Anda di halaman 1dari 17

BIOGRAFI AFFANDI KOESOEMO

Affandi Koesoema adalah seorang pelukis yang berbakat yang pernah dimiliki oleh Indonesia. Ia
dikenal sebagai Maestro Seni Lukis dengan gaya abstrak dan romantisme. Selain berbakat, ia
juga produktif dalam melukis, tercatat sepanjang hidupnya ia telah menciptakan kurang lebih
2.000 karya lukis. Karya-karyanya telah dipamerkan di berbagai belahan dunia seperti; Inggris,
Amsterdam, dan India.

Affandi lahir pada tahun 1907 di Cirebon, Jawa Barat. Ayahnya bernama R. Koesoema, seorang
mantri ukur di pabrik gula di Ciledug, Cirebon. (maaf untuk tanggal lahirnya, kami tidak
menemukan referensi yang menuliskan mengenai tanggal lahirnya hanya menuliskan tahun
lahir-nya).

Affandi menerima pendidikan formal yang cukup tinggi, ia bersekolah di Hollandsch Inlandsche
School (HIS), Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), dan Algemeene Middelbare School
(AMS) merupakan sekolah yang tinggi pada masa kolonial Belanda hanya segelintir anak negeri
yang dapat pendidikan seperti itu.

Sebelum masuk dalam dunia seni lukis, Affandi menjadi guru dan pernah bekerja sebagai tukang
sobek karcis dan pembuat gambar reklame disalah satu gedung bioskop di Bandung. Pekerjaan
ini tidak lama digeluti karena ia lebih tertarik pada bidang seni lukis.

Bakat seni lukisnya sangat kental sehingga mengalahkan ilmu-ilmu lainnya yang ada dalam
kehidupannya. Pada tahun 1933 saat berumur 26 tahun, ia menikah dengan seorang gadis yang
berasal dari Bogor, yaitu Maryati. Mereka dikaruniai seorang putri yang diberi nama Kartika
Affandi.

Affandi bergabung dalam kelompok Lima Pelukis Bandung. Mereka itu adalah Hendra Gunawan,
Barli, Sudarso, dan Wahdi serta Affandi yang dipercaya menjabat sebagai pimpinan kelompok.
Kelompok ini memiliki andil yang cukup besar dalam perkembangan seni rupa di Indonesia.

Pada tahun 1943, Affandi mengadakan pameran tunggal pertamanya di Gedung Poetera
Djakarta yang pada saat itu sedang berlangsung pendudukan tentara Jepang di Indonesia.
Empat Serangkai yang terdiri dari Ir. Soekarno, Drs. Mohammad Hatta, Ki Hajar Dewantara, dan
Kyai Haji Mas Mansyur, memimpin Seksi Kebudayaan Poetera (Poesat Tenaga Rakyat) untuk ikut
ambil bagian.
Pada saat proklamasi tahun 1945, banyak pelukis ambil bagian. Salah satunya adalah menulis
sebuah kata "Merdeka atau mati" yang ditulis pada gerbong-gerbong kereta dan tembok-
tembok. Affandi mendapat tugas membuat sebuah poster yang menggambarkan seorang yang
dirantai, tapi rantainya telah putus. Kata-kata yang dituliskan pada poster tersebut adalah
"Boeng, ayo boeng" yang merupakan usulan dari Chairil Anwar.

Berkat bakat melukisnya yang bagus, Affandi mendapatkan beasiswa kuliah pada jurusan
melukis di Santiniketan, India. Namun saat tiba di India, ia ditolak dengan alasan bahwa ia dinilai
sudah tidak memerlukan pendidikan dalam seni lukis. Akhirnya ia menggunakan biaya
beasiswanya tersebut untuk mengadakan pameran keliling India.

Sepulang dari India, pada tahun 1950-an, Affandi dicalonkan oleh PKI untuk mewakili orang-
orang yang tidak berpartai dalam pemilihan Konstituante. Dan terpilihlah ia, seperti Prof. Ir.
Saloekoe Poerbodiningrat dsb, untuk mewakili orang-orang yang tidak berpartai.

Hal yang dibahas oleh Affandi adalah mengenai perikebinatangan, bukan perikemanusiaan. Ia
merupakan seorang pelukis yang dekat dengan flora, fauna, dan lingkungan itulah sebabnya ia
membahas mengenai perikebinatangan. Pada tahun 1955, saat ia mempersoalkan
perikebintangan, kesadaran masyarakat terhadap lingkungan hidup masih sangat rendah.

Affandi juga termasuk pimpinan pusat Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat), organisasi
kebudayaan terbesar yang dibubarkan oleh rezim Suharto. Ia juga bagian dari Lembaga Seni
Rupa bersama Basuki Resobowo, Henk Ngantung, dan sebagainya.

Pada tahun 1960-an, gerakan anti imperialis AS sedang mengagresi Vietnam cukup gencar. Juga
anti kebudayaan AS yang disebut sebagai 'kebudayaan imperialis'. Film-film Amerika, diboikot di
negeri ini. Waktu itu Affandi mendapat undangan untuk pameran di gedung USIS Jakarta. Dan
Affandi pun, mengadakan pameran di sana.

Karya Lukis

Sepanjang hidupnya, Affandi telah menghasilkan kurang lebih 2.000 karya lukis. Karya-karyanya
dipamerkan ke berbagai negara di dunia, baik di benua Asia, benua Eropa, maupun benua
Amerika. Saat melukis ia mengelola warna untuk mengekspresikan apa yang ia lihat dan rasakan
tentang sesuatu, ia juga lebih sering menumpahkan langsung cairan cat dari tubenya kemudian
menyapu cat tersebut dengan jari-jarinya.

Untuk mendekatkan dan memperkenalkan karya-karyanya kepada para pecinta seni lukis,
Affandi sering mengadakan pameran di berbagai tempat. Salah satunya di negara India, ia telah
mengadakan pameran keliling ke berbagai kota. Demikian juga di berbagai negara di Eropa,
Amerika serta Australia.
Di Eropa, ia telah mengadakan pameran antara lain di London, Amsterdam, Brussels, Paris dan
Roma. Begitu juga di negara-negara benua Amerika seperti di Brazilia, Venezia, San Paulo, dan
Amerika Serikat. Hal demikian jugalah yang membuat namanya dikenal di berbagai belahan
dunia. Salah satu karya lukis dari Affandi dapat Anda lihat di bawah ini, lukisan ini diberi judul
Para Pejuang 1972.

Biografi Affandi Koesoema Maestro Seni Lukis

Sumber: http://hiburan.dbagus.com/lukisan-affandi-dan-keterangannya-yang-fenomenal

Dalam perjalanannya berkarya ia dikenal sebagai seorang pelukis yang menganut aliran
ekspresionisme atau abstrak. Sehingga seringkali lukisannya sangat sulit dimengerti oleh orang
lain terutama oleh orang yang awam tentang dunia seni lukis jika tanpa penjelasannya. Namun
bagi pecinta lukisan hal demikianlah yang menambah daya tariknya.

Kesederhanannya dalam melukis pernah terlihat ketika kritisi Barat menanyakan konsep dan
teori lukisannya. Oleh para kritisi Barat, lukisan Affandi dianggap memberikan corak baru aliran
ekspresionisme, namun ketika itu justru Affandi balik bertanya, aliran apa itu ?

Bahkan, dalam keseharian, ia sering mengatakan bahwa dirinya adalah pelukis kerbau. Mungkin
karena kerbau adalah binatang yang dianggap dungu dan bodoh. Sikap sang maestro yang tidak
gemar berteori dan lebih suka bekerja secara nyata ini dibuktikan dengan kesungguhan dirinya
menjalankan profesi sebagai pelukis yang tidak cuma musiman pameran. Bahkan terhadap
bidang yang dipilihnya, ia tidak overacting.

Pameran

Dalam memperkenalkan karya-karyanya, yaitu melalui pameran. Berikut ini beberapa pameran
yang pernah diselenggarakan oleh Affandi;

Museum of Modern Art (Rio de Janeiro, Brazil, 1966)

East-West Center (Honolulu, 1988)

Festival of Indonesia (AS, 1990-1992)

Gate Foundation (Amsterdam, Belanda, 1993)

Singapore Art Museum (1994)

Centre for Strategic and International Studies (Jakarta, 1996)


Indonesia-Japan Friendship Festival (Morioka, Tokyo, 1997)

ASEAN Masterworks (Selangor, Kuala Lumpur, Malaysia, 1997-1998)

Penghargaan

Pada tahun 1977, Affandi mendapat hadiah perdamaian dari International Dag Hammershjoeld.
Menjadi anggota Akademi Hak-hak Azasi Manusia yang diangkat oleh Komite Pusat Diplomatic
Academy of Peace PAX MUNDI di Castelo San Marzano, Florence, Italia.

Pada tahun 1978, Pemerintah Republik Indonesia memberikan penghargaan kepada Affandi,
yaitu "Bintang Jasa Utama". Dan sejak tahun 1986, ia diangkat menjadi Anggota Dewan
Penyantun ISI (Institut Seni Indonesia) di Wakil Presiden Republik Indonesia tahun 1972-1978 di
Yogyakarta.

Pada tahun 1976, Prix International Dag Hammerskjoeld menerbitkan sebuah buku kenang-
kenangan tentang Affandi. Buku dengan tebal 189 halaman lebih itu diterbitkan dalam 4 bahasa,
yaitu dalam bahasa Inggris, Belanda, Perancis, dan Indonesia. Demikian juga Penerbitan Yayasan
Kanisius, telah menerbitkan sebuah buku tentang Affandi karya Nugraha Sumaatmadja pada
tahun 1975.

Museum Affandi

Sebuah museum yang diresmikan oleh Fuad Hassan. Museum ini menyimpan hasil karya lukis
Affandi. Museum ini didirikan tahun 1973 di atas tanah yang menjadi tempat tinggalnya, yang
terletak di Jalan Laksda Adisucipto, Yogyakarta.

Terdapat sekitar 1.000-an lebih lukisan di Museum Affandi, dan 300-an di antaranya adalah
karya Affandi. Lukisan-lukisan Affandi yang dipajang di galeri I adalah karya restropektif yang
punya nilai kesejarahan mulai dari awal kariernya hingga selesai, sehingga tidak dijual.

Galeri II adalah lukisan teman-teman Affandi, baik yang masih hidup maupun yang sudah
meninggal seperti Basuki Abdullah, Popo Iskandar, Hendra, Rusli, Fajar Sidik, dan lain-lain.
Adapun galeri III berisi lukisan-lukisan keluarga Affandi.

Galeri III, saat ini terpajang lukisan-lukisan terbaru Kartika Affandi yang dibuat pada tahun 1999.
Lukisan itu antara lain Apa yang Harus Kuperbuat (Januari 1999), Apa Salahku? Mengapa ini
Harus Terjadi (Februari 1999), Tidak Adil (Juni 1999), Kembali Pada Realita Kehidupan,
Semuanya Kuserahkan KepadaNya (Juli 1999). Ada pula lukisan Maryati, Rukmini Yusuf, serta
Juki Affandi.
Meninggal Dunia

Affandi merupakan salah satu pelukis besar Indonesia bersama pelukis besar lainnya seperti
Basuki Abdullah, Raden Saleh dan lain-lain. Namun karena berbagai keistimewaan dala karya-
karyanya, para pengagumnya sampai menganugerahinya berbagai sebutan dan julukan Koran
International Herald Tribune yang menjulukinya sebagai Pelukis Ekspressionis Baru Indonesia
sementara di Florence, Italia dia telah diberi gelar Grand Maestro.

Bagi Affandi, melukis adalah bekerja. Ia melukis seperti orang lapar. Sampai pada kesan elitis
soal sebutan pelukis, ia hanya ingin disebut sebagai tukang gambar. Lebih jauh ia berdalih
bahwa dirinya tidak cukup punya kepribadian besar untuk disebut seniman, dan ia tidak
meletakkan kesenian di atas kepentingan keluarga.

Affandi tetap menggeluti profesi sebagai pelukis hingga ia meninggal pada Mei 1990. Ia di
makamkan tidak jauh dari museum yang didirikannya tersebut.

Ridwan Kamil Lahir di Bandung pada tanggal 4 Oktober 1971, Emil nama sapaan akrabnya, ia
merupakan anak kedua dari lima bersaudara. Emil atau Ridwan Kamil sebenarnya menyukai
berimajinasi sejak masa kecil. Ia suka membaca komik dan melihat foto dari berbagai kota di
luar negeri.

Sejak kecil Ridwan Kamil memiliki semangat kewirausahaan. Ia bersekolah di SDN Banjarsari III
Bandung tahun 197 hingga 1984, Ketika sekolah dasar ia telah menjual es mambo buatannya
sendiri. Selama bersekolah, ridwan Kamil dikenal sebagai sosok yang aktif dan cerdas. Selain
aktif di OSIS, Paskibra dan klub sepak bola, Emil selalu masuk dalam rangking lima besar di
kelasnya.

Setelah tamat sekolah dasar ia kemudian melanjutkan pendidikannya di SMP Negeri 2 Bandung
kemudian di SMA Negeri 3 Bandung pada tahun 1987 hingga 1990. Setelah tamat SMA, ia
kemudian melanjutkan pendidikannya di Institut Teknologi Bandung dengan mengambil jurusan
Teknik Arsitektur dari tahun 1990 hingga 1995.
BIOGRAFI RIDWAN KAMIL

Ridwan kamil juga aktif dalam kelompok-kelompok mahasiswa dan unit kegiatan seni.
Semangat kewirausahaannya di kampus lagi, untuk mencari dana tambahan untuk
kuliah, ia membuat ilustrasi cat air atau maket untuk dosen.

Lulus dari ITB, ia memilih untuk bekerja di Amerika Serikat. Tapi hanya bertahan empat
bulan bekerja ia berhenti karena dampak krisis moneter Indonesia yang membuat klien
tidak membayar pekerjaannya. Ia tidak langsung pulang ke Indonesia, dia bertahan di
Amerika sebelum akhirnya mendapat Beasiswa di University of California, Berkeley.

Selagi mengambil S2 di Univesitas tersebut Ridwan Kamil bekerja paruh waktu di


Departemen Perancanaan Kota Berkeley. Untuk bertahan hidup di Amerika, ia makan
sekali sehari dengan menu murah seharga 99 sen. Perjuangan Ridwan Kamil untuk
bertahan hidup di Amerika terus diuji ketika istrinya, Atalia Praratya akan melahirkan
anak pertama mereka.

Ayah yang kini memiliki dua orang anak ini tidak memiliki uang untuk biaya persalinan
istrinya, sehingga akhirnya dia harus mengaku miskin pada pemerintah kota setempat
untuk mendapatkan Pengobatan gratis. Akhirnya, ia menemani istrinya melahirkan di
sebuah rumah sakit khusus untuk orang miskin, tepatnya di bangsal rumah sakit.
Baginya pengalaman jatuh bangun hidupnya membentuk nilai-nilai tersendiri akan
kerasnya perjuangan hidup.

Pada tahun 2002 Ridwan Kamil pulang ke tanah kelahirannya Indonesia dan dua tahun
kemudian mendirikan Urbane, firma yang bergerak dalam bidang jasa konsultan
perencanaan, arsitektur dan desain.

Kini Ridwan Kamil aktif menjabat sebagai Prinsipal PT. Urbane Indonesia, Dosen Jurusan
Teknik Arsitektur Institut Teknologi Bandung, serta Senior Urban Design Consultant SOM,
EDAW (Hong Kong & San Francisco), dan SAA (Singapura).
Urbane merupakan firma yang dibangun oleh Ridwan Kamil pada tahun 2004 bersama
teman-temannya seperti Achmad D. Tardiyana, Reza Nurtjahja dan Irvan W. Darwis.
Reputasi Internasional sudah mereka bangun dengan mengerjakan projek-projek di luar
Indonesia seperti Syria Al-Noor Ecopolis di negara Syria dan Suzhou Financial District di
China.

Tim Urbane sendiri terdiri dari para profesional muda yang kreatif dan berpikir idealis
untuk mencari dan menciptakan solusi mengenai masalah desain lingkungan dan
perkotaan. Urbane juga memiliki projek berbasis komunitas dalam Urbane Projek
Komunitas dimana visi dan misinya adalah membantu orang-orang dalam sebuah
komunitas perkotaan untuk memberikan donasi dan keahlian-keahlian dalam
meningkatkan daerah sekitarnya.

Urbane telah banyak dianugrahi penghargaan-penghargaan dari media internasional


seperti BCI Asia Awards tiga tahun berturut-turut pada tahun 2008, 2009 dan 2010 dan
juga BCI Green Award pada tahun 2009 atas projek desain Rumah Botol (dari botol
bekas).

Urbane juga sering mengikuti kompetisi di bidang desian arsitektur tingkat nasional
seperti Juara 1 kompetisi desain Museum Tsunami di Nangro Aceh Darrussalam tahun
2007, Juara 1 kompetisi desain kampus 1 Universitas Tarumanegara tahun 2007, Juara 1
kompetisi desain Fakultas Ilmu Budaya di Universitas Indonesia tahun 2009, juara 1
kompetisi desain Sanggar Nagari di Kota Baru Parahyangan di Kabupaten Bandung Barat
dan juara 1 kompetisi desain Pusat Seni dan Sekolah Seni di Universitas Indonesia tahun
2009. Ridwan kamil memiliki akun twitter yang berridwankamilridwankamil
Biografi Ahmad Fuadi

Nama Lengkap : Ahmad Fuadi

Tanggal Lahir : 30 Desember 1972

Tempat Lahir : Maninjau, Sumatera Barat, Indonesia

Pekerjaan : Pekerja Sosial, Novelis, dan Wartawan

Kewarganegaraan : Indonesia

Pasangan : Danya Yayi Dewanti

Ahmad Fuadi lahir di Bayur Maninjau, Sumatera Barat, 30 Desember 1972 . Bayur, sebuah
kampung kecil di pinggir Danau Maninjau. Ibunya adalah seorang guru SD dan ayahnya seorang
guru madrasah. Ia menghabiskan masa kecilnya dan bersekolah hingga sampai Sekolah
Menengah Pertama di Bayur.

Setelah lulus Sekolah Menengah Pertama, Ahmad Fuadi merantau ke Jawa untuk mematuhi
permintaan dari Ibunya untuk masuk sekolah agama. Ia memulai pendidikan menengahnya di
KMI Pondok Modern Darussalam Gontor Ponorogo. Di Pondok tersebut ia bertemu dengan kiai
dan ustad yang diberkahi keikhlasan mengajarkan ilmu hidup dan ilmu akhirat.

Di Pondok tersebut Ahmad Fuadi mendapat nasehat dari guru-guru atau ustad-ustadnya salah
satunya adalah "man jadda wajada", yang artinya "barang siapa yang bersungguh-sungguh pasti
akan menemui kesuksesan", serta ada sebuah kata-kata lagi yang selalu dia ingat bahwa "orang
yang paling baik di antaramu adalah orang yang paling banyak manfaat." Akhirnya pesan-pesan
tersebut yang menjadi prinsip yang selalu ia pegang dalam hidupnya.

Pada tahun 1992, Ahmad Fuadi lulus dari KMI Pondok Modern Darussalam Gontor Ponorogi.
Kemudian melanjutkan kuliah Hubungan Internasional di Universitas Padjadjaran, Bandung.
Saat kuliah, Ahmad Fuadi pernah mewakili Indonesia mengikuti program Youth Exchange
Program di Quebec, Kanada tahun 1995-1996. Di ujung masa kuliah di Bandung, Fuadi
mendapat kesempatan kuliah satu semester di National University of Singapore dalam program
SIF Fellowship tahun 1997.

Tahun 1999, ia mendapat beasiswa Fulbright untuk kuliah S-2 di School of Media anad Public
Affairs, George Washington University, USA. Merantau ke Washington DC bersama istrinya
Danya, juga seorang wartawan dari majalah Tempo. Sambil kuliah, mereka menjadi
koresponden Tempo dan wartawan Voice of Amerika (VOA). Mereka pernah melaporkan secara
langsung berita bersejarah peristiwa 11 September 2001 dari Pentagon, White House dan
Capitol Hill.
Pada tahun 2004, Ahmad Fuadi mendapat beasiswa Chevening untuk belajar di Royal Holloway,
University of London untuk sebuah bidang dokumenter. Ia juga pernah menjadi direktur
komunikasi di sebuah NGO konsevasi The Nature Conservancy sejak tahun 2007 hingga
sekarang.

Ahmad Fuadi menguasai bahasa Inggris, Perancis, dan Arab serta pernah menerima award
(penghargaan) antara lain: Indonesian Cultural Foundation Inc. Award tahun 2000-2001,
Columbus School of Arts and Sciences Award, The Goerge Washington University tahun 2000-
2001, dan The Ford Foundation Award tahun 1999-2000.

Karya Novel

Untuk saat ini tercatat ada 3 novel yang telah dibuat dan diterbitkan oleh Ahmad Fuadi, antara
lain: Negeri 5 Menara, Ranah 3 Warna, Rantai 1 Muara.

1.Negeri 5 Menara

Pada tahun 2009, Ahmad Fuadi menerbitkan novel pertamanya yang berjudul, Negeri 5 Menara,
salah satu buku pertama dari trilogi novelnya. Novel ini bercerita tentang kehidupan 6 santri
dari 6 daerah berbeda yang menuntut ilmu di Pondok Madani Ponorogo, Jawa Timur yang jauh
dari rumah dan berhasil mewujudkan mimpi menggapai jendela dunia.

Di dalam novel itu menceritakan sebuah keterpaksaan seseorang pemuda ketika harus
menuntut ilmu di pondok pesantren. Derita kehidupan pesantren dengan segala suka dan
dukanya, dengan semua kedisiplinan dan kepolosannya. Dan yang paling mendasari dari semua
cerita tersebut yaitu sebuah kata "man Jadda wajada" yang berarti "barang siapa yang
bersungguh-sungguh, maka dia akan menemui kesuksesan".

Novel tersebut masuk dalam jajaran best seller pada tahun 2009. Selain itu, pernah juga masuk
pada nominasi Khatulisiwa Literary Award sehingga ada salah satu penerbit di Negeri Jiran
Malaysia, yaitu PTS Litera tertarik untuk menerbitkan di negaranya dalam versi Bahasa yang
berbeda, yaitu Bahasa melayu.

Sebagian royalti dari buku ini diniatkan untuk merintis Komunitas Menara, sebuah organisasi
sosial berbasis relawan (volunteer) yang menyediakan sekolah, dapur umum, perpustakaan, dan
rumah sakit secara gratis untuk kalangan yang tidak mampu.

2. Ranah 3 Warna

Pada tanggal 23 Januari 2011, Ahmad Fuadi menerbitkan novel yang kedua, yang berjudul
Ranah 3 Warna, novel ini merupakan kedua dari trilogi Negeri 5 Menara bercerita tentang Alif
yang baru selesai menamatkan sekolah di Pondok Madani (PM) Ponorogo Jawa Timur dan
perjalanannya mewujudkan mimpi menjadi Habibie di Teknologi Tinggi Bandung, lalu merantau
untuk menggapai jendela dunia sampai ke Amerika.

Ranah 3 Warna adalah hikayat bagaimana impian tetap wajib dibela habis-habisan walau hidup
terus digelung nestapa. Tuhan bersama orang yang sabar.

3. Rantai 1 Muara

Ahmad Fuadi menerbitkan novelnya yang ketiga pada tahun 2013, yang berjudul Rantau 1
Muara, novel ini merupakan tiga dari trilogi Negeri 5 Menara yang bercerita tentang perjalanan
Alif dalam pencarian besar seorang manusia, yakni minat, belahan jiwa, dan makna hidup.
Perjalanan Alif sesungguhnya dimulai ketika Alif lepas dari pendidikan kuliah dan mencari
pekerjaan di era yang salah.

Mantra "man jadda wajada" saja tidak cukup sakti dalam memenangkan hidup. Alif teringat
mantra kedua yang diajarkan di Pondok Madani: ''man shabara zhafira". Siapa yang bersabar
akan beruntung. Berbekal kedua mantra itu dia songsong badai hidup satu persatu.

Penghargaan dan Beasiswa

Berikut ini beberapa penghargaan dan beasiswa yang diraih oleh Ahmad Fuadi.
SIF-ASEAN Visiting Student Fellowship, National University of Singapore (1997)
Indonesian Cultural Foundation Inc Award, (2000-2001)
Columbian College of Arts and Sciences Award, The George Washington University (2000-2001)
The Ford Foundation Award (1999-2000)
CASE Media Fellowship, University of Maryland, College Park (2002)
Beasiswa Fulbright, Program Pascasarjana, The George Washington University (1999-2001)
Beasiswa British Chevening, Program Pascasarjana, University of London, London (2004-2005)
Longlist Khatulistiwa Literary Award (2010)
Penulis dan Fiksi Terfavorit, Anugerah Pembaca Indonesia (2010)
Penulis/Buku Fiksi Terbaik, Perpustakaan Nasional Indonesia (2011)
Liputan6 Award, SCTV untuk Kategori Pendidikan dan Motivasi (2011)
Penulis Terbaik, IKAPI/Indonesia Book Fair (2011)
Writer in Residence, Bellagio, Lake Como - Italy, Rockefeller Foundation (2012)
Penghargaan Nasional HKI, kategori novel, DJHKI, Kementerian Hukum dan HAM (2013)
Artist in Residence, University of California, Berkeley, USA, (2014)
Biografi Pramoedya Ananta Toer

Tokoh satu ini dikenal sebagai salah satu sastrawan terbesar di Indonesia. Banyak karya-
karyanya yang fenomenal sehingga ia dikenal sebagai sastrawan yang sangat produktif. Artikel
kali ini akan membahas mengenai biografi dan profil dari Pramoedya Ananta Toer beserta
dengan biodata lengkapnya. Beliau lahir pada tanggal 6 februari 1925 di daerah Blora yang
terletak di Jawa Tengah. Ayahnya bernama Mastoer Imam Badjoeri yang bekerja sebagai
seorang guru di sebuah sekolah swasta dan ibunya bernama Saidah bekerja sebagai seorang
penghulu di daerah Rembang.

Masa Kecil Pramoedya Ananta Toer

Nama asli dari Pramoedya adalah Pramoedya Ananta Mastoer namun lama kelamaan orang
lebih mengenalnya sebagai Pramoedya Ananta Toer atau biasa dipanggil Pram. Beliau mulai
bersekolah di Sekolah Institut Boedi Utomo di Blora di bawah bimbingan ayahnya yang bekerja
sebagai guru disana namun tercatat bahwa Pramoedya beberapa kali tidak naik kelas. Tamat
dari Boedi utomo, ia kemudian bersekolah di Sekolah Teknik Radio Surabaya selama 1,5 tahun di
1940 hingga 1941. Pada tahun 1942, Pramoedya kemudian berangkat ke Jakarta dan bekerja
sebagai tukang ketik di Kantor berita Jepang bernama 'Domei' pada saat masa kependudukan
jepang di Indonesia.

Sambil bekerja, Pramoedya juga mengikuti pendidikan di Taman Siswa yang didirikan oleh Ki
Hajar Dewantara antara tahun 1942 higga 1943. Selanjutnya di tahun 1944 hingga 1945, ia
mengikuti sebuah kursus Stenografi dan kemudian melanjutkan pendidikannya di Sekolah Tinggi
Islam Jakarta pada tahun 1945.

Kemudian memasuki masa pasca kemerdekaan Indonesia tepatnya pada tahun 1946,
Pramoedya Ananta Toer mengikuti pelatihan militer Tentara Keamanan Rakyat dan bergabung
dengan Resimen 6 dengan pangkat letnan dua dan ditugaskan di Cikampek dan kemudian
kembali ke Jakarta pada tahun 1947.

Pramoedya Ananta Toer kemudian ditangkap Belanda pada tanggal 22 juli 1947 dengan tuduhan
menyimpan dokumen pemberontakan melawan Belanda yang kembali ke Indonesia untuk
berkuasa. Ia kemudian di jatuhi hukuman penjara dan kemudian dipenjarakan di pulau Edam
dan kemudian dipindahkan ke penjara di daerah Bukit Duri hingga tahun 1949 dan selama masa
penahanannya tersebut, ia lebih banyak menulis buku dan cerpen.

Menjadi Pimpinan Pusat Lembaga Kesenian Rakyat (LEKRA)

Biografi Pramoedya Ananta Toer - Sastrawan Indonesia

Keluar dari penjara, Pramoedya Ananta Toer kemudian bekerja sebagai seorang redaktur di Balai
Pustaka Jakarta antara tahun 1950 hingga 1951, dan di tahun berikutnya ia kemudian
mendirikan Literary and Fitures Agency Duta hingga tahun 1954. Ia bahkan sempat ke Belanda
mengikuti program pertukaran budaya dan tinggal disana beberapa bulan. Tidak lama kemudian
ia pulang ke Indonesia dan menjadi anggota Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) yang dikenal
sebagai organisasi kebudayaan berhaluan kiri.

Pada tahun 1956, Pramoedya Ananta Toer sempat ke Beijing untuk menghadiri hari kematian Lu
Sung. Kembali ke Indonesia, ia kemudian mulai mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan
orang-orang tionghoa di Indonesia. Pramoedya bahkan menjalin hubungan yang erat dengan
para penulis atau sastrawan dari Tiongkok. Di masa tersebut, Pramoedya banyak menulis karya-
karya sastra dan juga tulisan-tulisan yang mengkritik pemerintahan Indonesia mengenai
penyiksaan terhadap etnis Tionghoa di Indonesia.

Kemudian pada tahun 1958, Pramoedya Ananta Toer didaulat menjadi pimpinan pusat Lekra
(Lembaga Kesenian Jakarta) yang bernaung di bawah Partai Komunis Indonesia pimpinan D.N
Aidit. Jabatannya sebagai pimpinan pusat Lekra membuat banyak seniman menjadi
berseberangan pendapat dengan Pramoedya Ananta Toer teruta para seniman yang menentang
aliran komunis di Indonesia.

Di tahun 1962, Pramoedya Ananta Toer kemudian bekerja sebagai seorang dosen sastra di
Universitas Res Republica. Ia juga menjadi Dosen Akademi Jurnalistik Dr. Abdul Rivai dan juga
berprofesi sebagai redaktur majalah Lentera.

....Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam
masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian." - Pramoedya Ananta
Toer
Ditangkap dan Dijebloskan ke Penjara dan Dibuang ke Pulau Buru oleh Pemerintah

Memasuki tahun 1960an, PKI semakin gencar memperluas pengaruhnya hingga kemudian
terjadi gejolak politik dimana Partai Komunis Indonesia (PKI) melakukan pemberontakan yang
terkenal dengan nama G30S/PKI dan terjadi pergantian kekuasaan dari Ir. Soekarno ke Soeharto.
Dibawah pemerintahan Soeharto, penumpasan PKI dilakukan. Hal ini kemudian membuat
organisasi-organisasi yang berada di bawah PKI ketika seperti Lekra yang dipimpin oleh
Pramoedya menjadi terancam.

Pemerintah kemudian menangkap Pramoedya Ananta Toer dengan tuduhan mendukung


komunis. Ia akhirnya ditahan tanpa pengadilan dari tahun 1965 hingga 1969, setelah itu ia
dititipkan di penjara Nusakambangan di Jawa Tengah dan kemudian ia di buang di pulau Buru
yang terkenal sebagai pulau buangan para tahanan politik PKI ketika itu dari tahun 1969 hingga
1979. Di pulau tersebut juga Pramoedya dilarang menulis oleh pemerintah namun ia tetap
menulis karya-karyanya seperti novel semi fiksi yang berjudul Bumi Manusia.

Bebas dari Penjara

Memasuki tahun 1979 pada bulan desember, Pramoedya Ananta Toer akhirnya dibebaskan
karena ia tidak tebukti terlibat dalam gerakan G30S/PKI namun ia tetap menjadi tahanan rumah
oleh pemerintahan Soeharto hingga tahun 1992 dan kemudian naik menjadi tahanan kota
hingga tahanan negara hingga tahun 1999. Hampir separuh hidupnya ia habiskan didalam
penjara akibat hubungannya dengan partai PKI namun pada masa itu juga ia aktif dalam menulis
namun banyak karya-karya atau tulisannya yang dilarang terbit oleh pemerintah orde baru
hingga tahun 1995.

Ketika pergantian pemerintahan orde baru ke orde reformasi, Pramoedya Ananta Toer banyak
menuliskan pikiran-pikirannya baik itu di kolom-kolom majalah mengkritik pemerintahan yang
baru. Sebagai penulis dan sastrawan dengan puluhan karya-karya yang terkenal membuat
Pramoedya Ananta Toer banyak menerima penghagaan nasional dan internasional seperti
Ramon Magsaysay Award, Hadiah Budaya Asia Fukuoka XI, Norwegian Authors' Union Award
serta penghargaan dari Universitas Michigan Amerika.
Wafatnya Pramoedya Ananta Toer

Meskipun sudah masuk masa tua, Pramoedya Ananta Toer tetap aktif menulis walaupun ia
gemar merokok. Hingga kemudian ia terbaring di rumah sakit pada awal 2006 akibat penyakit
diabetes, sesak nafas dan jantungnya yag melemah. Hingga kemudian ia keluar lagi. Namun
kembali masuk rumah sakit ketika kondisinya makin memburuk akibat panyakit radang paru-
paru.

Hingga pada tanggal 30 april 2006, Pramoedya Ananta Toer akhirnya menghembuskan nafas
terakhirnya dan meninggal di usia 81 tahun. Pemakamannya banyak dihadiri oleh masyarakat
dan juga para tokoh terkenal seperti wakil presiden ketika itu Jusuf Kalla. Pramoedya Ananta
Toer kemudian dimakamkan di TPU Karet Bivak, Jakarta.

...Berbahagialah mereka yang makan dari keringatnya sendiri, bersuka karena usahanya
sendiri, dan maju karena pengalaman nya sendiri." - Pramoedya Ananta Toer.

Keluarga Pramoedya Ananta Toer

Beliau diketahui memiliki seorang istri bernama Maemunah Thamrin yang kemudian
memberinya lima orang anak dan kemudian Pramoedya juga memiliki sembilan orang cucu.
Istrinya meninggal pada bulan januari tahun 2011 dan dimakamkan di tempat yang sama
dengan Pramoedyya Ananta Toer yaitu di TPU Karet Bivak.
BIOGRAFI Prif. Dr. Sapardi Djoko Damono

Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono (lahir di Surakarta, 20 Maret 1940; umur 70 tahun) adalah
seorang pujangga Indonesia terkemuka. Ia dikenal dari berbagai puisi-puisi yang menggunakan
kata-kata sederhana, sehingga beberapa di antaranya sangat populer.

Riwayat hidup

Masa mudanya dihabiskan di Surakarta (lulus SMP Negeri 2 Surakarta tahun 1955 dan SMA
Negeri 2 Surakarta tahun 1958). Pada masa ini ia sudah menulis sejumlah karya yang dikirimkan
ke majalah-majalah. Kesukaannya menulis ini berkembang saat ia menempuh kuliah di bidang
Bahasa Inggris di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Sejak tahun 1974 ia mengajar di
Fakultas Sastra (sekarang Fakultas Ilmu Budaya) Universitas Indonesia, namun kini telah
pensiun. Ia pernah menjadi dekan di sana dan juga menjadi guru besar. Pada masa tersebut ia
juga menjadi redaktur pada majalah "Horison", "Basis", dan "Kalam".

Sapardi Djoko Damono banyak menerima penghargaan. Pada tahun 1986 SDD mendapatkan
anugerah SEA Write Award. Ia juga penerima Penghargaan Achmad Bakrie pada tahun 2003. Ia
adalah salah seorang pendiri Yayasan Lontar. Ia menikah dengan Wardiningsih dan dikaruniai
seorang putra dan seorang putri.

Karya-karya

Sajak-sajak Sapardi Djoko Damono, begitu ia sering dijuluki, telah diterjemahkan ke dalam
berbagai bahasa, termasuk bahasa daerah. Ia tidak saja menulis puisi, namun juga cerita
pendek. Selain itu, ia juga menerjemahkan berbagai karya penulis asing, menulis esei, serta
menulis sejumlah kolom/artikel di surat kabar, termasuk kolom sepak bola.

Beberapa puisinya sangat populer dan banyak orang yang mengenalinya, seperti Aku Ingin
(sering kali dituliskan bait pertamanya pada undangan perkawinan), Hujan Bulan Juni, Pada
Suatu Hari Nanti, Akulah si Telaga, dan Berjalan ke Barat di Waktu Pagi Hari. Kepopuleran puisi-
puisi ini sebagian disebabkan musikalisasi terhadapnya. Yang terkenal terutama adalah oleh
Reda Gaudiamo dan Tatyana (tergabung dalam duet "Dua Ibu"). Ananda Sukarlan pada tahun
2007 juga melakukan interpretasi atas beberapa karya Sapardi Djoko Damono.

Berikut adalah karya-karya Sapardi Djoko Damono (berupa kumpulan puisi), serta beberapa
esei.
Kumpulan Puisi/Prosa

1. "Duka-Mu Abadi", Bandung (1969)

2. "Lelaki Tua dan Laut" (1973; terjemahan karya Ernest Hemingway)

3. "Mata Pisau" (1974)

4. "Sepilihan Sajak George Seferis" (1975; terjemahan karya George Seferis)

5. "Puisi Klasik Cina" (1976; terjemahan)

6. "Lirik Klasik Parsi" (1977; terjemahan)

7. "Dongeng-dongeng Asia untuk Anak-anak" (1982, Pustaka Jaya)

8. "Perahu Kertas" (1983)

9. "Sihir Hujan" (1984; mendapat penghargaan Puisi Putera II di Malaysia)

10. "Water Color Poems" (1986; translated by J.H. McGlynn)

11.

"Suddenly the night: the poetry of Sapardi Djoko Damono" (1988; translated by J.H. McGlynn)

12. "Afrika yang Resah (1988; terjemahan)

13. "Mendorong Jack Kuntikunti: Sepilihan Sajak dari Australia" (1991; antologi sajak Australia,
dikerjakan bersama R:F: Brissenden dan David Broks)

14. "Hujan Bulan Juni" (1994)

15. "Black Magic Rain" (translated by Harry G Aveling)

16. "Arloji" (1998)

17. "Ayat-ayat Api" (2000)

18. "Pengarang Telah Mati" (2001; kumpulan cerpen)

19. "Mata Jendela" (2002)

20. "Ada Berita Apa hari ini, Den Sastro?" (2002)


21. "Membunuh Orang Gila" (2003; kumpulan cerpen)

22. "Nona Koelit Koetjing: Antologi cerita pendek Indonesia periode awal (1870an - 1910an)"
(2005; salah seorang penyusun)

23. "Mantra Orang Jawa" (2005; puitisasi mantera tradisional Jawa dalam bahasa Indonesia)

24. "Before Dawn: the poetry of Sapardi Djoko Damono" (2005; translated by J.H. McGlynn)

25. "Kolam" (2009; kumpulan puisi)

Selain menerjemahkan beberapa karya Kahlil Gibran dan Jalaluddin Rumi ke dalam bahasa
Indonesia, Sapardi juga menulis ulang beberapa teks klasik, seperti Babad Tanah Jawa dan
manuskrip I La Galigo.

Musikalisasi Puisi

Musikalisasi puisi karya SDD dimulai pada tahun 1987 ketika beberapa mahasiswanya
membantu program Pusat Bahasa, membuat musikalisasi puisi karya beberapa penyair
Indonesia, dalam upaya mengapresiasikan sastra kepada siswa SLTA. Saat itulah tercipta
musikalisasi Aku Ingin oleh Ags. Arya Dipayana dan Hujan Bulan Juni oleh H. Umar Muslim.
Kelak, Aku Ingin diaransemen ulang oleh Dwiki Dharmawan dan menjadi bagian dari
"Soundtrack Cinta dalam Sepotong Roti" (1991), dibawakan oleh Ratna Octaviani.

Beberapa tahun kemudian lahirlah album "Hujan Bulan Juni" (1990) yang seluruhnya
merupakan musikalisasi dari sajak-sajak Sapardi Djoko Damono. Duet Reda Gaudiamo dan Ari
Malibu merupakan salah satu dari sejumlah penyanyi lain, yang adalah mahasiswa Fakultas
Sastra Universitas Indonesia. Album "Hujan Dalam Komposisi" menyusul dirilis pada tahun 1996
dari komunitas yang sama.

Sebagai tindak lanjut atas banyaknya permintaan, album "Gadis Kecil" (2006) diprakarsai oleh
duet Dua Ibu, yang terdiri dari Reda Gaudiamo dan Tatyana dirilis, dilanjutkan oleh album
"Becoming Dew" (2007) dari duet Reda dan Ari Malibu.

Ananda Sukarlan pada Tahun Baru 2008 juga mengadakan konser kantata "Ars Amatoria" yang
berisi interpretasinya atas puisi-puisi SDD serta karya beberapa penyair lain.

Anda mungkin juga menyukai