Anda di halaman 1dari 15

 BIOGRAFI AFFANDI

Lahir Affandi Koesoema

Monumen Museum Affandi

 Guru
Pekerjaan
 Tukang sobek karcis
 Artisan pembuat gambar reklame
bioskop di salah satu gedung
bioskop di Bandung.
 Komisi
Perikemanusiaan,Konstituante.

Organisasi  Kelompok Lima Bandung.


 Lembaga Kebudayaan Rakyat.
 Poesat Tenaga Rakjat, Seksi
Kebudayaan Poetera.
 Anggota Akademi Hak-Hak
Azasi Manusia, Komite Pusat
Diplomatic Academy of Peace
PAX MUNDI di Castelo San
Marzano, Florence, Italia.
 Anggota Dewan Penyantun ISI
(Institut Seni
Indonesia),Yogyakarta, 1986.

Dikenal atas Pelukis ekspresionisme atauabstrak

Suami/istri Maryati (istri pertama)


Rubiyem (istri kedua)

Anak Kartika Affandi


Juki Affandi

Orang tua Raden Koesoema

Kerabat Helfy Dirix (cucu)

Penghargaan  Piagam Anugerah Seni,


Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, 1969.
 Doktor Honoris Causa dari
University of Singapore, 1974.
 Dag Hammarskjöld,
International Peace Prize
(Florence, Italia, 1997).
 Bintang Jasa Utama, tahun 1978.
 Julukan Pelukis Ekspresionis
Baru Indonesia oleh
KoranInternational Herald
Tribune.
 Gelar Grand Maestro di
Florence, Italia.

Affandi dilahirkan di Cirebon pada tahun 1907, putra dari R. Koesoema, seorang mantri
ukur di pabrik gula di Ciledug, Cirebon. Dari segi pendidikan, ia termasuk seorang yang
memiliki pendidikan formal yang cukup tinggi. Bagi orang-orang segenerasinya,
memperoleh pendidikan HIS, MULO, dan selanjutnya tamat dari AMS, termasuk
pendidikan yang hanya diperoleh oleh segelintir anak negeri.
Namun, bakat seni lukisnya yang sangat kental mengalahkan disiplin ilmu lain dalam
kehidupannya, dan memang telah menjadikan namanya tenar sama dengan tokoh atau
pemuka bidang lainnya.
Pada umur 26 tahun, pada tahun 1933, Affandi menikah dengan Maryati, gadis
kelahiran Bogor. Affandi dan Maryati dikaruniai seorang putri yang nantinya akan
mewarisi bakat ayahnya sebagai pelukis, yaitu Kartika Affandi.
Sebelum mulai melukis, Affandi pernah menjadi guru dan pernah juga bekerja sebagai
tukang sobek karcis dan pembuat gambar reklame bioskop di salah satu gedung
bioskop di Bandung. Pekerjaan ini tidak lama digeluti karena Affandi lebih tertarik pada
bidang seni lukis.
Sekitar tahun 30-an, Affandi bergabung dalam kelompok Lima Bandung, yaitu kelompok
lima pelukis Bandung. Mereka itu adalah Hendra Gunawan, Barli, Sudarso,
dan Wahdi serta Affandi yang dipercaya menjabat sebagai pimpinan kelompok.
Kelompok ini memiliki andil yang cukup besar dalam perkembangan seni rupa di
Indonesia. Kelompok ini berbeda denganPersatuan Ahli Gambar Indonesia (Persagi)
pada tahun 1938, melainkan sebuah kelompok belajar bersama dan kerja sama saling
membantu sesama pelukis.
Pada tahun 1943, Affandi mengadakan pameran tunggal pertamanya di Gedung Poetera
Djakarta yang saat itu sedang berlangsung pendudukan tentara Jepang di Indonesia.
Empat Serangkai—yang terdiri dari Ir. Soekarno, Drs. Mohammad Hatta,Ki Hajar
Dewantara, dan Kyai Haji Mas Mansyur—memimpin Seksi Kebudayaan Poetera (Poesat
Tenaga Rakyat) untuk ikut ambil bagian. Dalam Seksi Kebudayaan Poetera ini Affandi
bertindak sebagai tenaga pelaksana dan S. Soedjojono sebagai penanggung jawab,
yang langsung mengadakan hubungan dengan Bung Karno.

Poster propaganda Boeng, ajo, Boeng! karya Affandi, 1945


Ketika republik ini diproklamasikan 1945, banyak pelukis ambil bagian. Gerbong-
gerbong kereta dan tembok-tembok ditulisi antara lain "Merdeka atau mati!". Kata-kata
itu diambil dari penutup pidato Bung Karno, Lahirnya Pancasila, 1 Juni 1945. Saat itulah,
Affandi mendapat tugas membuat poster. Poster yang merupakan ide Soekarno itu
menggambarkan seseorang yang dirantai tetapi rantainya sudah putus. Yang dijadikan
model adalah pelukisDullah. Kata-kata yang dituliskan di poster itu ("Bung, ayo bung")
merupakan usulan dari penyair Chairil Anwar. Sekelompok pelukis siang-malam
memperbanyaknya dan dikirim ke daerah-daerah.
Bakat melukis yang menonjol pada diri Affandi pernah menorehkan cerita menarik dalam
kehidupannya. Suatu saat, dia pernah mendapat beasiswa untuk kuliah melukis
di Santiniketan, India, suatu akademi yang didirikan olehRabindranath Tagore. Ketika
telah tiba di India, dia ditolak dengan alasan bahwa dia dipandang sudah tidak
memerlukan pendidikan melukis lagi. Akhirnya biaya beasiswa yang telah diterimanya
digunakan untuk mengadakan pameran keliling negeri India.
Sepulang dari India, Eropa, pada tahun lima puluhan, Affandi dicalonkan olehPKI untuk
mewakili orang-orang tak berpartai dalam pemilihan Konstituante. Dan terpilihlah dia,
seperti Prof. Ir. Saloekoe Poerbodiningrat dsb, untuk mewakili orang-orang tak berpartai.
Dalam sidang konstituante, menurut Basuki Resobowo yang teman pelukis juga,
biasanya katanya Affandi cuma diam, kadang-kadang tidur. Tapi ketika sidang komisi,
Affandi angkat bicara. Dia masuk komisi Perikemanusiaan (mungkin sekarang HAM)
yang dipimpin Wikana, teman dekat Affandi juga sejak sebelum revolusi.
Topik yang diangkat Affandi adalah tentang perikebinatangan, bukan perikemanusiaan
dan dianggap sebagai lelucon pada waktu itu. Affandi merupakan seorang pelukis
rendah hati yang masih dekat dengan flora, fauna, dan lingkungan walau hidup di era
teknologi. Ketika Affandi mempersoalkan 'Perikebinatangan' tahun 1955, kesadaran
masyarakat terhadap lingkungan hidup masih sangat rendah.
Affandi juga termasuk pimpinan pusat Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat), organisasi
kebudayaan terbesar yang dibubarkan oleh rezim Suharto. Dia bagian seni rupa
Lembaga Seni Rupa) bersama Basuki Resobowo, Henk Ngantung, dan sebagainya.
Pada tahun enampuluhan, gerakan anti imperialis AS sedang
mengagresi Vietnam cukup gencar. Juga anti kebudayaan AS yang disebut sebagai
'kebudayaan imperialis'. Film-film Amerika, diboikot di negeri ini. Waktu itu Affandi
mendapat undangan untuk pameran di gedung USIS Jakarta. Dan Affandi pun, pameran
di sana.
Ketika sekelompok pelukis Lekra berkumpul, ada yang mempersoalkan. Mengapa
Affandi yang pimpinan Lekra kok pameran di tempat perwakilan agresor itu. Menanggapi
persoalan ini, ada yang nyeletuk: "Pak Affandi memang pimpinan Lekra, tetapi dia tak
bisa membedakan antara Lekra dengan Lepra!" kata teman itu dengan kalem. Keruan
saja semua tertawa.
Meski sudah melanglangbuana ke berbagai negara, Affandi dikenal sebagai sosok yang
sederhana dan suka merendah. Pelukis yang kesukaannya makan nasi dengan tempe
bakar ini mempunyai idola yang terbilang tak lazim. Orang-orang lain bila memilih
wayang untuk idola, biasanya memilih yang bagus, ganteng, gagah, bijak, seperti;
Arjuna, Gatutkaca, Bima, Krisna.
Namun, Affandi memilih Sokrasana yang wajahnya jelek namun sangat sakti. Tokoh
wayang itu menurutnya merupakan perwakilan dari dirinya yang jauh dari wajah yang
tampan. Meskipun begitu, Departemen Pariwisata Pos dan Telekomunikasi
(Deparpostel) mengabadikan wajahnya dengan menerbitkan prangko baru seri tokoh
seni/artis Indonesia. Menurut Helfy Dirix (cucu tertua Affandi) gambar yang digunakan
untuk perangko itu adalah lukisan self-portrait Affandi tahun 1974, saat Affandi masih
begitu getol dan produktif melukis di museum sekaligus kediamannya di tepi Kali
Gajahwong Yogyakarta.

 PERJALANAN HIDUP

Semasa hidupnya, ia telah menghasilkan lebih dari 2.000 karya lukis. Karya-karyanya
yang dipamerkan ke berbagai negara di dunia, baik di Asia, Eropa, Amerika maupun
Australia selalu memukau pecinta seni lukis dunia. Pelukis yang meraih gelar Doktor
Honoris Causa dari University of Singapore tahun 1974 ini dalam mengerjakan
lukisannya, lebih sering menumpahkan langsung cairan cat dari tube-nya kemudian
menyapu cat itu dengan jari-jarinya, bermain dan mengolah warna untuk
mengekspresikan apa yang ia lihat dan rasakan tentang sesuatu.
Dalam perjalanannya berkarya, pemegang gelar Doctor Honoris Causa dari University of
Singapore tahun 1974, ini dikenal sebagai seorang pelukis yang menganut aliran
ekspresionisme atau abstrak. Sehingga seringkali lukisannya sangat sulit dimengerti
oleh orang lain terutama oleh orang yang awam tentang dunia seni lukis jika tanpa
penjelasannya. Namun bagi pecinta lukisan hal demikianlah yang menambah daya
tarikny
Kesederhanaan cara berpikirnya terlihat saat suatu kali, Affandi merasa bingung sendiri
ketika kritisi Barat menanyakan konsep dan teori lukisannya. Oleh para kritisi Barat,
lukisan Affandi dianggap memberikan corak baru aliran ekspresionisme. Tapi ketika itu
justru Affandi balik bertanya, Aliran apa itu?.
Bahkan hingga saat tuanya, Affandi membutakan diri dengan teori-teori. Bahkan ia
dikenal sebagai pelukis yang tidak suka membaca. Baginya, huruf-huruf yang kecil dan
renik dianggapnya momok besar.
Bahkan, dalam keseharian, ia sering mengatakan bahwa dirinya adalah pelukis kerbau,
julukan yang diakunya karena dia merasa sebagai pelukis bodoh. Mungkin karena
kerbau adalah binatang yang dianggap dungu dan bodoh. Sikap sang maestroyang tidak
gemar berteori dan lebih suka bekerja secara nyata ini dibuktikan dengan kesungguhan
dirinya menjalankan profesi sebagai pelukis yang tidak cuma musiman pameran.
Bahkan terhadap bidang yang dipilihnya, dia tidak overacting.
Misalnya jawaban Affandi setiap kali ditanya kenapa dia melukis. Dengan enteng, dia
menjawab, Saya melukis karena saya tidak bisa mengarang, saya tidak pandai omong.
Bahasa yang saya gunakan adalah bahasa lukisan. Bagi Affandi, melukis adalah
bekerja. Dia melukis seperti orang lapar. Sampai pada kesan elitis soal sebutan pelukis,
dia hanya ingin disebut sebagai tukang gambar.
Lebih jauh ia berdalih bahwa dirinya tidak cukup punya kepribadian besar untuk disebut
seniman, dan ia tidak meletakkan kesenian di atas kepentingan keluarga. Kalau anak
saya sakit, saya pun akan berhenti melukis, ucapnya.
Sampai ajal menjemputnya pada Mei 1990, ia tetap menggeluti profesi sebagai pelukis.
Kegiatan yang telah menjadi bagian dari hidupnya. Ia dimakamkan tidak jauh dari
museum yang didirikannya itu.
Affandi di mata dunia
Affandi memang hanyalah salah satu pelukis besar Indonesia bersama pelukis besar
lainnya seperti Raden Saleh, Basuki Abdullah dan lain-lain. Namun karena berbagai
kelebihan dan keistimewaan karya-karyanya, para pengagumnya sampai
menganugerahinya berbagai sebutan dan julukan membanggakan antara lain seperti
julukan Pelukis Ekspressionis Baru Indonesia bahkan julukan Maestro. Adalah Koran
International Herald Tribune yang menjulukinya sebagai Pelukis Ekspressionis Baru
Indonesia, sementara di Florence, Italia dia telah diberi gelar Grand Maestro.
Berbagai penghargaan dan hadiah bagaikan membanjiri perjalanan hidup dari pria yang
hampir seluruh hidupnya tercurah pada dunia seni lukis ini. Di antaranya, pada tahun
1977 ia mendapat Hadiah Perdamaian dari International Dag Hammershjoeld. Bahkan
Komite Pusat Diplomatic Academy of Peace PAX MUNDI di Castelo San Marzano,
Florence, Italia pun mengangkatnya menjadi anggota Akademi Hak-Hak Asasi Manusia.
Dari dalam negeri sendiri, tidak kalah banyak penghargaan yang telah diterimanya, di
antaranya, penghargaan "Bintang Jasa Utama" yang dianugerahkan Pemerintah
Republik Indonesia pada tahun 1978. Dan sejak 1986 ia juga diangkat menjadi Anggota
Dewan Penyantun ISI (Institut Seni Indonesia) di Yogyakarta. Bahkan seorang Penyair
Angkatan 45 sebesar Chairil Anwar pun pernah menghadiahkannya sebuah sajak yang
khusus untuknya yang berjudul "Kepada Pelukis Affandi".
Untuk mendekatkan dan memperkenalkan karya-karyanya kepada para pecinta seni
lukis, Affandi sering mengadakan pameran di berbagai tempat. Di negara India, dia telah
mengadakan pameran keliling ke berbagai kota. Demikian juga di berbagai negara di
Eropa, Amerika serta Australia. Di Eropa, ia telah mengadakan pameran antara lain
diLondon, Amsterdam, Brussels, Paris, dan Roma. Begitu juga di negara-negara benua
Amerika seperti di Brasil, Venezia, San Paulo, dan Amerika Serikat. Hal demikian
jugalah yang membuat namanya dikenal di berbagai belahan dunia.
Bahkan kurator terkenal asal Magelang, Oei Hong Djien, pernah memburu lukisan
Affandi sampai ke Rio de Janeiro.

 PERJALANAN BERKARYA

Affandi telah gemar menggambar dari semasa kecilnya. Affandi juga telah
memperlihatkan bakat seni-nya dari semenjak sekolah dasar. Namun ia baru
benar-benar menggeluti dunia seni lukis di sekitar 1940-an. Sulit bagi Affandi
untuk memperoleh pekerjaan seni di masanya, masa dimana Indonesia masih
dikuasai oleh Belanda.

Awal karir Affandi diawali dengan menjadi seorang guru dan juru sobek karcis.
Karena lebih tertarik pada bidang seni lukis ia juga sempat menjadi penggambar
reklame bioskop di salah satu bioskop di Bandung. Namun pekerjaan tersebut
tidak lama digelutinya.
Selain tidak mendapatkan pendidikan formal, Affandi juga bukan tipikal orang
yang gemar membaca. Ia lebih senang mempelajari berbagai hal dengan terjun
langsung mengpraktikannya. Hal ini dapat dilihat dengan aktifnya seniman yang
satu ini dalam berbagai kegiatan organisasi selama masa hidupnya.

Kelompok Lima Bandung

Pada tahun 1930 ia bergabung dengan kelompok Lima Bandung, yaitu kelompok
lima orang pelukis yang berada di Bandung. Sekumpulan orang yang semuanya
memiliki andil besar dalam perkembangan seni rupa Indonesia. Lima pelukis
tersebut adalah: Barli Sasmitawinata, Sudarso, Hendra Gunawan, Wahdi dan
Affandi sebagai pimpinan kelompok tersebut. Dapat dilihat meskipun Affandi
adalah tipikal orang yang tidak suka belajar teori, ia adalah praktisi yang handal
dalam berorganisasi hingga dipercaya sebagai pimpinan kelompok.

Kelompok Lima Bandung memiliki pengaruh yang lumayan besar dalam


perkembangan seni rupa di Indonesia. Namun berbeda dengan kelompok serupa
lainnya, Lima Bandung lebih fokus terhadap kegiatan melukis dan belajar
bersama antar pelukis. Tidak se-formal kelompok lain seperti Persagi (Persatuan
Ahli Gambar Indonesia). Kegiatan tersebut sangat cocok untuk Affandi yang
kurang menyukai pendidikan formal namun tetap dapat belajar dan saling
memberikan pengaruh satu sama lain antar seniman.

Pameran Tunggal Pertama

Tahun 1943, Affandi berhasil menggelar pameran tunggal pertamanya di Gedung


Poetera Djakarta. Saat itu Jepang sedang menduduki kekuasaan Indonesia,
setelah berhasil merebut kekuasaan Belanda. Empat Serangkai proklamator
kemerdekaan Indonesia yang terdiri dari Soekarno, Mohammad Hatta, Ki Hajar
Dewantara, dan Kyai Haji Mas Mansyur ikut ambil bagian dalam pameran
tersebut.

Mereka memimpin Seksi Kebudayaan Poetera, atau Poesat Tenaga Rakyat. Dalam
Seksi Kebudayaan tersebut Affandi juga ikut berpartisipasi sebagai tenaga
pelaksana. Tokoh penting Indonesia lain, yaitu S. Soedjojono juga ikut andil
sebagai penanggung jawab, Ia adalah orang yang berhubungan langsung
dengan dengan Soekarno.
Era Proklamasi

Tahun 1945 menjadi tahun yang sangat penting bagi Indonesia. Saat itu semua
tokoh kemerdekaan tengah sibuk untuk mempersiapakan proklamasi
kemerdekaan. Termasuk para seniman dan budayawan yang ikut mempersiapkan
berbagai propaganda positif untuk menyerukannya ke seluruh negeri. Tembok-
tembok dipenuhi kata-kata penyeru kemerdekaan seperti “Merdeka atau mati”
yang dikutip dari pidato Bung Karno.

Affandi sebagai salah satu seniman yang aktif berkarya bersama Empat Serangkai
ikut ambil bagian. Ia mendapatkan bagian untuk membuat poster yang dapat
menyerukan serta menggalang seluruh masyarakat Indonesia dalam proklamasi
kemerdekaan. Poster itu berupa gambar seseorang yang dirantai dan berhasil
memutuskannya sambil mengibarkan bendera merah putih. Gambar simbolis
yang blak-blakan dalam pesannya. Dibawahnya terdapat tulisan “Boeng, Ajo
Boeng!” (Bung, Ayo Bung!) yang menyerukan semangat bagi rakyat untuk turut
menyukseskan kemerdekaan.

Kata-kata tersebut diperoleh dari Penyair ternama Chairil Anwar. Saat itu Affandi
berkonsultasi pada Chairil mengenai kata-kata yang tepat untuk ditaruh pada
posternya. Rupanya kata-kata itu terinspirasi dari ucapan yang biasa digunakan
oleh pekerja seks komersil yang menawarkan dirinya pada zaman itu. Meskipun
datang dari ucapan yang sebetulnya kontroversial, namun Penyair era 45 itu tahu
bahwa ajakan tersebut dapat mengandung makna yang positif dengan konteks
yang benar. Kata ajakan yang sederhana sekaligus kuat untuk disebarkan ke
seluruh negeri.

Beasiswa Santiniketan

Bakat melukis Affandi mendapat banyak perhatian dari dunia, salah satunya
adalah dari India. Ia mendapatkan tawaran Beasiswa sekolah melukis dari
Akademi Santiniketan. Affandi menerima tawaran tersebut, namun setibanya
disana ia ditolak dalam program beasiswa tersebut. Alasannya karena pihak
Santiniketan menganggap bahwa Affandi tidak memerlukan pelatihan melukis
lagi.

Akhirnya biaya beasiswa itu digunakan untuk menggelar pameran-pameran di


negeri tersebut. Ia mengadakan pameran keliling India. Ia tinggal disana selama
dua tahun untuk terus melukis dan anggap saja mengikuti program residensial,
karena ia tidak jadi untuk bersekolah disana. Disanalah namanya semakin
menggema di dunia sebagai salah satu pelukis terbaik dari Indonesia.

Pameran Keliling Eropa

Pada tahun 1951 hingga 1977, ia mengadakan pameran keliling di negara-negara


Eropa. Affandi ditunjuk oleh pemerintah Indonesia untuk menjadi wakil Indonesia
dalam pameran Internasional di Brazili dan Venezia tahun 1954. Ia berhasil
memenangkan hadiah pertama di San Paolo. Pada tahun 1957, ia mendapat
tawaran program residensial dari Amerika Serikat untuk mempelajari metode
pendidikan seni di sana selama empat bulan. Affandi juga sempat menggelar
pameran tunggal di World House Gallery, New York.

Pada tahun 1962, ia mendapatkan gelar guru besar kehormatan dari Ohio State
University. Ia mengajar mata kuliah seni lukis di universitas tersebut. Selang tujuh
tahun pada tahun 1969, ia menerima anugerah seni dan medali emas dari
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Pemerintah juga
mengangkatnya menjadi anggota kehormatan untuk seumur hidup di Akademi
Jakarta. Pada tahun yang sama pula, ia dipilih untuk menjadi ketua IAPA
(International Art Plastic Association) perwakilan Indonesia. IAPA adalah badan
seni international di bawah naungan UNESCO.

Penghargaan

Affandi kemudian Menerima gelar kehormatan Doctor Honoris Causa dari


University of Singapore pada tahun 1974. Tak berhenti disana saja pada tahun
1977, ia menerima hadiah perdamaian International dari Yayasan Dag
Hammerskoeld. Kemudian ia juga memperoleh gelar Grand Maestro dari San
Marzano Florence, Italia. Ia juga sekaligus diangkat menjadi anggota Komite hak-
hak asasi manusia dari Diplomatic Academy of Peace PAX MUNDI di Castello
ditempat yang sama. Sepulangnya dari Itali, ia mendapat undangan dari Raja
Arab Saudi untuk menunaikan ibadah haji bersama istrinya, Maryati.

Pada tahun 1978, ia menerima penghargaan piagam tanda kehormatan Bintang


Jasa Utama dari Presiden Indonesia yang menjabat pada orde tersebut, yaitu
Presiden Soeharto. Penghargaan tersebut diberikan atas jasa-jasanya yang besar
terhadap negara dan bangsa Indonesia secara umum, termasuk bidang seni.
Tahun 1984 Affandi menggelar pameran bersama di Houston, Texas, Amerika
Serikat, berbarengan dengan pelukis besar Indonesia lainnya: S. Sudjojono
dan Basuki Abdullah.

Tahun 1986, Affandi diangkat menjadi Anggota Dewan Penyantun Institut Seni
Indonesia (ISI) Yogyakarta. Pada tahun 1987, ia mengadakan pameran tunggal
pada ulang tahunnya yang ke-80. Pameran tersebut sekaligus menjadi peresmian
penggunaan gedung pameran seni rupa milik Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan yang terletak di jalan Medan Merdeka Timur, Gambir Jakarta, yang
kini telah berganti nama menjadi Galeri Nasional.

Meskipun telah mendapatkan banyak penghargaan Affandi tetap memiliki


pemikiran yang sederhana dan bersikap low profile. Bahkan ketika kritikus Barat
menyatakan bahwa lukisan Affandi memberikan perspektif baru pada
aliran ekspresionisme, ia malah balik bertanya “Aliran apa itu?”. Ia juga sering
menyebut dirinya sendiri sebagai “Seniman Kerbau” yang secara implisit
menyebut dirinya sendiri terlalu rendah untuk disebut sebagai seniman. Ia juga
sering mengatakan bahwa ia lebih pantas untuk disebut sebagai tukang gambar.

Kematian

Sejak tahun-tahun tersebut kesehatannya mulai sering terganggu, bahkan


kehadirannya pada pembukaan pameran ia sudah menggunakan kursi roda.
Namun, semangatnya untuk melukis tak kunjung padam. Pada pembukaan itu Ia
mendemostrasikan cara melukis potret diri yang disebut tenggelam di pusaran
tujuh mata hari. Karya itu kemudian dihadiahkan kepada Pemerintah Republik
Indonesia, melalui Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang diterima oleh Prof.
Dr. Fuad Hassan.

Affandi kembali mendapatkan penghargaan dari Badan Koordinasi Kesenian


Nasional Indonesia (BKKNI) yang prosesinya dilakukan di Istana Negara dan
diberikan langsung oleh Presiden Soeharto. Affandi saat itu masih menggunakan
kursi roda karena kesehatannya kian menurun. Penghargaan tersebut berlanjut
dengan dibangunnya Museum Affandi, di sisi kali Gajah Wong Yogyakarta dan
sempat dikunjungi oleh Presiden Soeharto bersama tamu negara dari Malaysia,
Dr. Mahathir Mohammad.

Salah satu koleksi yang dipamerkan dalam ulang tahun Affandi yang ke-80
adalah sebuah karya yang memuat gambar seekor ayam jantan yang mati karena
dipertarungkan pada sabung ayam. Lukisan itu dibubuhi tulisan yang berbunyi
“1987, Mati”. Karya tersebut menimbulkan banyak penafsiran yang ikut
dihubungkan dengan kondisi kesehatannya pada waktu itu. Affandi meninggal
dunia pada tanggal 23 Mei 1990.

Museum Affandi
Museum yang diresmikan oleh Fuad Hassan, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
ketika itu dalam sejarahnya telah pernah dikunjungi oleh Mantan Presiden Soeharto dan
Mantan Perdana Menteri Malaysia Dr. Mahathir Mohammad pada Juni 1988 kala
keduanya masih berkuasa. Museum ini didirikan tahun 1973 di atas tanah yang menjadi
tempat tinggalnya.
Saat ini, terdapat sekitar 1.000-an lebih lukisan di Museum Affandi, dan 300-an di
antaranya adalah karya Affandi. Lukisan-lukisan Affandi yang dipajang di galeri I adalah
karya restropektif yang punya nilai kesejarahan mulai dari awal kariernya hingga selesai,
sehingga tidak dijual.
Sedangkan galeri II adalah lukisan teman-teman Affandi, baik yang masih hidup maupun
yang sudah meninggal seperti Basuki Abdullah, Popo Iskandar, Hendra, Rusli, Fajar
Sidik, dan lain-lain. Adapun galeri III berisi lukisan-lukisan keluarga Affandi.
Di dalam galeri III yang selesai dibangun tahun 1997, saat ini terpajang lukisan-lukisan
terbaru Kartika Affandi yang dibuat pada tahun 1999. Lukisan itu antara lain "Apa yang
Harus Kuperbuat" (Januari 99), "Apa Salahku? Mengapa ini Harus Terjadi" (Februari 99),
"Tidak Adil" (Juni 99), "Kembali Pada Realita Kehidupan, Semuanya Kuserahkan
KepadaNya" (Juli 99), dan lain-lain. Ada pula lukisan Maryati, Rukmini Yusuf, serta Juki
Affandi.

Pameran
1. Museum of Modern Art (Rio de Janeiro, Brasil, 1966)
2. East-West Center (Honolulu, 1988)
3. Festival of Indonesia (AS, 1990-1992)
4. Gate Foundation (Amsterdam, Belanda, 1993)
5. Singapore Art Museum (1994)
6. Centre for Strategic and International Studies (Jakarta, 1996)
7. Indonesia-Japan Friendship Festival (Morioka, Tokyo, 1997)
8. ASEAN Masterworks (Selangor, Kuala Lumpur, Malaysia, 1997-1998)
9. Pameran keliling di berbagai kota di India.
10. Pameran di Eropa al: London, Amsterdam, Brussels, Paris, Roma
11. Pameran di benua Amerika al: Brasilia, Venezia, São Paulo, Amerika Serikat
12. Pameran di Australia
13. Affandi Alive di Museum Lippo Plaza Jogja
Buku tentang Affandi
1. Buku kenang-kenangan tentang Affandi, Prix International Dag
Hammarskjöld, 1976, 189 halaman. Ditulis dalam empat bahasa, yaitu
Bahasa Inggris, Belanda, Prancis, dan Indonesia.
2. Nugraha Sumaatmadja, buku tentang Affandi, Penerbitan Yayasan
Kanisius, 1975
3. Ajip Rosidi, Zaini, Sudarmadji, Affandi 70 Tahun, Dewan Kesenian
Jakarta, 1978. Diterbitkan dalam rangka memperingati ulang tahun ketujuh
puluh.
4. Raka Sumichan dan Umar Kayam, buku tentang Affandi, Yayasan Bina Lestari
Budaya Jakarta, 1987, 222 halaman. Diterbitkan dalam rangka memperingati 80
tahun Affandi, dalam dua bahasa, yakni Bahasa Inggris dan Indonesia.

 GAMBAR KARYA AFANDI

Potret Diri & Topeng-topeng Kehidupan (1961)

Lukisan ini merupakan karya langka maesto Affandi yang memiliki nilai falsafah yang
dalam. Arti dari lukisan ini adalah manusia merupakan makhuk ciptaan Tuhan yang paling
sempurna diantara makhluk yang lain. Namun dengan kesempurnaan itu, manusia
cenderung banyak kelemahan dengan adanya hawa nafsu dan sering berbuat untuk
mengingkari kodrat. Hawa nafsu itu digoda oleh bisikan-bisikan yang pada lukisan ini
digambarkan oleh topeng-topeng yang berperan jahat pada cerita Jawa. Topeng tersebut
bukan wajah asli manusia melainkan perwujudan dari bisikan-bisikan jahat yang menutupi
hati dari kebenaran.

Barong (1982)

Lukisan ini terlihat unik dan beda dengan karya Affandi yang lainnya. Ini terlihat dari
goresan warna yang begitu tinggi, kombinasi warna dan ukuran lukisan dibuat lebih besar
oleh Affandi. Lukisan ini dibuat karena kecintaanya terhadap budaya Indonesia yaitu tokoh
Barong dalam cerita rakyat Bali. Pencapaian yang sempurna dengan karya seni tinggi
membuat lukisan ini tak ternilai harganya bagi para kolektor lukisan.

Borobudur Pagi Ini (1983)

Salah satu karya Affandi ini terinspirasi oleh kemegahan Candi Borobudur dengan obyek
matahari yang sangat indah di pagi hari. Warna-warna yang tenang mendominasi lukisan
ini yang mencermnkan suasana pagi hari. Pada lukisan ini beliau lebih menonjolkan obyek
alam sebagai latar belakangnya.

Para Pejuang (1972)

Di lukisan ini menceritakan para pejuang Indonesia untuk memperjuangkan kemerdekaan.


Para pejuang rela mengorbankan jiwa dan raga demi tanah air. Lukisan ini mempunyai
keunikan goresan dengan warna- warna berani, ini membuat lukisan karya maestro
Affandi bernilai seni tinggi . Bagi yang mengoleksi lukisan ini akan menjadi kebanggaan
tersendiri dengan karya yang hebat ini.
Cangklong (1975)

Lukisan Affandi selanjutnya paling fenomenal adalah yang berjudul Cangklong. Pada
lukisan ini Affandi melukis dirinya sendiri di depan cermin yang menggambarkan beliau
mengalami suatu masalah yang belum terpecahkan. Terlihat di bagian dahinya
diekspresikan dengan warna cat merah, yang menggambarkan jika Affandi sendang
berpikir keras untuk menyelesaikan masalah. Lukisan ini adalah karya potret diri dari sang
maestro yang pertama kalinya dan merupakan lukisan yang langka.

Anda mungkin juga menyukai