5428
Junaedi
5467
Muhajir
5435
5409
SMP Negeri 196 Jakarta. Jalan Mabes TNI Pondok Ranggon 8441985
Jakarta Timur
KATA PENGANTAR
Pertama tama kami panjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayahnya kepada kita semua sehingga dapat
menyelesaikan kliping ini.
Penulisan karya tulis ini bertujuan untuk melengkapi salah satu Seni Budaya.
Tentang tokoh tokoh Seni Rupa Murni di Indonesia.
Kami menyadari bahwa karya ini masih jauh dari kata sempurna dan kami
sangat berharap kepada para pembaca dan teman teman memberikan kritik dan
saran agar karya ini bisa menjadi sempurna
Kami memberi penghargaan dan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu, dan ikut berperan, sehingga kliping ini dapat diterbitkan untuk membantu
proses belajar kami semua.
Jakarta, Januari 2015
Penulis
2. WAKIDI
Pelukis naturalis Indonesia yang hidup di era
Mooi Indie ini, lahir di Plaju, Palembang
Sumatera Selatan, pada tahun 1889. Orang
tuanya berasal dari Semarang, Jawa Tengah.
Mulai melukis sejak usia 10 tahun. Semasa kecil senang menggambar
ulang karya-karya Raden Saleh Syarief Bustaman yang diperoleh
melalui buku-buku, majalah atau foto-foto. Inilah yang
menyebabkannya akrab dengan dunia seni lukis.
Mendapat pendidikan seni lukis di Kweekshool Bukittinggi, Sumatera
Barat, dan sempat belajar dengan pelukis Belanda bernama Van Dick
di sekolah tersebut. Setelah selesai, kemudian menjadi guru di
almamaternya. Karya-karya Wakidi dikenal luas oleh publik penikmat
seni di Sumatera Barat, manakala pelukis ini untuk pertama kalinya
memamerkan tidak kurang dari 15 karyanya pada tahun 1920 di
Bukittinggi. Saat perang kemerdekaan berkecamuk di Ranah Minang,
Wakidi memilih menetap dan mengajar di INS Kayutanam, pimpinan
Mohammad Syafei.
Setelah Republik Indonesia merdeka, ia mengajar di SMA Landbouw
dan SMA Birugo Bukittinggi. Selain itu banyak pula tawaran yang
datang kepada pelukis Wakidi, diantaranya dari Abu Hanifah, Menteri
Pendidikan dan Pengajaran, menawarinya untuk menjadi kepala
jawatan kebudayaan, bahkan presiden RI pertama Soekarno pernah
pula menawarinya sebagai pelukis istana, semua ditolak secara halus
dengan alasan banyak menyita waktunya untuk melukis.
Karya-karyanya banyak mengambil tema pemandangan alam khas
Sumatera Barat. Di kanvas tema-tema pemandangan alam, selalu
memberi kesan yang luas, seperti langit, gunung, hamparan sawah
yang membentang diimbangi dengan permainan tarikan garisnya yang
3. R.M PIRNGADIE
4. AFFANDI
5. Yudhokusumo
6. AGUS DJAYA
Ada suasana magis terpancar dari warna biru dan merah Agus
Djaya. Sosok-sosok penari yang tampil dalam lukisannya merupakan
penampilan suasana ritual dari masyarakat yang masih sangat
dekat dengan alam. Warna biru dan merahnya seperti sudah
menemukan karakter tersendiri, sehingga merupakan idiom yang
khas dari Agus. Dunia pewayangan rupanya amat menarik hati
pelukis kelahiran Pandeglang, Banten ini. Dalam kanvas-kanvasnya,
apabila Agus mengerjakan obyek wayang, terasa ada kekayaan.
Lukisan Agus Djaja yang berjudul Kuda Kepang (1975), cat air, 50 x
68 cm memiliki warna meriah dan humor yang membersit di sana-sini,
agus juga terampil menangkap segi-segi lucu kehidupan. Dinyatakan
sebagai salah seorang cikal-bakal seni lukis Indonesia, Agus pendiri
dan Ketua Persagi (Persatuan Ahli Gambar Indonesia) organisasi
pertama para seniman senirupa Indonesia periode 1937-1942.
Cita-cita yang terkandung dalam Persagi sering disebut menyatu
dengan cita-cita sional. Reproduksi lukisannya banyak mengisi buku
koleksi lukisan Presiden Soekarno, yang dicetak di Beijing 1960-an. Ia
menerima pendidikan kesenian dari Akademi Seni rupa Amsterdam,
Belanda.
Kadang-kadang sambil bergurau, Agus menertawakan dirinya yang
bekerja seni untuk seni, dengan mengorbankan karier sebagai calon
jenderal. April 1976 ia berpameran tunggal di TIM, Jakarta. Yang
pertama kali setelah absen berpameran tunggal selama 40 tahun.
Lebih dari 70 buah lukisan dipajangnya. Tampak percobaan untuk
beranjak dari seni-sosok menuju lukisan-lukisan yang sifatnya abstrak,
atau semi-abstrak. Ia mencita-citakan lahirnya corak seni-lukis
Indonesia yang khas. Bukan perbedaan-perbedaan bentuk, katanya,
akan tetapi sari. Tetapi lebih penting dari itu adalah corak pribadi,
tutor mantan tentara dengan 11 tanda jasa ini, ia lalu menyebut nama
Affandi sebagai yang sudah punya corak kepribadian.
7. KARTONO
Kartono semasa kecil pindah ke Jakarta dan pertama kali dibimbing
melukis oleh ayahnya. Pada masa selanjutnya, ia juga belajar dari
perupa-perupa terkenal, baik dari Jepang maupun Belanda: Chiyoji
Yazaki tahun 1934, Charles Sayers tahun 1935, Willem Bosschaert
tahun 1936, Ernest Dezentj tahun 1937, Bernhard Rutgers tahun
1938 dan T. Akatsuka tahun 1942.
Melalui perupa-perupa ini, Ia mengenal karya perupa terkenal
Perancis, Henri Rousseau (pelukis dan tokoh aliran Naivisme) yang
kemudian sangat mempengaruhi karya-karyanya. Tampak sekali nilainilai dekoratifnya mendapat pengaruh dari Rosseau namun dikemas
dengan citra ke-indonesiaan, dengan mengangkat tema-tema
perjuangan dan kehidupan alam di Indonesia.
8. MOCHTAR APIN
9. JIM SUPANGKAT
10.
realistis, tetapi realisme tidak dianggap layak apa pun kecuali alat
penelitian, atau sebagai salah satu tahap persiapan untuk
menciptakan "seni nyata" yang harus expressionistically atau dekoratif
terdistorsi. Dede diejek karena minatnya dalam realisme di sekolah itu,
dan setelah memutuskan bahwa lingkungan sekolah tidak cocok
untuknya. Sejak itu Dede lebih memilih untuk menghabiskan waktunya
berkumpul bersama para mahasiswa Akademi Seni Rupa Indonesia
(ASRI),
Dari situ, kemampuannya sebagai pelukis kian matang. Kemunculan
Dede Eri Supria di penghujung 1970-an sangat memberikan harapan.
Pasalnya, ia merupakan salah seorang eksponen Seni Rupa Baru yang
dinilai paling serius menjalankan perannya sebagai pelukis profesional.
Sama seperti kebanyakan pelukis lainnya, Gambar lukisan Dede juga
memiliki ciri khas. Dalam hal ini Dede lebih memilih gaya melukis
realisme dengan tema sosial dan kritis. Sementara dalam
perwujudannya seringkali bernada surealistik dan jika dilihat dari segi
teknik, Dede mengambil gubahan potretis.
Meski sebagian kalangan menganggap aliran tersebut sudah
ketinggalan jaman, Dede punya pendapat sendiri. Menurutnya, lukisan
abstrak tidak relevan di Indonesia, oleh karena itu, hanya sedikit
masyarakat yang dapat menikmatinya. Semangat melukis Dede pun
terus membara. Pada tahun 1976, Dede bergabung dengan lima
mahasiswa ASRI mengadakan pameran keliling bertajuk Seni
Kepribadian Apa di Yogyakarta, Surabaya dan Jakarta. Pameran itu
seolah menggugat para pelukis mapan yang ketika itu sibuk
berpolemik tentang kepribadian Indonesia dalam seni lukis. Setahun
berselang, Dede memutuskan untuk bergabung dengan Kelompok Seni
Rupa Baru yang juga bertujuan mengguncang kemapanan.
Suami Dewi Kun Saraswati ini banyak mengangkat masalah sosial
yang menggetarkan seperti kehidupan orang miskin yang tak berdaya
di kota besar, urbanisasi, kesederhanaan orang-orang desa bahkan
permasalahan dalam dunia sepakbola. Manusia seperti kehilangan
peran, didesak oleh benda-benda dan bangunan-bangunan. Dengan
ukuran yang umumnya terhitung besar, lukisan Dede menjadi saksi
bagi kehidupan kota pada jaman pembangunan fisik.
Dalam salah satu karyanya yang berjudul Yang Berusaha Tumbuh,
Dede bercerita tentang kesadaran akan dibutuhkan atau tidaknya
keseimbangan ekosistem. Orang menjadi objek, pasif, konsumen dari
industrialisasi yang selalu menghasilkan produk yang sama dan
massal.
Bagaimana pula, pemilik Taman Patung NuArt Sculpture Park ini, terus
memelihara dan menjaga mimpinya lebih dari 25 tahun untuk
mewujudkan mimpi membangun GW? Langkah pertama, "Saya
mantepkan kekuarga saya dulu, meski resikonya, bisa tinggal di tenda
biru, karena semua kekayaan telah saya gadaikan," katanya.
Setelah urusan rumah diamankan, barulah dia beramgkat perang,
mengejar cita-cita berjuang di jalan budaya. Jalan budaya dan bukan
jalan pedang, atas nama kecintaan kepada tujuan mulia menempatkan
Indonesia di peta dunia itulah, "Yang membuat saya bertahan sampai
sekarang," katanya. Jalan kebudayaan, menurutnya sangat penting,
berangkat dari pengalamannya pernah diundang dalam World
Economy Forum di Davos, Swiss. "Kok seniman dikumpulkan sama
para ekonom dan pengusaha? Supaya mereka berbudaya, demikian
kata panitianya," kenang Nuarta ihwal pertemuan tingkat tinggi itu.
Sejak itulah, jalan budaya senantiasa diatanam di hatinya, agar dia
makin bersemangat menjaga cita-citanya. Meski kerikil, sandungan,
cibiran, telikungan harus silih berganti diahadapi. Tapi semua itu, tidak
mengecilkan keyakinannya ihwal dunia patung. Karena menurut dia,
seni patung mempunyai 3 kekuatan. Pertama bisa menjadi ikon kalau
patungnya bagus.
Turunannya, bisa menjadi industri parisiwasata, dan mendatangkan
keuntungan bisnis. Sekaligus menjadi elemen estetik, dan pengingat/
penanda kawasan. Meskipun patung banyak dibuat sebagai perekam
sejarah, dan karya monumen, dan belum tentu menjadi karya
monumental. Untuk menjadi monumental, kandungan sejarah yang
terekam di sebuah patung, harus ada dan kuat. Jadi patung bukan
semata art for art, "Berapa banyak jumlah seniman sih di Indonesia,
kok mengagungkan aliran art for art,"katanya.
Jadi Nuarta terus berpikir, bagaimana caranya seni patung di Indonesia
menjadi perhatian dunia. Itas alasan itupula dia sempat pindah dari
jurusan seni lukis ke jurusan seni patung di ITB. "Karena jiwa saya
lebih ke patung, lebih ke petani. Kalau seni lukis buat saya, citarasa
seninya terlalu tinggi. Sedangkan seni patung nilai sosialnya lebih
kuat."
Saat ini, pemilik baru proyek GWK adalah Alam Sutera. Bersama
pemilik baru, Nuarta memprediksi dalam 6 tahun ke depan, terdapat
6000 pengunjung per hari. Saat ini 3000 pengunjung per hari
memadati GWK. Jika GWK rampung total dalam dua tahun ke depan.
Multyflyer efek terjadi. Dulu GWK adalah proyek pemerintah dengan
pinjaman selama 25 tahun. Di tengah jalan, sayangnya utang harus
2. Firman Lie
Pameran Tunggal
Jakarta Art & Design Expo 92 di Jakarta Design Centre, Pameran Seni Grafis
di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 1995 Pameran Seni Rupa Kontemporer
Negara-negara Non Blok, Jakarta, Pameran Seni Rupa Dua Generasi,
Jakarta,1996Pameran
Seni
Rupa
Forum
Indonesia
Netherland,
Rotterdam, Pameran Seni Grafis Berdua, Firman & Tisna Sanjaya, Leiden
Netherland,1997 Pameran Slot In The Box di Galeri Cemeti,
Yogyakarta, 1998 Pameran Langkah dan Spirit di Pusat Kebudayaan Jepang,
Jakarta, 1999 Pameran Menangkap Ketakterdugaan di Galeri Lontar,
Jakarta, 2000Pameran Bersama Yayasan Ruang Rupa di Cemara 6 Galeri,
Jakarta, Pameran Suara Agustus di Galeri Nasional, Jakarta, Pameran
Setengah Abad Seni Grafis Indonesia di Bentara Budaya, Jakarta, 2001
Pameran Tradisi, Abstraksi dan Modern di Galeri Sriyanto, Jakarta, Pameran
Cross Road of Ideas Ganesha Galeri, Jimbaran Bali, 2002 Pameran
Kelompok Metro Mini di Galeri Cipta II TIM, Jakarta, Pameran Tubuh + Tanda,
Firman Lie dan Syamsul Hidayat di Galeri Milenium, Jakarta, 2003 Pameran
bersama Indonesia dan Malaysia di Gallery Taksu, Jakarta, 2004 Pameran
EGP Kelompok Metro Mini di Galeri Cipta II TIM, Jakarta, Pameran Dekoratif
Indonesia di Galeri Cipta II TIM, Jakarta, 2005 Pameran Manifesto Abstrak di
Galeri Cipta II TIM, Jakarta, Pameran Nir Rupa di Taman Budaya, Yogyakarta,
Pameran Nir Rupa di Ubud Bali
Contoh karya farhan lie :
3. Kaboel Suadi
Kaboel Suadi lahir di Cirebon pada 7 November 1935.Beliau
adalah seorang pelukis dan seniman grafis Indonesia. Pada 1964
Kaboel mulai menempuh pendidikannya di Jurusan Arsitektur dan Seni
Rupa Institut Teknologi Bandung. Pada 1969 beliau
mendapat kesempatan untuk memperdalam seni grafis di
4. Marida nasution
MARIDA NASUTION. Lahir di Jakarta, 2 Januari 1956. Pendidikan: 1981
Sarjana Seni Jurusan Seni Grafis, Institut Kesenian Jakarta. Pameran
Tunggal: 2001 Pameran Tunggal Instalasi Grafis dan Grafis Harkat
Perempuan, Galeri Nasional, Jakarta / 2004 Pameran Tunggal Instalasi dan
Seni Grafis Opera Biru, Museum Nasional, Jakarta / 2005 Pameran Grafis
Perjalanan Marida Nasution, Paulin Art Space dan Studio Jakarta. Pameran
Bersama: 2005 Pameran Bersama Lukis, Patung, Grafis Mata-Mata
Jakarta, Galeri Nasional, Jakarta / 2006 Pameran Besar Biennale Jakarta
2006 oleh Dewan Kesenian Jakarta dalam Milestones, Galeri Nasional,
5. Chairin Hayati
CHAIRIN HAYATI. Lahir di Tasikmalaya, 11 Maret
1948. Pendidikan: 1973 Lulus dari ITB Jurusan Seni
Grafis. Pameran tunggal: 1997 Jejak Langkah Cemara 6 Galeri
Caf / 2001 Tentang Wanita Galeri Bandung. Pameran bersama:
2002 The 17th Asian International Art Exhibition Drejeon Municipal
Museum / 2003 CP Open Bienalle Galeri Nasional Jakarta; The
18th Asian International Art Exhibition, Hongkong Heritage Museum /
2006 Bienalle Jakarta 2006 Milestone / 2007 Dunia Benda Red
2.
EDHI
SUNARSO
3. G Sidharta
Nama lengkapnya Gregorius Sidharta Soegijo, lahir di Yogyakarta,
30 November 1932. Tumbuh dari keluarga yang tidak asing dengan
kehidupan seni, tiga dari sepuluh orang saudara Sidharta menjadi
seniman. Sekitar tahun 1947 ia masuk sanggar Pelukis Rakyat
dan belajar melukis dari Hendra Gunawan dan Trubus. Ketika
ASRI didirikan tahun 1950 ia termasuk mahasiswa angkatan
pertama bersama Widayat, Fadjar Sidik, Abas Alibasjah, Edhi
Sunarso dll. Mendirikan organisasi bernama Pelukis Indonesia Muda (PIM)
Yogyakarta. Kemudian belajar di Jan van Eyck Kunst Academie di Maastricht
tahun
1953
dan
lulus
tahun
1956.
Sidharta mengajar di jurusan Seni Patung ASRI sepulang dari Belanda (19581964). Namun, pada tahun 1965 ia pindah ke Bandung dan mengajar di Jurusan
Seni Rupa ITB (Institut Teknologi Bandung). Bersama But Mochtar dan Rita
Widagdo, ia mendirikan jurusan patung di ITB. Sebagai pematung, Sidharta
mengeksplorasi berbagai media dalam seni rupa, seperti patung, seni lukis,
cetak saring, keramik, kerajinan tangan, dan lain-lain. Sidharta paling menonjol
sebagai pematung yang telah menghasilkan berbagai macam karya. Termasuk
karyanya di ruang publik, seperti: Monumen Tonggak Samudra di kawasan
Tanjung Priok, Jakarta Utara, "Tumbuh dan Berkembang" di sebuah taman di
Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Garuda Pancasila di atas podium Gedung
MPR/DPR, hingga karya Piala Citra, yang diberikan kepada yang terbaik di dunia
film pada acara tahunan Festival Film Indonesi (FFI). Sidharta menerima banyak
penghargaan, seperti: Penghargaan "Seni Lukis Terbaik" dari badan
Musyawarah Kebudayaan Nasional (BMKN) Academic di Negeri Belanda.
Pemenang kedua Sayembara Nasional Monumen Taman Pahlawan Kalibata,
1975 di Jakarta. Pemenang Sayembara Terbatas Monumen Pelabuhan Peti
4. I Nyoman Nuarta
I Nyoman Nuarta (lahir
di Tabanan, Bali, 14
November 1951)adalah pematung Indon
esia dan salah satu pelopor Gerakan Seni
Rupa Baru (1976). Dia paling dikenal
lewat mahakaryanya seperti
Patung Garuda Wisnu
Kencana (Badung, Bali), Monumen
Jalesveva Jayamahe (Surabaya),
serta Monumen Proklamasi Indonesia (Jakarta). Nyoman Nuarta
mendapatkan gelar sarjana seni rupa-nya dari Institut Teknologi
Bandung dan hingga kini menetap di Bandung.
5. Kasman K.S.
Kasman K.S. (lahir di Batu
Kambing, Agam, Sumatera Barat, 19
Desember 1954 meninggal di Yogyakarta, DIY, 10
November2009 pada umur 54 tahun) adalah
seorang perupa Indonesia yang berprofesi
sebagai pematung. Ia merupakan salah seorang
pendiri Asosiasi Pematung Indonesia (API).
Kasman juga pernah memimpin Komunitas Seni
Sakato, suatu kelompok perupa Indonesia yang para
anggotanya adalah mahasiswa dan alumni Institut
Seni
Indonesia Yogyakarta yang berasal dari Sumatera
Barat atau dari etnis Minangkabau.
Kasman K.S. meninggal dunia pada tanggal 10 November 2009
di Yogyakarta, DIY pada usia 55
Karya Kasman K.S :
3. Bruce Charlesworth
(lahir 1 Februari 1950) adalah seorang seniman visual
yang dikenal terutama untuk fotografi, video dan
multimedia karya-karyanya. Ia dianggap [ siapa? ]salah satu pelopor
fotografi dipentaskan post-modern dan inovator dalam
instalasi video dan interaktivitas. Ia menerima gelar BA di Seni
dari University of Northern Iowa (1972) dan MFA di
Lukisan dari University of Iowa pada tahun 1975.
Charlesworth mulai menunjukkan di New York dan internasional dengan fotonovel Eddie Glove (1976-1979), dan khusus komunike (1981). Lain
dipentaskan seri fotografi diikuti, termasuk Masalah (1982-83), Takdir (19841987), Manusia dan Alam (1988-1991), Obyek Sitaan (1999-2000),
dan Serum (2003-08). Surveillance (1981) adalah yang pertama dari banyak
apa yang disebut Charlesworth lingkungan narasi, bekerja bahwa
penggunaan video dan / atau audio untuk daya narasi dalam ruang yang
dirancang. Proyektil(1982), Petualangan Salah (1984), Private
House (1987), Reality Jalan (1994 ) dan Airlock (2004) adalah instalasi
multimedia beberapa berikutnya. Video dan Film karya termasuk komunike
untuk Tape (1981), Robert dan Roger (1985), Dateline untuk
Danger (1987), Indeks A Asing (1990) dan The Happiness
Effect (2004). Sepanjang tahun 1990-an banyak Charlesworth bekerja pada
fitur-panjang proyek film eksperimental Musuh pribadi nya - Mata
Publik. Pada tahun 1989 sebuah buku diterbitkan dengan judulMusuh
Swasta, Eye Umum: Pekerjaan Bruce Charlesworth , yang juga merupakan
nama sebuah pameran survei karyanya di International Center of
4. Leif Elggren
(lahir 1950, Linkping , Swedia ), adalah seniman Swedia yang tinggal dan
bekerja di Stockholm .
Aktif sejak akhir 1970-an, Leif Elggren telah menjadi salah satu artis yang
paling terus mengejutkan konseptual untuk bekerja di dunia gabungan audio
dan
visual. Seorang penulis, seniman visual, tahap pemain
dan komposer, ia memiliki banyak album ke kredit nya,
solo dan dengan Anak-anak Allah, pada label
seperti Ash International , Sentuh , Radium dan nya
Firework Edition sendiri.Musiknya, sering disebut
sebagai soundtrack untuk instalasi visual atau kinerja
tahap percobaan, biasanya menyajikan hati-hati dipilih
sumber suara atas bentangan waktu yang panjang
dan dapat berkisar dari elektronik yang tenang untuk suara
yang keras.Tubuh luas dan produktif seni sering
melibatkan mimpi dan absurditas halus, hirarki sosial berubah
terbalik, tindakan tersembunyi dan peristiwa yang pada kualitas ikon.
Bersama dengan artis Carl Michael von Hausswolff , ia adalah pendiri
Kerajaan Elgaland-Vargaland (KREV) di mana ia menikmati gelar raja.
Karyanya :
5. Stefano Cagol
Stefano Cagol ( Trento , 11 September 1969)
adalah Italia kontemporer seniman yang tinggal
di
Italia , Brussels dan New York City. Dia bekerja
dengan video yang , fotografi dan instalasi .
Karyannya :
Karyanya :
2. Titarubi
lahir di Bandung, Indonesia, pada tahun 1968. Dia
memperoleh pendidikan seni keramik dari Jurusan
Seni Murni, Fakultas Seni Rupa dan Desain, Institut
Teknologi Bandung.
Karirnya sebagai seniman sudah dimulai sejak
1988. Dia kini tinggal dan bekerja di Yogyakarta,
Indonesia.
Titarubi berkarya dengan beragam media dan karya-karyanya mengambil
beragam bentuk patung, instalasi, performance art, happening art,
lukisan, grafis, dsb. Dia juga beberapa kali berkolaborasi dengan seniman
musik, teater, tari dan film. Isu-isu yang menarik perhatiannya adalah tubuh,
identitas, gender, ingatan, dan kolonialisme.
Karya-karyanya telah dikoleksi dan dipamerkan di Asia dan Eropa, termasuk
di antaranya Singapore Biennale, ZKM Center for Art and Media (Karlsruhe,
Jerman), Museum and Art Gallery of the Northern Territory (Darwin,
Australia), Busan Biennale Sculpture Project, MACRO (Museo dArte
Contemporanea di Roma, Itali), dan Singapore Art Museum.
Di luar aktivitas berkeseniannya, Titarubi pernah aktif dalam gerakan
pembebasan dan peningkatan kesejahteraan tahanan dan aktivis politik
Orde Baru, aktivitas tanggap bencana di Indonesia dengan mendirikan
Studio Biru pada tahun 2006, ketika Yogyakarta mengalami gempa, dan juga
gerakan anti-sensor. Dia menjadi salah satu pendiri dan terlibat aktif
dalam Indonesia Contemporary Art Network (iCAN) organisasi yang
mendorong pendidikan publik dan kerja lintas-disiplin dalam seni rupa dan,
baru-baru ini,Forum Rempah forum pengkaji sejarah rempah dan budaya
kepulauan Indonesia.
SELESAI
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR ISI
Kata Pengantar
Daftar Isi
Bab 1 Tokoh Seni Lukis
1. Basoeki Abdullah
2. Wakidi
3. R.M Pirngadi
4. Affandi
5.