Judul : Menimbang ruang Menata Rupa – Wajah & Tata Pameran Seni Rupa
Selain mengemukakannya unsur pleasuring yang bersifat praktik eksperimentatif, kurator dapat
pula mengejawantahkan pikiran - pikirannya (lewat kerja kurasinya) dengan membayangkan pameran
sebagai tempat mengadakan dan memberi publik sebuah ruang dan sajian imajinatif. Umpakan saja praktik
kurasi itu sebagai tempat atau “buku” untuk mendendangkan sebuah kisa –sekalipun bukan bermaksud
sebagai bentuk narasi yang naratif. Minimal pameran yang dikemukakan memberi sajian yang sifatnya
membawa publik mengalami sensasi terhadap sebuah hal/ kasus. Kurasi yang berbau dan bercitra “puitis”
itu bisa diterjemahkan melalui naskah dan pengantar kuratorial, maupun lewat karya yang dipamerkan ,
atau dari cara penyajian ruangnya, sesuai dengan jenis dan karakter pameran yang dibuat. Seperti halnya
dalam kajian budaya muncul terminologi “poetics of exhibiting” yang berarti praktik memproduksi arti
(meaning) melalui pemesanan (artikulasi) internal an sistem pembentukan tersendiri, tetapi terhubungkan
dengan komponen – komponen pameran. Dalam hal ini pameran dan kurasi adalah pemicu munculnya
metafora – metafora.
Kerja kurator sebagai pembangun citra (diri, seniman atau institusi yang dinauginya), atau sebagai
“aktivis”, dan “agen konflik”, termasuk pula mengembangkan apa yang harus dilaksanakan. Dalam hal ini
sebuah perhelatan bernama pameran seni rupa menjadi sebuah arena untuk mengadu profesionalisme.
Antara kerangka kerja dan sikap kerja profesionalisme inilah yang akan memberi gambarang bagaimana
kerja kurator A dan B. Tingkat profesionalitas yang dimiliki setiap kurator dalam hal ini dapat dilihat dari
penyusunan kurasi hingga hasil – hasil secara detail yang digesekkan dalam penyusunan kurasi pameran
yang dibuat.
Sebelum memasuki persoalan etika profesional alangkah menariknya bila seorang kurator memiliki
kualitas persoal dalam menjalankan tugas dan profesinya. Kualitas personal dalam hal ini adalah: