Anda di halaman 1dari 21

Kegiatan Pembelajaran 3

Seni Rupa Tradisional, Modern dan Kontemporer

Berbeda dengan materi yang diberikan pada Kegiatan Belajar sebelumnya


yaitu pada KB 1 tentang perkembangan seni rupa di mancanegara dan pada KB 2
tentang perkembangan seni rupa di Nusantara yang diuraikan berdasarkan konteks
kesejarahan, pada KB 3 ini anda akan mendapatkan wawasan dengan
mengkategorikan karya seni rupa berdasarkan konsep Tradisional, Modern dan
Kontemporer. Pembagian berdasarkan konsep tersebut perlu diberikan agar kita
dapat memahami berbagai kecenderungan bentuk karya seni rupa dengan berbagai
konsep seni rupa yang ada sejak dikenalnya karya seni rupa pada zaman
prasejarah hingga saat ini. Pembagian konsep dalam kategori-kategori tersebut
terutama untuk memberikan wawasan filosofi dan latar belakang konsep gagasan
berkarya seniman yang menghasilkan berbagai bentuk karya seni rupa. Wawasan
ini dianggap penting agar kita dapat lebih memahami berbagai fenomena karya
seni rupa saat ini yang semakin beraneka ragam baik dari segi bentuk, teknik
maupun mediumnya. Perlu juga untuk diketahui, bahwa pengkategorian ini tidak
menunjukkan kategori waktu awal (tradisional) hingga akhir (kontemporer), tetapi
semata-mata menunjukkan kecenderungan konsep berkarya dari berbagai karya
seni rupa yang ada dan eksis hingga saat ini. Dengan kata lain, walaupun seolah-
olah menunjukkan sebuah perkembangan pemikiran (gagasan), tetapi ketiga
kecenderungan tersebut khususnya di Indonesia, hadir secara bersama-sama
hingga saat ini tanpa menunjukkan superioritas satu dengan yang lainnya.
Pemikiran yang memandang seni tradisi adalah seni yang kuno dan ketinggalan
jaman tidak lagi relevan terutama sejak munculnya gagasan filosofi
posmodernisme yang menjadi dasar konsep seni Kontemporer. Sikap apresiatif
yang menghargai berbagai fenomena bentuk dan aktivitas berkarya seni rupa akan
semakin baik dengan pemahaman terhadap ketiga wilayah konsep tersebut. Sikap
ini sangat diperlukan bagi seorang pendidik tidak saja menghadapi berbagai latar
belakang budaya para siswanya, tetrapi sekaligus mendorong anak didiknya untuk
menghargai perbedaan budaya di lingkungan masyarakatnya maupun budaya-
budaya yang hidup pada masyarakat lainnya.

A. Seni Rupa Tradisional


Istilah tradisional berasal dari kata “tradisi” yang menunjuk kepada suatu
institusi, artefak, kebiasaan atau prilaku yang didasarkan pada tata aturan atau
norma tertentu baik secara tertulis maupun tidak tertulis yang diwariskan secara
turun temurun dari suatu generasi ke generasi berikutnya. Berdasarkan pengertian
tersebut, maka secara singkat dapat dikatakan bahwa karya seni rupa tradisional
adalah karya seni rupa yang bentuk dan cara pembuatannya nyaris tidak berubah
diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Bukan hanya itu, nilai dan
landasan filosofis yang berada dibalik bentuk karya seni rupa tradisional tersebut
pun umumnya relatif tidak berubah dari masa-ke masa. Bentuk-bentuk seni rupa
tradisional ini dibuat dan diciptakan kembali mengikuti suatu aturan (pakem) yang
ketat berdasarkan sistem keyakinan atau otoritas tertentu yang hidup dan
terpelihara di masyarakatnya. Dalam konteks perkembangan seni rupa di Barat
(Eropa), istilah seni rupa tradisional ini menunjukkan pada otoritas penguasa
agama (gereja), raja dan para bangsawan. Para seniman tradisional menciptakan
karya berdasarkan keinginan atau aturan yang telah ditetapkan sesuai ”selera”
institusi-institusi tersebut dan berlangsung dalam rentang waktu yang panjang,
sepanjang kekuasaan institusi-institusi tersebut.
Berdasarkan pengertian seni tradisional yang telah disebutkan di atas, kita
menjumpai berbagai karya seni rupa di Indonesia khususnya karya-karya seni
kriya dapat dikategorikan sebagai karya seni rupa tradisional. Banyak sekali
benda-benda kriya yang tersebar dikepulauan Nusantara, yang bentuk, bahan dan
cara pembuatannya hingga saat ini tidak mengalami perubahan yang berarti sejak
pertama kali diciptakannya. Karya-karya seni tradisi ini umumnya hidup di
lingkungan masyarakat yang masih kuat memegang norma atau adat istiadat yang
diwariskan para leluhurnya. Perubahan umumnya terjadi pada fungsi dari benda-
benda kriya tersebut yang semula berfungsi sebagai benda pakai atau benda-benda
pusaka kini menjadi benda hias atau cindera mata. Perubahan sistem sosial dan
budaya masyarakat serta kemajuan teknologi berperan besar mempengaruhi
perubahan fungsi benda-benda tersebut.
Pada perkembangan selanjutnya dalam konteks seni rupa dunia, istilah
seni rupa tradisional kerap ditujukan kepada karya seni rupa non Barat. Sifatnya
yang mentradisi dan tidak berubah ini menjadi pembeda utama dengan karya seni
rupa Modern yang senantiasa menuntut inovasi dan kebaruan. Ciri lain dari karya-
karya seni rupa tradisional ini adalah latar belakang penciptaan atau
pembuatannya yang senantiasa terikat oleh fungsi atau konteks tertentu. Pada
karya-karya komunal seperti itu, peran ekspresi individu senimannya nyaris tidak
tampak. Hak penciptaan karya seni rupa bukan milik perorangan tetapi milik
masyarakat pendukungnya. Dengan demikian hampir tidak ada karya seni rupa
tradisional yang menggunakan inisial pembuatnya seperti yang umumnya terdapat
pada karya-karya seni Modern.
Karya seni rupa tradisional tersebar luas dari ujung Barat hingga ujung
Timur kepulauan Nusantara (Indonesia). Sejak masuknya kolonialisme barat
(penjajahan bangsa Eropa) ke kepulauan Nusantara dan berkembangnya paham
seni rupa Modern di Eropa, maka karya-karya seni rupa Nusantara di luar kategori
karya yang menggunakan konsep Modern tersebut dikategorikan sebagai karya
seni rupa tradisional. Pengkategorian ini dalam pandangan yang sempit seringkali
digunakan untuk menunjukkan karya seni rupa yang bermutu tinggi (modern)
dengan karya yang bermutu rendah (tradisional). Pengaruh penjajahan bangsa
Barat yang cukup lama di kepulauan Nusantara menyebabkan pandangan
semacam ini terus berkembang yang memandang karya-karya seni kriya (seni
rupa tradisional) lebih rendah dari karya seni lukis atau patung modern. Hal
tersebut tidak terlepas dari pandangan sebagian masyarakat yang memandang
modern identik dengan kemajuan dan perkembangan sedangkan tradisional
identik dengan stagnasi, kuno atau ketinggalan jaman. Sikap dan cara
mengapresiasi yang keliru ini seringkali menyebabkan karya-karya seni rupa
tradisional yang sesungguhnya bernilai tinggi terabaikan dan terlupakan. Padahal
karya-karya seni rupa tradisional Nusantara ini memiliki peluang yang sangat
besar untuk dikembangkan dan menjadi gagasan dalam berkarya seni rupa.
Apresiasi yang tepat diharapkan dapat menghasilkan inovasi karya-karya seni
rupa yang memiliki cirikhas Indonesia.

Wayang Golek merupakan salah satu karya seni rupa tradisional

Karya seni rupa tradisonal ” Wayang Kulit”


B. Karya Seni Rupa Modern
Seni rupa Modern adalah istilah umum yang digunakan untuk
kecenderungan karya seni yang diproduksi sejak akhir abad 19 hingga sekitar tahu
1970 an. Seni rupa modern menunjuk kepada suatu pendekatan baru dalam seni
dimana tidak lagi mementingkan representasi subjek secara realistik—penemuan
fotografi menyebabkan fungsi penggambaran di dalam seni menjadi absolut, para
seniman modern berksperimen mengeksplorasi cara baru dalam melihat sesuatu,
dengan ide segar tentang alam, material dan fungsi ini, seringkali bergerak melaju
kearah abstraksi
Istilah Modernisme sendiri menunjukkan ideologi yang mempengaruhi
gerakan budaya, politik dan seni yang menyertai perubahan masyarakat di Barat
pada akhir abad 19 dan awal abad 20. Secara meluas, modernisme dideskripsikan
sebagai satu seri pergerakan budaya progresif dalam seni rupa, arsitektur dan
musik, literatur dan seni pakai yang muncul dalam dekade sebelum 1914. tercakup
di dalam perubahan dan kehadirannya, modernisme menjadi arah karya seniman,
pemikir, penulis dan perancang yang memberikan label baru tradisi akademi dan
sejarah seni pada akhir abad 19 serta mengkonfrontasi aspek ekonomi, sosial dan
politik baru yang dimunculkan dunia modern.
Memahami seni rupa modern dapat juga dengan melakukan analisis
terhadap istilah pembentuknya yaitu ”seni” dan ”modern”. Istilah seni umumnya
merujuk pada segala kegiatan dan hasil karya manusia yang mengutarakan
pengalaman batinnya yang karena disajikan secara unik dan menarik
memungkinkan timbulnya pengalaman atau kegiatan batin pula pada diri orang
lain yang melihat dan menghayatinya. Hasil karya ini lahir bukan karena didorong
oleh hasrat memenuhi kebutuhan hidup manusia yang paling pokok, melainkan
oleh kebutuhan spiritualnya, untuk melengkapi dan menyempurnakan derajat
kemanusiaannya. Dengan batasan seperti ini kita dapat mencoba untuk
menunjukkan benda apa saja yang layak untuk disebut seni dapat masuk ke
dalamnya. Adapun istilah “modern” dalam hal ini tidak selalu harus dihubungkan
dengan waktu. Sarah Newmeyer misalnya, walaupun terasa agak absurd, menulis
dalam bukunya bahwa seni modern itu boleh jadi berupa gambar bison yang
digoreskan 20.000 tahun yang lalu dan boleh jadi juga karya Picasso yang baru
saja diselesaikan pagi ini.‟ Berdasarkan pendapat ini jelaslah bahwa ia
menggunakan istilah modern tidak dalam hubungannya dengan kronologi
melainkan dimaksudkan untuk menunjukkan sesuatu kelompok karya yang
memifiki sifat-sifat tertentu. Maka sifat-sifat tertentu itulah yang dapat dipandang
sebagal ciri khas seni modem sehingga dengan mudah akan dapat dikenali mana
yang bisa digolongkan dalam seni modern dan mana yang tidak. Dengan
ungkapan itu sesungguhnya artian modern tersebut diperluas tetapi sekaligus juga
dipersempit. Diperluas, karena istilah itu menyangkut juga seni prasejarah dan
dipersempit karena sebaliknya, belum tentu apa yang dilukiskan sekarang dapat
masuk di dalamnya. Apabila kita ingin membenarkan kata-kata Newmeyer
tersebut, dapatlah dikatakan bahwa setidaknya pada saat diciptakan, seni
prasejarah ini memang memifiki sifat-sifat modern. Kalaupun secara kronologis
kita akan membatasi daerah seni modern ini dan menyempitkan pada karya-karya
yang diciptakan pada apa yang biasa kita sebut sebagai jaman modern, kita akan
juga mengalami kesukaran, yaitu di mana menarik garis batasnya; kapan dan di
manakah mulainya seni rupa modern itu. “Modern art begins nowhere because it
begins everywhere. It is fed by a thousand roots, from cave paintings 30,000 years
old to the spectacular novelties in the last week’s exhibitions,” kata Canaday
yang kurang lebih menunjang ungkapan Newmeyer di atas. Semua pencapaian
dari masa ke masa di banyak tempat di dunia ini memberikan andilnya pada
pembentukan seni modern, sehingga susahlah untuk menentukan kapan dan di
mana periode seni rupa modern itu sebenarnya mulai. Maka untuk itu, sekali lagi,
kita harus mempunyai pegangan, kualitas apakah yang paling berharga dalam seni
modern tersebut dan dengan itu mencoba untuk mencari kapan kualitas tadi mulai
ada atau berkembang biak dengan baik (Soedarso, 2000).
Kalau kita mengacu periodisasi sejarah umum di Eropa—dimana sebagian
besar kejadian dalam panggung sejarah seni rupa modern ini berlangsung—maka
babakan sejarah modern Eropa dianggap mulai sejak zaman Renesans pada abad
ke-15 sedangkan sejarah seni rupa modern di Eropa baru pada abad ke-19,
dengan munculnya tokoh pelukis J.L. David di Perancis yang dianggap memiliki
sesuatu yang dapat disejajarkan dengan kualitas modern tadi. Bahkan ada pula
yang menganggap seni modern Eropa dimulai pada massa yang lebih akhir lagi.
Seperti telah diuraikan di atas, seni modern pada dasarnya tidak terbatas
oleh hal-hal yang kasatmata seperti objek-objek lukisan tertentu ataupun corak
dan gaya tertentu, melainkan ditentukan oleh sikap batin senimannya. Seni
modern pun, berkat perkembangan komunikasi modern yang menyertai kemajuan
teknologi, tidak kenal lagi akan batas-batas daerah dengan kekhasan tradisinya
masing-masing. Seni modern menjadi universal sifatnya. Walaupun di sana-sini
ada pula terdapat cap-cap daerah atau ada kalanya seni tradisi secara sadar atau
tidak dimunculkan oleh seseorang pelukis modern ke dalam hasil karyanya,
namun kenyataannya kita akan kesulitan untuk dapat menebak dari mana asal
sesuatu lukisan yang dihadapkan kepada kita. “Today the boundaries are vague
Horizons are infinite; the artist is tempted to explore in a hundred directions at
once.” Tulis Canaday pula. Mengenai yang terakhir ini, yaitu bahwa para seniman
modern terangsang untuk menjelajah ke segala arah, kebenarannya tidak hanya
sebatas arah di peta bumi saja, bahwa misalnya banyak seniman Eropa
meninggalkan negerinya untuk mencari objek lukisan yang lain, tetapi juga karena
daerah perhatian mereka itu meluas ke mana-mana. Bukan hanya pemandangan
yang indah dan wanita cantik saja yang ingin dilukisnya, tetapi juga toilet bekas
yang sudah tidak terpakai lagi atau kulit pokok kayu yang memiliki jenis
permukaan atau texture yang unik, atau bahkan jaringan sel-sel yang hanya dapat
diamati melalui mikroskop yang dulu sama sekali tidak terjamah oleh perhatian
seniman, kini menjadi lahan yang subur bagi objek lukisan para seniman modern.
Dengan ini jelaslah bahwa bagi mereka itu seni modern tidak dibatasi oleh ruang
dan waktu, bahkan di sana-sini juga tidak terikat oleh tatabahasa maupun kaidah-
kaidah seni yang sudah mapan. Mereka sanggup menerima segala macam bentuk
seni hampir dengan tiada bersyarat. Batasan-batasan yang dulu ada seperti ikatan
tradisi (spirit of the race) atau ikatan zaman (spirit of the age), demikian juga
ketentuan-ketentuan tentang isi ataupun tema telah disisihkan semuanya.
Satu syarat yang masih dituntut oleh seni modern yang bahkan merupakan
ciri khasnya, ialah “kreativitas”. Dan sebuah perkataan ini tercantumlah beberapa
sifat yang merupakan gejala-gejalanya. Oleh karena itu untuk menghindarkan
istilah „modern‟ yang bermuka banyak itu ada pula yang menamai seni modern
tersebut dengan istilah “seni kreatif”. Seorang seniman modern akan melihat
dunia atau bagian daripadanya yang sedang dihadapi sebagai objek dari
lukisannya seolah-olah seperti baru saja objek itu diciptakan. Artinya, seakan-
akan baru sekali itu saja ia menghayatinya dan baru kali itu pula mencoba untuk
melukisnya, walaupun kenyataannya sudah berkalikali Ia melukiskan objek
tersebut, dan entah telah berapa kali ia melihatnya. Kita tidak tahu sudah berapa
kali pelukis kita yang terkenal, Affandi, melukis potret diriya. Namun setiap kali
kita menatapnya, sekian kali pula kita menemukan sesuatu yang baru pada karya-
karya itu, karena sang pelukis setiap kali selalu menghayati kembali dan
mendapatkan pengalaman baru dalam objeknya, walaupun objek itu adalah
dirinya sendiri. Seorang pelukis lain harus melupakan kuda atau gambar kuda
yang telah seribu kali dilihatnya apabila ia akan melukis seekor kuda. Ia harus
melihat kuda itu dengan mata kepalanya sendiri— atau mata hatinya—dan
memperoleh impresi pertama dari pengalaman tersebut. Sebagaimana kita ketahui,
hasil pengamatan itu amat dipengaruhi oleh pengalaman, pengetahuan serta kesan
si pengamat atas objek pengalaman yang sudah dimiliki sebelumnya yang
tentunya berbeda dari tiap pengamat yang lain, dan kiranya juga dipengaruhi oleh
suasana hati Si pengamat itu sendiri ketika Ia sedang mengamatinya. Yang
teràkhir inilah yang menuntut pengamatan itu harus selalu dilakukan setiap saat
seseorang akan berkarya. Dalam hubungannya dengan keadaan tersebut, kira-kira
100 tahun yang lalu Gustave Courbet, Si pelopor realisme dari Perancis itu,
pernah berharap agar museum-museum ditutup saja sekurang-kurangnya 20 tahun
lamanya agar para seniman muda tidak sempat berdialog dengan karya-karya
yang ada di dalamnya yang semuanya merupakan hasil pengamatan orang lain. Ia
berkeinginan agar apa yang pernah diciptakan orang tidak mempengaruhi
pengamatan pelukis berikutnya. Mungkinkah itu dan perlukah itu, adalah soal-soal
lain yang harus dijawab lewat ilmu pendidikan seni rupa.
Sikap batin yang demikian itulah yang membedakan seniman modern dan
golongan tradisional ataupun akademik—yang sekarang juqa sudah menjadi
tradisional. Sikap batin yang tidak stereotip, yang selalu ingin akan yang baru dan
yang lain dari pada yang lain. Kreativitas :sangat penting dalam seni modern, dan
dalam kretivitas ini berkembanglah sifat-sifat orijinalitas, kepribadian, kesegaran,
dan sebagainya. Dengan bayaran apapun (yang kadangkala sangat tinggi, dengan
mengorbankan nilai-nilai yang sesungguhnya masih baik dan masih diperlukan
oleh seni yang manapun juga), para seniman modern amat menghargai dan
mengejar-ngejar nilai-nilai tersebut yang singkat kata dapat disebut sebagai nilai
kebaruan atau novelty.
Apabila seorang anak menunjukkan coreng moreng dan mengatakan
bahwa itu adalah gambar anjing atau kucing, maka kiranya itulah konsepnya atas
hewan-hewan tersebut yang belum sempat “diperbaiki” oleh hubungan anak itu
dengan tradisi dan masyarakat disekitarnya. Karya-karya itu adalah ekspresi anak
tersebut yang masih murni. Seorang-seniman dewasa tidak mungkin berada dalam
keadaan semurni itu karena ia tidak dapat melepaskan diri dari ikatan sosial yang
ada di sekitarnya. Oleh karena itu seorang seniman modern dengan sadar berusaha
untuk membebaskan dirinya dari ikatan tersebut dalam hubungannya dengan
tanggapannya terhadap objeknya. Berhasil atau tidaknya usaha ini tidak selalu
identik dengan keberhasilan karya seninya. Maka usaha dan sikap batin itulah
yang harus menjadi ukuran, bukan sematamata hasil usahanya. Sekalipun tidak
sedikit yang mendiskreditkan seni lukis yang realistik dan lingkungan seni
modern, namun bertolak dari pendapat di atas tentunya ada juga lukisan yang
bergaya realistik itu yang dapat digolongkan dalam seni modern, yaitu apabila
sikap batin si seniman dalam melukisnya dapat dikembalikan kepada watak seni
modern di atas; yaitu apabila si seniman tidak bertindak stereotip dan selalu
mengadakan pengamatan dahulu sebelum melahirkan karya realistiknya. Perlu
ditekankan bahwa bagaimanapun juga lukisan atau hasil seni yang lain itu selalu
merupakan interpretasi si seniman dalam menanggapi objeknya. Baik hasil seni
itu merupakan suatu taferil yang secara perspektip dapat dipertanggungjawabkan
ataukah bercorak dekoratif ala Mesir kuna, keduanya adalah interpretasi juga.
Pada suatu saat seorang sehiman menggunakan imajinasi atau visinya untuk
menangkap objek lukisannya sehingga terjadilah “perspektif susun timbun”
seperti yang ada di Mesir kuna itu, tetapi pada saat lain ia menggunakan
ketajaman matanya yang kemudian ternyata menjadi pendorong diketemukannya
perspektif di zaman Renesans. Namun keduanya jelas tidak berhasil dalam
memberikan kepada kita “realitas” objeknya secara total; yang satu mengikuti ide
atau pengertiannya tentang objek itu dan dengan demikian terjadilah karya yang
ideoplastik yang secara visual tampak tidak wajar, dan yang lain
menganakemaskan matanya membentuk suatu lukisan yang lebih “enak”
dipandang mata (visioplastik) walaupun masih belum terhindar dart “kesalahan”.
Dapat disaksikan misalnya, meja yang bujur sangkar menjadi tidak sama lagi
panjang sisi-sisinya, sudut-sudutnya tidak 90° tetapi ada yang tumpul dan ada
yang runcing, dan kakinya yang empat seningkali hanya kelihatan tiga. Dalam
sebuah gambar pemandangan sering terlihat tiang-tiang listrik yang sama
tingginya tergambar tidak sama tinggi; makin jauh jaraknya dan taferil ukurannya
menjadi makin pendek. Akibat luasnya daerah seni modern itu maka variasi yang
terdapat di dalamnya pun tak terhingga pula jumlahnya, sehingga tidak mungkin
untuk memasukkannya ke dalam suatu difinisi yang formal.

”Guernica”, lukisan bergaya kubistis karya Pablo Picasso

Pada saat semua objek yang kasatmata ini mulai mengering dan makin
susah menawarkan hal-hal baru yang menarik, kreatif, dan lain dan pada yang
lain, maka perkembangan ilmu jiwa dalam ala Freud (Sigmund Freud)
menampilkan lahan baru yang tidak kering-keringnya, yaitu dunia imajinasi
manusia. Dunia baru ini tidak ada batasnya, kecuali batas kemampuan manusia
untuk mengedarinya atau batas kneativitas seniman untuk menemukan inovasinya.
Sementara itu, penemuan teknik fotografi dalam satu hal telah mengurangi daerah
gerak seni lukis, karena fotografi yang dengan cepat dan tepat mampu merekam
objek itu menggantikan sebagian fungsi seni lukis yaitu fungsi dokumentatif dan
fungsi menyajikan presentasi realistik bagi objek-objeknya. Sejak berkembangnya
fotografi tersebut seni lukis tidak lagi dibebani dengan fungsi sosial berupa
penggambaran secara visual ataupun pembuatan gambar-gambar ilustratif untuk
bermacam tujuan. Namun perlu juga diingat bahwa di lain pihak fotografi telah
sempat pula memperluas daerah jelajah seni lukis. Banyak teknik-teknik melukis
di zaman teknologi tinggi ini yang menggunakan pertolongan fotografi. ilustrasi -
ilustrasi tertentu sekarang ini memang masih ada yang dikerjakan dengan tangan,
tetapi itupun sudah disenimodernkan, artinya, kekreatifan diperlukan juga di
dalamnya, sedangkan yang betul-betul memerlukan ketepatan presentasi objek
lebih baik disajikan saja dengan menggunakan kamera. Maka oleh karena itu
timbullah kemudian perbedaan antara “representasi” dengan “interpretasi”, antara
citra dan lambang, yang merupakan fondasi yang kuat untuk menelaah
perkembangan seni modern.
Eksplorasi imajinasi dari alam mimpi, lukisan surealis karya Salvador Dali

Dari masa lampau kita mengenal adanya patronage (patron) dalam seni,
yaitu perlindungan terhadap seni yang diberikan oleh tokoh-tokoh penguasa atau
gereja demi kelangsungan perkembangannya. Pasang surutnya kemampuan
pelindung atau penunjang seni ini dalam melakukan fungsinya besar sekali
pengaruhnya dalam perkembangan seni modern. Misalnya, apabila pada masa
kejayaannya patron-patron seni tersebut adalah diktator-diktator seni yang bisa
memaksakan arah perkembangan seni karena merekalah yang membiayainya,
maka kini sebaliknyalah yang terjadi; mereka itu yang harus tunduk pada
kemauan para seniman. Pada zaman modern ini seniman tidak lagi menunggu
uluran tangan mereka yang memiliki uang untuk menciptakan karyanya. Mereka
mampu membiayai sendiri ciptaan-ciptaannya. Hal ini dimungkinkan pula antara
lain oleh makmn populernya seni-seni kecil semacam lukisan ukuran esel (easel-
painting) atau patung dada ukuran sebenarnya (life size), yang biayanya relatif
murah dan dapat diusahakan sendiri oleh para seniman penciptanya, sehingga
karenanya mereka dapat melepaskan diri dari ketergantungannya pada seorang
pelindung.
Sebagaimana diketahui di masa lampau, pada saat keemasan agama atau di
waktu kejayaan kekaisaran yang absolut, yang berkembang sangat menonjol
adalah jenis kesenian kolosal, lukisan dinding yang besar-besar, arsitektur istana
dan gereja, maupun patung-patung besar yang disejajarkan dengan kebesaran para
pendukungnya yang tidak mungkin di usahakan sendiri oleh senimannya. Dengan
demikian si sponsor ini menjadi penentu kemana seniman atau karya seni akan di
arahkan.
Pecahnya Revolusi Perancis pada tahun 1789 merupakan titik akhir dan
kekuasaan feodalisme di Perancis yang pengaruhnya terasa juga pada bagian-
bagian dunia lainnya. Demikian pula revolusi ini ternyata tidak hanya merupakan
perubahan tata politik dan tata sosial saja, tetapi juga menyangkut kehidupan seni,
karena dengan ini berarti berakhir pulalah pengaruh raja atas kehidupan dan
perkembangan seni. Jauh sebelum itu antara gereja dan seniman telah pufa terjadi
keretakan hubungan yang di satu fihak disebabkan oleh kemunduran fungsi dan
daya tarik gereja di masyarakat sejak zaman Renesans dan di lain fihak karena
dunia seni telah menemukan tuannya yang baru, yaltu raja dan para bangsawan
yang merupakan penguasa-penguasa dan pemilik harta sejak kemerosotan fungsi
gereja. tersebut. Oleh karena itu kini para seniman menjadi tokoh-tokoh yang
bebas, melayang-layang tanpa tambatan. Mereka tidak punya lagi fungsi yang
terang dalam tatà sosial yang baru itu. Maka lambat laun terbentuklah kelompok
baru dalam masyarakat, ialah kelompok seniman. Sedikit demi sedikit mereka
mulai mencipta semata-mata memperturutkan panggilan hati masing-masing,
melukis bukan karena ada yang meminta atau memberi tugas, melainkan semata-
mata karena ingin melukis saja. Maka dengan demikian mulailah riwayat seni
lukis modern dalam sejarah yang ditandai dengan individualisasi dan isolasi diri
ini.
Karya Seni Rupa Modern,
Lukisan karya seniman Vincent Van Gogh

C. Karya Seni Rupa Kontemporer


Selain berdasarkan medianya, kesenian juga dapat digolongkan
berdasarkan sifatnya, yakni dengan seni kontemporer dan klasik. Seni klasik yang
dimaksud adalah kesenian yang diasosiasikan pada puncak penciptaan seni
tertinggi pada suatu masyarakat. Sedangkan dalam seni kontemporer, sifat
kesenian dihubungkan dengan penciptaan kekinian dan tengah mengalami proses
perkembangan.
Istilah kontemporer sendiri berasal dari kata contemporary yang berarti
apa-apa atau mereka yang hidup pada masa yang bersamaan (D. Maryanto, 2000).
Walaupun demikian istilah “seni rupa kontemporer” ternyata tidak dapat begitu
saja diterjemahkan sebagai seni dengan sifat kekinian seperti dijelaskan di atas.
Istilah seni rupa kontemporer di Barat pada kenyatannya masih menimbulkan
perdebatan, terutama karena tidak ada ciri dominan yang dapat dirujuk untuk
menunjuk kepada suatu praktek atau bentuk seni yang baku. Pengertian
kontemporer semakin menimbulkan perdebatan, apalagi jika istilah tersebut
digunakan untuk menunjuk pada praktek seni rupa di Indonesia. Berbagai
perdebatan ini muncul karena penggunaan artinya secara leksikal menerangkan
kekinian sekaligus juga mewakili konsep seni rupa kontemporer yang dipengaruhi
wacana dalam seni rupa Barat.
Di Barat, wacana kontemporer dimulai dengan menunjukkan pada
berakhirnya era modernisme dalam seni rupa (modern art). Berakhirnya era ini
memunculkan terminologi baru yang kemudian dipakai dalam praktek seni rupa di
Barat yaitu kecenderungan postmodern (post modernisme). Penggunaan istilah
posmodern ternyata menyimpan persoalan—karena kompleksitas dan keragaman
pengertian yang dibawanya—sehingga lebih banyak digunakan istilah seni rupa
kontemporer (contemporary art). Walaupun demikian, istilah ini masih
mendatangkan masalah karena tidak mengarah pada pengertian seni rupa tertentu.
Kerumitan ini ditambah dengan pengertian contemporary yang secara leksikal
sama dengan pengertian modern yang berarti juga ”masa kini” (A. Irianto, 2000).
Seni rupa kontemporer dapat dikatakan sebagai sebuah wacana dalam
praktek seni rupa di Barat yaitu praktek seni rupa yang menunjuk kepada
kecenderungan posmodern. Kecenderungan ini menyiratkan wacana dalam
praktek seni rupa yang “anti modern”. Hal ini disebabkan karena salah satu
paradigma kemunculan posmodern adalah paradigma yang menolak modernisme.
Sifat-sifat modern yang ditolak diantaranya adalah semangat universalisme,
kolektivitas, membelakangi tradisi, mengedepankan teknologi, individualitas (I.
M. Pirous, 2000) serta penolakan (pelecehan) non-Barat. Sifat-sifat modern ini
pada perkembangannya seolah-olah mengesampingkan berbagai produksi
kesenian non Barat yang dianggap lebih rendah dari seni modern karena bersifat
tradisional. Sifat inilah yang ditentang oleh penganut seni rupa posmodern karena
sifat-sifat modern tadi tidak mengakui karya seni rupa tradisonal yang dihasilkan
oleh budaya komunal sebagai karya seni rupa yang sejajar dengan karya seni rupa
modern.
Ciri kontemporer dalam wacana seni rupa kemudian dikukuhkan dengan
semangat pluralisme (keberagaman), berorientasi bebas serta menghilangkan
batasan-batasan kaku yang dianggap baku (konvensional) dalam seni rupa selama
ini. Dalam seni rupa kontemporer batasan medium dan pengkotak-kotakan seni
seperti “seni lukis”, “seni patung” dan “seni grafis” nyaris diabaikan. Orientasi
bebas dan medium yang tidak terbatas memunculkan karya-karya dengan media-
media inkonvensional serta lebih berani menggunakan konteks sosial, ekonomi
serta politik (Sumartono, 2000)..

Seni Grafis karya FX harsono, dengan tema peristiwa politik tahun 1998

Walaupun ada pemaknaan khusus dalam wacana seni rupa kontemporer


seperti telah disebutkan di atas, tetapi arti leksikal yang menunjukkan konteks
kekinian tidak dapat diabaikan begitu saja. Berdasarkan konteks kekinian, seni
rupa kontemporer dapat dipandang sebagai karya seni yang ide dan
pembahasannya dibentuk serta dipengaruhi sekaligus merefleksi kondisi yang
mewarnai keadaan zaman ini tempat “budaya global” menyeruak, yang
menebarkan banyak pengaruh yang menjadi penyebab berbagai perubahan dan
perkembangan (Sumartono, 2000)
Dengan demikian konsep seni rupa kontemporer yang dimaksud dalam
tulisan ini dapat dipakai untuk menunjukkan wacana seni anti modernisme yang
mengagung-agungkan universalisme, menggunakan medium inkonvensional,
berorientasi bebas, tidak terikat pada konvensi-konvensi yang baku, meniadakan
pengkotak-kotakan serta lebih berani menyentuh persoalan sosial, ekonomi serta
politik. Persoalan sosial, ekonomi dan politik ini diwarnai dengan keadaan zaman
di mana budaya global banyak memberikan pengaruh terhadap perubahan dan
perkembangan yang bersifat kultural.

Rangkuman
Istilah tradisional pada kata seni rupa tradisional berasal dari kata “tradisi”
yang menunjuk kepada suatu institusi, artefak, kebiasaan atau prilaku yang
didasarkan pada tata aturan atau norma tertentu baik secara tertulis maupun tidak
tertulis yang diwariskan secara turun temurun dari suatu generasi ke generasi
berikutnya. Berdasarkan pengertian tersebut, maka secara singkat dapat dikatakan
bahwa karya seni rupa tradisional adalah karya seni rupa yang bentuk dan cara
pembuatannya nyaris tidak berubah diturunkan dari satu generasi ke generasi
berikutnya. Bukan hanya itu, nilai dan landasan filosofis yang berada dibalik
bentuk karya seni rupa tradisional tersebut pun umumnya relatif tidak berubah
dari masa-ke masa. Bentuk-bentuk seni rupa tradisional ini dibuat dan diciptakan
kembali mengikuti suatu aturan (pakem) yang ketat berdasarkan sistem keyakinan
atau otoritas tertentu yang hidup dan terpelihara di masyarakatnya.
Seni rupa modern adalah karya seni rupa yang diciptakan dengan
berlandasakan pada azaz-azas modernime seperti selalu mengandungnilai
kebaruan (novelty) yang membedakannya dengan karya seni rupa tradisional,
individual (bukan karya komunal) dan dianggap bersifat universal. Memang seni
modern tidak terbatas oleh hal-hal yang kasatmata seperti objek-objek lukisan
tertentu ataupun corak dan gaya tertentu, melainkan ditentukan oleh sikap batin
senimannya. Seni modern pun, berkat perkembangan komunikasi modern yang
menyertai kemajuan teknologi, tidak kenal lagi akan batas-batas daerah dengan
kekhasan tradisinya masing-masing. Seni modern menjadi universal sifatnya.
Seni rupa kontemporer pada awalnya adalah sebuah wacana dalam praktek
seni rupa di Barat adalah praktek seni rupa yang menunjuk kepada kecenderungan
posmodern. Kecenderungan ini menyiratkan wacana dalam praktek seni rupa yang
“anti modern”. Hal ini disebabkan karena salah satu paradigma kemunculan
posmodern adalah paradigma yang menolak modernisme. Sifat-sifat modern yang
ditolak diantaranya adalah semangat universalisme, kolektivitas, membelakangi
tradisi, mengedepankan teknologi, individualitas serta penolakan (pelecehan) non-
Barat. Ciri kontemporer dalam wacana seni rupa kemudian dikukuhkan dengan
semangat pluralisme (keberagaman), berorientasi bebas serta menghilangkan
batasan-batasan kaku yang dianggap baku (konvensional) dalam seni rupa selama
ini. Dalam seni rupa kontemporer batasan medium dan pengkotak-kotakan seni
seperti “seni lukis”, “seni patung” dan “seni grafis” nyaris diabaikan. Orientasi
bebas dan medium yang tidak terbatas memunculkan karya-karya dengan media-
media inkonvensional serta lebih berani menggunakan konteks sosial, ekonomi
serta politik

Latihan
1. Kumpulkan berbagai gambar dan artikel yang berisi tentang ketiga konsep
kesenian (tradisional, modern dan kontemporer). Diskusikan dengan rekan-
rekan saudara dengan menganalisis dan membandingkan berbagai
kecenderungan bentuk serta latar belakang konsep jenis karya seni rupa
tersebut.
2. Buatlah sebuah karya tulis sederhana tentang salah-satu jenis karya seni rupa
(tradisional, modern atau kontemporer) yang ada dilingkungan tempat tinggal
saudara. Kemukakan alasan-lasan saudara mengapa karya yang saudara pilih
dapat diketegorikan seni rupa tradisional, kontemporer atau modern
Test Formatif
Pilih satu jawaban yang paling tepat dari beberapa alternatif jawaban yang
disediakan

1. Bentuk-bentuk kesenian yanghingga saat ini cara pembuatan, bentuk dan


fungsinya relatif tidak berubah sejak pertama kali diciptakan dapat
dikategorikan sebagai jenis kesenian….
a. Kuno c. Tradisonal
b. Pasif d. Masyarakat

2. Berdasarkan pengertian atau konsep seni rupa tradisional, maka batik tulis di
Indonesia dapat digolongkan kedalam karya seni….
a. modern c. tradisonal
b. kontemporer d. primitif

3. Potret diri karya pelukis Affandi (Alm) dapat dikategorikan sebagai karya
seni rupa
a. modern c. tradisonal
b. kontemporer d. primitif

4. Salah satu ciri seni rupa modern adalah


a. menuntut nilai kebaruan c. semuanya benar
b. diwariskan secara turun temurun d. tidak ada batasan antara seni murni
dan seni pakai

5. Salah satu ciri dari seni rupa tradisioanal adalah


a. bersifat uiversal c. menuntut kreativitas tinggi
b. relatif tidak brubah d. tidak ada yang benar

6. Salah satu ciri seni rupa kontemporer adalah


a. mediumnya tidak konvensional c. dibuat denngan aturan yang ketat
b. menuntut nilai kebaruan d. benar semua

7. Gerakan seni rupa kontemporer lahir karena....


a. ingin kembali pada seni rupa c. desakan politik
tradisi d. tidak sejalan dengan pandangan
b. ingin memajukan seni rupa seni modern
modern
8. Karya seni rupa yang menggunakan teknologi komunikasi dan informasi
dapat dikategorikan sebagai karya seni rupa
a. temporer c. modern
b. kontemporer d. modernisme

9. Seni hanya untuk seni, terbebas dari kepentingan lain di luar seni. Jargon ini
dianut oleh seniman yang mengusung karya seni rupa
a. kontemporer c. tradisonal
b. modern d. primitif

10. Sifat-sifat modern yang di tolak kelompok pendukung seni rupa kontemporer
diantaranya adalah:
a. individualitas dan universalisme c. meniadakan pengkotak-kotakan seni
b. tradisional dan komunal d. tidak ada yang benar

Daftar Pustaka
Abdul Muis, Andi, Indonesia di Era Dunia Maya, Teknologi Informasi dalam
Dunia Tanpa Batas, Remaja Rosda Karya, Bandung, 2001.
Barret, Terry, Criticizing Art: Understanding the Contemporary, Mayfield
Publishing Company, Mountain View. California, London, Toronto,
1994.
“Bavf-Naf# 1” katalog The Bandung Video, and New Media Art Forum, 7-11
Agustus 2002, Jejaring Artnetworkers, Bandung, 2002
Danto, Arthur C., After The End of Art Contemporary Art and The Pole of
History, Priceton University Press, William Street, Princeton, New
Jersey, 1995.
Diah Latifah dan Harry Sulastianto, Penuntun Belajar Pendidikan Seni I, Ganeca
Exact: Bandung, 1994.
”Eksotika Dotkom”, Katalog Pameran Agus Wage, Oktober 2000.
”Evaluasi Sembilan” Katalog Pameran Seni Rupa, Purna Budaya Yogyakarta, 9-
14 Juli 2002.
Fernie, Eric, Art Histoy and its Method, Phoidon, London, 1995.
Gandaprawira, N., (ed.), 2005, Seni Rupa dan Kerajinan, Buku Ajar mahasiswa
PGSD/PGTK, Guru SD/TK, Bandung, Jurusan Pendidikan Seni Rupa
Universitas Pendidikan Indonesia.
Hasan, Asikin, “ Menyimpang dari Tradisi Modernisasi”, dalam Forum Keadilan,
no 23, Tahun V, 24 Februari 1997
Hauser, Arnold, The Sociology of Art, (terj.) Kenneth J. Northcott, The University
of Chicago Press, Chicago and London, 1989.
Hertz, Richard, Theories of Contemporary Art, Prentice-Hall, Inc. Englewood
Cliffs, New Jersey, 1985.
Holt, Claire. 2000. Melacak Jejak Perkembangan Seni di Indonesia
Diterjemahkan Oleh R.M. Soedarsono. Bandung: Masyarakat Seni
Pertunjukkan Indonesia.
Kavolis, Vytautas, 1972, History On Art’s Side Social Dynamic In Efflorescences,
Itacha, New York: Cornel University Press.
Latifah, Diah dan Sulastianto, Harry, 1994, Penuntun Belajar Pendidikan Seni I,
Bandung: Ganeca Exact.
McCloud, Scott, Understanding Comics (Memahami Komik), Alih Bahasa S.
Kinanti , Kepustakaan Populer Gramedia Jakarta, Jakarta, 2001.
“Modernism, Modernity, and Contemporary World Art: Contemporary
Indonesian Art In A Global Perspective”, Katalog Pameran Seni
Kontemporer GNB, Contemporary Indonesian Art, 28 April-28 May
1995 TIM Jakarta, 1995.
Pasca Modernisme: Populisme Budaya Massa dan Garda depan”, (terj.) Nug.
Kartjasungkana, Prisma, edisi 1 Januari 1993., LP3ES, Jakarta,
1993.Pelfrey, Robert and Marry Pelfrey, Art and Mass Media, Harper &
Row, London, 1986.
Pirous, Iwan Meulia, “Makna Modernitas bagi Seniman Seni Rupa Modern
Indonesia”, dalam Antropologi Indonesia, Th. XXIV. No 62, Jurusan
Antropologi FISIP UI dan Yayasan Obor, Jakarta, 2000.
Rasjoyo, Pendidikan Seni Rupa Untuk SMU kelas I, Erlangga, Jakarta, 1994.
Riyanto, Didik, Proses Batik: Batik Tulis-Batik Cap Batik Printing,CV.Aneka,
Solo, 2002.
Rohidi, Tjetjep Rohendi. 2000. Ekspresi Seni Orang Miskin. Adaptasi Simbolik
Terhadap Kemiskinan. Bandung : Nuansa.
Rohidi, Tjetjep Rohendi.. 2000. Kesenian Dalam Pendekatan Kebudayaan.
Bandung: STISI Press.
Sahman, Humar, Mengenali Dunia Seni Rupa, Tentang Seni, Karya Seni,
Aktivitas Kreatif, Apresiasi, Kritik dan Estetika, IKIP Semarang Press,
Semarang, 1993
”Setengah Abad Seni Grafis Indonesia”, Katalog Pameran Seni Grafis,
Kepustakaan Populer Gramedia dan Bentara Budaya Jakarta, Jakarta,
2000.
Soedarso Sp., Sejarah Perkembangan Seni Rupa Modern, CV Studio
Delapanpuluh Enterprise & BP ISI Yogyakarta, Yogyakarta, 2000
Sugiharto, I. Bambang, Postmodernisme, Tantangan Bagi Filsafat, Kanisius,
Yogyakarta, 1996.
Sumartono, (et al.), Outlet,Yogya dalam Peta Seni Rupa Kontemporer Indonesia,
Yayasan Seni Cemeti. Yogyakarta, 2000.
Sumartono, “Penelitian Sejarah Seni Rupa Setelah Krisis Modernisme” dalam
Jurnal Seni, edisi I/01-Mei 1991, BP ISI Yogyakarta, Yogyakarta, 1991.
Supangkat, Jim. “Seni Rupa dan Reformasi” dalam HU. KOMPAS, edisi Minggu,
13 September 1998
Supangkat, Jim. 1996. Multi Kulturalisme/Multimodernisme. Majalah Kalam
Edisi 8. Jakarta.Suradi, A. Prayitno, Membuat Aneka Barang Kerajinan
Cideramata, Humaniora Utama Press, Bandung, 1999.
Syafii, dkk., 2002. Materi Pembelajaran Kertakes SD. Jakarta : Universitas
Terbuka.
Tangsi, 2000, “Memahami Estetika Seni Rupa Tradisional, dalam Jurnal
Pinisi,Vol 6 No. 2 September 2000, Makasar, FPBS UNM.
Thomson, Jhon B., Ideology and Modern Culture, Polity Press, Cambridge UK,
1990.
Walker, Jhon A., Art In The Age Of Mass Media, Pluto Press, London, 1994.
Yamin, Muhammad, Lukisan Sedjarah, Djambatan, Djakarta, 1956.

Anda mungkin juga menyukai