Anda di halaman 1dari 8

.

Lukisan Affandi
Judul :
Tahun : 1972
Ukuran : 100 cm x 135 cm
Media : Cat Minyak
Lukisan affandi ini berjudul “Para Pejuang” dilukis
menggunakan cat minyak pada tahun 1972. Lukisan ini
menggambarkan mengenai semangat pahlawan – pahlawan
Indonesia untuk meraih kemerdekaan Indonesia dengan
mengorbankan jiwa dan raga mereka untuk Indonesia. Lukisan
ini memiliki nilai dan makna historis yang tinggi, dimana karya
ini terinspirasi dari semangat baja para Pejuang Indonesia.

Warna-warna yang terang, serta keunikan goresan pada lukisan


tersebut menjadi satu sebuah kombinasi sempurna dalam karya
lukisan bernilai seni tinggi. Akan menjadi koleksi kebanggaan
tak ternilai bagi siapapun yang mengkoleksi Karya Lukisan
hebat ini. Dalam lukisan ini sangat terlihat perjuangan para
pahlawan yang sangat semangat memperjuangkan Indonesia.

Dan dalam lukisan tersebut terlihat juga semangat para


pahlawan yang sangat berkobar – kobar seperti api. Dan tidak
lupa dalam lukisan tersebut adanya bambu runcing, bendera
merah putih, serta ikat kepala sebagai ciri khas para pejuang
bangsa Indonesia.
Biografi affandi:

Affandi dilahirkan di Cirebon pada tahun 1907, putra dari R.


Koesoema, seorang mantri ukur di pabrik gula di Ciledug,
Cirebon. Dari segi pendidikan, ia termasuk seorang yang
memiliki pendidikan formal yang cukup tinggi. Bagi orang-orang
segenerasinya, memperoleh pendidikan HIS, MULO, dan
selanjutnya tamat dari AMS, termasuk pendidikan yang hanya
diperoleh oleh segelintir anak negeri.

Namun, bakat seni lukisnya yang sangat kental mengalahkan


disiplin ilmu lain dalam kehidupannya, dan memang telah
menjadikan namanya tenar sama dengan tokoh atau pemuka
bidang lainnya.

Pada umur 26 tahun, pada tahun 1933, Affandi menikah


dengan Maryati, gadis kelahiran Bogor. Affandi dan Maryati
dikaruniai seorang putri yang nantinya akan mewarisi bakat
ayahnya sebagai pelukis, yaitu Kartika Affandi.
Sebelum mulai melukis, Affandi pernah menjadi guru dan
pernah juga bekerja sebagai tukang sobek karcis dan pembuat
gambar reklame bioskop di salah satu gedung bioskop di
Bandung. Pekerjaan ini tidak lama digeluti karena Affandi lebih
tertarik pada bidang seni lukis.

Sekitar tahun 30-an, Affandi bergabung dalam kelompok Lima


Bandung, yaitu kelompok lima pelukis Bandung. Mereka itu
adalah Hendra Gunawan, Barli, Sudarso, dan Wahdi serta
Affandi yang dipercaya menjabat sebagai pimpinan kelompok.
Kelompok ini memiliki andil yang cukup besar dalam
perkembangan seni rupa di Indonesia. Kelompok ini berbeda
dengan Persatuan Ahli Gambar Indonesia(Persagi) pada tahun
1938, melainkan sebuah kelompok belajar bersama dan kerja
sama saling membantu sesama pelukis.

Pada tahun 1943, Affandi mengadakan pameran tunggal


pertamanya di Gedung Poetera Djakarta yang saat itu sedang
berlangsung pendudukan tentara Jepang di Indonesia. Empat
Serangkai—yang terdiri dari Ir. Soekarno, Drs. Mohammad
Hatta, Ki Hajar Dewantara, dan Kyai Haji Mas Mansyur—
memimpin Seksi Kebudayaan Poetera (Poesat Tenaga Rakyat)
untuk ikut ambil bagian. Dalam Seksi Kebudayaan Poetera ini
Affandi bertindak sebagai tenaga pelaksana dan S. Soedjojono
sebagai penanggung jawab, yang langsung mengadakan
hubungan dengan Bung Karno.

Ketika republik ini diproklamasikan 1945, banyak pelukis ambil


bagian. Gerbong-gerbong kereta dan tembok-tembok ditulisi
antara lain "Merdeka atau mati!". Kata-kata itu diambil dari
penutup pidato Bung Karno, Lahirnya Pancasila, 1 Juni 1945.
Saat itulah, Affandi mendapat tugas membuat poster. Poster
yang merupakan ide Soekarno itu menggambarkan seseorang
yang dirantai tetapi rantainya sudah putus. Yang dijadikan
model adalah pelukis Dullah. Kata-kata yang dituliskan di poster
itu ("Bung, ayo bung") merupakan usulan dari penyair Chairil
Anwar. Sekelompok pelukis siang-malam memperbanyaknya
dan dikirim ke daerah-daerah.

Bakat melukis yang menonjol pada diri Affandi pernah


menorehkan cerita menarik dalam kehidupannya. Suatu saat,
dia pernah mendapat beasiswa untuk kuliah melukis di
Santiniketan, India, suatu akademi yang didirikan oleh
Rabindranath Tagore. Ketika telah tiba di India, dia ditolak
dengan alasan bahwa dia dipandang sudah tidak memerlukan
pendidikan melukis lagi. Akhirnya biaya beasiswa yang telah
diterimanya digunakan untuk mengadakan pameran keliling
negeri India.
Sepulang dari India, Eropa, pada tahun lima puluhan, Affandi
dicalonkan oleh PKI untuk mewakili orang-orang tak berpartai
dalam pemilihan Konstituante. Dan terpilihlah dia, seperti Prof.
Ir. Saloekoe Poerbodiningrat dsb, untuk mewakili orang-orang
tak berpartai.

Di Dalam sidang konstituante, menurut Basuki Resobowo yang


teman pelukis juga, biasanya katanya Affandi cuma diam,
kadang-kadang tidur. Tapi ketika sidang komisi, Affandi angkat
bicara. Dia masuk komisi Perikemanusiaan (mungkin sekarang
HAM) yang dipimpin Wikana, teman dekat Affandi juga sejak
sebelum revolusi.

Topik yang diangkat Affandi adalah tentang perikebinatangan,


bukan perikemanusiaan dan dianggap sebagai lelucon pada
waktu itu. Affandi merupakan seorang pelukis rendah hati yang
masih dekat dengan flora, fauna, dan lingkungan walau hidup di
era teknologi. Ketika Affandi mempersoalkan
'Perikebinatangan' tahun 1955, kesadaran masyarakat terhadap
lingkungan hidup masih sangat rendah.
Affandi juga termasuk pimpinan pusat Lekra(Lembaga
Kebudayaan Rakyat), organisasi kebudayaan terbesar yang
dibubarkan oleh rezim Suharto. Dia bagian seni rupa Lembaga
Seni Rupa) bersama Basuki Resobowo, Henk Ngantung, dan
sebagainya.

Tahun 60-an, gerakan anti imperialis AS sedang mengagresi


Vietnamcukup gencar. Juga anti kebudayaan AS yang disebut
sebagai 'kebudayaan imperialis'. Film-film Amerika, diboikot di
negeri ini. Waktu itu Affandi mendapat undangan untuk
pameran di gedung USIS Jakarta. Dan Affandi pun, pameran di
sana.

Ketika sekelompok pelukis Lekra berkumpul, ada yang


mempersoalkan. Mengapa Affandi yang pimpinan Lekra kok
pameran di tempat perwakilan agresor itu. Menanggapi
persoalan ini, ada yang nyeletuk: "Pak Affandi memang
pimpinan Lekra, tetapi dia tak bisa membedakan antara Lekra
dengan Lepra!" kata teman itu dengan kalem. Keruan saja
semua tertawa.

Meski sudah melanglangbuana ke berbagai negara, Affandi


dikenal sebagai sosok yang sederhana dan suka merendah.
Pelukis yang kesukaannya makan nasi dengan tempe bakar ini
mempunyai idola yang terbilang tak lazim. Orang-orang lain bila
memilih wayang untuk idola, biasanya memilih yang bagus,
ganteng, gagah, bijak, seperti; Arjuna, Gatutkaca, Bima, Krisna.

Namun, Affandi memilih Sokrasana yang wajahnya jelek namun


sangat sakti. Tokoh wayang itu menurutnya merupakan
perwakilan dari dirinya yang jauh dari wajah yang tampan.
Meskipun begitu, Departemen Pariwisata Pos dan
Telekomunikasi (Deparpostel) mengabadikan wajahnya dengan
menerbitkan prangko baru seri tokoh seni/artis Indonesia.

Menurut Helfy Dirix (cucu tertua Affandi) gambar yang


digunakan untuk perangko itu adalah lukisan self-
portraitAffandi tahun 1974, saat Affandi masih begitu getol dan
produktif melukis di museum sekaligus kediamannya di tepi Kali
Gajahwong Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai