koeda
Kepang”. Lain lagi dengan Sudjojono, lukisan Sudjojono mencerminkan kegelisahan dalam menyelami
realitas kehidupan. Karya-karya dari Sudjojono antara lain “Di Depan Kalmboe Terboeka”, “Mainan”,
“Djoengkatan”, “Anak-anak Soenter”, “Tjap Go Meh” dan“Kawan-kawan Revolusi”. Selanjutnya ada
pelukis Emiria Soenassa, adalah salah satu pelukis wanita Indonesia pertama yang bergulat dengan seni
lukis sebagai ekspresi. Maka dari itu Emiria bergabung dengan Persagi sebagai media untuk
mengepreksikan konsep estetikanya. Karya dari Emiria memiliki corak primitif yang mengungkapkan rasa
naif yang jujur. Dimana itu tercermin dalam beberapa karyanya antara lain “Roemah di Tepi Hoetan”
dan “Perkawinan Dajak”.Karya dari Sudjojono "Di Depan Kalambu Terbuka" sedang di display oleh Mike
Susanto (Dosen saya sewaktu Kuliah) dalam suatu pameran.Otto Djaja merupakan pelukis termuda
dalam Persagi, dan merupakan adik dari Agus Djaja. Karakter lukisan dari Otto Djaja mempunyai karakter
naif yang cukup kuat. Karya-karyanya yang dikenal mempunyai karakter naif antara lain pada
“Pertemoean” dan “Kethoek Tiloe”. Selanjutnya pelukis Persagi lainnya adalah R.M. Soerono,
Soediardjo, dan Suromo. R.M. Soerono merupakan salah satu pelukis yang berbakat dalam seni lukis.
Bakat seninya diasah oleh pulukis Belanda yaitu Velthyusen, hingga menjadi pelukis profesional. Lukisan-
lukisannya antara laian berjudul “Terug van de Weide” (Kembali dari Padang Rumput), “Tarian Timoer”
dan “Perahu Majang”. Anggota lain yang sudah terjun ke dunia profesional dalam dunia artistik adalah
R.Soediardjo dan Suromo. Kedua orang tersebut bekerja sebagaidrafter (penggambar) yang menangani
pekerjaan lukisan kaca, mural dan keramik di biro arsitek Robert Deppe, di Batavia. S.Soediardjo
mendapat perhatian besar dari para pengamat seni, karena kekuatan ekspresi lukisannya yang di
pamerkan di Batavia Kunstkring yaitu “Bade om Zielenheid” (Doa untuk Pendeta)Suromo adalah pelukis
yang mengasah kemampuan artistiknya dengan bekerja di Batavia, sebagai desainer atau penggambar
pada perusahaan Robert Deppe. Selain itu Suromo memeroleh kemampuan melukisnya dengan belajar
akademis di Pringadi. Setelah pada masa setelah Persagi Suromo tetap dikenal sebagai pelukis yang
aktif, dengan sifat sebagai “een geboren schilder” (pelukis berbakat), yang lebih suka bekerja dengan
produktif daripada berdebat dalam wacana. Anggota Persagi lainnya adalah Abdul Salam, pelukis
kelahiran Banyumas 1912, adalah ilustrator majalah mingguan “Pembangoen” dari surat kabar
“Pemandangan”. Selain itu ia juga bekerja di bagian menggambar Kantor Statistik dan di kantor Biro
Reklame “A de le Mar” Batavia. Suromo juga mengasah bakat melukisnya pada pelukis Belanda Pip
Pijpers. Karya-karya dari Suromo memunculkan karakter kejujuran dan mengabdi pada realitas yang
ada.Pelukis Persagi selanjutnya adalah G.A. Soekirno, yang karakter lukisannya mempunyai
kecenderungan pada gaya karikatural. Pelukis-pelukis di atas adalah yang memegang mempunyai
karakter dalam ide maupun konsep. Mereka mencoba membuat lukisan dengan gaya tersendiri tanpa
dibayang-bayangi oleh gaya Moii Indie. Sehingga dari corak lukisannya cenderung ekspresif dan
impresionisme, di Smana kedua aliran tersebut memang berasal dari Eropa. Tetapi ada Pelukis Persagi
yang masih tetap berkarya di bawah pengaruh Mooi Indie. Mereka adalah Herbert Hutagaloeng dan S.
Toetoer, yang masih berkutat dengan lukisan pemandangan yang indah dan hijau. Lukisan dari Herbert
Hutagalung yang pernah dipamerkan dalam pameran bersama Persagi adalah “Eenzaam Bamboevolt”
(Rakit Bambu yang Terasing). S. Toetoer yang masih senada karyanya dengan Herbert Hutagaloeng,
menampilkan jenis karya yang masih berbau Mooi Indie. Karya-karya yang pernah dipamerkan dalam
pameran pertama persagi antara lain “Indonesische Venus”, “Pemandangan di Molenvliet” dan
“Pemandangan di Mega Mendoeng”. Menurut beberapa pengamat S.Toetoer mempunyai kekuatan
warna yang berkualitas.Untuk dapat membuktikan eksistensi kelompok mereka, maka dari itu Persagi
mencoba mengadakan pameran sebagai bukti keberadaannya. Tetapi bukan usaha yang mudah untuk
dapat memamerkan karya seni mereka pada zaman itu. Di mana kekuatan birokrasi pemerintahan di
Batavia pada waktu itu masih dipegang oleh pemerintah Belanda. Persagi mencoba untuk dapat
berpameran di gedung Bataviasche Kunstkring, tetapi upaya untuk pameran di gedung tersebut di tolak.
Penolakan tersebut langsung dilontarkan oleh ketua dari Bataviasche Kunstkring, Mvr. De Loos Haaxman
bahwa bangsa Indonesia dianggap hanya cocok sebagai petani. Pernyataan yang senada datang dari
pelukis Velthuysen di koran Nieuwsgier , bahwa pelukis Indonesia lebih baik menanam padi saja,
daripada melukis. sebab kalau menanam padi, orang Jawa udah mengerti dan menguasai.

Lukisan Otto Djaja "Pertemuan" yang memilki corak naif yang kuat.Itulah pernyataan dari para penguasa
Belanda yang diskriminatif, maka dari itu Persagi mencari jalan lain untuk dapat pameran perdana.
Tetapi pada akhirnya Persagi dapat berpameran di toko buku Koff & Co. Pameran perdana tersebut
diikuti oleh para anggota Persagi dan karya yang dipamerkan tanpa seleksi yang ketat, para pelukis
dapat memutuskan lukisan yang akan dipamerkan. Pameran perdana tersebut berlangsung di bulan
April 1940. Tahun berikutnya Persagi akhirnya dapat juga berpameran di gedung Bataviasche Kunstkring
pada tanggal 7 sampai 30 Mei 1941. Keberhasilan tersebut merupakan fenomena yang sangat bermakna
untuk pelukis pribumi. Laporan bernada positif datang dari surat kabar Bataviaasch
Nieuwsblad,mengungkapkan bahwa pelukis pribumi yang sebagian besar adalah para pemuda, tidak
menemui kesulitan dalam berkarya. Warna-warna lukisan mereka mencolok, dan pandangan
keseniannya sering muncul lebih menyakinkan daripada bentuk lukisannya yang masih mencari-
cari.Itulah beberapa kegiatan yang dilakukan oleh Persagi sebagai bukti eksistensi kelompok. Dengan
membawa faham baru tentang corak seni lukis Indonesia yang baru, pelukis tersebut lepas dari tradisi
lama. Dalam karya-karya mereka menampilkan beragam objek yang tidak hanya eksotis dan romantis.
Tetapi dalam karya mereka terdapat kedalaman makna berupa nilai-nilai yang ditanamkan terhadap
karya seni. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Sudjojono tentang gaya lukisan Mooi Indie. Bahwa
lukisan-lukisan Mooi Indie yang serba tenang dan damai dikatakan sebagai pelepas jemu para turis yang
dinegerinya hanya melihat skyscrapers (bangunan-bangunan pencakar langit). Lebih jauh Sudjojono
mengungkapkan bahwa seniman Persagi tidak bisa menghormati pelukis-pelukis yang enak-enak
menggambarkan lembah, gunung, awan-awan, dan mimpi di sorga sambil berkata : “O, romantisnya
Priangan”. Disisi lain pelukis-pelukis itu tidak mendengarkan para petani yang mengeluh, merintih, dan
menangis sebab kakinya terekena cangkul, berdarah dan luka parah. Lukisan-lukisan Mooi Indie itu
barankali bagus, namun rasa kemanusiaannya tidak ada.

S.Sodjojono tokoh sekaligus penggerak Persagi.Dengan keragaman konsep estetis atau kekayaan wacana
dalam tubuh Persagi akhirnya melahirkan berbagai bentuk karya yang khas dari setiap senimannya.
Disamping itu mereka mempunyai pandangan yang sama dalam mencari corak seni lukis Indonesia yang
baru. Serta memperjuangkan harkat pelukis pribumi di mata orang Belanda, maka dari itu lukisan-
lukisan anggota Persagi mempunyai corak yang lain dibandingkan dengan Mooi Indie. Kredo antiteknik
dalam proses kreatif mereka semakin menguatkan kecenderungan kebebasan menuju ke corak lukisan
ekspresionisme. Dalam perjalanan Persagi yang cukup singkat itu, tahap pematangan visi estetik
anggotanya baru tercapai setelah Persagi bubar. Persagi bubar pada waktu pendudukan Jepang di
Batavia sekitar tahun 1942, tetapi eksponen-eksponennya masih tetap berkarya dan tumbuh menjadi
pelukis-pelukis yang mengisi kehidupan seni lukis Indonesia modern.Itulah Persagi yang memberontak
tradisi lama yang ditanamkan oleh kolonial Belanda, dimana konsep estetis yang menurutkan selera
turistis dihantam dengan konsep jiwa Nasionalisme kerakyatan. Dengan megibarkan panji-panji
kerakyatan diharapkan corak seni lukis Indonesia baru akan muncul. Walaupun secara teknik karya dari
pelukis Persagi masih mengadopsi dari Barat, yaitu teknik ekspresionisme dan impresionisme. Tetapi
kandungan estetika dan konsep seni yang ada dalam karya seniman Persagi, mempunyai jiwa yang
diharapkan membawa corak yang baru. Melalui penciptaan objek yang sesuai dengan realita diharapkan
dapat memunculkan semangat dan jiwa Nasionalisme akan tumbuh pada tiap senimannya. Wacana
paradigma seni lukis Indonesia Baru dari Persagi, akhirnya memberikan warisan yang laten yaitu
perdebatan orientasi antara Timur dan Barat. Indentitas merupakan elemen yang menjadi wacana
krusial dalam setiap periode perkembangan seni lukis modern Indonesia. Dengan itu Persagi telah
membuktikan lewat paradigma dan karya yang membawa perubahan dalam seni lukis Indonesia
modern.

Anda mungkin juga menyukai