Anda di halaman 1dari 8

Kliping Seni Budaya

Reproduksi Karya Seni Lukis

Logo sekolah

Di Susun Oleh :

Nama :

Kelas :

SMA/SMK......(SEKOLAH SOBAT)
1. Lukisan Karya Agus Djaya

Judul : Tari Bali

Perupa : Agus Djaya

Biografi Agus Djaya

Rd.Agoes Djajasoeminta, Lahir di Pandeglang, Banten , pada tanggal 1 April 1913 merupakan pelukis
asal indonesia. Di zaman pendudukan jepang, ia di rekomendasikan oleh Bung Karno untuk menjadi
ketua pusat kebudayaan bagian seni rupa (1942-1945).

Pada zaman revolusi kemerdekaan ia aktif sebagai kolonel intel Dan F.P (persiapan lapangan), Namun
setelah kemerdekaan ia kembali aktiv di bidang seni rupa. Warna biru dan merah pada lukisan agus
terdapat suasana magis yang terpancar dalam warna warna tersebut. Sosok penari yang tampil pada
lukisan merupakan penampilan suasana ritual dari masyarakat yang masih sangat erat dengan alam.

Warna biru dan merahnya seperti sudah menemukan karakter tersendiri, sehingga merupakan idiom khas
dari pelukis agus djaya. Yang menarik hati pelukis kelahiran pandeglang,banten ini adalah dunia
pewayangan. Dalam kanvasnya apabila agus menggambar objek wayangvterasa ada kekayaan.

Agus djaya ini Sering berpameran baik itu di dalam maupun di luar negeri, di dalam negeri seperti di
Taman Ismail Marzuki, Balai Budaya, Museum Pusat, Mitra Budaya, Lembaga Indonesia (LIA), Oet’s
fine art gallery, dll. Sedangkan pamerannya di luar negeri seperti di Stedelijk Museum Amsterdam,
Galerie Barbison Paris, Grand Prix des Beaux Art Monaco, Biennale Sao Paolo Brazil, International Art
Gallery Sydney dll. Ia berharap generasi muda Indonesia mampu memenuhi museum-museum yang
penuh dengan koleksi senilukis sebagai ciri dari mutu seni budayanya sendiri.

Organisasi yang ada pada masa Persagi. Banyak tokoh yang muncul saat itu salah satunya adalah Agus
Djaya. Tokoh yang satu ini lahir di Pandeglang, Banten tanggal 1 April 1913 dengan nama aslinya Raden
Agus Djaya Suminta, Dia merupakan pendiri Persagi (Persatuan Ahli-ahli Gambar Indonesia), yang juga
ketua selama empat tahun pada 1938 – 1942. Semasa kecilnya, saudara kandung, R. Otto Djaya yang juga
terkenal sebagai pelukis besar Indonesia ini pernah berkeinginan menjadi dokter dengan alasan banyak
anggota keluarga yang menjabat profesi tersebut, namun karena bakat seni yang kuat dari ibunya
ditambah pengarahan dari guru gambarnya semasa sekolah di H.I.S.

Pandeglang, Suwanda Mihardja, membuat Agus Djaja menjadi seorang pelukis. Setelah lulus HIS Agus
Djaja melanjutkan sekolah ke MULO, Bandung pada tahun 1923, kemudian ke Middelbare Landbouw
School, Bogor (1923-1924), dan diteruskan ke H.I.K. Lembang,Bandung tahun 1927.

Selama di Eropa, Agus Djaya juga berkenalan dengan pelukis-pelukis besar Eropa seperti Pablo Picasso
di Vallauris, Prancis Selatan. Juga bersahabat dengan perupa dunia Salvador Dali di Madrid, Spanyol.
Termasuk dengan pematung Paris asal Polandia, Ossip Zadkine.

Setelah memiliki kesempatan yang luar biasa di luar negri, akhirnya ia kembali juga ke tanah air. Selama
di tanah air, prestasi dia makin tenggelam dengan dunia seni rupa, hingga suatu ketika ia memutuskan
meninggalkan Ibu kota, hijrah ke Kuta, Bali. Di sanalah ia mendirikan studio sekaligus galeri impian di
tepi Pantai Kuta.
2. Lukisan Affandi

Judul : Para Pejuang

Perupa :Affandi

Biografi affandi

Affandi dilahirkan di Cirebon pada tahun 1907, putra dari R. Koesoema, seorang mantri ukur di pabrik
gula di Ciledug, Cirebon. Dari segi pendidikan, ia termasuk seorang yang memiliki pendidikan formal
yang cukup tinggi. Bagi orang-orang segenerasinya, memperoleh pendidikan HIS, MULO, dan
selanjutnya tamat dari AMS, termasuk pendidikan yang hanya diperoleh oleh segelintir anak negeri.

Namun, bakat seni lukisnya yang sangat kental mengalahkan disiplin ilmu lain dalam kehidupannya, dan
memang telah menjadikan namanya tenar sama dengan tokoh atau pemuka bidang lainnya.

Pada umur 26 tahun, pada tahun 1933, Affandi menikah dengan Maryati, gadis kelahiran Bogor. Affandi
dan Maryati dikaruniai seorang putri yang nantinya akan mewarisi bakat ayahnya sebagai pelukis, yaitu
Kartika Affandi.

Sebelum mulai melukis, Affandi pernah menjadi guru dan pernah juga bekerja sebagai tukang sobek
karcis dan pembuat gambar reklame bioskop di salah satu gedung bioskop di Bandung. Pekerjaan ini
tidak lama digeluti karena Affandi lebih tertarik pada bidang seni lukis.

Sekitar tahun 30-an, Affandi bergabung dalam kelompok Lima Bandung, yaitu kelompok lima pelukis
Bandung. Mereka itu adalah Hendra Gunawan, Barli, Sudarso, dan Wahdi serta Affandi yang dipercaya
menjabat sebagai pimpinan kelompok. Kelompok ini memiliki andil yang cukup besar dalam
perkembangan seni rupa di Indonesia. Kelompok ini berbeda dengan Persatuan Ahli Gambar
Indonesia(Persagi) pada tahun 1938, melainkan sebuah kelompok belajar bersama dan kerja sama saling
membantu sesama pelukis.
Pada tahun 1943, Affandi mengadakan pameran tunggal pertamanya di Gedung Poetera Djakarta yang
saat itu sedang berlangsung pendudukan tentara Jepang di Indonesia. Empat Serangkai—yang terdiri dari
Ir. Soekarno, Drs. Mohammad Hatta, Ki Hajar Dewantara, dan Kyai Haji Mas Mansyur—memimpin
Seksi Kebudayaan Poetera (Poesat Tenaga Rakyat) untuk ikut ambil bagian. Dalam Seksi Kebudayaan
Poetera ini Affandi bertindak sebagai tenaga pelaksana dan S. Soedjojono sebagai penanggung jawab,
yang langsung mengadakan hubungan dengan Bung Karno.

Ketika republik ini diproklamasikan 1945, banyak pelukis ambil bagian. Gerbong-gerbong kereta dan
tembok-tembok ditulisi antara lain "Merdeka atau mati!". Kata-kata itu diambil dari penutup pidato Bung
Karno, Lahirnya Pancasila, 1 Juni 1945. Saat itulah, Affandi mendapat tugas membuat poster. Poster yang
merupakan ide Soekarno itu menggambarkan seseorang yang dirantai tetapi rantainya sudah putus. Yang
dijadikan model adalah pelukis Dullah. Kata-kata yang dituliskan di poster itu ("Bung, ayo bung")
merupakan usulan dari penyair Chairil Anwar. Sekelompok pelukis siang-malam memperbanyaknya dan
dikirim ke daerah-daerah.

Bakat melukis yang menonjol pada diri Affandi pernah menorehkan cerita menarik dalam kehidupannya.
Suatu saat, dia pernah mendapat beasiswa untuk kuliah melukis di Santiniketan, India, suatu akademi
yang didirikan oleh Rabindranath Tagore. Ketika telah tiba di India, dia ditolak dengan alasan bahwa dia
dipandang sudah tidak memerlukan pendidikan melukis lagi. Akhirnya biaya beasiswa yang telah
diterimanya digunakan untuk mengadakan pameran keliling negeri India.

Sepulang dari India, Eropa, pada tahun lima puluhan, Affandi dicalonkan oleh PKI untuk mewakili orang-
orang tak berpartai dalam pemilihan Konstituante. Dan terpilihlah dia, seperti Prof. Ir. Saloekoe
Poerbodiningrat dsb, untuk mewakili orang-orang tak berpartai.

Di Dalam sidang konstituante, menurut Basuki Resobowo yang teman pelukis juga, biasanya katanya
Affandi cuma diam, kadang-kadang tidur. Tapi ketika sidang komisi, Affandi angkat bicara. Dia masuk
komisi Perikemanusiaan (mungkin sekarang HAM) yang dipimpin Wikana, teman dekat Affandi juga
sejak sebelum revolusi.

Topik yang diangkat Affandi adalah tentang perikebinatangan, bukan perikemanusiaan dan dianggap
sebagai lelucon pada waktu itu. Affandi merupakan seorang pelukis rendah hati yang masih dekat dengan
flora, fauna, dan lingkungan walau hidup di era teknologi. Ketika Affandi mempersoalkan
'Perikebinatangan' tahun 1955, kesadaran masyarakat terhadap lingkungan hidup masih sangat rendah.

Affandi juga termasuk pimpinan pusat Lekra(Lembaga Kebudayaan Rakyat), organisasi kebudayaan
terbesar yang dibubarkan oleh rezim Suharto. Dia bagian seni rupa Lembaga Seni Rupa) bersama Basuki
Resobowo, Henk Ngantung, dan sebagainya.

Tahun 60-an, gerakan anti imperialis AS sedang mengagresi Vietnamcukup gencar. Juga anti kebudayaan
AS yang disebut sebagai 'kebudayaan imperialis'. Film-film Amerika, diboikot di negeri ini. Waktu itu
Affandi mendapat undangan untuk pameran di gedung USIS Jakarta. Dan Affandi pun, pameran di sana.

Ketika sekelompok pelukis Lekra berkumpul, ada yang mempersoalkan. Mengapa Affandi yang pimpinan
Lekra kok pameran di tempat perwakilan agresor itu. Menanggapi persoalan ini, ada yang nyeletuk: "Pak
Affandi memang pimpinan Lekra, tetapi dia tak bisa membedakan antara Lekra dengan Lepra!" kata
teman itu dengan kalem. Keruan saja semua tertawa.
Meski sudah melanglangbuana ke berbagai negara, Affandi dikenal sebagai sosok yang sederhana dan
suka merendah. Pelukis yang kesukaannya makan nasi dengan tempe bakar ini mempunyai idola yang
terbilang tak lazim. Orang-orang lain bila memilih wayang untuk idola, biasanya memilih yang bagus,
ganteng, gagah, bijak, seperti; Arjuna, Gatutkaca, Bima, Krisna.

Namun, Affandi memilih Sokrasana yang wajahnya jelek namun sangat sakti. Tokoh wayang itu
menurutnya merupakan perwakilan dari dirinya yang jauh dari wajah yang tampan. Meskipun begitu,
Departemen Pariwisata Pos dan Telekomunikasi (Deparpostel) mengabadikan wajahnya dengan
menerbitkan prangko baru seri tokoh seni/artis Indonesia.

Menurut Helfy Dirix (cucu tertua Affandi) gambar yang digunakan untuk perangko itu adalah lukisan
self-portraitAffandi tahun 1974, saat Affandi masih begitu getol dan produktif melukis di museum
sekaligus kediamannya di tepi Kali Gajahwong Yogyakarta.
3. Lukisan Karya Basuki Abdullah

Judul: Diponegoro Memimpin Pertempuran

Perupa : Basuki Abdulah

Biografi Basuki Abdullah

Basoeki Abdullah lahir di Desa Sriwidari, Surakarta Jawa Tengah, 27 Januari 1915 dengan Indonesia
yang masih berstatus Hindia Belanda. Lahir dari pasangan R. Abdullah Suryosubroto dan Raden Nganten
Ngadisah. Kakek Basuki Abdullah adalah seorang figure sejarah Kebangkitan Nasional Indonesia, yaitu
dokter Wahidin Sudirohusodo. Ayahnya adalah seorang pelukis juga, salah satu tokoh Mooi indie.

Sejak dari kecil (umur 4 tahun) Basuki Abdullah sudah mulai menyukai dunia seni. Ia mulai suka
menggambar figur-figur penting seperti Yesus Kristus, Mahatma Ghandi, dll. Dalam usianya yang masih
muda Basoeki Abdullah telah berhasil menggambar dengan tingkat kemiripan dan teknis yang luar biasa.

Bakat melukisnya terwarisi dari ayahnya, Abdullah Suriosubroto, yang juga seorang pelukis dan penari.
Sedangkan kakeknya adalah seorang tokoh Pergerakan Kebangkitan Nasional Indonesia pada awal tahun
1900-an yaitu Doktor Wahidin Sudirohusodo. Sejak masa umur 4 tahun Basuki Abdullah mulai gemar
melukis beberapa tokoh terkenal diantaranya Mahatma Gandhi, Rabindranath Tagore, Yesus Kristus dan
Krishnamurti.

Pendidikan formal Basuki Abdullah diperoleh di HIS Katolik dan Mulo Katolik di Solo. Berkat bantuan
Pastur Koch SJ, Basuki Abdullah pada tahun 1933 memperoleh beasiswa untuk belajar di Akademik Seni
Rupa (Academie Voor Beeldende Kunsten) di Den Haag, Belanda, dan menyelesaikan studinya dalam
waktu 3 tahun dengan meraih penghargaan Sertifikat Royal International of Art (RIA)

Pendidikan dasar hingga menengahnya ditempuh di HIS (Hollands Inlandsche Scool) kemudian
dilanjutkan ke MULO (Meer Ultgebried Lager Onderwijs). Pada tahun 1913 Basuki Abdullah
mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan pendidikannya di Akademi Seni Rupa (Academie Voor
Beldeende Kunsten) di Den Haag, Belanda berkat bantuan dari Pastur Koch SJ. Ia menyelesaikan
studinya dalam waktu dua tahun lebih dua bulan dan meraih penghargaan sertifikat Royal International of
Art (RIA). Tak berhenti disana setelah itu ia juga mengikuti semacam program studi banding di beberapa
sekolah seni rupa di Paris dan Roma.

Anda mungkin juga menyukai