Anda di halaman 1dari 7

biografi Abdullah Suriosubroto

Januari 23, 2018


Basuki Abdullah (lahir di Surakarta, Jawa Tengah, Hindia Belanda, 27 Januari 1915 –
meninggal di Jakarta, Indonesia, 5 November 1993 pada umur 78 tahun)[1] adalah salah seorang
maestro pelukis Indonesia. Ia dikenal sebagai pelukis aliran realis dan naturalis. Ia pernah
diangkat menjadi pelukis resmi Istana Merdeka Jakarta dan karya-karyanya menghiasi istana-
istana negara dan kepresidenan Indonesia, disamping menjadi barang koleksi dari penjuru dunia.

Masa muda
Bakat melukisnya terwarisi dari ayahnya, Abdullah Suriosubroto, yang juga seorang pelukis dan
penari. Sedangkan kakeknya adalah seorang tokoh Pergerakan Kebangkitan Nasional Indonesia
pada awal tahun 1900-an yaitu Doktor Wahidin Sudirohusodo. Sejak umur 4 tahun Basuki
Abdullah mulai gemar melukis beberapa tokoh terkenal diantaranya Mahatma Gandhi,
Rabindranath Tagore, Yesus Kristus dan Krishnamurti.

Pendidikan formal Basuki Abdullah diperoleh di HIS Katolik dan Mulo Katolik di Solo. Berkat
bantuan Pastur Koch SJ, Basuki Abdullah pada tahun 1933 memperoleh beasiswa untuk belajar
di Akademik Seni Rupa (Academie Voor Beeldende Kunsten) di Den Haag, Belanda, dan
menyelesaikan studinya dalam waktu 3 tahun dengan meraih penghargaan Sertifikat Royal
International of Art (RIA).

Aktivitas

Pada masa Pemerintahan Jepang, Basuki Abdullah bergabung dalam Gerakan Poetra atau Pusat
Tenaga Rakyat yang dibentuk pada tanggal 19 Maret 1943. Di dalam Gerakan Poetra ini Basuki
Abdullah mendapat tugas mengajar seni lukis. Murid-muridnya antara lain Kusnadi (pelukis dan
kritikus seni rupa Indonesia) dan Zaini (pelukis impresionisme). Selain organisasi Poetra,
Basuki Abdullah juga aktif dalam Keimin Bunka Sidhosjo (sebuah Pusat Kebudayaan milik
pemerintah Jepang) bersama-sama Affandi, S.Sudjoyono, Otto Djaya dan Basuki Resobawo.
Pada masa revolusi Bosoeki Abdullah tidak berada di tanah air yang sampai sekarang belum
jelas apa yang melatarbelakangi hal tersebut. Jelasnya pada tanggal 6 September 1948 bertempat
di Belanda Amsterdam sewaktu penobatan Ratu Yuliana dimana diadakan sayembara melukis,
Basuki Abdullah berhasil mengalahkan 87 pelukis Eropa dan berhasil keluar sebagai pemenang.
Sejak itu pula dunia mulai mengenal Basuki Abdullah, putera Indonesia yang mengharumkan
nama Indonesia. Selama di negeri Belanda Basuki Abdullah sering kali berkeliling Eropa dan
berkesempatan pula memperdalam seni lukis dengan menjelajahi Italia dan Perancis dimana
banyak bermukim para pelukis dengan reputasi dunia.
Basuki Abdullah terkenal sebagai seorang pelukis potret, terutama melukis wanita-wanita
cantik, keluarga kerajaan dan kepala negara yang cenderung mempercantik atau memperindah
seseorang ketimbang wajah aslinya. Selain sebagai pelukis potret yang ulung, diapun melukis
pemandangan alam, fauna, flora, tema-tema perjuangan, pembangunan dan sebagainya.

Basuki Abdullah banyak mengadakan pameran tunggal baik di dalam negeri maupun di luar
negeri, antara lain karyanya pernah dipamerkan di Bangkok (Thailand), Malaysia, Jepang,
Belanda, Inggris, Portugal dan negara-negara lain. Lebih kurang 22 negara yang memiliki karya
lukisan Basuki Abdullah. Hampir sebagian hidupnya dihabiskan di luar negeri diantaranya
beberapa tahun menetap di Thailand dan diangkat sebagai pelukis Istana Merdeka dan sejak
tahun 1974 Basuki Abdullah menetap di Jakarta.
Galeri

Lukisan "Balinese Beauty" karya Basuki Abdullah yang terjual di tempat pelelangan Christie's
di [[Singapura]] pada tahun 1996

Lukisan "Kakak dan Adik" karya Basuki Abdullah (1978). Kini disimpan di Galeri Nasional
Indonesia, Jakarta
Basoeki Abdullah
Lahir di Surakarta, Jawa Tengah, 25 Januari 1915 – meninggal 5 November 1993 pada umur 78 tahun,
dia merupakan salah satu pelukis maestro yang dimiliki Indonesia.Ia dikenal sebagai pelukis aliran realis
dan naturalis. Ia pernah diangkat menjadi pelukis resmi Istana Merdeka Jakarta dan karya-karyanya
menghiasi istana negara dan kepresidenan Indonesia, karyanya juga koleksi oleh para kolektor dari
berbagai penjuru dunia.

Bakat melukisnya terwarisi dari ayahnya, Abdullah Suryo Subroto, yang juga seorang pelukis dan penari.
Sedangkan kakeknya adalah seorang tokoh Pergerakan Kebangkitan Nasional Indonesia pada awal
tahun 1900-an yaitu Doktor Wahidin Sudirohusodo. Sejak umur 4 tahun Basoeki Abdullah mulai gemar
melukis beberapa tokoh terkenal diantaranya Mahatma Gandhi, Rabindranath Tagore, Yesus Kristus
dan Krishnamurti.

Pendidikan formal Basoeki Abdullah diperoleh di HIS Katolik dan Mulo Katolik di Solo. Berkat bantuan
Pastur Koch SJ, Basoeki Abdullah pada tahun 1933 memperoleh beasiswa untuk belajar di Akademik
Seni Rupa (Academie Voor Beeldende Kunsten) di Den Haag, Belanda, dan menyelesaikan studinya
dalam waktu 3 tahun dengan meraih penghargaan Sertifikat Royal International of Art (RIA).

Pada masa Pemerintahan Jepang, Basoeki Abdullah bergabung dalam Gerakan Poetra atau Pusat
Tenaga Rakyat yang dibentuk pada tanggal 19 Maret 1943. Di dalam Gerakan Poetra ini Basoeki
Abdullah mendapat tugas mengajar seni lukis. Murid-muridnya antara lain Kusnadi (pelukis dan kritikus
seni rupa Indonesia) dan Zaini (pelukis impresionisme). Selain organisasi Poetra, Basoeki Abdullah juga
aktif dalam Keimin Bunka Sidhosjo (sebuah Pusat Kebudayaan milik pemerintah Jepang) bersama-sama
Affandi, S.Sudjoyono, Otto Djaya dan Basoeki Resobawo.

Di masa revolusi Bosoeki Abdullah tidak berada di tanah air yang sampai sekarang belum jelas apa yang
melatar belakangi hal tersebut. Jelasnya pada tanggal 6 September 1948 bertempat di Belanda
Amsterdam sewaktu penobatan Ratu Yuliana dimana diadakan sayembara melukis, Basoeki Abdullah
berhasil mengalahkan 87 pelukis Eropa dan berhasil keluar sebagai pemenang, sejak itu pula dunia
mulai mengenal Basoeki Abdullah, putera Indonesia yang mengharumkan nama Indonesia. Selama di
negeri Belanda Basoeki Abdullah sering kali berkeliling Eropa dan berkesempatan pula memperdalam
seni lukis dengan menjelajahi Italia dan Perancis dimana banyak bermukim para pelukis kelas Dunia.

Basoeki Abdullah terkenal sebagai seorang pelukis potret, terutama melukis wanita-wanita cantik,
keluarga kerajaan dan kepala negara yang cenderung mempercantik atau memperindah seseorang
ketimbang wajah aslinya. Selain sebagai pelukis potret yang ulung, diapun melukis pemandangan alam,
fauna, flora, tema-tema perjuangan, pembangunan dan sebagainya.

Basoeki Abdullah banyak mengadakan pameran tunggal baik di dalam negeri maupun di luar negeri,
antara lain karyanya pernah dipamerkan di Bangkok – Thailand, Malaysia, Jepang, Belanda, Inggris,
Portugal dan negara-negara lain. Lebih kurang 22 negara yang pernah disinggahi untuk pameran karya
lukisanya. Hampir sebagian hidupnya dihabiskan di luar negeri diantaranya beberapa tahun menetap di
Thailand, dan sejak tahun 1974 Basoeki Abdullah menetap di Jakarta, diangkat sebagai pelukis Istana
Merdeka.
“Flower” by Basuki Abdullah, Size: 55cm x 70cm, Medium: Oil on canvas

*) Auction: Masterpiece

“Horses” by Basuki Abdullah, Size: 100cm x 150cm, Medium: Oil on canvas


Biografi Raden Saleh Sjarif Boestaman Pelukis Indonesia

Raden Saleh Sjarif Boestaman adalah pelopor seni lukis modern Hindia Belanda (Indonesia). Pada masa
hidupnya, karya lukisannya merupakan perpaduan Romantisisme yang pada saat itu sedang populer di
Eropa.
Raden Saleh lahir pada tahun 1807. Ia dilahrikan dalam sebuah keluarga Jawa ningrat. Ayahnya
bernama Sayyid Hoesen bin Alwi bin Awal bin Jahja, seorang keturunan Arab sedangkan ibunya
bernama Mas Adjeng Zarip Hoesen.

Saat berusia 10 tahun, Raden Saleh dirawat oleh pamannya yang pada saat itu menjabat sebagai Bupati
di Semarang. Bakatnya dalam menggambar mulai menonjol saat bersekolah di Volks-School. Ia dikenal
ramah dan mudah bergaul sehingga memudahkannya untuk menyesuaikan diri dalam lingkungan orang
Belanda dan lembaha-lembaga Elite Hindia Belanda.

Seorang kenalannya yang bernama Prof. Caspar Reinwardt, yang merupakan pendiri Kebun Raya Bogor
sekaligus Direktur Pertanian, Kesenian, dan Ilmu Pengetahuan untuk Jawa dan pulau sekitarnya,
menilainya bahwa ia pantas untuk mendapatkan ikatan dinas di departemennya.

Dalam instansi tersebut ada seorang pelukis keturunan Belgia, A.A.J Payen yang didatangkan dari
Belanda untuk membuat sebuah lukisan pemandangan di Pulau Jawa untuk hiasan kantor Departemen
van Kolonieen di Belanda. Melihat bakat yang dimiliki oleh Raden Saleh, Payen tertarik untuk
memberikan bimbingan kepadanya.

Didalam kalangan ahli seni lukis di Belanda, Payen tidak terlalu menonjol. Namun bimbingannya sangat
membantu Raden Saleh dalam mendalami seni lukis Barat. Payen juga pernah mengajak Raden dalam
perjalanan dina keliling Jawa untuk mencari model pemandangan untuk lukisan. Dalam perjalannya
tersebut, Payen memberikan tugas kepada Raden untuk melukis tipe-tipe orang Indonesia di daerah
yang pernah ia singgahi.

Payen kagum dengan bakat yang dimiliki oleh Saleh. Ia mengusulkan agar Saleh bisa belajar ke Belanda.
Usulannya tersebut didukung oleh Gubernur Jenderal G.A.G.Ph. van der Capellen yang memerintah
pada jangka waktu tahun 1819-1826. Pada tahun 1829, bersamaan dengan patahnya perlawanan
Pangeran Diponegoro oleh Jenderal Hendrik Merkus d Kock, Capellen membiayai Raden untuk belajar
ke Belanda.

Keberangkatan Raden Saleh ke Belanda tidak hanya untuk belajar seni lukis, namun juga mempunyai
misi lain yang tertulis dalam sebuah surat. Dalam surat tersebut seorang pejabat tinggi Belanda untuk
Departemen van Kolonieen tertulis, selama perjalanan ke Belanda Raden Saleh bertugas mengajari
Inspektur Keuangan Belanda de Linge tentang adat istiadat dan kebiasaan orang Jawa, Bahasa Jawa,
dan Bahasa Melayu.

Dua tahun pertamanya di Belanda digunakan oleh Raden Saleh untuk belajar bahasa Belanda. Ia
dibimbing oleh Cornelis Kruseman dan Andries Schelfhout. Karya-karya mereka memenuhi selera dan
mutu rasa seni orang Belanda saat itu. Dalam seni lukis potret ia belajar dari Cronelis Kruseman
sedangkan ia belajar tema pemandangan dari Andries Schelfhout.

Setelah masa belajarnya di Belanda rampung, Saleh mengajukan permohonan agar dapat tinggal lebih
lama untuk belajar wis, land, meet en wektuigkunde (ilmu pasti, ukur tanah, dan pesawat). Perundingan
yang dilakukan oleh Menteri Jajahan, Raja Williem dengan pemerintah Hindia Belanda menghasilkan
bahwa Raden boleh menangguhkan kepulangannya ke Indonesia, namun beasiswa yang diberikan oleh
pemerintah Belanda dihentikan.

Raden Saleh mendapat dukungan dari pemerintah Belanda yang pada saat itu dalam masa
pemerintahan Raja Williem II tahun 1792-1849. Beberapa tahun kemudian ia dikirim ke luar negeri
untuk menambah ilmu di Dresden, Jerman. Ia tinggal selama lima tahun dengan status tamu
kehormatan Kerjaan Herman, dan diteruskan ke Weimar, Jerman tahun 1843. Ia kembali ke Belanda
pada tahun 1844 kemudia ia menjadi pelukis istana di Kerajaan Belanda.

Karya-karya lukisan dari Raden Saleh menyindir sifat nafsu dari manusia yang terus mengganggu
kehidupan makhluk lain seperti: berburu banteng, rusa, singa, dan sebagainya. Dalam membuat sebuah
karya, ia tidak segan-segan untuk mengembara ke berbagai tempat agar ia dapat menghayati unsur-
unsur dramatis yang ia butuhkan.

Pengamatannya tersebut membuahkan sejumlah lukisan perkelahian satwa buas dalam bentuk pigura-
pigura besar. Negeri lain yang ia kunjungi: Austria dan Italia. Pengembaraan di Eropa berakhir tahun
1851 ketika ia pulang ke Hindia bersama istrinya, wanita Belanda yang kaya raya.

Penangkapan Pangeran Diponegoro karya Raden Saleh

Hidup di Eropa membuatnya mendapat didikan ala Barat, Saleh merupakan sosok yang menjunjung
tinggi idealisme kebebasan dan kemerdekaan sehingga ia sangat menentang penindasan. Pemikirannya
tersebut ia gambarkan dalam sebuah lukisan Penangkapan Pangeran Diponegoro oleh pemerintah
kolonial Belanda yang menggambarkan peristiwa pengkhianatan pihak Belanda kepada Pangeran
Diponegoro yang mengakhiri Perang Jawa pada tahun 1830. Lukisan tersebut selesai dibuat pada tahun
1857.

Karyanya tersebut serupa dengan karya Nicollas Pieneman pada tahun 1835, namun Raden Saleh
memberi tafsiran yang berbeda pada lukisannya. Pada karya Pieneman lebih menekankan peristiwa
menyerahnya Pangeran Diponegoro. Di latar belakang, Jenderal De Kock berdiri berkacak pinggang .
Pada lukisan Raden Saleh, Pangeran Diponegoro beserta pengikutnya datang dengan niat baik, namun
perundingan gagal akhirnya Diponegoro ditangkap oleh Jenderal De Kock. Jenderal De Kock.

Penyerahan Diri Diponegoro karya Nicollas Pieneman


Diduga Raden Saleh melihat lukisan Pieneman tersebut saat ia tinggal di Eropa. Seakan tidak setuju
dengan gambaran Pieneman, Raden memberikan sejumlah perubahan signifikan pada lukisan versinya;
Pieneman menggambarkan peristiwa tersebut dari sebelah kanan, Saleh dari kiri. Sementara Pieneman
menggambarkan Diponegoro dengan wajah lesu dan pasrah, Saleh menggambarkan Diponegoro
dengan raut tegas dan menahan amarah. Pieneman memberi judul lukisannya Penyerahan Diri
Diponegoro, Saleh memberi judul Penangkapan Diponegoro.

Setelah selesai dilukis pada 1857, Saleh mempersembahkan lukisannya kepada Raja Willem III di Den
Haag. Lukisan Penangkapan Pangeran Diponegoro baru pulang ke Indonesia pada tahun 1978.
Kepulangan lukisan tersebut merupakan perwujudan janji kebudayaan antara Indonesia-Belanda pada
tahun 1969, tentang kategori pengembalian kebudayaan milik Indonesia yang diambil, dipinjam, dan
dipindahtangan ke Belanda pada masa lampau.

Lukisan Penangkapan Diponegoro tidak termasuk ketiga kategori tersebut, karena sejak awal Saleh
memberikannya kepada Raja Belanda dan tidak pernah dimiliki Indonesia. Lukisan tersebut akhirnya
diberikan sebagai hadiah dari Istana Kerajaan Belanda dan sekarang dipajang di Istana Negara, Jakarta.

Setelah kembali tinggal di Hindia Belanda, Raden Saleh ditunjuk untuk menjadi sebagai konservator
pada Lembaga "Kumpulan Koleksi Benda-benda Seni". Walaupun menjalani profesi sebagai
konservator, ia masih tetap menghasilkan karya berupa lukisan potret keluarga keraton dan
pemandangan.

Raden Saleh bercerai dengan istri pertamanya. Pada tahun 1867, Raden Saleh menikah dengan gadis
dari keluarga ningrat keturunan Kraton Yogyakarta bernama Raden Ayu Danudirja. Setelah menikah, ia
tinggal di Jakarta di kawasan Cikini.

Raden Saleh menyerahkan sebagian dari halaman rumahnya yang sangat luas pada pengurus kebun
binatang. Kini kebun binatang tersebut menjadi Taman Ismail Marzuki. Sedangkan rumahnya
digunakan sebagai Rumah Sakit Cikini, Jakarta.

Pada tahun 1875, bersama istri tercinta, Raden berangkat lagi ke Eropa dan baru kembali ke Jawa tiga
tahun kemudian. Setelah itu, ia tinggal di Bogor dengan menyewa sebuah rumah yang terletak di dekat
Kebun Raya Bogor.

Pada 23 April 1880, Raden Saleh meninggal dunia. Menurut hasil dari pemeriksaan Dokter, ia meninggal
dunia karena trombosis atau pembekuan darah. Ia dimakamkan di TPU Bondongan, Bogor Jawa Barat.
Di nisan makamnya tertulis "Raden Saleh Djoeroegambar dari Sri Padoeka Kandjeng Radja Wolanda",
kalimat itu sering melahirkan banyak tafsir yang memancin perdebatan berkepanjangan tentang visi
kebangsaan Raden Saleh. Setelah kematiannya, 3 bulan kemudian tepat pada 31 Juli 1880, Raden Ayu
Danudirja, istrinya meninggal dunia.

Galeri Karya
Beberapa karya yang pernah dibuat oleh Raden Saleh sebagai berikut.

1. Potret Herman Willem Daendels (1838)


2. Potret Van den Bosch, Rijksmuseum, Amsterdam (1836)
3. Potret Jean Chrétien Baud (1835)
4. Pemandangan Jawa dengan Harimau yang Mendengarkan Suara Pengembara (1849)
5. Penangkapan Pangeran Diponegoro (1857)
6. Enam Pengendara Kuda Mengejar Rusa (1860)
7. Perburuan Rusa, Mesdag Museum, The Hague (1846)
8. Sebuah Banjir di Jawa (1865-1875)
9. Stasiun Pos Jawa (1876)
10. Pemandangan Musim Dingin (1830)

Anda mungkin juga menyukai