Anda di halaman 1dari 24

SENI DALAM KULTUR BUDAYA

ANTROPOLOGI SENI/SOSIOLOGI SENI

ANTROPOLOGI SENI

SENI PATUNG KONTEMPORER KARYA G. SIDHARTA SERTA HUBUNGANNYA


DENGAN KULTUR BUDAYA, GERAKAN REVITALISASI SERTA PENGKULTUSAN
KULTUR
 

Oleh :

SARIFUDIN, S.Pd

Kata Pengantar

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas limpahan rahmat dan

karunia-Nya sehingga penyusun dapat menyelesaikan tugas paper Antropologi seni Program

studi pendidikan seni rupa. Makalah ini disajikan menggunakan bahasa yang mudah dipahami.

Hal ini dimaksudkan agar mahasiswa atau pembaca dapat membuat hubungan antara

pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari..

Penyusun telah berupaya semaksimal mungkin untuk berkarya dengan harapan makalah

ini dapat digunakan sebagai pegangan dan referensi dalam proses pembelajarannya, khususnya
untuk materi Antropologi seni. Tidak lupa kami ucapkan terima kasih dan rasa penghargaan yang

setinggi-tingginya kepada bapak dosen pembimbing mata kuliah antropologi seni. Kritik dan

saran yang membangun akan sangat membantu kami demi kesempurnaan makalah ini

Bab I
PENDAHULUAN
1.           Latar Belakang
Perkembangan seni patung di Indonesia yang tumbuh terutama di Bandung, Yogyakarta,
Jakarta dan beberapa kota lainnya, menunjukkan perkembangan yang berbeda dibandingkan
dengan pertumbuhan awal ditahun 1950-an. Pertumbuhan awal menunjukkan corak-corak
representasional, yang ditandai dengan munculnya kecenderungan patung figuratif seperti patung
potret diri atau sosok manusia tertentu yang dipatungkan. Lahirnya gerakan-gerakan seni yang
dilakukan para seniman muda tidak saja melabrak kemapanan estetik, akan tetapi juga sikap
dematerialisasi (pembebasan material). Seni patung tidak lagi di pahami sebagai seni masif yang
menggunakan bahan khusus (kayu, batu, resin, bronze, dan lainnya) yang diletakkan di atas
sebuah base, akan tetapi muncul dengan sejumlah kecenderungan estetika yang beraneka ragam.
Tanggal 5 Juni 1973 merupakan hari bersejarah bagi para pematung kontemporer
Indonesia, karena pada tanggal tersebut untuk pertamakali diadakan pameran patung modern
Indonesia di Taman Ismail Mazuki Jakarta. Hadirnya patung kontemporer sangat mengejutkan
publik, dikarenakan kurangnya informasi mereka tentang seni patung modern dunia, khususnya
Eropa dan Amerika. Ciri utama dari patung kontemporer ialah bahasa bentuknya tidak lagi
bersifat regional, akan tetapi universal. Referensi sosialnya tidak ada sama sekali tetapi hal
tersebut sudah didukung oleh falsafah mereka masing-masing yang tidak bisa diterangkan secara
obyektif untuk semua orang. Karya-karya yang muncul bergerak kearah abstraksionisme ataupun
semi abstrak, deformatif, serta mengekploitir bentuk dan gerak.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Pengertian
a. pengertian patung
Patung adalah jenis karya seni dalam wujud tiga dimensi. Dalam era industri dan
teknologi yang semakin canggih sekarang ini, karya-karya seni patung hadir dan ikut
memberikan interpretasinya atas dampak era tersebut. Para pematung tidak hanya sekedar
mengekspresikan manifestasi alam yang indah seperti apa adanya kedalam karya, akan tetapi
juga mengekspresikannya dari hasil simplifikasi alam dengan hanya menangkap hakikat dari
obyek, sehingga memunculkan karya-karya dalam wujud abstrak, dengan berbagai ‘nilai-nilai’
yang diungkapkan lewat ‘tanda-tanda’ visualnya.
b. pengertian kontemporer
Contemporary : kontemporer; masa kini, sewaktu, sejaman, waktu yang sama dengan
pengamat saat ini Art : seni; menurut Soedarso S.P. yaitu karya manusia yang
mengkomunikasikan pengalaman batinnya yang disajikan secara indah dan menarik
sehinggamerangsang timbulnya pengalaman batin pula pada manusia lain yang menghayatinya.
Kelahirannya tidak didorong oleh hasrat memenuhi kebutuh an pokok, melainkan merupakan
usaha untuk melengkapi dan menyempurnakan derajat kemanusiaannya memenuhi kebutuhan
yang bersifat spiritual.
Menurut Ki Hajar Dewantara P yaitu seni merupakan bagian dari kebudayaan yang timbul dari
hidup perasaan manusia yang bersifat indah sehingga dapat menggerakkan jiwa dan perasaan
manusia.
Seni itu pada dasarnya kontekstual, sebab seni itu adalah persoalan nilai-nilai, dan nilai-
nilai itu selalu berhubungan dengan kenyataan konkrit. Sesuatu yang konkrit berada dalam waktu
dan tempat tertentu. Bagaimanapun dan apapun wujudnya, seorang seniman tidak bisa
dipisahkan dari nilai-nilai budaya masyarakatnya. Ia bisa tunduk, loyal dan membenarkan nilai-
nilai masyarakatnya, bisa pula mencoba memberikan alternatif makna baru terhadap nilai-nilai
masyarakat, atau sama sekali menolak nilai-nilai masyarakat dan mengajukan nilai-nilai baru
dalam karya nya.
Dalam seni modern, kreatifitas merupakan hal yang sangat penting karena dari kreatifitas
berkembanglah sifat-sifat orijinalitas, kepribadian, kesegaran, dan sebagainya. Seorang seniman
biasanya merasa sulit untuk melepaskan diri dari ikatan sosial yang ada disekitarnya. Oleh
karena itu seorang seniman modern dengan sadar berusaha membebaskan dirinya dari ikatan
tersebut, dalam hubungannya dengan tanggapan terhadap obyek Seorang seniman biasanya
merasa sulit untuk melepaskan diri dari ikatan sosial yang ada disekitarnya. Oleh karena itu
seorang seniman modern dengan sadar berusaha membebaskan dirinya dari ikatan tersebut,
dalam hubungannya dengan tanggapan terhadap obyek karyanya. aryanya. Sikap batin yang
tidak stereotip, yang selalu ingin akan yang baru dan yang lain dari pada yang lain (sudah ada),
merupakan ciri dari seniman modern.
Dalam karya seni rupa modern, jumlah unsur informatif (denotatif) sengaja dikurangi dan
dihadirkan unsur-unsur visual yang mewakili nilai-nilai tertentu (konotatif). Unsur-unsur visual
yang digunakan (misalnya; warna yang tidak ikonografis, atau garis yang tidak ikonografis) dan
cara menyusunnya, mengharapkan keterlibatan pengamat dalam melengkapi ‘pengertian’
terhadap tanda-tanda visual tersebut sesuai dengan ground pribadinya. Dengan kata lain, karya
seni modern ‘terbuka’ bagi interpretasi.
Sejumlah seniman kontemporer (dari aliran seperti; Dada, Minimal Art, Op Art, Abstract,
Expressionisme) berupaya untuk membuat karya yang tidak diarahkan oleh suatu ide atau
maksud apriori. Mereka ingin menyajikan suatu peristiwa visual (untuk dilihat) yang tidak
mewakili ‘sesuatu’, tanpa referent. Pengamat dibiarkan bebas dalam interpretasinya. ‘Meaning’
diberikan pada karya oleh pengamat – posteriori, setelah karya selesai. Pengamat mencari-unsur-
unsur referensiil dalam memory dan jiwanya. Bila tanda-tanda visual yang dimanfaatkan oleh si
seniman adalah quali-sign, daya asosiatif pengamat dapat mengaitkan sifat atau nilai yang
dihadirkan oleh tanda-tanda visual yang bersifat Quali-Sign (misalnya; nada warna tertentu,
lengkungan garis tertentu) dengan nilai yang pengamat kenal, yang penting baginya berdasarkan
luas dan dalamnya ‘ground’. Tentu saja cara menghayati karya seperti ini hanya mungkin
dilakukan pada karya-karya abstrak.
2.2. Tinjauan tentang Seni Kontemporer
a. Karakteristik Seni kontemporer
Sebetulnya apakah itu seni rupa kontemporer? Bagaimana sebenarnya praktek seni rupa
kontemporer itu sendiri? Pertanyaan ini kerap dibicarakan sebagai bahan diskusi. Pengertian arti
dan prakteknya muncul beragam, barangkali karena memang arti kontemporer itu sendiri yang
mempunyai makna yang luas, bukan tidak mungkin, siapa saja mempunyai tafsir yang berbeda
tentang pengertian dan bentuk praktek seni rupa kontemporer.
Berikut ini adalah karakteristik dari seni rupa kontemporer, yaitu :
1. Adanya pluralism dalam estetika, dalam prakteknya seniman
mendapatkan kebebasan untuk berorientasi pada masa depan, masa lalu
ataupun sekarang.
2. Berorientasi karya bebas, tidak menghiraukan batasan-batasan kaku seni
rupa yang dianggap baku.
3. penggunaan media atau bahan apapun dalam berkarya seni
4. Berani menyentuh situasi sosial, politik dan ekonomi masyarakat yang
sedang, pernah ataupun mungkin akan terjadi.
Seni patung modern dapat kita lihat pada karya-karya pematung terkenal di dunia,
seperti; Auguste Rodin (pelopor seni patung modern), Degas (pematung Impresionisti), Mattise,
Picasso, Henry Moore, atau yang berasal dari Indonesia, seperti; Rita Widagdo, G.Sidartha, Arby
Samah, Nyoman Nuarta dan banyak lagi pematung modern lainnya. Cara memahami karya-
karya mereka tentunya dengan cara penghayatan terhadap tanda-tanda visual yang ada dalam
karya dimana tanda yang digunakan mencakup suatu representasi dan interpretasi, suatu
denotatum dan suatu interprant.
b.      Semiotika
Kata semiotika berasal dari kata Yunani semeion yang artinya tanda, jadi semiotika
berarti ilmu tanda. Semiotika adalah cabang ilmu yang berurusan dengan pengkajian tanda dan
segala sesuatu yang berhubungan dengan tanda, seperti sistem tanda dan proses yang berlaku
bagi pengguna tanda. Semiotika kini adalah bidang yang luas, dari zoo-semiotika, semiotika
para-linguistik, semiotika komunikasi visual, semiotika komunikasi massa, semiotika kode
budaya dan banyak lagi lainnya. Charles Sanders Peirce (1839-1914) adalah salah seorang
filosof Amerika yang paling orisinal dan multidimensional. Selain filsuf, Pierce adalah seorang
ahli logika. Menurut Pierce, tugas seorang ahli logika adalah memahami bagaimana manusia
bernalar. Sambil menyusun suatu teori mengenai bernalar, Pierce sampai pada keyakinan bahwa
manusia berpikir dalam tanda. Maka demikianlah ia sampai menciptakan ilmu tanda.
‘Semiotika’, baginya, sinonim dengan ‘logika’. Secara harfiah ia mengatakan: ‘kita hanya
berfikir dalam tanda’. Disamping itu ia juga melihat tanda sebagai unsur dalam komunikasi. Bagi
Pierce fungsi essensial sebuah tanda adalah membuat sesuatu menjadi efisien, baik dalam
komunikasi kita dengan orang lain maupun dalam pemikiran dan pemahaman kita tentang dunia.
Karya seni rupa dalam ragam perwujudannya tidak terlepas dari sistem penandaan atau
semiotika. Tanda dipakai oleh pengirim (sender) dan diterima oleh penerima (receiver), dan si
penerima memerlukan penafsiran terhadap tanda-tanda visual tersebut. Sebuah tanda sebenarnya
bukan “barang” atau benda, bukan ‘objek’ dalam pengertian umum, melainkan suatu hubungan
atau relasi.
c.       Tanda
Tokoh semiotika Peirce (dalam Aart Van Zoest; 1930) membagi jenis tanda berdasarkan ground
nya, yaitu (1) Quali-sign, (2) Sin-sign dan (3) Legi-sign.
Quali-Sign adalah tanda yang berdasarkan sifatnya, referent berdasarkan pengalaman seperti
‘merah’ yang berbeda sifat dengan ‘hijau’.
Sin-sign adalah tanda-tanda yang berdasarkan bentuk (rupa), tidak bisa begitu saja dihubungkan
dengan sebuah referent karena sin sign adalah super sign yang unik, inovatif, justru
menghadirkan referent baru yang belum diketahui sebelumnya.
Legi-sign adalah tanda berdasarkan peraturan yang berlaku umum, suatu konvensi, atau kode.
Suatu peraturan, konvensi, dan kode berlaku umum, terbatas dalam suatu lingkungan tertentu
yaitu lingkungan kebudayaan. Referensinya adalah suatu aturan tertentu, seperti repetisi.
Tanda melalui ciri-ciri khasnya mengarahkan interpretasi pada content yang dimaksud.
Qualisign Sin sign Legi sign.
Inti pekerjaan sebagai perancang (seniman, disainer, arsitek) yaitu menciptakan tanda-
tanda visual, tanda-tanda yang memvisualisasikan ‘sesuatu’ (ada referent = ide, maksud, pesan).
Jelas bahwa ide tersebut ada sebelum karya ada/apriori.
 di seni murni : aneka gagasan, angan-angan, perasaan yang jelas maupun yang tidak jelas, melalui
realisasi karya yang diformulasikan sehingga berbobot semantik.
 di arsitektur : unsur-unsur visual me-signifikasi masing-masing fungsi gedung, bersifat
informatif/denotatif, dan mengungkapkan hal-hal yang konotatif yaitu semantik.
 di desain produk : unsur-unsur visualisme-signifikasi sebuah fungsi, secara informatif/denotatif.
Desain hanya dapat dipakai bila tanda-tandanya dapat di dekodifisir, hanya sekali-sekali, bentuk
desain mengungkapkan hal yang di luar fungsi, yang bersifat semantik. Tapi khusus desain
grafis, tujuan desain adalah semantik, namun jarang berbobot filosofis (contohnya ; kartu
perkawinan)
d.      Tanda dalam Karya Seni
Penciptaan karya seni terwujud dari hasil ungkapan bathin penciptanya. Ungkapan bathin
ini tidaklah datang begitu saja tanpa proses pengalaman artistik dalam diri si seniman. Untuk
mendapatkan pengalaman artistik tersebut dapat dipelajari melalui latihan-latihan kepekaan jiwa
dalam menangkap gejala-gejala alam, gejala-gejala yang tumbuh dalam masyarakat lingkungan
dan bermacam gejala fisik lainnya.Unsur-unsur pembentuk pengalaman artistik antara lain
bersifat estetis tetapi juga non-estetis. Pengalaman artistik merupakan pengalaman yang
kompleks dan oleh seniman secara kreatif dapat dirangkum menjadi suatu hal yang berbentuk
seni.
Para ahli Semiotik mengatakan bahwa karya seni diciptakan ‘sebagai tanda’, lebih
tepatnya, sebagai ‘Super-Sign’, untuk ‘menyebut sesuatu’. Sesuatu itu ada pada generasi seniman
dekade-dekade terakhir ini tidak terbatas pada pengalaman pribadi. Upaya utama dalam seni
abad ini adalah merujuk pada jenis ‘arti’ dan ‘makna’, yang dapat ditangkap ataupun di rasakan,
secara ‘inter-subjektif’, bersifat ‘supra-personal’, justru untuk mengatasi subjektivisme dan
psikologisme yang berlebihan. Dengan kata lain, hal-hal yang ingin disebutkan di Seni Rupa,
Arsitektur, apa yang mereka tampilkan / visualisasikan adalah ‘nilai-nilai’ yang penting bagi
orang banyak, seakan-akan yang dicari adalah jenis ungkapan bagi nilai/arti, makna yang
objektif, sesuatu yang dianggap dapat mengikat anggota-anggota dari suatu kolektif/komuniti
tertentu. Sejauh mana seorang seniman sanggup memikirkan masalah-masalah zamannya, itulah
yang menentukan keberhasilan karyanya sebagai bahan bacaan/’teks’ yang membawa nafas
zaman, sehingga dapat dimengerti.
Karya seni termasuk dalam kategori tanda yang sengaja diciptakan sebagai tanda, dalam dua
rubrik :
1. untuk merepresentasikan obyek-obyek nyata (seni sebagai ikonografi, yaitu seni naturalistik,
realistik).
2. untuk memvisualisir atau menstimulir fungsi-fungsi mental tertentu (seni abstrak). Dalam hal ini
ikonositas mempunyai tingkat gradasi yang berbeda pada masing-masing aliran. Sebagai contoh;
sebuah lukisan abstrak atau patung abstrak adalah analog terhadap karakteristik acuan yang dapat
merupakan obyek nyata, atau ide abstrak, ataupun suasana mental (yang juga nyata).
Seorang seniman diharapkan menciptakan tanda-tanda visual-estetis yang dalam konsepsinya
kontemporer, yaitu berkaitan dengan problematik/pandangan yang aktuil di komuniti. Seni
mencatat ‘keyakinan’ maupun ‘kegelisahan’ yang dalam hal ini kata interpretasi dan ruang
interpretasi menjadi kata kunci.
e.       Seni Patung Modern
Dalam perkembangan seni rupa modern, abstrakisme yang menjadi salah satu alur
perkembangannya yang utama, sebenarnya bermula pada patung-patung Pablo Picasso yang
mengadaptasi bentuk-bentuk patung primitif Afrika. Seni patung modern menurut Herberd Read
diawali oleh Auguste Rodin (1840-1971). Loncatan yang berarti terjadi pada Picasso, terutama
pada karya awalnya “Kepala Wanita” yang bercorak kubistis dan juga pada Henry Matisse
dengan karya-karyanya yang bercorak arabeska, seperti dalam karya “Madeleine I” (1901).
Sifat-sifat karya patung mereka tersebut sudah jauh dari sekedar meniru alam (mimesis). Dalam
sejarah seni rupa modern, patung-patung Picasso yang memperlihatkan deformasi sangat jauh ini
dicatat mempengaruhi kubisme dalam perkembangan seni lukis yang kemudian disebut-sebut
sebagai tonggak penting perkembangan abstrakisme, sedangkan seni patung yang berperan
dalam melahirkan abstrakisme ini tidak pernah disebut-sebat sebagai perintis.
Sederet nama pematung modern (berawalnya dari Eropa), adalah Auguste Rodin, Pablo
Picasso, Henry Matisse, Paul Gauguin, Constantin Brancusi, Jean Arp, Naum Gabo dan Pevsner,
Henry Moore. Selanjutnya oleh tokoh-tokoh Kinetic Sculpture seperti; Len Lye, Lin Emery,
Ernest Trova, dan lainnya. Menurut Paul Klee karya-karya mereka bukanlah sekedar perwujudan
bentuk meniru alam atau segala fenomena yang kasat mata, melainkan lebih banyak
menghasilkan sesuatu dari dalam (dari dunia subyek) menjadi tampak oleh orang lain. Karena
yang terungkap adalah dunia subyektif yang sering sukar terkontrol oleh pengalaman orang lain,
maka tidaklah mustahil terlalu banyak ‘selubung’ yang menghambat terjadinya komunikasi.
Pada gerakan Constructivisme yang dipelopori Naum Gabo dan sejumlah pematung lainnya,
terdapat gejala yang mencoba mengeksploitir bentuk dan gerak.
Dasawarsa 1970 merupakan masa ‘pemberontakan’ dan ‘gerakan’ dalam seni rupa
modern Indonesia, tak terkecuali didalamnya usaha-usaha untuk mempersoalkan perkembangan
seni patung. Para seniman muncul dengan gejala baru dimana seniman memungut benda
keseharian dan benda temuan seperti benda-benda mainan, boneka, mobil-mobilan, sendal bekas,
kaleng, daun pisang, dan sebagainya, kemudian dimaklumat sebagai ‘benda estetik’ dan sah
untuk ditransformasikan sebagai seni.
2.3            Interpretasi Karya Seni Patung kontemporer oleh G sidharta
G.Sidharta adalah pematung modern yang dikenal memberontak pada paham modern
dengan mewarnai karya-karya patungnya (yang dianggap tidak setia terhadap watak bahan).
Sejumlah karyanya juga mengandung cerita yang dihindari oleh umumnya para seniman modern.
Kehadiran ornamen (pola-pola etnik) dan sapuan warna dalam karya patungnya ternyata tidak
saja memperkaya perkembangan, tetapi juga melahirkan friksi-friksi tajam dalam wacana seni
rupa. Karya-karya Sidharta menyiratkan ‘nafas tradisi’ yang sangat kuat. Perjumpaan Sidharta
dengan modernisme – menimba ilmu di ASRI Yogyakarta dan Jan van Eyck Akademie voor
Beeldende Kunsten Maastricht, Nederland – tak menepis seni tradisi dalam karyanya.
Sebagian besar karya Sidharta diungkapkan dengan menggunakan sistim penandaan yang
bersifat qualisign dan sebagian lagi dengan memanfaatkan sistem penandaan ikonogafi. Dalam
karyanya yang berjudul “Tumbuh Lima Duabelas Berkembang” (1986) Sidharta tidak lagi
terikat pada media dan rumus-rumus seni yang
195x20x20cm
kayu berwarna
1971

konvensional. Ia berusaha mengungkapkan irama dalam ruang dengan gerak tegak secara
legisign berbentuk tiang dan mengaitkan diri dengan jalur kehidupan tradisi,
50x60x8 cm
kayu berwarna
1971

selain tetap berdiri di alam kehidupan masa kini. Tanda-tanda visual yang hadir dalam karya
tersebut bersifat qualisign. Begitu juga pada karya “Lingkaran Pesan dari Timur” cenderung
mengolah unsur-unsur desain, konflik dan keselarasan. Karya dengan bahan tembaga

yang berukuran 120 x 120 x 120 cm itu berupa semacam gelang raksasa yang tidak bertemu
ujung dan pangkalnya. Pada tubuh gelang menempel empat potongan gelang serupa yang saling
silang. Susunan bentuk mengingatkan orang pada paham yin-yang, yang tanda-tandanya muncul
pada ujung-ujung potongan gelang tersebut.
Disamping Sidharta memanfaatkan tanda-tanda visual secara qualisign, ia juga banyak
menghadirkan sifat ikonografi atau bahkan gabungan dari kedua sifat tersebut dalam karya
patungnya. Misalnya patung yang bejudul “Keseimbangan dan Orientasi” (1996) dan “Dewi
Kebahagiaan III” (1999). Dalam pengolahan bentuk patung ini bersifat ikonografi, walau tidak
lagi hadir dalam wujud realis. Namun dalam memanfaatkan warna tidak lagi ikonografi akan
tetapi lebih bersifat qualisign.
2.4. Paradigma Perkembangan Seni patung Kontemporer di Indonesia
Dalam seni rupa Indonesia, istilah kontemporer muncul awal 70-an, ketika G. Sidharta
menggunakan istilah kontemporer untuk menamai pameran seni patung pada waktu itu. Suwarno
Wisetetromo, seorang pengamat seni rupa, berpendapat bahwa seni rupa kontemporer pada
konsep dasar adalah upaya pembebasan dari kontrak-kontrak penilaian yang sudah baku atau
mungkin dianggap usang. Pendapat lain dari Yustiono, staf pengajar FSRD ITB, melihat bahwa
seni rupa kontemporer di Indonesia tidak lepas dari pecahnya isu postmodernisme (akhir 1993
dan awal 1994), dimana sepanjang tahun 1993 menyulut perdebatan dan perbincangan luas baik
di seminar-seminar maupun di media massa pada waktu itu. Sedangkan kaitan seni kontemporer
dan (seni) postmodern, menurut pandangan Yasraf Amior Pilliang, pemerhati seni, pengertian
seni kontemporer adalah seni yang dibuat masa kini, jadi berkaitan dengan waktu, dengan
catatan khusus bahwa seni postmodern adalah seni yang mengumpulkan idiom-idiom baru.
Lebih jelasnya dikatakan bahwa tidak semua seni masa kini (kontemporer) itu bisa dikategorikan
sebagai seni postmodern, seni postmodern sendiri di satu sisi memberi pengertian, memungut
masa lalu tetapi di sisi lain juga melompat kedepan (bersifat futuris). (sumber :
www.sujud.tripod.com; A.Sudjud Darnanto Personal Website)
2.5 Seniman G Sudharta, Kurator Dan Hubungannya Dengan Sosial Ekonomi
W.S. Rendra melancarkan kritik pedas waktu itu. G. Sidharta telah mendahului
jamannya. Jadi sebenarnya G. Sidharta Soegijo adalah pelopor pembaruan di Jogyakarta. Namun
karena keadaan di Jogyakarta itu waktu tidak kondusif maka ia terpaksa harus meninggalkan
Jogya, kota asalnya yang telah memberikan bekal yang sangat berarti bagi perjalanannya sebagai
seniman.
Ia dapat tawaran dari ITB dan pindahlahlah Sidharta ke Bandung tahun 1965. Bersama
But Muchtar dan Rita Widagdo ia mendirikan jurusan patung di ITB. Sampai pensiun G.
Sidharta tak diangkat menjadi guru besar padahal beberapa rekan dari generasinya telah menjadi
profesor. Mengapa hal itu bisa terjadi? Apakah karena ia bukan alumni ITB namun alumni ASRI
Jogya yang merupakan antagonis ITB pada awal sejarah kedua akademi senirupa tersebut? Kita
tahu bahwa di awal berdirinya Akademi Gambar di Bandung dan ASRI Jogya ada ketegangan
antara kedua institusi tsb. Mereka saling mengritik. Sebab dipandang dari perjalanan
akademisnya, keahliannya, karya-karya seninya, jasanya dalam pendidikan ia pasti memenuhi
syarat untuk diangkat menjadi guru besar. Walaupun G. Sidharta sendiri tak pernah
mempermasalahkan hal ini.
Waktu Museum H. Widayat ingin menganugerahkan H. Widayat Art Award saya diminta
duduk dalam panitya seleksi. G. Sidharta Soegiyo dipilih secara sebagai favorit untuk mendapat
anugerah tersebut karena perjalanan kesenimannya, kontribusinya terhadap dunia seni-rupa
Indonesia, dedikasinya sebagai pendidik dan keberhasilannya sebagai pemimpin. Ia seniman
senior yang dihormati oleh semua kelompok dalam dunia seni-rupa. Ia pendiri ASPI (Asosiasi
Pematung Indonesia) dan menjabat sebagai ketuanya sampai achir hayatnya.
Saya beberapa kali duduk bersamanya dalam penjurian lomba patung publik. Yang
terachir adalah dalam tim seleksi lomba patung yang diadakan P.T. Djarum untuk memilih lima
patung yang akan ditempatkan di lima penjuru kota Kudus untuk merepresentasikan Kudus
sebagai kota Kretek. G. Sidharta mengetuai tim. Ada kritik dari seniman-seniman yang tak ikut
diundang untuk lomba ini terutama seniman lokal dari Kudus dan sekitarnya. Semua dihadapinya
dengan rasional dan dijawab dengan argumen yang jitu. Ia membuktikan diri sebagai pemimpin
yang berani bertanggung jawab. Ia berpengalaman dalam membuat patung publik maka tahu
betul aspek-aspek yang harus diperhatikan. Ia mengikut sertakan ahli bukan pematung seperti
arsitek kota karena untuk patung publik perlu adanya keserasian dengan lingkungan dimana
patung tersebut ditempatkan..
Keluarga Gregorius Sidharta adalah keluarga Katolik yang baik, maka bila menyangkut
patung-patung yang ada kaitan dengan agama katolik seperti penyaliban Kristus, G. Sidharta tak
ada tandingannya. Ia sangat menghayati penyaliban Kristus. Sering Sang Penebus tak dihadirkan
secara kasat mata namun spiritNya bisa dirasakan. Maka ia sering diminta membuat patung Salib
Kristus untuk gereja-gereja Katolik dan patungnya menarik perhatian karena berbeda dengan
patung Salib konvensional yang menghiasi gereja pada umumnya. Patung-patung Salib yang bisa
dikoleksi oleh kolektorpun mempunyai karakter yang sama dan kualitas yang seimbang dengan
patung Salib gereja.
Ia pernah mengeluh ketika pada suatu waktu melihat karyanya akan dilelang oleh sebuah
balai lelang nasional dalam jumlah banyak. Ia mengannggap balai lelang tersebut tidak peduli
akan senimannya karena dengan demikian harga bisa jatuh, hal mana sangat merugikan sang
seniman. Ia mempunyai wawasan, perhatian dan kepedulian yang sangat luas. Ternyata yang
dikuatirkannya kemudian benar terjadi.
G. Sidhartalah yang pertama kali menggunakan kata kontemporer dalam pameran
pertama Patung Kontemporer Indonesia di TIM Jakarta tahun 1973. Melihat kembali kiprah G.
Sidharta, sebenarnya dialah pelopor pembaruan seni-rupa Indonesia. Suatu ironi bahwa Jogya
yang sekarang berada di garda depan pembaruan seni-rupa Indonesia, itu waktu belum bisa
menerima Sidharta yang membawa pembaharuan dari Barat, sehingga ia harus hijrah ke
Bandung, walaupun achirnya ia pulang kandang setelah pensiun.
2.6 Gerakan Revitalisasi Dan Integrasi Etnosentrisme Oleh G. Sidharta Dalam
Menghidupkan Kembali Budaya Asli melalui seni patung
G. Sidharta tidak berhenti dengan apa yang ia dapat dari Barat, karena ia seorang yang
dinamis dan kreatif, tak pernah berhenti mencari hal-hal baru. Ia kemudian jenuh dengan
modernisme yang diperoleh dari Barat dan menggali kembali tradasi serta mengadopsinya
namun dengan penedekatan dan pengolahan baru. Ia beranggapan bahwa seni rupa modern
Indonesia harus menunjukkan ke Indonesiaannya di samping kemodernannya. Karena orang tak
pernah bisa mengingkari asal-usulnya. Maka muncullah patung-patungnya dari kayu yang
berbalut cat warna-warni yang mengandung elemen tradisi namun modern. Karya grafisnya
menunjukkan perubahan yang serupa.
Pada saat ini seniman-seniman muda kita malah banyak yang meniru gaya luar negeri
baik Barat maupun Timur terutama Cina dan melupakan tradisinya sendiri. Seniman-seniman
kontemporer seperti Heri Dono, Nindityo Adipurnomo, Ivan Sagito, Nasirun, Putu Sutawijaya,
Indiguerillas yang masih mempertahankan identitas ke Indonesiaannya tidak banyak. Mayoritas
tidak memperlihatkan lagi identitas Indonesia. Dari 15 Oktober 2009 sampai 10 Januari 2010 di
Centraal Museum Utrecht, Belanda, berlangsung pameran besar berjudul “Beyond The Dutch”.
Pameran ini menggambarkan perjalanan seni-rupa Indonesia sejak Raden Saleh, “Mooi Indie”,
Zaman Revolusi, Setelah Kemerdekaan sampai Hari Ini. Pameran tersebut ingin mengatakan
bahwa “Indonesia Hari Ini” sudah melampaui Belanda, tidak ada pengaruh Belanda sama sekali.
G. Sidharta yang pernah belajar di Belanda tahun 50an sebenarnya sudah “Beyond The Dutch”.
G. Sidharta Soegijo tidak pernah “pensiun”. Setelah pensiun dan kembali ke Jogya ia
malah tambah aktif memajukan dunia patung Indonesia. Ia mendirikan Asosiasi Pematung
Indonesia (API) dan menjadi ketuanya sampai achir hayatnya. Ia tetap mematung pula dan ketika
sudah sakit masih sanggup berpameran tunggal. Saya beruntung diminta G. Sidharta membuka
pameran tunggalnya di Hotel Santrian Bali walaupun ia tak dapat hadir karena baru selesai
mengalami operasi di Singapura. Ini adalah pameran tunggalnya terachir semasa hidupnya.
2.7 Tradisi dalam pengkaryaan G sidharta dibalik arus Prinsip Universalisme
Seni Dan Kecenderungan Modernisme Yang Sedang Dominan.

G Sidharta memiliki banyak pandangan dan sikap seni yang bisa dinilai ‘orijinal’, dan
kontroversial, pada masanya. Salah satunya yang penting ketika ia mengatakan: “Saya ingin
mengaitkan kembali dengan jalur kehidupan tradisi, di samping sekaligus tetap berdiri di alam
kehidupan masa kini, yang berarti satu keinginan untuk menghilangkan jarak antara kehidupan
tradisional dan masa kini.
Dalam hal ini say amemilih cara pendekatan melalui pergaulan yang terus menerus, yang
dekat dan akrab, dengan benda-benda, bentuk-bentuk, cerita, jalan pikiran dan segalanya yang
merupakan hasil dan pengungkapan cita-cita dari kehidupan dan pergaulan tradisional”(1.
Ketika ia meninggalkan Yogjakarta, awal tahun 1965, persoalan yang ada di benaknya
bukan soal tradisi yang ingin dijadikan pokok gagasan bagi karya-karyanya. Saat itu, ia justru
tengah jengah dengan lingkungan kerja kreatif di Yogjakarta yang dianggapnya kurang cocok
lagi bagi dirinya. Maka ketika ada tawaran untuk membuka dan mengajar di studio patung di
Bandung (seni rupa ITB) ia pun menerimanya. Pandangan Sidharta di atas itu justru muncul di
akhir tahun 1970’an, di Bandung, di tengah gemuruh prinsip universalisme seni dan
kecenderungan Modernisme yang sedang dominan. Bagi kecenderungan Modernisme,
sebagaimana juga dibayangkan oleh Marcel Duchamp pada awalnya, tradisi adalah pengertian
yang tak lagi aci bagi prinsip kebebasan dan penciptaan seni. Praktek estetika Formalisme sama
sekali tak mengizinkan hadirnya segala jenis bentuk di luar bentuk karena analisa formal
―apalagi bentuk yang ditujukan untuk menyatakan semacam cerita tertentu. Tak ada patung
yang berwarna-warni dengan berbagai ragam bentuk ornamen (sebagaimana yang dikerjakan
Sidharta saat itu), selain sejatinya sebuah karya dengan bentuk yang jelas, terukur, dan analitis.
Tradisi, bagi prinsip universalisme seni, dianggap ‘hanya’ bisa menyediakan asumsi-asumsi bagi
pokok nilai kebenaran yang bersifat lokal dan sektoral (karena sedemikian banyaknya tradisi
budaya yang ada di seluruh dunia). Karenanya tradisi dianggap gagal menyiapkan pokok prinsip
yang esensial yang dibayangkan mampu dirangkul seluruh proyek penciptaan seni yang bersifat
mendunia
.Kritikus dan sejarawan seni, Sanento Yuliman, yang juga jadi teman diskusi sekaligus
lawan berdebat Sidharta di Bandung meninggalkan catatan tentang pendirian Sidharta atas nilai
tradisi yang sering salah ditafsirkan banyak orang. Katanya: “ Dharta [begitu, Sanento
memanggilnya] termasuk seniman yang mencari pilihan lain di anatara pilihan “keuniversalan”
yang dominan itu. Tanpa meninggalkan gelanggang ia salah satu seniman yang masih
menyimpan semangat merdeka dan terus berusaha mencari rumusan lain bagi persepsi
kebudayaan dan sikapnya dalam berkarya
Saat ini satu dekade sudah kita meninggalkan pengalaman perkembangan seni rupa tahun
1990’an. Tentu kita masih ingat gemuruh arena biennale dan triennale internasional disepanjang
dekade 1990’an. Sejak akhir tahun 1980’an, arus utama perkembangan seni rupa dunia [dalam
hal ini adalah seni rupa Eropa-Amerika] seolah gemar bertakbir soal pentingnya nilai-nilai
‘perbedaan’ (difference) dan ihwal ‘ekspresi budaya’ (cultural context) dalam proses penciptaan
karya seni rupa. Prinsip universalisme seni divonis ‘keliru’ dan kecenderungan Modernisme pun
dianggap bangkrut. Tak aneh, ratusan seniman di seluruh penjuru dunia ramai mengamini sikap
kembali ke ekspresi budaya dan segala pikiran maupun cerita yang berwatak lokal. Toh kini, kita
pun juga tak pantas mengatakan bahwa pihak yang berbeda sikap dan pendirian dengan Sidharta
dahulu adalah tak benar, dan ternyata sikap Sidharta lah yang tak salah. Sesungguhnya, ihwal
bangkrutnya Modernisme dan bergeloranya segala soal yang disebut ekspresi Post-Modernisme
adalah masalah pembacaan mengenai logika perkembangan seni rupa; sedangkan upaya dan
pencapaian prestasi seniman seperti Anis Kapoor atau Yoko Ono, misalnya, tetap adalah soal
peran para inisiator dan pekerja seni yang gigih bagi perubahan. Jika kita bisa bersikap lebih
jernih, maka sesungguhnya tak ada yang lebih ‘benar’ atau lebih ‘salah’ diantara karya-karya
yang dikerjakan oleh Henry Moore dan Anis Kapoor, misalnya. Kita tentu tetap bisa melihat dua
jenis eskpresi ‘seni’ dari kedua pematung itu, meski memiliki dimensi persoalan yang berbeda.
Bagi saya, ada pokok soal Modernisme yang sering luput diperkarakan para seniman dan
pemerhati seni rupa yaitu apa pernah disinggung teoritisi budaya Raymond Williams. Katanya:
“Modernism can be clearly identified as a distinctive movement, always more immediately
recognized by what they are breaking from than what, in any simple way, they are breaking
towards”(3. Sikap ‘anti tradisi’ adalah pandangan yang terlalu menitik-beratkan pada ‘alasan’
(karena tradisi dianggap terlalu memberikan batasan), dibandingkan cara melihat persoalan
‘tujuan’ dari gerakan Modernisme seni. Dalam prinsip Modernisme sebenarnya tak ada yang bisa
dipisahkan dari alasan dan tujuan. Sebagian komentator dan teoritisi seni memang mengganggap
bahwa alasan dan tujuan Modernisme adalah utopia yang hanya berisi praktek kekuaasaan yang
tak berkeadilan dan akhirnya hanya akan menyisakan frustasi dan kemuskilan (nihilisme).
Dengan demikian maka gerakan seni Post-Modernisme adalah semacam harapan dan ideologi
‘pembebasan’. Di titik inilah kita temukan nilai penting mengenang sikap dua pesohor seni di
atas (Gombrich dan Duchamp), karena dari sikap keduanya itu kita bisa memahami betapa
penting dan kritisnya peran inisiatif para seniman. Bagi saya, tanpa ada sikap dan kesungguhan
para seniman maka segala soal seni akan ‘melulu’ jadi filasafat dan pemikiran. Bukankah
ekspresi seni jadi significant justru karena kita sadar hal itu berbeda dari cara penafsiran a’la
filsafat dan pemikiran? Pun kita tak perlu lagi menduga-duga: Apakah ekspresi seni harus
mengandung pemikiran atau tidak? Apa yang dipikirkan Duchamp maupun G Sidharta jelas
memiliki relevansi dengan nilai ‘ekspresi’ seni yang mereka geluti masing-masing.
Pameran ini menampilkan karya-karya yang dianggap bisa mewakili beberapa tonggak
pencapaian artistik G Sidharta, dan tentunya tak semua karya yang pernah dikerjakannya bisa
ditampung oleh presentasi pameran kali ini. Pokok penting yang hendak disasar oleh pameran ini
adalah juga soal peringatan, ihwal memaknai kenangan kerja keras yang dilakukan seorang
seniman. Selebihnya, kita bisa berharap: mudah-mudahan kita juga bisa mengambil pelajaran
dan manfaat dari pergulatan kreatif sosok Gregorius Sidharta Soegijo. Karya-karya yang
dipamerkan adalah lukisan, patung, grafis, dan beberapa dokumen visual karya-karya publik
yang pernah dikerjakan G Sidharta selama ia bekerja di Bandung, Yogjakarta, Jakarta maupun di
luar negeri. Kawan-kawan seniman di Asosiasi Pematung Indonesia bahkan berinisiatif lebih
jauh lagi dengan mengumpulkan dan menata barang-barang serta dokumen pribadi (milik
keluarga G Sidharta) untuk ditunjukkan kepada publik seni rupa secara luas. Judul pameran:
“Homage: G Sidharta Soegijo” jelas adalah ungkapan rasa hormat dan penghargaan dari para
seniman yang pernah menjadi sahabat, kawan, ‘lawan’ diskusi, atau murid G Sidharta, dan
tentunya sama sekali tidak bermaksud untuk mengkultuskan atau mengagungkan ihwal
sosoknya.
Saya pikir, G Sidharta tentu akan merasa bangga jika sikap kepeloporan dan kerja
kerasnya bisa jadi contoh bagi generasi seniman setelahnya. Lebih penting lagi, generasi seniman
setelahnya juga bisa menafsirkan secara positif apa yang telah dikerjakannya. Di tahun 1970’an,
di Bandung, ketika terjadi ‘wacana perselisihan pendapat’ (discourse of discord) soal ‘patung
berwarna’ yang dikerjakan G Sidharta, masing-masing pihak yang pro dan kontra saling
menyatakan argumennya dengan sengit. Tak ada satu orang pun yang merasa sakit hati, setelah
itu. Kini momen ‘discorse of discord’ semacam itu jadi kenangan manis dan berharga. G
Sidharta tentu bukannya tak bisa atau tak paham soal mengerjakan karya patung yang formalistik
(pada pameran inipun kita masih bisa menyaksikan contohnya), tapi ia hendak bergerak terus dan
menghidupkan, apa ditandai Sanento Yuliman sebagai, ‘semangat merdeka dan terus berusaha
mencari rumusan lain bagi persepsi kebudayaan dan sikapnya dalam berkarya’. Tentu era
‘ketegangan kreatif’ yang dialami oleh G Sidharta berbeda pada gejala dan prakteknya saat ini.
Namun, tidakkah semangat yang dicontohkannya adalah tauladan yang baik bagi para seniman
masa kini? di era ketegangan paradigma pasar seni yang bisa menghidupkan sekaligus juga
menjadikan lelah daya kreatif seorang seniman?
Jika soal teladan semangat telah dipancangkan, bagi kita pun ‘diwariskan’ jejak-jejak
pergulatan gagasan dan kreativitas G Sidharta dalam berbagai manifestasi karya. Pada konteks
persoalan ini, pandangan Roland Barthes soal ‘kematian sang seniman’ bisa kita pahami secara
produktif dan positif. Karya-karya G Sidharta tentunya telah menyiapkan kita kemungkinan
untuk berdialog dan menyatakan pandangan [yang bisa terpisah dari intensi G Sidharta yang
mengerjakannya]. Bagi kepentingan semacam ini pula dibutuhkan kemauan dan ‘keberanian’
kita untuk membayangkan-kembali dan menafsirkan secara produktif makna-makna di balik
karya. Lewat lorong penafsiran semacam ini, baik secara literal [dalam bentuk pensikapan
pendapat] maupun visual [dalam tanggapan bentuk penciptaan karya], dimensi semangat dan
kerja G Sidharta itu akan tiba pada lapangan makna-maknanya yang terus meluas.
Akhirnya, ekspresi seni memang kadang hadir bagai kabut misteri, yang seakan
menunggu untuk disiangi. Saya hendak menutup tulisan ini dengan ungkapan Mary Anne
Staniszewski, seorang peneliti seni yang rajin menarik kaitan seni dengan nilai budaya.
“’Kebenaran’ yang paling kuat dan jelas dalam berbagai kebudayaan”, ungkapnya, “sering
adalah segala sesuatu yang tak terkatakan dan tak dikenal secara langsung. Di era modern, hal ini
adalah kasus [pemahaman kita] tentang seni. Dengan melihat [karya-karya] seni, kita dapat mulai
memahami bagaimana tiap-tiap cara representasi kita [mengenai berbagai hal] membutuhkan
makna dan kekuatan”(4. Maka dinamika ekspresi karya-karya G Sidharta, sekali lagi,
mengajarkan pada kita ihwal kekuatan dan keteguhan sikap menjadi seorang seniman yang
sejatinya [turut] menentukan perubahan.
2.8 Seni Patung Kontemporer Dan Masyarakat Urban Serta Pengkultusan
Kultur
Seni rupa kontemporer melalui jaringan kebudayaan dan ekonomi global menyebar ke
seluruh dunia. Dibantu oleh kemudahan akses dan penyebaran informasi melalui teknologi
informasi mutakhir, paradigma seni rupa kontemporer menjadi kesadaran yang melingkupi
seniman di segala penjuru dunia, termasuk di Indonesia. Seni rupa kontemporer Indonesia
menjadi bagian dari global art-world. Belakangan, cukup banyak seniman kontemporer
Indonesia yang diundang pameran di galeri-geleri komersial di luar negeri. Cukup mudah
menjumpai seniman Indonesia hilir mudik di  art fair Internasional. Demikian pula para kolektor
selalu meng-update wawasan seninya dengan hadir di pameran-pameran dan art fair yang
penting. Tentu saja hal ini memberikan pengaruh besar dalam membentuk wajah seni rupa
kontemporer Indonesia.
Patung kontemporer Indonesia tak lepas dari pengaruh patung kontemporer global.
Sebagai mana telah diutarakan bahwa pengertian patung dalam seni rupa kontemporer hampir
tanpa batas. Batasan patung yang inklusif  menjadi pilihan yang masuk akal, sebab batasan yang
sifatnya eksklusif dan otoritatif tentu tak sesuai dengan semangat seni rupa kontemporer yang
plural dan “apapun boleh”. Mengacu pada teks klasik Kantian-Hegelian, Heinrich Wolfflin,
sejarawan seni asal Swiss, sudah sejak akhir abad sembilan-belas menyebutkan adanya dua “root
of style” yaitu,
“These are the visual or internal root, which is the link with previous art, and the social or
external root, which is the link with the contemporaneous surrounding culture.”[xi]
Dalam seni rupa kontemporer tampaknya akar yang lebih dominan adalah social atau external
root. Hal itu dijelaskan oleh Thomas McEvilley dalam bukunya Sculpture in the Age of Doubt,
“The many avenues shunned by Modernist art history as growing from the nonvisual external
root are now being explored in art history text and classrooms. These include the classic social
triad (race, class, and gender); political contents encompassing repressed ideological subtext;
difference in general, especially ethnic differences and community identities; the mystery of
representation and it secret agenda; and so on. Thus the age of doubt has opened itself precisely
to those experiences the previous age of certainty had condemned and avoided.”[xii]
Namun demikian, pengaruh dari akar visual pun agaknya memainkan peranan penting
dalam seni rupa kontemporer. Aspek visual dalam kebudayaan kontemporer sangat dominan.
Dunia kita adalah dunia yang dibentuk oleh citraan. Sehari-hari kita diserbu oleh beragam
citraan, seperti media massa, dunia hiburan, iklan, televisi, barang cetakan, komoditas produk.
Hal ini tentu saja mempengaruhi pola pikir dan persepsi visual masyarakat masa kini. Populernya
istilah dan kajian visual culture menunjukkan hal itu. Walaupun visual culture lebih merujuk
pada kenyataan dua dimensi, namun hal itu juga tidak lepas dari realita tiga dimensi. Rangkaian
citraan iklan di ruang urban membentuk persepsi kita mengenai karakter ruang urban. Demikian
pula, aneka produk industri dan iklan-iklan tiga dimensi juga menjadi kenyataan visual yang
menyerbu keseharian kita. Di sisi lain, jika citraan dua dimensi memang bisa dibilang dominan,
bisa jadi kejemuan terhadap dominasinya memicu transformasi/transmutasi citraan dua dimensi
menjadi tiga dimensi. Setidaknya hal itu tampak dalam seni rupa kontemporer, banyak karya
patung yang merupakan transmutasi dari citraan atau karya dua dimensi.
Pada kenyataannya, baik akar visual maupun akar sosial menjadi dasar penting bagi
perkembangan patung kontemporer Indonesia. Bahkan dalam beberapa hal, kedua akar tersebut
merupakan pengaruh yang telah menyatu. Misalnya, pada saat warisan kebudayaan material
(material culture) tradisional menjadi sumber atau perkara yang dipersoalkan oleh seniman
kontemporer Indonesia. Budaya material tradisional menawarkan sekaligus keduanya: aspek
visual maupun aspek sosial. Demikian pula dengan tema kebudayaan popular yang digandrungi
oleh seniman kontemporer, sekaligus menyediakan kedua perkara tersebut: visual dan sosial. 
Dalam konteks seni rupa kontemporer, sepertinya istilah “sumber” lebih tepat daripada istilah
“akar”,  sebab yang menjadi bahan bakar penciptaan para seniman kontemporer adalah segala
sumber visual maupun (persoalan) sosial.
Setelah “pokok persoalan” dan “genre visual” didapat, maka yang selanjutnya dibutuhkan
oleh seniman untuk menghasilkan karya patung adalah menetapkan  “presentasi” dan
materialnya. Kemungkinan presentasi dalam seni patung bisa cukup luas: monolit atau instalasi;
dalam atau luar ruangan; menggunakan base, atau tidak,  atau digantung; di tengah ruang atau
menempel di dinding, interaktif atau tidak; ukuran, dan seterusnya. Demikian pula pilihan
material hampir tak ada batasnya. Setiap material yang ada dalam kebudayaan manusia mungkin
untuk dijadikan material patung kontemporer. Tentu saja kemungkinan pokok persoalan,
presentasi dan pilihan material juga bergantung pada trend. Setidaknya situasi tersebut tersebut
bisa kita runut melalui perkembangan patung kontemporer Indonesia sejak tahun 90-an.
Tema sosial-politik merupakan subject matter penting dalam seni rupa kontemporer
Indonesia tahun 90-an, pada saat seniman-seniman Indonesia mulai terlibat dalam gelaran seni
rupa Internasional. Karya-karya instalasi merupakan tampilan yang lebih menonjol dibandingkan
lukisan. Hal itu bisa kita lihat misalnya pada Bienal Jakarta IX, yaitu bienal yang juga
diramaikan dengan polemik seni posmodern. Demikian pula pada pameran  “tradition and
tension” di New York tahun 1996 yang menampilkan seni rupa kontemporer dari lima negara
Asia. Hal yang sama tampak pada pameran “Awas :Recent art from Indonesia”. Konten sosial-
politik menjadi tema yang sesuai bagi seni rupa kontemporer. Hal itu menjadi identitas (lokal)
seni rupa kontemporer Indonesia. Sementara instalasi banyak dipilih karena memang sedang
trend dan merupakan alternatif kritikal bagi seni lukis “dekoratif” yang ketika itu sedang
booming.
Pada paruh pertama dekade awal abad dua puluh satu, seni lukis kembali dominan. Hal
ini tak lepas dari pengaruh tumbuhnya pasar seni rupa kontemporer Indonesia sebagai bagian
dari pasar seni rupa regional dan global. Bermunculannya galeri komersial baru. Rumah lelang
Internasional mulai melirik seniman-seniman kontemporer Indonesia. Dipicu oleh permintaan
yang tinggi terhadap karya-karya lukis old master—yang suplainya sangat terbatas—seni  lukis
kontemporer Indonesia tumbuh pesat. Beragam tema dengan nyaman diterapkan pada
permukaan kanvas. Booming seni lukis semakin menyuburkan “produksi” seni lukis. Belakangan
mulai muncul  “kejenuhan” pada lukisan. Baik pasar maupun seniman sadar akan hal itu. Salah
satu upaya mensikapi situasi tersebut adalah  dengan men-diversivikasi “produk” artistik.
Muncul fenomena menarik, para pelukis mulai menghasilkan karya-karya patung dalam berbagai
kemungkinan. Tentu saja hal ini juga dipicu oleh para seniman yang sukses di pasar yang sejak
awal karirnya merupakan seniman hybrid, menghasilkan baik karya dua dimensi maupun tiga
dimensi.
Semakin cairnya identitas kesenimanan dan batasan seni patung, menjadi semacam
pembenaran bagi para pelukis untuk menghasilkan karya patung. Hal itu sedikit banyak juga
dipengaruhi oleh semakin cairnya batasan seni—dalam seni rupa kontemporer. Pengaruh pop
art, yaitu bocornya cita rasa seni populer pada seni tinggi, atau tumpang tindih antara pelaku seni
popular dengan seni tinggi, seperti low-brow, mendorong dihasilkannya beragam karya-karya
patung yang jauh dari frame seni patung modern. Karya-karya tokoh komik, mainan atau produk
branded muncul sebagai karya seni—kerap disebut commodity sculpture—dan  meramaikan seni
patung kontemporer Indonesia.
Berbeda dengan seni lukis yang sangat dibatasi oleh bidang kanvas, maka seni patung
meyediakan alternatif yang sangat luas. Kemungkinan seni patung tidak didefinisikan oleh
pengertian patung, namun oleh kemungkinannya dalam kebudayaan masa kini, sebagaimana
dikatakan Krauss,
“For, within the situation of postmodernism, practice is not defined in relation to a given
medium—sculpture—but rather in relation to the logical operation on a set of cultural terms, for
which any medium—photography, books, lines on walls, mirrors, or sculpture itself—might be
used.”
Logika yang bisa kita tarik dari pernyataan Krauss adalah bahwa bukan penetapan karya
sebagai karya patung (kontemporer) yang menjadikannya istimewa, namun relasinya dengan
persoalan “kondisi” kultural. Dalam konteks masa kini, kondisi kultural bisa diartikan segala
persoalan dalam kebudayaan global. Karena itu bisa dikatakan segala ideologi kesenian bisa
diterapkan melalui seni patung kontemporer.
Para pelukis yang menghasilkan karya patung kebanyakan menerapkan tema dan gaya
lukisannya pada karya patungnya. Itu sebabnya, bisa dikatakan terjadi transmutasi dari karya dua
dimensi menjadi karya tiga dimensi. Saya menyebut karya-karya tersebut sebagai karya patung
tanpa “beban”. Hal ini memunculkan “anggapan” bahwa mudah saja menghasilkan karya patung,
khususnya bagi para pelukis, cukup “men-tigadimensi-kan” object atau subject matter dalam
karya lukisnya. Bagi para seniman tersebut tidak ada aspek “esensial” atau “konsep dasar” seni
patung. Hal ini tentu berbeda dengan keyakinan para pematung “akademik”, yaitu para pematung
lulusan pendidikan seni patung.
Pada akhirnya, perkara tema dan medium adalah perkara pilihan. Karena itu, seniman-
seniman keramik dan serat, contohnya di Barat—karena  konstruk sejarah (dikotomi art and
craft)—dianggap   sebagai bukan bagian dari seni tinggi, di Indonesia dengan mudah menjadi
bagian seni patung. Dalam seni rupa modern dan kontemporer Indonesia seniman keramik tak
mendapatkan stigma sebagai craft-artist sebagaimana dalam medan seni rupa Barat. Karena itu
para seniman keramik, serat, kayu, logam dan perhiasan yaitu para seniman yang dalam ruang
lingkup pendidikan tinggi seni rupa diletakkan dalam program studi kriya (craft), juga
merupakan seniman-seniman yang memperkaya wajah patung kontemporer melalui karya-karya
non-fungsionalnya. Karya-karya mereka kerap dikategorikan sebagai karya “objek”, karena
memiliki trayek perkembangan di luar seni patung modern.
Wacana seni patung tak bisa dilepaskan dari perkara ruang (space) dan material. Karena itu
eksistensi seni patung kerap direndengkan dengan bangunan, dan tentunya keberadaan arsitek.
Sudah cukup lama di Barat, para arsitek dan karyanya menjadi bagian wacana seni patung
modern dan kontemporer. Belakangan ini, para arsitek dan desainer kerap diundang untuk
memperkaya wajah patung kontemporer di Indonesia. Nama-nama seperti Budi Pradono,
Leonard Theosubrata mulai akrab dengan dunia seni rupa. Demikian pula para desainer, baik
dari dunia fashion dan iklan saat ini kerap terlibat dalam pameran seni rupa kontemporer.
Khususnya dalam patung kontemporer keterlibatan para desainer produk atau interior merupakan
kemungkinan yang menantang. Setidaknya istilah furniture-sculpture—yang sudah lama beredar
dalam wacana patung kontemporer Barat—menunjukkan  kemungkinan tersebut.
  DALAM gerak hidup dan kehidupan, terdapat peristiwa-peristiwa.Peristiwa demi
peristiwa mengisi waktu dan ruang selaksa abadi. Tiga peristiwa  terpenting yang selalu dialami
(diarasakan, dipikirkan) oleh manusia, adalah peristiwa budaya, peristiwa alam dan peristiwa ke-
Tuhanan. Ketiganya, dalam proses dialogisnya kemudian melahirkan kultur yang kultus atau
kultus yang dikulturkan dari waktu ke waktu pula.
Kultur, kulturisasi, inkulturasi, enkulturiasi, akulturasi merupakan proses jejak
kebudayaan manusia.Dinamika kebudayaan telah dan akan melahirkan jejaring dan jaringan
yang berbentuk tatanan-tatanan sesuai dengan tuntutan zaman. Proses berkebudayaan dapat
dengan berbagai bentuk, misalnya bentuk kultur ekstentif dan kultur jaringan biosif. Kultur
ekstensif berwujud strategi pemeliharaan, pembudidayaan, misalnya kultur  pembudidayaan
dengan intensitas rendah, seperti yang dilakukan komunitas kolektif manusia di kalangan bawah,
petani, buruh dan sebagainya. Sedangkan pada kultur jaringan biosif, proses kebudayaan
direkayasa untuk mempercepat pertumbuhan jaringan lewat media tumbuh yang diatur
sedemikian rupa sesuai dengan kondisi masyarakat manusia kolektif tersebut.
Perlu diketahui dalam proses kebudayaan tersebut baik yang ekstensif dan biosif
menimbulkan pola kultus (pengkultusan) kepada seseorang, yang dianggap memiliki keluhuran,
ia bisa berupa para cerdik cendikia, ulama, pastur, ilmuwan, teknokrat, seniman, raja, presiden.
Kultus yang memang memiliki arti pemujaan, pendewaan terkadang dilakukan dengan sembrono
dan berlebihan. Robertson mengatakan, bahwa kultus adalah terminologi yang mengklaim
kepada seseorang yang dianggap paling benar, terbenar. Yinger mengatakan, bahwa kultus
adalah gerakan new religion pada kelompok tertentu yang bersifat doktriner, dan terkadang
menyimpang atau menyempal dari religi besar tertentu pula. Pada intinya, munculnya kultusisasi
pada diri seseorang, karena adanya anggapan bahwa seseorang tersebut memiliki tingkat spiritual
revolusioner.
Pada masyarakat yang majemuk, baik yang ortodoks dan protestan, yang modern maupun yang
kolot, yang kampungan maupun yang metropolitan, yang mukmin maupun yang kafir, yang
konvensional dan kontemporer dipastikan muncul adanya kulturisasi kultus atau pengkultusan
yang dikulturisasikan.
Dalam peristiwa budaya misalnya, munculnya kulturisasi kultus disebabkan oleh adanya
kekhawatiran pada sebagian besar manusia perihal akan masa lalu dan masa depannya, ketakutan
akan hidup dan matinya, atau jatuh bangkit bangunnya. Secara umum manusia memang makhluk
unik yang dilematis, satu sisi diciptakan menjadi pemberani, sisi yang lain memiliki ketakutan,
kepengecutan dan kepengkhianatan. Dilema dua muka atau dua sifat inilah, hidup manusia serba
tergesa-gesa, sekaligus ragu-ragu untuk mencapai puncak tangga tertentu, misalnya. Dan puncak
tangga itu adalah kesuksesan hidup material jasmanial dan spiritual rohanial. Manusia dengan
akal dan nafsunya, terkadang memuji peristiwa budaya ciptaannya dan juga terkadang memaki
peristiwa yang dialaminya. Dalam menghadapi peristiwa- peristiwa utamanya budaya, manusia
ada yang melakoninya penuh dengan ketelatenan dan kejelian. Tetapi juga sering dilaluinya
penuh dengan intrik-intrik yang berlawanan dengan akal sehat, keduanya akan mempengaruhi
proses pelakonan-pelakonan atas peristiwa budaya mulai dari masa kecilnya sampai masa
tuanya. Peristiwa budaya tumbuh bersama pola pikir  dan pola dzikr ( per-ingatan ) seseorang.
Dan seseorang tersebut kemudian diklaim memiliki sesuatu yang dianggap mulia tadi. Dari sini,
muncul proses peristiwa budaya kala kultur kultus. Pengkultusan yang disertai pengkulturan
dapat terjadi pada ranah peristiwa kebudayaan dan cabang-cabang cakupan dan kajiannya,
misalnya pada cabang cakupan dan kajian ekonomi, agama, bahasa, politik, adat istiadat, mata
pencaharian, teknologi, seni dan ilmu pengetahuan ( pinjam urutan versi Koentjaraningrat)
Coba simak peristiwa budaya yang diciptakan manusia yang mengandung kulturisasi
kultus tersebut, misalnya ketika  manusia “terperangkap atau  sedang tertarik” pada peristiwa
budaya politik, maka dari waktu kewaktu, yang digagas hanyalah persoalan politik belaka
dengan segala plus minusnya.Dibenak manusia hanya ada satu yang dianggap terpenting pada
saat itu, yakni persoalan politik. Politik akhirnya menjadi kultus, dipuja dan didewakan. Dari
sikap dan sifat “pengelebihan” pada peristiwa budaya ciptaan manusia, selanjutnya terjadi
korelasi dan relasi konsep atau kata kalimat yang dimainkan, dengan terasa “mengasyikkan
sekaligus membingungkan”, misalnya permainan kata seni politik, politik seni, kesenian politik,
politisasi kesenian, kesenian yang dipolitisir, seni berbau politik yang menimbulkan permainan
kata yang berlebihan yang berbau kultusiasi konsep dan kata yang dilontarkan seseorang yang
ahli politik, misalnya. Belum lagi misalnya permainan kata yang melahirkan sikap cultism,
seperti agama politik, politik ekonomi, bahasa politik, ilmu politik, sosial politik dan sebagainya.
Keterperangkapan dan ketertarikan pada permainan korelasi dan relasi atas konsep kata tersebut,
kemudia lahirlah ribuan pemikir politik yang “bermain” menggila dan dicatat oleh sejarah yang
cenderung menciptakan kekulturan yang mengkultus, sebutlah misalnya, mulai dari pemikir
politik yang eksentrik Socrates, Plato, Aristoteles, Epicurus, Zeno, Cicero, Seneca, Plotinus,
Agustinus, Salisbury,Ibnu Sina, Ibnu,Khaldun, Prapanca, Machiavelli, Jean
Bodin,Spinoza,Montesque, Rousseau, Immanuel Kant,David Hume,De Bonald, Hegel,Joan
Stuart Mill, Nietzsche, Lenin, Hitler, Mussolini, Salazar, Gandhi, Mao Tse Tong sampai
Sukarno. Orang-orang ini ( yang dikemudian hari dikultuskan ) mengabdikan sepanjang
hidupnya untuk mendalami dengan tujuan mempengaruhi manusia lainnya melalui peristiwa
politik.

BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
1. Patung adalah jenis karya seni dalam wujud tiga dimensi. Dalam era industri dan teknologi
yang semakin canggih sekarang ini, karya-karya seni patung hadir dan ikut memberikan
interpretasinya atas dampak era tersebut. kontemporer; masa kini, sewaktu, sejaman, waktu yang
sama dengan pengamat saat ini
2. Berikut ini adalah karakteristik dari seni rupa kontemporer, yaitu :
a. Adanya pluralism dalam estetika, dalam prakteknya seniman
mendapatkan kebebasan untuk berorientasi pada masa depan, masa lalu
ataupun sekarang.
b. Berorientasi karya bebas, tidak menghiraukan batasan-batasan kaku seni
rupa yang dianggap baku.
c. penggunaan media atau bahan apapun dalam berkarya seni
d. Berani menyentuh situasi sosial, politik dan ekonomi masyarakat yang
sedang, pernah ataupun mungkin akan terjadi
3. G Sidharta memiliki banyak pandangan dan sikap seni yang bisa dinilai ‘orijinal’, dan
kontroversial, pada masanya. Salah satunya yang penting ketika ia mengatakan: “Saya ingin
mengaitkan kembali dengan jalur kehidupan tradisi, di samping sekaligus tetap berdiri di alam
kehidupan masa kini, yang berarti satu keinginan untuk menghilangkan jarak antara kehidupan
tradisional dan masa kini
Akhirnya, ekspresi seni memang kadang hadir bagai kabut misteri, yang seakan
menunggu untuk disiangi. Saya hendak menutup tulisan ini dengan ungkapan Mary Anne
Staniszewski, seorang peneliti seni yang rajin menarik kaitan seni dengan nilai budaya.
“’Kebenaran’ yang paling kuat dan jelas dalam berbagai kebudayaan”, ungkapnya, “sering
adalah segala sesuatu yang tak terkatakan dan tak dikenal secara langsung. Di era modern, hal ini
adalah kasus [pemahaman kita] tentang seni. Dengan melihat [karya-karya] seni, kita dapat mulai
memahami bagaimana tiap-tiap cara representasi kita [mengenai berbagai hal] membutuhkan
makna dan kekuatan”(4. Maka dinamika ekspresi karya-karya G Sidharta, sekali lagi,
mengajarkan pada kita ihwal kekuatan dan keteguhan sikap menjadi seorang seniman yang
sejatinya [turut] menentukan perubahan.
Patung kontemporer Indonesia tak lepas dari pengaruh patung kontemporer global. Sebagai mana
telah diutarakan bahwa pengertian patung dalam seni rupa kontemporer hampir tanpa batas.
Batasan patung yang inklusif  menjadi pilihan yang masuk akal, sebab batasan yang sifatnya
eksklusif dan otoritatif tentu tak sesuai dengan semangat seni rupa kontemporer yang plural dan
“apapun boleh”.
Kultur, kulturisasi, inkulturasi, enkulturiasi, akulturasi merupakan proses jejak
kebudayaan manusia.Dinamika kebudayaan telah dan akan melahirkan jejaring dan jaringan
yang berbentuk tatanan-tatanan sesuai dengan tuntutan zaman. Proses berkebudayaan dapat
dengan berbagai bentuk, misalnya bentuk kultur ekstentif dan kultur jaringan biosif. Kultur
ekstensif berwujud strategi pemeliharaan, pembudidayaan, misalnya kultur  pembudidayaan
dengan intensitas rendah, seperti yang dilakukan komunitas kolektif manusia di kalangan bawah,
petani, buruh dan sebagainya. Sedangkan pada kultur jaringan biosif, proses kebudayaan
direkayasa untuk mempercepat pertumbuhan jaringan lewat media tumbuh yang diatur
sedemikian rupa sesuai dengan kondisi masyarakat manusia kolektif tersebut.

DAFTAR PUSTAKA
https://www.google.co.id/search?
q=kuratorial+karya+patung+sidarta+pdf&iorg.mozilla:en-US:official&client=firefox-a
https://www.google.co.id/search?q=kritik+atas+patung+karya+G.Sidharta+pdf&iefirefox-
https://www.google.co.id/search?q=kritik+atas+patung+karya+G.Sidharta+pdf&ie676
http://sigiarts.com/exhibitions/pameran-besar-patung-kontemporer-indonesia-ekspansi.html
http://surgakhayalan.blogspot.com/2012/07/gregorius-sidharta-soegijo-biografi.html
http://1000harigsidharta.blogspot.com/
http://indonesiaartnews.or.id/index.php
http://diart-senipatung.blogspot.com/2009/02/ruang-interpretasi-dalam-karya-seni.html
http://lisa-widiarti.blogspot.com/

Anda mungkin juga menyukai