Anda di halaman 1dari 7

 

Seni Lukis 
 

Indonesia 
Baru: Sebuah 
Pengantar 
Sanento Yuliman 
 

Ulasan Buku 
 

 
Oleh: Christine Toelle 
2016 
cghtoelle@gmail.com 

ㅡ   

Kajian Teori  Pada masa dibuatnya buku ini,, begitu banyak halauan masih
bermunculan di dalam medan seni rupa Indonesia. Terutama yang
terbesar didalamnya adalah pengidentifikasian data serta gaya
atau tuturan kronilogis yang masih belum menentu. Sanento
Yuliman, dalam kata pengantar menyampaikan bahwa
pembabakan sejarah seni rupa Indonesia, terutama lukis yang
pada masanya menjadi satu media yang merajai keberadaan seni
rupa, dinyatakan masih cukup sulit, sehingga buku ini bahkan
dianggap hanya sebagai pengantar atau bahkan sketsa. Kata
sketsa, mungkin beliau gunakan demi memperluas kemungkinan
bahwa pengembangan babak serta identifikasi gaya dalam seni
lukis Indonesia jaman moderen masih bisa dimasukan ke ranah
yang begitu besar.
Sanento Yuliman dalam buku ini memaparkan beberapa kajian
dasar mengenai pembagian periode-periode berkesenian di
Indonesia. Periode ini kemudian dikelompokan dalam dua.
Pertama, diisi dengan pembagian bahwa pada dasarnya seni lukis
Indonesia tidak mampu dilepaskan dari latar belakang
historisnya, mengacu pada gambaran besar yang mengikuti garis
waktu. Kedua, adalah pendekatan yang menggunakan
paparan-paparan gaya berkesenian, kecenderungan-
kecenderungan estetis yang pada akhirnya mengajak kita untuk
untuk menilai seni lukis Indonesia dari corak-corak gayanya.
Penggunaan kerangka kajian seperti ini dapat kita lihat dalam
buku ​Varieties of Visual Experience, ​Edmun Burke Feldman
yang dimana memaparkan keberadaan empat kecenderungan
gaya dalam berkesenian, mengenai akurasi objek, pendekatan
formalis, pendekatan melalui emosi, dan pendekatan yang
bersifat fantasi. Dari teori-teori ini, dapat dikatakan bahwa pada
akhirnya, Sanento Yuliman berperan dalam menyusun kembali
gaya dan kecenderungan berkesenian ini secara mayoritas dalam
perkembangan garis waktu. 

ㅡ   

Isi  Satu hal menarik dalam buku ini, adalah letak latar belakangnya
yang dijadikan sekaligus rangkuman, diletakan di laman belakang
setelah usai semua pembahasan masing-masing periode. Dalam
kajian latar belakang ini, Sanento Yuliman memaparkan dua garis
besar yang membawa arus pengaruh bagi perkembangan seni
rupa modern Indonesia. Pertama ialah warisan budaya,
bagaimana masyarakat Indonesia memiliki satuan standar nilai
dan ketentuan akan pola berbudaya yang hampir sama.
Kepercayaan serta ketertarikan yang mereka anut juga seringkali
mengacu ke konteks yang sama, seperti hal- hal mistis dan ghaib.
Kedua di dalamnya adalah arus sejarah, menceritakan bagaimana
polemik budaya, gejala sosial dan kemasyarakatan sesuai dengan
konteks waktu pada masa perkembangan ini menjadi faktor yang
begitu kental dalam perkembangan inovasi baru dalam seni rupa.
Tidak melupakan didalamnya ada persentuhan dengan budaya
barat yang dibawa dari masa kolonial, dan sebagaimana banyak
usaha masyarakat kita untuk menemukan kembali jati diri mereka
dalam perkembangan arus modern.

BAB 1
Secara garis besar, pembagian pertama dimasukan ke
dalam kurun waktu 1900 hingga 1940-an. Menyatakan
bahwa setelah masa Raden Saleh di abad ke-19, dan
kekosongan seniman generasinya, Seni Lukis Indonesia
benar-benar berkembang baru pada kisaran tahun ini.
Pada masa ini, perkembangannya sendiri terjadi akibat
satu faktor terbesar, yakni persentuhan dengan kaum
Belanda, pertukaran pelukis Belanda yang hijrah ke
Indonesia mau pun orang Indonesia yang belajar melukis
pada orang Belanda.
Kebanyakan subjek yang dilukiskan pada masa ini masih
berketerkaitan dengan corak ​Mooi Indie, ​namun fokusnya
memang lebih terpada unsur lanskap. Kecenderungan
melukis ini diidentifikasikan oleh Sanento sebagai
pengaruh besar dengan persentuhan budaya dengan kaum
saudagar Belanda, yang hanya menginginkan keindahan
saat beristirahat pulang ke rumahnya. Kesenangan mereka
ini lah yang akhirnya dimanfaatkan pelukis Indonesia
sebagai ladang mata pencaharian.
Proses berkesenian ini dianggap sebegitu menyenangkan,
dan menaikan batin secara keindahan yang dilihat
memang terkadang dilebih-lebihkan. Dalam prosesnya
pun seringkali jejak-jejak peradaban dihilangkan demi
mencapai kemurnian bentuk alam.
Sedari tekniknya, pelukis masa pertama ini sangatlah
mengedepankan sapuan-sapuan dan tekstur yang halus
dan teratur. Mencari warna-warna yang tidak memiliki
tendensi untuk 'mengotori' karyanya. Dari segi bidang pun
masih menggunakan tata cara pembagian lanskap
perspektual, membagi segala bidang dalam tiga perspektif
dasar, dan melebih-lebihkan bagian yang dianggap
sebagai fokus lukisan tersebut.
Beberapa murid dari seniman ternama pada masa ini,
melihat bahwa terkadang bidang kanvas adalah bentuk
ekspresi jiwa, untuk menggambar sesuatu apa adanya
tanpa manipulasi-manipulasi visual. Namun memang hal
ini bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar masa
pertama, sehingga keinginan tadi kemudian baru
dikembangkan dalam bentuk gerakan di masa kedua.

BAB 2
Masa ini dirangkum dalam kurun waktu 1940 hingga
1960-an. Dalam periode ini, begitu banyak manifesto
serta gerakan-gerakan didirikan. Pergejolakan latar
historis dan politik di masa ini menjadi salah satu api
dalam pergolakan ranah seni lukis Indonesia. Pergerakan
pertama diantaranya adalah PERSAGI, yang didirikan
oleh Sudjojono -salah seorang murid dari masa pertama-
beserta teman-teman sesama pelukisnya demi mengejar
kesempatan belajar bersama tanpa harus mengikuti
sistem-sistem birokrasi bangsa penjajah. Sementara
PERSAGI di bentuk, di kota lain seperti Bandung juga
berkembang beberapa nama yang kemudian menaikan
seni lukis Indonesia, seperti Affandi, Sjafei Soemardja,
dan Hendra Gunawan.
Perhelatan politik pada masa ini mengajak kita berlanjut
ke masa penjajahan Jepang yang pada masanya
membentuk Keimin Bunka Shidoso, suatu badan yang
menjadi tempat belajar bagi sesama pelukis di Indonesia.
Bukan hanya perhelatan politik pada masa penjajahan,
namun pada masa ini juga terdapat perpindahan ibu kota
yang turut menjadi faktor hijrahnya begitu banyak pelukis
dari Jakarta ke Jogjakarta. Perkembangan di sisi tengah ke
timur pulau jawa ini juga membawa kedalam pendirian
gerakan baru di Madiun, dengan nama SIM. Usai SIM
berkembang dan mengalami kelesuan, pelukis- pelukis di
dalamnya turut mendirikan Pelukis Rakyat.
Dalam perjalanannya, pelukis pada masa ini bukan hanya
erat dengan isu dan kehangatan politik, namun juga hidup
dari pemeran-pemeran politik. Mereka menjadi pemasok
besar dari kebutuhan para politikus, angkatan tentara, dan
pemeran-pemeran pemerintahan lainnya.
Selain latar garis waktu, masa ini juga memiliki dua
kecenderungan berkarya yang paling besar, dengan dasar
berkesenian yang objektif, dan berkesenian yang
menjunjung subjektivitas. Mereka yang memilih ranah
objektifivitas berkutat pada pembahasan dunia sosial di
sekelilingnya, seperti isu sosial dan kondisi
kemasyarakatan, juga beberapa justru menggunakan
pendekatan di bidang indrawi, pendekatan yang
cenderung formalistik. Sedangkan mereka yang
menceritakan subjektivitas berkutat dengan isu-isu
kejiwaan, bagaimana cara mengekspresikan emosi,
menyampaikan cerita diri dan menjadikan seni sebagai
bidang bercerita. Dalam subjektivitas ini juga terdapat
beberapa pelukis yang bahkan sudah tidak lagi melukis
hal yang ada di dunia ini, namun menggunakan imajinasi
yang liar dengan logika alam non-meteril.
Melalui pendekatan dalam gayanya, pelukis masa kedua
ini dapat dibagi kedalam empat. Pertama adalah mereka
yang mengedepankan emosi pribadi dan jiwa, mereka
dengan kecenderungan gaya ekspresif, dalam corak gaya
ini dipastikan akan selalu ada distorsi dalam intensi untuk
menceritakan bayangan objek dari sisi pandang mereka.
Golongan yang kedua adalah gaya Realis, pelukis dalam
segmen ini menyetujui bahwa melukis adalah hasil dari
sebuah pengamatan, untuk melukis apa adanya saja dan
tidak diubah-ubah. Corak ketiga adalah gaya imajiner atau
yang kita kenali sekarang dengan gaya surealis, mereka
melukiskan sesuatu yang sudah tidak ada dalam logika
nyata, tidak berasal dari dunia nyata namun semata dari
alam pikiran, seperti mimpi. Corak yang terakhir
diantaranya adalah corak dekoratif. Corak ini memiliki
unsur kekaryaan yang masih begitu dekat visualnya
dengan unsur seni tradisi, namun yang berbeda adalah
penyusunan komposisi dan letak datar bidang yang
dikedepankan sebagai fokus dalam karya-karya corak
keempat ini, yang kemudian menjadi cikal bakal
perkembangan seni lukis Indonesia ke arah
abstraktivisme.
BAB III
Melewati masa peralihan dari kedua menuju yang ketiga,
kini Sanento Yuliman mengajak kita untuk mengkaji
periodisasi waktu antara tahun 1960 dan sesudahnya.
Golongan terbesar pada awal masa ini adalah mereka
dengan kecenderungan abstraksi dalam karyanya. Dalam
awalan bab, Sanento Yuliman memberikan beberapa
pandangan beliau yang mampu membant kita untuk
mengerti maksud dari abstraksi.
Pada masa ini, abstraksi digunakan sebagai metode
kekaryaan, dijelaskan di bab ini contoh-contoh seniman
dengan proses abstraksi dari alam atau pengalaman yang
kemudian dituangkan kedalam karya mereka, seperti
Srihadi, Sadali, Fajar Siddiq, Hendro, Oesman Efendi,
dan A. D. Pirous.
Tendensi terbesar dalam kekaryaan di masa ini adalah
adanya lirisme, bagaimana untuk melihat segala esensi
dan mengkontemplasikan segala hal dalam kehidupan
sehari-hari manusia.  

Anda mungkin juga menyukai