Anda di halaman 1dari 20

Seni Rupa Tradisional, Modern

dan Kontemporer
Posted on 24 May 2011 by elfaroeq

A. Seni Rupa Tradisional

Istilah tradisional berasal dari kata “tradisi” yang menunjuk kepada suatu institusi, artefak,
kebiasaan atau prilaku yang didasarkan pada tata aturan atau norma tertentu baik secara tertulis
maupun tidak tertulis yang diwariskan secara turun temurun dari suatu generasi ke generasi
berikutnya. Berdasarkan pengertian tersebut, maka secara singkat dapat dikatakan bahwa karya
seni rupa tradisional adalah karya seni rupa yang bentuk dan cara pembuatannya nyaris tidak
berubah diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Bukan hanya itu, nilai dan
landasan filosofis yang berada dibalik bentuk karya seni rupa tradisional tersebut pun umumnya
relatif tidak berubah dari masa-ke masa. Bentuk-bentuk seni rupa tradisional ini dibuat dan
diciptakan kembali mengikuti suatu aturan (pakem) yang ketat berdasarkan sistem keyakinan
atau otoritas tertentu yang hidup dan terpelihara di masyarakatnya. Dalam konteks
perkembangan seni rupa di Barat (Eropa), istilah seni rupa tradisional ini menunjukkan pada
otoritas penguasa agama (gereja), raja dan para bangsawan. Para seniman tradisional
menciptakan karya berdasarkan keinginan atau aturan yang telah ditetapkan sesuai ”selera”
institusi-institusi tersebut dan berlangsung dalam rentang waktu yang panjang, sepanjang
kekuasaan institusi-institusi tersebut.

Berdasarkan pengertian seni tradisional yang telah disebutkan di atas, kita menjumpai berbagai
karya seni rupa di Indonesia khususnya karya-karya seni kriya dapat dikategorikan sebagai karya
seni rupa tradisional. Banyak sekali benda-benda kriya yang tersebar dikepulauan Nusantara,
yang bentuk, bahan dan cara pembuatannya hingga saat ini tidak mengalami perubahan yang
berarti sejak pertama kali diciptakannya. Karya-karya seni tradisi ini umumnya hidup di
lingkungan masyarakat yang masih kuat memegang norma atau adat istiadat yang diwariskan
para leluhurnya. Perubahan umumnya terjadi pada fungsi dari benda-benda kriya tersebut yang
semula berfungsi sebagai benda pakai atau benda-benda pusaka kini menjadi benda hias atau
cindera mata. Perubahan sistem sosial dan budaya masyarakat serta kemajuan teknologi berperan
besar mempengaruhi perubahan fungsi benda-benda tersebut.

Pada perkembangan selanjutnya dalam konteks seni rupa dunia, istilah seni rupa tradisional
kerap ditujukan kepada karya seni rupa non Barat. Sifatnya yang mentradisi dan tidak berubah
ini menjadi pembeda utama dengan karya seni rupa Modern yang senantiasa menuntut inovasi
dan kebaruan. Ciri lain dari karya-karya seni rupa tradisional ini adalah latar belakang penciptaan
atau pembuatannya yang senantiasa terikat oleh fungsi atau konteks tertentu. Pada karya-karya
komunal seperti itu, peran ekspresi individu senimannya nyaris tidak tampak. Hak penciptaan
karya seni rupa bukan milik perorangan tetapi milik masyarakat pendukungnya. Dengan
demikian hampir tidak ada karya seni rupa tradisional yang menggunakan inisial pembuatnya
seperti yang umumnya terdapat pada karya-karya seni Modern.
Karya seni rupa tradisional tersebar luas dari ujung Barat hingga ujung Timur kepulauan
Nusantara (Indonesia). Sejak masuknya kolonialisme barat (penjajahan bangsa Eropa) ke
kepulauan Nusantara dan berkembangnya paham seni rupa Modern di Eropa, maka karya-karya
seni rupa Nusantara di luar kategori karya yang menggunakan konsep Modern tersebut
dikategorikan sebagai karya seni rupa tradisional. Pengkategorian ini dalam pandangan yang
sempit seringkali digunakan untuk menunjukkan karya seni rupa yang bermutu tinggi (modern)
dengan karya yang bermutu rendah (tradisional). Pengaruh penjajahan bangsa Barat yang cukup
lama di kepulauan Nusantara menyebabkan pandangan semacam ini terus berkembang yang
memandang karya-karya seni kriya (seni rupa tradisional) lebih rendah dari karya seni lukis atau
patung modern. Hal tersebut tidak terlepas dari pandangan sebagian masyarakat yang
memandang modern identik dengan kemajuan dan perkembangan sedangkan tradisional identik
dengan stagnasi, kuno atau ketinggalan jaman. Sikap dan cara mengapresiasi yang keliru ini
seringkali menyebabkan karya-karya seni rupa tradisional yang sesungguhnya bernilai tinggi
terabaikan dan terlupakan. Padahal karya-karya seni rupa tradisional Nusantara ini memiliki
peluang yang sangat besar untuk dikembangkan dan menjadi gagasan dalam berkarya seni rupa.
Apresiasi yang tepat diharapkan dapat menghasilkan inovasi karya-karya seni rupa yang
memiliki cirikhas Indonesia.

B. Karya Seni Rupa Modern

Seni rupa Modern adalah istilah umum yang digunakan untuk kecenderungan karya seni yang
diproduksi sejak akhir abad 19 hingga sekitar tahu 1970 an. Seni rupa modern menunjuk kepada
suatu pendekatan baru dalam seni dimana tidak lagi mementingkan representasi subjek secara
realistik—penemuan fotografi menyebabkan fungsi penggambaran di dalam seni menjadi
absolut, para seniman modern berksperimen mengeksplorasi cara baru dalam melihat sesuatu,
dengan ide segar tentang alam, material dan fungsi ini, seringkali bergerak melaju kearah
abstraksi.

Istilah Modernisme sendiri menunjukkan ideologi yang mempengaruhi gerakan budaya, politik
dan seni yang menyertai perubahan masyarakat di Barat pada akhir abad 19 dan awal abad 20.
Secara meluas, modernisme dideskripsikan sebagai satu seri pergerakan budaya progresif dalam
seni rupa, arsitektur dan musik, literatur dan seni pakai yang muncul dalam dekade sebelum
1914. tercakup di dalam perubahan dan kehadirannya, modernisme menjadi arah karya seniman,
pemikir, penulis dan perancang yang memberikan label baru tradisi akademi dan sejarah seni
pada akhir abad 19 serta mengkonfrontasi aspek ekonomi, sosial dan politik baru yang
dimunculkan dunia modern.

Memahami seni rupa modern dapat juga dengan melakukan analisis terhadap istilah
pembentuknya yaitu ”seni” dan ”modern”. Istilah seni umumnya merujuk pada segala kegiatan
dan hasil karya manusia yang mengutarakan pengalaman batinnya yang karena disajikan secara
unik dan menarik memungkinkan timbulnya pengalaman atau kegiatan batin pula pada diri orang
lain yang melihat dan menghayatinya. Hasil karya ini lahir bukan karena didorong oleh hasrat
memenuhi kebutuhan hidup manusia yang paling pokok, melainkan oleh kebutuhan spiritualnya,
untuk melengkapi dan menyempurnakan derajat kemanusiaannya. Dengan batasan seperti ini
kita dapat mencoba untuk menunjukkan benda apa saja yang layak untuk disebut seni dapat
masuk ke dalamnya. Adapun istilah “modern” dalam hal ini tidak selalu harus dihubungkan
dengan waktu. Sarah Newmeyer misalnya, walaupun terasa agak absurd, menulis dalam bukunya
bahwa seni modern itu boleh jadi berupa gambar bison yang digoreskan 20.000 tahun yang lalu
dan boleh jadi juga karya Picasso yang baru saja diselesaikan pagi ini.‟ Berdasarkan pendapat ini
jelaslah bahwa ia menggunakan istilah modern tidak dalam hubungannya dengan kronologi
melainkan dimaksudkan untuk menunjukkan sesuatu kelompok karya yang memifiki sifat-sifat
tertentu. Maka sifat-sifat tertentu itulah yang dapat dipandang sebagal ciri khas seni modem
sehingga dengan mudah akan dapat dikenali mana yang bisa digolongkan dalam seni modern dan
mana yang tidak. Dengan ungkapan itu sesungguhnya artian modern tersebut diperluas tetapi
sekaligus juga dipersempit. Diperluas, karena istilah itu menyangkut juga seni prasejarah dan
dipersempit karena sebaliknya, belum tentu apa yang dilukiskan sekarang dapat masuk di
dalamnya. Apabila kita ingin membenarkan kata-kata Newmeyer tersebut, dapatlah dikatakan
bahwa setidaknya pada saat diciptakan, seni prasejarah ini memang memifiki sifat-sifat modern.
Kalaupun secara kronologis kita akan membatasi daerah seni modern ini dan menyempitkan
pada karya-karya yang diciptakan pada apa yang biasa kita sebut sebagai jaman modern, kita
akan juga mengalami kesukaran, yaitu di mana menarik garis batasnya; kapan dan di manakah
mulainya seni rupa modern itu. “Modern art begins nowhere because it begins everywhere. It is
fed by a thousand roots, from cave paintings 30,000 years old to the spectacular novelties in the
last week’s exhibitions,” kata Canaday yang kurang lebih menunjang ungkapan Newmeyer di
atas. Semua pencapaian dari masa ke masa di banyak tempat di dunia ini memberikan andilnya
pada pembentukan seni modern, sehingga susahlah untuk menentukan kapan dan di mana
periode seni rupa modern itu sebenarnya mulai. Maka untuk itu, sekali lagi, kita harus
mempunyai pegangan, kualitas apakah yang paling berharga dalam seni modern tersebut dan
dengan itu mencoba untuk mencari kapan kualitas tadi mulai ada atau berkembang biak dengan
baik (Soedarso, 2000).

Kalau kita mengacu periodisasi sejarah umum di Eropa—dimana sebagian besar kejadian dalam
panggung sejarah seni rupa modern ini berlangsung—maka babakan sejarah modern Eropa
dianggap mulai sejak zaman Renesans pada abad ke-15 sedangkan sejarah seni rupa modern di
Eropa baru pada abad ke-19, dengan munculnya tokoh pelukis J.L. David di Perancis yang
dianggap memiliki sesuatu yang dapat disejajarkan dengan kualitas modern tadi. Bahkan ada
pula yang menganggap seni modern Eropa dimulai pada massa yang lebih akhir lagi.

Seperti telah diuraikan di atas, seni modern pada dasarnya tidak terbatas oleh hal-hal yang
kasatmata seperti objek-objek lukisan tertentu ataupun corak dan gaya tertentu, melainkan
ditentukan oleh sikap batin senimannya. Seni modern pun, berkat perkembangan komunikasi
modern yang menyertai kemajuan teknologi, tidak kenal lagi akan batas-batas daerah dengan
kekhasan tradisinya masing-masing. Seni modern menjadi universal sifatnya. Walaupun di sana-
sini ada pula terdapat cap-cap daerah atau ada kalanya seni tradisi secara sadar atau tidak
dimunculkan oleh seseorang pelukis modern ke dalam hasil karyanya, namun kenyataannya kita
akan kesulitan untuk dapat menebak dari mana asal sesuatu lukisan yang dihadapkan kepada
kita. “Today the boundaries are vague Horizons are infinite; the artist is tempted to explore in a
hundred directions at once.” Tulis Canaday pula. Mengenai yang terakhir ini, yaitu bahwa para
seniman modern terangsang untuk menjelajah ke segala arah, kebenarannya tidak hanya sebatas
arah di peta bumi saja, bahwa misalnya banyak seniman Eropa meninggalkan negerinya untuk
mencari objek lukisan yang lain, tetapi juga karena daerah perhatian mereka itu meluas ke mana-
mana. Bukan hanya pemandangan yang indah dan wanita cantik saja yang ingin dilukisnya,
tetapi juga toilet bekas yang sudah tidak terpakai lagi atau kulit pokok kayu yang memiliki jenis
permukaan atau texture yang unik, atau bahkan jaringan sel-sel yang hanya dapat diamati melalui
mikroskop yang dulu sama sekali tidak terjamah oleh perhatian seniman, kini menjadi lahan
yang subur bagi objek lukisan para seniman modern. Dengan ini jelaslah bahwa bagi mereka itu
seni modern tidak dibatasi oleh ruang dan waktu, bahkan di sana-sini juga tidak terikat oleh
tatabahasa maupun kaidah-kaidah seni yang sudah mapan. Mereka sanggup menerima segala
macam bentuk seni hampir dengan tiada bersyarat. Batasan-batasan yang dulu ada seperti ikatan
tradisi (spirit of the race) atau ikatan zaman (spirit of the age), demikian juga ketentuan-
ketentuan tentang isi ataupun tema telah disisihkan semuanya.

Satu syarat yang masih dituntut oleh seni modern yang bahkan merupakan ciri khasnya, ialah
“kreativitas”. Dan sebuah perkataan ini tercantumlah beberapa sifat yang merupakan gejala-
gejalanya. Oleh karena itu untuk menghindarkan istilah „modern‟ yang bermuka banyak itu ada
pula yang menamai seni modern tersebut dengan istilah “seni kreatif”. Seorang seniman modern
akan melihat dunia atau bagian daripadanya yang sedang dihadapi sebagai objek dari lukisannya
seolah-olah seperti baru saja objek itu diciptakan. Artinya, seakan-akan baru sekali itu saja ia
menghayatinya dan baru kali itu pula mencoba untuk melukisnya, walaupun kenyataannya sudah
berkalikali Ia melukiskan objek tersebut, dan entah telah berapa kali ia melihatnya. Kita tidak
tahu sudah berapa kali pelukis kita yang terkenal, Affandi, melukis potret diriya. Namun setiap
kali kita menatapnya, sekian kali pula kita menemukan sesuatu yang baru pada karya-karya itu,
karena sang pelukis setiap kali selalu menghayati kembali dan mendapatkan pengalaman baru
dalam objeknya, walaupun objek itu adalah dirinya sendiri. Seorang pelukis lain harus
melupakan kuda atau gambar kuda yang telah seribu kali dilihatnya apabila ia akan melukis
seekor kuda. Ia harus melihat kuda itu dengan mata kepalanya sendiri— atau mata hatinya—dan
memperoleh impresi pertama dari pengalaman tersebut. Sebagaimana kita ketahui, hasil
pengamatan itu amat dipengaruhi oleh pengalaman, pengetahuan serta kesan si pengamat atas
objek pengalaman yang sudah dimiliki sebelumnya yang tentunya berbeda dari tiap pengamat
yang lain, dan kiranya juga dipengaruhi oleh suasana hati Si pengamat itu sendiri ketika Ia
sedang mengamatinya. Yang teràkhir inilah yang menuntut pengamatan itu harus selalu
dilakukan setiap saat seseorang akan berkarya. Dalam hubungannya dengan keadaan tersebut,
kira-kira 100 tahun yang lalu Gustave Courbet, Si pelopor realisme dari Perancis itu, pernah
berharap agar museum-museum ditutup saja sekurang-kurangnya 20 tahun lamanya agar para
seniman muda tidak sempat berdialog dengan karya-karya yang ada di dalamnya yang semuanya
merupakan hasil pengamatan orang lain. Ia berkeinginan agar apa yang pernah diciptakan orang
tidak mempengaruhi pengamatan pelukis berikutnya. Mungkinkah itu dan perlukah itu, adalah
soal-soal lain yang harus dijawab lewat ilmu pendidikan seni rupa.

Sikap batin yang demikian itulah yang membedakan seniman modern dan golongan tradisional
ataupun akademik—yang sekarang juqa sudah menjadi tradisional. Sikap batin yang tidak
stereotip, yang selalu ingin akan yang baru dan yang lain dari pada yang lain. Kreativitas :sangat
penting dalam seni modern, dan dalam kretivitas ini berkembanglah sifat-sifat orijinalitas,
kepribadian, kesegaran, dan sebagainya. Dengan bayaran apapun (yang kadangkala sangat tinggi,
dengan mengorbankan nilai-nilai yang sesungguhnya masih baik dan masih diperlukan oleh seni
yang manapun juga), para seniman modern amat menghargai dan mengejar-ngejar nilai-nilai
tersebut yang singkat kata dapat disebut sebagai nilai kebaruan atau novelty.
Apabila seorang anak menunjukkan coreng moreng dan mengatakan bahwa itu adalah gambar
anjing atau kucing, maka kiranya itulah konsepnya atas hewan-hewan tersebut yang belum
sempat “diperbaiki” oleh hubungan anak itu dengan tradisi dan masyarakat disekitarnya. Karya-
karya itu adalah ekspresi anak tersebut yang masih murni. Seorang-seniman dewasa tidak
mungkin berada dalam keadaan semurni itu karena ia tidak dapat melepaskan diri dari ikatan
sosial yang ada di sekitarnya. Oleh karena itu seorang seniman modern dengan sadar berusaha
untuk membebaskan dirinya dari ikatan tersebut dalam hubungannya dengan tanggapannya
terhadap objeknya. Berhasil atau tidaknya usaha ini tidak selalu identik dengan keberhasilan
karya seninya. Maka usaha dan sikap batin itulah yang harus menjadi ukuran, bukan sematamata
hasil usahanya. Sekalipun tidak sedikit yang mendiskreditkan seni lukis yang realistik dan
lingkungan seni modern, namun bertolak dari pendapat di atas tentunya ada juga lukisan yang
bergaya realistik itu yang dapat digolongkan dalam seni modern, yaitu apabila sikap batin si
seniman dalam melukisnya dapat dikembalikan kepada watak seni modern di atas; yaitu apabila
si seniman tidak bertindak stereotip dan selalu mengadakan pengamatan dahulu sebelum
melahirkan karya realistiknya. Perlu ditekankan bahwa bagaimanapun juga lukisan atau hasil
seni yang lain itu selalu merupakan interpretasi si seniman dalam menanggapi objeknya. Baik
hasil seni itu merupakan suatu taferil yang secara perspektip dapat dipertanggungjawabkan
ataukah bercorak dekoratif ala Mesir kuna, keduanya adalah interpretasi juga. Pada suatu saat
seorang sehiman menggunakan imajinasi atau visinya untuk menangkap objek lukisannya
sehingga terjadilah “perspektif susun timbun” seperti yang ada di Mesir kuna itu, tetapi pada saat
lain ia menggunakan ketajaman matanya yang kemudian ternyata menjadi pendorong
diketemukannya perspektif di zaman Renesans. Namun keduanya jelas tidak berhasil dalam
memberikan kepada kita “realitas” objeknya secara total; yang satu mengikuti ide atau
pengertiannya tentang objek itu dan dengan demikian terjadilah karya yang ideoplastik yang
secara visual tampak tidak wajar, dan yang lain menganakemaskan matanya membentuk suatu
lukisan yang lebih “enak” dipandang mata (visioplastik) walaupun masih belum terhindar dart
“kesalahan”. Dapat disaksikan misalnya, meja yang bujur sangkar menjadi tidak sama lagi
panjang sisi-sisinya, sudut-sudutnya tidak 90° tetapi ada yang tumpul dan ada yang runcing, dan
kakinya yang empat seningkali hanya kelihatan tiga. Dalam sebuah gambar pemandangan sering
terlihat tiang-tiang listrik yang sama tingginya tergambar tidak sama tinggi; makin jauh jaraknya
dan taferil ukurannya menjadi makin pendek. Akibat luasnya daerah seni modern itu maka
variasi yang terdapat di dalamnya pun tak terhingga pula jumlahnya, sehingga tidak mungkin
untuk memasukkannya ke dalam suatu difinisi yang formal.

Pada saat semua objek yang kasatmata ini mulai mengering dan makin susah menawarkan hal-
hal baru yang menarik, kreatif, dan lain dan pada yang lain, maka perkembangan ilmu jiwa
dalam ala Freud (Sigmund Freud) menampilkan lahan baru yang tidak kering-keringnya, yaitu
dunia imajinasi manusia. Dunia baru ini tidak ada batasnya, kecuali batas kemampuan manusia
untuk mengedarinya atau batas kneativitas seniman untuk menemukan inovasinya. Sementara
itu, penemuan teknik fotografi dalam satu hal telah mengurangi daerah gerak seni lukis, karena
fotografi yang dengan cepat dan tepat mampu merekam objek itu menggantikan sebagian fungsi
seni lukis yaitu fungsi dokumentatif dan fungsi menyajikan presentasi realistik bagi objek-
objeknya. Sejak berkembangnya fotografi tersebut seni lukis tidak lagi dibebani dengan fungsi
sosial berupa penggambaran secara visual ataupun pembuatan gambar-gambar ilustratif untuk
bermacam tujuan. Namun perlu juga diingat bahwa di lain pihak fotografi telah sempat pula
memperluas daerah jelajah seni lukis. Banyak teknik-teknik melukis di zaman teknologi tinggi
ini yang menggunakan pertolongan fotografi. ilustrasi – ilustrasi tertentu sekarang ini memang
masih ada yang dikerjakan dengan tangan, tetapi itupun sudah disenimodernkan, artinya,
kekreatifan diperlukan juga di dalamnya, sedangkan yang betul-betul memerlukan ketepatan
presentasi objek lebih baik disajikan saja dengan menggunakan kamera. Maka oleh karena itu
timbullah kemudian perbedaan antara “representasi” dengan “interpretasi”, antara citra dan
lambang, yang merupakan fondasi yang kuat untuk menelaah perkembangan seni modern.

Dari masa lampau kita mengenal adanya patronage (patron) dalam seni, yaitu perlindungan
terhadap seni yang diberikan oleh tokoh-tokoh penguasa atau gereja demi kelangsungan
perkembangannya. Pasang surutnya kemampuan pelindung atau penunjang seni ini dalam
melakukan fungsinya besar sekali pengaruhnya dalam perkembangan seni modern. Misalnya,
apabila pada masa kejayaannya patron-patron seni tersebut adalah diktator-diktator seni yang
bisa memaksakan arah perkembangan seni karena merekalah yang membiayainya, maka kini
sebaliknyalah yang terjadi; mereka itu yang harus tunduk pada kemauan para seniman. Pada
zaman modern ini seniman tidak lagi menunggu uluran tangan mereka yang memiliki uang untuk
menciptakan karyanya. Mereka mampu membiayai sendiri ciptaan-ciptaannya. Hal ini
dimungkinkan pula antara lain oleh makmn populernya seni-seni kecil semacam lukisan ukuran
esel (easel-painting) atau patung dada ukuran sebenarnya (life size), yang biayanya relatif murah
dan dapat diusahakan sendiri oleh para seniman penciptanya, sehingga karenanya mereka dapat
melepaskan diri dari ketergantungannya pada seorang pelindung. Sebagaimana diketahui di masa
lampau, pada saat keemasan agama atau di waktu kejayaan kekaisaran yang absolut, yang
berkembang sangat menonjol adalah jenis kesenian kolosal, lukisan dinding yang besar-besar,
arsitektur istana dan gereja, maupun patung-patung besar yang disejajarkan dengan kebesaran
para pendukungnya yang tidak mungkin di usahakan sendiri oleh senimannya. Dengan demikian
si sponsor ini menjadi penentu kemana seniman atau karya seni akan di arahkan.

Pecahnya Revolusi Perancis pada tahun 1789 merupakan titik akhir dan kekuasaan feodalisme di
Perancis yang pengaruhnya terasa juga pada bagian-bagian dunia lainnya. Demikian pula
revolusi ini ternyata tidak hanya merupakan perubahan tata politik dan tata sosial saja, tetapi juga
menyangkut kehidupan seni, karena dengan ini berarti berakhir pulalah pengaruh raja atas
kehidupan dan perkembangan seni. Jauh sebelum itu antara gereja dan seniman telah pufa terjadi
keretakan hubungan yang di satu fihak disebabkan oleh kemunduran fungsi dan daya tarik gereja
di masyarakat sejak zaman Renesans dan di lain fihak karena dunia seni telah menemukan
tuannya yang baru, yaltu raja dan para bangsawan yang merupakan penguasa-penguasa dan
pemilik harta sejak kemerosotan fungsi gereja. tersebut. Oleh karena itu kini para seniman
menjadi tokoh-tokoh yang bebas, melayang-layang tanpa tambatan. Mereka tidak punya lagi
fungsi yang terang dalam tatà sosial yang baru itu. Maka lambat laun terbentuklah kelompok
baru dalam masyarakat, ialah kelompok seniman. Sedikit demi sedikit mereka mulai mencipta
semata-mata memperturutkan panggilan hati masing-masing, melukis bukan karena ada yang
meminta atau memberi tugas, melainkan semata-mata karena ingin melukis saja. Maka dengan
demikian mulailah riwayat seni lukis modern dalam sejarah yang ditandai dengan individualisasi
dan isolasi diri ini.

C. Karya Seni Rupa Kontemporer


Selain berdasarkan medianya, kesenian juga dapat digolongkan berdasarkan sifatnya, yakni
dengan seni kontemporer dan klasik. Seni klasik yang dimaksud adalah kesenian yang
diasosiasikan pada puncak penciptaan seni tertinggi pada suatu masyarakat. Sedangkan dalam
seni kontemporer, sifat kesenian dihubungkan dengan penciptaan kekinian dan tengah
mengalami proses perkembangan.

Istilah kontemporer sendiri berasal dari kata contemporary yang berarti apa-apa atau mereka
yang hidup pada masa yang bersamaan (D. Maryanto, 2000). Walaupun demikian istilah “seni
rupa kontemporer” ternyata tidak dapat begitu saja diterjemahkan sebagai seni dengan sifat
kekinian seperti dijelaskan di atas. Istilah seni rupa kontemporer di Barat pada kenyatannya
masih menimbulkan perdebatan, terutama karena tidak ada ciri dominan yang dapat dirujuk
untuk menunjuk kepada suatu praktek atau bentuk seni yang baku. Pengertian kontemporer
semakin menimbulkan perdebatan, apalagi jika istilah tersebut digunakan untuk menunjuk pada
praktek seni rupa di Indonesia. Berbagai perdebatan ini muncul karena penggunaan artinya
secara leksikal menerangkan kekinian sekaligus juga mewakili konsep seni rupa kontemporer
yang dipengaruhi wacana dalam seni rupa Barat.

Di Barat, wacana kontemporer dimulai dengan menunjukkan pada berakhirnya era modernisme
dalam seni rupa (modern art). Berakhirnya era ini memunculkan terminologi baru yang
kemudian dipakai dalam praktek seni rupa di Barat yaitu kecenderungan postmodern (post
modernisme). Penggunaan istilah posmodern ternyata menyimpan persoalan—karena
kompleksitas dan keragaman pengertian yang dibawanya—sehingga lebih banyak digunakan
istilah seni rupa kontemporer (contemporary art). Walaupun demikian, istilah ini masih
mendatangkan masalah karena tidak mengarah pada pengertian seni rupa tertentu. Kerumitan ini
ditambah dengan pengertian contemporary yang secara leksikal sama dengan pengertian modern
yang berarti juga ”masa kini” (A. Irianto, 2000).

Seni rupa kontemporer dapat dikatakan sebagai sebuah wacana dalam praktek seni rupa di Barat
yaitu praktek seni rupa yang menunjuk kepada kecenderungan posmodern. Kecenderungan ini
menyiratkan wacana dalam praktek seni rupa yang “anti modern”. Hal ini disebabkan karena
salah satu paradigma kemunculan posmodern adalah paradigma yang menolak modernisme.
Sifat-sifat modern yang ditolak diantaranya adalah semangat universalisme, kolektivitas,
membelakangi tradisi, mengedepankan teknologi, individualitas (I. M. Pirous, 2000) serta
penolakan (pelecehan) non-Barat. Sifat-sifat modern ini pada perkembangannya seolah-olah
mengesampingkan berbagai produksi kesenian non Barat yang dianggap lebih rendah dari seni
modern karena bersifat tradisional. Sifat inilah yang ditentang oleh penganut seni rupa
posmodern karena sifat-sifat modern tadi tidak mengakui karya seni rupa tradisonal yang
dihasilkan oleh budaya komunal sebagai karya seni rupa yang sejajar dengan karya seni rupa
modern.

Ciri kontemporer dalam wacana seni rupa kemudian dikukuhkan dengan semangat pluralisme
(keberagaman), berorientasi bebas serta menghilangkan batasan-batasan kaku yang dianggap
baku (konvensional) dalam seni rupa selama ini. Dalam seni rupa kontemporer batasan medium
dan pengkotak-kotakan seni seperti “seni lukis”, “seni patung” dan “seni grafis” nyaris
diabaikan. Orientasi bebas dan medium yang tidak terbatas memunculkan karya-karya dengan
media-media inkonvensional serta lebih berani menggunakan konteks sosial, ekonomi serta
politik (Sumartono, 2000)..

Walaupun ada pemaknaan khusus dalam wacana seni rupa kontemporer seperti telah disebutkan
di atas, tetapi arti leksikal yang menunjukkan konteks kekinian tidak dapat diabaikan begitu saja.
Berdasarkan konteks kekinian, seni rupa kontemporer dapat dipandang sebagai karya seni yang
ide dan pembahasannya dibentuk serta dipengaruhi sekaligus merefleksi kondisi yang mewarnai
keadaan zaman ini tempat “budaya global” menyeruak, yang menebarkan banyak pengaruh yang
menjadi penyebab berbagai perubahan dan perkembangan (Sumartono, 2000)

Dengan demikian konsep seni rupa kontemporer yang dimaksud dalam tulisan ini dapat dipakai
untuk menunjukkan wacana seni anti modernisme yang mengagung-agungkan universalisme,
menggunakan medium inkonvensional, berorientasi bebas, tidak terikat pada konvensi-konvensi
yang baku, meniadakan pengkotak-kotakan serta lebih berani menyentuh persoalan sosial,
ekonomi serta politik. Persoalan sosial, ekonomi dan politik ini diwarnai dengan keadaan zaman
di mana budaya global banyak memberikan pengaruh terhadap perubahan dan perkembangan
yang bersifat kultural.

About these ads

Pengertian Seni Rupa Tradisional, Modern dan Kontemporer

Seni rupa adalah cabang seni yang membentuk karya seni dengan media yang bisa ditangkap
mata dan dirasakan dengan rabaan. Kesan ini diciptakan dengan mengolah konsep garis, bidang,
bentuk, volume, warna, tekstur, dan pencahayaan dengan acuan estetika.

1.
SENI RUPA TRADISIONAL

Pengertian

Seni tradisional adalah unsur kesenian yang menjadi bagian hidup masyarakat dalam suatu
kaum/puak/suku/bangsa tertentu. Seni tradisional yang ada di suatu daerah berbeda dengan yang
ada di daerah lain, meski pun tidak menutup kemungkinan adanya seni tradisional yang mirip
antara dua daerah yang berdekatan.

Ciri-ciri

*
Penciptaannya selalu berdasarkan pada filosofi sebuah aktivitas dalam suatu budaya, bisa berupa
aktivitas religius maupun seremonial/istanasentris.
*
Terikat dengan pakem-pakem tertentu.

Contoh
Wayang kulit, wayang golek, wayang beber, ornamen pada rumah-rumah tradisional di tiap
daerah, batik, songket, dan lain-lain.

1.
SENI RUPA MODERN

Pengertian

Seni rupa modern adalah seni rupa yang tidak terbatas pada kebudayaan suatu adat atau daerah,
namun tetap berdasarkan sebuah filosofi dan aliran-aliran seni rupa.

Ciri-ciri

*
Konsep penciptaannya tetap berbasis pada sebuah filosofi , tetapi jangkauan penjabaran
visualisasinya tidak terbatas.
*
Tidak terikat pada pakem-pakem tertentu.

Contoh

Lukisan-lukisan karya Raden Saleh Syarif Bustaman, Basuki Abdullah, Affandi, S.Soedjojono
dan pelukis era modern lainnya.

Seniman

Raden Saleh Syarif Bustaman, Abdulah Sr, Pirngadi, Basuki Abdullah, Wakidi, Wahid Somantri,
Agus Jaya Suminta, S. Soedjojono, Ramli, Abdul Salam, Otto Jaya S, Tutur, dan Emira Sunarsa.

1.
SENI RUPA KONTEMPORER

Pengertian

Seni Kontemporer adalah salah satu cabang seni yang terpengaruh dampak modernisasi.
Kontemporer itu artinya kekinian, modern atau lebih tepatnya adalah sesuatu yang sama dengan
kondisi waktu yang sama atau saat ini. Jadi seni kontemporer adalah seni yang tidak terikat oleh
aturan-aturan zaman dulu dan berkembang sesuai zaman sekarang. Lukisan kontemporer adalah
karya yang secara tematik merefleksikan situasi waktu yang sedang dilalui. Misalnya lukisan
yang tidak lagi terikat pada Rennaissance. Begitu pula dengan tarian, lebih kreatif dan modern.

Ciri-ciri

*
Tidak terikat oleh aturan-aturan zaman dulu dan berkembang sesuai zaman.
*
Tidak adanya sekat antara berbagai disiplin seni, alias meleburnya batas-batas antara seni lukis,
patung, grafis, kriya, teater, tari, musik, hingga aksi politik.

Contoh

Karya-karya happening art, karya-karya Christo dan berbagai karya enviromental art.

Seniman

Gregorius Sidharta, Christo, dan Saptoadi Nugroho.

SENI KRIYA NUSANTAR

I. Pengertian

Pengertian dari seni Nusantara adalah beragam bentuk kesenian yang tumbuh dan berkembang di
masing-masing daerah yang ada di seluruh wilayah Indonesia. Ragam bentuk kesenian Nusantara
tumbuh sebagai hasil olah budaya masyarakat yang hidup disuatu wilayah sesuai dengan adat istiadat
dan kondisi lingkungannya

II. Sejarah
Seni rupa Indonesia memang belum bisa dikatakan memiliki jati dirinya sendiri. Jika mau mengilas
balik seni rupa nusantara, Perjalanan Seni Rupa Indonesia mengungkap fakta dari semula, nusantara
memang tak memiliki seni rupanya yang otentik. Kebudayaan nusantara dipercaya tercipta lewat migrasi
Yunnan dan bangsa Austronesia, sekitar 4000 tahun yang lalu. Saat itu seni pertama kali lahir, sebagai
bagian dari kehidupan sehari-hari. Seni menjadi semacam barang yang bermanfaat dijual atau
digunakan dalam ritual keagamaan. Seni hasil para migran ini kemudian yang menjadi dasar kebudayaan
di Indonesia. Penemuan arkeologi guci perunggu bermotif ganda; membuktikan pengaruhnya pada seni
rupa motif parang rusak batik Jawa sekaligus motif tameng Papua.
Gelombang migrasi yang sama terus berulang secara berjangka. Seiring itu pula kebudayaan
nusantara terus berkembang. Mulai dari migrasi Dong Son pada 500 SM yang mengenalkan kebudayaan
perunggu, hingga masuknya Islam, yang menciptakan sosok punakawan di wayang Jawa.

Campur aduk gado-gado pengaruh aneka kebudayaan ini menghasilkan sosok seni rupa yang
menyesatkan di Indonesia. Indonesia memiliki seni yang paling primitif sekaligus berdampingan dengan
seni yang paling kontemporer. Saat seniman ”kubu” Bandung dan Yogyakarta telah mengenal pop art
ala Andi Warhol, seniman Asmat masih setia menggunakan tiga warna alam dalam karyanya.

Renesans bertopik lokal


Seni rupa modern Indonesia sendiri bergerak campur aduk. Kusnadi dalam Seni Rupa Modern
menyatakan, seniman-seniman Indonesia dibentuk melalui orientasi Timur sekaligus Barat, tanpa
mengenal adanya batasan-batasan geografis, wilayah, bangsa bahkan zaman. Sejak dirintis oleh Raden
Saleh, seni rupa modern Indonesia berjalan tanpa ”sengaja”. Sekaligus juga tanpa arah yang jelas. Raden
Saleh menerapkan gaya melukis ala renesans, namun dengan topik-topik lokal. Hasilnya muncul dalam
karya Harimau Minum, Bupati Majalengka atau Penangkapan Pangeran Diponegoro. Sejak awal
idealisme seni rupa modern Indonesia belum terbentuk, dan sama seperti kondisi politik saat itu;
terjajah seni rupa klasik Barat. Uniknya, seni klasik Barat saat itu menjadi landasan seni modern
Indonesia. Carut marut semakin kencang, mengingat di saat bersamaan seni lukis Bali tetap berkembang
dengan dunianya sendiri.
Masalah menjadi lebih kompleks sejak seni rupa Indonesia sendiri sebenarnya terbagi-bagi sesuai
gejolak politik saat itu. Kusnadi dalam periode Revolusi Fisik Kemerdekaan mengelompokkan Affandi,
Hendra, Sudarso, Trubus, Dullah dan kawan-kawan sebagai seniman pada era sebelum kemerdekaan.
Karya mereka berbeda jauh dengan karya-karya seniman era 80-an, era 2000-an atau bahkan kembali
pada karya seniman masa Hindia Belanda. Seni rupa Indonesia bukan hanya terbagi atas aliran-aliran ala
Barat, namun juga terbagi atas periode-periode politik nusantara.
Ruwetnya identitas seni rupa Indonesia ini terus berlanjut bahkan di masa kontemporer. Seni rupa
Indonesia menginduk ke Barat, tanpa melewati tahapan yang sama. Sebuah dunia seni rupa yang masih
mencari identitas diri, bagaikan seorang remaja yang baru menginjak pubertas, mengekor identitas seni
Barat yang telah rampung.
Salah satu bentuk rancu terjadi dalam pengertian surealisme di seni rupa Indonesia. Kurator Jim
Supangkat sempat mengeluh, saat berhadapan dengan karya-karya mistis Indonesia. Surealisme
nusantara masih mengawal soal kekuatan gaib atau mahluk-mahluk-mahluk mitologi yang bercampur
pemahaman pribadi. Berbeda dengan surealisme Barat yang murni bermain dengan alam pikiran
manusia.
Barat memiliki kerangkanya sendiri setelah melalui perjalanan yang panjang. Aliran Cobra misalnya,
tak sembarang hadir dengan ide corat-coret di atas kanvas. Genre ini muncul sebagai bentuk frustasi
para seniman Copenhagen, Brussel dan Õmsterdam pasca ekpresionisme.

Keragaman Seni Rupa Terapan Mancanegara

Seni kria dapat disebut dengan seni kerajinan yang merupakan bentuk seni rupa terapan. Seni
kria merupakan bagian dari seni rupa yang bertujuan untuk memenuhi kepuasan fisik (seni pakai) dan
psikologis (seni hias/keindahan rasa). Seni kria dikerjakan dengan keterampilan atau kecekatan tangan.
Pada umumnya seni kria dibuat cendrung sebagai barang produksi atau seni industri.

Seseorang pengamat atau pecinta seni dapat menghargai dan menikmati karya seni kria apabila
ia mengerti , memahami dan menilai karya seni melalui kepekaan rasa estetis dan nilai guna.
Kemampuan dalam kegiatan tersebut dinamakan dengan Apresiasi seni. Kemampuan dalam memahami
dan menilai karya seni terapan disebut kemampuan mengapresiasi seni terapan. Apresiasi sangat
penting bagi setiap orang yang mau mengerti terhadap karya seni karena dapat melatih kepekaan rasa,
memberi kenikmatan, dan memperkaya jiwa serta memperhalus budi pekerti.
Menilai Karya Seni Rupa Terapan (Seni Kria)

Menilai suatu karya seni kria, kita harus memahami proses apresiasi seni rupa secara utuh.
Proses tersebut adalah pengamatan, penghayatan terhadap karya, dan pengalaman berkarya seni
sehingga dapat menumbuhkan rasa kagum, sikap empati, dan simpati yang akhirnya mempunyai
kemampuan menikmati, menilai, dan manghargai karya seni.

1. Setiap karya seni rupa mempunyai nilai seni yang berbeda satu sama yang lainnya. Nilai suatu karya
sangat ditentukan oleh kemampuan perupa karya seni itu sendiri yang meliputi:

a. konsepsi atau gagasan;


b. kreativitas dalam penciptaan karya;
c. teknik pengerjaan yang menghasilkan corak tersendiri, namun tetap memperhitungkan sifat-sifat
media/bahan;
d. keunikan dalam pengaturan komposisi dan bentuk sehingga menghasilkan karya yang tampak unik
(beda dengan yang lain).
Kualitas suatu karya selain tergantung dari perupanya juga ditentukan oleh kualitas dan sifat dari
media/bahan yang digunakan. Misalnya sebuah topeng yang dikerjakan dengan bahan kayu pule akan
jauh lebih berkualitas dibandingkan dengan menggunakan kayu meranti.

2. Kriteria Menilai Karya Seni Rupa Terapan (Seni Kria)

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam berkarya seni rupa dan apresiasinya adalah sebagai berikut:

a. prinsip seni;
b. fungsi seni;
c. komposisi atau unsur seni

Prinsip seni atau asas seni meliputi dua hal, yaitu:

1. Komposisi (susunan)
Apa pun jenis karya seni rupa yang dikerjakan, tidak akan terlepas dari komposisi. Komposisi itu
sendiri adalah susunan. Hasil karya itu akan baik dan indah apabila pengaturan atau penyusunan unsur-
unsur seni rupa dalam satu kesatuan. Unsur-unsur pokok dalam seni rupa adalah titik, garis, bidang,
arah, bentuk, ukuran, warna, gelap-terang, dan tekstur. Seseorang yang menyusun unsur tersebut
berarti ia menciptakan bentuk atau desain. Komposisi dapat dihasilkan dengan memperhatikan prinsip-
prinsip pengaturan atau penyusunan. Prinsip-prinsip tersebut antara lain:
a. keseimbangan (balance);
b. kesatuan (unity);
c. irama (ritme);
d. kontras (berbeda jauh)
e. serasi (harmony)

2. Unsur-unsur seni rupa


1. Garis merupakan unsur yang dapat memberi batasan atau kesan suatu bentuk, seperti kesan garis tipis
beda dengan garis tebal.
2. Arah merupakan susunan suatu garis atau bentuk menuju kerah tertentu sehingga akan dapat memberi
kesan stabil atau dinamis, seperti arah berbelok-belok berkesan dinamis dan arah horizontal berkesan
stabil.
3. Bidang, ruang (bentuk) juga merupakan kesan batasan suatu bentuk, seperti lingkaran, segitiga,
benjolan, dll.
4. Ukuran merupakan kesan perbandingan suatu bentuk, seperti panjang-pendek, besar-kecil, luas-sempit,
dll.
5. Gelap terang merupakan efek cahaya yang nampak pada bentuk yang dapat dicapai dengan warna gelap
dan warna terang.
6. Warna merupakan unsur yang dapat memberi kesan secara menyeluruh pada suatu bentuk.
Warna dapat dikelompokkan menjadi tiga jenis, yaitu:

1. warna primer (pokok) : merah, kuning dan biru;


2. warna sekunder (campuran dua warna primer) :
 orange ( merah dan kuning )
 ungu ( merah dan biru)
 hijau ( kuning dan biru)
3. warna tersier (campuran warna primer dan sekunder) : hijau muda, hijau tua, ungu muda, ungu tua,
orange muda, orange tua.
Warna komplimenter adalah warna-warna yang berlawanan atau berhadapan dalam susunan warna.
Penggunaan warna dapat dikelompokan menjadi tiga, yaitu:
1. Warna Harmonis, warna diterapkan secara naturalis seperti warna yang nampak di alam, misalnya daun
berwarna hijau, langit berwarna biru, bunga berwarna merah, dsb.
2. Warna Heraldis, warna yang digunakan dalam pembuatan symbol atau lambing, misalnya merah berarti
berani, putih berarti suci, biru berarti damai, hijau berarti sejuk, kuning berarti jaya, ungu berarti
berkabung, dll.
3. Warna Murni, penggunaan warna secara bebas tidak terikat oleh alam atau makna tertentu, misalnya
pada karya-karya seni modern.
7. Tekstur, merupakan nilai raba dari suatu permukaan (kasar halusnya permukaan benda). Tekstur ada
dua, yaitu tekstur nyata dan tekstur semu.
8. Titik, merupakan unsur yang dapat digunakan untuk memunculkan kesan suatu bentuk, seperti
membuat gambar ilustrasi atau lukisan pointilisme.
3. Jenis-jenis Seni Kriya di Nusantara
1. Seni kerajinan kulit, adalah kerajinan yang menggunakan bahan baku dari kulit yang sudah dimasak, kulit
mentah atau kulit sintetis. Contohnya: tas, sepatu, wayang dan lain-lain.

2. Seni kerajinan logam, ialah kerajinan yang menggunakan bahan logam seperti besi, perunggu, emas,
perak. Sedangkan teknik yang digunakan biasanya menggunakan sistem cor, ukir, tempa atau sesuai
dengan bentuk yang diinginkan. Contohnya pisau, barang aksesoris, dan lain-lain.

3. Seni ukir kayu, yaitu kerajinan yang menggunakan bahan dari kayu yang dikerjakan atau dibentuk
menggunakan tatah ukir. Kayu yang biasanya digunakan adalah: kayu jati, mahoni, waru, sawo, nangka
dan lain-lain. Contohnya mebel, relief dan lain-lain.

4. Seni kerajinan anyaman, kerajinan ini biasanya menggunakan bahan rotan, bambu, daun lontar, daun
pandan, serat pohon, pohon pisang, enceng gondok, dll. Contohnya: topi, tas, keranjang dan lain-lain.

5. Seni kerajinan batik, yaitu seni membuat pola hias di atas kain dengan proses teknik tulis (casting) atau
teknik cetak (printing). Contohnya: baju, gaun dan lain-lain.

6. Seni kerajinan keramik, adalah kerajinan yang menggunakan bahan baku dari tanah liat yang melalui
proses sedemikian rupa (dipijit, butsir, pilin, pembakaran dan glasir) sehingga menghasilkan barang atau
benda pakai dan benda hias yang indah. Contohnya: gerabah, piring dan lain-lain.

4. Teknik dan Bahan Karya Seni Kriya


Ada beberapa teknik pembuatan benda-benda kriya yang disesuaikan dengan bahan. Alat dan cara yang
digunakan antara lain cor atau tuang, mengukir, membatik, menganyam, menenun, dan membentuk.

1. Teknik cor (cetak tuang)

Ketika kebudayaan perunggu mulai masuk ke Indonesia, maka mulai dikenal teknik pengolahan
perunggu. Terdapat beberapa benda kriya dari bahan perunggu seperti gendering perunggu, kapak,
bejana, dan perhiasan.

Teknik cetak pada waktu itu ada dua macam:

· Teknik Tuang Berulang (Bivalve)


Teknik bivalve disebut juga teknik menuang berulang kali karena menggunakan dua keeping cetakan
terbuat dari batu dan dapat dipakai berulang kali sesuai dengan kebutuhan (bi berarti dua dan valve
berarti kepingan). Teknik ini digunakan untuk mencetak benda-benda yang sederhana baik bentuk
maupun hiasannya.

1· Teknik Tuang Sekali Pakai (A Cire Perdue)

Teknik a cire perdue dibuat untuk membuat benda perunggu yang bentuk dan hiasannya lebih rumit,
seperti arca dan patung perunggu. Teknik ini diawali dengan membuat model dari tanah liat, selanjutnya
dilapisi lilin, lalu ditutup lagi dengan tanah liat, kemudian dibakar untuk mengeluarkan lilin sehingga
terjadilah rongga, sehingga perunggu dapat dituang ke dalamnya. Setelah dingin cetakan tanah liat
dapat dipecah sehingga diperoleh benda perunggu yang diinginkan.

Disamping teknik cor ada juga teknik menempa yang bahan-bahannya berasal dari perunggu, tembaga,
kuningan, perak, dan emas. Bahan tersebut dapat dibuat menjadi benda-benda seni kerajinan, seperti
keris, piring, teko, dan tempat lilin. Saat ini banyak terdapat sentra-sentra kerajinan cor logam seperti
kerajinan perak. Tempat-tempat terkenal itu antara lain kerajinan perak di Kota Gede Yogyakarta dan
kerajinan kuningan yang terdapat di Juwana dan Mojokerto.

2. Teknik Ukir

Alam Nusantara dengan hutan tropisnya yang kaya menjadi penghasil kayu yang bisa dipakai sebagai
bahan dasar seni ukir kayu. Mengukir adalah kegiatan menggores, memahat, dan menoreh pola pada
permukaan benda yang diukir.

Di Indonesia, karya ukir sudah dikenal sejak zaman batu muda. Pada masa itu banyak peralatan yang
dibuat dari batu seperti perkakas rumah tangga dan benda-benda dari gerabah atau kayu. Benda- benda
itu diberi ukiran bermotif geometris, seperti tumpal, lingkaran, garis, swastika, zig zag, dan segitiga.
Umumnya ukiran tersebut selain sebagai hiasan juga mengandung makna simbolis dan religius.

Dilihat dari jenisnya, ada beberapa jenis ukiran antara lain ukiran tembus (krawangan), ukiran rendah,
Ukiran tinggi (timbul), dan ukiran utuh. Karya seni ukir memiliki macam-macam fungsi antara lain:

a. Fungsi hias, yaitu ukiran yang dibuat semata-mata sebagai hiasan dan tidak memiliki makna tertentu.

b. Fungsi magis, yaitu ukiran yang mengandung simbol-simbol tertentu dan berfungsi sebagai benda magis
berkaitan dengan kepercayaan dan spiritual.
c. Fungsi simbolik, yaitu ukiran tradisional yang selain sebagai hiasan juga berfungsi menyimbolkan hal
tertentu yang berhubungan dengan spiritual.

d. Fungsi konstruksi, yaitu ukiran yang selain sebagai hiasan juga berfungsi sebagai pendukung sebuah
bangunan.

e. Fungsi ekonomis, yaitu ukiran yang berfungsi untuk menambah nilai jual suatu benda.

3. Teknik membatik

Kerajinan batik telah dikenal lama di Nusantara. Akan tetapi kemunculannya belum diketahui secara
pasti. Batik merupakan karya seni rupa yang umumnya berupa gambar pada kain. Proses pembuatannya
adalah dengan cara menambahkan lapisan malam dan kemudian diproses dengan cara tertentu atau
melalui beberapa tahapan pewarnaan dan tahap nglorod yaitu penghilangan malam.

Alat dan bahan yang dipakai untuk membatik pada umumnya sebagai berikut:

a. Kain polos, sebagai bahan yang akan diberi motif (gambar). Bahan kain tersebut umumnya berupa kain
mori, primissima, prima, blaco, dan baju kaos.

b. Malam, sebagai bahan untuk membuat motif sekaligus sebagai perintang masuknya warna ke serat kain
(benang).

c. Bahan pewarna, untuk mewarnai kain yaitu naptol dan garam diasol.

d. Canting dan kuas untuk menorehkan lilin pada kain.

e. Kuas untuk nemboki yaitu menutup malam pada permukaan kain yang lebar.

Sesuai dengan perkembangan zaman, saat ini dikenal beberapa teknik membatik antara lain sebagai
berikut:

a. Batik celup ikat, adalah pembuatan batik tanpa menggunakan malam sebagaia bahan penghalang, akan
tetapi menggunakan tali untuk menghalangi masuknya warna ke dalam serat kain. Membatik dengan
proses ini disebut batik jumputan.

b. Batik tulis adalah batik yang dibuat melalui cara memberikan malam dengan menggunakan canting pada
motif yang telah digambar pada kain.
c. Batik cap, adalah batik yang dibuat menggunakan alat cap (stempel yang umumnya terbuat dari tembaga)
sebagai alat untuk membuat motif sehingga kain tidak perlu digambar terlebih dahulu.

d. Batik lukis, adalah batik yang dibuat dengan cara melukis. Pada teknik ini seniman bebas menggunakan
alat untuk mendapatkan efek-efek tertentu. Seniman batik lukis yang terkenal di Indonesia antara lain
Amri Yahya.

e. Batik modern, adalah batik yang cara pembuatannya bebas, tidak terikat oleh aturan teknik yang ada. Hal
tersebut termasuk pemilihan motif dan warna, oleh karena itu pada hasil akhirnya tidak ada motif,
bentuk, komposisi, dan pewarnaan yang sama di setiap produknya.

f. Batik printing, adalah kain yang motifnya seperti batik. Proses pembuatan batik ini tidak menggunakan
teknik batik, tetapi dengan teknik sablon (screen printing). Jenis kain ini banyak dipakai untuk kain
seragam sekolah.

Daerah penghasil batik di Jawa yang terkenal diantaranya Pekalongan, Solo, Yogyakarta, Rembang dan
Cirebon.

4. Teknik Anyam

Benda-benda kebutuhan hidup sehari-hari, seperti keranjang, tikar, topi dan lain-lain dibuat dengan
teknik anyam. Bahan baku yang digunakan untuk membuat benda-benda anyaman ini berasal dari
berbagai tumbuhan yang diambil seratnya, seperti bamboo, palem, rotan, mendong, pandan dan lain-
lain.

5. Teknik Tenun

Teknik menenun pada dasarnya hamper sama dengan teknik menganyam, perbedaannya hanya pada
alat yang digunakan. Untuk anyaman kita cukup melakukannya dengan tangan (manual) dan hampir
tanpa menggunakan alat bantu, sedangkan pada kerajinan menenun kita menggunakan alat yang
disebut lungsi dan pakan. Daerah penghasil tenun ikat antara lain

6. Teknik membentuk

Penegertian teknik membentuk di sini yaitu membuat karya seni rupa dengan media tanah liat yang
lazim disebut gerabah, tembikar atau keramik. Keramik merupakan karya dari tanah liat yang prosesnya
melalui pembakaran sehingga menghasilkan barang yang baru dan jauh berbeda dari bahan mentahnya.
Teknik yang umumnya digunakan pada proses pembuatan keramik diantaranya:

a. Teknik coil (lilit pilin)

b. Teknik tatap batu/pijat jari

c. Teknik slab (lempengan)

Cara pembentukan dengan tangan langsung seperti coil, lempengan atau pijat jari merupakan teknik
pembentukan keramik tradisional yang bebas untuk membuat bentuk-bentuk yang diinginkan.
Bentuknya tidak selalu simetris. Teknik ini sering dipakai oleh seniman atau para penggemar keramik.

d. Teknik putar
Teknik pembentukan dengan alat putar dapat menghasilkan banyak bentuk yang simetris (bulat,
silindris) dan bervariasi. Cara pembentukan dengan teknik putar ini sering dipakai oleh para pengrajin di
sentra-sentara keramik. Pengrajin keramik tradisional biasanya menggunakan alat putar tangan (hand
wheel) atau alat putar kaki (kick wheel). Para pengrajin bekerja di atas alat putar dan menghasilkan
bentuk-bentuk yang sama seperti gentong, guci dll

e. Teknik cetak
Teknik pembentukan dengan cetak dapat memproduksi barang dengan jumlah yang banyak dalam
waktu relatif singkat dengan bentuk dan ukuran yang sama pula. Bahan cetakan yang biasa dipakai
adalah berupa gips, seperti untuk cetakan berongga, cetakan padat, cetakan jigger maupun cetakan
untuk dekorasi tempel. Cara ini digunakan pada pabrik-pabrik keramik dengan produksi massal, seperti
alat alat rumah tangga piring, cangkir, mangkok gelas dll

Disamping cara-cara pembentukan diatas, para pengrajin keramik tradisonal dapat membentuk keramik
dengan teknik cetak pres, seperti yang dilakukan pengrajin genteng, tegel dinding maupun hiasan
dinding dengan berbagai motif seperti binatang atau tumbuh-tumbuhan

Fungsi Seni

Setiap karya seni rupa mempunyai fungsi tertentu, yaitu:

1) Fungsi primer atau fungsi pribadi, yaitu fungsi untuk kepuasan pribadi bagi perupanya;
2) Fungsi Sekunder atau fungsi social, yaitu fungsi untuk kepuasan bagi orang lain yang menikmatinya atau
sebagai media komunikasi;
3) Fungsi fisik atau pakai, yaitu untuk memenuhi kebutuhan fisik.

III. MENGAGUMI KARYA SENI RUPA TERAPAN (SENI KRIA) NUSANTARA


Wilayah Nusantara yang terdiri dari bermacam-macam suku bangsa, adat-istiadat, dan seni budaya
daerah yang berbeda merupakan kekayaan budaya dan kebanggaan bangsa. Berbagai daerah suku di
Indonesia banyak menghasilkan karya seni kria yang masing-masing memiliki keunikan dan ciri khas
tersendiri. Seni kria di daerah pada umumnya pengerjaannya bersifat tradisional sehingga tidak banyak
yang terkenal, lain halnya dengan perupa lukisan dan patung banyak yang terkenal.
Nilai artistik seni kria daerah Nusantara terletak pada motif hias atau ragam hias, teknik pengerjaan
yang rumit dan unik, dan bentuk serta keindahannya yang mengagumkan.

1. Penciptaan Seni Kria

Seni kria yang diciptakan agar dapat memenuhi kepuasan pencipta dan pemakai atau penikmatnya,
harus memperhatikan faktor-faktor sebagai berikut:

a. Faktor estetis (nilai keindahan yang terkandung dalam karya seni tersebut), nilai ini dapat dicapai
dengan memperhatikan prinsip-prinsip seni rupa dan dengan keterampilan atau kecakapan tangan;
b. Faktor artistik, nilai yang ditimbulkan oleh keindahan fisik/bentuk dan fungsi dari karya seni tersebut;
c. Faktor kegunaan, kegunaan dari karya seni tersebut mempertimbangkan aspek keluwesan, kemanan,
dan kenyamanan dari pemakainya.
d. Faktor tempat, ukuran dan bentuknya harus mempertimbangkan tempat meletakkannya.
e. Faktor rasa bahan, bahan yang digunakan harus juga mempertimbangkan keindahan bentuk, fungsi dan
tempat. Misalnya bahan dari rotan bentuk apa yang mau dikerjakan, fungsinya untuk apa,
penempatannya di mana, dsb.
f. Faktor selera, karya seni kria yang dihasilkan harus memenuhi selera atau permintaan pemakai.

2. Perjalanan Sejarah Seni Kria Nusantara

Periode perkembangannya mengikuti perkembangan seni rupa di wilayah Nusantara yang terdiri dari:

a. Periode zaman Prasejarah

Seni kria yang dihasilkan umumnya untuk kepentingan upacara kepercayaan, perabot rumah tangga,
perhiasan dan peralatan berburu/perang. Teknik pengerjaannya sangat sederhana dan bentuk hasil
karyanya juga sangat sederhana;

b. Periode zaman Hindu-Budha

Seni kria yang dihasilkan umumnya untuk kepentingan upacara kagamaan, perabot rumah tangga,
perhiasan dan peralatan berburu/perang. Teknik pengerjaannya sudah mengalami kemajuan dan bentuk
yang dihasilkan lebih banyak dan lebih indah. Karya-karya yang dihasilkan seperti: bejana, keris, tombak,
kendi, guci, perhiasan, wayang, topeng, tenun, dll.
c. Periode zaman Islam

Pada zaman ini perubahan yang terjadi pada motif hiasan yang diterapkan pada benda kria, hal ini
disebabkan karena adanya larangan menggunakan motif hewan dan manusia. Seni kria yang baru
muncul pada zaman ini adalah wayang kulit.

d. Periode Sekarang

Perkembangan seni kria di zaman sekarang ini sangat pesat, baik dari segi bentuk, motif/ragam hiasan ,
bahan, dsb. Hal ini disebabkan karena kemajuan teknologi dan seni kria di Indonesia sekarang ini sebagai
sumber devisa. Benda kria yang dihasilkan antara lain: kria ukir kayu, anyaman bambu, kerajinan
kuningan, perak, emas, kerajinan kulit, kria keramik, kria tenun, kria batik, dll.

Anda mungkin juga menyukai