Anda di halaman 1dari 8

Nama: Fransiskus Xaverius Basuki Abdullah

Tempat Lahir: Surakarta, Jawa Tengah


Tanggal Lahir: 27 Januari 1915
Wafat: 5 November 1993
Profesi: Seniman
Agama: Katolik
Istri: Josephine, Maria Michel, Somwang Noi, Nataya Nareerat
Anak : Saraswati, Cecillia Sidhawati
Lebih Dekat Dengan Basuki
Fransiskus Xaverius Basuki Abdullah dilahirkan di Desa Sriwidari,
Surakarta, Jawa Tengah yang di masa itu masih di bawah kekuasaan
Hindia Belanda, pada 27 Januari 1915. Lahir dari pasangan Abdullah
Suriosubroto dan Raden Nganten Ngadisah.

Kakek Basuki merupakan salah satu figur sejarah Kebangkitan


Nasional Indonesia, yaitu dokter Wahidin Sudirohusodo. Ayah Basuki
seorang seniman lukis dan penari yang juga merupakan tokoh mooi
indie, yaitu salah satu aliran lukis yang menggambarkan keindahan
pemandangan alam, satu aliran yang sedang berkembang di masa
Hindia Belanda.

Tentu profesi sang ayah juga memengaruhi keahlian Basuki. Sejak


usia 4 tahun, Basuki mulai menggemari dunia seni. Ia suka menggambar
tokoh-tokoh penting seperti Yesus Kristus, Mahatma Ghandi,
Rabindranath Tagore, dan lain-lain. Basuki menghabiskan masa Sekolah
Dasar di Hollandsch Inlandsche Scool (HIS), sebuah sekolah tingkat
dasar pada zaman kolonial yang diperuntukkan bagi pribumi. Kemudian
lanjut ke sekolah menengah di Meer Ultgebried Lager Onderwijs
(MULO).

Berkat bantuan Pastur Koch SJ, pada tahun 1933, Basuki


memperoleh beasiswa untuk belajar di Academie Voor Beeldende
Kunsten (Akademi Seni Rupa) di Den Haag, Belanda. Basuki
menyelesaikan akademinya selama dua tahun lebih dua bulan dengan
memperoleh penghargaan Royal International of Art (RIA). Selanjutnya,
ia juga mengikuti program semacam studi banding di beberapa sekolah
seni rupa di Paris dan Roma.

Pada tahun 1939, karena merasa selama bertahun-tahun hasil


karyanya hanya dinikmati oleh orang-orang asing, Basuki menggelar
pameran lukis keliling di beberapa kota di Indonesia, seperti Jakarta,
Solo, Semarang, Surabaya, Yogyakarta, Bandung, hingga Medan.
Selama pameran berlangsung, beragam pujian dan kritikan bergilir
menghampiri Basuki, namun berbagai pujian dan kritikan itu ia jadikan
sebagai dorongan untuk terus berkarya.

Basuki Abdullah dan Keluarga


Selama masa hidupnya, Basuki Abdullah menikah empat kali. Pada
tahun 1937, ia menikahi Josephine, seorang gadis Belanda yang
dinikahinya di Gereja Katolik Den Haag. Dari Josephine, Basuki
dikaruniai seorang anak perempuan bernama Saraswati (1938). Sayang,
pernikahan Basuki dan Josephine tak berlangsung lama dan akhirnya
mereka pun berpisah.

Pada tahun 1944, Basuki menikahi Maya Michel, seorang penyanyi


seriosa mezzosoprano berbakat. Mereka bertemu lantaran sama-sama
seniman. Hubungan mereka pun juga tak lama, pada 1956 merek
berdua berpisah.
Pada tahun 1958, Basuki menikah kembali dengan seorang wanita
Thailand, Somwang Noi. Pernikahan ini pun pula tak berlangsung lama.
Setelah dua tahun, mereka pun berpisah.

Pada tanggal 25 Oktober 1963, Basuki kembali menikah dengan


seorang wanita Thailand bernama Nataya Nareerat dan berlangsung
hingga akhir hidupnya. Dari Nataya, Basuki dikaruniai seorang putri
bernama Cicilia Shidawati.

Aktivitas Basuki Abdullah


Kiprah Basuki dalam pergerakan revolusi mulai tampak ketika ia
bergabung dengan gerakan PUTERA (Pusat Tenaga Rakyat) yang berdiri
pada 19 Maret 1943. Dalam gerakan ini, ia bertugas sebagai pengajar
seni lukis. Di antara muridnya, ada Kusnadi (pelukis dan kritikus seni
rupa Indonesia) dan Zaini (pelukis impresionisme). Selain PUTERA,
Basuki juga aktif dalam Keimin Bunka Sidhosjo, sebuah pusat
kebudayaan milik pemerintah Jepang, bersama dengan Affandi
Koesoema, S.Sudjojono, Otto Djaya, dan Basuki Resobawo.

Pada masa kemerdekaan, Basuki tidak berada di tanah air tanpa


sebab yang diketahui. Ia bertolak ke Eropa bersama istrinya, Maya
Michel dan aktif menggelar pameran di Belanda dan Inggris. Pada
tanggal 6 September 1948, sewaktu penobatan Ratu Yuliana di
Amsterdam, Belanda, diadakan sebuah sayembara lukis. Dalam lomba
itu, Basuki berhasil mengalahkan 87 pelukis Eropa dan keluar sebagai
pemenang.

Sejak itu, Basuki mulai dikenal dunia. Selama di Belanda, Basuki


kerap berkeliling Eropa dan berkesempatan mendalami seni lukis
dengan menjelajahi Italia dan Perancis dimana para pelukis kelas dunia
pada bermukim di sana. Pengabdian Basuki dalam bidang seni semakin
nyata ketika dirinya mendapat panggilan untuk melukis raja, kepala-
kepala negara, dan mengadakan pameran hasil karya lukisnya di
berbagai negara seperti Singapura (1951), Italia (1955), Portugal dan
Inggris (1956), Singapore (1958), Tokyo (1959), Kuala Lumpur (1959),
dan Thailand (1960).

Di antara pameran tersebut, yang menonjol pada periode tahun


1950-1960 yaitu pameran yang diadakan di Tokyo, Jepang pada tahun
1959 yang dibuka oleh Pangeran Mikasa, anak Kaisar Hirohito.

Hidup Basuki memang banyak dihabiskan di luar negeri. Ia berkeliling


mengadakan pameran lukis di banyak negara. Lebih kurang ada 22
negara yang telah memiliki karya lukis Basuki Abdullah.

Pernah juga Basuki diangkat sebagai pelukis istana kerajaan Thailand


dan mendapatkan penghargaan berupa Bintang Penghargaan Poporo
dari Raja Bhumibol Aduljadej, sebuah penghargaan tertinggi kerajaan
Thailand bagi seorang Royal Court Artist yang memiliki jasa besar
kepada pemerintah dan istana.

Basuki Abdullah Pelukis Raja-Raja


Pada tahun 1962, empat tahun setelah dirinya duduk bersama minum
teh dengan Ratu Juliana karena memenangkan lomba lukis saat
penobatan Ratu Belanda, Basuki berangkat ke Muangthai atas ajakan
Surathun Nunnag, sahabatnya yang masih keluarga Raja Bhumibol
Aduljadej, Raja Thailand.

Pada mulanya, Raja Aduljadej meminta Basuki agar ia melukisnya, tapi


ternyata hasil lukisannya dinilai baik. Sehingga keluarga Raja merasa
tertarik dengan hasil lukisan Basuki. Untuk itu, Raja mengharapkan
Basuki tetap tinggal di Bangkok, agar sewaktu-waktu mudah dipanggil
untuk melukis. Permintaan Raja pun diterima dan Basuki memperoleh
berbagai fasilitas. Ia diberi rumah di Soi, Ekarmai, Bangkok. Selain itu, ia
juga diberi studio lukis di Istana Chitralada. Di Istana Poporo, Basuki Di
Istana Poporo, Basuki menempati posisi yang cukup terhormat. Raja
Aduljadej berkenan untuk menggantikan sebagian besar lukisan-lukisan
yang dipajang di istana yang dilukis oleh pelukis lain untuk ditukar
dengan lukisan-lukisan karya Basuki.

Patut dicatat di sini, lukisan King Rama I-VII merupakan karya pelukis
Eropa. Adapun pelukis Indonesia, Basuki Abdullah melukis King Anand
Mahidon VIII, Raja Aduljadej dan Ratu Sirikit istrinya, Crown Prince
Wachilalongkorn, serta Princess Mother (ibu Raja). Lukisan-lukisan
karya Basuki banyak menghiasi istana Raja, seperti ChakliPalace,
Chitralada Palace, dan Pattina Palace. Mengingat sumbangan dan
karya-karya lukis Basuki yang berkenan di hati Raja, maka oleh Raja
Aduljadej, Basuki dianugerahi Bintang Penghargaan “Poporo”. Surat
penghargaan dari Istana Raja Muangthai pun menunjukkan pengakuan
dan bukti betapa tingginya nilai seni dari lukisan-lukisan Basuki.

Pada tahun 1963, Basuki juga turut melukis keuarga pangeran Norodom
Sihanouk di Kamboja. Tahun 1968, Presiden Ferdinand Marcos dan
Imelda Marcos berkunjung ke Istana Poporo dan Chitralada. Ketika
melihat lukisan karya Basuki, Imelda tampak mengaguminya.

Pada tahun 1977, Basuki pergi ke Filipina untuk melukis Presiden


Ferdinand Marcos dan Ny. Imelda Marcos. Di tahun 1983, Basuki juga
turut melukis Sultan Bolkiah bersama permaisurinya dari Brunei
Darussalam. Oleh Sultan Bolkiah, ia dijuluki “Mr. Twenty Minutes”.

Dengan demikian, maka Basuki Abdullah bisa dibilang pelukis raja,


sultan maupun presiden dunia.

Basuki Kembali ke Tanah Air


Basuki Abdullah sudah sekian lama tinggal di negeri orang. Tinggal di
Eropa, menetap di Muangthai sekitar 13 tahun. Betapapun cantiknya
negeri orang, masih lebih cantik negeri sendiri. Akhirnya, Basuki pulang
kembali ke Indonesia.

Akhir Hayat Basuki Abdullah


Basuki Abdullah wafat terbunuh pada usia 78 tahun, pada Jumat 5
November 1993. Ketika itu Basuki tengah memanjatkan doa di kamar
pribadinya. Seseorang yang diduga tukang kebunnya sendiri menyusup
dan mencoba mencuri koleksi jam tangan kesayangannya.

Setelah terjadi kejar-kejaran, Basuki dipukul menggunakan senjata


miliknya sendiri oleh si pencuri. Ia ditemukian oleh pembantunya dalam
posisi tertelungkup, tangan yang masih memegang kacamata, disertai
wajah dan kepala bersimbah darah.

Berita meninggalnya Basuki Abdullah menjadi tajuk utama di masa


itu. Jenazah Basuki kemudian dikebumikan di Desa Mlati, Sleman,
Yogyakarta bersanding dengan almarhum kakeknya, dr. Wahidin
Sudirohusodo.

Dalam surat wasiatnya, Basuki menyerahkan rumah beserta sebagian


karya dan koleksinya untuk negara. Pada tahun 2001 rumah itu disulap
menjadi Museum Basoeki Abdullah dengan mempertahankan bentuk
asli rumahnya.

Anda mungkin juga menyukai