Anda di halaman 1dari 12

BASUKI ABDULLAH

Lahir : Surakarta, 25/01/1915


Profesi : Pelukis Seniman (-)
Karier : Pelukis Seniman (-)
Pendidikan :Akademik Seni Rupa (Academie Voor Beeldende Kunsten) di Den Haag,
Belanda (-)
Penghargaan :Royal International, of Art (RIA) ()

Basuki Abdullah adalah salah seorang maestro pelukis Indonesia. Ia dikenal sebagai pelukis
aliran realis dan naturalis. Ia pernah diangkat menjadi pelukis resmi Istana Merdeka Jakarta dan
karya-karyanya menghiasi istana-istana negara dan kepresidenan Indonesia, disamping menjadi
barang koleksi dari penjuru dunia.

Bakat melukis Basuki Abdullah terwarisi dari ayahnya, Abdullah Suryosubro, yang juga seorang
pelukis dan penari. Sedangkan kakeknya adalah seorang tokoh Pergerakan Kebangkitan
Nasional Indonesia pada awal 1900-an, yaitu Doktor Wahidin Sudirohusodo.

Basuki Abdullah bersekolah di HIS Katolik dan Mulo Katolik di Solo, kemudian mendapatkan
beasiswa pada 1933 untuk belajar di Akademi Seni Rupa (Academie Voor Beeldende Kunsten)
di Den Haag, Belanda, dan menyelesaikan studinya dalam waktu tiga tahun dengan meraih
penghargaan Sertifikat Royal International of Art (RIA).

Pada 6 September 1948, sewaktu penobatan Ratu Yuliana di Belanda, Basuki Abdullah berhasil
mengalahkan 87 pelukis dunia lainnya dalam sebuah sayembara yang diadakan di Amsterdam,
Belanda. Sedangkan lukisannya, “Balinese Beauty” terjual di balai lelang Christie’s di
Singapura, pada tahun 1996.

Selama karirnya dalam melukis, Basuki terkenal sebagai pelukis potret, meski ia juga melukis
pemandangan alam, flora, fauna, tema-tema perjuangan, pembangunan, dan lainnya. Dia sering
mengadakan pameran tunggal, di dalam maupun di luar negeri, seperti di Thailand, Malaysia,
Jepang, Belanda, Inggris, dan negara-negara lain. Lebih kurang 22 negara yang memiliki karya
lukisan beliau. Hampir sebagian hidupnya dihabiskan di luar negeri.

Selain menjadi pelukis, dia juga pandai menari dan sering tampil dengan tarian wayang orang
sebagai Rahwana atau Hanoman. Pria yang menikah empat kali ini tidak hanya menguasai soal
kewayangan, budaya Jawa di mana dia berasal. Tetapi juga menggemari komposisi-kompasisi
Franz Schubert, Beethoven dan Paganini, dengan demikian wawasannya sebagai seniman luas
dan tidak Jawasentris.

Kematiannya cukup tragis. Basuki Abdullah tewas dibunuh perampok di rumah kediamannya,
pada 5 November 1993. Ia meninggal dalam usia 78 tahun. Jenazahnya dimakamkan di Desa
Mlati, Sleman, Yogyakarta.
KARYA LUKIS “BASUKI ABDULLAH”

Basuki Abdullah : “Adik Kakak”

Basuki Abdullah : “Gadis Bali”

Basuki Abdullah : “Ngarat-Minangkabau”


JOKO PEKIK

Djoko Pekik lahir pada 2 januari 1937 di Grobogan, Purwodadi, Jawa Tengah. Djoko pekik
masa kecil bukan seorang yang ahli dalam bidang melukis atau memiliki darah seorang pelukis.
Ayah dan ibunya adalah seorang petani yang bisa dibilang miskin sehingga pada masa kecilnya
ia harus membantu kedua orang tuanya untuk mencari makan. Namun, bakat melukisnya
sebenarnya telah terlihat sedari kecil ketika ia bermain ande-ande lumut, ia berperan sebagai
tokoh Kelenting Kuning dan menggambar sendiri baju tokoh tersebut. Djoko Pekik dari kecil
menyatakan tidak memiliki cita-cita untuk menjadi seorang pelukis. ia mengungkapkan awalnya
ingin menjadi seorang kepala desa dan memiliki seperangkat gamelan. Menjadi seorang pelukis
sukses sebuah hal yang sangat jauh dari bayangan dia pada waktu kecil.

Pendidikan Djoko Pekik tidak berjalan mulus, ia tidak lulus sekolah dasar. Setelah itu, ia
memilih untuk melanjutkan ke Akademisi Seni Rupa Indonesia (ASRI) Jogjakarta pada tahun
1957-1962. Kemampuan melukisnya bukan terlahir dari sekolah ini tapi di Sanggar Bumi
Tarung yang merupakan sanggar yang berada di bawah asuhan LEKRA (Lembaga Kebudayaan
Rakyat). LEKRA adalah sebuah lembaga yang berafiliasi dengan PKI. Lembaga ini konsen
terhadap sosial kerakyatan dan menolak imperialisme, kolonialisme dan kapitalisme. Keaktifan
Pekik di sanggar ini memberikan hasil ketika lukisanya masuk dalam lima besar lukisan terbaik
yang mendapat penghargaan pada tahun1964 dalam sebuah pameran tingkat nasional yang
diadakan oleh LEKRA.

Keaktifan Pekik di LEKRA harus dibayar mahal, pasca peristiwa G30/S PKI tahun 1965. Karena
pada saat itu semua organisasi atau lembaga yang berafiliasi dengan PKI dibersihkan, orang-
orang yang aktif dalam kegiatan tersebut ditangkap dan ditahan. Pekik menjadi tahanan politik
mulai 8 november 1965 di penjara Wirogunan. Ia diasingkan dan dimasukan penjara dengan
siksaan seperti para tahanan lain, bahkan telinga kirinya sempat mengalami gangguan
pendengaran hingga sekarang, karena sering dipukul oleh moncong senjata. Setelah penahanan
tersebut Djoko Pekik vakum dalam dunia lukis melukis, namun jiwa melukisnya tak pernah mati
hingga ia dilepaskan sebagai tahan politik.

Pada proses penahan kota 1970, Pekik sempat melangsungkan penikahan dengan seorang gadis
bernama C.H. Tini Purwaningsih yang secara umur terpaut jauh yakni 14 tahun. Dalam
menghidupi kelurganya Pekik berprofesi sebagai tukang jahit,  pada saat itu profesi ini benar-
benar tidak mampu menopang kemapanan ekonomi keluarganya. Secercah harapan muncul
ketika pada akhir 80-an ada seorang sarjana lukis bernama Astari Rasyid yang menjadikan
lukisanya sebagai objek penelitian disertasinya. Setelah diteliti oleh Astari banyak yang
membaca karya-karya Djoko Pekik baik dari dalam ataupun luar negeri. Keikutsertaan ia pada
pameran di Amerika pada 1989 membuat ia terkenal luas dengan kekontroversian dia sebagai
tahanan politik orde baru.

Kontoversial ini membawa Djoko Pekik terkenal di Indonesia, karena banyak majalah dan koran
yang meliput pameran ia di Amerika. Hal ini berimbas pada banyaknya kolektor yang mulai
memburu karya-karyanya. Karena bagi kolektor lukisan Djoko Pekik mampu melukiskan
umpatan serapah kedalam kanvas yang memang bentuk curahan hati Pekik atas kenangan masa
lalu. Lukisan Pekik dikenal memiliki keunikan disetiap karyanya, para kolektor berpendapat ia
selalu berbeda dalam tiap lukisanya. Hal ini membuat Pekik kurang suka karena banyak yang
berburu lukisan nya dan ingin melihat karya nya, hingga lebih lanjut ia mengungkapkan bahwa
ia memakai teknik yang sama dalam tiap lukisanya.

Lukisan " Indonesia 1998, berburu celeng " merupakan lukisan yang melambungkan namanya
dalam pameran lukisan di Jogjakarta pada tahun 1999 karena lukisan ini terjual dengan harga
satu milyar rupiah. Selanjutnya ada lukisan trilogi Pekik yang bagi ia merupakan karya yang
paling mengesankan dari ratusan karya Djoko Pekik. Lukisan tersebut adalah Indonesia 1998
Berburu celeng, susu raja celeng serta tanpa bunga dan telegram duka cita.

Lukisan Djoko Pekik merupakan bentuk dari teriakan dia terhadap kungkungan orde baru dan
bentuk protes ia terhadap kondisi sosial. Selama hidupnya Djoko Pekik menghasilkan kurang
lebih 300 karya. Setelah ia keluar dari LEKRA ia menghasilkan karya yang berjudul  WTS
Nagih Janji pada tahun 1966.Tahun 1988 yang berjudul Tukang Becak Main Kartu. Selanjutnya
pada 6 Januari 1990, karya lukisannya berjudul Trumpet Seller dengan ukuran 96x132 cm.
pada1994, berjudul Termenung. Pada tahun 1996 ia menghasilkan tiga karya yakni, Dua
Termenung, Susu Radja Celeng, Wajah Cemberong. Kemudian pada tahun 1998 ia
mengahsilkan karya dengan judul Woman.
Pada tahun 1999 merupakan tahun terbaik Pekik karena pada tahun ini karya yang ia hasilkan
mampu dihargai sebesar satu milyar dan membuat dirinya terkenal, karya tersebut adalah
Indonesia 1998 Berburu Celeng dan Persiapan Pentas. Pada tahun 2000 ia juga mampu menjual
karya yang berjudul Majelang Pentas serta A Performance pada tahun yang sama. Pada tahun
2003 ia menghasilkan dua karya yakni Penari Topeng dan Awal Bencana di Lintang Kemukas
1965. Kemudian pada tanggal 22 Maret 2004 ia menghasilkan karya berjudul Ledak Gogik, pada
11 Juni 2004 dua karya ia selesaikan yakni Raksasa Mata Satu dan Wanita Jawa.

Selain itu, beberapa karya lukisan Djoko Pekik yang lain adalah  Yes I am a Whore, Becak
Driver is Being Baby, Alit Ambara, Bumi Tarung, Dalang, Drinking a Glass of Syrup, Pasangan
Hidup, Small Stone Seeker, Tak Seorangpun Pulang, Wearing a Stagen, Tayub, The Guardian,
Traditional Games Seller.
KARYA LUKIS “joko pekik”

Joko Pekik :Anak Warung Nasi

Joko pekik :
Berburu celeng-1998

Joko pekik : bukit karang tritis


100 cm x 140 cm-1991
AGUS SUWAGE

Agus Suwage lahir pada tanggal 14 April 1959 di Purworejo, Jawa Tengah. Pada periode tahun
1979-1986, Agus mendapat pendidikan di Jurusan Desain Grafis, Fakultas Seni Rupa dan Desain
ITB Bandung. Agus mulai melakukan pameran tunggal pertama kali pada tahun 1995 di Rumah
Seni Cemeti Yogyakarta. Kemudian di tahun berikutnya, Agus melakukan pameran tunggal di
luar negeri untuk pertama kali di H Block Gallery QUT, di Brisbane, Australia. Karya Agus
mulai mengikuti pameran bersama pada tahun 1997. Pada tahun tersebut karya Agus dipamerkan
dalam lima pameran bersama, yang empat diantaranya diselenggarakan di luar negeri, yaitu
India, Malaysia, Cuba, dan Jepang. Beberapa pameran tunggal Agus yang cukup menarik
perhatian antara lain:
- CYCLE No.2, (2013)
- CYCLE No.3, (2013)
- The End Is Just Beginning Is The End, (2011) di The Tyler Rollins Fine Art, New York,
Amerika.
- Pause/Re-Play, (2005) di ITB, Bandung.
Sampai tahun 2016, karya Agus tercatat telah dipamerkan di lebih dari 150 museum dan gallery
dalam berbagai pameran di berbagai negara.
Enin Supriyanto (kurator pameran "Cycle No.3" di Jerman, 2013), melihat dalam beberapa hasil
karya Agus Suwage, self-potrait tidak hanya menjadi sebuah subyek independent yang menjadi
titik pusat, akan tetapi juga hadir berdampingan dengan elemen yang lain. Karya Agus dilihat
merupakan kombinasi antara refleksi diri dan kontradiksi tentang "diri" itu sendiri. Dengan
menggunakan kameranya, Agus merekam berbagai pose dan raut wajah miliknya, yang
kemudian diteruskannya dalam gambar atau lukisan.
Dengan cara tersebut, Agus dianggap menerima fakta bahwa ketika dia menjadi subyek, di saat
yang sama dia juga menjadi obyek. Hasil karyanya kemudian dianggap dapat menggambarkan
bahwa "diri" dapat dipisah-pisah, menjadi pusat dari subyektifitas-diri, dan identitas mengenai
diri akan selalu berubah ketika hadir diantara kehidupan sosial
KARYA LUKIS “agus suwage”

Agus Suwage : Blues untuk Allah


(135 cm x 135 cm, Acrylic on canvas, 2001)

Agus Suwage : Tarian Api


(145 cm x 145 cm, Oil on canvas, 2001)

Agus Suwage : Maka Lahirlah Angkatan 90-an


(50 cm x 60 cm, Oil on canvas, 2001)
NASIRUN

Nasirun, perupa kelahiran Cilacap, 1 Oktober 1965 itu, memang seniman yang kuat dan kokoh
dalam soal produktivitas dan kreativitas. Meskipun ia sudah jadi milyarder, tapi ia tetap naik
motor bebek yang dibelinya sekitar tahun 1997. Kalau mau membeli mobil super car, tentu
Nasirun sanggup, namun itulah sifat kesedehanaan nya.

Diawali menggambar di waktu kecil. Pada 1983, Nasirun belajar membatik dan mengukir di
SSRI (Sekolah Seni Rupa Indonesia). Lalu 1987 masuk jurusan seni murni di ASRI (Akademi
Seni Rupa Indonesia) Jogja. Tapi kuliah di ASRI hanya mengerjakan tugas-tugas dari dosen.
Baru pada 1991 terjadi akumulasi kesadaran bahwa seni lukis adalah profesi nya.

Nasirun lulus dari ISI  Institut Seni Indonesia, Yogyakarta pada tahun 1994. Beliau pernah
pameran tunggal di Yogyakarta, Solo dan Jakarta, dan telah berpartisipasi dalam berbagai
pameran kelompok di Indonesia, Singapura dan Belanda. Penghargaan yang diterima termasuk
Lukisan Terbaik ISI Yogyakarta tahun 1991; McDonald Award, Lustrum X, ISI Yogyakarta
1994, dan dia adalah salah satu pemenang hadiah Top Ten Awards Seni Indonesia pada tahun
1997.

Nasirun termasuk perupa yang diperhitungkan pada tingkat nasional dan regional. Karya-
karyanya adalah usaha menafsir ulang seni tradisi (terutama wayang) dengan melakukan distorsi
anatomi para tokohnya dan mengevaluasi struktur nilainya. Tak jarang, interpretasi itu dikaitkan
dengan masalah sosial-politik yang sedang aktual dengan sentuhan humor dan ironi yang kental.
Nasirun seorang pelukis yang komplit. Tekniknya tinggi, imajinasinya luar biasa. Ia cerdas dan
menguasai konsep, namun ia tidak meninggalkan segi estetik bahkan rasa merupakan sisi terkuat
dari Nasirun. Karyanya ekspresif dan imajinatif.
Beberapa kisah inspiratif dan positif yang bisa dipetik dari pelukis yang memiliki sifat ramah
dan bersahaja Nasirun.

Suatu hari, ia sedang melukis di rumahnya. Tiba-tiba ada seorang anak muda, memakai motor
butut datang dan ingin melihat dia melukis.
 "Saya kemudian ambilkan kursi. Kursinya juga lebih tinggi daripada kursi saya yang saya pakai
duduk sambil melukis. Saya juga ambilkan minuman dan saya melanjutkan melukis," tutur
Nasirun.
Dan pemuda itu asyik melihat saya melukis. Tiba-tiba pemuda ini sambil bicara pingin membeli
lukisan yang sedang saya lukis.
"Mas Nasirun, saya seneng lihat lukisan ini, Boleh ya saya beli." kata anak muda itu. "Aduh
bagaimana ya mas, ini mau saya pamerkan," jawab Nasirun. "Tolonglah mas. Saya seneng sekali
dan pingin memilikinya." rengek anak muda ini.
Nasirun terdiam sejenak. Sambil dalam hati memikir. Kemudian dengan bahasa yang lugu dan
kerendahan hati, akhirnya dia beranikan bicara. "Tapi ini mahal mas. Seratus tujuh puluh lima
juta," jawab Nasirun.
"Ya mas Nasirun. Gak apa-apa," jawab anak muda ini. Tentu saja Nasirun kaget. Dari
"potongannya" anak muda ini, pakaiannya T-shirt, naik motor butut. Tetapi kok mau beli lukisan
saya.
Singkat cerita, anak muda ini meminta nomor rekening Nasirun dan pulang. Esok harinya ada
mobil mewah datang bersama sebuah mobil box. "Pak Nasirun, saya mau ambil lukisan. Ini
bukti transfernya, " seorang bapak setengah baya menyerahkan selembar kertas. "Lho....siapa
mas yang datang kemarin itu ?" tanya Nasirun terheran heran. "Itu anak bapak..." tuturnya
sambil menyebut nama seorang tokoh nasional, pengusaha ternama di Indonesia.
Kisah unik lainya, suatu hari Nasirun pernah diremehkan oleh pegawai dealer ketika mau beli
sebuah mobil seharga Rp 400 juta. Semua yang datang ke dealer itu disambut para sales dengan
senyum dan minuman teh botol sambil dijelaskan sistem cicilan. Tapi Nasirun karena potongan
rambutnya gondrong, pakai celana pendek tidak ada satupun yang mau melayani.
Sampai kemudian istrinya datang dan membawa uang cash Rp 400 juta, Nasirun kemudian
memanggil seorang sales dan ia bilang mau beli cash. Tentu saja sales itu malu dan bingung
melayani. Lari ia menggambilkan teh botol. Nasirun senyum dan cerita.
"Rasa minumannya sudah tidak enak. Karena dari hati yang terpaksa bukan dari hati yang
ikhkas." Itulah Nasirun. Seorang pelukis yang unik. Sikap hormat seorang Nasirun kepada
teman, sahabat dan tamu-tamunya, kebersahajaan yang luar biasa, adalah kunci awal yang
menjadikan karyanya menyentuh hatin orang. Teknik melukis, piawai memainkan warna dan
pemahaman tentang lukisan yang indah, adalah modal dasar bagi seorang pelukis sukses. Yang
lebih utama justru kesuksesan dia menaklukkan dirinya. Karya yang indah adalah ramuan
penguasaan atas teknik melukis dengan kebersihan hati dan kebersahajaan.
KARYA LUKIS “nasirun”

Anda mungkin juga menyukai