Anda di halaman 1dari 4

PERJALANAN GERAKAN SENI RUPA

DI INDONESIA

Sejarah Seni Rupa Modern


Di sekitar tahun 1974 muncul kelompok baru dalam seni lukis yang dipelopori oleh Jim
Supangkat, S. Prinka, Dee Eri Supria, dkk. Kelompok ini menampilkan gaya baru dalam
seni lukis Indonesia yang terpengaruh oleh keilmuan seni modern barat. Kelompok ini
berusaha untuk membebaskan diri dari batasan-batasan seni rupa yang telah ada.  Konsep
kelompok ini adalah:

1. Tidak membedakan disiplin seni


2. Menghilangkan sikap seseorang dalam mengkhususkan penciptaan seni
3. Mendambakan kreatifitas baru
4. Membebaskan diri dari batasan-batasan yang sudah mapan
5. Bersifat eksperimental

Gerakan Seni Rupa Baru (GSRB) Indonesia adalah suatu fenomena gerakan
estetika yang sangat penting dalam sejarah seni rupa modern Indonesia. GSRB dapat
didakatakan sebagai peletak dasar seni rupa kontemporer Indonesia. Untuk membaca GSRB
dalam sejarah tersebut, tentu dapat memakai berbagai perspektif. Dalam kesempatan ini
berbagai pernik peristiwa itu akan dilihat secara garis besar, demikian pula dengan
perspektifnya, yaitu perubahan paradigma estetetik yang tercermin dalam aliran dan gaya
yang berproses secara dialektikal. Untuk kepentingan kajian lain yang bisa dilakukan lebih
mendalam, bisa dirunut lewat sejarah sosial seni, dengan munculnya antithesis dan negasi
yang sekaligus melibatkan kondisi sosial dan perjuangan faham dalam masyarakat (Arnold
Hauser, 1982). Di samping itu, perspektif sejarah sosial seni akan bisa menjelaskan secara
komprehensif, terlebih model sejarah sosial seni yang dipakai T.J. Clark dengan memakai
model ekonomi dan evidensi historis yang lebih rinci (Eric Fernie, 1995). Peran seniman
dengan proses dialektika itu bisa dilihat dalam perkembangan paradigma estetik. Apakah
aktivitas kreatif seorang seniman tertentu berada dalam tesis besar, sehingga ia menjadi
seorang integrated professional artist, atau ia memposisikan diri dalam antitesis sebagai
seorang maverick artist yang memberontak. Seniman kelompok integrated professional selalu
berusaha mengintegrasikan konsep, bentuk seni, maupun kecakapan sosialnya mengikuti
konvensi budaya dan estetik yang sedang berlaku. Seniman maverick (tertutup dan
pemberontak) dalam aktivitas kreatifnya sebenarnya menjadi penggerak antitesis untuk
menawar paradigma estetik yang sudah mapan (Howard S. Becker, 1982).

Terbentuknya Paradigma estetik baru lewat GSRB Pada tahun 1974, kembali muncul
konsep yang menawar pandangan seni lukis Indonesia yang telah menjadi mapan dengan
berbagai perspektif baru lewat Pernyataan Desember Hitam. Pada tahun 1975 GSRB
Indonesia muncul dengan suatu paradigma yang melawan bentuk seni rupa lama yang
personal dan liris. Dari berbagai kecenderungan yang muncul dapat dilihat Lima Jurus GSRB
Indonesia menjadi rujukan estetiknya, seperti dalam pokok-pokok pikiran sebagai berikut.
Usaha mereka untuk meniadakan batas seni lukis, grafis, patung, atau cabang-cabang seni
rupa lain yang juga bisa dikaitkan dengan ruang, gerak, dan waktu bisa melahirkan bentuk-
bentuk seni rupa baru. Mereka lebih percaya masalah sosial yang aktual lebih penting untuk
diangkat menjadi karya seni dari pada keharuan sentimen-sentimen pribadi, imaji personal
yang bersifat liris dan esoteris seorang seniman. Mengharapkan keragaman gaya dan
kemungkinan baru tanpa batasan, menolak penurunan gaya guru pada cantrik atau muridnya.
Membangun seni rupa Indonesia dengan historiografinya sendiri yang tidak merupakan
bagian dari sejarah seni rupa dunia.

Demikian juga ditekankan untuk seni rupa yang lebih wajar dan mempunyai fungsi
meluas dalam masyarakat (Jim Supangkat, 1979). Berbagai rujukan estetik yang
diperjuangkan oleh GSRB terus mengalami perkembangan, sehingga gejala-gejala
pembaruan tersebut mengkristal menjadi paradigma estetik baru yang pada tahun 1980-an
sudah mulai dicatat oleh para pengamat sebagai bentuk seni rupa kontemporer Indonesia.
Ada beberapa ciri dari paradigma yang diajukan. Mereka lebih ingin komunikatif dengan
masyarakat, dan dekat dengan proses kreatif yang bersifat analitik, kontekstual, dan
partisipatoris. Di samping itu mereka berusaha menghancurkan batas-batas seni murni, seni
tinggi dan seni rendah, serta sikap plural nilai dalam ungkapan mereka. Dalam karya-karya
tersebut dapat dilihat bahwa ada upaya yang kuat untuk menampilkan kekonkretan baru lewat
bermacam-macam medium dari teknik kolase, pemanfaatan ready made (barang jadi), seni
instalasi, environmental art (seni lingkungan), sampai pada performance art (seni rupa
pertunjukan).

Lima jurus gebrakan Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia

1. Dalam berkarya, membuang sejauh mungkin imaji “seni rupa” yang diakui hingga
kini, (gerakan menganggapnya sebagai “seni rupa lama”) yaitu seni rupa yang dibatasi
hanya di sekitar: seni lukis, seni patung dan seni gambar (seni grafis). Dalam Gerakan
Seni Rupa Baru Indonesia, penetrasi di antara bentuk-bentuk seni rupa di atas, yang bisa
melahirkan karya-karya seni rupa yang tak dapat dikategorikan pada bentuk-bentuk di
atas, dianggap “sah” (”Seni Rupa Baru”). Dalam berkarya, membuang sejauh mungkin
imaji adanya elemen-elemen khusus dalam seni rupa seperti elemen-elemen lukisan,
elemen-elemen gambar dan sebagainya. Keseluruhannya berada dalam satu kategori,
elemen-elemen rupa yang bisa berkaitan dengan elemen-elemen ruang, gerak, waktu dan
sebagainya.Dengan begitu, semua kegiatan yang dapat dikategorikan ke dalam seni rupa di
Indonesia, kendati didasari “estetika” yang berbeda, umpamanya yang berasal dari
kesenian tradisional, secara masuk akal dianggap sah sebagai seni rupa yang hidup.

2. Membuang sejauh mungkin sikap “spesialis” dalam seni rupa yang cenderung
membangun “bahasa elitis” yang didasari sikap “avant-gardisme” yang dibangun oleh
imaji: seniman seharusnya menyuruk ke dalam mencari hal-hal subtil (agar tidak
dimengerti masyarakat, karena seniman adalah bagian dari misteri hidup?). Sebagai
gantinya, percaya pada segi “kesamaan” yang ada pada manusia dikarenakan lingkungan
kehidupan yang sama. Percaya pada masalah-masalah sosial yang aktual sebagai masalah
yang lebih penting untuk dibicarakan daripada sentimen-sentimen pribadi. Dalam hal ini,
kekayaan ide atau gagasan lebih utama daripada ketrampilan “master” dalam menggarap
elemen-elemen bentuk.

3. Mendambakan “kemungkinan berkarya”, dalam arti mengharapkan keragaman gaya


dalam seni rupa Indonesia. Menghujani seni rupa Indonesia dengan kemungkinan-
kemungkinan baru, mengakui semua kemungkinan tanpa batasan, sebagai pencerminan
sikap “mencari”. Dari sini, menentang semua penyusutan kemungkinan, antara lain sikap
pengajaran “cantrikisme” di mana gaya seorang guru diikuti murid-muridnya, yang
sebenarnya dapat berbuat lain, memperkaya kemungkinan “gaya” seni rupa Indonesia.

4. Mencita-citakan perkembangan seni rupa yang “Indonesia” dengan jalan


mengutamakan pengetahuan tentang Sejarah Seni Rupa Indonesia Baru yang berawal dari
Raden Saleh. Mempelajari periodisasinya. melihat dengan kritis dan tajam caranya
berkembang, menimbang dan menumpukkan perkembangan selanjutnya ke situ. Percaya
bahwa dalam Sejarah Seni Rupa Indonesia Baru ini terdapat masalah-masalah yang sejajar
bahkan tidak dimiliki buku-buku impor, dan mampu mengisi seni rupa Indonesia dengan
masalah yang bisa menghasilkan perkembangan yang bermutu. Mencita-citakan
perkembangan seni rupa yang didasari tulisan-tulisan dan teori-teori orang-orang
Indonesia, baik kritikus, sejarawan ataupun pemikir. Menentang habis-habisan pendapat
yang mengatakan perkembangan seni rupa Indonesia adalah bagian dari sejarah seni rupa
Dunia, yang mengatakan seni adalah universal. yang menggantungkan masalah seni rupa
Indonesia pada masalah seni rupa di Mancanegara.

5. Mencita-citakan seni rupa yang lebih hidup, dalam arti tidak diragukan kehadirannya,
wajar, berguna, dan hidup meluas di kalangan masyarakat.

Lima poin jurus gebrakan seni rupa baru Indonesia diatas hingga saat ini masih terasa
pengaruhnya. Hal tersebut dapat dilihat dari kecenderungan perkembangan seni rupa
kontemporer indonesia saat ini. sekilas kita dapat melihat penjabaran dari poin 1 hingga poin
3. Berdasarkan penjabaran di atas Gerakan Seni Rupa Baru dapat di tempatkan sebagai
penanda dari munculnya seni rupa kontemporer di indonesia.

Kontemporer disini diartikan sebagai seni yang mengacu pada rentang waktu tertentu, seni
masa. Karena ada beberapa hal yang patut di garis bawahi dari apa yang di tawarkan oleh
GSRB adalah mendorong perkembangan seni instalasi di indonesia, menegaskan definisi seni
rupa yang masih rancu ketika itu di Indonesia, memulai kemungkinan bentukan pameran dan
karya dengan medium yang  sama sekali baru dan memunculkan kemungkinan akan karya
yang dibangun dengan beragam disiplin keilmuan. Karena pada perkembangannya ada
beberapa eksponen baru dari GSRB yang sama sekali tidak memiliki latar belakang seni rupa.

GSRB Indonesia meletakkan dasar paradigma estetik seni rupa kontemporer Indonesia.
Paradigma tersebut merupakan bentuk pemikiran estetik dan implementasi bentuk karya
visual yang plural tanpa batas. Bentuk-bentuk seni rupa kontemporer demikian sekarang
menjadi praktik seniman dan mendapat dukungan semua komponen dalam medan seni (art
worlds) seni rupa Indonesia. Dengan perkembangan kondisi seni rupa kontemporer Indonesia
yang demikian memungkinkan seni rupa Indonesia masuk dalam konstelasi seni rupa
kontemporer internasional.

Anda mungkin juga menyukai