Anda di halaman 1dari 3

Nama : Muhamad Naufal Shidqi Laras

NIM : 18407144013
Prodi : Ilmu Sejarah B
Mata Kuliah : Sejarah Pendidikan
Tugas Kuliah : Essay Harian Setiap Pertemuan Kuliah

Sekolah Wanita & Taman Siswa

Pada permulaan abad ke-20, di Indonesia hanya ada beberapa sekolah guru dan sebuah
sekolah dokter Jawa, sedangkan di setiap Kabupaten dan kecamatan hanya ada di sekolah
dasar tingkat dua. Pelajaran di sekolah antara lain diajarkan membaca, menulis, bahasa
melayu, bahasa Indonesia, dan bahasa Belanda yang diberikan juga. Namun pemerintah
Belanda tidak menghendaki rakyat Indonesia menjadi pandai. RA Kartini tidak dapat
menyetujui pandangan yang sempit seperti itu, beliau mencela dengan tajamnya pemerintah
Hindia Belanda, beliau menuntut agar pemerintah Hindia Belanda segera mengubah
politiknya dan mengadakan pembaharuan-pembaharuan yang berguna bagi rakyat, untuk itu
RA Kartini berusaha mendirikan sekolah sendiri, yang pada hakekatnya bertujuan untuk
memperbaiki keadaan pendidikan sekolah yang didirikan oleh RA Kartini khususnya
diperuntukkan para gadis (Tashadi, 1986 : 82).

Usaha RA Kartini dalam mendirikan sekolah yang disebut dengan sekolah gadis.
Sekolah gadis tersebut mendapat tanggapan yang baik dari masyarakat, dan hal tersebut
sangat diharapkan oleh masyarakat. Hari demi hari muridnya bertambah banyak terutama
anak-anak gadis. RA Kartini mengajar dari pukul 08.00 –12.30. Mata pelajaran yang
diajarkan adalam membaca, menulis, menjahit, merenda, memasak dan sebagainya. Cara
yang dipakai mengajar. Dengan demikian murid-muridnya tidak akan merasa terikat oleh
pelajaran yang diberikan kepadanya

Sekolah Wanita juga didirikan oleh Dewi Sartika, yang saat itu berulang kali
permohonan itu diajukan. Dan pada akhirnya Bupati menyetujuinya dan pada tanggal 16
Januari 1904 didirikanlah "sekolah istri" (sekolah istri = sekolah gadis), untuk jenisnya yang
pertama kali di Indonesia. tempatnya di Paseban Kabupaten Bandung sebelah barat terdiri
dari 2 elas dengan dua puluh orang murid, dengan tiga orang pengajar yaitu Dewi Sartika,
Ibu Purma dan Ibu Uwit. (Komandoko, 2006 : 104).
Setahun kemudian, pada tahun 1905, sekolah menambah kelas, sehingga kemudian
pindah ke jalan Ciguriang, Kebon Cao. Di tempat yang sekarang masih dipergunakan
sebagai tempat belajar sekolah-sekolah yayasan Dewi Sartika.Lokasi baru ini dibeli Dewi
Sartika dengan uang tabungan pribadinya, sera bantuan dana pribadi dari Bupati Bandung.
Lulusan pertama keluar pada tahun 1909, membuktikan kepada bangsa kita bahwa
perempuan memiliki kemmapuan yang tak ada bedanya dengan laki-laki. Tahun 1910
menggunakan harta benda, untuk memperbaiki sekolahnya lagi, sehingga bisa lebih
memenuhi syarat kelengkapan sekolah formal. Penyempurnaan dalam rencana pelajaran
dilakukan. Pedomannya adalah pola pendidikan yang dilaksanakan di sekolah dasar
pemerintah waktu itu, dengan meneankan pada pelajaran-pelajaran keterampilan wanita
seperti : 1) menjahit, 2) menambal, 3) menyulam, 4) merenda, 5) memasak, 6) menyajikan
makanan, 7) PPPK, 8) memeihara bayi, 9) belajar agama (Wiriaatmadja, 1985 : 74)

Taman siswa berdiri pada 3 Juli 1922, pendirinya adalah Raden Mas Soewardi
Soeryaningrat atau yang biasa dikenal dengan Ki Hajar Dewantara. Awalnya, Taman Siswa
bernama Nationaal Onderwijs Instituut Taman Siswa (Institut Pendidikan Nasional Taman
Siswa). Saat itu Taman Siswa hanya memiliki 20 murid kelas Taman Indria. Namun,
kemudian Taman Siswa berkembang pesat dengan memiliki 52 cabang dengan murid
kurang lebih 65.000 siswa. Azas Taman Siswa adalah “Ing Ngarsa Sung Tulada, Ing Madya
Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani”. Artinya “guru didepan harus memberi contoh atau
teladan, di tengah harus bisa menjalin kerjasama, dan dibelakang harus memberi motivasi
atau dorongan kepada para siswanya.” Azas ini masih relevan dan penting dalam dunia
pendidikan.
Pendidikan Taman Siswa dilaksanakan berdasar Sistem Among, yaitu suatu sistem
pendidikan yang berjiwa kekeluargaan dan bersendikan kodrat alam dan kemerdekaan.
Dalam sistem ini setiap pendidik harus meluangkan waktu sebanyak 24 jam setiap harinya
untuk memberikan pelayanan kepada anak didik sebagaimana orang tua yang memberikan
pelayanan kepada anaknya. Sistem Among tersebut berdasarkan cara berlakunya disebut
Sistem Tut Wuri Handayani.
Di dalam aktivitasnya, Taman Siswa selalu mendapat perhatian pemerintah kolonial
yang mengambil sikap waspada terhadap sistem pendidikan kebangsaan yang merupakan
ciri khas Taman Siswa. Kekhawatiran pemerintah kolonial cukup beralasan mengingat
penyebaran ide nasionalisme yang dilakukan oleh Taman Siswa melalui jalur pendidikan
dinilai pemerintah dapat membangkitkan kesadaran rakyat sebagai las yang terjajah clan
tertindas. Oleh karena itu, salah satu cara adalah membatasi gerak Taman Siswa dengan
mengeluarkan ordonansi sekolah liar . Ternyata ordonansi itu tidak hanya mendatangkan
reaksi dari Suwardi Suryaningrat saja dan pengikutnya tapi juga dari kaum pergerakan
nasional. Pemerintah kolonial pun akhirnya memperhitungkan bahwa ternsdilaksanakannya
ordonansi tersebut akan menyebabkan situasi politik terus memanas.

|| Pertanyaan :

Apakah dalam Sekolah Wanita timbul adanya pergerekan-pergerakan anti penjajah yang
digerakan dari dalam sekolah wanita tersebut ?

|| Sumber :

Dewantara, B.S.1979. NyiHajarDewantara. Jakarta: PT.GunungAgung.

Gamal Komandoko. 2006. Kisah 124 Pahlawan dan Pejuang Nusantara. Jakarta : Pustaka
Widyatama.

Rochiati Wiraatmadja. 1985. Dewi Sartika. Jakarta : Departemen Pendidikan dan


Kebudayaan.

Soeratman, Darsiti.1977. Ki Hajar Dewantara. Jakarta: Departemen P dan K.

Surjomihardjo, Abdurrachman, 1986. Ki Hadjar dewantara dan Taman Siswa Dalam Sejarah
Indonesia Modern. Jakarta: SinarHarapan.

Tashadi. 1986. RA. Kartini. Jakarta: Departemen Pendidikan Kebudayaan.

Anda mungkin juga menyukai