Anda di halaman 1dari 10

Nanang Martono, Kritik Sosial Terhadap Praktik Pendidikan Dalam Film “Laskar Pelangi”

Kritik Sosial Terhadap Praktik Pendidikan


Dalam Film “Laskar Pelangi”
Nanang Martono
FISIP Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto
email: nanang_martono@yahoo.co.id

Abstrak: Artikel ini merupakan analisis mengenai kritik terhadap praktik pendidikan di Indonesia. Kritik
ini lebih didasarkan pada alur cerita yang disampaikan dalam film “Laskar Pelangi” (LP). Artikel ini
bertujuan untuk menganalisis esensi film LP yang dilihat melalui kaca mata sosiologi. Esensi film lebih
difokuskan pada kritik sosial yang disampaikan melalui film ini. Secara teoritis, pendidikan memiliki dua
fungsi yang saling bertentangan. Menurut perspektif fungsional, pendidikan berfungsi positif untuk
mentransmisikan nilai-nilai antargenerasi. Sebaliknya, perspektif konflik menjelaskan bahwa pendidikan
justru menyebabkan terjadinya ketimpangan sosial. Perspektif interaksionisme simbolik lebih melihat
pada bagaimana aktor-aktor yang terlibat dalam proses pendidikan saling berhubungan. Beberapa kritik
yang disampaikan di antaranya adalah mengenai proses pendidikan formal yang meninggalkan hakikat
pendidikan itu sendiri, eksklusifitas fungsi sekolah, formalisasi pendidikan, ketidakmerataan akses
pendidikan bagi masyarakat kelas bawah yang menyebabkan ketidaksetaraan sosial, otonomi pendidikan
yang sepenuhnya belum otonom serta dikotomi sekolah favorit dan tidak favorit. Kondisi-kondisi inilah
yang mewarnai dinamika pendidikan nasional sampai saat ini yang telah menyebabkan terjadinya
ketidaksetaraan sosial.

Kata Kunci: laskar pelangi, kritik sosial, pendidikan, dan ketidaksetaraan sosial.

Abstract: This article is an analysis of the criticisms of the practice of education in Indonesia. This
criticism is based on the storyline presented in the “Laskar Pelangi” (LP) movie. This article aims to
analyze the essence of the LP movie seen through the sociologycal perspective. The essence of the film
is more focused on social criticism conveyed through this film. Theoretically, education has two conflicting
functions. According to the functional perspective, the positive function of education are transmit values
across generations. Instead, the conflict perspective to explain that education actually leads to social
inequality. More symbolic interactionism perspective see how the actors involved in the education process
related to each other. Some of the criticism is delivered in between the formal education process that
leaves the essence of education itself, the exclusivity of school functions, the formalization of education,
inequality of access to education for lower-class society that cause social inequality, educational autonomy
have not fully autonomous and the dichotomy of your favorite school and favorite. These conditions that
characterize the dynamics of national education so far has led to social inequality.

Key words: laskar pelangi, social criticism, education, and social inequality.

Pendahuluan sepenuhnya salah tersebut sudah mengakar


Pendidikan pada hakikatnya merupakan sebuah dalam pemikiran sebagian besar bahkan semua
proses bagi seseorang untuk memperoleh ilmu orang.
pengetahuan yang nantinya dapat dimanfaatkan Keberhasilan seseorang dalam mencapai
untuk masa depannya. Namun, proses pendidikan pendidikan tinggi, hanya dikai tkan denga n
yang selama ini dijalankan, seolah telah tercerabut keberhasilan mereka memperoleh selembar ijazah
dari hakikat pendidikan itu sendiri. Pendidikan yang nantinya dapat “dijual” untuk memperoleh
semata-mata dilakukan hanya untuk mencapai perkerjaan yang “layak” menurut persepsi mereka.
kehidupan yang layak (mencari pekerjaan), Masyarakat pun sering membenarkan persepsi
mendapatkan penghargaan atau sekadar untuk tersebut. Seorang lulusan sarjana yang berkerja
melanggengkan status. Pandangan yang tidak tidak sesuai bidang, tidak berdasi atau tidak

341
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 16, Nomor 3, Mei 2010

berseragam, sering kali mendapat cemoohan seragam elit, gedung sekolah yang berpagar
masyarakat. Kualitas individu hanya ditunjukkan megah dan bertingkat merupakan simbol sekolah
dengan selembar ijazah. Akibatnya, sering muncul berkualitas. Sekolah berkualitas adalah sekolah
persepsi “dengan selembar ijazah, kita dapat meraih yang mahal, sebuah persepsi yang tida k
segalanya”. selamanya benar.
Prakt ik pendidika n nasional terke san Kritik mengenai praktik-praktik pendidikan
eksklusif, hanya segelintir orang saja yang dapat semacam ini sering disampaikan melalui berbagai
menikmati, terutama untuk jenjang pendidikan media, baik cetak maupun elektronik, melalui
menengah. Hal ini dapat dilihat melalui data buku-buku maupun surat kabar terkenal sekali-
berikut: pun. Kritik tersebut diharapkan mampu mengubah
persepsi masyarakat terhadap praktik pendidikan
Tabel 1. Angka Partisipasi Sekolah (APK) (%) yang tidak sepenuhnya benar, bahkan jauh dari
ide alit as. Andrea Hirata, seorang novelis,
Usia (tahun) 2006 2007 2008
mencoba memberikan kritik mengenai praktik
7-12 97,39 97,60 97,83
pendidikan melalui jalur berbeda. Ia menggunakan
13-15 84,08 84,26 84,41 novel sebagai instrumen unt uk menguba h
16-18 53,92 54,61 54,7 persepsi masyarakat tersebut. Laskar Pelangi
(LP), merupakan novel karya Andrea Hirata yang
Sumber: BPS, 2008a mencoba mengembalikan pandangan masyarakat
kepada hakikat pendidikan itu sendiri, sebagai
Tabel 2. Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan mekanisme untuk meraih ilmu pengetahuan. Ide
Penduduk Berumur 10 Tahun ke Atas (%) cerita dalam novel LP yang mendapat label “Best
Seller”, diangkat dalam film layar lebar dengan
Jenjang Pendidikan 2006 2007
judul yang sama pada tahun 2008. Film LP
Tidak/Belum Tamat Sekolah 7,43 7,57 berkisah tentang perjuangan dua orang guru SD

Tidak/Belum Tamat SD 20,77 20,37 Muhamadiyah dan sepul uh muridnya untuk


bertahan dalam mendapatkan pendidikan. Film ini
SD (Sekolah Dasar) 31,67 31,19
mengambil setting kehidupan masyarakat di pulau
SLTP (Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama) 17,56 17,49 Be lito ng (Kepulauan Bangka Belit ung) di
SM (Sekolah Menengah) ke Atas 22,56 23,37 pertengahan 1970-an.

Sumber: BPS, 2008b.


Film ini syarat dengan kritik sosial yang
berkaitan dengan praktik pendidikan di tanah air.
Tabel 1 menunjukkan bahwa semakin tinggi Film LP menggambarkan kondisi pendidikan
usia penduduk, maka semakin rendah APK. Hal nasional yang terjadi di era 70-an yang ternyata,
ini lebih disebabkan mahalnya biaya sekolah pada gambaran tersebut masih mewarnai praktik
jenjang sekolah yang tinggi. Hanya penduduk dari pendidikan di era sekarang. Artikel ini membahas
kelas atas saja ya ng mampu menempuh mengenai bagaimanakah kritik sosial ya ng
pendidikan sampai usia 16 sampai 18 tahun. Data disampaikan dalam film LP ini dari sudut pandang
ini diperkuat dengan data pada Tabel 2 yang sosiologi? Artikel ini bertujuan untuk menganalisis
menunjukkan jenjang pendidikan tertinggi yang esensi film LP yang dilihat melalui kaca mata
ditamatkan penduduk usia 10 tahun ke atas. sosiologi pendidikan. Esensi film lebih difokuskan
Semakin tinggi jenjang sekolah, maka persentase pada kritik sosial yang disampaikan melalui film
jumlah penduduk yang menempuh pendidikan ini, sehingga diharapkan masyarakat luas dapat
semakin rendah. memaknai hakikat pendidikan yang sebenarnya
Pembedaan sekolah negeri-swasta meng- melalui media film ini.
akibatkan image negatif di masyarakat umum yang Film LP merupakan film yang syarat dengan
mengingkari kualitas sekolah swasta. Sekolah kritik sosial mengenai praktik pendidikan di tanah
berkualitas sering diidentikkan dengan tampilan air. Film LP menggambarkan kondisi pendidikan
visual yang mencerahkan harapan. Fasilitas luks, nasional yang terjadi di era 70-an yang ternyata,

342
Nanang Martono, Kritik Sosial Terhadap Praktik Pendidikan Dalam Film “Laskar Pelangi”

gambaran tersebut masih mewarnai praktik khusus bagi individu sangat dibutuhkan untuk
pendidikan di era sekarang. Artikel ini membahas pekerjaannya di masa mendatang. Fungsi ini
mengenai bagaimanakah kritik sosial yang merupakan bagian penting dalam masyarakat
disampaikan dalam film LP ini dari sudut pandang indus tri yang semakin kompleks da n
sosiologi? menspesialisasikan pembagian kerja.
Artikel ini bertujuan untuk menganalisis Perspektif Konflik. Perspektif konflik lebih
esensi film LP yang dilihat melalui kaca mata melihat pada proses ketidaksetaraan (inequality)
sosiologi pendidikan. Esensi film lebih difokuskan sosial yang disebabkan oleh institusi pendidikan.
pada kritik sosial yang disampaikan melalui film Institusi pendidikan dalam praktiknya telah
ini, sehingga diharapkan masyarakat luas dapat melakukan -apa yang di namakan- pro ses
memaknai hakikat pendidikan yang sebenarnya reproduksi sosial. Proses ini menunjuk pada
melalui media film ini. kenyataan bahwa lembaga pendidikan membantu
dipert ahankannya pembagi an s os ial dalam
Tinjauan Literatur dan Pembahasan masyarakat dari satu generasi ke generasi
berikutnya (Henslin, 2006). Anak seorang miskin,
Perspektif Sosiologi tentang Pendidikan
meskipun ia mampu mengenyam pendidikan, pada
Perspektif sosiologis memfokuskan kajian pada
akhirnya ia juga akan tetap menjadi orang miskin
proses sosial yang ada di dalam masyarakat.
pula. Bowles dan Gintis (dalam Haralambos dan
Perspektif menurut Meighan (1981) merupakan
Holborn, 2004) memandang bahwa hal ini lebih
“frame of reference, a series or working rules by which
disebabkan ol eh perbe daan lat ar belakang
a person is able to make sense of complex and
keluarga antara orang miskin dan orang kaya.
puzzling phenomena”. Bagi seorang sosiolog,
Menurut hasil studi yang dilakukan Bowles dan
fenomena merupakan kehidupan sosial dan
Gintis (dalam Haralambos dan Holborn, 2004),
diadopsi sebagai bagian dari sikap ataupun
mereka menemukan adanya korelasi antara latar
penilaian terhadap kehidupan sosial. Ada tiga
belakang keluarga dengan keberha sila n
perspektif dasar dalam sosiologi, yaitu: perspektif
pendidikan. Anak dari keluarga kaya lebih banyak
fungsional, konflik dan interaksionisme simbolik.
dan lebih mampu meraih akses pendidikan dengan
Pe rs pektif F ungsional. Para anali s lebih mudah bila dibandingkan anak dari keluarga
fungsional, melihat fungsi serta konstribusi yang miskin. Ketika anak dari keluarga miskin mendapat
positif lembaga pendidikan dalam memelihara kese mp atan yang sama dengan anak dari
atau mempertahankan keberlangsungan sistem keluarga kaya (adanya sistem meritokrasi), selalu
sosial. Durkheim dan Parsons (dalam Haralambos saja ketidaksetaraan ini akan terjadi.
dan Holborn, 2004) misalnya, menjelaskan bahwa Perspektif Interaksionisme Simbolik.
pendidikan berfungsi untuk mentransmisikan nilai- Perspektif ini lebih menekankan pada proses
nilai dan norma-norma dalam masyarakat. Pada pendidikan dari sisi mikro dengan melihat proses
masyarakat industri yang kompleks, sekolah interaksi antarpihak yang terlibat dalam proses
berfungsi untuk menyiapkan fungsi yang tidak pendidikan. Bagi kaum interaksionis, pandangan
dapat diberikan oleh institusi yang lain, seperti terhadap diri sendiri atau konsep diri (self con-
keluarga atau kelompok sebaya. Kenggotaan cept) diproduksi oleh interaksi diri kita dengan
dalam keluarga, dida sarkan atas prinsi p orang lain. Konsep-diri siswa juga dipengaruhi
kekerabatan, ke nggo ta an dalam kel ompo k oleh siswa yang lain, oleh guru melalui interaksi.
sebaya, didasarkan atas prinsip pilihan personal. Menurut perspektif ini, dengan mengembangkan
Akan tetapi, keanggotaan dalam masyarakat konsep-diri memiliki efek yang signifikan terhadap
secara keseluruhan, tidak didasarkan atas prinsip- prestasi pendidikan (dalam Haralambos dan
prinsip tersebut. Nilai-nilai universal ditanamkan Holborn, 2004). Salah satu aspek penting dalam
melalui institusi sekolah, sehingga keutuhan perspektif int eraksio nisme simb olik adal ah
(kelanggengan) sistem sosial dapat dipertahan- memfokuskan pada cara at au upaya yang
kan. Durkheim (dalam Henslin, 2006) berargumen digunakan guru untuk merasakan serta memberi-
bahwa pendidikan pengajaran keterampilan kan respon perilaku siswa (Henslin, 2006). Bagai-

343
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 16, Nomor 3, Mei 2010

mana guru memperlakukan serta memberikan melalui gelar dan ijasah. Kedua, mitos tentang
motivasi dan harapan pada siswanya merupakan pengukuran nilai. Sekolah menginisiasi siswa ke
aspek yang sangat penti ng dalam pro ses dalam dunia mereka bahwa segala hal adalah
pendidikan. dapat diukur, termasuk prestasi siswa; sekolah
Ke tiga perspektif te rsebut memil iki membagi berbagai mata pelajaran yang hasilnya
pandangan yang berbeda dalam menganalisis dapat diukur dengan standar internasional.
praktk pendidikan. Perspektif fungsional lebih Ketiga, mitos pemaketan nilai-nilai: sekolah
banyak melihat fungsi positif lembaga pendidikan, menjual kurikulum, sehingga kurikulum berfungsi
sedangkan perspektif konflik justru melihat bahwa sebagai barang komoditas. Keempat, mitos
pendidikan berfungsi negatif karena menyebab- kemajuan yang berkesinambungan. Untuk dapat
kan terjadinya ketidaksetaraan sosial. Kedua maju, sekolah mengharuskan siswanya untuk
perspektif tersebut memang sangat relevan untuk selalu naik ke tingkat yang lebih tinggi dengan
menggambarkan praktik-praktik pendidikan kompetisi yg lebih ketat. Menurut Illich, untuk
dewasa ini. Kedua fungsi tersebut, diakui atau dapat mereformasi pendidikan, masyarakat harus
tidak akan selalu berjalan beriringan. Perspektif mengubah persepsi mereka mengenai makna
interaksionisme simbolik berangkat dari sudut pendidikan (Illich dalam Naomi, 2003).
pandang yang berbe da dengan me lihat Pendapat Illich memang cukup radikal. Ia
hubungan atau interaksi antarkomponen dalam menginginkan refor masi pendidi kan dalam
pendidikan. Interaksi ini memberikan pengaruh masyarakat. Akan tetapi, secara riil, reformasi
dalam menentukan keberhasilan individu. Untuk pendidikan sul it unt uk dil akukan s elama
itu, aspek interaksi tersebut harus menjadi masyarakat masi h me ng agung-angungka n
perhatian utama dalam proses pe ndidikan. keberadaan lembaga pendidikan ini. Masyarakat
Bagaimana guru memposisikan murid, bagaimana modern masih memandang keberadaan status
mereka sal ing be rkomunikas i merupakan sosial tertentu, sehingga merekapun berlomba-
beberapa aspek penting. lomba untuk meraih status yang tinggi melalui
pendidikan ini. Hal ini ternyata dilegitimasi oleh
Melepaskan Belenggu Sekolah Formal sistem pendidikan melalui berbagai kebijakan
Ivan Illich merupakan tokoh yang secara keras pendidikan. Keberhasilan pendidikan hampir
mengkritik formalisasi sekolah yang dilakukan oleh selalu menyaratkan nilai sebagai indikator utama.
masyarakat. Bagi Illich, sekolah (formal) tidak Inilah yang menyulitkan reformasi pendidikan
berbeda dengan institusi agama (gereja) yang secara umum. Dunia ke rj a juga s elal u
memaksakan ajarannya kepada masyarakat. menyaratkan kepemilikan bukti berupa selembar
Sekolah (formal) memposisikan dirinya sebagai ijazah atau nilai.
satu-satunya lembaga yang mampu membawa
indivi du pada ke sukses an berupa st atus, Pendidikan dan Kesadaran Individu
kepandaian, keberhasilan meraih kerja dan Paulo Fre ire seorang fi lsuf (pendid ikan)
sebagainya. Bagi Illich, proses pendidikan tidak memberikan beberapa argumentasi mengenai
dapat disamakan dengan institusi sekolah, karena praktik pendidikan yang selama ini berkembang
pendidikan tidak sama dengan persekolahan di masyarakat. Praktik pendidikan selama ini, lebih
(Illich, 2000). merupakan praktik pendidikan gaya bank yang
Sistem pendidikan menurut Illich harus lebih mempo sisi kan siswa sebagai obye k
direformasi. Menurut Illich (2000), masyarakat pendidikan dan guru sebagai subyeknya. Bagi
masih mempercayai mitos-mitos seputar sekolah Freire, proses pendidikan semestinya harus
dalam kehidupan sehari-hari, yaitu: pertama, memposisikan guru dan siswa sebagai subyek
mitos nilai terlembaga. Masyarakat belajar untuk pendidikan, dan realitas sosial sebagai objeknya
membutuhkan sekolah; belajar yang bernilai (Freire, 2002).
adalah hasil kehadiran kita di kelas; nilai yang Hakikat tujuan dasar proses pendidikan
meningkat diukur dari ilmu pengetahuan yang adalah melakukan proses penyadaran terhadap
diperoleh; nilai-nilai dapat diukur dan dicatat individu. Penyadaran mengenai realitas yang ada

344
Nanang Martono, Kritik Sosial Terhadap Praktik Pendidikan Dalam Film “Laskar Pelangi”

di sekitarnya. Individu, melalui proses penyadaran ditanyakan namanya oleh guru mereka yang biasa
ini akan mampu berpikiran secara kritis mengenai dipanggil Bu Mus (Muslimah). Kejadian bodoh yang
permasalahan yang dihadapi nya. Pro ses dilakukan oleh Borek, pemilihan ketua kelas yang
penyadaran ini akan terwujud ketika selama diprotes keras oleh Kucai, kejadian ditemukannya
proses pembelajaran di sekolah, terjadi dialog bakat luar biasa Mahar, pengalaman cinta pertama
ant ara siswa da n guru. Dial og i ni aka n Ikal, sampai pertaruhan nyawa Lintang yang
menghilangkan dualisme antara pengajar dan mengayuh sepeda delapan kilometer pulang pergi
pelajar, guru dan siswa, selain itu juga dapat dari rumahnya ke sekolah (Anonim, 2008).
menghapus dominasi guru di kelas (Freire, 2002). Laskar Pel angi – nama yang di be rikan
Praktik pendidikan juga harus membebaskan Muslimah akan kesenangan mereka terhadap
se gala belenggu ya ng membatasi indi vidu. pelangi— sempat mengharumkan nama sekolah
Pendidikan harus mampu mengangkat individu dengan berbagai cara, misalnya pembalasan
dari permasalahan yang ada di sekitarnya (Freire dendam Mahar yang selalu dipojokkan kawan-
dalam Naomi, 2003). kawannya karena kesenangannya pada okultisme
Praktik pendidikan gaya bank masih banyak yang membuahkan kemenangan manis pada
dilakukan dalam sistem pendidikan di tanah air. karnaval 17 Agustus, dan kejeniusan luar biasa
Proses pembelajaran yang mengutamakan unsur Lintang yang menantang dan mengalahkan
dialog tidak banyak ditemukan di tanah air. Guru Zulfikar, guru sekolah (milik orang) kaya –SD PN
lebih banyak berceramah daripada menggunakan Timah— yang berijazah dan terkenal serta selalu
metode pembelajaran yang bersifat dialogis, memenangkan lomba cerdas cermat. Laskar
seperti diskusi. Selain metode ini mudah dilakukan, Pelangi mengarungi hari-hari menyenangkan,
di sisi lain guru juga mendapat tuntutan untuk tertawa dan menangis bersama. Kisah sepuluh
menyelesaikan semua materi sesuai batas waktu kawanan ini berakhir dengan kematian ayah
yang telah dit entukan, sed angkan materi Lintang yang memaksa “Einstein” cilik itu putus
pelajaran cukup padat. Hal inilah yang memaksa se ko lah dengan s angat me ngharukan da n
mereka mengandalkan ceramah. Siswa juga dilanjutkan dengan kejadian 12 tahun kemudian
dipaksa untuk mendapatkan hasil semaksimal saat Ikal yang berjuang di luar Pulau Belitong
mungkin, akan tetapi proses pembelajaran yang kembali ke kampungnya. Ikal di akhir cerita,
telah dilaluinya kurang mendapat perhatian. berhasil memperoleh beasiswa untuk melanjutkan
Masyarakat lebih tertarik untuk menanyakan studi di Paris (Anonim, 2008).
“berapa nilaimu” daripada mempermasalahkan
“hari ini kamu belajar apa?”; “kamu tadi nyontek Kritik Sosial dalam Laskar Pelangi
atau tidak waktu ulangan?” Cerita singkat LP pada uraian sebelumnya,
menyiratkan berbagai pelajaran berharga yang
Sinopsis Film Laskar Pelangi
dapat dijadikan dasar pemikiran untuk perbaikan
Film LP mengambil setting di Desa Gantong, praktik pendidikan yang selama ini dilaksanakan,
Kabupaten Gantong, Belitong Timur. Cerita dimulai terut ama di t anah air. Pada awal ce ri ta,
ketika SD Muhammadiyah Gantong terancam akan digambarkan adanya semangat yang tinggi dari
dibubarkan oleh Depdikbud Sumatera Selatan jika anak-anak yang t inggal di pe sisi r untuk
tidak mencapai siswa baru sejumlah 10 anak. Saat bersekolah. Namun, di sekolah dikisahkan bahwa
itu baru sembilan anak yang menghadiri upacara Harfan selaku Kepala Sekolah Muhammadiyah
pembukaan. Akan tetapi tepat Harfan, sang Gantong, bermaksud untuk menutup sekolah
kepala sekolah, hendak berpidato menutup dikarenakan jumlah siswa yang mendaftar tidak
sekol ah, Harun dan ibunya datang untuk memenuhi kuota, sepuluh orang. Bagian ini
mendaftarkan diri di sekolah kecil itu. menyiratkan bahwa praktik pendidikan, terutama
Cerita dimulai dari adegan ini, mulai dari di daerah pinggiran sering terkendala masalah
penempatan tempat duduk, pertemuan mereka administratif, seperti jumlah siswa minimal yang
dengan Harfan, perkenalan mereka yang luar harus dipenuhi. Ketika banyak siswa dari kelas
biasa dan A Kiong yang justru tersenyum ketika bawah yang ingin menikmati pendidikan dengan

345
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 16, Nomor 3, Mei 2010

biaya yang mura h, namun karena se ko la h


menghadapi kendala administratif, nyaris sembilan
anak tersebut kehilangan kesempatan untuk
bersekolah selamanya. Namun pada akhirnya,
muncul so sok Harun s ebagai “penyelamat”
sembilan anak tersebut, sehingga jumlah siswa
yang masuk genap sepuluh orang. Kesepuluh
anak itu berasal dari keluarga nelayan serta
karyawan PN Timah. Tidak jauh dari SD
Muhammadiyah, terdapat SD yang didirikan PN
Timah, salah satu perusahaan nasional berskala
Gambar 1. SD PN Timah dalam film Laskar
besar pada saat itu. Cerita di SD PN Timah ini
Pelangi
memberikan sebuah pemandangan yang sangat
berbeda dengan kondisi SD Muhammadiyah
tempat Laskar Pelangi bersekolah. SD PN Timah
sudah dipenuhi siswa yang ingin bersekolah di
sana, sebuah kontradiksi dengan SD Muhamma-
diyah yang justru kekurangan murid.
Kondisi SD PN Timah cukup eksklusif, dibatasi
pagar tembok dengan pintu gerbang yang selalu
ditutup ketika pelajaran berlangsung (Gambar 1).
Siswa di SD itu terlihat bersih terawat, berseragam
dan berse patu. SD Muhammadiyah hanya Gambar 2. SD Muhammadiyah Gantong dalam
film Laskar Pelangi
menempati sebuah ruangan di gedung yang
hampir roboh dan atapnya berlubang (Gambar 2), Ki sah sepuluh anak dalam usahanya
siswa di SD ini terlihat kotor, lusuh, berpakaian memperoleh pendidikan yang layak tidak berhenti
apa adanya, tidak berse ragam dan tidak di situ. Perjuangan mereka tetap berlanjut sampai
bersepatu. Bagian ini menunjukkan sebuah memasuki kelas lima. Film ini menampilkan sosok
fenomena ketidaksetaraan akses pendidikan yang Lintang yang memiliki otak yang cukup cerdas di
dapat diraih masyarakat. Kondisi ini sesuai antara teman-temannya. Kecerdas an ini ia
dengan tesis yang diajukan para teoritisi konflik peroleh berkat kegemarannya membaca segala
bahwa lembaga sekolah telah menyebabkan sesuatu, buku maupun surat kabar.
se buah kondi si ket idakse taraan sosial
Ada sebuah pelajaran menarik yang
(Haralambos dan Holborn, 2004). Anak dari
disampaikan melalui dialog antara Harfan dengan
golongan miskin hanya mampu memperoleh
Zulfikar (Guru SD PN Timah) pada suatu siang.
kesempatan bersekolah di SD yang memiliki
Zulfikar meragukan keb erlangsungan SD
fasilitas sangat minim. Anak dari golongan kaya
Muhammadiyah di tahun mendatang, ketika
akan mampu mengenyam pendidikan dengan
Laskar Pelangi sudah lulus dari sekolah itu. Harfan
fasilitas yang lengkap.
dengan senang hati menanggapi keraguan-
raguan Zulfikar tersebut. Berikut petikan dialog
antara Harfan dan Zulfikar:
Zulfikar : Dari mana kalian mempertahankan
sekolah ini? ...Biayanya? ...Gajinya?
Harfan : Zul..., sekolah ini.. adalah sekolah, di
mana pendidikan agama, pendidikan budi
pekerti, bukan sekedar pelengkap
kurikulum. Kecerdasan bukan dilihat dari
nilai-nilai, dari angka-angka.. bukan! Tapi
dilihat dari hati Zul..!

346
Nanang Martono, Kritik Sosial Terhadap Praktik Pendidikan Dalam Film “Laskar Pelangi”

Petikan perca kapan antara Harfan dan akses orang miskin untuk dapat bersekolah di
Zulfikar memberikan kritik terhadap praktik tempat yang cukup mewah. Pagar tembok dengan
pendidikan ketika dunia pendidikan sekarang lebih alih-alih keamanan, justru telah membatasi anak
mengedepankan pendidikan sai ns daripada dengan realitas di sekitarnya, seolah-olah mereka
pendidikan nilai. Pendidikan nilai kurang mendapat sedang dikarantina dalam proses mendapatkan
porsi yang seimbang selain itu, praktik pendidikan penget ahuan. L ingkungan so sial di sekita r
masih menggunakan nilai sebagai indikator sekolah, seharusnya menjadi bahan belajar bagi
kecerdasan siswa, nilai yang menjadi penentu siswa (Freire, 2002). Hal ini juga merupakan
layak tidaknya seorang siswa mendapat predikat sebuah kritik yang disampaikan dalam film LP.
“anak pintar”. Nilai yang berupa angka ini saat ini Muslimah dan Harfan juga sering mengajak Laskar
menjadi sebuah momok yang menakutkan bagi Pelangi belajar di tengah panas matahari, belajar
siswa manakala seorang siswa harus menghadapi di kebun, bahkan Laskar Pelangi diperbolehkan
tembok tinggi yang berupa ujian (nasional). Ujian belajar dan bermain di pantai (Gambar 3). Satu
(nasional) merupakan sarana untuk menyeleksi adegan yang memperkuat analisis ini adalah pada
siswa untuk naik ke jenjang yang lebih tinggi. Nilai saat Lintang dan Ikal mencoba bermain di
ini kemudian direpresentasikan dalam bentuk halaman SD PN Timah, yang kemudian justru diusir
selembar ijasah dan sederet gelar. Simbol-simbol oleh penjaga sekolah karena ia bukan siswa SD
yang berupa ijas ah ata u ge lar inil ah yang PN Timah. Adegan lain adalah saat Lintang dan
kemudian menjadi apa yang disebut Bourdieu Ikal berdiri di pagar SD PN Timah yang tertutup.
(2004) sebagai modal budaya, modal budaya yang Mereka hanya mampu berbicara dengan salah
tidak setiap golongan sosial mampu mendapat- satu temannya di SD tersebut dari balik pagar.
kannya. Selanjutnya, status sekolah akan menjadi
modal simblolik bagi siswanya, seolah-olah
bersekolah di sekolah favorit menjadi sebuah
kebanggaan bagi dirinya.
Fenomena ketidaksetaraan dalam pendidikan
kembali ditampilkan pada sebuah adegan. Pada
suatu hari, Mahmud –guru SD PN Timah– sedang
membagikan kalkulator pada siswanya ketika
berlangsung pelajaran Matematika. Kalkulator itu
dibag ikan sec ara gratis . Ce ri ta langs ung
dilanjutkan dengan adegan yang berbalik 180
derajat, yaitu saat pelajaran Matematika di SD
Gambar 3. Belajar tidak harus di dalam ruangan
Muhammadiyah. Muslimah pada saat itu tengah
mengaja k Laskar Pelangi belajar berhitung
menggunakan lidi yang diikat kecil-kecil. Dua Perspektif interaksionisme simbolik dapat
ade gan yang sal ing bert olak belakang ini terlihat melalui sosok Muslimah dan Harfan selama
menyampaikan kritik mengenai ketidaksetaraan menemani Laskar Pelangi. Muslimah dan Harfan
yang disebabkan perbedaan fasilitas belajar, lebih digambarkan sebagai sosok guru yang sangat
khusus lagi perbedaan fasilitas belajar antara dekat dengan Laskar Pelangi. Mereka juga sangat
anak orang kaya dan anak orang miskin. Orang menghargai keberagaman karakter, kemampuan
miskin dengan berbagai keterbatasan hanya maupun bakat yang dimiliki masing-masing anak
mampu menggunakan lidi sebagai alat bantu didiknya (Laskar Pelangi). Mahar yang menye-
berhitung. Ini adalah sebuah ironi ketika dua SD nangi seni, ditunjuk Muslimah sebagai ketua tim
yang berdekatan, di dalamnya seolah-olah ada yang akan diikutkan dalam lomba karnaval pada
tembok tinggi yang mampu membedakan anak- acara 17 Agustus. SD Muhammadiyah akhirnya
anak di sekitarnya. Inilah realitas yang sering memenangkan l omba karnaval te rsebut,
dilihat dalam wajah pendidikan nasional kita. mengalahkan tim dari SD PN Timah, juara bertahan
Sekolah adalah lembaga eksklusif yang dibatasi dalam lomba yang sama. Satu hal yang dapat
tembok tinggi, pagar besi yang siap menutup dibangg akan dari Laskar Pel angi s elai n

347
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 16, Nomor 3, Mei 2010

mengalahkan SD PN Timah adalah usaha yang Timah. Laskar Pelangi terlihat tidak percaya diri
dilakukan, ternyata hanya menggunakan alat-alat ketika harus berinteraksi dengan siswa PN Timah
sederhana, yaitu daun yang dijadikan hiasan yang be rseragam l engkap dan berse patu,
(Gambar 4). Hal ini tidak dijumpai pada kontestan sedangkan Laskar Pelangi berpakaian apa adanya
lain yang justru menggunakan alat modern dan hanya memakai sandal. Muslimah pada saat
(drumba nd ) dengan s eragam yang dapat itu juga sempat berpapasan dengan Kepala SD
dikatakan mahal untuk ukuran Laskar Pelangi PN Timah, namun kepala sekol ah t ersebut
(Gambar 5). Bagian film ini menginspirasikan terkesan angkuh, tidak bersalaman dengan
bahwa untuk dapat berhasil, tidak memerlukan Musl imah dan hanya ber jalan bi asa tanpa
perala tan yang mahal. Ceri ta i ni sekalig us menyapa. Harfan-pun terlihat sangat menghormati
mengkritik secara tajam lembaga pendidikan yang sang kepala sekolah SD PN Timah. Inilah sebuah
menggunakan peralatan modern (dan mahal) gambaran pro se s inte raksi simbol ik yang
dalam menggelar sebuah lomba atau acara. dilatarbelakangi oleh perbedaan status sekolah.
Gurupun PN Timah-pun merasa sebagai orang
yang patut dihormati karena ia memimpin sekolah
berkualitas di daerah tersebut.
Bakri yang selama ini menemani Muslimah dan
Harfan dalam mengajar Laskar Pelangi, akhirnya
memutuskan untuk pindah, menerima tawaran
mengajar di SD Bangka. Muslimah dan Harfan
kemudian harus mengajar berdua. Namun, Harfan
beberapa hari kemudian meninggal dunia di kelas,
tinggallah Muslimah sendirian menemani Laskar
Pelangi. Cerita ini menggambarkan beratnya
perjuangan guru yang harus mengajar di daerah
Gambar 4. Penampilan Laskar Pelangi dalam dengan fasilitas yang serba terbatas, bahkan
lomba 17-an
sering kali gaji dibayar terlambat. Inilah yang
dialami Muslimah.
Kemenangan Laskar Pelangi dalam lomba 17-
an, cukup memotivasi mereka untuk kemudian
mencoba mengikuti lomba cerdas cermat dan
harus berhadapan dengan siswa dari SD PN
Timah, juara bertahan. Laskar Pelangi akhirnya
juga tampil dalam lomba cerdas cermat. Lintang
yang memiliki kec erdasan dalam ma sala h
berhi tung, akhirnya mampu membawa SD
Muhammadiyah seb agai pemenang se tela h
sebelumnya Lint ang harus membuktika n
Gambar 5. Penampilan siswa SD PN Timah kebenaran jawabanya karena berbeda dengan
dalam lomba 17-an jawaban yang dimiliki juri sehingga Lintang
SD Muhammadiyah memperoleh surat dari dituduh melakukan kecurangan. Kemenangan SD
pengawas sekolah Sumatera Selatan untuk Muhammadiyah ini menggeser posisi SD PN Timah
mengikuti ulangan umum di SD PN Timah, dengan sebagai juara be rtahan. Inilah akhir cerita
kat a la in, siswa SD Muhammadi yah harus kesuksesan SD Muhammadiyah. Kemenangan
bergabung dengan SD PN Timah. Proses interaksi Laskar Pelangi dalam lomba cerdas cermat
simbolik juga terjadi dalam cerita ini. Film LP memberikan sebuah inspirasi bahwa sekolah yang
menggambarkan fenomena yang sangat kontras tidak favourit, murah serta diajar oleh guru yang
ketika Laskar Pelangi harus mengikuti ulangan “tidak kompeten”, ternyata tidak kalah dengan
umum dalam satu tempat dengan siswa dari PN sekolah yang mahal yang memiliki fasilitas

348
Nanang Martono, Kritik Sosial Terhadap Praktik Pendidikan Dalam Film “Laskar Pelangi”

lengkap. Sekolah mahal tidak selamanya lebih baik Simpulan dan Saran
daripada sekolah yang murah, dengan fasilitas apa Simpulan
adanya. Kunci keberhasilan individu dalam
Film karya Riri Riza yang diadopsi dari novel Laskar
memperol eh kes uksesan ti dak se lamanya
Pelangi mengambil pendidikan sebagai isu yang
ditentukan oleh di mana ia bersekolah.
diangkat sebagai pokok cerita. Beberapa kritik
Ketika Lintang pulang dari mengikuti lomba yang coba disampaikan melalui film ini di antaranya
cerdas cermat, ia tidak mendapati ayahnya pulang adalah: 1) Otonomi pendidikan yang belum
yang tidak pulang sejak Lintang berangkat untuk dilaksanakan sepenuhnya. Kritik ini disampaikan
mengikuti lomba. L inta ng ternyata harus di awal cerita ketika Harfan berencana menutup
kehilangan ayahnya di saat ia sedang berbahagia SD Muhammadiyah karena jumlah siswa yang
karena memenangkan lomba cerdas cermat. mendaftar tidak sampai sepuluh orang, sesuai
Lintang akhirnya harus merelakan keinginannya dengan aturan yang disampaikan pemerintah
untuk melanjutkan sekolah, meskipun ia termasuk Sumatera Selat an saat itu. Namun, sesaat
anak yang sangat cerdas. kemudian Harun datang untuk bersekolah di SD
Dua belas tahun kemudian diceritakan bahwa ini, sehingga jumlah siswa yang mendaftar genap
Ikal berhasil menyelesaikan studinya di luar se puluh orang. Jumlah siswa yang di didi k,
Belitong, dan Lintang menjadi pedagang di pasar. ternyata masih menjadi dasar utama untuk
Kedua anggota Laskar Pelangi itupun bertemu menentukan layak tidaknya sebuah sekolah tetap
kembali ketika Ikal menyempatkan diri pulang ke dibuka. Hakikatnya, kualitas sebuah sekolah tidak
harus dilihat dari jumlah siswa yang masuk. Namun
Belitong untuk mengabarkan bahwa ia akan
faktor kuantitas selalu menjadi pertimbangan
melanjutkan studi ke Perancis dengan beasiswa
utama, faktor kualitas seolah dikesampingkan; 2)
yang berhasil diraihnya. Kesuksesan seseorang
Eksklusifitas fungsi sekolah. Sekolah cenderung
tidak ditentukan oleh kelas sosialnya atau karena
menjadi eksklusif, terutama sekolah favorit yang
seseorang bersekolah di sekolah favorit.
mahal. Sekolah favorit hanya dapat dinikmati oleh
Keberhasilan SD Muhammadiyah mengantar-
segelintir orang dari golongan atas. Sekolah ini
kan sepuluh siswanya merupakan sebuah cerita
dilengkapi dengan fasilitas yang serba luks, dan
yang mematahkan pandangan masyarakat bahwa dibatasi dengan pagar tinggi, seolah-olah untuk
se ko lah fa vori t akan membe ri kan jamina n dapat belajar, seorang anak harus dikarantina di
kesuksesan, sehingga masyarakat berbondong- gedung sekolah; 3) Formalisasi pendidikan.
bondong untuk menyekolahkan anaknya ke Sekolah masih diyakini sebagai satu-satunya jalan
sekolah favorit (yang mahal). Pandangan inilah menuju kesuksesan. Ijasah dan gelar masih
yang kemudian memunculkan proses kapitalisasi menjadi simbol-simbol yang ingin diraih oleh
pendidikan, ketika sekolah favorit banyak diminati anggota masyarakat, sehingga t idak heran
masyarakat karena dianggap mampu memberika apabila banyak dijumpai anggota masyarakat
jaminan keberhasilan, maka sekolahpun akhirnya yang berupaya mendapat simbol-simbol tersebut
memasang biaya yang tinggi. Sesuai hukum dengan cara instan demi meraih kesuksesan; 4)
permintaan, ketika permintaan tinggi, maka harga Pendidikan formal yang meninggalkan hakikat
akan tinggi, maka sekolah sebagai lembaga pendidikan itu sendiri. Sektor pendidikan lebih
pendidikan akan mengikuti hukum ini. Sekolah banyak memfokuskan pada sisi kuantitas untuk
favorit akan memberikan “iming-iming” berupa mengukur keberhasilan atau kualitas seorang
fasilitas yang lengkap, guru atau dosen yang siswa. Kualitas ini lebih ditunjukkan melalui nilai
bergelar dan berkualitas sampai memberikan hasil ujian dalam rapot. Pendidikan juga hanya
jaminan kerja bagi lulusannya. Sekolah yang tidak dimaknai sebagai jalan untuk mencari pekerjaan
favorit, dengan fasilitas yang tidak lengkap, guru yang layak dan mengejar status sosial; dan 5)
yang tidak berkualitas serta letaknya yang berada Dikotomi sekolah favorit dan tidak favorit. Dikotomi
di pinggiran, akan sepi. Masyarakat tidak akan ini telah memunculkan komersialisasi pendidikan.
melirik profil sekolah seperti ini karena dianggap Sekolah favorit akan memasang biaya mahal
tidak mampu membawa anaknya menuju pintu kepada calon siswanya dengan menawarkan
keberhasilan. berbagai fasilitas luks.

349
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 16, Nomor 3, Mei 2010

Saran Sebagian besar anggota masyarakat masih


1) Kebijakan mengenai desentralisasi pendidikan memaknai pendidikan (sekolah) sebagai sarana
seharusnya bukanlah hanya sebatas wacana untuk me raih pekerjaan atau kesuks esan.
saja. Kebijakan ini seharusnya diimplemen-tasikan Pandangan ini harus segera diubah dengan
secara menyeluruh. Kondisi demografis dan mengembalikan pendidikan pada fungsi dan
geografis setiap daerah sangat berbeda, sudah hakikatnya sebagai sarana untuk meraih ilmu,
selayaknya setiap daerah diberi otonomi khusus bukan meraih pekerjaan. Langkah ini memerlukan
dalam sektor pendidikan. 2) Faktor kualitas saling keterkaitan antarsistem, terutama dunia
seharusnya lebih diutamakan daripada faktor kerja. Hampi r semua dunia kerja, s elal u
kuantitas terutama dalam menentukan kinerja menyarat kan adanya ijasah se bagai bukti
suatu lembaga pendidikan (sekolah). Kinerja “kemampuan individu”. Seolah-olah dengan
sekolah seharusnya tidak dilihat hanya sebatas berbekal selembar ijasah, seseorang dapat
kemampuan menyerap s iswa, ke mampua n meraih segalanya. 4). Kemampuan seseorang
meluluskan siswanya atau kemampuan mencapai seharusnya tidak dilihat dari perolehan nilai-nilai
standar nilai tertentu. Kinerja sekolah seharusnya rapot atau IPK. Kemampuan seharusnya dilihat
dilihat sesuai dengan proses yang telah dilakukan dari proses belajar yang telah dilaluinya selama
sekolah yang bersangkutan, bukan pada hasil menempuh pendidikan di sekolah. Setiap siswa
akhir yang lebih mengutamakan kuantitas. Hal memiliki bakat dan keunikan yang berbeda dan
inilah yang memunculkan image sekolah favorit dan tidak dapat distandarkan, sehingga mengukur
tidak favorit. 3) Perlu ada reinterpretasi mengenai kemampuan setiap siswa dengan standar yang
tujuan dan fungsi pendidikan bagi masyarakat. sama sangat tidak sesuai.

Pustaka Acuan
Anonim. 2008. Sinopsis Film Laskar Pelangi, diakses melalui situs: www.laskarpelangithemovies.com
tanggal 1 Juni 2009.
Bourdieu, Pierre. 2004. The Forms of Capital. dalam The Routledge Falmer Reader in Sociology of
Education. Stephen J. Ball (ed.). The Routledge Falmer, London.
Badan Pusat Statistik. 2008a. Angka Partisipasi Sekolah (%). situs: http://www.bps.go.id/tab_sub/
view.php?tabel=1&daftar=1&id_subyek=28&notab=34. diakses tanggal 12 Desember 2009.
Badan Pusat Statistik. 2008b. Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan Penduduk Berumur 10 Tahun ke
Atas (%). situs: http://www.bps.go.id/tab_sub/
view.php?tabel=1&daftar=1&id_subyek=28&notab=34. diakses tanggal 12 Desember 2009.
Freire, Paulo. 2002. Politik Pendidikan: Kebudayaan, Kekuasaan dan Pembebasan. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar (diterjemahkan oleh Fuad dari The Politics of Education: Culture, Power and Liberation).
Haralambos dan Holborn. 2004. Sociology: Themes and Perspectives Sixth Edition. Harper Collins
Publisher, London.
Henslin, James M. 2006. Sosiologi dengan Pendekatan Membumi Edisi 6 Jilid 2. Erlangga, Jakarta
(diterjemahkan oleh Kamanto Sunarto dari Essential of Sociology: a Down-to-earth Approach 6th
Edition)
Illich, Ivan. 2000. Bebaskan Masyarakat dari Belenggu Sekolah. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
(diterjemahkan oleh Sony Keraf dari Deschooling Society).
Meighan, Roland. 1981. Sociology Of Educating. Holt Education, New York.
Naomi, Omi Intan (ed.). 2003, Menggugat Pendidikan: Fundamentalisme Konservatif Liberal Anarkis,
Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

350

Anda mungkin juga menyukai