Anda di halaman 1dari 50

MENGIDENTIFIKASI TOKOH SENI RUPA

MURNI yang DICIPTAKAN di


INDONESIA
D
I
S
U
S
U
N
Ivan Rizaldi

5428

Junaedi

5467

Muhajir

5435

Rena Ayu Prastya

5409

SMP Negeri 196 Jakarta. Jalan Mabes TNI Pondok Ranggon 8441985

Jakarta Timur

KATA PENGANTAR

Pertama tama kami panjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayahnya kepada kita semua sehingga dapat
menyelesaikan kliping ini.
Penulisan karya tulis ini bertujuan untuk melengkapi salah satu Seni Budaya.
Tentang tokoh tokoh Seni Rupa Murni di Indonesia.
Kami menyadari bahwa karya ini masih jauh dari kata sempurna dan kami
sangat berharap kepada para pembaca dan teman teman memberikan kritik dan
saran agar karya ini bisa menjadi sempurna
Kami memberi penghargaan dan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu, dan ikut berperan, sehingga kliping ini dapat diterbitkan untuk membantu
proses belajar kami semua.
Jakarta, Januari 2015

Penulis

TOKOH TOKOH SENI LUKIS


1. BASOEKI ABDULLAH
Pada usia 34 tahun (1949), Basuki mengikuti lomba lukis potret diri
Ratu Belanda Juliana. Lomba itu diikuti 81 pelukis dari berbagai
penjuru dunia. Tetapi yang mampu
menyelesaikan potret Ratu tepat waktu
hanya 21 pelukis, termasuk Basuki. Ia bahkan
tampil sebagai juara. Sejak itu, Basuki laris
sebagai pelukis potret diri.
Basuki mengenal ayahnya, pelukis R. Abdullah
Surjosubroto, hanya setelah berusia 15 tahun.
Suatu kali, anak kedua dari lima bersaudara ini,
menggambar seekor singa yang sedang menerkam.
''Masa melukis macan ketawa,'' canda sang ayah,
putra tokoh pergerakan Dr. Wahidin Sudirohusodo. Basuki merasa sakit hati
dan terpecut oleh komentar sinis sang ayah.
Berangkat dewasa, ia gemar melukis tokoh-tokoh pergerakan, antara
lain Mahatma Gandhi. Basuki mulai mengembara tahun 1947. Mulamula ia belajar melukis di Akademi Seni Lukis Negeri Belanda,
kemudian Italia, dan Prancis.
Dari 42 tahun bermukim di luar negeri, 20 tahun dihabiskannya di
Negeri Belanda, dan 17 tahun di Muangthai. Basuki berhasil
menyunting gadis Thai. Pulang ke Jakarta, ia membawa serta istri Thainya, diangkat
Presiden Soekarno sebagai pelukis Istana Merdeka. Tahun 1961, ia
diundang Raja Muangthai, Bhumibol Adulyadej, untuk melukis Raja dan
istrinya, Ratu Sirikit, hingga ia menjadi pelukis istana di Bangkok. Dua
tahun kemudian, ia menerima anugerah Bintang Poporo sebagai
Seniman Istana Kerajaan.
Gayanya yang naturalis, mengejar kemiripan wajah dan bentuk, Basuki
disukai kalangan atas. Berbagai negarawan dan istri mereka seperti
berlomba minta dilukis Basuki: Presiden Soekarno, Sultan Brunei,
Pangeran Philip dari Inggris, Pangeran Bernard dari Belanda, dan kaum
jetset kaliber Nyonya Ratna Sari Dewi. Yang datang sendiri ke
kediamannya, di perumahan Shangrila Indah, Jakarta, tidak kurang:
Jenny Rachman, Eva Arnaz, bahkan Laksamana Sudomo.
Datang karena diundang ke Istana Mangkunegaran, Solo, di masa
Revolusi, Basuki luput melukis Nona Siti Hartinah. Ia memilih model
lain. Setelah Siti Hartinah menjadi Ibu Negara barulah Basuki
berkesempatan melukisnya. ''Kok sekarang mau?'' goda

Presiden Soeharto. Basuki berkelit, "Dulu 'kan zaman Orde Lama.


Sekarang zaman
Orde Baru, jadi saya terima,'' kata Basuki yang sudah melukis 300
potret diri.

ENSIKONESIA - ENSIKLOPEDI TOKOH INDONESIA


1. JOHAN RUDOLF BONNET
Nama lahir
Johan Rudolf Bonnet
Lahir
30 Maret 1895
Amsterdam, Belanda
Meninggal 18 April 1978 (umur 83)
Laren, Belanda
Tempat peristirahatan Ubud, Bali
Pekerjaan Seniman, Pelukis
Tahun aktif 1929 - 1978
Orang tua Jean Bonnet Jr.
Elisabeth Elsina Mann
Johan Rudolf Bonnet (lahir di Amsterdam, Belanda, 30 Maret
1895 meninggal di Laren, Belanda, 18 April 1978 pada umur 83
tahun) adalah seorang pelukis berkebangsaan Belanda yang
menghabiskan sebagian besar hidupnya di Ubud, Bali sebagai seorang
seniman dan pelukis. [1] Dia adalah salah seorang dari banyak pelukis
asing yang berkontribusi pada kemajuan seni lukis di Indonesia,
khususnya di Bali.

2. WAKIDI
Pelukis naturalis Indonesia yang hidup di era
Mooi Indie ini, lahir di Plaju, Palembang
Sumatera Selatan, pada tahun 1889. Orang
tuanya berasal dari Semarang, Jawa Tengah.
Mulai melukis sejak usia 10 tahun. Semasa kecil senang menggambar
ulang karya-karya Raden Saleh Syarief Bustaman yang diperoleh
melalui buku-buku, majalah atau foto-foto. Inilah yang
menyebabkannya akrab dengan dunia seni lukis.
Mendapat pendidikan seni lukis di Kweekshool Bukittinggi, Sumatera
Barat, dan sempat belajar dengan pelukis Belanda bernama Van Dick
di sekolah tersebut. Setelah selesai, kemudian menjadi guru di
almamaternya. Karya-karya Wakidi dikenal luas oleh publik penikmat
seni di Sumatera Barat, manakala pelukis ini untuk pertama kalinya
memamerkan tidak kurang dari 15 karyanya pada tahun 1920 di
Bukittinggi. Saat perang kemerdekaan berkecamuk di Ranah Minang,
Wakidi memilih menetap dan mengajar di INS Kayutanam, pimpinan
Mohammad Syafei.
Setelah Republik Indonesia merdeka, ia mengajar di SMA Landbouw
dan SMA Birugo Bukittinggi. Selain itu banyak pula tawaran yang
datang kepada pelukis Wakidi, diantaranya dari Abu Hanifah, Menteri
Pendidikan dan Pengajaran, menawarinya untuk menjadi kepala
jawatan kebudayaan, bahkan presiden RI pertama Soekarno pernah
pula menawarinya sebagai pelukis istana, semua ditolak secara halus
dengan alasan banyak menyita waktunya untuk melukis.
Karya-karyanya banyak mengambil tema pemandangan alam khas
Sumatera Barat. Di kanvas tema-tema pemandangan alam, selalu
memberi kesan yang luas, seperti langit, gunung, hamparan sawah
yang membentang diimbangi dengan permainan tarikan garisnya yang

lembut. Ia juga di kenal sangat selektif terhadap obyek pemandangan


alam yang dilukisnya, artinya tidak semua pemandangan alam berada
dalam kanvas-kanvasnya.
Dalam melukis pemandangan, ia juga selalu berusaha memperhatikan
bidang kanvas sesuai bentuk dan struktur obyek. Ia kerap menghindari
mengambil obyek dari tengah-tengah kanvas, dan lebih berkonsentrasi
mengambil obyek pemandangan dari samping atau beberapa derajat
dari obyek pemandangan alam, hal ini dimaksudkan agar obyek lebih
tampil menawan, indah dan memukau ditambah dengan warna-warna
alam yang sesungguhnya saat melukis ke alam. Ia kerap memakai
warna-warna lembut dengan menangkap kualitas cahaya yang
kebanyakan diambil pada sore hari. Kebiasaannya bekerja
dipermukaan kanvas secara horizontal dengan membagi ruang kanvas
menjadi tiga bagian adalah suatu kebiasaan yang diperolehnya dalam
teknik menggambar zaman Belanda. Maksudnya supaya bidang
kanvas terisi dengan komposisi seimbang yang kelihatan tampilan
harmoninya.
Wakidi banyak menghasilkan karya lukisan, antara lain Baralek,
Ngarai Sianok, Mahat, Pemandangan Di Payokumbuah, Kehidupan
Di Kaki Gunung Marapi, Danau Maninjau, Rumah Bagonjong, dan
lain-lain. Lukisannya tersebut hampir semuanya dikoleksi orang,
sehingga ia tidak pernah mengadakan pameran lukisannya. Karyakaryanya banyak dikoleksi oleh istana kepresidenan dan sejumlah
tokoh penting, seperti wakil-wakil presiden Indonesia, Bung Hatta dan
Adam Malik.
Pelukis yang namanya termasuk diantara tiga pelukis naturalistik
Indonesia yang terkemuka di zamannya, bersama dengan Abdullah
Surio Subroto (1879-1941) (ayah Basuki Abdullah) dan Pirngadie
(1875-1936) ini, wafat di Bukittinggi, Sumatera Barat, tahun 1979.
Meninggalkan dua istri dan 12 anak. Salah satu putranya, Irdan, yang
merupakan lulusan seni Rupa IKIP (sekarang UNP-Padang), kini
mengabdikan diri di almamaternya dan mengikuti jejaknya menjadi
seorang pelukis. Karya-karya Irdan tidak jauh berbeda dengan
ayahnya.

3. R.M PIRNGADIE

R. M. Pirngadie, lahir di Banyumas, Jawa


Tengah, tahun 1875 merupakan seorang pelukis naturalis dari aliran
Mooi Indie dari Indonesia.[1] Pada usia 11 tahun ia mulai berkerja di
Kantor Register, membuat gambar peta dan disanalah ia pertama kali
memegang kuas dan cat. Tahun 1889, ketika berusia 14 tahun, ia mulai
belajar melukis pada seorang pelukis bangsa Jerman. Pada tahun 1928,

ia bekerja pada Bataviaasch Genootschap van Kunsten en


Wetenschappen (kini menjadi Museum Nasional), Jakarta.
Bersama J.E. Jasper,[1] seorang peneliti bangsa Belanda, ia kemudian
berkeliling ke pelosok daerah di Indonesia mencatat tentang seni
kerajinan rakyat yang ada pada waktu itu. Hasilnya berupa karya
tulisannya yang ia buat sebanyak lima jilid, berjudul
De Inlandsche Kunst Nijverheid In Ned. Indies Graven Hage. Jilid 1,
tentang Anjaman, 1912. Jilid 2 tentang Tenunan, 1912. Jilid 3 tentang
Batik, 1916. Jilid 4 tentang Emas dan Perak, 1927. Dan jilid 5 tentang
logam lain selain emas dan perak, 1930.
Dalam perjalanannya kesenirupaannya, ia kemudian dikenal sebagai
salah satu pelukis yang menganut aliran naturalisme. Karena karya
lukis yang ia buat melukiskan sesuatu yang nyata dan alami seperti
tampak pada aslinya. Selain itu, ia juga termasuk dalam golongan
kelompok mazhab Hindia Molek atau Mooi Indie, bersama sejumlah
pelukis lainnya seperti R. Abdullah Suriosubroto (1878-1914), dan
Wakidi (1889-1979). Ketiganya di anggap sebagai pelanjut pelukis
Raden Saleh yang dikenal sebagai perintis aliran seni lukis modern di
tanah air. Dalam melukis, R.M.Pirngadi kerap menggunakan objek alam
yang berkesan tentram, tenang, dan damai, sebagai gambar
lukisannya.
Pelukis yang sudah sering mengadakan pameran tunggal di kota-kota
besar di Jawa ini pernah beberapa kali mendapat penghargaan yakni,
tahun 1905, ia menerima piagam penghargaan lukisan terbaik pada
pameran di Annual Fair, Surabaya. Tahun 1907, ia menerima
penghargaan II pada pameran lukisan cat air, Surabaya. Tahun 1912, ia
menerima dua medali pada pameran lukisan, Surabaya. Tahun 1913, ia
mendapat hadiah untuk lukisan pemandangan Indonesia terbaik pada
The Gent Expositio. Tahun 1914, is mendapat hadiah pertama untuk
lukisan cat air terbaik pada Pameran Kolonial, Semarang. Tahun 1919,
ia mendapat hadiah pertama dan kedua pada perlombaan membuat
kulit buku terindah.
Raden Mas Pirngadi wafat pada tahun 1936.

4. AFFANDI

Affandi dilahirkan di Cirebon pada tahun 1907, putra dari R. Koesoema,


seorang mantri ukur di pabrik gula di Ciledug, Cirebon. Dari segi
pendidikan, ia termasuk seorang yang memiliki pendidikan formal
yang cukup tinggi. Bagi orang-orang segenerasinya, memperoleh
pendidikan HIS, MULO, dan selanjutnya tamat dari AMS, termasuk
pendidikan yang hanya diperoleh oleh segelintir anak negeri.
Namun, bakat seni lukisnya yang sangat kental mengalahkan disiplin
ilmu lain dalam kehidupannya, dan memang telah menjadikan
namanya tenar sama dengan tokoh atau pemuka bidang lainnya.
Pada umur 26 tahun, pada tahun 1933, Affandi menikah dengan
Maryati, gadis kelahiran Bogor. Affandi dan Maryati dikaruniai seorang
putri yang nantinya akan mewarisi bakat ayahnya sebagai pelukis,
yaitu Kartika Affandi.
Sebelum mulai melukis, Affandi pernah menjadi guru dan pernah juga
bekerja sebagai tukang sobek karcis dan pembuat gambar reklame
bioskop di salah satu gedung bioskop di Bandung. Pekerjaan ini tidak
lama digeluti karena Affandi lebih tertarik pada bidang seni lukis.

Sekitar tahun 30-an, Affandi bergabung dalam kelompok Lima


Bandung, yaitu kelompok lima pelukis Bandung. Mereka itu adalah
Hendra Gunawan, Barli, Sudarso, dan Wahdi serta Affandi yang
dipercaya menjabat sebagai pimpinan kelompok. Kelompok ini
memiliki andil yang cukup besar dalam perkembangan seni rupa di
Indonesia. Kelompok ini berbeda dengan Persatuan Ahli Gambar
Indonesia (Persagi) pada tahun 1938, melainkan sebuah kelompok
belajar bersama dan kerja sama saling membantu sesama pelukis.
Pada tahun 1943, Affandi mengadakan pameran tunggal pertamanya
di Gedung Poetera Djakarta yang saat itu sedang berlangsung
pendudukan tentara Jepang di Indonesia. Empat Serangkaiyang terdiri
dari Ir. Soekarno, Drs. Mohammad Hatta, Ki Hajar Dewantara, dan Kyai
Haji Mas Mansyurmemimpin Seksi Kebudayaan Poetera (Poesat
Tenaga Rakyat) untuk ikut ambil bagian. Dalam Seksi Kebudayaan
Poetera ini Affandi bertindak sebagai tenaga pelaksana dan S.
Soedjojono sebagai penanggung jawab, yang langsung mengadakan
hubungan dengan Bung Karno.
Ketika republik ini diproklamasikan 1945, banyak pelukis ambil bagian.
Gerbong-gerbong kereta dan tembok-tembok ditulisi antara lain
Merdeka atau mati!. Kata-kata itu diambil dari penutup pidato Bung
Karno, Lahirnya Pancasila, 1 Juni 1945. Saat itulah, Affandi mendapat
tugas membuat poster. Poster yang merupakan ide Soekarno itu
menggambarkan seseorang yang dirantai tapi rantainya sudah putus.
Yang dijadikan model adalah pelukis Dullah. Kata-kata yang dituliskan
di poster itu (Bung, ayo bung) merupakan usulan dari penyair Chairil
Anwar. Sekelompok pelukis siang-malam memperbanyaknya dan
dikirim ke daerah-daerah.
Bakat melukis yang menonjol pada diri Affandi pernah menorehkan
cerita menarik dalam kehidupannya. Suatu saat, dia pernah mendapat
beasiswa untuk kuliah melukis di Santiniketan, India, suatu akademi
yang didirikan oleh Rabindranath Tagore. Ketika telah tiba di India, dia
ditolak dengan alasan bahwa dia dipandang sudah tidak memerlukan
pendidikan melukis lagi. Akhirnya biaya beasiswa yang telah
diterimanya digunakan untuk mengadakan pameran keliling negeri
India.
Sepulang dari India, Eropa, pada tahun lima puluhan, Affandi
dicalonkan oleh PKI untuk mewakili orang-orang tak berpartai dalam
pemilihan Konstituante. Dan terpilihlah dia, seperti Prof. Ir. Saloekoe
Poerbodiningrat dsb, untuk mewakili orang-orang tak berpartai. Dalam

sidang konstituante, menurut Basuki Resobowo yang teman pelukis


juga, biasanya katanya Affandi cuma diam, kadang-kadang tidur. Tapi
ketika sidang komisi, Affandi angkat bicara. Dia masuk komisi
Perikemanusiaan (mungkin sekarang HAM) yang dipimpin Wikana,
teman dekat Affandi juga sejak sebelum revolusi.
Topik yang diangkat Affandi adalah tentang perikebinatangan, bukan
perikemanusiaan dan dianggap sebagai lelucon pada waktu itu.
Affandi merupakan seorang pelukis rendah hati yang masih dekat
dengan flora, fauna, dan lingkungan walau hidup di era teknologi.
Ketika Affandi mempersoalkan Perikebinatangan tahun 1955,
kesadaran masyarakat terhadap lingkungan hidup masih sangat
rendah.
Affandi juga termasuk pimpinan pusat Lekra (Lembaga Kebudayaan
Rakyat), organisasi kebudayaan terbesar yang dibubarkan oleh rezim
Suharto. Dia bagian seni rupa Lembaga Seni Rupa) bersama Basuki
Resobowo, Henk Ngantung, dan sebagainya.
Pada tahun enampuluhan, gerakan anti imperialis AS sedang
mengagresi Vietnam cukup gencar. Juga anti kebudayaan AS yang
disebut sebagai kebudayaan imperialis. Film-film Amerika, diboikot di
negeri ini. Waktu itu Affandi mendapat undangan untuk pameran di
gedung USIS Jakarta. Dan Affandi pun, pameran di sana.
Ketika sekelompok pelukis Lekra berkumpul, ada yang
mempersoalkan. Mengapa Affandi yang pimpinan Lekra kok pameran
di tempat perwakilan agresor itu. Menanggapi persoalan ini, ada yang
nyeletuk: Pak Affandi memang pimpinan Lekra, tapi dia tak bisa
membedakan antara Lekra dengan Lepra! kata teman itu dengan
kalem. Karuan saja semua tertawa.
Meski sudah melanglangbuana ke berbagai negara, Affandi dikenal
sebagai sosok yang sederhana dan suka merendah. Pelukis yang
kesukaannya makan nasi dengan tempe bakar ini mempunyai idola
yang terbilang tak lazim. Orang-orang lain bila memilih wayang untuk
idola, biasanya memilih yang bagus, ganteng, gagah, bijak, seperti;
Arjuna, Gatutkaca, Bima atau Werkudara, Kresna.
sumber:http://id.wikipedia.org/wiki/Affandi

5. Yudhokusumo

Pelukis besar kelahiran Kisaran, Sumatra Utara, 14


Desember 1913, ini sangat menguasai teknik melukis dengan hasil
lukisan yang berbobot. Dia guru bagi beberapa pelukis Indonesia.
Selain itu, dia mempunyai pengetahuan luas tentang seni rupa. Dia
kritikus seni rupa pertama di Indonesia. Ia seorang nasionalis yang
menunjukkan pribadinya melalui warna-warna dan pilihan subjek.
Sebagai kritikus seni rupa, dia sering mengecam Basoeki Abdullah
sebagai tidak nasionalistis, karena melukis
perempuan cantik dan pemandangan alam. Sehingga Pak Djon dan
Basuki dianggap sebagai musuh bebuyutan, bagai air dan api, sejak
1935.
Tapi beberapa bulan sebelum Pak Djon meninggal di Jakarta, 25
Maret 1985,
pengusaha Ciputra mempertemukan Pak Djon dan Basuki bersama
Affandi dalam pameran bersama di Pasar Seni Ancol, Jakarta.
Sehingga

Menteri P&K Fuad Hassan, ketika itu, menyebut pameran bersama


ketiga raksasa seni lukis itu merupakan peristiwa sejarah yang
penting.
Pak Djon lahir dari keluarga transmigran asal Pulau Jawa, buruh
perkebunan di Kisaran, Sumatera Utara. Namun sejak usia empat
tahun, ia menjadi anak asuh. Yudhokusumo, seorang guru HIS,
tempat Djon kecil sekolah, melihat kecerdasan dan bakatnya dan
mengangkatnya sebagai anak.

6. AGUS DJAYA

Agus Djaya atau bernama lengkap Raden Agoes Djajasoeminta (lahir


di Pandeglang, Banten, 1 April 1913 meninggal di Bogor, Jawa
Barat, 24 April 1994 pada umur 81 tahun) merupakan pelukis asal
Indonesia. Di zaman pendudukan Jepang, ia direkomendasikan oleh
Bung Karno untuk menjadi Ketua Pusat Kebudayaan Bagian Senirupa
(1942-1945). Pada zaman revolusi kemerdekaan ia katif sebagai
Kolonel Intel dan F.P (Persiapan Lapangan). Namun setelah
kemerdekaan ia kembali aktif ke dunia senirupa.

Ada suasana magis terpancar dari warna biru dan merah Agus
Djaya. Sosok-sosok penari yang tampil dalam lukisannya merupakan
penampilan suasana ritual dari masyarakat yang masih sangat
dekat dengan alam. Warna biru dan merahnya seperti sudah
menemukan karakter tersendiri, sehingga merupakan idiom yang
khas dari Agus. Dunia pewayangan rupanya amat menarik hati
pelukis kelahiran Pandeglang, Banten ini. Dalam kanvas-kanvasnya,
apabila Agus mengerjakan obyek wayang, terasa ada kekayaan.
Lukisan Agus Djaja yang berjudul Kuda Kepang (1975), cat air, 50 x
68 cm memiliki warna meriah dan humor yang membersit di sana-sini,
agus juga terampil menangkap segi-segi lucu kehidupan. Dinyatakan
sebagai salah seorang cikal-bakal seni lukis Indonesia, Agus pendiri
dan Ketua Persagi (Persatuan Ahli Gambar Indonesia) organisasi
pertama para seniman senirupa Indonesia periode 1937-1942.
Cita-cita yang terkandung dalam Persagi sering disebut menyatu
dengan cita-cita sional. Reproduksi lukisannya banyak mengisi buku
koleksi lukisan Presiden Soekarno, yang dicetak di Beijing 1960-an. Ia
menerima pendidikan kesenian dari Akademi Seni rupa Amsterdam,
Belanda.
Kadang-kadang sambil bergurau, Agus menertawakan dirinya yang
bekerja seni untuk seni, dengan mengorbankan karier sebagai calon
jenderal. April 1976 ia berpameran tunggal di TIM, Jakarta. Yang
pertama kali setelah absen berpameran tunggal selama 40 tahun.
Lebih dari 70 buah lukisan dipajangnya. Tampak percobaan untuk
beranjak dari seni-sosok menuju lukisan-lukisan yang sifatnya abstrak,
atau semi-abstrak. Ia mencita-citakan lahirnya corak seni-lukis
Indonesia yang khas. Bukan perbedaan-perbedaan bentuk, katanya,
akan tetapi sari. Tetapi lebih penting dari itu adalah corak pribadi,
tutor mantan tentara dengan 11 tanda jasa ini, ia lalu menyebut nama
Affandi sebagai yang sudah punya corak kepribadian.

7. KARTONO
Kartono semasa kecil pindah ke Jakarta dan pertama kali dibimbing
melukis oleh ayahnya. Pada masa selanjutnya, ia juga belajar dari
perupa-perupa terkenal, baik dari Jepang maupun Belanda: Chiyoji
Yazaki tahun 1934, Charles Sayers tahun 1935, Willem Bosschaert
tahun 1936, Ernest Dezentj tahun 1937, Bernhard Rutgers tahun
1938 dan T. Akatsuka tahun 1942.
Melalui perupa-perupa ini, Ia mengenal karya perupa terkenal
Perancis, Henri Rousseau (pelukis dan tokoh aliran Naivisme) yang
kemudian sangat mempengaruhi karya-karyanya. Tampak sekali nilainilai dekoratifnya mendapat pengaruh dari Rosseau namun dikemas
dengan citra ke-indonesiaan, dengan mengangkat tema-tema
perjuangan dan kehidupan alam di Indonesia.

8. MOCHTAR APIN

Senirupawan, lahir di Bukit Tinggi, Padang


Panjang, Sumatera Barat, 23 Desember 1923 dan meninggal di
Bandung, 1 Januari 1994. Seorang putera dari seorang pegawai kereta
api. Ia mendapatkan pendidikan luas, yang pada tahun 1948 mencoba
meraih gelar sarjana sastra di Universitas Indonesia di Jakarta.
Walaupun berbakat dalam puisi serta menulis, melukis menjadi
gairahnya sementara ia masih di sekolah (1939-1940). Lulus Seni Rupa
ITB, Bandung (1951), Seni Rupa dan Kria, Amsterdam (1952), Ecole
Nationale Superieure des Beaux Art, Paris (1957), dan Deutsche
Akademie der Kunste, Berlin (Jerman) tahun 1958. Salah seorang
pendiri organisasi budaya Gelanggang. Sejak tahun 1950 sampai akhir
hayatnya, aktif mengikuti pameran bersama ataupun tunggal.
Di bawah pemerintahan Jepang, seperti begitu banyak seniman
kerabatnya, ia bekerja di Pusat Kebudayaan. Pada tahun 1946 ia aktif
sebagai editor sebuah jurnal, Nusantara, dan pada tahun 1947 ia
bekerja untuk majalah berkala Pembangunan dan Gema Suasana,
sementara juga memproduksi ilustrasi-ilustrasi untuk organisasi
penerbitan pemerintah, Balai Pustaka. Dengan berdirinya Sekolah Seni
Rupa di Bandung pada tahun 1948, Apin ditemukan oleh Admiral,
direktur pertamanya, dan menjadi seorang teman dekat serta
mahasiswa dari Ries Mulder, pelukis Belanda serta pengajar utarna di
Bandung. Pada tahun 1951 ia pergi ke Holland atas beasiswa dari
STICUSA di mana ia bekerja dan berpameran selama dua tahun. Pada
1953, ia pergi ke Paris untuk belajar selama empat tahun di Ecole
Nationale Superieure des Beaux-Arts, menghabiskan waktu cukup
banyak pada seni grafis serta fotografi.

9. JIM SUPANGKAT

Jim Supangkat bernama lengkap Jim Abiyasa Supangkat


Silaen. Pria yang lahir 2 Mei 1948 di Makassar, Sulawesi Selatan ini
banyak mewarisi darah seni dari paman dan kakeknya. Sehingga wajar
bila sejak kecil ia telah mulai melukis dan bercita-cita menjadi pelukis.
Kehidupan berkesenian memang telah dirasakannya sejak kecil.
Terlebih lagi, ayahnya adalah kolektor benda seni. Tahun 1975, Jim
menyelesaikan pendidikan seni dari Fakultas Seni Rupa ITB, Bandung.
Pada tahun 1970-an Jim menjadi penggagas Gerakan Seni Rupa Baru
Indonesia, yang diikuti oleh banyak seniman pada masa itu. Gerakan
itu merupakan bentuk pemberontakan terhadap seni rupa pada masa
itu, yang dianggap cenderung bersifat amatir.
Jim Supangkat adalah seniman yang awalnya juga berprofesi sebagai
wartawan. Ia bahkan sempat menduduki jabatan Redaktur Pelaksana
Majalah Tempo. Namun kecintaannya pada dunia seni rupa, membuat
ia akhirnya lebih memilih profesi sebagai kritikus seni dan kurator.
Dalam pembelajarannya sebagai kurator, Jim banyak melakukan
perjalanan ke luar negeri, antara lain ke sejumlah museum seni rupa di
Jepang. Di akhir 80-an, Jim bekerja penuh sebagai kritikus dan kurator.

Ia melakukan praktik kuratorial secara independen, seperti banyak


kurator di Eropa dan Amerika Serikat. Telah banyak tulisan kritik dan
buku seni rupa yang ditulisnya. Sebagai kurator, ia telah menjadi
kurator bagi banyak sekali pameran seni di Indonesia. Jim Supangkat
dikenal sebagai pekerja keras. Ia juga berani memperjuangkan hal
yang dianggapnya benar.
Jim Supangkat memulai karier seninya sebagai pematung. Namun,
karya yang dihasilkan tidak hanya patung, namun juga lukisan.
Karyanya yang terkenal yaitu Pengumuman (lukisan), Salib Gereja
(patung), dan Ken Dedes (lukisan 1975 direstorasi tahun 1990)
Sebagai seniman, sekaligus pengamat dan kritikus seni, serta kurator,
Jim Supangkat banyak menulis buku yang berhubungan dengan dunia
seni dan seniman. Berikut adalah beberapa bukunya:
Provocative Bodies: Interpreting the Works of Mochtar Apin, 1990
1993 (2005)
Ikatan Silang Budaya: Seni Serat Biranul Anas (2006, ditulis bersama
Rizki Akhmad Zaelani)
Qi Zhilong 19922009 (2009, bersama Li Xianting, Qi Zhilong)

10.

DEDE ERI SUPRIA

Dede Eri Supria sendiri lahir di Jakarta


sebagai anak ke 7 dari 11 bersaudara. Ayah Dede Eri Supria bernama
Supandi Tanumihardja, Ibunya bernama Saribanon, Ibu angkat dari
Dede Eri Supria Alfiah. Dia dibesarkan dalam sebuah keluarga, polos

mencolok di tengah-tengah banyak orang lain yang berjuang untuk


bertahan hidup di kota urban besar. Ketidak seimbangan sosial yang
mencolok dan kekacauan menjadi masalah yang menonjol yang
dirasakan bagi dede eri supria dan dede merasa sangat bagi
masyarakat umum yang dirugikan dan paling menderita. Rupanya
dalam kondisi yang memprihatinkan ini membuat seniman lukis dede
eri supria berempati dengan mereka sehingga muncullah beberapa
karya seni lukisnya yang merupakan hasil ekspresi dan sebagai
komentar sosialnya. Dalam Labyrinth misalnya, itu berarti bagaimana
orang-orang sederhana yang terjebak oleh perubahan yang cepat dan
rumit di masyarakat perkotaan, ketidakmampuan untuk melepaskan
diri dari labirin menandakan bagaimana mereka tidak bisa
membebaskan diri.
Dede Eri Supria juga pernah belajar untuk menjadi juru foto dari usia
sekolah dasar, ketika itu ia mulai membantu ayahnya melakukan
gambar yang diperbesar dari foto-foto di komisi. Paparan awal dede
dengan prinsip-prinsip fotografi mungkin merupakan alasan mengapa
komposisi memainkan bagian penting dalam setiap karya seni lukisnya
"saya menemukan bahwa susunan mata pelajaran saya memiliki
kekuatan yang unik tersebut untuk bercerita, untuk memberikan
makna yang lebih besar untuk gambar lukisan saya".
Karena ayahnya yang tidak bisa sendirian mendukung keluarga
besarnya, membuat Dede Eri Supria harus bekerja paruh waktu untuk
berkontribusi terhadap pendapatan keluarganya. Pada awalnya, dia
menjual buku komik dan es krim di waktu luang, sesuatu yang juga
menginspirasi untuk mengambil gambar kartun. Dede Eri selanjutnya
memiliki minat dalam menggambar kartun, dan mengambil pelajaran
menggambar dari Dukut Hendranoto, seorang seniman lokal yang,
non-dogmatis. Dialah yang memainkan peran penting dalam
membentuk filsafat seni dede eri supria, yang tidak berhenti di
menggambarkan realitas sebagai mata kita melihatnya, tetapi
kenyataan yang unik yang kita tafsirkan untuk diri kita sendiri, dari
perspektif kita sendiri.
Pada usia masih SMP, Dede Eri supria sudah mendirikan studio artis
pertama dengan tiga teman-temannya, dan memutuskan untuk
menjadi seorang pelukis. kemudian Masuk Sekolah Menengah Seni
Rupa (SSRI, Sekolah Seni Rupa Indonesia) di Yogyakarta, namun keluar
setahun sebelum lulus. karena menurutnya sekolah tidak mendorong
kita untuk bekerja secara profesional dalam gaya realis. Tentu, sekolah
tidak mengajarkan kita teknik yang berkaitan dengan gambar lukisan

realistis, tetapi realisme tidak dianggap layak apa pun kecuali alat
penelitian, atau sebagai salah satu tahap persiapan untuk
menciptakan "seni nyata" yang harus expressionistically atau dekoratif
terdistorsi. Dede diejek karena minatnya dalam realisme di sekolah itu,
dan setelah memutuskan bahwa lingkungan sekolah tidak cocok
untuknya. Sejak itu Dede lebih memilih untuk menghabiskan waktunya
berkumpul bersama para mahasiswa Akademi Seni Rupa Indonesia
(ASRI),
Dari situ, kemampuannya sebagai pelukis kian matang. Kemunculan
Dede Eri Supria di penghujung 1970-an sangat memberikan harapan.
Pasalnya, ia merupakan salah seorang eksponen Seni Rupa Baru yang
dinilai paling serius menjalankan perannya sebagai pelukis profesional.
Sama seperti kebanyakan pelukis lainnya, Gambar lukisan Dede juga
memiliki ciri khas. Dalam hal ini Dede lebih memilih gaya melukis
realisme dengan tema sosial dan kritis. Sementara dalam
perwujudannya seringkali bernada surealistik dan jika dilihat dari segi
teknik, Dede mengambil gubahan potretis.
Meski sebagian kalangan menganggap aliran tersebut sudah
ketinggalan jaman, Dede punya pendapat sendiri. Menurutnya, lukisan
abstrak tidak relevan di Indonesia, oleh karena itu, hanya sedikit
masyarakat yang dapat menikmatinya. Semangat melukis Dede pun
terus membara. Pada tahun 1976, Dede bergabung dengan lima
mahasiswa ASRI mengadakan pameran keliling bertajuk Seni
Kepribadian Apa di Yogyakarta, Surabaya dan Jakarta. Pameran itu
seolah menggugat para pelukis mapan yang ketika itu sibuk
berpolemik tentang kepribadian Indonesia dalam seni lukis. Setahun
berselang, Dede memutuskan untuk bergabung dengan Kelompok Seni
Rupa Baru yang juga bertujuan mengguncang kemapanan.
Suami Dewi Kun Saraswati ini banyak mengangkat masalah sosial
yang menggetarkan seperti kehidupan orang miskin yang tak berdaya
di kota besar, urbanisasi, kesederhanaan orang-orang desa bahkan
permasalahan dalam dunia sepakbola. Manusia seperti kehilangan
peran, didesak oleh benda-benda dan bangunan-bangunan. Dengan
ukuran yang umumnya terhitung besar, lukisan Dede menjadi saksi
bagi kehidupan kota pada jaman pembangunan fisik.
Dalam salah satu karyanya yang berjudul Yang Berusaha Tumbuh,
Dede bercerita tentang kesadaran akan dibutuhkan atau tidaknya
keseimbangan ekosistem. Orang menjadi objek, pasif, konsumen dari
industrialisasi yang selalu menghasilkan produk yang sama dan
massal.

Dalam proses melukis terjadi reduksi, dari realitas menuju ke suatu


yang menjadi imajiner. Dede juga menyatakan bahwa pelukis adalah
antena sosial, maksudnya, seorang pelukis mampu memperbaiki
kesejahteraan ekonomi.
Mencoba Untuk Tumbuh - Dede Eri Supria
Sejak 1978, pelukis yang menjadikan rumahnya sebagai studio lukis ini
selalu berpartisipasi dalam Biennale Pelukis Muda Indonesia di Taman
Ismail Marzuki (TIM), Jakarta. Pameran tunggalnya yang pertama
diadakan di TIM pada 1979, yang terus diselenggarakan secara
berkala. Selain menggelar pameran solo, Dede juga ikut ambil bagian
dalam sejumlah pameran bersama, pameran keliling negara ASEAN,
dan Eropa, antara lain The Third Asian Art Show di Fukuoka, Festival
Art dalam rangka KIAS di Amerika, serta Asia Pasific Trienalle di
Brisbane, Australia.
Pada 1989, Dede Eri Supria mendapat order dari G. Dwipayana untuk
membuat sampul buku Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya.
Pada tahun 1996, pemerintah Republik Rakyat Cina juga pernah
secara khusus mengundang Dede untuk mengunjungi beberapa kota
Negeri Tiongkok tersebut.
Berkat kontribusinya pada dunia seni lukis, Dede berhasil menyabet
sederet penghargaan, diantaranya The General Award for the Arts dari
The Society for American-Indonesian Friendship (1978), Hadiah
Lukisan Terbaik dalam Biennale yang diselenggarakan Dewan Kesenian
Jakarta (DKJ, 1981), Anugerah Adam Malik (1986), Affandi Award
(1993), serta Hadiah Pertama The Philip Morris Indonesian Arts Award
(1997)

11. NYOMAN NURTA


Nyoman Nuarta. Pematung yang saat masih menjadi mahasiswa Seni
Rupa ITB, pada tahun 1979, memenangi Lomba Patung Proklamator
Republik Indonesia. Dari kemenangannya itulah, pelan dan pasti,
mengantarkannya dekat dengan mantan penguasa Orba. Kala itu, di
awal tahun 90-an, kenangnya, didampingi diantaranya Fuad Hasan,
Joop Ave dan beberapa nama penting lainnya, selama 3 kali dia harus
wara-wiri ke Istana Negara.
Menuju dan menginjak Istana Negara saat itu, ujar pematung kelahiran
Tabanan, Bali, 14 November 1951 itu, bukan perkara gampang.
"Karena kita harus didampingi pejabat terkait seperti Sekdalobang,
Sekneg dan sebagainya," katanya di sesela persiapan pengiriman
potongan besar patung Garuda Wisnu Kencana (GWK) menuju Bali, di
bengkelnya di Sukajadi, Bandung, Sabtu (7/6) lalu.
"Kekurang ajarannya," dinilai makin lengkap, karena saat itu, Nuarta
yang menjadi mahasiswa ITB angkatan 1973, masih gondrong dan
menguncir rambutnya ke belakang. Singkat cerita, ada briefing di
setiap menjelang pertemuan dengan pak Harto, "Sebelum pak Harto

bertanya, jangan bicara," demikian kesaksian Komeng--panggilan


akrab Nuarta dari sesama seniman dan mahasiswa ITB
seangkatannya.
Setelah Fuad Hasan bicara, Joop Ave bicara, payahnya pak Harto
hanya bertopang dagu, dan sesekali menjawab paparan para
'pembantunya' itu, dengan mengatakan, "Hmmmm." Suasana menjadi
kaku dan sangat tidak mengenakkan. Sangat dipercaya, semua
keberanian, kecakapan berbicara, dan kemampuan berkomunikasi
yang apik, seketika runtuh jika berhadapan dengan pak Harto.
"Bahkan, sudah menjadi rahasia umum, kita semua keringatan kalau
mendapat waktu bertemu pak Harto, dia seperti raja kala itu," kenang
Nuarta.
otoriter di zamannya, toh keaksian Nuarta, pak Harto senantiasa
senyum-senyum jika bersua dengannya. Makanya, begitu mengetahui
Nuarta berada di antara pertemuan pembahasan proyek GWK dan
mengetahui ia berambut kuncir, pak Harto berujar, "Cucu saya juga
pengen bikin begini (dikuncir rambutnya, red)," kenangnya. Sejenak
kemudian, tangan pak Harto melambai dan meminta Nuarta duduk
mendekat dengannya, untuk menjelaskan paparan proyek GWK.
Mengetahui seniman gondrong dikuncir itu mendekat, seketika
Wiranto sebagai ajudan yang cekatan, langsung memberikan jarak
aman yang terukur antara Presiden dan rakyatnya itu. Setelah itu,
dengan leluasa Nuarta baru bisa menjelaskan pemikirannya ihwal
proyek patung raksasa itu. Penerimaan dan keterbukaan seorang pak
Harto kepada Nuarta saat itulah yang menimbulkan kesan mendalam
baginya. "Orang boleh mengatakan jelek tentang pak Harto, tapi dia
baek aja sama saya," katanya.
Berkat penerimaan pak Harto atas proyek GWK saat itulah, peletakan
batu pertama, dan langkah selanjutnya impian menjadikan GWK nyata,
menjadi lebih mudah. Karena setelah itu, Wapres Tri Sutrisno,
langsung 'nyumbang semen'. Sayang krisis moneter datang dan
mendera Indonesia pada 98, sehingga menjadikan proyek raksasa itu,
terbengkalai untuk sementara .
Ya, pertemuan dengan Soeharto saat itu, tidak lain dan tidak bukan
memang demi merencanakan, mematangkan dan menggarap proyek
mercusuar GWK. Yang tidak terasa telah berjalan selama 25 tahun
hingga sekarang. Dan telah melewati 5 Presiden, hingga masa
Presiden Habibie, Gus Dur, Megawati dan SBY.
Meski setelah itu, pelan dan pasti, proyek GWK dipaksakan Nuarta
tetap berjalan. Ada atau tidak bantuan dari Presiden juga Negara, tapi

sepengakuannya, dari ke-5 Presiden yang ada dan turut bekerja


memujudkan GWK seperti dan sampai sekarang. Terlepas dari
persoalan politik, suka atau tidak, diakui atau tidak, menurut Nuarta
hanya sosok Soeharto yang paling konkrit sumbangsihnya, "Karena
saat itu, Presiden kita respek pada kesenian, peduli setan AS bilang dia
dikatator," katanya menegaskan.
Sewaktu era Soeharto, imbuh dia, banyak seniman juga mendapatkan
kerjaan kreatif. Dan yang pasti, "Sumbangannya nyata, orangnya
rileks, juga ibu Tien." Sementara Presiden yang lain, sepengakuannya,
sumbangsihnya, sebagian hanya dalam bentuk omongan. Oleh karena
itu, selian dipercaya membereskan proyek GWK, Nuarta juga
dipercaya menyelesaikan proyek tak kalah bergengsi lainnya, yaitu
membuat patung Jalesveva Jayamahe di Akademi Angkatan Laut (AAL)
di Surabaya.
Demikian sekilas perjalanan Nuarta dibalik kiprahnya mewujudkan
sejumlah proyek prestisius dan monumental, diantaranya Patung
Garuda Wisnu Kencana (Badung, Bali), Monumen Jalesveva Jayamahe
(Surabaya), Monumen Proklamasi Indonesia (Jakarta), dan masih
banyak lagi.
Berawal dari Jengkel
Lalu dari mana asalnya ide gila membuat GWK bersemayam di benak
pematung yang tergabung dalam organisasi seni patung internasional,
diantaranya International Sculpture Center Washington (Washington,
Amerika Serikat), Royal British Sculpture Society (London, Inggris), dan
Steering Committee for Bali Recovery Program itu?
Ternyata berangkat dari rasa kejengkelan setelah menggelar pameran
di New York, AS. Saat itu, ceritanya, pameran patungnya mendapatkan
sambutan hangat. Tapi, begitu sejumlah wartawan dari AS mengetahui
dirinya dari Indonesia, "Mereka langsung pergi. Cari aja yang mau
mengkover berita tentangAsia," ujar ayah dua anak itu, menirukan
ucapan jurnalis di AS, saat itu. Dari pengalaman itulah, dia berniat
'teriak' dari Indonesia dengan membuat GWK.
"Kita punya kekuatan, tapi ngga punya keyakinan diri. Dengan GWK
kita memantapkan diri. Dengan menjadi sorotan dunia, kita nggak
perlu lagi bicara ke New York, nyembah-nyembah mereka, karena
mereka akan dengan sendirinya menulis tentang kita," katanya geram.
"Malaysia ada apa sih, kan cuman ada dua Tower itu, tapi siapa yang
ngerjain?," imbuh dia retoris. Dengan proyek GWK pula dia sangat
berharap, jangan sampai bangsa Indonesia, mengecilkan bangsanya
sendiri.

Bagaimana pula, pemilik Taman Patung NuArt Sculpture Park ini, terus
memelihara dan menjaga mimpinya lebih dari 25 tahun untuk
mewujudkan mimpi membangun GW? Langkah pertama, "Saya
mantepkan kekuarga saya dulu, meski resikonya, bisa tinggal di tenda
biru, karena semua kekayaan telah saya gadaikan," katanya.
Setelah urusan rumah diamankan, barulah dia beramgkat perang,
mengejar cita-cita berjuang di jalan budaya. Jalan budaya dan bukan
jalan pedang, atas nama kecintaan kepada tujuan mulia menempatkan
Indonesia di peta dunia itulah, "Yang membuat saya bertahan sampai
sekarang," katanya. Jalan kebudayaan, menurutnya sangat penting,
berangkat dari pengalamannya pernah diundang dalam World
Economy Forum di Davos, Swiss. "Kok seniman dikumpulkan sama
para ekonom dan pengusaha? Supaya mereka berbudaya, demikian
kata panitianya," kenang Nuarta ihwal pertemuan tingkat tinggi itu.
Sejak itulah, jalan budaya senantiasa diatanam di hatinya, agar dia
makin bersemangat menjaga cita-citanya. Meski kerikil, sandungan,
cibiran, telikungan harus silih berganti diahadapi. Tapi semua itu, tidak
mengecilkan keyakinannya ihwal dunia patung. Karena menurut dia,
seni patung mempunyai 3 kekuatan. Pertama bisa menjadi ikon kalau
patungnya bagus.
Turunannya, bisa menjadi industri parisiwasata, dan mendatangkan
keuntungan bisnis. Sekaligus menjadi elemen estetik, dan pengingat/
penanda kawasan. Meskipun patung banyak dibuat sebagai perekam
sejarah, dan karya monumen, dan belum tentu menjadi karya
monumental. Untuk menjadi monumental, kandungan sejarah yang
terekam di sebuah patung, harus ada dan kuat. Jadi patung bukan
semata art for art, "Berapa banyak jumlah seniman sih di Indonesia,
kok mengagungkan aliran art for art,"katanya.
Jadi Nuarta terus berpikir, bagaimana caranya seni patung di Indonesia
menjadi perhatian dunia. Itas alasan itupula dia sempat pindah dari
jurusan seni lukis ke jurusan seni patung di ITB. "Karena jiwa saya
lebih ke patung, lebih ke petani. Kalau seni lukis buat saya, citarasa
seninya terlalu tinggi. Sedangkan seni patung nilai sosialnya lebih
kuat."
Saat ini, pemilik baru proyek GWK adalah Alam Sutera. Bersama
pemilik baru, Nuarta memprediksi dalam 6 tahun ke depan, terdapat
6000 pengunjung per hari. Saat ini 3000 pengunjung per hari
memadati GWK. Jika GWK rampung total dalam dua tahun ke depan.
Multyflyer efek terjadi. Dulu GWK adalah proyek pemerintah dengan
pinjaman selama 25 tahun. Di tengah jalan, sayangnya utang harus

dikembalikan ke pemerintah, karena krisis moneter. Oleh karenanya,


saat ini, pengelolaannya murni swasta.
"Nggak ada di benak saya untuk memiliki proyek ini, makanya pernah
saya tawarkan ke negara, kita hibahkan ke negara 100 persen, dengan
syarat, patung GWK diselesaikan setinggi 140 meter, dengan aset
sebesar 1 triliun lebih. Tapi sayang nggak ada jawaban dari
pemerintah," katanya menyesalkan.
Ihwal proyek GWK, ada satu hal yang tidak bisa diukur, terutama
pemasangannya patung yang tinggi menjulang ke langit. Karena alat
untuk memasangnya juga tidak standar. Sehingga hitungan pasnya
juga tidak ada. "Makanya perlu dana reserve," katanya. Dengan bahan
baja stainless stell yang anti korusi, dengan kekuatan patung
menggunakan standar internasional. Yang belum tentu dipasang di
gedung pencakar langit di Jakarta sekalipun. Dan kekuatan patung
sudah dites di Melbourne dan Toronto, Kanada, Nuarta yakin GWK akan
segera menjadi ikon Indonesia yang
monumental.
Kulit patung GWK sendiri terbuat dari tembaga dan kuningan, dilapis
termal isotop supaya dapat meredam panas. Sampai saat ini, sudah 50
persen ukuran patung yang telah diselesaikan, "Kita punya waktu sisa
2 tahun lebih, meski saya yakin dalam satu tahun selesai," harapnya.
Tugas Nuarta saat ini, hanya mematung. Setiap 3 Minggu sekali, 13-15
truk berisi patung knock-down terus dikirim ke Bali dari bengkelnya di
Sarijadi, Bandung. "Kita yakini, dalam 1 tahun selesai patungnya,
tinggal penyetelannya 1 tahun berikutnya." Kenapa pekerjaannya bisa
berjalan cepat?"Karena kita pekerja seni, kita membela gagasan kita
sebaik mungkin, dan bukan bisnis. Kita hanya ingin menciptakan karya
seni yang bisa kita pertanggungjawabkan".
Berapa ongkos yang telah dikeluarkan untuk merampungkan GWK?
Kulit patungnya saja telah menelan biaya sebesar 150 miliar rupiah,
dan pemasangan nanti masih penuh teka-teki, karena harga stager
untuk memasang patung, mencapai angka 157 miliar rupiah, jadi
masih didiskusikan. "Mosok stager lebih mahal dari patungnya," ujar
Nuarta. Itu belum harga tanah di kompleks GWK yang saat ini
mencapai angka Rp 4,5 juta/meter dengan luas tanah 67 Hektar, dari
80 hektar yang dimiliki GWK. Berapapun besar biaya yang telah
dikeluarkan, dia berdoa GWK nanti skan diresmikan Presiden terpilih
yang akan datang.
Setelah proyek GWK selesai, apalagi yang akan dilakukan kakek dari 3
orang cucu ini? "Saya mau bikin sesuatu yang sedikit kampungan di

Tabanan, yaitu bikin museum komtemporer di Tabanan. Karena


seniman Tabanan sangat banyak," katanya sambil berangan-angan
museumnya bisa sekeren museum Louvre di Paris, Prancis atau
Hermitage di St Petersburg, Rusia.

~ Tokoh tokoh seni grafis ~


1. A.D Piraous
Abdul Djalil Pirous atau lebih dikenal
dengan A.D Piraous lahir di Meulaboh, Aceh,
11 Maret 1932. Sejak 1964 sampai dengan
2002, A.D. Pirous bekerja sebagai tenaga
pengajar di Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB.
A.D. Pirous pernah menjabat sebagai dekan
pertama di fakultas ini pada tahun 1984.
Memperoleh posisi Guru Besar pada 1994, A.D.
Pirous mencatatkan prestasinya sebagai salah
seorang perintis seni rupa Islam modern di Indonesia. Ia juga merupakan
pendiri bidang studi Desain Grafis yang berlanjut menjadi bidang Desain
Komunikasi Visual di ITB. Seusai masa baktinya pada dunia akademik di ITB,
A.D. Pirous tetap mengabdikan dirinya
sebagai pelukis dancendekiawan senior di bidang seni rupa dan kebudayaan.
A.D. Pirous dikenal dengan karya-karyanya yang bernafaskan islami.
Pengungkapannya dalam lukisan lewat konstruksi struktur bidang-bidang
dengan latar belakang warna yang memancarkan berbagai karakter
imajinatif. Dengan prinsip penyusunan itu, pelukis ini sangat kuat
sensibilitasnya terhadap komposisi dan pemahaman yang dalam berbagai
karakter warna. Nafas spiritual suatu ketika muncul dalam imaji warna yang
terang, saat yang lain bisa dalam warna redup yang syahdu, sesuatu juga
bisa muncul dalam kekayaan warna yang menggetarkan. Sentuhan ragam
hias etnis Aceh, yang memuat ornament-ornamen atau motif Buraq, juga
memberikan nafas sosiokultural yang islami dalam lukisannya. Sebagai
puncak kunci nafas spiritual itu, adalah aksentuasi kaligrafi Arab yang
melafaskan ayat-ayat Suci Al-Quran.
Contoh karyaA.D. Pirous :

2. Firman Lie

1961Lahir di Kota Jambi, 1981-1985 Belajar seni grafis


di Fakultas Seni Rupa Institut Kesenian Jakarta, 1986 Staf
pengajar
Fakultas
Seni
Rupa
Institut
Kesenian
Jakarta, 1989-2001 Staf pengajar Akademi Seni Rupa
ISWI,2000 Staf pengajar Desain Komunikasi Visual
Universitas Bina Nusantara,2004 mendirikan Phalie
Studio
di
kawasan
Kelapa
Gading
Jakarta
Utara. 2011 Kuliah lagi tentang Seni Urban dan Industri
Budaya di Pasca Sarjana Institut Kesenian Jakarta

Pameran Tunggal

1991 Pameran Seni Grafis di Balai Budaya, Jakarta, 1992 Pameran


Seni Grafis Kammloka di C-line Gallery, Bali, 1992 Pameran Seni Grafis
Kammaloka, California, 1993 Pameran Gambar Hitam Putih di Pusat
Kebudayaan Jepang, Jakarta, 1993 Pameran Gambar Hitam Putih di Galeri
Cemeti, Yogyakarta, 1996 Pameran Cetak Saring, Cat Air dan Gambar di
Galeri Lontar, Jakarta, 1998 Pameran Lukisan Cat Air di Germani Centre, BSD
Serpong, Tangerang, 1999 Pameran Lukisan, Seni Grafis dan Gambar di
Space 2324, Kuala Lumpur, Malaysia, 2000 Pameran Lukisan dan Grafis
Complexity and Contradiction di Ganesha Galeri, Bali, 2002 Pameran
Lukisan di Galeri Lontar, Jakarta, 2005 Pameran Spirit Oriental di O House
Gallery, Jakarta
Pameran Bersama

1985 Pameran Seni Grafis IKJ di PPIA, Jakarta, 1986Pameran Seni


Grafis di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 1987 Pameran Seni Grafis di Pusat
Kebudayaan
Jepang,
Jakarta, Biennale
Grafis
Indonesia
1,
Bandung,1989Pameran Seni Grafis di Balai Seni Rupa Depdikbud,
Jakarta,1991 Pameran Seni Grafis Indonesia Kini di Galeri YASRI,
Jakarta,Contemporary Indonesia Print di Pusat Kebudayaan Asia,
Jepang, Pameran HSRI Jambi di Balai Seni Rupa Depdikbud, Jakarta, 1992

Jakarta Art & Design Expo 92 di Jakarta Design Centre, Pameran Seni Grafis
di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 1995 Pameran Seni Rupa Kontemporer
Negara-negara Non Blok, Jakarta, Pameran Seni Rupa Dua Generasi,
Jakarta,1996Pameran
Seni
Rupa
Forum
Indonesia
Netherland,
Rotterdam, Pameran Seni Grafis Berdua, Firman & Tisna Sanjaya, Leiden
Netherland,1997 Pameran Slot In The Box di Galeri Cemeti,
Yogyakarta, 1998 Pameran Langkah dan Spirit di Pusat Kebudayaan Jepang,
Jakarta, 1999 Pameran Menangkap Ketakterdugaan di Galeri Lontar,
Jakarta, 2000Pameran Bersama Yayasan Ruang Rupa di Cemara 6 Galeri,
Jakarta, Pameran Suara Agustus di Galeri Nasional, Jakarta, Pameran
Setengah Abad Seni Grafis Indonesia di Bentara Budaya, Jakarta, 2001
Pameran Tradisi, Abstraksi dan Modern di Galeri Sriyanto, Jakarta, Pameran
Cross Road of Ideas Ganesha Galeri, Jimbaran Bali, 2002 Pameran
Kelompok Metro Mini di Galeri Cipta II TIM, Jakarta, Pameran Tubuh + Tanda,
Firman Lie dan Syamsul Hidayat di Galeri Milenium, Jakarta, 2003 Pameran
bersama Indonesia dan Malaysia di Gallery Taksu, Jakarta, 2004 Pameran
EGP Kelompok Metro Mini di Galeri Cipta II TIM, Jakarta, Pameran Dekoratif
Indonesia di Galeri Cipta II TIM, Jakarta, 2005 Pameran Manifesto Abstrak di
Galeri Cipta II TIM, Jakarta, Pameran Nir Rupa di Taman Budaya, Yogyakarta,
Pameran Nir Rupa di Ubud Bali
Contoh karya farhan lie :

3. Kaboel Suadi
Kaboel Suadi lahir di Cirebon pada 7 November 1935.Beliau
adalah seorang pelukis dan seniman grafis Indonesia. Pada 1964
Kaboel mulai menempuh pendidikannya di Jurusan Arsitektur dan Seni
Rupa Institut Teknologi Bandung. Pada 1969 beliau
mendapat kesempatan untuk memperdalam seni grafis di

Hochschule fur Bildende Kunste di Berlin Barat, Jerman. Kaboel


mengajar di Institut Teknologi Bandung
dan pensiun pada tahun 2000. Karyanya
yang layak dicatat, di antaranya adalah
Monumen Perjuangan Rakyat di Indramayu;
12 Patung Pahlawan Nasional di
Graha Pemuda, Senayan Jakarta; dan
Replika Kereta Paksi Naga Liman untuk Expo
Vancouver, Kanada. Selain itu, beliau juga
pernah mengadakan pameran lukisan
dan grafis di Indonesia, serta di berbagai
kota di mancanegara, seperti Tokyo, Paris, New York, Berlin, dan
Amsterdam
Contoh karya Kaboel suadi :

4. Marida nasution
MARIDA NASUTION. Lahir di Jakarta, 2 Januari 1956. Pendidikan: 1981
Sarjana Seni Jurusan Seni Grafis, Institut Kesenian Jakarta. Pameran
Tunggal: 2001 Pameran Tunggal Instalasi Grafis dan Grafis Harkat
Perempuan, Galeri Nasional, Jakarta / 2004 Pameran Tunggal Instalasi dan
Seni Grafis Opera Biru, Museum Nasional, Jakarta / 2005 Pameran Grafis
Perjalanan Marida Nasution, Paulin Art Space dan Studio Jakarta. Pameran
Bersama: 2005 Pameran Bersama Lukis, Patung, Grafis Mata-Mata
Jakarta, Galeri Nasional, Jakarta / 2006 Pameran Besar Biennale Jakarta
2006 oleh Dewan Kesenian Jakarta dalam Milestones, Galeri Nasional,

Jakarta; Pameran koleksi karya perempuan Cultural


Liberty in a Diverse World, Galeri Nasional, Jakarta /
2007 Pameran Indonesia Women Artist The
Curtain Opens, Galeri Nasional, Indonesia; Pameran
Seni Grafis, dari cukil sampai stensil, Galeri Nasional
& Bentara Budaya Jakarta. Penghargaan: Medali
khusus pada Pameran Pan Pacific Art, Seoul /
Medali khusus dan Piringan Hitam pada II
Mediteranean Biennale of Graphic Art, Athena /
Biennale of Graphic Arts, Ljubijana, Yugoslavia.
Contoh karya dari Marida nasution :

5. Chairin Hayati
CHAIRIN HAYATI. Lahir di Tasikmalaya, 11 Maret
1948. Pendidikan: 1973 Lulus dari ITB Jurusan Seni
Grafis. Pameran tunggal: 1997 Jejak Langkah Cemara 6 Galeri
Caf / 2001 Tentang Wanita Galeri Bandung. Pameran bersama:
2002 The 17th Asian International Art Exhibition Drejeon Municipal
Museum / 2003 CP Open Bienalle Galeri Nasional Jakarta; The
18th Asian International Art Exhibition, Hongkong Heritage Museum /
2006 Bienalle Jakarta 2006 Milestone / 2007 Dunia Benda Red

Point Gallery di Bandung. Penghargaan: 1972 Mendapatkan


Penghargaan Karya Mahasiswa Terbaik.
karya Chairin Hayati :

~ Tokoh tokoh Seni Patung ~


1. Dolorosa Sinaga

Pematung wanita, lahir di Sibolga,


Sumatera Utara tahun 1952. Berbeda dari
harapan orang tuanya, ia tumbuh menjadi
seorang seniman. Belajar seni patung di
Institut
Kesenian
Jakarta,
kemudian
melanjutkan ke St. Martins School of Art,
London, dan belajar teknik perunggu di
Piero's Art Foundry Berkeley, USA. Ia
sedikit
dari
perempuan
pematung
Indonesia yang tidak hanya berkarya
dengan pokok kaum marjinal, tetapi turun
ke lapangan untuk ikut memperbaiki apa
yang termarjinalkan itu. Misalnya, dengan
mendirikan Yayasan Tanak, untuk membantu dan mengembangkan
pendidikan anak-anak terlantar, terlibat dalam "The National Commission of
Human Rights for Women Crisis Center", dan mendirikan Media Kerja
Budaya, menyelenggarakan diskusi budaya dan sesekali pertunjukan teater
gratis.
Dari sanalah kemudian mengalir karya-karya patungnya dengan figur
yang ekspresif. Karya-karyanya merupakan monumen orang-orang biasa.
Yakni, mereka yang terlempar dari modernitas, tersingkir atau disingkirkan,
mereka yang tak letih berteriak meski teriakannya tidak benar-benar
didengarkan. Sosok pada patung-patung Dolo umumnya berwajah anonim,
representasi dan orang-orang kebanyakan yang kalah atau dikalahkan.
Ia secara intensif belajar prinsip-prinsip anatomi di Eropa.
Pengetahuan itu benar-benar mengubah pandangan seninya dan
membuatnya meninggalkan seni patung abstrak yang semula ditempuhnya.
Dalam figur bentuk, ia menemukan bahasa yang cocok untuk mengatakan
segala kegundahannya tentang realitas sosial yang buruk, ketidakadilan,
dan kekerasan terhadap perempuan. Meski demikian, tidak hanya kegelapan
dan pesimisme yang disodorkannya, namun ia juga menawarkan gelora,
cahaya, dan rasa optimisme.

Karya Dolorosa Sinaga

2.

EDHI
SUNARSO

Pematung Indonesia yang benama EDHI


SUNARSO dilahirkan di Salatiga, pada tanggal 2 Juli
1932. Pematung yang satu ini terkenal dengan karyakaryanya yang dapat dijumpai di berbagai kota di
Indonesia.
Edhi
Sunarso
adalah
pematung
beberapa
monumen dan diorama sejarah. Diantaranya
adalah patung Monumen selamat datang di
Bundaran Hotel Indonesia dan Diorama Sejarah
Monumen Nasional di Jakarta. Edhi Sunarso mendapat penghargaan dari
pemerintah dengan dianugerahi Tanda Kehormatan Bintang Budaya Parama
Dharma atas karya-karyanya.
Selain itu, Edhi Sunarso juga berkiprah di dunia Pendidikan. Sejak 1958 1959 ia sudah aktif sebagai staf pengajar pada Akademi Kesenian Surakarta.
Ia mengajar pada (STSRI) Sekolah Tinggi Seni Rupa Indonesia ASRI
Yogyakarta sebagai ketua jurusan Seni Patung. Pada 1967-1981 sebagai
tenaga pengajar di (IKIP) Institut Kejuruan Ilmu Pendidikan Negeri
Yogyakarta, pada tahun 1968-1984 sebagai pengajar merangkap asisten
Ketua Bidang Akademik STSRI/ ISI Yogyakarta, dan sebagai pengajar pada
(ISI) Institut Seni Indonesia dan sebagai Sekretaris Senat.
Karya EDHI SUNARSO :

3. G Sidharta
Nama lengkapnya Gregorius Sidharta Soegijo, lahir di Yogyakarta,
30 November 1932. Tumbuh dari keluarga yang tidak asing dengan
kehidupan seni, tiga dari sepuluh orang saudara Sidharta menjadi
seniman. Sekitar tahun 1947 ia masuk sanggar Pelukis Rakyat
dan belajar melukis dari Hendra Gunawan dan Trubus. Ketika
ASRI didirikan tahun 1950 ia termasuk mahasiswa angkatan
pertama bersama Widayat, Fadjar Sidik, Abas Alibasjah, Edhi
Sunarso dll. Mendirikan organisasi bernama Pelukis Indonesia Muda (PIM)
Yogyakarta. Kemudian belajar di Jan van Eyck Kunst Academie di Maastricht
tahun
1953
dan
lulus
tahun
1956.
Sidharta mengajar di jurusan Seni Patung ASRI sepulang dari Belanda (19581964). Namun, pada tahun 1965 ia pindah ke Bandung dan mengajar di Jurusan
Seni Rupa ITB (Institut Teknologi Bandung). Bersama But Mochtar dan Rita
Widagdo, ia mendirikan jurusan patung di ITB. Sebagai pematung, Sidharta
mengeksplorasi berbagai media dalam seni rupa, seperti patung, seni lukis,
cetak saring, keramik, kerajinan tangan, dan lain-lain. Sidharta paling menonjol
sebagai pematung yang telah menghasilkan berbagai macam karya. Termasuk
karyanya di ruang publik, seperti: Monumen Tonggak Samudra di kawasan
Tanjung Priok, Jakarta Utara, "Tumbuh dan Berkembang" di sebuah taman di
Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Garuda Pancasila di atas podium Gedung
MPR/DPR, hingga karya Piala Citra, yang diberikan kepada yang terbaik di dunia
film pada acara tahunan Festival Film Indonesi (FFI). Sidharta menerima banyak
penghargaan, seperti: Penghargaan "Seni Lukis Terbaik" dari badan
Musyawarah Kebudayaan Nasional (BMKN) Academic di Negeri Belanda.
Pemenang kedua Sayembara Nasional Monumen Taman Pahlawan Kalibata,
1975 di Jakarta. Pemenang Sayembara Terbatas Monumen Pelabuhan Peti

Kemas di Tanjung Priok 1979, di Jakarta. Menerima Penghargaan Patung terbaik


dari Dewan Kesenian Jakarta dalam Pameran Trienal Patung di Jakarta tahun
1986. Menerima "2nd ASEAN AWARD For Culture, H,B. Jassin, Samuel Pardede
dan
Teguh
Karya
di
Singapura.
Selama hidupnya, sejak tahun 1957 Sidharta banyak melakukan pameran
tunggal maupun bersama, antara lain di Jakarta, Bandung, Yogyakarta,
Singapura, Manila, New Delhi, India, Polandia, dan Norwegia. Ia juga pernah
menampilkan karya-karyanya di pameran Taman Patung Olimpiade Seoul,
Korea Selatan (1986), Taman Patung ASEAN di Manila, Filipina, pameran patung
di Plaza Elgala di Fukuoka, Jepang. Ia pendiri ASPI (Asosiasi Pematung
Indonesia) dan menjabat sebagai ketuanya selama 2 periode, hingga akhir
hayatnya. Sidharta meninggal dunia pada 5 Oktober 2006.
Contoh karya Gregorius Sidharta Soegijo :

4. I Nyoman Nuarta
I Nyoman Nuarta (lahir
di Tabanan, Bali, 14
November 1951)adalah pematung Indon
esia dan salah satu pelopor Gerakan Seni
Rupa Baru (1976). Dia paling dikenal
lewat mahakaryanya seperti
Patung Garuda Wisnu
Kencana (Badung, Bali), Monumen
Jalesveva Jayamahe (Surabaya),
serta Monumen Proklamasi Indonesia (Jakarta). Nyoman Nuarta
mendapatkan gelar sarjana seni rupa-nya dari Institut Teknologi
Bandung dan hingga kini menetap di Bandung.

I Nyoman Nuarta adalah putra keenam dari sembilan bersaudara dari


pasangan Wirjamidjana dan Samudra. I Nyoman Nuarta tumbuh dalam
didikan pamannya, Ketut Dharma Susila, seorang guru seni rupa.
Contoh karya I Nyoman Nuarta :

5. Kasman K.S.
Kasman K.S. (lahir di Batu
Kambing, Agam, Sumatera Barat, 19
Desember 1954 meninggal di Yogyakarta, DIY, 10
November2009 pada umur 54 tahun) adalah
seorang perupa Indonesia yang berprofesi
sebagai pematung. Ia merupakan salah seorang
pendiri Asosiasi Pematung Indonesia (API).
Kasman juga pernah memimpin Komunitas Seni
Sakato, suatu kelompok perupa Indonesia yang para
anggotanya adalah mahasiswa dan alumni Institut
Seni
Indonesia Yogyakarta yang berasal dari Sumatera
Barat atau dari etnis Minangkabau.
Kasman K.S. meninggal dunia pada tanggal 10 November 2009
di Yogyakarta, DIY pada usia 55
Karya Kasman K.S :

~ Tokoh tokoh Seni Instalasi ~


1. Gustavo Aguerre
Gustavo
dan

Aguerre (lahir pada tahun 1953 di Buenos Aires , Argentina)


adalah seorang seniman , fotografer, kurator , penulis,
desainer teater. [1] Setelah meninggalkan Argentina, ia
pindah ke Jerman dan belajar di Munich Art Academy
antara tahun 1974 dan 1976.

"Bekerja sama dengan istrinya, Ingrid Falk , ia


mendirikan sebuah kolektif seni di Stockholm disebut
FA
+ pada tahun 1992. [2] [3] Di antara seniman yang
telah bekerja dengan FA + adalah Nicola
Pellegrini , Otonella Mocellin , Daniel Wetter, Lennie Lee .
Aguerre dan Falk telah bekerja pada sejumlah situsspesifik instalasi di seluruh Eropa. " [4]
Ini melibatkan besar -Skala instalasi , fotografi proyeksi, patung , video
yang instalasi di Stockholm . Dia telah dipamerkan di museum-museum dan
galeri swasta, termasuk Italia Pavilion Venice Biennale tahun 1999, [5] Malmo
Museum pada tahun 1996, The Rich and Gallery Terkenal, London pada
tahun 1998, Galeria Milano pada tahun 1999, ARCOpada tahun 2000, The
Museo Bellas Artes di Buenos Aires dan Konstnarhuset, Stockholm, yang
Sternersenmuseet, Oslo, Tirana Biennial pada tahun 2001, Museum Seni
Reykjavik pada tahun 2002 dan National Center of Contemporary Art pada
tahun 2005
Karya Gustavo Aguerre :

2. Vito Hannibal Acconci

(lahir 24 Januari 1940) adalah seorang


Amerika desainer , arsitek lanskap , kinerja dan instalasi seniman .
Karya Vito Hannibal Acconci :

3. Bruce Charlesworth
(lahir 1 Februari 1950) adalah seorang seniman visual
yang dikenal terutama untuk fotografi, video dan
multimedia karya-karyanya. Ia dianggap [ siapa? ]salah satu pelopor
fotografi dipentaskan post-modern dan inovator dalam
instalasi video dan interaktivitas. Ia menerima gelar BA di Seni
dari University of Northern Iowa (1972) dan MFA di
Lukisan dari University of Iowa pada tahun 1975.
Charlesworth mulai menunjukkan di New York dan internasional dengan fotonovel Eddie Glove (1976-1979), dan khusus komunike (1981). Lain
dipentaskan seri fotografi diikuti, termasuk Masalah (1982-83), Takdir (19841987), Manusia dan Alam (1988-1991), Obyek Sitaan (1999-2000),
dan Serum (2003-08). Surveillance (1981) adalah yang pertama dari banyak
apa yang disebut Charlesworth lingkungan narasi, bekerja bahwa
penggunaan video dan / atau audio untuk daya narasi dalam ruang yang
dirancang. Proyektil(1982), Petualangan Salah (1984), Private
House (1987), Reality Jalan (1994 ) dan Airlock (2004) adalah instalasi
multimedia beberapa berikutnya. Video dan Film karya termasuk komunike
untuk Tape (1981), Robert dan Roger (1985), Dateline untuk
Danger (1987), Indeks A Asing (1990) dan The Happiness
Effect (2004). Sepanjang tahun 1990-an banyak Charlesworth bekerja pada
fitur-panjang proyek film eksperimental Musuh pribadi nya - Mata
Publik. Pada tahun 1989 sebuah buku diterbitkan dengan judulMusuh
Swasta, Eye Umum: Pekerjaan Bruce Charlesworth , yang juga merupakan
nama sebuah pameran survei karyanya di International Center of

Photography . Baru-baru ini video instalasi interaktif Cinta


Disorder ditampilkan dalam 2008 Zero1 Biennial di San Jose.
Karya Charlesworth telah ditunjukkan di Pusat Georges Pompidou di Paris,
London Tate Gallery , The American Film Institute , yang Whitney Museum of
American Art , yangNasional Museum of American Art di Washington,
dan Museum Seni Kontemporer di Chicago dan banyak museum lainnya dan
galeri. [ rujukan? ] Karyanya termasuk dalam koleksi permanen Museum of
Modern Art di New York, yang Baltimore Museum of Art , yang Metropolitan
Museum of Art , yang Walker Art Center di Minneapolis, dalam Houston
Museum of Fine Arts dan Fundao de Serraives di Oporto, Portugal, antara
lain. [ rujukan? ] Charlesworth adalah kediaman artis-in-pertama di Capp Jalan
Proyek di San Francisco.
Charlesworth juga telah menerima banyak hibah dan beasiswa, dari National
Endowment for the Arts , yang Louis Comfort Tiffany Yayasan , Jerome, Bush
dan McKnight Yayasan. Pada tahun 2007, ia dianugerahi John Simon
Guggenheim Memorial Foundation Fellowship untuk karyanya dalam
instalasi video interaktif.
Karya Charlesworth :

4. Leif Elggren
(lahir 1950, Linkping , Swedia ), adalah seniman Swedia yang tinggal dan
bekerja di Stockholm .

Aktif sejak akhir 1970-an, Leif Elggren telah menjadi salah satu artis yang
paling terus mengejutkan konseptual untuk bekerja di dunia gabungan audio
dan
visual. Seorang penulis, seniman visual, tahap pemain
dan komposer, ia memiliki banyak album ke kredit nya,
solo dan dengan Anak-anak Allah, pada label
seperti Ash International , Sentuh , Radium dan nya
Firework Edition sendiri.Musiknya, sering disebut
sebagai soundtrack untuk instalasi visual atau kinerja
tahap percobaan, biasanya menyajikan hati-hati dipilih
sumber suara atas bentangan waktu yang panjang
dan dapat berkisar dari elektronik yang tenang untuk suara
yang keras.Tubuh luas dan produktif seni sering
melibatkan mimpi dan absurditas halus, hirarki sosial berubah
terbalik, tindakan tersembunyi dan peristiwa yang pada kualitas ikon.
Bersama dengan artis Carl Michael von Hausswolff , ia adalah pendiri
Kerajaan Elgaland-Vargaland (KREV) di mana ia menikmati gelar raja.
Karyanya :

5. Stefano Cagol
Stefano Cagol ( Trento , 11 September 1969)
adalah Italia kontemporer seniman yang tinggal
di
Italia , Brussels dan New York City. Dia bekerja
dengan video yang , fotografi dan instalasi .

Karyannya :

Tokoh tokoh seni keramik


1. F. Widayanto
Lahir di Jakarta pada 23 Januari 1953. Ia masuk Fakultas Seni Rupa
dan Desain ITB pada tahun 1981. Di sinilah Widayanto
muda belajar keramik dari dua guru tersohor,
Eddie Kartasubarna dalam hal seluk beluk
keramik dan Rita Widagdo yang memperkenalkan prinsip
estetika seni modern2. Sebagai seorang keramikus di era
yang serba kontemporer ini, Widayanto memilih untuk berjalan di
jalur tradisional, dengan elemen elemen dekoratif yang hampir
pasti selalu menyertai setiap karyanya, baik karya ekspresi maupun
fungsional.
Kecenderungan untuk menuju ke arah ini sebetulnya sudah terlihat
semenjak ia kuliah di ITB. Meskipun memiliki guru guru yang
memiliki kecenderungan modernis, ia malah memilih untuk
menjauh. Ia kemudian hanya mengambil prinsip prinsip dasar
estetika modern, untuk kemudian dieksplorasi dalam karya karya
keramiknya. Ketertarikan kepada unsur tradisional serta tema
tema yang dekoratif itu muncul karena dalam pandangannya, hal
itu merupakan kekayaan bangsa yang harus dilestarikan. Sampai
sekarang, F. Widayanto masih setia dengan tema-tema dekoratif
dan tradisi yang diusungnya.
Dalam beberapa pameran tunggal yang pernah diselenggarakan,
Widayanto acap kali mengangkat tradisi tradisi Jawa. Baginya
kedekatan dengan budaya tradisional merupakan sebuah hal yang
bisa dieksplorasi oelh para keramikus Indonesia. Pameran Loro
Blonyo serta Ukelan misalnya, menampilkan budaya budaya Jawa
yang kemudian diberi sentuhan kekinian, sehingga tidak jarang
menjadi sebuah ikon baru yang unik dan inovatif. Dalam beberapa
pameran terakhirnya, Widayanto juga mengekspos budaya Hindu
Buddha yang telah lama berakar dalam kebudayaan masyarakat
Jawa. Kesetiaannya pada tradisi seperti merupakan sebuah
perlawanan dari kecenderungan seni kontemporer yang semakin
bergerak bebas tak tentu arah.
Untuk seniman keramik, skill dan pengetahuan teknis merupakan
komponen penting dan utama. Dalam konteks ini, karya karya
Widayanto jelas memiliki aspek teknis yang sangat tinggi.
Kemampuan artistiknya dalam mengolah figure dari lempung dan
penerapan glasir, menjadikannya sebagai seniman yang mampu
menggabungkan antara ekspresi budaya Jawa dengan semangat

modern yang menyentil3. Baginya, tanah sama seperti kanvas,


perunggu, perak atau emas. Seorang pelukis akan sangat
menghargai kanvas sebagai wadah berekspresi. Ia juga memaknai
tanah sebagai wahana yang bisa diajak berdialog, berekspresi dan
mengaktualisasikan diri. Itulah sebabnya barangkali, Ia tidak pernah
ambil pusing dengan segala macam perdebatan mengenai posisi
seni keramik dalam konstelasi seni rupa masa kini.
Bagi dirinya, keramik adalah medium yang menarik sekaligus
menyulitkan. Yang menarik di keramik kira-kira begini. Semua
barang kalau dibakar akan rusak. Tapi ternyata, keramik
membalikkannya, semua barang yang dibakar justru semakin
kuat, ungkap Widayanto. Hal ini, memang terkadang menjadi batu
sandungan bagi mereka yang baru belajar keramik. Tingkat
kesulitan yang tinggi untuk menguasai keramik kadang menjadikan
seseorang berhenti mempelajari material ini. Padahal menurut pria
dengan kumis tebal ini, tidak pernah menyerah adalah satu
satunya jalan untuk meraih kesuksesan sebagai keramikus.
Membicarakan F. Widayanto juga berarti berbicara tentang
kemampuan manajemennya yang baik serta jiwa entrepreneurship
yang selalu ia bagikan kepada setiap orang. Perjalanan karirnya
sebagai seorang senimak keramik didukung pula dengan kondisi
finansial yang baik, yang sebagian besar berasal dari bisnis
keramiknya. Usai pameran perdananya di Erasmus Huis pada tahun
1987 yang bertajuk Wadah Air, Widayanto memutuskan untuk
membuka sebuah studio di daerah Tapos, Bogor. Studio tersebut
kemudian berkembang menjadi pusat produksi barang barang
fungsional miliknya. Kemampuan manajemen Widayanto yang baik
membuat usaha itu semakin berkembang dengan membuka
beberapa outlet serta Galeri pribadi di berbagai tempat, Tanah Baru
(Depok), Setiabudi dan Panglima Polim (Jakarta). Hal inilah yang
membuatnya berbeda dengan seniman seniman (keramik)
lainnya. Ia mampu mengembangkan diri di antara kecenderungan
menciptakan keramik sebagai alat ekspresi diri serta keramik
sebagai alat bantu kehidupan manusia. Kini, Ia bekerja sama
dengan seniman dari Jepang Nikko Kobayashi untuk
mengembangkan lini produk terbarunya yang berbahan dasar
porselen.

Karyanya :

2. Titarubi
lahir di Bandung, Indonesia, pada tahun 1968. Dia
memperoleh pendidikan seni keramik dari Jurusan
Seni Murni, Fakultas Seni Rupa dan Desain, Institut
Teknologi Bandung.
Karirnya sebagai seniman sudah dimulai sejak
1988. Dia kini tinggal dan bekerja di Yogyakarta,
Indonesia.
Titarubi berkarya dengan beragam media dan karya-karyanya mengambil
beragam bentuk patung, instalasi, performance art, happening art,
lukisan, grafis, dsb. Dia juga beberapa kali berkolaborasi dengan seniman
musik, teater, tari dan film. Isu-isu yang menarik perhatiannya adalah tubuh,
identitas, gender, ingatan, dan kolonialisme.
Karya-karyanya telah dikoleksi dan dipamerkan di Asia dan Eropa, termasuk
di antaranya Singapore Biennale, ZKM Center for Art and Media (Karlsruhe,
Jerman), Museum and Art Gallery of the Northern Territory (Darwin,
Australia), Busan Biennale Sculpture Project, MACRO (Museo dArte
Contemporanea di Roma, Itali), dan Singapore Art Museum.
Di luar aktivitas berkeseniannya, Titarubi pernah aktif dalam gerakan
pembebasan dan peningkatan kesejahteraan tahanan dan aktivis politik
Orde Baru, aktivitas tanggap bencana di Indonesia dengan mendirikan
Studio Biru pada tahun 2006, ketika Yogyakarta mengalami gempa, dan juga

gerakan anti-sensor. Dia menjadi salah satu pendiri dan terlibat aktif
dalam Indonesia Contemporary Art Network (iCAN) organisasi yang
mendorong pendidikan publik dan kerja lintas-disiplin dalam seni rupa dan,
baru-baru ini,Forum Rempah forum pengkaji sejarah rempah dan budaya
kepulauan Indonesia.

SELESAI
DAFTAR PUSTAKA

DAFTAR ISI
Kata Pengantar
Daftar Isi
Bab 1 Tokoh Seni Lukis
1. Basoeki Abdullah
2. Wakidi
3. R.M Pirngadi
4. Affandi
5.

Anda mungkin juga menyukai