Pada saat semua objek yang kasatmata ini mulai mengering dan makin
susah menawarkan hal-hal baru yang menarik, kreatif, dan lain dan pada yang
lain, maka perkembangan ilmu jiwa dalam ala Freud (Sigmund Freud)
menampilkan lahan baru yang tidak kering-keringnya, yaitu dunia imajinasi
manusia. Dunia baru ini tidak ada batasnya, kecuali batas kemampuan manusia
untuk mengedarinya atau batas kneativitas seniman untuk menemukan inovasinya.
Sementara itu, penemuan teknik fotografi dalam satu hal telah mengurangi daerah
gerak seni lukis, karena fotografi yang dengan cepat dan tepat mampu merekam
objek itu menggantikan sebagian fungsi seni lukis yaitu fungsi dokumentatif dan
fungsi menyajikan presentasi realistik bagi objek-objeknya. Sejak berkembangnya
fotografi tersebut seni lukis tidak lagi dibebani dengan fungsi sosial berupa
penggambaran secara visual ataupun pembuatan gambar-gambar ilustratif untuk
bermacam tujuan. Namun perlu juga diingat bahwa di lain pihak fotografi telah
sempat pula memperluas daerah jelajah seni lukis. Banyak teknik-teknik melukis
di zaman teknologi tinggi ini yang menggunakan pertolongan fotografi. ilustrasi -
ilustrasi tertentu sekarang ini memang masih ada yang dikerjakan dengan tangan,
tetapi itupun sudah disenimodernkan, artinya, kekreatifan diperlukan juga di
dalamnya, sedangkan yang betul-betul memerlukan ketepatan presentasi objek
lebih baik disajikan saja dengan menggunakan kamera. Maka oleh karena itu
timbullah kemudian perbedaan antara “representasi” dengan “interpretasi”, antara
citra dan lambang, yang merupakan fondasi yang kuat untuk menelaah
perkembangan seni modern.
Eksplorasi imajinasi dari alam mimpi, lukisan surealis karya Salvador Dali
Dari masa lampau kita mengenal adanya patronage (patron) dalam seni,
yaitu perlindungan terhadap seni yang diberikan oleh tokoh-tokoh penguasa atau
gereja demi kelangsungan perkembangannya. Pasang surutnya kemampuan
pelindung atau penunjang seni ini dalam melakukan fungsinya besar sekali
pengaruhnya dalam perkembangan seni modern. Misalnya, apabila pada masa
kejayaannya patron-patron seni tersebut adalah diktator-diktator seni yang bisa
memaksakan arah perkembangan seni karena merekalah yang membiayainya,
maka kini sebaliknyalah yang terjadi; mereka itu yang harus tunduk pada
kemauan para seniman. Pada zaman modern ini seniman tidak lagi menunggu
uluran tangan mereka yang memiliki uang untuk menciptakan karyanya. Mereka
mampu membiayai sendiri ciptaan-ciptaannya. Hal ini dimungkinkan pula antara
lain oleh makmn populernya seni-seni kecil semacam lukisan ukuran esel (easel-
painting) atau patung dada ukuran sebenarnya (life size), yang biayanya relatif
murah dan dapat diusahakan sendiri oleh para seniman penciptanya, sehingga
karenanya mereka dapat melepaskan diri dari ketergantungannya pada seorang
pelindung.
Sebagaimana diketahui di masa lampau, pada saat keemasan agama atau di
waktu kejayaan kekaisaran yang absolut, yang berkembang sangat menonjol
adalah jenis kesenian kolosal, lukisan dinding yang besar-besar, arsitektur istana
dan gereja, maupun patung-patung besar yang disejajarkan dengan kebesaran para
pendukungnya yang tidak mungkin di usahakan sendiri oleh senimannya. Dengan
demikian si sponsor ini menjadi penentu kemana seniman atau karya seni akan di
arahkan.
Pecahnya Revolusi Perancis pada tahun 1789 merupakan titik akhir dan
kekuasaan feodalisme di Perancis yang pengaruhnya terasa juga pada bagian-
bagian dunia lainnya. Demikian pula revolusi ini ternyata tidak hanya merupakan
perubahan tata politik dan tata sosial saja, tetapi juga menyangkut kehidupan seni,
karena dengan ini berarti berakhir pulalah pengaruh raja atas kehidupan dan
perkembangan seni. Jauh sebelum itu antara gereja dan seniman telah pufa terjadi
keretakan hubungan yang di satu fihak disebabkan oleh kemunduran fungsi dan
daya tarik gereja di masyarakat sejak zaman Renesans dan di lain fihak karena
dunia seni telah menemukan tuannya yang baru, yaltu raja dan para bangsawan
yang merupakan penguasa-penguasa dan pemilik harta sejak kemerosotan fungsi
gereja. tersebut. Oleh karena itu kini para seniman menjadi tokoh-tokoh yang
bebas, melayang-layang tanpa tambatan. Mereka tidak punya lagi fungsi yang
terang dalam tatà sosial yang baru itu. Maka lambat laun terbentuklah kelompok
baru dalam masyarakat, ialah kelompok seniman. Sedikit demi sedikit mereka
mulai mencipta semata-mata memperturutkan panggilan hati masing-masing,
melukis bukan karena ada yang meminta atau memberi tugas, melainkan semata-
mata karena ingin melukis saja. Maka dengan demikian mulailah riwayat seni
lukis modern dalam sejarah yang ditandai dengan individualisasi dan isolasi diri
ini.
Karya Seni Rupa Modern,
Lukisan karya seniman Vincent Van Gogh
Seni Grafis karya FX harsono, dengan tema peristiwa politik tahun 1998
Rangkuman
Istilah tradisional pada kata seni rupa tradisional berasal dari kata “tradisi”
yang menunjuk kepada suatu institusi, artefak, kebiasaan atau prilaku yang
didasarkan pada tata aturan atau norma tertentu baik secara tertulis maupun tidak
tertulis yang diwariskan secara turun temurun dari suatu generasi ke generasi
berikutnya. Berdasarkan pengertian tersebut, maka secara singkat dapat dikatakan
bahwa karya seni rupa tradisional adalah karya seni rupa yang bentuk dan cara
pembuatannya nyaris tidak berubah diturunkan dari satu generasi ke generasi
berikutnya. Bukan hanya itu, nilai dan landasan filosofis yang berada dibalik
bentuk karya seni rupa tradisional tersebut pun umumnya relatif tidak berubah
dari masa-ke masa. Bentuk-bentuk seni rupa tradisional ini dibuat dan diciptakan
kembali mengikuti suatu aturan (pakem) yang ketat berdasarkan sistem keyakinan
atau otoritas tertentu yang hidup dan terpelihara di masyarakatnya.
Seni rupa modern adalah karya seni rupa yang diciptakan dengan
berlandasakan pada azaz-azas modernime seperti selalu mengandungnilai
kebaruan (novelty) yang membedakannya dengan karya seni rupa tradisional,
individual (bukan karya komunal) dan dianggap bersifat universal. Memang seni
modern tidak terbatas oleh hal-hal yang kasatmata seperti objek-objek lukisan
tertentu ataupun corak dan gaya tertentu, melainkan ditentukan oleh sikap batin
senimannya. Seni modern pun, berkat perkembangan komunikasi modern yang
menyertai kemajuan teknologi, tidak kenal lagi akan batas-batas daerah dengan
kekhasan tradisinya masing-masing. Seni modern menjadi universal sifatnya.
Seni rupa kontemporer pada awalnya adalah sebuah wacana dalam praktek
seni rupa di Barat adalah praktek seni rupa yang menunjuk kepada kecenderungan
posmodern. Kecenderungan ini menyiratkan wacana dalam praktek seni rupa yang
“anti modern”. Hal ini disebabkan karena salah satu paradigma kemunculan
posmodern adalah paradigma yang menolak modernisme. Sifat-sifat modern yang
ditolak diantaranya adalah semangat universalisme, kolektivitas, membelakangi
tradisi, mengedepankan teknologi, individualitas serta penolakan (pelecehan) non-
Barat. Ciri kontemporer dalam wacana seni rupa kemudian dikukuhkan dengan
semangat pluralisme (keberagaman), berorientasi bebas serta menghilangkan
batasan-batasan kaku yang dianggap baku (konvensional) dalam seni rupa selama
ini. Dalam seni rupa kontemporer batasan medium dan pengkotak-kotakan seni
seperti “seni lukis”, “seni patung” dan “seni grafis” nyaris diabaikan. Orientasi
bebas dan medium yang tidak terbatas memunculkan karya-karya dengan media-
media inkonvensional serta lebih berani menggunakan konteks sosial, ekonomi
serta politik
Latihan
1. Kumpulkan berbagai gambar dan artikel yang berisi tentang ketiga konsep
kesenian (tradisional, modern dan kontemporer). Diskusikan dengan rekan-
rekan saudara dengan menganalisis dan membandingkan berbagai
kecenderungan bentuk serta latar belakang konsep jenis karya seni rupa
tersebut.
2. Buatlah sebuah karya tulis sederhana tentang salah-satu jenis karya seni rupa
(tradisional, modern atau kontemporer) yang ada dilingkungan tempat tinggal
saudara. Kemukakan alasan-lasan saudara mengapa karya yang saudara pilih
dapat diketegorikan seni rupa tradisional, kontemporer atau modern
Test Formatif
Pilih satu jawaban yang paling tepat dari beberapa alternatif jawaban yang
disediakan
2. Berdasarkan pengertian atau konsep seni rupa tradisional, maka batik tulis di
Indonesia dapat digolongkan kedalam karya seni….
a. modern c. tradisonal
b. kontemporer d. primitif
3. Potret diri karya pelukis Affandi (Alm) dapat dikategorikan sebagai karya
seni rupa
a. modern c. tradisonal
b. kontemporer d. primitif
9. Seni hanya untuk seni, terbebas dari kepentingan lain di luar seni. Jargon ini
dianut oleh seniman yang mengusung karya seni rupa
a. kontemporer c. tradisonal
b. modern d. primitif
10. Sifat-sifat modern yang di tolak kelompok pendukung seni rupa kontemporer
diantaranya adalah:
a. individualitas dan universalisme c. meniadakan pengkotak-kotakan seni
b. tradisional dan komunal d. tidak ada yang benar
Daftar Pustaka
Abdul Muis, Andi, Indonesia di Era Dunia Maya, Teknologi Informasi dalam
Dunia Tanpa Batas, Remaja Rosda Karya, Bandung, 2001.
Barret, Terry, Criticizing Art: Understanding the Contemporary, Mayfield
Publishing Company, Mountain View. California, London, Toronto,
1994.
“Bavf-Naf# 1” katalog The Bandung Video, and New Media Art Forum, 7-11
Agustus 2002, Jejaring Artnetworkers, Bandung, 2002
Danto, Arthur C., After The End of Art Contemporary Art and The Pole of
History, Priceton University Press, William Street, Princeton, New
Jersey, 1995.
Diah Latifah dan Harry Sulastianto, Penuntun Belajar Pendidikan Seni I, Ganeca
Exact: Bandung, 1994.
”Eksotika Dotkom”, Katalog Pameran Agus Wage, Oktober 2000.
”Evaluasi Sembilan” Katalog Pameran Seni Rupa, Purna Budaya Yogyakarta, 9-
14 Juli 2002.
Fernie, Eric, Art Histoy and its Method, Phoidon, London, 1995.
Gandaprawira, N., (ed.), 2005, Seni Rupa dan Kerajinan, Buku Ajar mahasiswa
PGSD/PGTK, Guru SD/TK, Bandung, Jurusan Pendidikan Seni Rupa
Universitas Pendidikan Indonesia.
Hasan, Asikin, “ Menyimpang dari Tradisi Modernisasi”, dalam Forum Keadilan,
no 23, Tahun V, 24 Februari 1997
Hauser, Arnold, The Sociology of Art, (terj.) Kenneth J. Northcott, The University
of Chicago Press, Chicago and London, 1989.
Hertz, Richard, Theories of Contemporary Art, Prentice-Hall, Inc. Englewood
Cliffs, New Jersey, 1985.
Holt, Claire. 2000. Melacak Jejak Perkembangan Seni di Indonesia
Diterjemahkan Oleh R.M. Soedarsono. Bandung: Masyarakat Seni
Pertunjukkan Indonesia.
Kavolis, Vytautas, 1972, History On Art’s Side Social Dynamic In Efflorescences,
Itacha, New York: Cornel University Press.
Latifah, Diah dan Sulastianto, Harry, 1994, Penuntun Belajar Pendidikan Seni I,
Bandung: Ganeca Exact.
McCloud, Scott, Understanding Comics (Memahami Komik), Alih Bahasa S.
Kinanti , Kepustakaan Populer Gramedia Jakarta, Jakarta, 2001.
“Modernism, Modernity, and Contemporary World Art: Contemporary
Indonesian Art In A Global Perspective”, Katalog Pameran Seni
Kontemporer GNB, Contemporary Indonesian Art, 28 April-28 May
1995 TIM Jakarta, 1995.
Pasca Modernisme: Populisme Budaya Massa dan Garda depan”, (terj.) Nug.
Kartjasungkana, Prisma, edisi 1 Januari 1993., LP3ES, Jakarta,
1993.Pelfrey, Robert and Marry Pelfrey, Art and Mass Media, Harper &
Row, London, 1986.
Pirous, Iwan Meulia, “Makna Modernitas bagi Seniman Seni Rupa Modern
Indonesia”, dalam Antropologi Indonesia, Th. XXIV. No 62, Jurusan
Antropologi FISIP UI dan Yayasan Obor, Jakarta, 2000.
Rasjoyo, Pendidikan Seni Rupa Untuk SMU kelas I, Erlangga, Jakarta, 1994.
Riyanto, Didik, Proses Batik: Batik Tulis-Batik Cap Batik Printing,CV.Aneka,
Solo, 2002.
Rohidi, Tjetjep Rohendi. 2000. Ekspresi Seni Orang Miskin. Adaptasi Simbolik
Terhadap Kemiskinan. Bandung : Nuansa.
Rohidi, Tjetjep Rohendi.. 2000. Kesenian Dalam Pendekatan Kebudayaan.
Bandung: STISI Press.
Sahman, Humar, Mengenali Dunia Seni Rupa, Tentang Seni, Karya Seni,
Aktivitas Kreatif, Apresiasi, Kritik dan Estetika, IKIP Semarang Press,
Semarang, 1993
”Setengah Abad Seni Grafis Indonesia”, Katalog Pameran Seni Grafis,
Kepustakaan Populer Gramedia dan Bentara Budaya Jakarta, Jakarta,
2000.
Soedarso Sp., Sejarah Perkembangan Seni Rupa Modern, CV Studio
Delapanpuluh Enterprise & BP ISI Yogyakarta, Yogyakarta, 2000
Sugiharto, I. Bambang, Postmodernisme, Tantangan Bagi Filsafat, Kanisius,
Yogyakarta, 1996.
Sumartono, (et al.), Outlet,Yogya dalam Peta Seni Rupa Kontemporer Indonesia,
Yayasan Seni Cemeti. Yogyakarta, 2000.
Sumartono, “Penelitian Sejarah Seni Rupa Setelah Krisis Modernisme” dalam
Jurnal Seni, edisi I/01-Mei 1991, BP ISI Yogyakarta, Yogyakarta, 1991.
Supangkat, Jim. “Seni Rupa dan Reformasi” dalam HU. KOMPAS, edisi Minggu,
13 September 1998
Supangkat, Jim. 1996. Multi Kulturalisme/Multimodernisme. Majalah Kalam
Edisi 8. Jakarta.Suradi, A. Prayitno, Membuat Aneka Barang Kerajinan
Cideramata, Humaniora Utama Press, Bandung, 1999.
Syafii, dkk., 2002. Materi Pembelajaran Kertakes SD. Jakarta : Universitas
Terbuka.
Tangsi, 2000, “Memahami Estetika Seni Rupa Tradisional, dalam Jurnal
Pinisi,Vol 6 No. 2 September 2000, Makasar, FPBS UNM.
Thomson, Jhon B., Ideology and Modern Culture, Polity Press, Cambridge UK,
1990.
Walker, Jhon A., Art In The Age Of Mass Media, Pluto Press, London, 1994.
Yamin, Muhammad, Lukisan Sedjarah, Djambatan, Djakarta, 1956.