Anda di halaman 1dari 19

DEATIL CERITA:

Ini adalah kisah nyata yang ingin aku


bagikan ke pada dunia. Tentang perjalanan
mimpiku yang terlahir di keluarga petani
miskin yang mengejar mimpi kuliah hingga
ke Eropa.

Kisah ini dipenuhi oleh perjuanganku


dimulai dari SD yang sempat
dikesampingan, SMP yang pernah diskors
karna nakal. Lalu SMK yang ikut dengan
seseorang, makan dengan 2 ribu rupiah
untuk 4 hari, nyari cabe di kuburan. Namun
aku selalu peringkat 1 dan menang lomba.

Ketika kuliah S1 dijuluki mahasiswa


Backpacker, karna aku tidak punya kosan,
numpang sana sini, diusir, kerja sana sini,
ngajar dan juga dibumbuhi kisah cinta ku
dengan seseoang yang banyak membantu
ku. Aku lulus dengan IPK 3.91.

Ada banyak yang ingin ku sampaikan


melalui kisah ini. Pesan utamanya adalah
bahwa semua manusia terlapas dari
keadaanya apapun, latarbelakang apappun
berhak untuk meraih mimpinya.

Aku menulis ini, aku sedang menjalani S2 di


Eropa Utara melalui beasiswa dari
pemerintah Russia dan juga secara
bersamaan Bachelor non-degree di Trent
University dan Lakehead University
Canada.

Selamat membaca....
BAGIAN 1: MARGARAYA 1

Namaku Sandi Saputra. Aku pernah


bertanya ke pada emak arti dari namaku.
Kata dia, namaku didapat dari tulisan yang
terdapat di lemari peot kamar kami. Jadi dia
tidak tahu arti dari namaku. Masih menurut
emak, katanya bahwa dulu namaku bukan
Sandi, namun diapun sudah lupa namaku
sebelumnya. Aku terus menangis lalu
digantilah dengan nama yang terdapat di
lemari itu.

Aku mencoba mengada ada, Sandi bisa


berarti sebuah password, ya kan? Berarti
aku adalah orang penuh misteri yang tidak
dapat dideskripsikan seperti Joker atau
Sherlock Holmes. Ada juga yang
menyangka bahwa namaku diambil dari
Gobi atau Sahara, yes kata Sandi berasal
dari Sand yang berarti gurun. Entahlah, toh
emakku juga tidak ingat dan tak peduli
hahaha.

Masih soal asal usul kelahiran ku. Tanggal


lahir, ini menjadi runyam ketika aku kelas 6
untuk memverifikasi kelahirannku. Emak
bilang bahwa aku dilahirkan hari Selasa
tanggal 19 Maret 1994. Namun, faktanya
setelah aku SMP ketika teknologi yang
namanya handphone sudah dikenal banyak
orang, aku mencoba ngecek kebenaran
apakah tanggal 19 jatuh pada hari Selasa.
Ternyata tidak, tapi hari Jumat. Juga tahun,
emak menulis di sekolah bahwa aku lahir
pada tahun 1994, fakta lain bahwa teman-
teman yang disebutkan oleh emak lahir
dalam jarak waktu yang tidak jauh berbeda,
mereka lahir pada tahun 1993. Inilah aku
Sandi Saputra. Anak petani dari kampung
kecil Margaraya yang namanya diambil dari
tulisan di lemari peyot, tanggal lahir yang
tidak jelas dan kekeliruan tahun lahir.
Welcome to my story!

---

Kisah yang aku tulis ini adalah kisah nyata


yang ingin aku bagikan dengan dunia. Aku
ingin bercerita tentang mimpi dari anak yang
dilahirkan dari keluarga miskin yang
mencoba melawan dunianya, melawan
takdirnya, melawan opini, melawan sekat-
sekat yang sudah dipagar dan dibentuk oleh
masyarakat kelas bawah.

Aku selalu percaya bahwa setiap orang


berhak memiliki mimpinya, mengejar dan
memperjuangakannya. Tidak peduli apapun
bentuk mimpi itu atau latar belakang
seseorang yang memperjuangakan mimpi
tersebut. Ini prinsip yang selalu aku pegang,
bahwa mimpi adalah hak ku, ketika aku
memperjuangakannya, bahkan tuhan
sekalipun harus ikut mendukung dan
membantuku.

Tapi, apakah benar mimpi adalah hak


semua orang? Kiranya kita sepakat, lalu
muncul pertanyaan selanjutnya ada berapa
orang yang berani memperjuangkan
mimpinya? Aku buat lebih sepsifik lagi,
orang-orang miskin seperti aku, bagaiaman
cara kami memperjuangkan mimpi kami?
Boro-boro untuk mimpi, makan aja susah,
ya kan? So, I tell you now.
---

Pernah nonton or baca Laskar Pelang


series? Kisahku mungkin dalam beberapa
bagian ada kemiripan dengan cerita itu. Aku
dilahirkan di kampung kecil bernama
Margaraya 1, Kecamatan Natar, Kabupaten
Lampung Selatan. Emak melahirkan ku di
rumah, tidak ada bidan, tidak ada dokter
hanya dukun beranak yang tidak lain adalah
nenek ku sendiri, ibu dari abah ku.

Keluarga kami yang miskin membuat kami


serba keterbatasan. Kami tidak memiliki
listrik dari kakak pertama ku lahir sampai
dengan aku kelas 4 SD jika tidak salah.
Sedangkan, tetangga kami sudah
memilikinya. Bahkan, sumur pun kami tak
punya. Aku biasanya mandi di masjid,
rumah kami pas di belakang masjid.

Ayahku hanya seorang pencari burung yang


menggunakan jaring dan pikat dan emak ibu
rumah tangga yang menghasilkan uang dari
upahan di ladang orang-orang kampung.

Emak pernah cerita, yang hingga saat ini,


ketika dia bercerita aku kadang nangis tapi
aku sembunyikan. Kata emak, pernah suatu
saat ketika emak sedang kerja di ladang
orang mengupas jagung yang sudah siap
panen. Aku di kampung bersama kakak
pertama ku, Kak Iki. Karna aku kelaparan
dan kakak iki tidak ada uang, dia
mengendongku dan mencuri makanan kecil
agar aku bisa makan dan diam. Yang punya
warung tau kalo kakak mencuri, tapi dia
hanya diam kenapa? kasihan. Do you
know? When I am typing this line I am a litte
bit crying and smile. Sorry.

Potret kemiskinan lainnya yang bisa aku


gambarkan adalah melalui kebutuhan
utama kami soal makanan. Aku masih
sangat jelas mengingatnya, bahwa kami
sangat jarang makanan enak. Makan ayam
hanya ada dua kemungkinan, pertama ada
orang hajatan di kampung kedua lebaran.
Even we had chiken, but kami tidak bisa
menyembelihnya, karna kata emak uangnya
buat biaya sekolah kedua kakak ku.

Di cerita lain, soal pakaian. Kata emak,


bahkan ketika lebaranpun aku kadang tidak
beli baju baru. Kadang cuma pakai yang
tahun lalu yang disimpan atau ada orang
baik yang membelikan ku. Kata emak, tapi
aku tidak pernah nangis ketika teman-
temanku punya baru dan aku tidak.

Ada yang penasaran dengan rumah kami?


Tempat tinggalku terbuat dari geribik yang
sudah lapuk. Genteng tipis yang sudah
jamuran. Lantai semen yang sudah bolong
dimana mana. dapur lantai tanah. Aku ingat,
kalo ujan, kami sibuk menempatkan ember,
baskom hampir di seluruh rumah. Inilah
rumah kami, gubuk sederhana tempat aku
pertama kali aku memberanikan bermimpi
untuk sekolah di kota, kuliah di Jakarta
hingga Eropa dalam sunyi dan dekapan
emak.

Inilah narasi kemiskinan keluarga ku.


Sebuah keluarga kecil yang salah satu
anaknya berani bersaing dengan orang-
orang dari seluruh dunia di Eropa....

BAGIAN 2: SDN 1 RULUNG RAYA

Perjuangan kelas adalah salah satu topik


yang paling aku sukai. Konstruksi diksi yang
dibangun oleh bapak sosialisme Marx
membagi masyarakat menjadi dua kelas.
Pertama, borjuis yang memiliki modal yang
dapat diidentifikasikan sebagai para pemilik
usaha dan tuan-tuan berdasi. Whereas,
proletar adalah kelas masyarakat yang
mengalami penindasan, tidak terpenuhi
haknya, pendidikan rendah dan harus
terinjak-injak di bawah rumah ibu pertiwi.

Kemiskinan dan pendidikan adalah bentuk


manifestasi dari kelas proletar. Daerah yang
memiliki tingkat kemiskinan tinggi pasti
memiliki tingkat pendidikan rendah.
Mengapa? Karena persepsi di masyarakat
kelas bawah bahwa pendidikan tidak dapat
memberi mereka makan. Di sisi lain,
mahalnya pendidikan membuat manusia-
manusia seperti aku sulit untuk memiliki
akses terhadap pendidikan dengan kualitas
yang baik.

Aku selalu percaya bahwa pendidikan


memiliki peran yang sangat krusial dalam
menentukan peradaban manusia. Mau lihat
contohnya? Habibie adalah potret manusia
modern Indonesia yang menggambarkan
bagaimana pendidikan mengubah etnis,
bangsa, negara industri dan dunia. Gus dur,
tanpa pendidikan dia tidak akan bisa berada
pada pucuk kekusaan yang fenomenal
walaupun berakhir dengan tragis dimakan
oleh keserakaan kekuasaan manusia-
manusia senayan. Contoh lainnya adalah
HS Cokroaminoto, bapak pendidikan kita
semua. Beliau adalah guru dari orang-orang
yang memperjuangkan bangsa ini. Bahkan
3 kekuatan politik Indonesia semua lahir
dari racikan tangan beliau. Samaun dengan
komunisme, Kartosuwiryo manifestasi dari
kekuataan Islam kiri dan Sukarno narasi
nasionalis yang melekat hingga hari ini.

Hari itu aku pulang jam 10 pagi. Aku


bersekolah di SDN 1 Rulung Raya
Sukananti. Sekolah ini cukup jauh dari
rumahkau sekitar 40 menit berjalanan kaki
seorang anak SD. Sebenarnya aku bisa
bersekolah di SD 2 Rulung Raya yang
hanya sekitar 20 menit perjalanan dari
rumah. Namun atas dasar pertimbangan
rumah nenek ku dan 'ibu kedua' ku ada di
sana maka Abah memutuskan untuk
menyekolahkan aku di sana.

Sekolah ku jauh dari kualitas yang baik.


Saat itu, aku ingat betul kelas kami ruangan
yang cukup besar. Sebenarnya kelas kami
adalah gabungan dua kelas yang disekat
melalui papan-papan yang bisa dibongkar-
pasang. Namun, kelas itu hanya blong ke
belakang. Kenapa? karna bagian belakang
kelas kami tidak bisa dipakai karna
kondisinya yang mengenaskan.

Ketika hujan selalu menjadi ingatan lucu


dan sedih bagiku. Sedihnya, karena ketika
hujan maka kami harus berhenti belajar
atau setidaknya kami semua akan
berkumpul berhimpitan ke bagian depan
dekat pintu masuk. Bagian belakang kelas
yang hampir 70 persen atapnya sudah
bocor dan lapuk. Di sisi lain, kondisi ini
menjadi lucu dan ada juga yang senang,
karena jika hujan itu berarti kami tidak
belajar dan bebas hahahah.

Sebenarnya kelas itu jujur tidak layak lagi


digunakan untuk belajar. Ketika hujan dan
angin kondisinya sangat membahayakan
para murid dan guru juga tentunya.

Di sekolah ini aku pertama kali belajar


membaca dan menghitung secara formal.
Maklum, di desa kami tidak ada TK apa lagi
les calitung. Aku sebelum sekolah sudah
belajar menghitung dari 1 sampai 100, tapi
untuk urusan membaca dan menulis aku
benar-benar mengalami masalah sehingga
aku belajar lebih banyak di sekolah untuk
urusan ini.

Aku begitu senang, ketika sekolah


menggunakan sepatu, tas, celana dan baju
baru. Aku tidak pernah tahu dari mana abah
dan emak mendapatkannya, tapi aku yakin
saat itu tidak mudah bagi mereka. Terima
kasih emak, abah.

Ibu guru ku namanya Ibu Husna. Dia


terkenal galak dan agak sengit hahaa. tapi
prinsipnya dia sangat baik, dialah yang
mengajariku berhitung dan membaca. Aku
sellau ingat dengan kaca mata dia yang
bundar yang jika berteriak dari kelas 1
sampai kelas 3 pun bisa dengar bahkan
para pedagang pun bisa berlarian hahaa. I
love you ibu Husna!
Oh iya, ketika aku sekolah ini aku
mengalami bulliyan. Dua orang yang paling
sering melakukan pembulian dengan ku
adalah Kong Ajik dan Hendi dan satu lagi
Angga. Tapi, sekarang kami berteman.
Bentuk bulliannya pada masa itu cukup
kejam dan cabul untuk ukuran anak SD
kelas 1. Aku sering keplak kepala, atau di
keroyok secara beruntun oleh mereka
semua.kadang barang-barangku seperti
pulpen, pensil atau penghapus pun raib
digasak mereka. Nah, sisi cabulnya adalah
beberapa siswa perempuan aku masih ingat
namanya Tari dan teman-temannya sering
di tarik rok nya dan kadang dipeluk-peluk
oleh mereka. Cabul ya? Masih kelas 1 SD
padahal :(((.
Cerita lain ketika aku kelas 1 adalah tentang
jajan. Waktu itu aku masuk sekolah tahun
1999. Jadi posisinya sudah mengalami
inflasi yang besar dan nilai rupiah sudah
sangat rendah. Waktu itu aku dikasih jajan
sekitar 100-300 rupiah, itupun tidak setiap
hari, biasanya hari jumat yang pasti olah
raga. Sedangkan teman-temanku aku tahu
sudah sekitar 500-1000 rupiah. Kadang,
kalo aku ingat suka sedih, aku ingat suka
mupeng kalo liat orang-orang jajan bakwan,
empek-empek dan es cendol. Sedangikan
duit ku tidak cukup, untuk membeli itu
semua diperlukan uang sekitar 500 rupiah
saat itu, sedangkan aku hanya punya uang
200 rupiah, jadi biasanya aku cuma beli es
100 dan bak wan satu 100 rupiah. But, I
never angry with my parents. Sudah bisa
menyekolahkan akupun, aku sudah bangga.
Aku tidak butuh jajan, aku butuh belajar
mak, abah.

Anda mungkin juga menyukai