Anda di halaman 1dari 359

Studi

Hubungan
Internasional
S T U D I H U B U N G A N IN T E R N A S IO N A L

Oleh : P. Anthonius Sitepu

Edisi Pertama
Cetakan Pertama, 2011

Hak Cipta © 2011 pada penulis,


Hak Cipta dilindungi undang-undang. Dilarang memperbanyak atau memindahkan
sebagian atau seluruh isi buku ini dalam bentuk apa pun, secara elektronis maupun
mekanis, termasuk memfotokopi, merekam, atau dengan teknik perekaman lainnya,
tanpa izin tertulis dari penerbit.

GRAHA ILMU
Ruko Jambusari No. 7A
Yogyakarta 55283
Telp. : 0274-889836; 0274-889398
Fax. : 0274-889057
E-mail : info@grahailmu.co.id

r Sitepu, P. A n t h o n i u s

a

STUDI H U B U N G A N I N T E R N A S I O N A L / P . A n t h o n i u s S i t e p u
- E d i s i P e r tama - Y o g y a karta; G r a h a Ilmu, 2011
xii + 372 him, 1 Jil. : 23 cm.

ISBN: 978-979-756-732-3

1. So s i a l p o l i t i k I. Judul

j
KATA PENGANTAR

ujuan utama pengantar studi hubungan internasional


adalah sebagai pengantar dalam rangka mempelajari
ilmu hubungan internasional lebih jauh. Sebagaimana
sebuah pengantar, buat ini memuat prinsip-prinsip dasar materi
tentang studi hubungan internasional yang sengaja dirancang untuk
dimanfaatkan oleh pembaca yang ingin mempelajari hubungan
internasional dan peduli terhadap masalah-masalah internasional dan
studi hubungan internasional.

Buku ini bukan yang pertama, karena lebih banyak memanfaat-


kan literatur-literatur yang menggunakan bahan-bahan atau sumber-
sumber ataupun tulisan-tulisan berupa buku-buku yang ditulis oleh
dan dalam bahasa asing yang sejak awal memang merupakan kumpul-
an atau himpunan bahan pembelajaran studi hubungan internasional.
Maka dengan diterbitkannya buku ini sedikit banyak telah membantu
mengurangi hambatan terhadap keterbatasan dan kemampuan bahasa
asing dalam lingkup studi hubungan internasional.

Buku ini dapat dibagi ke dalam lima bagian pokok. Tiap


bagian dibagi lagi ke dalam beberapa bab-babnya, dalam bagian satu
berbicara dan membahas masalah yang berkaitan dengan perspektif
konsep-konsep dan teori-teori hubungan internasional umumnya
termasuk di dalamnya (sebagai yang mendasari pemahaman studi
hubungan internasional) teori realisme politik internasional, teori
sistem internasional, teori pembuatan keputusan politik luar negeri,
tipologis teori pembuatan keputusan politik Iuar negeri serta diuraikan
berbagai alasan mengapa kita mempelajari hubungan internasional,
identitas tujuan utama studi hubungan internasional, luas lingkup
studi hubungan internasional, tingkat anaiisis (unit) studi hubungan
internasional.

Sedangkan dalam bagian ke dua, diuraikan tentang negara dan


sistem internasional, di sini yang menjadi pokok bahasan menyangkut
masalah yang berkenaan dengan pandangan negara sebagai aktor
utama dalam sistem internasional serta berbagai aktor lainnya yang
memberikan kontribusi dalam pencaturan politik internasional
dan peranan kepentingan nasional dalam politik dan hubungan
internasional.

Bagian yang ke tiga, berbicara dengan masalah yang berkenaan


dengan tema pokok: politik luar negari terhadap sistem internasional.
Dalam hal ini dikembangkan pemahaman mengenai definisi politik
luar negeri, tujuannya, instrumen politik luar terbagi dalam berbagai
unsur didalamnya seperti diplomasi, propaganda internasional,
bidang ekonomi, intervensi dan sebagainya. Sementara dalam bagian
yang ke empat, dengan tema pokok yang berkenaan dengan institusi
utama sistem internasional. Ini lebih banyak berbicara soal hukum
internasional, subjek hukum internasional dan sebagainya.

Buku ini dalam uraiannya ditutup dengan bagian ke lima, yang


berisi soal-soal berkenaan dengan manajemen konflik dalam sistem
internasional. Persoalan ini dikembangkan dengan menggunakan
materi manajemen konflik dalam sistem internasional serta metode
penyelesaian konflik serta berbagai pendekatannya.

Akhir kata dalam kata pengantar buku ini saya, menyatakan


dengan ungkapan akan banyak manfaatjikalau ada kritik serta beberapa

V1 Studi Hubungan Internasional


komentar yang konstruktif, karena dengan menyadari sesungguhn^
bahwa dalam buku ini masih terdapat banyak kelemahan da
kekurangan di sana-sini sebagai akibat dari keterbatasan ilmu yan
penulis miliki dalam bidang kajian ini. Oleh karena itu hal ini say
akan tempatkan di dalam kerangka meningkatkan kualitas, buku ir
yang datang dari saudara-saudara pembaca, saya akan terima segalany
dengan senang hati sehingga membuka jalan bagi penyempumaai
lebih lanjut buku ini. Dan kepada istri penulis, Fransiska Sri Mulyan
T serta anak-anak, Maria Estella Karoulina Sitepu dan Vinsensiu
Giovanni K Sitepu, dipersembahkan buku ini karena secara tidal
langsung mereka telah memberikan kontribusinya kepada seorang
suami dan ayah untuk berusaha memberikan dorongan semanga‘
menulis hingga terbitnya buku ini.

Medan, Pebruari 2011

P. Anthonius Sitepu

Kata Pengantar vii


DAFTAK \i

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAG IA N KE SATU
KONSEP DAN PRIN SIP DASAR STUDI H U B U N G A N
INTERN ASIO N AL

BAB 1 STUDI H U B U N G A N INTERN ASIO N AL


1.1 Konsep dan Prinsip Dasar 5
Daftar Pustaka 36
BAB 2 TEORI dalam STUDI H U B U N G A N INTERN ASIO N AL 37
2.1 Teorisasi Studi Hubungan Internasional 37
2.2 Berbagai Teori dalam Studi Hubungan
Internasional 47
2.3 Tipologis Pembuatan Teori Kebijaksanaan
Luar Negeri 70
2.4 Pembuatan Keputusan Politik Luar Negeri Sebagai
Pemecahan Masalah 72
Daftar Pustaka 91
BAB 3 M O D EL PEM BUATAN KEPUTUSAN POLITIK LUAR
NEGERI UNIT DAN TINGKAT A N ALISIS 93
3.1 Model Konseptual Pembuatan Keputusan Politik
Luar Negeri 93
3.2 Tingkat dan Unit Analisis Studi Hubungan
Internasional 107
Daftar Pustaka 112

BAG IA N K E D U A
NEGARA DAN SISTEM INTERN ASION AL

BAB 4 NEGARA DAN SISTEM INTERN ASIO N AL 121


4.1 Konseptualisasi Tentang Negara 121
4.2 Aktor-aktor Non-Negara (NGO ) 130
4.3 Organisasi Antarpemerintah (IGO's) dan
Tipologinya 136
Daftar Pustaka 143

BAB 5 BEBERAPA M O D EL SISTEM INTERN ASIO N AL 145


5.1 Sistem Internasional dan Negara-negara 145
5.2 Perimbangan Kekuatan (Balance of power) 149
5.3 Sistem Internasional dalam Pola Hubungan
Bipolar 156
5.4 Sistem Internasional dalam Pola Hubungan
Multipolar 157
5.5 Sistem Internasional dalam Pola Hubungan
Keamanan Bersama 158
5.6 Kepentingan Nasional dalam Sistem Hubungan
Internasional 162
Daftar Pustaka 170
BAG IA N KE TIGA
POLITIK LUAR NEGERI TERHADAP SISTEM H U B U N G A N
INTERN ASION AL

BAB 6 POLITIK LUAR NEGERI TERHADAP SISTEM


INTERNASIONAL 177
6.1 Masalah Definisi Konsep Politik Luar Negeri 177
6.2 Instrumen Politik Luar Negeri 196

X Studi Hubungan Internasional


6.3 Instrumen Propaganda Internasional 212
6.4 Instrumen dalam Bidang Ekonomi 222
6.5 Instrumen dalam Bidang Intervensi 234
Daftar Pustaka 244
BAG IAN KE EMPAT
INSTITUSI UTAMA SISTEM INTERNASIONAL

BAB 7 INSTITUSI UTAM A dalam SISTEM


INTERN ASIO N AL 251
7.1 Prinsip Dasar Hukum Internasional 251
7.2 Sumber Hukum Internasional 280
7.3 Subjek Hukum Internasional 291
Daftar Pustaka 321
BAG IA N KE LIMA
M ANAJEM EN KO NFLIK dalam SISTEM INTERN ASIO N AL

BAB 8 M ANAJEM EN KO NFLIK dalam SISTEM


INTERN ASIO N AL 327
8.1 Pengantar 327
8.2 Manajemen Konflik dalam Sistem Internasional 341
8.3 Penyelesaian Konflik Secara Damai (Pacific
Settlemen Dispute) 346
8.4 Perdamaian Melalui Organisasi Internasional dan
Regional 355
8.5 Penyelesaian Konflik Secara Kekerasan 361
Daftar Pustaka 367
TENTANG PENULIS 369

-00 O00 -

Daftar |Sj
xi
BAGIAN KE SATU

KONSEP DAN PRINSIP DASAR


STUDI HUBUNGAN
INTERNASIONAL
1
K O N S E P D A N P RIN SIP D A S A R
S T U D I H U B U N G A N IN T E R N A S IO N A L

Tujuan Pembelajaran

Setelah membaca bab ini Anda akan dapat:

1. Menguraikan beberapa alasan dasar mengapa mempelajari


hubungan internasional.
2. Menjelaskan tujuan-tujuan yang hendak dicapai dalam studi
hubungan internasional.
3. Mengidentifikasi perkembangan studi hubungan internasional
secara umum.
4. Membuat rumusan atas batasan lingkup studi hubungan
internasional.
5. Menjelaskan unit dan tingkat analisis dalam studi hubungan
internasional.
STUDI HUBUNGAI''
INTERNASIONAI

1.1 KONSEP DAN PRINSIP DASAR


1.1.1 Apakah Hubungan Internasional itu?

Kompleksitas hubungan internasional barangkali yang telal


memberikan akses kuat terhadap alasan, mengapa kita tertarik untul
mempelajari hubungan internasional yangtercermin dalam hubungan
hubungan antara negara-negara sejak akhir Perang Dunia Kedua sema
kin lama semakin kompleks. Kompleksitas ini disebabkan oleh tig;
hal pokok. Pertama, multiplikasi pelaku-pelaku di bidang hubungar
internasional, di antara mana persengketaan mungkin timbul; multi
plikasi ini tidak hanya dalam artian jenis pelaku akan tetapi juga jum
lah setiap jenis pelaku. Ke dua, multiplikasi jumlah masalah-masalal'
yang dapat menjadi sebab dari persengketaan. Ke tiga, multiplikas
cara dan peralatan yang dapat digunakan untuk memecahkan perseng­
ketaan di masa depan. (Daoed Joesoef, 1989, 5).

Sebagai multiplikasi dalam pelaku-pelaku internasional termasuk


di antaranya seperti negara-negara, yang sampai pada akhir Perang
Dunia Ke satu, sebagai aktor-aktor dalam bidang-bidang internasional
dikenai dengan sebutan Negara-negara Bangsa (Nation-States) yang
merdeka dan berdaulat. Bandingkan kalau pada akhir Perang Dunia ke
dua jumlah Negara-negara bangsa kurang lebih 50-an dan dewasa ini,
jumlahnya tidak kurang dari 159 negara. Sebagai pelaku yang yang ke
dua dalam bidang hubungan internasional adalah lembaga-lembaga
internasional yang kini jumlahnya tidak kurang dari 200 -an buah serta
badan-badan internasional seperti, Multi National Cooperation (MNC),
gerakan-gerakan politik yang mendasarkan diri pada suatu ideologi
tertentu, kelompok-kelompok keagamaan, Amnesti Internasional dan
sebagainya. Selanjutnya pelaku seperti orang perorangan baik yang
bergabung dalam gerakan revolusioner ataupun yang bersifat teroris.
Manusia pribadi, di sini diartikan sebagai tindakan secara pribadinya
yang terkadang tidak selalu sejajar dengan pandangan yang dipegang
oleh Negara-negara dari mana mereka berasal.

Namun bagi pandangan (David N. Farnworth, 1988,1) yang


mengemukakan bahwa ada dua alasan utama yang paling umum di­
gunakan untuk mengetahui orang tertarik untuk mempelajari hubung­
an internasional. Pertama, keinginan untuk mengetahui lebih banyak
tentang dampak atau implikasi yang ditimbulkan oleh peristiwa-peris-
tiwa yang terjadi di bidang internasional bagi kehidupan kita atau serta
kemungkinan pengaruhnya manakala Negara-negara yang mungkin
lepas kontrol atas alat-alat yang digunakan. Ke dua, diperuntukkan
bagi kepentingan penelitian hubungan internasional dapat mengajar-
kan kita bahwa semua suasana persengketaan/konflik tidak selamanya
bersifat langgeng yang terkadang bisa mengancam kehidupan kita.
Oleh sebab itu jika alasannya hanya bersifat tidak lebih dari membe-
dakan antara ancaman-ancaman internasional dengan sungguh-sung-
guh dengan sendirinya bisa membangkitkan semangat studi hubungan
internasional.

Lain lagi dengan misalnya hanya didorong oleh motivasi un­


tuk memperoleh informasi tentang berbagai fenomena internasional
dan terbatas hanya dalam belajar memahami demi membedakan an-
tarpelaku seluas negara atau bangsa yang berdasarkan pada aspek

6 Studi Hubungan Internasional


domestiknya dan sebaliknya, pelaku yang berdasarkan pada motivas
atau dorongan bahwa internasional sebagai suatu kontribusi yang cu-
kup penting dalam kerangka kita memahami studi hubungan interna­
sional. Akan tetapi bilamana kita perhatikan apa yang dikatakan oleh
(Mohtar Mas'oed, 1990:30), bahwa sejak akhir dasawarsa tahun 1960-
an, pendapatan dan anggaran belanja negara kita sangat dipengaruhi
oleh atau tergantung pada sektor eksternal baik dalam bentuk perda­
gangan maupun bantuan luar negeri. Kemampuan ekonomi kita untuk
menyediakan barang dan jasa bagi warganya juga sangat dipengaruhi
oleh variabei internasional. Pengembangan kebudayaan kita, terutama
dimensi ilmu dan teknologi juga dihadapkan kepada masalah yang
sama. Ini semuanya mengesahkan bahwa diperlukannya suatu studi
yang secara intens yakni dalam kaitan ini adalah studi hubungan in­
ternasional.

Studi secara intensif dalam bidang hubungan internasional


senantiasa berhadapan dengan manifestasi baru dalam dimensi politik
internasional itu sendiri, yakni pola interaksi hubungan antarnegara-
negara. Dalam pola interaksi hubungan tersebut, terlihat berbagai
kecenderungan dari negara-negara terutama negara-negara besar yang
melakukan dominasi terhadap negara-negara kecil dan padagilirannya,
memberikan kesan bahwa telah terjadi sifat hubungan yang kompetitif
dan ini akan berpengaruh kepada: politico interest dan akan terus
berkembang menjadi konflik. Konflik tersebut sekurang-kurangnya
berskala regional dan mondial. Pola perilaku seperti ini tentunya akan
memberikan pengaruh terhadap negara-negara untuk bertindak yakni
demi memperjuangkan kepentingannya dalam kaitannya dengan
hubungan negara-negara lain ke dalam suatu bentuk tindakan yang
di luar batas wilayahnya dengan orientasi politik luar negeri yang
nyatanya diwujudkan ke dalam formulasi (bentuk) seperti, blok-
blok, isolasionisme ataupun dengan persekutuan (aliansi) ataupun
dalam koalisi-koalisi diplomatik lainnya. Pola hubungan internasional
Vang demikian memberikan pengaruh terhadap struktur hubungan
ln,ernasional inilah, kiranya yang menjadikannya sebagai alasan dasar

Hubungan Internasional 7
mengapa orang akan tertarik kepada studi hubungan internasional.
Namun boleh jadi, masih ada banyak alasan atau argumentasi-
argumentasi yang dapat dijadikan alasan mengapa kita mempelajari
atau paling tidak tertarik terhadap hubungan internasional, sehingga
pada gilirannya menjadi satu studi tersendiri.

1.1.2 Tujuan Studi Hubungan Internasional

Pada prinsipnya, tujuan studi hubungan internasional adalah


untuk mempelajari perilaku para aktor seperti misalnya negara, mau-
pun yang bukan termasuk kategori sebuah Negara (organisasi inter­
nasional) di dalam arena transaksi internasional. Perilaku itu bisa
berwujud perang, konflik, kerjasama dalam organisasi internasional.
(Mochtar Mas'oed, 1990, 32). Di samping itu bisa juga dijadikan se­
bagai pengembangan pendidikan bagi para pemimpin yakni yang di­
jadikan dalam kaitannya dengan pemahaman hubungan internasional
khususnya bagi orang yang berkecimpung dalam tingkat kepemimpin-
an mendunia.

Jika demikian halnya, macam pendidikan yang bagaimanakah


yang relevan agar bisa memberikan kontribusi ? Itu tampaknya senantiasa
berkaitan erat dengan pokok bahasan tentang demokrasi yang dalam
konteks ini adalah, bagaimanakah seseorang akan menjadi seorang
pemimpin yang bersifat demokratis yang paling tidak, orang yang harus
mengetahui apa yang menjadi dasar, tuntutan dan opini yang dapat
memformulasikannya. Maka yang dituntut di sini adalah pendidikan
dalam bidang-bidang, sejarah, filsafat hubungan internasional sebagai
suatu bidang studi akan lebih menekankan kepada aspek yang secara
khusus terutama, dalam bidang studi hubungan internasional, politik
internasional, organisasi internasional, dan ekonomi internasional.

Demikian juga bidang studi ini ditujukan (diperuntukkan) kepada


bidang pendidikan profesi pelayanan dalam hubungan internasional.
Para pakar bidang hubungan internasional ditempatkan di dalam
posisinya dituntut dan ditantang untuk mengembangkannya. Hal ini

Studi Hubungan Internasional


berkaitan dengan setelah mereka selesai menempuh tingkat sarjana
bidang hubungan internasional yang terjun ke dalam berbagai bidang
yang barangkali sebagai pengajar studi hubungan internasional,
sebagai seorang peneliti di lembaga-lembaga pemerintahan, organisasi-
organisasi internasional, sebagai wartawan, sebagai seorang penyiar
radio, televisi, dan sebagainya.

Mungkin juga dapat ditambahkan bahwa studi hubungan in­


ternasional diarahkan kepada penekan bidang penelitian-penelitian
hubungan internasional. Sebagai satu disiplin ilmu pengetahuan, bi­
dang studi hubungan internasional bertujuan untuk meningkatkan
pemahaman di bidang ini. Oleh sebab itu disiplin hubungan interna­
sional bekerjasama dengan disiplin-disiplin ilmu lainnya. Maka dalam
kegiatan penelitian misalnya dapat berlangsung di perguruan tinggi,
lembaga-lembaga pemerintahan dan juga lingkungan organisasi-or­
ganisasi internasional.

1.1.3 Perkembangan Studi Hubungan Internasional

Sebagai suatu disiplin, studi hubungan internasional sudah mulai


dikembangkan dalam bentuk buku-buku teks dan dalam kurikulum-
kurikulum akademis perguruan tinggi. Namun, yang jelas sebagai titik
awal perkembangan sebagai suatu disiplin ilmu dalam bidang hubungan
internasional, tampak dalam penelusurannya sejak Perang Dunia Ke
satu yakni pada saat adanya upaya-upaya untuk mengorganisasikan
dunia ke dalam satu wadah yang berskala internasional yakni dengan
didirikannya Liga Bangsa-Bangsa (LBB).

Dengan didirikannya Liga Bangsa-bangsa (LBB) tersebut sebagai


organisasi internasional maka sekaligus dengan itu membuka babak
baru tentang kajian bidang hukum internasional, politik internasional,
ekonomi internasional, dan organisasi internasional. Sejak era Perang
Dunia Ke satu itu lah, terbitnya sejumlah buku-buku ajar {textbooks) yang
mencoba mengakomodasikan pokok-pokok bahasan yang berkenaan
engan disiplin hubungan internasional, seperti misalnya, Delisle

tudi Hubungan Internasional


9
C. Burns, International Politics (1920); Hans J. Morgenthau, Politics
Among Nation: Strunggle for power (1940); HansJ. Morgentha/Kenneth
W . Thompson, Principles and Problem of International Politics:
Selected Heading (1950); Frederick L. Schumann, International Politics
(1993, 1953); R. Sharp/Greyson Kirk, Contemporary International
Politics (1940); James Bryce, Internasional Relations Document and
Reading (1950); Charles Hodges, The Background of International
Relations (1931); Betrans W . Maxwell, International Relations (1939);
Frederick G. Middlebush/Chennery Hill,. Elements of International
Relations (1940); Paker T. Moon, Syllabus on International Relations
(1925); Norman P. Palmer/Howard C, Perkins, International Relations
(1953); Frank W . Russell, Theories of International Relations (1940);
H. Arthur Atriner, Principles and Problems of International Relations
(1940); Edward A. Walsch, The History and Nature of International
Relations (1922).

Harry Elmer Barnes, World ini Modern Civilization (1930);


Francis J. Brown/Charles Hodges/Joseph H. Roucek (ed), Contemporary
World Politics (1940); Herbert A. Gibbons, Introduction to World
Politics (1922); Thorsten J. Kalijarvi, Modern World Politics (1942/1953);
Harold D. Laswell, World Politics and Personal Insecurity (1955); Portar
T. Moon, Imperalism and World Politics (1926); Paul Reinsch, World
Politics (1900); Fank simons/Brooks Emeny, The Great power and World
Politics (1935); Nichols Spykman, American Strategy and Worl Politics
(1942); George Schwarzenberger, power Politics (1941); Martin Wright,
power Politics (1946); Pitman B. Potter, An Introduction to Study of
International Organization (1922/1948); Clyde Eagleton, International
Government (1923/1948). (Quincy Wright, 1955, 28-29).

Dari sejumlah pengarang dan buku-bukunya yang telah disebut-


kan di atas, ternyata disiplin hubungan internasional telah mencakup
berbagai bidang-bidang misalnya, bidang politik internasional, hubung­
an internasional, politik dunia, organisasi internasional. Namun secara
umum penggunaan terminologinya yang berbeda-beda dan secara

10 Studi Hubungan Internasional


substansial, terlihat senafas dalam kajian atau analisisnya. Di sana,
terlihat konsep-konsep yang digunakan dalam rangka menjelaskan
fenomena internasionalnya. Inilah beberapa hal yang dapat dijadikan
sebagai indikator dalam menjelaskan perkembangan studi hubungan
internasional secara umum.

Selanjutnya, dengan bangkitnya Amerika Serikat sebagai negara


adikuasa, atau sebagai negara yang muncul ke permukaan dengan
diistilahkan sebagai as a power with global responsibility pada tahun
1920 -an telah memberikan rangsangan terhadap perkembangan
pengajaran di bidang studi hubungan internasional sebagai satu
disiplin di berbagai universitas di sana.

Trauma Perang Dunia Ke satu yanag diadopsi sebagai unsur


legalistik, telah dijadikan sebagai titik sentral perhatian dari kelompok
atau aliran pemikiran atau pendekatan kaum idealis yang dalam hal
ini memusatkan perhatian terhadap masalah perang di mana masalah
perang dianggap sebagai suatu kecelakaan dan dianggap sebagai suatu
dosa. Kerena perang terjadi sebagai akibat ketidakhadirannya sebagai
sifat hakiki internasionalisme efektif yang dapat dijadikan sebagai
suatu tindakan alternatif. (Theodore A. Coloumbis/ James H. Wolfe,
1981, 58).

Setelah usainya Perang Dunia Kedua, seiring dengan itu telah


melahirkan generasi baru sebagai aliran pemikiran baru pula dalam
kerangka studi hubungan internasional yakni dengan munculnya
kaum realist pada tahun 1950-an. Mereka ini memproklamirkan suatu
gagasan bahwa hanya politiklah yang berdasarkan kepada power
sebagai upaya untuk memperoleh keamanan global. Kemudian pada
era pertengahan tahun 1950-an, muncul pula ke dalam satu bentuk
pemikiran tentang kelompok pemikiran idealist dan pemikiran
aliran realist. Penggabungan antara ke dua aliran pemikiran tersebut
jsebut sabagai aliran pemikiran behavioralism. Aliran ini dilandasi
° e pemikiran ilmu perilaku, seperti psikologi sosial dan ilmu studi
sosiologi politik.

StUdi Hut>ungan Internasional 11


Tiga aliran pemikiran dalam studi hubungan internasional telah
melahirkan bermacam-macam perdebatan yang seru dalam mana
masing-masing aliran pemikiran tadi mempertahankan keunggulannya
masing-masing. Dan sejak aliran pemikiran tradisional (idealist)
sebagaimana yang pernah dikembangkan oleh beberapa tokoh dalam
bidang ini antara lain misalnya, Raymond Aaron, Peace and War:
A Theory of Internasional Relations (1966); E.H. Carr, The Twenty
Years Crisis 1919 (1949); Richard A. Falk/Saul Mandovitz, Twards
a Theory of W ar Prevention (1966); John N. Herz, Internasional
Politics in the Atomic Age (1962); Stanley H. Hoffmann, The State of
W ar (1965); George F. Kennan, Realitas of American Foreign Policy
(1960); Henry A. Kissinger, A World Restored Mitternich, Castlebreagh
and the Problems of Peace 1812-1822 (1957); Hans J. Morgenthau,
Politics Among Nation: Strunggle for power (1956); Nichols J.
Spykman, American's Strategy in the W orld Politics (1957); Kenneth
Waltzs, Man, The States and War: A Critical Analysis (1959); Frederick
L. Schumann, International Politics the Western State System and
World Community (1958); Vernon Van Dyke, International Politics
(1957); yang telah memberikan kontribusinya terhadap kelahiran
aliran pemikiran saintifik seperti misalnya, John Burton, International
Relations: A General Theory (1965); Karl W . Deutsch, The Nerves of
Government Models of Political Communications and Control (1966);
David A. Easton, A Systems Analysis of Political Life (1966); Johan
Morton A. Kaplan, N ew Approaches to Interntional Relations (1968);
Charles McClelland, Theory and the International System (1966);
James N. Rosenau (ed), International Politics and Foreign Politics
(1969); Richard C. Snyder/H.W. Bruck/ Burton Sapin (ed), Foreign
Policy Decision Making: A Approach tit ha Study of International
Politics (1962).

Akan tetapi dalam hubungan ini yang diartikan dengan hubung­


an internasional bagi aliran pemikiran tradisionalis adalah sinonim
dengan diplomacy and strategy and cooperation serta tanpa adanya
konflik-konflik (Theodore A. Coulumbis & James H. Wolfe, 1978,

12 Studi Hubungan Internasional


4 5) K e r ja s a m a dan konflik adalah merupakan salah satu aspek yang
merangsang atau yang melahirkan studi hubungan internasional ini
menurut pandangan E.H Carr (1965, 1-5) sehingga apabila akhirnya
menjadi suatu studi tersendiri terutama pada era pasca perang dunia
ke dua. Pandangan ini yang menekankan pada masalah-masalah yang
berkenaan dengan bagaimana dapat memahami sebab dan akibat ter-
jadinya konflik yang pada gilirannya kelak akan terciptanya suatu du­
nia yang lebih damai.

Dan dalam masa pra-perang dunia pertama pengajaran ilmu


hubungan internasional terpusat pada kajian dan analisisnya bertum-
pu pada penjelasan dari sisi sejarah diplomasi, hukum internasional,
organisasi internasional mengacu pada studi lembaga-lembaga inter­
nasional seperti, Liga Bangsa-Bangsa (LBB), badan-badan internasional
lainnya yang pada umumnya didirikan sejak akhir abad 19. Penekan-
an pada aspek Hukum Internasional (HI) dan Organisasi Internasional
(Ol) mencerminkan optimisme abad 19 yakni bahwa kemajuan yang
secara bersama-sama diiringi perdamaian dapat tercapai dan dapat
diciptakan dengan melalui pembuatan aturan main (the rule of game).
Pada masa itu metode yang digunakan adalah diselesaikannya secara
damai dan pembatasan senjata strategis. Misalnya, Konferensi Perda­
maian di Den Haag.

Munculnya konsepsi tentang peranan hukum internasional dan


organisasi internasional, keamanan kolektif, hak penentuan nasib
sendiri dan perlucutan senjata. Oleh sebab itu pada masa itu teorisasi
studi hubungan internasional lebih cenderung kepada teori yang sifat-
nya normatif dan utopian (Mochtar Mas'oed, 1990, 16). Karakteristik
dari studi ini pada masa Perang Dunia Ke satu umumnya dirumuskan
e dalam studi "diplomatik sejarah", Hukum Internasional dan Organi­
sasi Internasional, sangat populer. Sampai pada era tahun 1930-an,
Preferensi studi ini berkembang dengan penekanannya terletak pada
asalah-masalah yang berkenaan dengan Politik Internasional, Geo­
s ''9 ' Politik dan Opini Publik (Quincy Wright, 1995, 27).

Ud' Hut>un§an Internasional 13


Selama masa tahun 1920-an sampai 1930-an, studi hubungan
internasional berjalan di dalam tiga jalur utama seperti yang dikemu-
kakan oleh Fred Sonderman (1968) sebagaimana yang dikutip oleh
Mochtar Mas'oed (1990, 16-17) sebagai berikut. Pertama, hubungan
internasional dipelajari dengan melalui penelaahan atas kejadian-
kejadian yang sedang terjadi dalam berita-berita utama dari bahan-
bahan tersebut dicoba dibuat semacam pola umum kejadian. Asum-
sinya, bahwa kesalahpahaman dan konflik antara negara-negara dapat
dihindari jikalau peristiwa-peristiwa yang penting diikuti dan ditelaah
secara seksama.

Ke dua, hubungan internasional pada waktu itu dipelajari


dengan melalui studi tentang organisasi internasional. Hal ini
didasarkan kepada asumsi bahwa konflik dapat dikelola, dan dapat
diselesaikan, jikalau diciptakan suatu aturan main atau tata tertib
hukum dengan didukungoleh perangkat organisasi seperti, organisasi
internasional misalnya dengan didirikannya Liga Bangsa-Bangsa
(LBB). Ke tiga, studi hubungan internasional yang menekankan pada
model analisisnya seperti dengan memperhatikan aspek atau masalah
ekonomi internasional. Maka dengan berdasarkan pada pemikiran
yang diketengahkan oleh Karl Marx, Lenin, aliran analisis seperti ini
menggunakan variabel-variabel ekonomi untuk menjelaskan terjadinya
konflik-konflik dan perang internasional di masa sebelumnya.

Peristiwa-peristiwa seperti pada masa pendudukan pemerintah­


an Militer jepang atas Mansyuria (1931), penyerbuan Italia atas Eropa
(1935), invasi Jerman atas Polandia, Austria, Ceko-Slawakia (1939)
adalah merupakan suatu indikasi atas kelemahan teorisasi yang didasar­
kan pada teori normatif dalam memahami fenomena internasional.
Maka dengan demikian, telah memberikan makna tersendiri dalam
rangka memahami prinsip-prinsip dan konsep dasar studi hubungan
internasional yang dibangun oleh aliran idealis (hubungan internasi­
onal dan organisasi internasional). Untuk menjajaki dan mencegah
terjadinya konflik-konflik, telah menurunkan akses dan kredibiIitasnya,

14 Studi Hubungan Internasional


maka pada gilirannya orang tidak akan percaya lagi pada mekanisme
legalitas institusional yang diajarkan oleh aliran pemikiran normatif ini
terutama secara ekonomis, aliran mereka senantiasa mengkaji hal-hal
yang berkenaan dengan persoalan: bagaimanakah seharusnya (have
to) suatu negara bertindak, namun tidak dapat menjelaskan mengapa
(why) Negara melakukan tindakan serupa dengan itu. (Bruce Russett
& Harvey Starr, 1985, 580), Budiono Kusumohamidjojo, 1987, 105).

Sementara itu banyak di antara pakar politik dan hubungan


internasional beranggapan bahwa pendekatan yang paling akhir
yang dilakukan terhadap bidang studi hubungan internasional adalah
dengan memberikan suatu eksplanasi (penjelasan) yang amat cermat
mengenai suatu peristiwa yang diperkirakan sangat unik. Oleh karena
itu aktualisasi terhadap suatu aktivitas diplomasi, strategi militer,
hukum internasional, dijadikan sebagai bagian dari studi hubungan
internasional yang mencerminkan karakteristik abad 18-19 di kawasan
Eropa yang berorientasi kepada anaiisis pengajaran dan prinsip-prinsip
hukum internasional (hukum dan moral). Kalaupun akan bersifat
deskriptif (orientasi normatif) saja. (K.J. Holsti, 1967, 7).

Namun setelah usainya Perang Dunia Kedua, telah merebut


kedudukan yang paling istimewa dalam sejarah dunia. Demikian pula
dalam kaitannya dengan studi hubungan internasional, mengalami
percobaan yang sangat mendasar sekali. Kendati sebelumnya, dalam
mana pendekatan yang dilakukan dengan cara orientasi normatif-le-
galistikal-konstitusional pada 1920-an mulai tidak populer lagi karena
pendekatan ini mungkin terlalu menekankan pada hal-hal yang senan­
tiasa berkaitan dengan hukum internasional dan berorientasi kepada
ne§ara, dunia yang universal; dalam sifatnya yang universalitas itulah
telah mengalami kemacetan-kemacetan dan kesukaran, bahwa apa
arti sebuah perdamaian yang positif (perdamaian abadi dari aliran pe-
^ ^an idealis atau sebagai model dunia yang dicetuskan oleh Dante
§ ery, Immanuel Kant. (Budiono Kusumohamidjojo, 1987, 17).

tUd' Hubun§an Internasional 15


Dikarenakan sifatnya yang berorientasikan kepada normatif-
legalistikal-konstusionalistik tadi, semakin tidak populer jika hal ini
dikaitkan dengan masalah-masalah internasional di mana orang
memandang permasalahan tersebut tidak lagi sebagaimana yang
d ilakukan oleh al iran pemikirandi atas, melainkan orang lebih cenderung
kepada membangun pendekatan untuk memecahkan permasalahan
dengan cara dan metode yang agaknya dapat memberikan jawaban atas
tantangan di dalam dataran fenomena politik internasional umumnya
yang lebih sistematis. Misalnya, dengan mencoba mendekati persoalan
dengan melalui sifat dan hakikat manusia yakni perilaku manusianya
sebagai makhluk internasional.

Tujuan dari pengkajian seperti ini tidak ditujukan kepada


bagaimana memperkirakan (persepsi) masalah utama yang terdapat
dalam perang dunia atau dengan menjelaskan fenomena internasional
dengan mengemukakan, mengajukan pembentukan pengetahuan yang
lebih bersifat umum dan memiliki kemampuan meramalkan dalam
bidang studi hubungan internasional. (K.J. Holsti, 1987, 10). Adapun
yang termasuk dalam keiompok ini adalah aliran pemikiran realist
sebagai kebalikan dari aliran pemikiran idealist (yang mengandalkan
kajian pada aspek-asek hukum dan organisasi internasional) maka
aliran pemikiran yang realist dalam konteks ini senantiasa dikaitkan
dengan aspek kajiannya berdasarkan kepada segi pemerintahannya
serta hubungan internasional dengan cara mendekati persoalannya
dari aspek power politics (Hans J. Morgenthau, 1984, 20) yang dalam
ini mengembangakan gagasan aliran pemikiran realist ke dalam suatu
kompleksitas konseptual.

Paradigma aliran pemikiran realist ini (sempat mendominasi)


teorisasi studi hubungan internasional selama kurang lebih dua
dasawarsa setelah usainya Perang Dunia Kedua, adalah merupakan
wujud dalam kerangka upaya untuk mengembangkan pendekatan
dan teorisasi yang dapat membuat suatu deskripsi dan membuat
suatu eksplanasi terhadap aspek atau masalah yang berkaitan dengan

16 Studi Hubungan Internasional


aspek perilaku negara dalam konteks hubungan internasional.
(Mochtar Mas'oed, 1990, 19). Maka dalam hal ini HansJ. Morgenthau
rnengemukakan bahwa dengan melihat data politik internasional dapat
menunjukkan dan membuktikan bahwa bisa dipadukan kedalam
satu model yang disebut dengan power politics models dan dapat
diterjemahkan sebagai pusat yang penting dalam kaitannya dengan
anaiisis politik dan hubungan internasional. Akan tetapi sebagai pusat
konsep, yakni power politics tadi, senantiasa dapat dijabarkan atau
dioperasionalisasikan sebagai suatu hubungan yang bersifat psikologik
(moral). Dari kelompok pemikiran inilah kiranya memunculkan
konsep-konsep seperti misalnya, national interest, balance of power,
equalibirium. Adapun sebagai orang penganut aliran pemikiran seperti
ini termasuk di antaranya, Nichols N. Spykman, George F. Kennan,
Raymond A. Aaron, Stanley Hoffmann, HansJ. Morgenthau, Arnolds
Wolfers, Reihold Niebuhr, Henry A. Kissinger.

Namun sebagai catatan bagi aliran pemikiran realis ini bahwa


otoritas efektif hanya dapat berdiri atas dasar kekuatan nasional
(kepentingan nasional) yang nyata. Aliran pemikiran (kelompok) ini
tidak yakin pada tatanan ketertiban internasional seperti yang menjadi
landasan pokok argumen kelompok aliran pemikiran idealis. Struktur
dan sistem masyarakat internasional adalah semacam utopia selama
berbagai kepentingan nasional dijadikan sebagai penggerak yang
nyata dan politik internasional masih saling bertabrakan satu sama
lainnya. Bukan nilai politik yang penting melainkan indikator-indikator
politik yang nyata yakni kakuatan atau power dari negara-negara,
kepentingan nasional, konflik-kerjasamadan strategi yang menentukan
bagi tegaknya ketertiban internasional. (Budiono Kusumohamidjojo,
1987, 18).

Perubahan studi politik dan hubungan internasional sebagaimana


yan8 terjadi di Amerika Serikat (AS) tahun 1950-an, sampai 1960-
n dikenai dengan gerakan revolusi behavioralisme. Gerakan ini
0r°n g studi hubungan internasional ke arah penciptaan teori

Ud' Hubun§an Internasional 17


yang lebih bersifat eksplanatoristikal dan prediktif yakni teori yang
dapat menjelaskan dan meramalkan. (Mokhtar Mas'oed, 1990, 22).
Dan inilah yang sering disebut sebagai keiompok aliran pemikiran
studi politik dan hubungan internasional sebagai aliran pemikiran
saintifik yang pertama-tama dan yang pertama pula yang menentang
keiompok aliran pemikiran studi hubungan internasional traditionalist.
(Theodore A. Coulumbis & James H. Wolfe, 1981, 7). Kontribusi
yang dikembangkan oleh keiompok aliran pemikiran studi hubungan
internasional saintifik ini terdapat dalam suatu keyakinan bahwa
hubungan internasional dijadikan sebagai suatu bidang studi yang
lebih menekankan pada sifatnya yang cenderung interdisipliner dan
memfokuskan diri pada konsep-konsep internasional dan masalah-
masalah yang tidak hanya pada ilmu politik dan sejarah, akan
tetapi juga meyangkut kepada ilmu-ilmu sosial lainnya yang bersifat
eksperimental. Namun demikian antara ke dua keiompok pemikiran
studi hubungan internasional (traditionalist dan pendekatan perilaku
saintifik) terdapat perbedaan, terutama di dalam membangun kerangka
dan pembentukan implementasi, serta metode yang digunakan.
Aliran pemikiran saintifik Iebih menekankan pada metode kuantitatif,
sedangkan bagi aliran pemikiran tradisionalist, justru sebaliknya.
Aliran saintifik membangun model-model, merumuskan teori-teori
dan pembuatan hipotesa yang operasional sifatnya.

1.1.4 Ruang Lingkup Studi Hubungan Internasional

Permasalahan yang pertama-tama muncul dalam luas lingkup


studi hubungan internasional adalah bahwa terminologi (istilah) terse­
but sering digunakan dan disamakan dengan politik internasional. Ken-
dati demikian, akhirnya inti hubungan internasional itu adalah politik
internasional. Akan tetapi hubungan internasional tidak selalu hanya
mencakup politik internasional. Artinya, ada hubungan-hubungan
yang berskala internasional memiliki dimensi ekonomi, militer, buda-
ya dan sebagainya. Sehingga banyak orang yang beranggapan bahwa
istilah hubungan internasional, politik internasional dan politik luar

18 Studi Hubungan Internasional


•tercakup di dalamnya. (K.J. Hosti, 1987,25) Hal ini disebabkan
n 6 ^e banyaknya definisi dan istilah tersebut tidak memiliki persa-
atau perbedaan yang tegas. Akibat lebih lanjut karena masalah
•p e m a k a ia n perangkat unsur yang berbeda dan perumusan atas defi-
jSi yang dipengaruhi oleh motivasi untuk melakukan pengkajian dan
p e n e litia n , penekanan atas beberapa pendekatan, model-model dan
teorinya.
Namun demikian menurut K .j. Holsti, istilah hubungan interna­
sional senantiasa berkaitan dengan segala bentuk interaksi di antara
masyarakat negara-negara, baik itu yang dilakukan oleh pemerintah
maupun oleh negara-negara. Oleh sebab itu kajian dalam studi hubung­
an internasionai yang meliputi segala hubungan di antara berbagai
negara di dunia dan meliputi kajian bagi lembaga-lembaga internasi­
onal seperti misalnya, Internasional Red Cross (IRC), kepariwisataan,
transportasi, komunikasi dan sebagainya. Namun tidak jauh berbeda
dengan apa yang dikemukakan oleh Theodore A. Coloumbis dan
James H. Wolfe (1981, 3) yang membangun batasan terhadap istilah
hubungan internasional yakni mencakup masalah-masalah perang,
konferensi-konferensi internasional, diplomasi, pertandingan di arena
Olimpiade, spionase, perdagangan internasional, bantuan luar negeri,
integrasi regionalisme, pariwisata internasional, yang kesemuanya ini
merupakan beberapa aspek yang tercakup di dalam kajian hubungan
internasional.

Namun demikian, jika kita bicara mengenai studi hubungan


internasional dalam artian luas lingkup cakupannya yang lebih intens,
paling tidak masalah tersebut dikembalikan kepada persoalan yang
terdapat di dalam proposisi penggunaannya (aktualisasinya) dan
perbedaan asas pokok (subjek) yang terungkap dalam landasan konsepsi
yang oleh terminologi disebut international affairs. Ini digunakan dari
berbagai macam studi dan jenis hubungan internasional (hubungan
antarnegara) di dalamnya tercakup kegiatan-kegiatan ekonomi, politik.
Oleh karena itu istilah internasional tidak bersifat pasti selama negara-

tUdl Hut)ungan Internasional 19


negara memiliki batasan-batasan rasionalitas berkenaan dengan
perkataan "inter" dalam kaitannya yang lebih luas. (Trigve Mathison
1959, 1-2). Dan di sinilah pula teletak perbedaan antara politik
internasional yang digunakan hanya bagi hubungan-hubungan antara
pejabat-pejabat yakni hubungan antara negara-negara (inter-states
relationships) dan bukan hubungan antariembaga-lembaga privat atau
individu-individu dari negara-negara yang berbeda. Oleh karena itu
dapat dikatakan bahwa hubungan internasional lebih luas cakupannya
jika dibandingkan dengan politik internasional.

Hubungan Internasional (international realtions) yang secara


harfiah, dapat kita terjemahkan sebagai suatu hubungan antarbangsa
(politik, hukum, ekonomi, diplomasi) namun aspek politik dan hukum
merupakan dua aspek yang dominan. (Budiono Kusumohamidjojo,
1987, 7). Aspek politik, sebagai aspek material (kepentingan militer,
ekonomi dan kebudayaan) sedangkan aspek hukumnya menjadikannya
sebagai aspek formal dalam artian merupakan bentuk atas penyelesaian
prosedural dari berbagai kepentingan (interests). Sehingga pada
akhirnya, kepentingan tersebut dapat dan harus disimpulkan sebagai
kepentingan politik juga. Dalam konteks ini, menurut pandangan yang
dikemukakan oleh Wright (1955), bahwa perkataan. "internasional"
pada awalnya dalam dan oleh Jeremy Bentham (1 789) dalam bukunya
yang berjudul " Introduction to The Principle of Morals and Legislation",
adalah merupakan bagian pemikiran abad 18, yang diambil dari
terminologi (istilah) Latin, yang berarti " integritas" sebagaimana yang
digunakan oleh Richard Zouche (an exposition of facial law procedure
or of law between nations and questions concerning (1959). la
menggunakan istilah tersebut untuk menunjukkan cabang-cabang ilmu
hukum yang senantiasa disebut sebagai law of nations atau dengan
nama yang lebih populer adalah jus gentium adalah suatu istilah yang
diambil dari hukum Romawi Kuno merupakan suatu prinsip dasar yang
diterapkan oleh pejabat-pejabat Roma dalam beberapa kasus dengan
sekutu-sekutunya. Dan pada gilirannya akan berfungsi sebagai konsep
kedaulatan yang dibangun atas dasar hukum alam (jus naturale) yang

20 Studi Hubungan Internasional


(j terapkan pada abad 18 lalu, dalam lingkup geografis yang dihuni
0|eh masyarakat.
pari sinilah kemudian muncul istilah internasional yang di-
uskan sebagai hubungan-hubungan antara pejabat-pejabat negara-
egara berdaulat. Namun, lebih tepat digunakan istilah interstates
daripada dengan menggunakan istilah internasional. Dengan alasan
bahwa di dalam studi ilmu politik, negara, tampil sebagai yang meng-
implementasikan hubungan-hubungan tersebut yang berbentuk hu-
kum-hukum, hubungan diplomatik, perdagangan (hubungan ekonomi
internasional) dan dalam bentuk hubungan-hubungan lainnya yang
tercakup di dalam terminologi ini.

Bertitiktolak dari fenomena tersebut, muncul sifat internasio-


nalisme. Namun, yang menjadi pertanyaan pokok adalah senubung-
an dengan sifat internasionalisme tadi. Apakah hanya negara sajakah
yang dapat memiliki hubungan-hubungan? Bagaimana dengan sifat
kedudukan keanggotaan, baik itu yang bersifat individual maupun
dengan secara berkelompok? Maka dalam hal ini Wright, mengemu-
kakan pendapatnya, bahwa ada 4 komponen yang dapat dimasuk-
kan ke dalam keanggotaan internasionalisme yakni: bangsa (nation),
Negara (state), Pemerintah (Government) dan orang-orang (people).
Dengan demikian menjadi jelaslah hubungan internasional tidak
hanya mencakup hubungan internasional seperti halnya hubungan
antarbangsa (relations between nations). Dan hubungan-hubungan
antarpemerintahan dan orang-orang (individu-individu) atau bahkan
meliputi hubungan-hubungan jenis-jenis kelompok-kelompok bangsa,
negara-negara, pemerintah-pemerintah, kawasan-kawasan tertentu,
persekutuan-persekutuan, konferensi-konferensi, organisasi-organisasi
'nternasional, organisasi-organisasi kebudayaan, organisasi-organisasi
keagamaan dan sebagainya.

Semua yang disebutkan di atas, termasuk di dalam kelompok


aJlan (lingkup) studi hubungan internasional. Istilah hubungan inter-
nasional yang digunakan sebagai subjek studi yang dipecah-pecah ke

di Hubungan Internasional 21
dalam studi-studi khusus seperti misalnya, studi Politik Internasional,
Hukum Internasional, Organisasi Internasional, Ekonomi Internasi­
onal, Pendidikan Internasional, Psikologi Internasional, dan Sosiologi
Hukum Internasional (Wright, 1955, 7).

Untuk memahami sejauh manakah sifat kajian studi hubungan


internasional itu, maka di sini Karl Deutsch (1978, Bab 1) membagi
substansi studi hubungan internasional itu ke dalam dua belas
keiompok pertanyaan yang bersifat fundamental sebagai berikut:

a. Bangsa dan Dunia


Bagaimana dan dalam bentuk apa hubungan suatu bangsa dengan
bangsa lain di sekitarnya dilakukan? Kapan dan bagaimana dan
berapa cepatkah suatu bangsa dan suatu negara muncul dan teng-
gelam? Selama bangsa dan negara itu ada, bagaimana hubungan-
nya dengan bangsa-bangsa lain? Bagaimanakah negara-negara itu
menangani individu-individu ini dan kelompok-kelompok yang
lebih kecil yang ada di daiamnya? Bagaimanakah negara-negara
berhubungan dengan organisasi-organisasi internasional dan deng­
an sistem politik internasional?

b. Proses Transisional dan Interdependensi Internasional


Sejauh manakah pemerintah dan rakyat suatu negara-bangsa
(nations-state) bisa menentukan masa depannya sendiri atau
dengan kata lain, berapa besarkah kemungkinannya untuk bersikap
independen dari bangsa lain? Dan sebaliknya, sejauhmanakah
tindakannya tergantung kepada kondisi dan peristiwa di luar batas-
batas wilayahnya? Apakah negara-bangsa dan bangsa-bangsa di
dunia sekarang ini lebih berdaulat dan tidak bergantung kepada
satu sama lain atau apakah tindakan atau nasib mereka semakin
bergantung? Atau apakah mereka sekaligus interdependensi, akan
tetapi dalam kegiatan-kegiatan yang berbeda? Bagaimanakah
keadaan dunia yang akan datang misalnya 50 tahun yang akan
datang dalam kaitannya dengan hubungan internasional ini?

22 Studi Hubungan Internasional


perang dan Damai
c.
Apa yang menentukan adanya perang dan perdamaian dalam
hubungan antarbangsa? Kapan dan bagaimanakah proses terjadi-
nya perang tersebut di masa lalu, sekarang dan bagaimanakah ke-
mungkinannya masa yang akan datang? Berapa banyak dan jenis
pertarungan yang akan bisa disetujui dan didukung oleh rakyat
suatu negara? Kapan, untuk tujuan apa dan dengan persyaratan
apa suatu pertarungan bisa disetujui dan didukung oleh sebagian
atau seluruh rakyat?

d. Kekuatan dan Kelemahan


Bagaimanakah sifat kekuatan (power) atau kelemahan dari suatu
pemerintah, atau suatu bangsa dalam politik internasional? Apakah
yang menjadi sumber-sumber atau syarat-syarat bagi tumbuhnya
suatu kekuatan itu? Apa yang menjadi batas-batas suatu kekuatan
itu? Kapan, bagaimanakah dan mengapa kekuatan itu dapat
berubah?

e. Politik Internasional dan Masyarakat Internasional


Apa yang bersifat politik dalam sistem hubungan internasional, dan
apa yang tidak? Bagaimana hubungan antar-politik internasional
dengan kehidupan masyarakat bangsa-bangsa?

f- Kependudukan, Pangan, Sumber Daya Alam dan Lingkungan


Apakah penduduk dunia tumbuh lebih cepat daripada penyediaan
bahan pangan, energi dan sumber daya alam lainnya, dan lebih
cepat daripada daya dukung lingkungan, dalam artian udara, air
bersih dan lingkungan alam tanpa polusi? Apakah kelalaian dalam
bidang ini bisa menimbulkan ancaman terhadap "keamanan inter-
nasional" bangsa-bangsa di dunia suatu ancaman yang gawatnya
atau bahkan lebih menakutkan daripada yang mungkin ditimbul-
an adanya perubahan kekuatan politik dan militer di nega-
ra ne8ara tetangganya? Apakah masalah ini hanya menyebabkan
Pembatasan pertumbuhan secara sementara, ataukah merupakan

StUd' HubunSon Internasional 23


pertanda datangnya masa kesengsaraan dan kemerdekaan mate­
rial bagi umat manusia? Apakah menjadi akibat yang ditimbulkan
oleh perang dan perdamaian terhadap politik dunia dan apakah
yang dapat dilakukan untuk memperbaikinya?

g. Kemakmuran dan Kemiskinan


Berapa besarkah ketimpangan, distribusi kekayaan dan penghasilan
diantara bangsa-bangsa di dunia ini? Berapa besarkah ketimpangan
dalam hal-hal yang ada kaitannya dengan itu, misalnya, harapan
hidup dan pendidikan? Apakah ketimpangan antarnegara itu lebih
besarataukah lebih kecil dibandingkan dengan ketimpangan yangada
di dalam negeri, misalnya ketimpangan antaretnis, antarkelas-kelas,
atau antar-daerah? Apakah dari berbagai ketimpangan-ketimpangan
semakin meningkat atau menurun? Berapa cepat dan berapa banyak
peningkatan dan penurunan itu? Apa yang menentukan jumlah dan
arah sifat distribusi ini? Apa yang bisa dilakukan untuk melaksanakan
perubahan secara terencana? Berapa cepatkah dan berapa banyakkah
perubahan tersebut dapat dilakukan?

h. Kebebasan dan Penindasan


Sampai seberapa jauhkah kepedulian tentang kebebasannya dari­
pada bangsa atau negara lain, dan berapa jauhkah mereka mem-
pedulikan kebebasan itu dalam bangsa atau Negara sendiri? Apa
yang mungkin mereka lakukan demi perbaikan masalah kebe­
basan ini? Kapan hal ini mungkin dapat dilakukan dan apa yang
menjadi syaratnya? Apa yang dimaksudkan dengan kebebasan?

a. Apakah kebebasan dapat diartikan dengan tersedianya


pilihan-pilihan yang luas bagi rakyat dan toleransi terhadap
perilaku bagi kaum minoritas dan terhadap individu yang
kritis, ataukah
b. Apakah kebebasan dapat berarti tunduk pada pemerintahan
mayoritas,padatradisi,padabeberapapemimpinyangdiberikan
kepercayaan atau pada suatu tirani? Sejauhmanakah orang
menganggap kebebasan sebagai tujuan dan sejauhmanakah

24 Studi Hubungan Internasional


U iN b U iN A IN i K A L i J A U A

mereka memandangnya sebagai alat untuk mencapai tujuan


lain yang dianggap akan lebih penting? Kondisi-kondisi
apakah saja yang mempengaruhi atau mengubah persepsi
dan pilihan-pilihan itu? Seberapa besar perbedaan jenis
dan jumlah kebebasan yang diinginkan orang di berbagai
negara atau di berbagai kelompok dalam negara yang sama
itu? Seberapa jauhkah dan seberapa cepatkah perbedaan-
perbedaan itu berubah? Kapan dan apa syaratnya?

1.1.4.1 Persepsi dan llusi

Bagaimana para pemimpin dan warga negara suatu negara


memandang bangsa mereka sendiri dan bagaimana mereka
memandang bangsa-bangsa lain beserta perilaku mereka? Berapa
besarkah kenyataan atau khayalan dalam persepsi ini? Kapan persepsi
itu bersifat realistis atau yang bersifat ilusi? Dalam hal apa? Dalam
kondisi bagaimanakah pemerintah dan rakyat pemilihnya bisa
bersikap penuh pengertian terhadap bangsa lain, dan dalam hal apa
mereka bersikap picik? Sejauhmanakah pemerintah nasional berfungsi
sebagai sumber salah pengertian antarbangsa dan mitos pengagungan
diri sendiri? Apa akibat semua ini terhadap kemampuan pemerintah
dan negara-negara untuk mengandalkan perilaku mereka sendiri guna
memperkirakan akibat dari tindakan-tindakan mereka itu? Seberapa
sering negarawan membuat keputusan penting tentang perang atau
perdamaian berdasarkan pemahaman fakta secara salah? Apa yang
bisa dilakukan untuk membuat kemungkinan kesalahan menjadi lebih
kecil dan membuat persepsi menjadi semakin realistis?

1.1.4.2 Aktivitas dan Apati

Lapisan dan kelompok mana dalam masyarakat yang berminat


aktif dalam politik? Lapisan dan kelompok mana yang berminat aktif
dalam masalah internasional? Kondisi apa yang cenderung memperbe-
sar atau memperkecil proporsi partisan aktif ini? Seberapa cepat dalam
hal apa kondisi itu memperbesar atau memperkecil proporsi mereka?

tUd’ hubungan Internasional vovrnv> 5 nvnhs win |. 25


N W M V is n . u iB d m n ft
HtlJ
Lapisan masyarakat mana lagi yang harus dianggap relevan bagi ke­
hidupan politik bagi suatu saat dan tempat tertentu? Kondisi apa yang
dapat mengubah luas lapisan masyarakat yang secara politik relevan?

Apa akibat perubahan dalam jumlah partisipasi politik aktual


dan potensial itu terhadap proses politik dan terhadap hasil dari proses
tersebut? Terutama sekali apa akibat dari perubahan dalam derajat
partisipasi di mana dalam politik terhadap pelaksanaan dan hasil
hubungan internasional? Jenis dan hubungan internasional apa yang
mungkin terjadi diantara bangsa-bangsa yang kegiatan ekonominya
bersifat substensi dan apatis terhadap politik? Dan jenis politik dalam
negeri dan internasional apa yang mungkin berkembang dengan adanya
peningkatan besar-besaran dalam monetisasi ekonomi, komunikasi
massa, kemampuan baca tulis, mobilitas sosial dan partisipasi politik?
Sudah jelas ini merupakan tantangan berat bagi negara-negara
berkembang, namun ia juga merupakan persoalan besar bagi negara-
negara besar dan maju seperti Amerika Serikat (AS), Russia, ataupun
Perancis.

1.1.4.3 Revolusi dan Stabilitas

Dalam kondisi apa kemungkinan suatu pemerintah digulingkan,


kapan dalam kondisi apa dan seberapa besarkah kemungkinan
keseluruhan elit penguasa atau kelas-kelas dominan kehilangan semua
atau sebagian kekuasaan dan posisinya? Perubahan permanen apakah
kalau ada yang dihasilkan oleh sebuah revolusi? Kapan dan bagaimana
keseluruhan sistem-sistem hukum, ekonomi dan kemasyarakatan atau
dengan perkataan lain, keseluruhan pola kebudayaan dihapuskan
seluruhnya atau sebagian dan diganti dengan sistem atau pola yang
lain? Seberapa cepat proses besar-besaran itu terjadi dan berapa
besarkah korbannya dalam arti kerusakan material dan kesengsaraan
manusia? Keiompok penduduk manakah yang menanggung beban
korban itu, dan untuk berapa lama? Apa keuntungan kalaupun ada

dalam jangka pendek maupun jangka panjang yang bisa d ih a s ilk a n

oleh perubahan itu dan siapa yang menikmatinya?

26 Studi Hubungan Internasional


Berapa lama waktu diperlukan untuk menciptakan stabilitas
rt'k dan sosial sesudah terjadi sebuah revolusi? Bagaimanakah
t bilitas tersebut dilaksanakan dan bagaimanakah hasilnya, dengan
korban tersebut. Apa akibat sebuah revolusi, kontra revolusi dan sta­
bilitas suatu orde atau politik terhadap jalannya politik internasion­
al? Bagaimanakah sebuah revolusi dalam negeri bisa mempengaruhi
hubungan internasional dan bagaimana pengaruh asing dan peristiwa
internasional mempengaruhi stabilitas dan keguncangan rezim dalam
negeri dan sistem politik negara-negara tertentu? Apa yang dilakukan
kalau ada, oleh pemerintah, negarawan-negarawan dan para pemilih-
nya untuk menangani proses ini? Sejauh manakah peran itu dipe-
ngaruhi oleh atau dikendalikan oleh tindakan terencana kapan, deng­
an biaya berapa dan arahnya ke mana.

1.1.4.4 Identitas dan Transformasi

Dengan berlangsungnya semua perubahan tersebut, bagaimana


mereka (individu, kelompok-kelompok, bangsa-bangsa) memperta­
hankan identitas mereka? Unsur-unsur apa sajakah yang membentuk
identitas ini? Apakah perbedaan unsur-unsur identitas yang dimiliki
oleh orang-orang yang berbeda juga menentukan perbedaan perilaku­
nya? Apakah identitas itu merupakan kebutuhan nyata dari orang-
orang atau kelompok-kelompok orang dalam suatu negara? Apakah
yang akan terjadi jikalau kebutuhan yang dimaksudkan itu tidak dapat
terpenuhi secara baik? Sejauhmanakah identitas diri itu merupakan
tujuan dan sejaumanakah pula ia merupakan sarana atau syarat un­
tuk mencapai tujuan lain? Bagaimanakah perasaan orang yang kelas
sosial, elit, pemerintah dan bangsa menyerupai harimau yang tidak
jsa mengubah belangnya dan sejauhmanakah mereka bisa meng-
hak ^en®an Peran sementara sebagai pemilik kekuasaan dan
a^ 'stimewa yang mereka peroleh pada sewaktu-waktu dan se-
Sebe^ menc*a'am mereka terbius dalam citra diri yang serba hebat?
Per menc^ am' seberapa cepat dan dalam kondisi bagaimana
9an se'dentitas itu akan timbul dan terhapus? Orang-orang Jerman

StUd' HubunSan Internasional 27


di Eropa Timur, sesudah Perang Dunia Pertama, orang-orang Inggris
di Kenya, dan orang-orang India sesudah Perang Dunia Kedua, orang-
orang Jepang di Korea, dan Mansyuria, orang-orang Perancis di
Aljazair, penduduk Portugis di Angola dan Mozambig, petani kulit pu-
tih di Afrika Selatan. Orang-orang yang menghadapi masalah identitas
seperti yang diterangkan di atas, masing-masing dari mereka itu harus
memilih jenis tindakan penyesuaian untuk menanggapinya. Pilihan-
pilihan tersebut bisa berwujud penyesuaian secara damai, penolakan,
sampai kadang-kadang melahirkan perang terbuka untuk memperta­
hankan posisi dominan.

Mengulangi kalimat yang pertama dalam butir ke dua belas di


atas, sejauhmanakah mereka bisa mengubah perilaku, tujuan juga
struktur kejiwaan dan karakter mereka? Sejauhmanakah mereka
tetap bisa mempertahankan identitas mereka sendiri di tengah-
tengah perubahan yang sedang terjadi, terutama sekali apa akibat
dari perubahan internasional terhadap transformasi nasional dan
identitas nasional? Apa akibat transformasi suatu bangsa atau beberapa
kelompok atau kelas-kelas sosial di dalam bangsa itu terutama bangsa-
bangsa lain dan terhadap sistem internasional?

Dari beberapa pertanyaan-pertanyaan inilah kiranya akan


dapat memberikan rangsangan terhadap kegiatan para pengkaji studi
hubungan internasional. Pertanyaan-pertanyaan itu bagi pandangan
Karl Deutsch, telah dicoba untuk diajukan oleh pakar politik dan
hubungan internasional yang menghasilkan sekumpulan pengetahuan
yang cukup komprehensif. Kendati dengan berbagai pertanyaan
yang diajukan itu tampaknya spektrum politik yang determinan
senantiasa dikaitkan dengan masalah-masalah perilaku para aktor
(individu-individu, atau lembaga-lembaga), yang terlibat dalam arena
internasional, serta dinamika yang menggerakkan perilaku mereka
serta hubungannya dengan pengaruh yang muncul secara timbal-balik
antara aktor-aktor dengan struktur hubungan internasional.

28 Studi Hubungan Internasionol


Secara harfiah, terminologi hubungan internasional dan politik
ternasional yang sering digunakan secara silih berganti untuk mem-
b rikan pengertian yanag sama, akan tetapi dari beberapa pendapat,
mengatakan bahwa ke dua terminologi tersebut, memang harus
dibedakan. Politik internasional yang membahas keadaan atau persoal­
an politik di masyarakat internasional dalam artian yang lebih sempit;
yakni dengan menitikberatkan pada diplomasi dan hubungan-hubung­
an antarnegara dan antara satuan politik lainnya. Sementara yang di­
artikan dengan hubungan internasional adalah suatu pengertian yang
lebih mencakup kepada bidang-bidang masalah yang lebih luas atau
segala macam hubungan antar-negara/bangsa dan kelompok-kelom­
pok bangsa dalam masyarakat dunia, dan kekuatan-kekuatan, tekanan-
tekanan, proses-proses yang menentukan cara hidup, cara bertindak
dan cara pikir manusia.

Nicholas J. Spykman (1933:90), kembali mengusulkan suatu


konsep dalam terminologi hubungan internasional ke dalam kerangka
inter-state relations dalam konteks hubungan internasional yang
merumuskan bahwa diartikan dengan hubungan internasional adalah
"... relations between individuals belonging to different states.,
international behavior is the social behavior of individuals or groups
animal... or influenced by the existence or behavior of individual or
group belonging to different states". Hal ini dapat diartikan pula bahwa
international relations yang dikeliIingi oleh berbagai macam kegiatan
yang satu dengan lainnya saling memiliki perbedaan-perbedaan seperti,
misalnyakomunikasi internasional,transaksi perdagangan internasional,
pertandingan atletik internasional, pariwisata, konferensi-konferensi
'nternasional dan sebagainya. Bagaimana jika kita mengaitkannya ke
a am kegiatan-kegiatan seperti misalnya Olimpiade, M ulti National
Operations (MNC's), fluktuasi pola perdagangan luar negeri antara
^pang dan Amerika Serikat (AS) ataupun hubungan antara Vatikan
hi Kgan lsrae'' )ustru kegiatan-kegiatan seperti ini berimplikasi terhadap
Ungan politik internasional.

StUd' HubunSon Internasional 25


Dengan demikian, luas lingkup cakupan studi hubungan
internasional dapat dipersempit lagi dengan hanya menekankan pada
salah satu aspek tertentu yakni aspek politik dari hubungan antarnegara
hingga sampai kepada pengaruhnya terhadap pelaksanaan politik
luar negeri negara-negara yang bersangkutan. Tentunya ini dapat
dipeiajari. Hubungan-hubungan tersebut dapat saja terjadi antara
organisasi-organisasi internasional dan ini dianggap atau dimasukkan
sebagai objek studi hubungan internasional ataupun hal-hal lain
yang memberikan pengertian yang sama berkaitan dengan hubungan
politik antarnegara-negara (inter-states relationships) seperti yang
tercakup di dalam kegiatan-kegiatan peperangan, diplomasi, spionase,
perdagangan internasional, bantuan luar negeri (asing), imigrasi,
tourisme, adalah merupakan fenomena-fenomena internasional
dicakup oieh studi hubungan internasional umumnya.

Sss dan bentuk yang memberikan warna dalam kerangka bangun-


an lingkup studi hubungan internasional ternyata banyak dipengaruhi
oleh kondisi dan suasana tertentu misalnya, perkembangan dan pe­
rubahan kondisi dan suasana tertentu misalnya, perkembangan dan
perubahan yang terjadi setelah usainya perang dunia yang telah ba­
nyak memberikan warna dalam lingkup studi hubungan internasional.
Kendati pada awalnya, lebih banyak terdapat warna dan karakter di
dalam hubungan internasional bersifat kegiatan-kegiatan diplomasi
serta aspek kesejarahannya. Hal ini disebabkan pada waktu itu dunia
yang diianda dan diiiputi oleh suasana bencana peperangan. Maka
seiring dengan kondisi seperti itu pula dalam lingkup dan kajian studi
hubungan internasional iebih menekankan pada masalah-masalah
dan mempersoalkan kensteiasi sejarah dipiomasi. Konflik yang me-
ianda dunia pada saat itu hanya dapat dipecahkan dengan melalui
studi hubungan internasional dan organisasi internasional. Sehingga
pada akhirnya, studi hubungan internasional iebih mengonsentrasikan
diri pada pengkajian tentang sejarah diplomasi dengan metode dan
pendekatan kesejarahan, di mana sejarah puialah yang membangun

30 Studi Hubungan Inte rnasiona l


mva sendiri dalam rangka eksplanasi penelitiannya. Akhirnya,
karakterny*
tudi hubungan internasional yang berorientasi pada sejarah, telah
b rkembang menjadi satu teori yang dalam kedudukannya dijadikan
bagai disiplin tersendiri. Hubungan internasional sebagai satu dis-
lin yang sedang tumbuh atau lebih dikatakan ia sedang mengalami
pertumbuhan dan perkembangannya, terutama merupakan suatu
fenomena dari suasana perang dunia I di mana upaya manusia un­
tuk menyusun tertib dunia (world order) dengan melalui organisasi
internasional seperti Liga Bangsa-bangsa (LBB) seakan-akan memberi­
kan kesempatan untuk mengkaji secara sistematis disiplin-disiplin lain
yang memberikan kontribusinya, seperti misalnya bidang studi hukum
internasionai, dan ekonomi internasional. Sejak Perang Dunia Per­
tama lah yang banyak memberikan pengaruh terhadap upaya-upaya
yang dilakukan dalam bentuk produksi buku-buku ajar bagi penginte-
grasian ke dalam subjek studi hubungan internasional ini di bawah
judul, international politics, international government dan interna­
tional pshycology. Pencantuman berbagai topik di sini, maksudnya
diyakini bahwa pelajaran atau pendidikan dalam aspek-aspek hubun­
gan internasional dapat diamati sebagai sebuah struktur bangunan dari
berbagai hubungan dan antarhubungan yang menyangkut berbagai
subjek mengenai berbagai bidang dan aspek masalah.

Penggunaan istilah internasional dalam studi hubungan inter­


nasional yang ternyata berkaitan erat dengan berbagai hubungan dan
antarhubungan dan menyangkut berbagai bidang dan aspek, maka
yang menjadi persoalan adalah tentang definisi hubungan internasi­
onal tersebut yakni dengan melihat relevansinya ke dalam lingkup stu-
' hubungan internasional itu dalam konteks yang lebih khusus yaitu
ngan cara membangun kerangka definisi dari terminologi hubungan
lntemasional, politik internasional dan politik lur negeri.

StUd' Hubunsan Internasional 31


Tabel 1.1 H ubungan Internasional

Bidang Aspek Politik Hukum

Politik Internasional Hukum Internasionai


Poiitik Luar Negeri
Publik Pertahanan & Keamanan
Diplomasi
Organisasi Internasional
IGO NGO
Kejahatan Internasional
Ekonomi Monter Internasional
Privat Hukum Privat Internasional
Perdagangan Internasional
Ilmu Pengetahuan
Tourisme Internasional

Sum ber: A daptasi dari: B u d io n o Kusum oham idjojo, H u b u n g a n Internasional Kerangka


Studi AnaUtis, (Bandung: Binacipta, 1987, 8).

Pengertian hubungan internasional secara definisional, dapat


diartikan sebagai hubungan antarbangsa, atau sebagai hubungan global
yang meliputi semua hubungan yang terjadi dengan melampaui batas-
batas ketatanegaraan. Hubungan internasional juga sering diistilahkan
hubungan antarnegara untuk menandai semua hubungan itu. Hal ini
disebabkan dalam kenyataan, pada akhir-akhir ini kita juga mengenai
hubungan-hubungan yang melintasi kedaulatan negara yakni dengan
lahirnya Multi National Corporations (MNC's).

Hubungan Luar Negeri yang mencakup keseluruhan hubungan


yang dijalankan oleh suatu negara dengan semua pihak yang tidak
tunduk pada kedaulatannya. Dengan demikian, yang tampak dalam
kaitan ini tidak hanya negara-negara lain, tetapi juga adalah te rm a s u k

partai-partai, kelompok-kelompok negara asing maupun perusahaan-


perusahaan asing. Sedangkan yang diartikan dengan istilah politik
luar negeri adalah keseluruhan perjalanan keputusan p e m e rin ta h

untuk mengatur semua hubungannya dengan negara lain. Politik luar


negeri, merupakan pola perilaku yang diwujudkan oleh suatu negara

32 Studi Hubungan Internasiono


aKtu memperjuangkan kepentingannya dalam hubungannya
se negara-negara lain. Politik luar negeri juga dapat diartikan
i suatu bentuk kebijaksanaan atau tindakan yang diambil dalam
S h gannya dengan situasi/aktor yang ada di luar batas-batas wilayah
Politik luar negeri merupakan manifestasi utama dari perilaku
P023T3- ■ ^
negara dalam hubungannya dengan negara lain, sehingga yang terjadi
a d a la h adanya interaksi antarnegara.

Politik internasional dapatdilihat dari dua sisi pandang yang sanga!


berbeda, yakni (a) dapat disebut dengan istilah power politics dan (b)
dapat disebut sebagai issue politics. Dari segi pandang yang berdimensi
p o w e r politics, yang melihat bahwa politik internasionai sebagai suatu
p e r ju a n g a n antara bangsa-bangsa atau kelompok-kelompok bangsa yang
tidak dapat terelakkan dengan tujuan untuk mendominasi yang lain. Jika
politik internasional dipandang dari sisi/dimensi issue politics, dianggap
sebagai suatu rangkaian daerah permasalahan yang menciptakan
kompetisi dan kerjasama antara negara-negara. Atau dengan kata lain,
bahwa yang diartikan dengan istilah politik internasionai adalah yang
mencakup ke dalam dua sisi pandang utama yakni "internasional
politics must be viewed both as a struggle for power and as a set oi
political activities surrounding specific international issues (William, D.
Coplin, 1980, ix). Pengertian yang sering timbul senantiasa memiliki
persamaan-persamaan arti di antara hubungan-hubungan internasional,
politik internasional dan politik luar negeri, tampaknya istilah hubungan
nternasional yang terkandung di dalamnya (mencakup aspek politik
nternasional dan politik luar negeri) di mana dalam setiap hubungan
nternasional terjadi suatu interaksi-interaksi antara berbagai aktor dalam
sistem internasional.

Negara-negara bangsa sebagai aktor utama dalam sistem tersebut,


meskipun di dalamnya terdapat banyak aktor-aktor lainnya yang ikut
stud'' ^a^'an (Part's'Pas')- Oleh karena itu, dalam kaitannya dengan
tian ' ^U^Un^an 'nternasional tidak hanya melakukan kegiatan peneli-
atau hanya mengkaji perilaku hubungan antarnegara, melainkan

Stud< Hubungan Internasional


33
juga meliputi aspek teori-teori, generalisasi dan konsep-konsep, yang
menjelaskan bagaimana dan mengapa para aktor itu bertindak (ber-
perilaku). Dengan melaiui analisis peringkat (level) sistem internasi­
onal inilah, dari para pelaku atau hubungan antarpelaku ataupun dari
perspektif domestik yang dijadikan objek penelitian adalah mulai dari
the origins of interests actors project ke dalam sistem internasional.

Aktor-aktor internasional yanag telah ada itu beroperasi demi


kepentingan interaksinya ke dalam suatu tataran sistem internasional
dan dengan melalui semua aktor tadi, dapat mengaktualisasikannya
mengartikulasikannya/mempromosikan kepentingan-kepentingan me­
reka. Karena itu sulitlah kiranya untuk menyangkai, bahwa hubung­
an internasional itu pada akhirnya merupakan forum interaksi dari
berbagai kepentingan-kepentingan nasional, dari setiap negara (aktor
utama) yang berusaha untuk menegakkan dan mempertahankan ke­
pentingan nasionalnya dalam forum masyarakat internasional dengan
melaiui politik luar negerinya masing-masing.

Studi hubungan internasional sebagai salah satu wacana pene­


litian (a field of inquiry) dalam kaitannya dengan distribusi kekuasaan
(distribution of pow ers) ke dalam suatu skala global serta dengan in­
teraksinya dalam suasana saling pengaruh mempengaruhi satu sama
iainnya antara pusat-pusat kekuasaan. Maka dalam hal penggunaan
konsep power di sini diartikan ke dalam suatu wawasan yang luas
yang mencakup "means influence and control over this fellow man".
ini termasuk kemampuan seseorang untuk menggunakannya supaya
dapat dimanfaatkan untuk mengontrol orang lain baik secara pikiran
maupun dengan aksi terhadap orang lain. Dalam dataran yang Iebih
luas, orang akan dapat menggunakanya sebagai unsur kekuatan ma­
syarakat (social power) yang tersusun ke dalam dua aspek utama yakni
fisik dan psiko-kultural yang selanjutnya didistribusikan kepada orang
lain sementara yang lainnya memiliki tingkat-tingkat kemampuan yang
berbeda-beda untuk mempengaruhi orang lain. Negara dalam hal im
merupakan organisasi yang memiliki kekuasaan (power) sebagai aktor

34 Studi Hubungan Internasional


konstelasi hubungan internasional senantiasa mencandera k
3 situasi yang bersifat "power relationships" yang diartikulasikai
^eh'pemerintah-pemerintah berdaulat.

Q|eh karena itu arti yang substansial terhadap hubungai


t rnasional terletak di dalam formulasi "interactins of government
' Vereign states" tercermin di dalam berbagai pola atau bentuk yan;
kesemuanya concern dengan hubungan internasional. Di antar,
berbagai bentuk atau pola yang dimaksudkan adalah pola interaks
yang dianggap paling pokok sebagaimana halnya dalam praktik
praktik diplomasi, militer, dan maupun bidang ekonomi. Interaks
hubungan internasional yang terdiri dari dua atau lebih pelaku negara
negara terlibat di daiamnya maka dapatlah dikatakan bahwa formulas
semacam itu terdapat dalam konsep yang disebut sebagai " multistate
system" atau dengan pengertian lain yang diletakkan ke dalam datarar
yang lebih luas, dikategorikan sebagai suatu "multinational politica
system" yang di daiamnya terdapat atau berkaitan erat dengar
semua instrumen-instrumen serta bentuk-bentuk interaksi hubungan
hubungan antarpemerintah yang berdaulat seperti misalnya di dalan
kegiatan diplomatik, militer, ekonomi, psikologi, hukum, etik day;
serta juga dalam bidang teknik. M a la peranan pemerintah-pemerintaf
dalam hal ini adalah sebagai pelaku-pelaku (aktor-aktor) di dalan
sistem internasional (multinational political system). Kendatipun tidat
dikonstruksikan sebagai pemberian makna bahwa negara memanj
satu-satunya pelaku utama (only important actors). Ataupun dikatakar
pemerintah-pemerintahlah yang memiliki hak monopoli dalam sektoi
diplomatik dan militer sebagai manifestasi bentuk hubungan tersebut

Akan tetapi, dalam perkembangannya lebih lanjut, ternyata or­


ganisasi-organisasi internasional ikut serta memainkan peranan dalarr
erangka hubungan atau kegiatan diplomatik dan sekaligus juga
a am hal ini telah memberikan latar baru terhadap interaksi peme-
r ntah
-pemerintah dan telah menjadi sebuah aktor yang telah memiliki
kemandirian tersendiri.

StUd' Hubunsan Internasional 35


DAFTAR PU STA KA
Coplin, W illiam D., Introduction to Internatonal Politics, (New Jersey-
Prentice-Hall, 1980)

Couloumbis, Theodore,A & James H Wolfe., Introduction to


International Relations, power and Justice, (New York: Prentice
Hall of India, 1981)

Farnsworth, David, N., International Relations: An Introduction


(Chicago: Nelson-Hall, 1988)

Holsti, K.J., International Politics A Framework , (New Jersey:


Englewoods Cliffs, Prentice-Hall, 1977)

Kusumohamidjojo, Budiono., Hubungan Internasional: Kerangka


Anaiisis, (Bandung: Binacipta, 1987)

Mas'oed, Mohtar., llmu Hubungan Intenasional: Disiplin dan


Metodologi, (Jakarta: LP3ES, 1990)

Mathisen, Trygve., Methodology in the Study of Internationa! Relations,


(Oslo: Oslo University Press, 1959)

Morgenthau, HansJ., Politics Among Nations: The Struggle for power


and Peace, (New York: Alfred A Knoft, Inc, 1948)

Spykman, Nichols J., "Methods of Approach to the Study of


International Relations" dalam Proceedings of the Fifth
Conference of Theachers of International Law and Relations
Subjects, (Washington: Carnegie Endownment for International
Peace, 1993)
Wright, Quincy., The Study of International Relations, (New York:
Appleton-Century-Crofts, 1955)

-ooOoo-

36 Studi Hubungan Internasional


TEORI DALAM STUDI
HUBUNGAN INTERNASIONAL

2 1 T E O R IS A S I S T U D I H U B U N G A N
IN T E R N A S IO N A L
Di bab sebelumnya telah diuraikan tujuan dari studi hubungan
internasional yaitu untuk menganalisis fenomena-fenomena internasi­
onal yang terjadi. Tentunya untuk dapat melaksanakan tugas ini, studi
hubungan internasional memiliki instrumen-instrumen analisisnya
yang disebut sebagai "teori". Teori dijadikan sebagai landasan pokok
untuk memahami fenomena internasional yang dimaksudkan itu. Itu-
pun jikalau sejauh hubungan internasional dikonstruksikan sebagai
kerangka bangunan di mana sifat internasionalnya itu sendiri dilihat se­
bagai suatu wacana studi yang sistematis oleh sebab itu sepatutnyaiah
dilakukan dengan arahan teori. Ini merupakan sikap atau langkah atau
upaya teorisasi mengenai makna dasar terhadap studi hubungan in­
ternasional (study of inter-states relations) termasuk bidang studi yang
sangat tua. Tua dikarenakan studi ini sudah dipelajari sejak masa-masa
'<
“ 'na Kuno, India dan Yunani Klasik.

Seorang penulis Yunani yang bernama Thucydides yang me-


4 3 1 't'<an ^)u*<unya berjudul "The History of the Peloponesian W ar
404 SM " buku ini dianggap sebagai catatan klasik terhadap stu-
di hubungan internasional. Juga dalam tulisan Niccolo Machiavellj
(1469-1527) dalam bukuya yang berjudul "The Prince", termasuk
pelopor bagi analisis konsep “pow er" secara modern serta konsep
"state system". Dante Alighery, dalam bukunya yang berjudul " o e
Monarchia", merupakan orang yang pertama sekali dianggap sebagai
pemberi motivasi memperkuatdorongan yang memenuhi kepustakaan
politik Barat khususnya bagi organisasi internasional yang ditujukan
untuk mewujudkan perdamaian internasional, Liga Bangsa-bangsa
(LBB) diantaranya terdapat nama-nama seperti Piere Dubois, Emeric
Cruce, Due de Sully, W illiam Penn, Abbe de Saint Pierre, Jean-Jacques
Rousseau (1712-1778), Jeremy Bentham (1748-1832), dan Emmanuel
Kant (1724-1804), meskipun penulis-penulis klasik seperti yang dise-
butkan di atas tidak tersusun secara sistematis, namun yang hendak
digambarkan di sini adalah bahwa teori-teori dalam studi hubungan
internasional memang telah lahirdan sejauhmana praktiknya.

Dalam hubungan ini adalah hal yang berkenaan dengan me-


nempatkan teori-teori politik internal kenegaraan ke dalam teori studi
hubungan internasional sebelum Perang Dunia Pertama. Maka yang
diartikan dengan teori dalam studi hubungan internasional, dilihat
sebagai suatu pemikiran atau sebagai suatu renungan dalam tradisi
mengenai hubungan-hubungan antarnegara-negara (relations between
states) suatu tradisi yang dilandasi oleh pemikiran mengenai negara,
untuk menamai bagi " teori politik". Pandangan seperti ini kebetulan
muncul pada saat populernya paradigma hukum internasional yang
mendapatkan bentuknya yang kompak sejak Hugo de Grotius (1583-
1645) serta Pipendorf (1632-1694), antara ke dua-duanya masing-
masing mengemukakan pemikiran (perenungan) tentang masyarakat
internasional (international community) di bawah bayang-bayang
pemikiran yang dikembangkan dari nilai-nilai hukum internasional-
Banyak terbit tulisan-tulisan pada masa itu memenuhi literatur poli
tik yang memusatkan perhatiannya pada uraian-uraian konsep-konsep
perdamaian dengan melalui pendekatan kesejarahan. Maka disim

38 Studi Hubungan In t e r n a s io
Ikan bahwa studi hubungan internasional disederhanakan menjadi
P studi yang mempelajari tentang perang dan perdamaian.

Pada periode sejarah Eropa dari tahun 1648 sampai tahun 1914,
d sebut sebagai zaman keemasan terutama dalam bidang diplomasi
(the aolden age of diplomacy), perimbangan kekuatan (balance
0f power) dan hukum internasional (international law). Hampir
kesemuanya pemikiran politik pada saat itu memusatkan perhatiannya
pada masalah-masalah yang berkaitan dengan negara-negara-bangsa
(nation states) termasuk di dalamnya membahas mengenai asal usul,
fungsi dan batas-batas kekuasaan pemerintahan, hak-hak individu
dalam negara, suatu hak bangsa untuk menentukan nasibnya sendiri
(national self determination) dan kemerdekaan.

Sampai tahun 1914, teori-teori tentang hubungan internasional


hampir semuanya berupaya menyeragamkan (uniformity) pandangan
bahwa masyarakat internasional dalam struktur yang ada, tidak dapat
diubah dan pembagian dunia ke dalam negara-negara berdaulat
memang sangat diperlukan dan sifatnya alamiah. Dalam hal ini studi
hubungan internasional hampir membentuk dirinya kedalam formulasi
sejarah dan masalah diplomasi, hukum internasional dan teori politik
daripada dengan melakukan penelitian tentang proses munculnya
berbagai pertikaian-pertikaian, persengketaan, konflik-konflik yang
senantiasa bersifat internasional, namun daya gerak dan dorongan-
dorongan terhadap perkembangan teori hubungan internasional yang
secara sungguh-sungguh adalah pada saat negara Amerika Serikat (AS)
muncul sebagai negara adidaya (super power). Namun di dalamnya
tercermin sifat dualismenya di dalam pelaksanaan politik luar negeri
serja didukung oleh kecenderungannya terhadap kebijaksanaan
p ^ as'on'sme selama tahun 1920-an dan 1930-an. Hal ini berakibat
seh3 terhambatnVa Perkembangan teori hubungan internasionai
a8ai suatu disiplin tersendiri (intelectual discipline).

Seca ra ^ a^ C^ua^srne tersebut adalah berkenaan dengan pemisahan


'kotomik antara pemikiran idealist yang telah mempengaruhi

m Studi Hubungan Internasional 39


pemikiran W .W ilson terhadap Liga Bangsa-bangsa (LBB) dan para
politisi yang merasa tertekan, lebih mengarahkan pandangannya
kepada sikap "return to normalcy" dan ini diganjal oleh Amerika
Serikat (AS) masuk ke dalam organisasi dunia itu. Amerika Serikat (AS)
menuntut suatu moral dan tatanan perdamaian internasional namun
di sini, pihaknya tidak konsisten (unwilling to pay the price). Sikap
seperti ini semakin menampakkan sosoknya pada Kellog Briand Treaty
1928. dalam traktat tersebut, dikatakan bahwa perang tidak dianggap
sah secara hukum (out-lawed) karena tidak sesuai dengan nilai-nilai
moral.

Dalam satu dekade atau lebih, setelah konferensi perdamaian


Vasailles, ada dua pendekatan yang sangat terkenai mengajarkan
masalah-masalah internasional di perguruan-perguruan tinggi Amerika
Serikat (AS) termasuk di daiamnya pemberian kursus-kursus singkat
dalam bidang hukum internasional dan organisasi internasional.
Umumnya dalam kegiatan seperti itu, diberikan materi-materi yang
berkenaan dengan dan sengaja dirancang untuk memperkenalkan
dan meningkatkan pemahaman internasional yakni dalam bentuk
mengaplikasikan metodologi ilmu-ilmu sosial lainnya secara baik.
Kursus-kursus di bidang hukftm internasional lebih ditekankan pada
aspek atau masalah ketidakseuaian antara kewajiban negara-negara
yang resmi (anggota LBB) dan pelaksanaannya terutama dalam rangka
usaha memperjuangkan kekuasaan serta status-quo.

Maka berkenaan dengan hal di atas, timbul suatu kesadaran


bahwa studi hubungan internasional harus berada di luar studi
hukum internasional dan organisasi internasional. Namun dalam
kenyataannya, banyak karya tulis sarjana-sarjana di Inggris dan
Amerika Serikat (AS) selama tahun 1930-an menunjukkan pemisahan
antara ke dua bidang studi itu, James I Bierly, "The Law of Nations,
1939; Charles G. Fanwick, International Law, 1934; Norman I. Hill/
International Administration, 1931; Flersch Lauterpacht, The Function
of law in The International Community, 1933; J.B Moore, A Digest 0

40 Studi Hubungan Internasionol


rnational Law, 1906; Lassa. F.L Oppenheim, International Law
^
4n Treaties,
6 1928; Pitman E. Potter. An Introduction to the Studi o
^national Organization, 1928. Jjames E Douherty & Robert L
pf Izgraff i r' Contending Theories of International Relations" 1987
d'kenal sebagai penulis-penulis terkenal dan pakar dalam teor
hubungan internasional yang menitikberatkan pandangan dari hukurr
internasional dan organisasi internasional; dalam mengungkapkar
berbagai kasus dengan didasarkan kepada deskripsi legalisme dar
pengalaman-pengalaman Administrasi Internasional (Al).

Meskipun agak mirip dengan itu adalah penjelasan dengar


m e m p e r h a tik a n se k to r hukum yang lebih dinamis, menyeluruf
diberikan sebagai upaya menjelaskan fenomena dalam hubungar
antarnegara. Setelah usai Perang Dunia Pertama, yang dipandu oleh
sejarahwan diplomasi, yang coba melihat dari segi-segi sebab/sumbei
konflik-konflik yang besar. Adalah misalnya, Carlton J Hayes, Essays or
Nationalism, 1926; Hans Kohn, A History of Nasionalism In the Earth
1929 dianggap sebagai penulis-penulis dalam kategori ini. Meskipur
masih ada yang serupa dengan itu yang kesemuanya berupaya
untuk menjelaskan konteks permasalahan yang bersifat: "emotional
ideological" terhadap nasionalisme (kebangkitan internasional]
berkenaan dengan besarnya potensi kekuatan politik dalam daratar
dunia modern yang menempatkan sebagai aspek ideologis yang
bersifat
leb ih u v iv e r s a l. (James E. Dougerty & Robert L. Pfaltzgraff, Jr
1987).

Selanjutnya muncul pula penulis-penulis yang secara khusu?


Menampilkan dirinya dalam sejumlah kawasan tertentu. Ada yang
Usus mernbahasnya dari sisi atau aspek keamanan perang, perlucutar
Bak^ ^ aP un PeniJIis dalam kategori ini termasuk, Philip J. Noe!
Qf ^ ® 'sarrriament 1926; James T. Shotwell, War as An Instrumeni
5ecJ ] ' 0nal Policy, 1929; J.W . Wheeler Bennett, Disarmament anc
m ’tV ^,nce Locarno 1925-1932.yang selanjutnya kemudian yang
a as pada aspek imperialisme and politik dunia (worldpolitics),

m Hubungan Internasional 41
1926; terdapat nama-nama seperti misalnya Hebert I. Priestly, France
Overseas: A Study of Modern Imperialism, 1938. dalam bidang
diplomasi dan negosiasi terdapat penulis seperti Harold Nicolson
Peace Making 1919, 1933 dan Diplom ay 1939; kemudian dalam
masalah dan teori perimbangan kekuatan (balance of power) terdapat
nama-nama seperti ,Carl J. Federick, Foreign Policy in the Making: the
Search for A N ew Balance of power, 1938; Alfred Vagts, The United
States and the Balance of power, 1941. dalam sektor/aspek-aspek
geografis sebagai kekuatan dunia ditampilkan oleh James Fairgrieve
Geography and W orld power, 1921; Nicholas J. Spykman, Geography
and Foreign Policy I: American Political Science Review XXXII, 1938,
213-236; selanjutnya yang membahas pada aspek sejarah, teori
hubungan internasional dikemukakan oleh Norman Angel, The Great
Illusion, 1933; Frank H. Simonds, The A BC of W ar Debates, 1933;
Brooks Emeny, The Strategy of W ar Materials 1936; Lionell Robbins,
Economic Planning and International Order, 1937; Paul Einzig,
Finance of Politics, 1932 and Economic of Rearmament, 1934 dan
Eugene Stanley, W orld Economy Transition, 1919. (James E. Dougerty
& Robert L. Pfaltzgraff, jr, 1987, 4-6).

Namun jika dilihat dari satu sisi, bahwa kontribusi atas kehadir­
an beberapa buku-buku ajar sebagaimana telah disebutkan di atas,
telah pula memberikan gambaran bahwa perkembangan teori secara
luas dalam studi hubungan internasional mulai menampakkan dirinya.
Namun di sisi lain, masih kelihatan beberapa kelemahan-kelemahan;
khususnya ketidakmunculan kerangka teoritis yang dapat diperguna-
kan untuk mengorganisasikan dan menganalisis data yang dikumpul-
kan. Belum terlihat upaya membuat atau membangun suatu kerangka
generalisasi. Hal ini mungkin disebabkan karena penekanannya senan­
tiasa terletak di dalam aspek sejarah dan diplomasi. Selama beberapa
tahun, sempat mendominasi kerangka kajian hubungan internasional-
Itu pula yang menyebabkan karya-karya mereka dipenuhi oleh sifat
sifat normatif dalam menganalisis persoalan. Dan kebanyakan di anta-
ranya hukum internasional dan organisasi internasional. Hal ini mung

42 Studi Hubungan Internasiond


b e r k a it a n dengan peran dan fungsi Liga Bangsa-bangsa (LBB) dan
uorian internasional lainnya yang dibentuk sejak akhir tahun
badan-DaUdl
^O-an.
5ejak akhir tahun 1930-an itulah betapa realita politik praktis
ngat iauh berbeda dengan gagasan keiompok teorisasi politik
ormatif Munculnyaa ditator-diktator yang ekspansionis, dengan
sengaja mengabaikan hukum dan perjanjian internasional tercermin
di dalam intervensi Italia ke Ethopia 1935, pencaplokan Jerman atas
Austria-Cekoslawakia dan Polandia menjelang akhir tahun 1930,
disusul kemudian invasi Jepang ke Mansyuria 1931. Semua fenomena
ini dianggap sebagai cerminan terhadap lemahnya teorisasi normatif
untuk menjelaskan fenomena. Tindakan para ekspansionis ini telah
menghancurkan sendi-sendi hukum dan tertib internasional serta
organisasi internasional. Kegagalan mekanisme hukum dan organisasi
internasional untuk mencegah terjadinya konflik-konflik dan perang
membuat orang tidak percaya lagi pada penggagas konsep yang
diajukan oleh penganut mekanisme legalistik-institusional. Sebab yang
paling menonjol dalam masalah ini adalah teorisasi normatif tidak
dapat atau mampu menjelaskan "mengapa" suatu negara melakukan
tindakan tertentu. Dan sebaliknya, karena mereka terlalu menekankan
pada masalah yang berkenaan dengan pertanyaan, bagaimana
seharusnya negara bertindak.

Pasca Perang Dunia Kedua, dalam mana bidang-bidang baru


yang dikembangkan pada tahun 1930-an, terutama bidang studi ten-
ang konflik kembali menjadi topik yang dipelajari secara lebih luas.
aka dengan demikian, penolakan terhadap konsep keiompok aliran
e^ikiran normatif melahirkan pemikiran alternatif yakni aliran pe-
hi k'ran rea''st (keiompok teoritis realis) pada gilirannya nanti, meta­
data^ ^ara<^ ma *3aru yakni menekankan pentingnya faktor "pow er"
realis menentukaan dinamika hubungan internasional. Paradigma
selam semPat mendominasi teorisasi hubungan internasional
ma kurang lebih dua dasawarsa, Pasca Perang Dunia Kedua dan

171Studi Hubungan Internasional 43


ini merupakan manifestasi dari upaya yang lebih menekankan pada
pendekatan teoritis. Kaum realis, yang menonjolkan konsep power
dalam teorisasinya terdapat perbedaan yang sangat jauh dengan teo­
ri yang dikembangkan oleh kelompok idealis (normatif) dalam studi
hubungan internasional.

Bagi pandangan kaum realist, bahwa konsep power itu dijadi­


kan sebagai instrument dasar, konsep dasar, sebagaimana halnya di
dalam ilmu-ilmu sosial seperti, fisika, energi; digolongkan menjadi
unsur pokoknya dalam menjelaskan fenomena. Kendatipun tidak ter-
alu mengejutkan akibat yang ditimbulkan oleh Perang Dunia Kedua
dan dalam hubungannya dengan studi hubungan internasional, yakni
bergesernya pemikiran (Barat) dalam studi ini: dari aliran pemikiran
idealis ke realis dan dari hukum internasional dan organisasi interna­
sional sampai kepada elemen-elemen kekuatan (power). Maka sampai
tahun 1940-an, menandai konsep kekuatan (power) dijadikan sebagai
suatu pendekatan terhadap analisisis atau studi hubungan inter­
nasional. Pendekatan teoritis dengan atau atas dasar pemikiran realis,
dicerminkan ke dalam publikasi ilmiah dan ini berlangsung selama
dua dekade setelah usainya Perang Dunia Kedua telah mendapat peng­
akuan diantara beberapa universitas di Amerika Serikat(AS) bahwa
konsep "pow er" menempati posisi yang paling banyak dalam upaya
anaiisis hubungan internasional.

Publikasi ilmiah ini ternyata memberikan pengaruh yang sangat

besar kepada bidang pengajaran dan penelitian hubungan in te rn a s i­

onal di universitas-universitas. Salah satu tokohnya, seorang imigran


Eropa Tengah yang melarikan diri karena diancam oleh Nazi Jerman
ke Amerika Serikat (AS) yaitu Hans Joachim Morgenthau dalam buku
yang berjudul "Political Among Nations: Struggle for power and Peace
terbit untuk pertama kalinya pada tahun 1947, mendefinisikan kepen
tingan nasional (national interest) ke dalam terminologi power.
mudian muncul beberapa buku-buku ajar yang serupa sehingga pa^a
masa ini power sebagai suatu devosi secara substansial mendap3

0/
44 Studi Hubungan In te rn a l0 j
hatian mereka. Titik fokusnya terlihat di dalam pemberian mak-
P terhadap kekuasaan (nature of power) dan politik dengan
arkan power, mendevosikan diri terhadap makna dasar power
d lam setiap bab buku-buku mereka atau rata-rata dua bab yang se-
khusus menganalisis berbagai elemen atau faktor kekuatan na-
onal yang tercakup dalam dimensi geografisnya, penduduknya, serta
dalam sumber daya alamnya.

Meskipun demikian masih terdapat banyak yang tetap bertahan


untuk menulis masalah-masalah itu dalam buku-buku mereka berkait-
an dengan pengaruh usainya Perang Dunia Kedua, yakni berupa kon-
sistensi terhadap nilai-nilai hukum internasional dan moral, organi­
sasi internasional. Eksplanasi mereka tetap bergerak ke dalam dataran
bagaimana dengan persoalan penyelesaian perdamaian, diplomasi dan
pelaksanaan politik luar negeri (conduct of foreign policy relations).
Dalam konteks ini mereka banyak bicara tentang imperialisme, kolo-
nialisme dan kebangkitan Negara-negara Dunia Ketiga (emergence of
third world), ideologi dan propaganda. Kemudian dalam bab-bab ter­
tentu, mencantumkan anaiisis mengenai aliansi-aliansi, regionalisme
atau fungsi integrasi regional, perlucutan senjata strategis (nuklir) dan
pengawasan persenjataan, teknik-teknik secara khusus dalam bidang
kebijaksanaan politik luar negeri seperti dalam masalah-masalah ne­
gara-negara nonblok (non-alignment) serta isolasionisme.

Tampaknya semakin jelaslah paradigma realis yang dicoba


ditugaskan dalam buku yang ditulis Quincy Wright dalam bukunya
Var|g berjudul, the study of international relations yang meskipun
atau ^ Se^a^3' te^s a^an tetaP' sebenarnya lebih pantas disebut
teoU ^ ate^or'*<an sebagai studi yang termasuk dalam sifatnya yang
dan'rh' Se^a§ai aiar- Kemudian dalam buku Morton A. Kaplan
kePad ar 6 ^ ^ c*-eHand lebih banyak memusatkan perhatiannya
hubun masa'ab~masalab yang berkenaan dengan teorisasi studi
W, Th8^ internasional (sistem internasional). Sedangkan Kenneth
mPson, melihatnya dari sisi realitas politik. Richard C. Snyder

^ ° r i Da;QfT)
Hubungan Internasional 45
tampaknya lebih memusatkan perhatiannya terhadap kebijaksanaan
politik luar negeri dan John H. Herz, menggunakan pendekatan iSu
isu politik internasional dalam era perlombaan senjata nuklir dalam
menjelaskan fenomena internasional. Ernest B. Hass, mengkaitkannya
dengan fungsi integrasi dalam tinjauan analisisnya sedangkan
Richard N. Roscrane, mencoba untuk menganalisis fenomena polity
internasional itu ke dalam dimensi "aksi dan reaksi" terhadap berbagai
proses diplomasi. Karl W . Deutsch, melakukan analisisnya dengan
menggunakan pendekatan yang dicoba dengan cara mengangkat
masalah-masalah pembangunan ditempatkan ke dalam perspektif
komunikasi sosial. Akhirnya George Liska menjelaskan teori
perimbangan kekuatan (balance of power) dalam politik internasional
(James E. Dougerty & Robert L. Pfaltzgraff, jr, 1987, 12-13).

Dalam periode perkembangan berikutnya teorisasi studi


hubungan internasional menunjukkan upaya ke arah langkah-langkah
metodologis internasional. Arah upaya yang dimaksudkan itu telah
mulai dilakukan sejak tahun 1960-an dan 1970-an. Usaha ini mendapat
tanggapan positif khususnya dari pihak pemerintah seperti yang
dicontohkan dalam kerangka kerja "thinks-tanks" RAND corporation
dan juga tidak ketinggalan dari kalangan perguruan tinggi (lembaga-
lembaga penelitian) dan beberapa organisasi-organisasi perorangan
memanfaatkan gagasan ini. Kemudian di sisi lain, terlihat semakin
intensnye teknoiogi persenjataan strategis senantiasa berkaitan erat
dengan perlombaan senjata strategis pula serta mengenai perlucutan
senjata (disarmament).

Para sarjana telah memusatkan perhatiannya pada masalah yang


berkenaan dengan perlombaan persenjataan tadi, dengan mana telah

terjadi perubahan pola hubungan internasional (polarisasi); persekutuan


persekutuan diplomasi, percobaan integrasi regionalisme, d e k o lo n is a s

dan kebangkitan negara-negara di kawasan Asia-Afrika. Maka dalafl


kerangka penelitian terhadap studi hubungan internasional, s e n a n t ia s

diarahkan kepada strategis psikologis, peranan politik luar negerl

■ pol
46 Studi Hubungan Interna#0
k e b ija k s a n a a n ekonomi internasional di dalam suasana konflik
fl'k ideologis yang pada akhirnya melahirkan debat secara intensi
* « Hua keiompok pemikiran yaitu antara idealis dan kelompol-
Hj
list serta antara keiompok tradisionalist dengan behavioralist.

O2 berbagai teori dalam studi h ubung an


IN T E R N A S IO N A L
Sebagai langkah pertama yang perlu diperhatikan adalah yang
berkaitan dengan terminologi/istilah teori. Kata teori, berasal dari
bahasa Yunani yakni "theoro" yang artinya, melihat kepada. Pengertian
istilah teori seperti ini bagi pandangan ilmu politik dan hubungan
internasional merujuk kepada rumusan bahwa teori itu adalah "sistem
generalisasi yang berdasarkan kepada penemuan empiris atau yang
dapat diuji secara empiris" (Estephen L. Wasby, 1970, 62). Dalam hal
ini, teori memberikan gambaran dalam generalisasi untuk menjelaskan
apa yangterjadi. Teori senantiasa berkaitan erat dengan "... pernyataan-
pernyataan yang disebut hukum, yang satu sama lain diekspresikan
ke dalam variabel-variabel dengan berbagai sebutan terhadap sistem
itu". Teori juga sering menunjukkan kepada sejulah generalisasi
yang secara teratur, sistematis dan sering berkaitan dengan deskripsi,
analisis dan sintesa. (Ronald H. Chilcote, 1981, 15). Namun secara
etimologis, terminologi, teori berkonotasi dengan dua hal yakni: (a),
suatu pandangan atau suatu konsepsi yang saling berkaitan antara
akta-fakta; (b). suatu pandangan atau konsepsi dari sebuah sistem
U um"hukum atau konsepsi dari sebuah sistem hukum atau prinsip-
pnns'p. (Madab. G. Gandhi, 1981, 78)

teor. ^erbeda dengan yang dikemukakan oleh argumentasi bahwa


terkadSUatU ^uran^ merujuk kepada ambigua dan
P'kiran^ ter^aut ^alam pengertian atau sinonim dengan pikiran-
yang R 'C*e~'c*e b a g a im a n a hal ini dapat memecahkan persoalan
teodde"1 ^ emon van °y k e , 1987, 90). A. Rapoport, merumuskan
gan melihatnya ke dalam sejumlah atau sekumpulan teorema

m Studi Hubungan Internasional 47


yang diperoleh setelah diuji dalam proses prediktif terhadap peristiwa
peristiwa dan kondisi yang diamati (A. Rapoport, 1990, 3) di dalarn
bentuknya, kita juga dapat mengatakan bahwa teori terdiri dari
sejumlah pertanyaan-pertanyaan yang mempunyai sifat generalisasj
seperti teorema dan di dalam bentuknya yang teorema prediktif tadi
dipergunakan untuk menggambarkan dunia nyata. (Garnett, 1990, 3)

Dari berbagai pandangan tentang teori seperti yangdikemukakan


di atas, terlihat beberapa unsur yang muncul dan dari pandangan
mereka itu dijumpai pula beberapa persamaan tekanan (eksentuasi)
Kesamaan tersebut terdapat di dalam usaha merumuskan bahwa yang
diartikan dengan teori adalah sekumpulan generalisasi yang terbentuk
di dalam teorema. la terdiri dari konsep-konsep yang saling mempunyai
hubungan satu sama lain tersusun secara sistematis, sehingga pada
akhirnya ia merupakan pernyataan-pernyataan tertentu yang dapat
menjelaskan fenomena. Jadi dengan demikian, teori merupakan
bentuk pernyataan yang senantiasa harus dapat dan mampu menjawab
pertanyaan "mengapa" sebagai upaya untuk memberikan makna
terhadap fenomena yang terjadi. Teori juga terdiri dari sekumpulan
generalisasi dan generalisasi terdiri atas konsep-konsep. Antara konsep-
konsep itu, terdapat hubungan-hubungan, dalam keterhubungan
tersebutlah, konsep-konsep tadi dibangun teori tercermin di dalam
pernyataan-pernyataan.

Membangun teori atau katakanlah untuk membentuk teori


(theory building) sama halnya dengan kita membangun konsep-
konsep. Generalisasi diformulasikan serta dikonstruksikan atas teori
yang mengacu kepada eksplanasi hingga sampai pada tahap p re d ik si

terhadap fenomena. Dalam kaitan itu Ronald H Chilcote, (1981, 17)


membagi beberapa aspek teori dikaitkannya dengan penggunaannya

terutama di dalam kegiatan penelitian. Adapun aspek-aspek teori y a ne

dimaksudkannya itu adalah terdiri dari konsep-konsep, generalisasi/


proporsi dan hipotesa, pendekatan, model dan paradigma. Di dalarn
tahap-tahap suatu anal isis, dituj ukan untuk membangun konsep-konsep/

nl
48 Studi Hubungan internasio
sebagai awal tahapan sebuah proses penelitian. Konsep-
d'an^ aj^ng berupa pemikiran-pemikiran, senantiasa diungkapkan ke
konsep^ cara ata(J tingkatan konseptualisasi yakni: a. universal; b.
^a'ar^l jgp konfiguratif. Konseptualisasi dicirikan oleh universalitas
^ePe disebut dengan “global theory". Sedangkan yang disebut dengan
^'eral konseptualisasi adalah sesuatu yang digunakan di dalam " intra
^e° dan middle range theory". Untuk konseptualisasi yang bersifat
konfiguratif, digunakan untuk “country by country study".

Generalisasi sebagaimana yang dikemukakan oleh Alan C.


Isaak (1981, 71) terdiri dari konsep-konsep yang saling mempunyai
hubungan satu sama lain. Sedangkan yang diartikan dengan teori
adalah hubungan-hubungan sejumlah generalisasi. Dan pada akhirnya
nanti, tujuan ilmu pengetahuan adalah mengarah kepada teori
(pembentukan teori) ataupun teorisasi sebagai upaya eksplanasi dan
memprediksi terhadap fenomena. Kemudian bagi pandangan, Mohtar
Mas'oed (1990, 108), untuk dapat memahami sebuah atau lebih
fenomena, khususnya di dalam sektor sosial politik, dianggap sebagai
kebutuhan yang sangat mendasar adalah ilmuwan memberikan nama
pada bagian-bagian yang telah terurai itu dan nama itulah yang disebut
konsep. Konsep senantiasa berkenaan dengan pembentukan teori atau
membangun teori. Teori senantiasa berkaitan dengan fakta dan hal
ini penting bagi pembentukan teori tadi. Fakta di sini, merupakan
bangunan (konstruksi) dari konsep-konsep. Konsep itu sendiri
merupakan konstruksi atas sesuatu yang bersifat abstrak (ise) dengan
merujuk kepada sesuatu fenomena atau aspek-aspek. Konsep itu juga
dapat berarti abstraksi dari realitas yang merujuk kepada bentuk-betuk
gerakan-gerakan, orang-orang, perilaku atau kelas-kelas. Atau bahkan
Ungkin dikatakan bahwa teori itu adalah suatu cara atau jalan untuk
ia nf ° r^an'sas'kan pengetahuan yang kita peroleh untuk memberikan
p .3 an atas beberapa permasalahan yang timbul serta sebagai
jaw h130 ^'ta c^ am ran§ka melaksanakan penelitian bagi penemuan
an atas Persoalan yang dianalisa.

Qm ^tucI’ Hubungan Internasional 49


Dalam kepustakaan filsafat, ilmu pengetahuan yang dikaitkan
dengan pembentukan teori diasumsikan sebagai sesuatu yarig
mempunyai artian khusus di daiamnya. Teori bagi pandangan jnj
dilihat sebagai suatu simbol konstruksi, atau serangkaian konstrukyang
saling berkaitan satu sama lainnya (interrelated) ataupun semacam
konsep yang disamakan dengan definisi, hukum-hukum, teorema
dan aksioma. Teori merupakan rangkaian proposisi atau hipotesa
yang secara khusus mempunyai kaitan dengan variabel-variabel di
dalam suatu tatanan (tertib) untuk mengungkapkan eksplanasi dan
untuk membangun prediksi mengenai suatu fenomena tertentu. Maka
dengan demikian, pengertian sedemikian rupa telah mewarnai ilmu-
ilmu sosial umumnya dan studi hubungan internasional khususnya.

Oleh karena itu, teori bagi hubungan internasional tidak


akan jauh berbeda dengan pandangan teori dalam ilmu-ilmu sosial
umumnya. Teori bagi studi hubungan internasional adalah sesuatu
yang memiliki sistem deduktif yang terdiri atas serangkaian proposisi.
Teori sistem yang dikembangkan oleh Morton H. Kaplan, George
F. Modelski dalam studi hubungan internasional, dijadikan sebagai
jawaban atas persoalan dan upaya perumusan atas teori-teori yang
dimaksudkan di atas. Salah satuya yang dikenal dalam wacana
studi hubungan internasional adalah teori sistem. Maka teori yang
dikembangkan di dalam studi hubungan internasional sering disebut
sebagai proses taxanomi, klasifikasi atau kerangka konseptual
sebagai alat untuk mengatur tertib data. Data ditempatkan di dalam
kedudukannya sebagai suatu kategori sehingga akan terjalin sebuah
kerangka kerja. Talcott Parson dalam teori sistem sosialnya, Gabriel
A. Almond dan David Easton dengan teori sistem politiknya dan
Richard Synder, dengan kerangka teori kebijaksanaan politik luar
negerinya. Apa yang dijelaskannya di bawah adalah merupakan sua
taxanomi itu. Maka dengan demikian, teori, merupakan serangkai3
proposisi mengenai perilaku politik dengan cara pandang indu '
dirangsang oleh rangkaian studi berdasarkan penelitian empirik ata^
dengan cara membandingkannya dengan atau ke dalam suatu a

• pO I

50 Studi Hubungan Internes


tu pada masa lampau. Perbandingan sejarah yang dibangun
tC Karl W Deutsch ke dalam tema integrasi nasional khususnya
° ' 6'1 kasus Atlantik Utara, dianggap sebagai upaya membangun
^ ^engem bangkan sejumlah proposisi dikaitkan dengan kondisi
tipologis integrasi itu sendiri.
Teori juga dapat diartikan sebagai pembentukan sejumlah per-
nyataan-pemyataan tentang perilaku yang rasional berdasarkan mo-
tivasi yang mendominasi seperti misalnya power. Power, dianggap
sebagai sebuah teori yang akan memberikan suatu deskripsi terhadap
p e r ila k u politik yang dilakukan oleh aktor yang bertindak secara ra­
sional, maka dalam hubungan ini perilaku dapat dihubungkan dengan
dunia nyata sebagai suatu rangkaian periode sejarah. Hans. J. Mor­
genthau, menggunakan teori politik berdasarkan fakta sebagai gamba­
ran rasional terhadap politik dan aktornya. Stanley Hofmann, seorang
sarjana penganut aliran pemikiran tradisional, mendefinisikan teori
hubungan internasional kontemporer sebagai "suatu studi sistematik
mengenai fenomena yang bisa diamati yang mencoba menemukan
variabel-variabel dasar untuk membentuk dan menjelaskan perilaku,
mengungkapkan karakteristik setiap hubungan di antara unit-unit na­
sional" (Stanley Hoffmann, 1969, 30) seperti juga halnya James E.
Dougherty & Robert I. Pfaltzgraff, jr, 1987, 28-29), menjelaskan bah­
wa yang dimaksudkan dengan teori dalam studi hubungan internasi­
onal adalah serangkaian norma-norma atau nilai-nilai sebagai indikasi
agi para aktor politik yang merupakan keharusan untuk dilakukan.
^ai-nilai atau norma-norma tadi khususnya dilihat dari perspektif
moral. Tekanan pada nilai atau norma tadi menjadi perhatian
teQrjUS Pen8amat aliran tradisionalis (filsafat politik) membangun
laku n° rrn a t^ (n o r m at/'ve theory) sebagai panduan dalam bertingkah
' se^a8a' norma, nilai, dan ukuran-ukuran.

mjSa| ^/'en8enai hal ini kebanyakan fenomena internasional seperti


ternasion ^a'am era PersenJataan nuklir, pembangunan ekonomi in-
a / telah menimbulkan jurang pemisah antara negara-negara

Tfon
tUd' Hubungan Internasional 51
maju dengan negara-negara miskin (sedang berkembang). Maka di
atas dataran atau perspektif aliran teori normatif, semua ini harus di-
arahkan kepada sendi-sendi moral dan etika khususnya dalam kerang­
ka anaiisis hubungan internasional. Pengungkapan berbagai segi teori
dan teorisasi studi hubungan internasional yang memiliki keragaman
sifat dan bentuk tadi, sebagai suatu indikasi kepada kita bahwa telah
terjadi ketidakseragaman pandangan dari berbagai aliran pemikiran
yang datang dari aliran tradisionalis, realis dan sebagainya.

2.2.1 Teori Realisme Politik Sistem Internasional

Perkembangan dari serangkaian pernyataan-pernyataan tentang


perilaku rasional senantiasa berdasarkan kepada motivasi dominatif
dengan tnembawa ciri pemanfaatan power. Tindakan (perilaku)
yang di dalam polanya bisa dikatakan kemudian dilakukan dengan
cara membuat langkah perbandingan atau dibandingkan dengan
dunia nyata. Hans. j. Morgenthau, sebagai saiah seorang penteori
politik realisme dengan sangat jelas dikemukakannya suatu deskripsi
rasionalitas politik seperti itu.

Teori politik dan hubungan internasional realisme dianggap


sebagai reaksi terhadap penganut paham utopianisme yang didominasi
oleh studi politik dan hubungan internasional di Amerika Serikat
(AS) dari tahun 1940-an sampai tahunl960-an. Para pengajar studi
hubungan internasional di berbagai universitas-universitas di Amerika
Serkat (AS) senantiasa menggunakan buku-buku ajar yang berasal dari
hasil karya sarjana-sarjana kelompok aliran pemikiran realis meskipun
ditambah dengan buku-buku yang ditulis oleh sarjana di luar dari
paham itu. Teori realisme sebagaimana juga utopianisme, memiliki
sifat normatif dan cenderung kepada cirinya yang khusus sebagai
"policyoriented" dan lebih tinggi derajatnya jika dibandingkan dengan
teori utopiaisme.

Sementara itu generalisasinya tentang perilaku internasional


bersumberkan sejarah. Sedangkan dari kelompok utopianisme, lebih

52 Studi Hubungan Internasional


menekankan pada perkembangan norma-norma perilaku hubungan
internasional dengan berdasarkan kepada nilai-nilai hukum dan
organisasi. Realisme menekankan bahwa negara bangsa-negara bangsa
dijadikan sebagai unit analisisnya dan inilah pula yang paling pokok.
Katanya selanjutnya, bahwa tidak ada suasana keharmonisan yang
esensial atas kepentingan-kepentingan di antara negara-negara bangsa
itu. Dalam hal penggunaan konsep "power" bagi mereka ini, dianggap
sinonim dengan anggapan teori realist yakni dengan berdasarkan
pada kemampuan dalam hal ini adalah kekuatan militer. Power
dalam konstelasi penggunaan kekuatan militer dan tanpa penggunaan
kekuatan militer bagi pandangan realisme, mempunyai garis sekamtis
untuk menggambarkan klasifikasi terhadap unsur-unsur kekuatan
nasional. Dalam kerangka analisisnya, realisme mencoba menimbang
kekuatan-kekuatan nasional terdiri dari (tidak hanya kekuatan-kekuatan
militer dan tingkat-tingkat teknologinya), faktor penduduk, geografis,
sumber daya alam, bentuk-bentuk pemerintahannya kepemimpinan
politik dan faktor ideologisnya.

Teori realisme mengasumsikan bahwa lokasi/wilayah geografis


suatu bangsa, akan memberikan pengaruh terhadap kemampuan
nasionalnya serta orientasi kebijaksanaan politik luar negerinya. Oleh
sebab itu, kondisi atau faktor geografis bagi suatu bangsa/negara
dianggap sebagai suatu hal yang esensial khususnya di dalam kerangka
implementasi kebijaksanaan politik luar negerinya. Dalam hubungan
ini ada diantara beberapa negara yang memiliki wilayah/lokasi yang
sangat strategis dibandingkan dengan komposisi negara lainnya. Hal
ini dikemukakan oleh sebab, masalah ini ada kaitannya dengan tingkat
kesulitan jika dilakukan dengan melalui jalur hukum internasional dan
bahkan dengan organisasi internasional atau bahkan pemerintahan
dunia sekalipun dalam rangka perdamaian dunia (global). Oleh
sebab itu bagi pandangan kelompok realisme, cukup dengan hanya
mengandalkan atau mensiasatinya melalui manajemen power. Untuk
mencapai tujuan tersebut, diperlukan perimbangan kekuatan (balance
of power) sebagai alat pengatur. Pada saat power ini dikeseimbangkan,

Teori Dalam Studi Hubungan Internasional 53


di antaranya negara-negara, maka sekaligus dengan itu tidak ada
satu negarapun yang mampu untuk mengambil posisi hegemoni di
dalam sistem intersional. Dalam konteks ini, diasumsikan bahwa
prinsip-prinsip moral tidak dapat diwujudkan bagi aksi-aksi politik.
Politik tidak dapat difungsikan sebagai dasar etik. Hal ini berkaitan
erat dengan lingkungan internasional didalam mana seorang akto
(negarawan) sangat berbeda dengan kondisi lingkungan domestiknya;
disana masih dapat dijumpai adanya otoritatif atas lembaga-lembaga
politik, sistem hukum dan kebiasaan yang diterima secara umum
dijadikan sebagai acuan bertindak. Maka dalam kondisi lingkungan
seperti ini (internasional) maka power lah yang menjadi determinan
dalam perilaku internasional. Power sebagai suatu terminologi yang
sering digunakan orang khususnya dalam studi politik dan hubungan
internasional. Dalam bidang studi hubungan internasional, tidak
terdapat lembaga-lembaga dan prosedur untuk dapat dimanfaatkan
sebagai instrumen memecahkan permasalahan yang timbul jika
dibandingkan dengan kebanyakan sistem politik nasional untuk
menyebutkan unsur power lah yang lebih menonjol (lebih jelas dan
tegas) pada tingkat domestik.

Di dalam sebuah bukuteksyangditerbitkan untuk pertama kalinya


tahun 1933, Frederick L. Schumann (1969, 271) yang mengatakan
bahwa dalam sistem hubungan internasional, peranan pemerintah
cukup hanya bersikap mencari aman saja sambil dapat melakukan rilis
di dalam lingkaran kekuasaan dan memandang power itu ada pada
negara-negara tetangganya dijadikan sebagai suatu "alarm". Kemudian
menurut Nocholas Spykman (1942, 11) bahwa semua peradaban
hidup, pada akhirnya berada pada power. Dan bagi pandangan Hans
j. Morgenthau (1967, 25-26), bahwa semua peradaban hidup, pada
akhirnya berada pada power. Dan malahan bagi pandangan Hans
J. Morgenthau (1967, 25-26), bahwa dalam politik internasional,
yang semuanya bersifat politik sebagai suatu yang dalam kondisinya
akan menjadi "struggle for power". Posisi power dalam konteks ini
dijadikan sebagai alat dan tujuan. Dalam teorinya, Hans J. Morgenthau

54 Studi Hubungan Internasional


mengatakan bahwa power merupakan alat (instrument) yang dapat
digunakan untuk memenuhi kepentingan-kepentingan. Dalam artian
yang lain, kalau boleh dianalogkan dengan uang di dalam sistem
perekonomian, uang, dalam sistem ekonomi dan power di satu pihak
(politik) tidak dengan sendirinya memberikan makna apa-apa; akan
tetapi jika masalahnya dikembangkan dalam pertanyaan, mungkin
akan memberikan suatu deskripsi lain, bagaimana menggunakannya
dan apa yang akan diperoleh?

Memangdalam menganalogikan antara uangdan power memiliki


keterbatasan. Tentunya power disini tidak segampang ditukarkan
layaknya uang untuk memenuhi kepentingan. Hal ini disebabkan
power merupakan hasil dari berbagai atribut-atribut nasional dan
sangat sulit mengukurnya jika dibandingkan dengan uang. Tujuan
nasional bukan harga untuk menunjukkan bagaimana power harus
dikeluarkam untuk dapat terpenuhinya kepentingan (tujuan) hanya
dengan melalui suatu aktivitas bargaining dengan negara-negara lain
yakni dengan cara memanfaatkan hubungan-hubungan mereka ke
dalam kondisi atau situasi yang bersifat "power relationships". Dalam
kondisi seperti ini satu negara tidak mempunyai power di dalam suatu
keisolasian akan tetapi, power suatu negara harus diukur ke dalam
"term of relationships" dengan negara lain sebagai perbandingan
situasi, bahwa power dapat dinilai atau diukur. Sebagai contoh, pada
saat konflik timur tengah terjadi. Adapun yang menjadi permasalahan
pokok adalah: apakah negara Israel itu sebagai negara kuat.

Maka sebagai jawabannya dikaitkan dengan atau ke dalam da-


taran yang lebih luas yakni terhadap situasi/suasana "power relation­
ships" dengan negara bertikai atau dengan negara-negara yang men-
dukungnya. Israel sebagai negara yang kuat atau sebagai negara yang
lemah (tidak kuat) daripada negara tetangganya arab, tergantung ke-
pada negara arabnya itu sendiri. Artinya, dalam beberapa kali terjadi
Pertempuran/peperangan, antara Israel dengan negara-negara arab
lainnya, ternyata Israel sering mengalami yang namanya kemenangan.

Teori Dalam Studi Hubungan Internasional 55


Kondisi seperti ini dapat dijadikan sebagai indikator untuk menunjuk­
kan bahwa negara Israel memang kuat, dibandingkan dengan nega­
ra-negara tetangganya. Hal ini pun jika dilihat dari perspektif peng­
gunaan atas “ force" dicerminkan oleh penggunaan kekuatan militer
(use of military capabilities). Tampaknya dalam rangka analisis situasi
yang bersifat “power relationships" dalam konteks konflik Arab-lsrael
akan lemah (tidak kuat) dibandingkan dengan negara-negara Arab,
apabila Uni Soviet memberikan dukungannya kepada Arab sementara
itu disisi lain, Amerika Serikat menarik dukungannya terhadap negara
Israel. Ataupun sebaliknya, Uni Soviet menarik dukungan terhadap
negara-negara Arab dan Amerika Serikat akan meneruskan dukungan­
nya terhadap Israel maka posisi Israel akan menjadi kuat.

Oleh karena itu power di sini hanya dapat memberikan makna


yang berarti, jika dalam suatu hubungan atau serangkaian hubungan
tidak dengan sendirinya cukup untuk menjelaskan penggunaan
konsep ini bagi analisis perilaku hubungan internasional umumnya.
Bagaimana kekuatan suatu negara di dalam konteks hubungan dengan
negara lain tergantung kepada situasi khusus, di mana power dapat
diukur. Perang antara Amerika Serikat (AS) dan Vietnam, merupakan
contoh lain untuk menunjukkan posisi power di dalam kontelasi
hubungan antarnegara. Ada beberapa penulis teori realisme politik
dan hubungan internasional mendukung gagasan (ide) tentang konflik
daripada dengan kerjasama (kooperatif) dianggap sebagai bentuk
tipikal dalam hubungan internasional daripada hubungan antarnegara.

Dalam konteks ini Nicholas J. Spykman mengatakan bahwa


kondisi yang dicirikan oleh hubungan antarkelompok-kelompok dari
dalam sebuah negara hanya selama masa krisis dan kehancuran yang
dialami oleh pemerintahan pusat adalah merupakan hal yang normal
saja dilihat dari perspektif hubungan antarnegara di dalam sistem in­
ternasional. Dalam sistem hubungan antarnegara tadi (sistem internasi­
onal) sebagaimana halnya dengan kelompok-kelompok sosial lainnya/
senantiasa dilandasi oleh suatu proses yakni adanya kerjasama, ako-

56 Studi Hubungan Internasional


modasi dan pertentangan. Oleh karena itu kedudukan negara dalam
masalah ini harus mengembangkan kekuatannya (power positioning).
Maka demikian menjadi titik sentral argumentasi kerangka bangunan
teorisasi realisme politik dan hubungan internasional terletak di dalam
konsep: "balance of power" perimbangan kekuatan) dan geopolitical.

Frederick L. Schumann melihat konsep power itu sebagaimana


dimiliki oleh militer. Hal ini dapat dimanfaatkan dengan menjustifika-
sikanya ke dalam kebijaksanaan politik nasional (domestik) yang ber­
tujuan untuk membendung arus ancaman, tantangan yang datang dari
luar yang akan mengganggu eksistensi sistem politik nasional terse­
but. Dalam kaitannya dengan peranannya dalam hubungan dengan
negara lain sebagaimana akan tercermin di dalam sistem internasional
maka diperlukan suatu model yakni berupa model/pola hubungan
yang bersifat perimbangan kekuatan untuk mengatur mekanisme kerja
sistem tersebut. Penggunaan kekuatan militer di sini, sebagai alat un­
tuk menjelaskan operasionalisasi kekuatan (power) dilihat dari persep-
si siatem politik nasional (pemerintahan nasional).

HansJ. Morgenthau, penganut aliran pemikiran realisme politik


dan hubungan internasional yang paling fanatik, dalam buku klasiknya
Political Among Nations: the Struggle for power and Peace, bahwa
perjuangan untuk kekuasaan dijadikan sebagai pemberian makna atas
politik internasional seperti juga politik-politik lainnya. Sebagai tujuan
akhir politik internasional adalah power. Power diletakkan sebagai
titik sentral bagi sebuah perjuangan dan ini dicirikan oleh penggu­
naan dan manipulasi sumber-sumber militernya. Meskipun demikian,
power sebagai titik sentralnya politik internasional ternyata dijumpai
banyak memiliki bentuk yang aneka ragam.

Oleh sebab itu jika kita hanya menekankan pada aspek perjuang-
annya (struggle) maka kerangka analisisnya akan mengarah kepada
Pertanyaan: bagaimanakah negara-negara akan mencapai tujuannya
^ang dengan mengaktualisasikan perilakunya dalam percaturan poli­
tik internasional? Dalam upaya mencandra kondisi seperti ini, akan

° n Oa(am studi Hubungan Internasional 57


terjadi power sebagai suatu hubungan antara dua atau lebih negara-
negara (aktor politik) di mana aktor A misalnya, memiliki kemampuan
untuk mengontrol pemikiran dan tindakan (perilaku) aktor B dan sete-
rusnya. Hubungan antara aktor A dan aktor B bermuatan power yang
dikonseptualisasikan ke dalam konstelasi hubungan: "poer relation­
ships" memiliki tiga unsur yakni, (a), kekuatan yang dapat diterjemah-
kan sebagai alat misalnya kekuatan militer, ekonomi; (b). pengaruh
sebagai tindakan dengan menggunakan alat yang bersifat persuasif;
(c). kekuasaan (authority). Ini merupakan gambaran berbagai variasi
perilaku atas nama terminologi power itu sendiri.

2.2.2 Teori Sistem Studi Hubungan Internasional

Konsep sistem, tampaknya paling banyak dan sangat luas


digunakan dalam studi ilmu politik dan hubungan internasional.
Sistem bisa didiskripsikan ke dalam (a) a theoretical framework for
the coding of data about political phenomena; (b) an integrated set
of relationships based on a hyphotetical system involving variables,
e. g, an international system involving world government; (c) a set
of relationships among political variables in an international system,
alleged in academic discussions and writing to have existed, to bipolar
system of the 1950; and (d). any set of variables in interaction. (James
E. Dougerty & Robert L. Pfaltzgraff, jr, 1987, 102).

Dalam bagian ini kita akan memusatkan perhatian untuk


membahas "system theory" dan bukan pada kajian "system analysis".
Meskipun diantara ke duanya sulit membedakannya. Sebagian yang
d ia r t ik a n dengan istilah "system analyst" sebab sebagai alat untuk
menggambarkan satu variasi teknik-teknik yang dirancang khusus
dalam studi ilmu politik dan sering digunakan secara silih b e rg a n ti

* dengan "system theory". T u ju a n n y a adalah u n tu k m e n g g a m b a rk a n

kerangka konsep dan metodologi sebagai langkah memahami cara kerja


sebuah sistem teori, dapat dirumuskan sebagai "s series of statements
about relationaships among independent and dependent variables
which are assumed to interact with each other; that is, change in one

58 Studi Hubungan Internasiono


on more variables are accompainied, or followed, by change in othei
variables or combinations of variables" (James E. Dougerty & Robert
I, Pfaltzgraff, jr, 1987, 102).

Dari sisi lain, kita dapat melihat bahwa metode untuk mengor-
ganisasikan pikiran ilmu-ilmu sosial dikenai dengan sebutan "system
theory" dan "functional analysis". Khususnya dalam system theory, se­
bagai makna dasar pemikirannya berkaitan erat dengan fenomena se­
bagai bagian dari keseluruhan. Dasar pemikiran yang ditimbulkan oleh
metode ini adalah terutama kepada studi ilmu politik dan hubungar
internasional atau terhadap teorisasi sistem politik. Mereka mulai deng
an mengasumsikan bahwa fenomena politik dapat dianalisis dengar
baik yakni dengan memandang ke semua fenomena sebagai satu Ke
satuan yang sistematis dan menyeluruh (as part of systematic whole).

Dalam kaitan ini pernah dilakukan operasionalisasi terhadap


teorisasi di dalam bidang hubungan internasional seperti yang dilaku
kan oleh Morton Abraham Kaplan (1957, 4) yang mengemukakar
bahwa "a scientific politics can develop only if the materials of poli
tics are treated in terms of system of action". Dan orang akan yakir
saja bahwa setiap sistem itu memiliki komponen-komponen. Suati
komponen-komponen itu dapat diidentifikasikan dengan amat jelas
Misalnya diantara planet-planet dan matahari merupakan elemen-ele
men tatasurya {solar system). Demikian pula misalnya dalam sebuah
keluarga, dianggap sebagai satu sistem di mana anggota-anggota ke
luarga tersebut merupakan elemennya. Sistem politik, yang juga me
miliki elemen-elemen berupa individu-individu, kelompok-kelompok
atau bangsa-bangsa dan sejauhmana terkait dengan elemen-elemer
ln>tergantung kepada luas lingkup sistem itu sendiri. Boleh saja kiti
mengatakan bahwa tidak semua rangkaian-rangkaian elemen-elemer
ltu sebagai sebuah sistem. Dalam kaitan ini dipergunakan perkataar
serangkaian dalam hubungannya dengan hubungan-hubungan (rela
‘onships) antara elemen-elemen di mana antara elemen-elemen terse
ut terjadi interaksi.

r' Dalam Studi Hubungan Internasional 5!


Dengan proses semacam inilah juga kiranya dikatakan menjadi
ciri sebuah sistem, sedangkan system theory, dalam konteks ini Iebih
cenderung mengandung makna metodologis. Setiap sistem, memiliki
tiga karakteristik:

a. Identifikasi unsur-unsur (unit-unit);


b. Hubungan antarnegara unsur-unsur; dan
c. Perbatasan (bouderies);

Dari karakteristik inilah mereka bekerja ke dalam suatu sistem


di mana bagian dari setiap unsur-unsur (elemen-elemen) itu saling
kait mengkait satu sama lain dan sebuah sistem itu dipengaruhi
atau dibatasi oleh lingkungannya yang berupa sistem-sistem lain di
luar sistem itu sendiri. Sistem politik dalam hal ini akan memiliki
konsekuensi-konsekuensi yang penting bagi masyarakat yakni berupa
keputusan-keputusan otoratif. Konsekuensi-konsekuensi inilah akan
disebut dengan "output". Namun untuk menjamin tetap bekerjanya
sebuah sistem, diperlukan "input-input" yang kondusif dan establish.
Tanpa input, sebuah sistem tidak akan dapat mengidentifikasikan
pekerjaan yang dilakukan oleh sistem itu. Proses yang datang dari input
dapat berupa kebijaksanaan-kebijaksanaan yang selanjutnya melalui
saluran "umpan-balik" masuk kembali ke dalam sistem (politik) dalam
bentuk tuntutan-tuntutan kepentingan yang baru. Umpan balik itu
memberikan basis kesinambungan yakni berupa metode pendekatan
untuk dapat menghandle hubungan dua arah (two way relationship)
antara input dan output.

Dalam praktik sistem teori yang diaplikasikan dalam studi politik


dan hubungan internasional, bahwa sistem ini pertama kali dilihat
sebagai suatu cara pandang (way of looking) terhadap fenomena-
fenomena. Maka dengan pemikiran seperti itu, dalam studi tertentu,
pendekatan sistem akan melahirkan dua dasar masalah yakni berupa
serangkaian permasalahan-permasalahan. Bagaimanakah sistem itu
dapat menghandle input-input dan output-output? Bagaimanakah
suatu sistem itu berhubungan dengan lingkungannya? Kerangka kerja

60 Studi Hubungan Internasional


sistem telah diaplikasikan ke dalam integrasi internasional, pembuatan
kebijaksanaan politik luar negeri dan konflik. Dan juga kerangka
kerja sistem ini telah dimanfaatkan dalam beberapa tingkat anaiisis
(analytical levels) dalam rangka tujuan studi politik dan hubungan
internasional:

(a) Membangun kerangka bangunan atau model sistem internasional


dalam pola-pola interaksi;
(b) Khususnya dalam processing pembuatan kebijaksanaan oleh
unit-unit sistem politik nasional, interaksi antara input yang
datang dari salah satu unit domestik dan lingkungan internasional
untuk diformulasikan ke dalam bentuk kebijaksanaan politik luar
negeri;
(c) Dalam pembelajaran interaksi antara sistem politik nasional
dengan sub-sub unit (sub-sistem) domestik, seperti misalnya opini
publik, kelompok-kelompok kepentingan, budaya, di dalam
penataan anaiisis pola-pola interaksinya;
(d) Studi faktor eksternal "linkage group" misalnya dengan sistem
politik lain aktor-aktor atau struktur dalam sistem internasionai
yang berhadapan dengan sistem politik nasional. (James E.
Dougerty & Robert L. Pfaltzgraff, jr, 1987, 113-114)

Wujud sistem dalam tingkat internasional di dalam studi


hubungan internasional, dikemukakan oleh Morton A. Kaplan (1962,
4) mengatakan bahwa definisi atau rumusan tentang sistem dalam
konteks hubungan internasional dianggap sebagai "set of variables so
related, in contradiction to its environment, that is describe behavioral
regularities characterize the internal relationships of the set of individual
variables to combinations to external variables" pendapat lainnya
dikemukakan oleh Charles A McClelland (1965, 258), sistem teori
adalah suatu teknik untuk membangun/membentuk/mengembangkan
suatu pengertian dan pemahaman hubungan-hubungan antara
ngsa-bangsa yakni bertujuan untuk mengidentifikasikan, mengukur
nteraksi ke dalam suatu sistem dan subsistem, serangkaian perilaku

Dalam Studi Hubungan Internasional 61


dalam sistem serta reaksinya kepada yang lain yang kesemuanya dapat
dipelajari dengan melalui teorisasi.

Morton A.Kaplan, dalam hal ini mengkaji teori sistem itu ke


dalam beberapa pola atau karakteristik perilaku dalam sistem (politik)
internasional. Unsur-unsur yang terdapat di daiam pola itu konsisten
dengan kebutuhan baik itu internasional maupun di tingkat domes-
tik. Pola-pola perilaku tingkat internasional saiing memiliki kaitan satu
sama lain yang dapat dispesifikasikan termasuk di daiamnya karak-
ternya; partisipasinya serta fungsinya dalam sistem politik internasion­
al. Bahwa setiap perilaku politik, dapat juga dikaitkan dengan faktor-
faktor lainnya seperti misalnya, kemampuan militer dan kemampuan
ekonomi, kemampuan komunikasi, dan informasi, perubahan teknoio­
gi, perubahan demografis dan sebagainya.

Berdasarkan pada uraian di atas, ada beberapa kemungkinan


untuk membangun alternatif-alternatif yang dapat dikonstruksikan ke
dalam enam model. Ke enam model dalam sistem internasional yang
dimaksudkan itu adalah sebagai berikut:

a. Balance of power system


Sistem pertama yang dapat dijelaskan adalah sistem internasion­
al yang memiliki sifat "balance of power" adalah sebuah sistem sosial
internasional klasik yang tidak memiliki subsistem sebagai komponen-
nya. Sistem internasional seperti ini meliputi paling tidak lima kekuat­
an besar sebagai aktor berasal dari aktor-aktor nasional yang eksklu-
sif seperti jerman, Italia dan Iain-lain yang termasuk dalam ketegori
negara-negara besar. Lima aktor nasional (paling tidak) diklasifikasikan
sebagai yang "essential national actors" untuk memungkinkan sistem
ini bekerja.

Sistem perimbangan kekuatan (balance of power) dalam konsis-


tensi internasional, mempunyai ciri tujuh dalil untuk memelihara ke­
seimbangan sistem perimbangan kekuatan dan ini yang menjadi ciri-
nya terhadap perilaku itu sendiri yakni:

62 Studi Hubungan Internasional


j Bertindak untuk meningkatkan kapabilitas, tetapi lebih baik
berunding daripada bertempur;
(b) L e b ih baik bertempur daripada terhalang untuk meingkatkan
k a p a b ilit a s ;

(c) Menghentikan perang daripada salah satu kekuatan besar lainnya


musnah;
(d) Menentang koalisi negara-negara bangsa atau kekuatan besar Iain
yang berusaha menguasai sistem internasional;
(e) Halangi negara-negara bangsa untuk menyetujui peralihan menuju
sistem keamanan global kolektif atau menuju pemerintahan dunia;
(f) Sesudah perang diizrikannya pihak yang kalah atau kekuatan besar
yang sudah dikendalikan untuk masuk kedalam sistem tersebut
sebagai kekuatan besar yang terjamin sepenuhnya atau bertindak
untuk meningkatkan beberapa negara yang tadinya lemah menjadi
berstatus negara besar dan kuat. (Morton A. Kaplan 1969, 292)

b. Sistem bipolar longgar (loose bipolar system)


Sistem ini sering disebut sebagai perang dingin yang telah
menjadi ciri khas sejarah politik internasional sejak 1945-1978. sistem
ini berbeda dengan sistem balance of power. Dalam sistem bipolar
longgar ini yang ikut serta sebagai aktor utama adalah negara adidaya
(bloc actors) seperti misalnya NATO ataupun komunis blok ataupun
aktor universal seperti PBB (Perserikatan Bangsa-bangsa). Dan hampir
semua aktor nasional menjadi aktor universal dalam sistem seperti ini.
Masing-masing negara super power tersebut bertindak sebagai sekutu,
Pelindung bahkan sebagai pengontroi untuk sejumlah negara-negara
Vang lemah akan masuk ke dalam bioknya. Ada juga negara-negara
P,nggiran yang tidak bersekutu dengan salah satu blok tersebut dan ini
yang akan bergabung ke dalam Non-Blok (nonalignment).

Jika kemudian yang terjadi adalah dua blok besar (two major
Srouping) di dalam sistem bipolar longgar ini maka gilirannya nanti
an mengalami perubahan menjadi iebih cenderung mengarah
ePada kapabilitas (kekuatan) militernya yang akan mengakibatkan

n Dalam Studi Hubungan Internasional 63


kondisi sistem ini tidak stabil. Untuk itu Morton A. Kaplan, mengajukan
dua belas dalil yang dapat digunakan untuk menjaga atau memelihara
stabilitas sistem.

(a) all blocs subscribing to hierarchical or miced hierarchical


integrating principles are ti eliminate the rival bloc.
(b) all blocs subscribing to hierarchical, or mixed hierarchical
integrating principles are to negotiate rather than to fight, to fight
minor wars rather than major wars and to fight major wars under
given risk and cost factors-rather than to fail to eliminate the rival
bloc.
(c) all blocs actors subscribing to non hierarchical organizational
principles are to negotiate rather than to fight, to increase
capabilities but to refrain from initiating major wars for this
purposes.
(d) all blocs actors are to increase their capabilities relative to those
of the opposing bloc.
(e) all blocs actors are to engage in major war rather than to permit
thrival bloc to attain a position of preponderant strength.
(f) all blocs members are to subordinate objectives of the universal
actors to the objectivies of their bloc in the event of gross conflict
between these objectivies but to subordinate the objectives of the
rival bloc to those of the universal actor.
(g) A il non-bloc members national actors are to coordinate their
national objectives with those of the universal actors and to
attempt to subordinate the objectives of bloc actors to those of
the universal.
(h) Bloc actors are to attempt to extend the remembership of their
bloc but, to tolerate the non-member position or a given n a tio n al
actors to join the rivals bloc or to support its objectives.
(i) Non-bloc member national member/ actors are to act to reduce
the danger of war between the bloc actors.
(j) Non-bloc members are to refuse to support the policies of one
bloc as against the except in their roles as members of universal-

64 Studi Hubungan Internasiond


(Iy Universal actors are to mobilize non-bloc members nationa
actors against cases of gross deviation, egresort to force by thi
bloc actors.
(I) Universal actors are to reduce the compatibility between th<
blocs. (Morton A. Kaplan, 1969, 297).

c. Sistem universal (universal system)


Sistem universal dapat di kern bangkan sebagai suatu konsekuens
atas aktor dalam sistem universal itu sendiri yang berada dalam sisten
bipolar longgar. Meskipun nampaknya sistem ini terbentuk yang sifat
nya agak informal sebagai kelompok kekuatan, namun konflik-konflil
kepentingan yang mungkin timbul akan dikembalikan kepada aturan
aturan politik dalam sistem itu. Kemudian dalam sistem ini dianggaj
sebagai suatu sistem internasional akan stabil akan tergantung pad,
perbandingan antara kapabilitasnya dan kapabilitas aktor nasiona
yang menjadi anggota dalam sistem itu.

d. Sistem bipolar ketat (tight bipolar system)


Menurut Morton A. Kaplan, sistem bipolar ketat merupakai
suatu modifikasi dari sistem bipolar longgar dalam mana aktor nor
blok sebagai peserta dan aktor universal. Sistem bipolar ketat ini bis.
kita bayangkan sebagai suatu dunia yang seluruhnya dibagi ke dalan
dua kerajaan yang satu dikepalai oleh Washington dan yang laii
oleh Moskow. Masing-masing metropolis itu berusaha secara ketc
mengontrol sekutu-sekutunya dan melanjutkan permusuhan heba
dengan kerajaan yang satu lagi.

e- Sistem berjenjang/bertingkat
Sistem internasional bertingkat bisa terbentuk dalam demokra
Sl ataupun bisa seperti otoritarian. jika hal ini dihubungkan dengai
S|stem universal internasional dianggap sangat memuaskan dan bei
^asil dalam mengintegrasi solidaritas sistem internasional. Karen,
’tulah, sistem ini lebih menunjuk kepada bentuknya yang demokra
ls- Tingginya karakteristik integritasnya yang menjadi ciri sistem in

° n Dalam Studi Hubungan Internasional 6


maka stabilitas sistem internasional dapat dijaga dengan baik (make
for greater stability).

f. Sistem veto-unit/proliferasi (unit veto system)


Sistem ini melukiskan adanya suatu sistem internasional di mana
banyak negara yang memiliki kapabilitas senjata strategis/arsenal-
arsenal senjata nuklir yang bisa mereka gunakan untuk menghambat
negara lain untuk menggunakan politik: "tidak bersahabat" terhadap
mereka, jadi, salah satu dari seratus entitas politik tertentu bisa
mencetuskan perang nuklir yang mengakibatkan malapetaka global,
jika sistem ini akan terjadi, maka akan tercipta iklim di mana orang-
orang saling bermusuhan dan saling mencurigai bagaikan orang-
orang yang berada dalam sebuah kapal besar di mana masing-masing
ingin mengerahkan perahu besar itu ketujuan yang berbeda-beda.
Orang-orang tersebut tidak akan berhasil menyelesaikan persoalan
mereka karena masing-masing memiliki kesempatan untuk menekan
tombol, yang apabila ditekan akan meledakkan kapal serta semua
penumpangnya. Jadi masing-masing bisa mengancam yang lain,
karena khawatir timbul pertikaian yang sangat besar (perang nuklir),
maka negara-negara akan cenderung memilih dan membatasi kontak/
hubungan mereka dengan melalui suatu sistem veto unit yang berarti
akan dapat kiranya mengurangi terhadap pertukaran barang-barang,
jasa-jasa dan penduduk yang akan melewati batas-batas negara.

2.2.3 Teori Pembuatan Keputusan Dalam Sistem Hubungan


Internasional

Semenjak Perang Dunia Kedua, kepentingan terhadap keputusan-


keputusan (decisions) sebagai satu unsur sentral dalam proses politik.
David Easton, yang menggunakan terminologi seperti itu ke dalam
fungsi "output" dalam sistem politik. Konsep pembuatan keputusan
telah lama digunakan dalam sejarah diplomasi dan aktivitas lembaga-
lembaga pemerintahan. Konsep ini kemudian diambil oleh studi ilmu

66 Studi Hubungan Internasional


politik untuk menganalisis perilaku keputusan/kebijaksanaan politil
para eksekutif. Studi kebijakan politik luar negeri sangat erat kaitanny;
dengan teori pengambilan keputusan/kebijaksanaan dalam stud
hubungan internasional khususnya.

Pendekatan pengambilan keputusan untuk memahami politil


internasional bukan hanya cerita saja. Pembuat keputusan/dar
pendekatan pengambilan keputusan/kebijakan yang menekankar
pada analisis: bagaimana keputusan/kebijakan diambil dan siapakah
yang mengambil/membuat kebijaksanaan/keputusan itu. (Richarc
Snyder/W.H Bruck & Burton Sapin, 1962).

Biasanya, tujuan akhir dari sistem pemikiran ini adalah sebaga


suatu penganalisisan yang menjelaskan aksi negara-negara (kebijakar
luar negeri) yang lebih eksklusif menjadi materi pokok dari politil
internasional (world politics). Hal ini akan tampak dalam skem;
sederhana berikut.

Policy maker and policy making — Foreign Policy

Namun pada dasarnya, jika kita mengatakan bahwa pengam


bilan keputusan itu sendiri merupakan karakteristik yang disebabkar
oleh dampak dari faktor-faktor lingkungan domestik. Pendekatan in
akan melihat adanya keterhubungan antara lingkungan dan pengambil
an/pembuatan keputusan. Ini juga dapat berarti, bahwa dengan meng
gunakan pendekatan seperti ini adalah untuk membedakan antara du;
komponen dalam pengambilan/pembuatan keputusan yakni: "the pol
icy makers and the policy process". Pembuatan keputusan yang serinj
disebut dengan nama pembuatan keputusan adalah individual yanj
^enduduki posisi sesuai jabatannya untuk membuat kebijaksanaan
Suatu pendekatan yang berorientasi kepada "policy makers" dapa
dikemukakan dengan memunculkan dua pertanyaan pokok yakni, (a
wnat images and goals do policy makers have, and (b) what style anc
influence do they have?

*e°ri Dalam Studi H ubunsan Internasional 6;


Pengertian "decision-making theory" dalam kaitan ini pada
dasarnya adalah satu kerangka konsep untuk mengidentifikasi sejum-
lah besar variabel-variabel yang reievan dan masing-masing variabel
itu saling berhubungan satu dengan yang lainnya. Dalam iargon-jar-
gon ilmu sosial, ada yang dinamakan “dependent variables" yakni
sesuatu yang hendak dijelaskan. jika kita tertarik dalam rangka un­
tuk membeda-bedakan antara negara-negara maka senantiasa hal ini
berkaitan dengan politik luar negeri dari negara tersebut. Politik luar
negeri merupakan suatu aktivitas yang terkadang tidak sama satu ne­
gara dengan negara lainnya atau dari tipe satu negara terhadap negara
lain yang kesemuanya ini berkaitan dengan dependent variable tadi.

Politik luar negeri merupakan output dari suatu negara ke


dalam sistem politik global. Sehingga dengan pengertian seperti
ini terkandung makna bahwa dalam cara mendekati persoalannya
ditempatkan ke dalam konsep-konsep politik luar negeri yakni dengan
meiihatnya dari beberapa komponen yang melekat dalam terminologi
" foreign" dan "policy". Kita akan mengatakan bahwa yang diartikan
dengan policy adalah sebagai suatu keputusan (decisions) atau
serangkaian keputusan-keputusan atau program-program bergerak
sebagai pemandunya. Policy sebagai pemandu untuk bergerak atau
serangkaian aksi untuk mencapai tujuan organisasi. Policy itu sendiri
pada akhirnya merupakan akar di dalam konsep "choice". Posisi politik
luar negeri justru merupakan serangkaian acuan-acuan/ haluan-haluan
untuk tindakan memilih yang dibuat tentang orang-orang, tempat dan
lingkungan dari suatu negara tertentu. (Bruce Russett & Harvey Starr,
1985, 190-191).

Namun di sisi lain juga dapat dikatakan bahwa politik luar ne­
geri pada dasarnya memiliki dua elemen pokok yakni, tujuan nasional
yang akan dicapai dan alat untuk mencapai tujuan itu. Interaksi an­
tara tujuan nasional itu dan sumber-sumber untuk mencapai tujuan
nasional itu terdapat di dalam pelaksanaan politik luar negeri yang
dimaksud. Terbentuknya politik luar negeri tidak lain adalah sebagai

68 Studi Hubungan Internasional


upaya untuk menemukan suatu eksplanasi mengenai proses pembuat­
an keputusan luar negeri (foreign policy decision making process) ser­
ta impiikasinya. Politik luar negeri, apakah kita bicara tentang proses
penciptaan/pembuatan keputusan-keputusan/kebijaksanaan-kebijak-
sanaan ataupun implementasi terhadap keputusan-keputusan itu, ke-
sem uanya itu bersifat "r e la t io n a l H a l ini berkaitan dengan perhatian
politik luar negeri untuk mempengaruhi perilaku negara lain mulai dari
tindakan-tindakan, misalnya dalam bidang perdagangan, bagaimana
menggunakannya dalam bidang persenjataan, bagaimanakah aktor-ak-
tor lain berhubungan dengan organisasi-organisasi internasional dan
sebagainya.

Disebabkan tidak ada dalam sistem internasional yang namanya


sifat yang langgeng, maka dengan demikian memaksa setiap negara
mencari dukungan sumber-sumber yang dibutuhkan, ekonomi, kapa-
bilitas militer, dukungan politik dan strategi serta kerjasama dengan
negara-negara lain. Maka dengan gambaran itu politik luar negeri jus-
tru concern terhadap perilaku-perilaku aktor-aktor lainnya yang be-
rada di luar lingkungannya. Dan pada gilirannya nanti, akan mem­
berikan dampak kepadanya (konsekuensi) akibat adanya "link" antara
perhatian dan akibatnya. Ada juga yang mengatakan bahwa politik
luar negeri, dalam kebijaksanaan luar negeri dapat dibangun secara
khusus (spesifik) dalam pengertiannya yakni berkenaan dengan tipi-
kal hubungan yang saling kait-mengkait dengan aktor-aktor lainnya d
dalam sistem internasional. Politik luar negeri yang menekankan pada
ide kesinambungan (kontinuitas) mencoba untuk mempengaruhi atai
kontrol terhadap aktor-aktor lain. Proses pengambilan dan implemen­
tasi kebijaksanaan luar negeri (process output) merupakan suatu "link'
antara "... what goes on inside a state and the world environment
outside of that states. It puts any state into communication with exter
n a l..."(Bruce Russett & Harvey Starr, 1985, 192-193).

Teori Dalam Studi Hubungan Internasional &


2.3 T IP O L O G IS P E M B U A T A N T E O R I
K E B IJ A K S A N A A N L U A R N E G E R I
Pengertian terhadap politik luar negeri tidak terlepas dari uraian
tentang teori pembuatan kebijaksanaan/ keputusan luar negeri dan
menjadi sentral dalam bagian ini. Untuk merumuskan berbagai kebi­
jaksanaan luar negeri, kita mengenai ada tiga jenis tipologis keputusan
atau kebijaksanaan luar negeri (Williams d. coplin, 1992, 32) yakni:

(a) Kebijaksanaan luar negeri yang bersifat umum terdiri dari


serangkaian keputusan yang diekspresikan dengan melalui
pernyataan-pernyataan dan kebijaksanaan serta tindakan yangtidak
secara langsung. Misalnya, "politik pembendungan" (containment
policy) Amerika Serikat (AS) pasca Perang Dunia Kedua yang
meliputi pernyataan-pernyataan politik yang bersifat luas seperti
pernyataan presiden, serta tindakan-tindakan khusus seperti
perang Vietnam (konflik Indocina). Politik luar negeri semacam
ini kebanyakan menyangkut pernyataan-pernyataan umum
serta rencana-rencana yang lebih bersifat contingency (menjaga
kemungkinan). Dan acapkali pertanyaan-pertanyaan politik luar
negeri tidak mengungkapkan sifat kebijaksanaan yang sebenarnya
akan tetapi merupakan suatu cara yang sering digunakan dalam
interaksi antarnegara. Misalnya pernyataan politikyangdilontarkan
oleh presiden Johnson yang mengimbau agar membantu Israel di
Timur Tengah dan isi pernyataan tersebut tidak menunjukkan sifat
indikatif untuk menerangkan sikap terhadap keputusan Amerika
Serikat (AS) untuk mengambil tindakan militer secara langsung
dalam menentang negara-negara Arab di kawasan Timur Tengah
tersebut, kendatipun pernyataan-pernyataan itu mengandung
implikasi ke arah yang sama.
(b) Sebagai tipe yang ke dua, terhadap keputusan luar negeri (politik
adalah keputusan yang bersifat administrative) yang dibuat
oleh anggota-anggota birokrasi pemerintah yang bertugas untuk
melaksanakan hubungan luar negeri bagi negaranya. D a la m

70 Studi Hubungan Internasionol


hal ini adalah Departemen Luar Negeri merupakan organisasi/
lembaga birokrasi negara; kendatipun ada badan-badan
pemerintahan yang lain seperti dinas militer, dinas intelijen
dan Departemen Perdagangan juga sering terlibat dalam proses
pengambilan keputusan-keputusan administratif yang selanjutnya
memberikan pengaruh terhadap kebijaksanaan politik luar negeri.
Selain diambil dari para pejabat-pejabat pemerintahan yang lebih
rendah, keputusan-keputusan administratif biasanya dibatasi oleh
ruang-lingkup dan waktu yakni diambil dalam hubungannya
dengan negara tertentu dalam masalah tertentu dan jangka waktu
tertentu pula. Contohnya, diizinkannya mahasiswa asing belajar di
Indonesia, untuk tahun-tahun tertentu. Ini merupakan keputusan
administratif yang dibuat/diambil oleh birokrasi Departemen Luar
Negeri yang di dalam tingkatannya lebih rendah. Pada saat yang
sama, sifat hubungan maupun perbedaan antara kebijaksanaan
administratif dapat dibuat ilustrasi dengan melalui kebijaksanaan
politik luar negeri Amerika Serikat (AS) mengenai masalah Berlin
dan Jerman Barat pada akhir tahun 1940-an dan tahun 1950-an.
Kebijaksanaan umum politik luar negeri Amerika Serikat (AS)
dalam hal ini agaknya lebih bersifat "politik pembendungan" yang
ditujukan kepada ekspansi Uni Soviet (US) di Berlin dan jerman
Barat bahwa hal itu harus dicegah. Karena adanya kebijaksanaan
umum politik luar negeri Amerika Serikat (AS) tersebut, maka
sejumlah keputusan-keputusan penting dan rinci harus dibuat
khususnya yang menyangkut prosedur penentuan arus manusia
dan barang yang melintasi perbatasan wilayah antara Berlin dan
Jerman Barat yang datang dari seluruh kawasan Eropa Timur.
Tampaknya keputusan-keputusan administratif itu seolah-olah
ditentukan oleh kebijaksanaan umum politik luar negeri suatu
negara. Pemimpin politik dianggap bertugas untuk menentukan
kebijaksanaan umum negara (A) terhadap negara (B) dan dalam
hal tertentu, anggota-anggota birokrasi dianggap bertugas untuk
Melaksanakan keputusan-keputusan itu. Maka dalam kasus politik

' ®alarn Studi Hubungan Internasional 71


luar negeri Amerika Serikat (AS), di Berlin dan Jerman Barat, akhir
tahun 1960-an, menampakkan kebijaksanaan politik luar negeri
umum; dan sebagian besar mengendalikan keputusan-keputusan
administratif.
(c) Tipologis kebijaksanaan politik luar negeri yang ketiga yakni
berupa keputusan-keputusan yang bersifat krisis dan merupakan
kombinasi (penggabungan) dari dua tipologis kebijaksanaan
politik luar negeri terdahulu. keputusan-keputusan bersifat krisis
bisa berdampak luas terhadap kebijaksanaan politik luar negeri
yang bersifat umum suatu negara. kebijaksanaan politik luar negeri
seperti itu, juga dapat menguatkan kebijaksanaan luar negeri
yang sudah ada seperti yang terjadi pada saat Amerika Serikat
melakukan intervensi dalam krisis Indocina 1960-an dan 1970-an.
Keputusan-keputusan krisis juga menandai pergeseran politik luar
negeri seperti yang terjadi di tahun 1950-an ketika itu Amerika
Serikat mengubah orientasi politik luar negerinya terhadap
kawasan Asia dalam hal ini mereka melakukan intervensi atas
nama rakyat Korea Selatan. Keputusan krisis juga dapat diarahkan
kepada situasi krisis meskipun efeknya menjangkau dunia
internasional, seperti perampasan kapal dinas intelejensi Amerika
Serikat, Pueblo, yang memasuki wilayah perarian Korea Selatan,
oleh Korea Utara. Dalam masalah ini apa yang telah terjadi dalam
kasus itu, bagi pandangan atau persepsi Amerika Serikat, (menlu
Dean Rusk) sebagai "kategori tidakan yang bisa ditafsirkan sebagai
tindakan perang". Keputusan krisis biasanya terbatas hanya pada
beberapa negara yang terlibat langsung dan suatu tindakan yang
bersifat temporer (sesaat saja).

2.4 P E M B U A T A N K E P U T U S A N P O LIT IK LU A R
N EG ERI SE B A G A I PEM EC A H A N M ASALAH
2.4.1 Beberapa Faktor Dalam Kebijakan Luar Negeri
Pendekatan pemecahan masalah secara rasional, menunjuk
kepada sesuatu yang id e a l yaitu b a g a i m a n a k a h m e m b u a t / m e n c ip t a k a n

72 Studi Hubungan Internasio w


suatu keputusan luar negeri yang baik atau sesuatu yang ideal. Deskripsi
yang ideal itu sebagai kemungkinan yang dapat diterapkan ke dalam
beberapa situasi dan kondisi, terutama dengan politik luar negeri
negara lain. Maka dengan demikian, akan segera tampak bahwa makna
dasar tindakan politik internasional kontemporer terletak dalam pola
permasalahannya yakni berkaitan dengan pengambilan keputusan
luar negeri yang rasional.

Pendekatan terhadap pemecah masalah secara rasional dalam


konteks pengambilan keputusan luar negeri dapat dilakukan dengan
empat langkah. Untuk mengarah ke arah sana, pembahasan kita
arahkan ke dalam empat tahapan awal yang ideal dalam pembuatan
keputusan serta dengan membuat ilustrasi terhadap keempat tahapan
tersebut dengan melalui pengambilan keputusan yang cukup dikenal
oleh pembaca yakni membuat analogi seorang mahasiswa yang akan
memilih jurusan di perguruan tinggi.

Langkah 1: Merumuskan Situasinya (Define of the Situation)

Pada tahap awal proses pembuatan keputusan, seorang maha­


siswa harus memperoleh informasi yang cukup tentang matakuliah-
matakuliah yang ditawarkan. Katalog fakultas mungkin dapat diper-
gunakan untuk itu, namun mahasiswa itu pasti tidak sekedar ingin
mengetahui jadwal, tempat dan nama-nama dosennya, akan tetapi
lebih jauh lagi dari itu (bahkan untuk mengasumsikan kehandalan
katalog tersebut). Jadi, untuk menetapkan situasi itu (to define the situ­
ation adequately) dengan tepat, mahasiswa sebagai pemecah masalah
yang rasional, harus menyadap (w ill tap) sebanyak mungkin sumber-
sumber informasi.

*-ar>gkah 2: Memilih Tujuan (Select Goals)

Baik sebelum ataupun segera setelah menemukan informasi


d'Perlukan, mahasiswa pemecah yang rasional, membutuhkan
need) memilih tujuan-tujuan. Mungkin saja ia ingin memenuhi
aratan untuk mencapai suatu gelar demi memperluas perspektif

Studi Hubungan Internasional 73


intelektualnya, ataupun untuk mempersiapkan dirinya menuju karier
setelah lulus dari universitas. Pada tahap awal dia memerlukan pilihan
atas tujuan dalam proses pembuatan keputusan. Karena tujuan-tujuan
itu bisa membantunya untuk menentukan informasi mana yang
paling relevan. Setelah tujuan diperoleh, dia segera mempersempit
lingkungan informasi (dalam hal ini informasi untuk matakuliah apa
yang perlu dikumpulkan).

Langkah 3: Pencarian Alternatif-alternatif (Search for Alternatives)

Dalam beberapa hal, para mahasiswa harus mulai memikirkan


hubungan antara tujuan-tujuannya dengan matakuliah-matakuliah
yang ditawarkan (penetapan situasi). Proses penjajakan atas berbagai
cara yang bisa digunakan untuk mencapai tujuan itu adalah pencarian
alternatif, yakni penelaahan macam-macam alatyangdiperlukan untuk
mencapai tujuan atau sasaran yang diinginkan. Seringkali tujuan-
tujuan itu sendiri mungkin merupakan alat untuk mencapai tujuan
lain. Sebagai contoh misalnya, tujuan (A) dalam suatu jurusan biasanya
dipandang sebagai bagian dari alat untuk mendapatkan pekerjaan
yang bagus. Sementara pekerjaan yang bagus itu sering dipandang
sebagai alat untuk menikmati hidup yang lebih baik. Pencaharian
alternatif adalah suatu usaha proses penemuan cara menyeiesaikan
masalah yakni, penelaahan berbagai tujuan dari segi untuk mencapai
tujuan. Kita dapat mengasumsikan misalnya, tujuan utama mahasiswa
adalah untuk memenuhi persyaratan tersebut. Determinasi seperti itu,
akan memungkinkan untuk memusatkan upayanya mengumpulkan
informasi tentang sepuluh matakuliah tadi dan bahkan informasi
tentang ratusan matakuliah yang ditawarkan oleh universitas.

Langkah 4: Memilih Alternatif-alternatif (Choosing Alternatives)

Setelah mahasiswa memecahkan masalah yang rasional tadi


cukup menjajaki seluruh alternatif yang mungkin dapatdiperoleh, maka
ia siap masuk ke tahap akhir dalam proses pengambilan keputusan
yakni dengan melangkah ke memilih alternatif. Namun terkadang
dalam proses pemilihan alternatif ini tidak perlu apabila hanya satu

74 Studi Hubungan Internasional


alternatif yang tersedia. jikalau mahasiswa hipotesis diajukan di sini
yang memiliki tujuan-tujuan yang cukup, dan setiap tujuan itu secara
bierarkis ditata, sehingga hanya satu alternatif yang bisa memenuhi
seluruh tujuan itu, maka dia tidak perlu lagi memilih alternatif itu.
Acapkali yang terjadi, pencaharian itu memunculkan sejumlah
a|ternatif yang tidak satupun di antaranya yang lebih unggul daripada
yang lain. Apabila hal ini akan terjadi, maka mahasiswa yang rasional
tadi mungkin akan memilih dengan cara acak dari alternatif-alternatif
yang sama daya tariknya.

Ke empat tugas ini merupakan proses intelektual yang biasanya


disebut sebagai pemecahan masalah secara rasional. Proses ini dirancang
untuk memaksimalkan peluang dalam pengambilan keputusan
yang tepat karena tugas-tugas itu mengutamakan pengumpulan dan
penilaian informasi yang relevan. Berbagai model yang ideal, dalam
kerangka memecahkan masalah secara rasional, keempat proses itu
didasarkan atas sejumlah asumsi bahwa:

a. Pengambilan keputusan menyadari bahwa dia sedang mengambil


keputusan dan bukan bertindak atas kebiasaan dan kebutuhan;
b. Dia menyadari bahwa tujuan-tujuan dapat memotivasinya;
c. Dia menjajaki seluruh alternatif yang muncul melalui penerapan
tujuan-tujuannya itu dengan situasi yang ditetapkannya;
d. Dia menyadari bahwa memerlukan suatu tindakan untuk
mengakumulasikannya sebanyak mungkin informasi, tidak hanya
informasi tentang bidang tersebut, melainkan juga informasi
tentang ambisi-ambisinya sendiri dalam bidang tersebut.

Ada asumsi yang mengatakan bahwa setiap pengambilan kepu­


tusan, politik luar negeri, adalah merupakan pemecahan masalah yang
secara rasional dikaitkan dengan tugas intelektual sebagaimana yang
telah diuraikan di muka, dan ini berbeda dengan pemecah masalah
Politik luar negeri terutama yang menyangkut masalah penetapar
S|tuasinya. Masalah-masalah luar negeri sebagian besar menyangku
eJumlah faktor yang kompleks karena lingkungan internasional meru

ri Dalarr< Studi Hubungan Internasional 71


pakan produk interaksi dari faktor-faktor dari psikologis, sosial, eko­
nomi, politik, teknologi dan geografis.

2.4.2 Faktor Psikologis

William D. Coplin, telah memberikan banyak informasi mengenai


faktor-faktor yang memberikan pengaruh terhadap pengambilan
keputusan/kebijaksanaan luar negeri. la ftiengelompokkannya ke
dalam tiga hal yang berkenaan dengan faktor psikologis tersebut
yakni, penetapan situasi, pemilihan tujuan, pemilihan tujuan, dan
pemilihan alternatif. (William D. Coplin, 1980, 141-154). Dalam
kaitannya dengan penetapan situasi, beberapa ilmuan sosial telah
menggunakan konsep citra (image) untuk menganalis peranan variabel
psikologis serta pengalaman-pengalaman pribadi (personal experience)
seseorang. Dengan cara seperti itu, orang-orang akan merumuskan
faktor lingkungan. Karena citra timbul dari interaksi berbagai sikap dan
asumsi yang dikembangkan seseorang dalam mempelajari lingkungan.
Kendati para psikolog baru mulai mempelajari sifat proses yang akan
menghasilkan citra, mereka sudah mengetahui bahwa pengalaman-
pengalaman masa lalu, belum lagi perkembangan kepribadiannya,
sikap-sikapnya sekarang serta komitmen-komitmen nilai, akan
memberikan pengaruh terhadap cara seseorang memandang dunianya
(lingkungannya). Karena faktor-faktor itu berbeda untuk setiap
orang, maka individu-individu yang berbeda akan mempersepsikan
lingkungannya dengan cara yang berbeda pula.

Salah satu ciri citra yang sangat mempengaruhi cara seseorang


menetapkan lingkungannya (yang pada akhirnya berpengaruh kepada
perilaku) bisa dipandang sebagai bagian dari suatu rangkaian yang
disebut dengan "citra terbuka" dan "citra tertutup". Citra terbuka
bersifat fleksibel yaitu bahwa citra itu sesuai dengan informasi baru
sehingga individu tadi disuguhi gambaran yangterbaru dan mendekati
realitas. Dan sebaliknya, citra tertutup, cenderung bersifat kolot k a r e n a
kondisinya tidak dapat dipahami secara memadai. Karena adanya

kompleksitas, dan ketidakpastian informasi mengenai lingkungan

76 Studi Hubungan Internasional


jpternasional, para pengambil/pembuat keputusan/kebijaksanaan,
membangun citra-citranya yang relatif tertutup terhadap situasi
jpternasional. Manusia cenderung menginginkan keamanan dalam
dirinya (citranya). Demikian pula yang terjadi di dalam citra tertutup
jnj yang mempengaruhi seseorang dalam sikap dan tindakannya.

Faktor psikologis yang terkait dengan unsur pemilihan alterna­


tif (choosing alternatives) dengan berdasarkan suatu anggapan bahwa
pembuatan keputusan adalah merupakan suatu proses intelektual
ra s io n a l, maka tujuannya secara eksplisit dan hierarkis dapat diru-
muskan sebagai peluang yang diberikan oleh lingkungan. Meskipun
lingkungan (internasional) akan mempersulit pembuatan pernyataan
yang tegas dan jelas dan penyusunan tujuan-tujuan, pembuatan kepu­
tusan/kebijaksanaan politik luar negeri yang rasional dan berupaya
melakukannya semampu mereka. Seseorang yang berperan sebagai
pembuat/pengambil keputusan politik luar negeri, pertama-tama, ia
akan bertindak sesuai dengan acuan motivasi yang pernah mengantar-
kannya kepada peran semacam itu. Hal ini dapat berarti bahwa para
pengambil/pembuat keputusan luar negeri akan cenderung mempu­
nyai asumsi bahwa yang baik bagi dirinya akan baik pula bagi nega­
ranya. Semakin banyak kekuasaan yang berkaitan dengan masalah-
masalah internasional maka semakin besar pulalah kekuasaan untuk
memperoleh dukungan politik dalam negerinya sendiri.

Jadi kecenderungan seseorang pemimpin politik untuk meme-


lihara dan memperbaiki posisi politiknya (dalam negerinya) akan
Membawa konsekuensi yang jelas dalam penetapan tujuan politik luar
negeri. Kebutuhan para pembuat keputusan politik luar negeri akan
kekuasaan dan prestasi memang mempengaruhi penekanan akan an-
Carnan terhadap keamanan nasional yang sering dibuat oleh para pe-
J^'^pin dari berbagai negara. Perdebatan yang terus-menerus tentang
^Pentingan nasional (national interest) diantara para pemimpin poli-
' dan saingan-saingannya di dalam lingkungan domestik, sebagian
Pat didistribusikan kepada sifat tujuan politik luar negeri yang "self­

' Dalam Studi Hubungan Internasional 77


serving" dengan otoritas politik yang ada. Ini senantiasa berlaku akibat
faktor psikologis (kebutuhan psikologis) individu; maka tampaknya
wajar apabila para pembuat keputusan politik luar negeri bertindak
sebagai wakil-wakil kelompoknya dan kepentingannya.

Faktor psikologis terkait dengan pencarian alternatif (searching


alternatives), versi rasional dalam proses pengambilan keputusan yang
mengasumsikan bahwa orang mencari berbagai alternatif yang akan
bisa mencapai tujuan. Karena ada proses psikologis yang memberikan
perngaruh terhadap orang yang menetapkan lingkungannya serta pe­
milihan tujuannya, maka usaha pencarian alternatif itu biasanya tidak
sistematis dan tidak mendalam. Untuk lebih memperjelas ciri perilaku
pembuat/pengambil keputusan dalam organisasi-organisasi adminis­
tratif, diilustrasikan dengan contoh sebagai berikut: kita mengasum­
sikan bahwa seseorang yang akan membeli rumah yang mempunyai
kamar tidur tiga buah dan harganya tidak lebih dari Rp. 50.000.000,-
Orang akan mulai melihat-lihat rumah yang akan dijual itu sesuai
dengan urutan-urutan nomor. Kita mengasumsikan bahwa ada lima
kemungkinan: (a) sebuah rumah yang mempunyai kamar tiga, dengan
harga Rp. 50.000.000,- (b) sebuah rumah yang memiliki kamar tidur
tiga yang harganya Rp. 40.000.000,- (c) sebuah rumah yang memiliki
kamar tidur tiga yang harganya Rp. 45.000.000,- (d) sebuah rumah
yang memiliki dua kamar tidur seharga Rp. 35.000.000,- (e) sebuah
rumah dengan tiga kamar tidur seharga Rp. 20.000.000,- Apabila ia
melihat rumah yang sesuai dengan nomor urut tersebut, maka seha­
rusnya membeli rumah nomor (c) dia mestinya tidak akan melanjutkan
penjajakan terhadap seluruh kemungkinan lainnya dan mestinya, ia ti­
dak akan melihat rumah nomor (e). Ini merupakan pencarian alternatif
sampai kepada menemukan kepuasan.

Namun dampak faktor sosial terhadap usaha pencarian alternatif


sangatlah penting. Jangkauan perhatian individu agak terbatas dan juni-
lah faktor yang dapat diingat dan diperkirakannya secara berbareng-
an jarang mampu mengimbangi kompleksitas permasalahan yan8

78 Studi Hubungan Internasionol


harus dipecahkan oleh mereka. Selain itu, ketidakmampuan untuk
n1enetapkan tujuan yang hendak dicapai cenderung membatasi ke-
mampuan mereka untuk melihat alternatif-alternatif yang saling ber-
tentangan dan proses kognisinya yang mengitari interpretasi mereka
tentang lingkungan yang terkadang mengakibatkan kemampuan untuk
melihat kondisi-kondisi yang memberikan pengaruh terhadap mem-
formulasikan keputusan politik luar negeri maka konsep "satisfaction"
yang paling tepat untuk menggambarkan usaha pencarian alternatif-
alternatif kebijaksanaan politik luar negeri.

Faktor psikologis yang terkait dengan pemilihan tujuan-tujuan


(Choosing Goals) kendatipun, ada beberapa kendala atau kesukaran-
kesukaran intelektual dalam proses psikologis yang melingkupi para
pengambil keputusan politik luar negeri dalam menetapkan situasi
pemilihan tujuan dan pencarian alternatif, pemilihan alternatif
tidak mengikuti pola pengambilan keputusan menurut model ideal
sebagaimana yang telah diuraikan di muka. Secara singkat, para
pengambil keputusan politik luar negeri mengalami kesulitan dalam
menentukan konsekuensi suatu tindakan (sikap) termasuk di dalamnya
menentukan nilai konsekuensi tersebut apabila diambil.

2.4.3 Faktor Organisasional Pengambilan Keputusan Politik Luar


Negeri

Dalam rangka memahami perilaku pengambilan keputusan


politik luar negeri, kita tidak hanya perlu menelaah persoalan-persoalan
intelektual yang dihadapi oleh para pengambil keputusan politik luar
negeri serta faktor-faktor psikologis yang akan mempengaruhinya akan
tetapi perlu juga memahami dampak latarbelakang organisasional. Para
Pengambil keputusan politik luar negeri bekerja menurut serangkaian
Peran yang terorganisasi. Mungkin saja ia seorang Presiden, Perdana
Menteri (PM), Menteri Luar Negeri (Menlu) atau mungkin saja ia
termasuk salah seorang penasihat pengambil keputusan tertinggi.
Mungkin saja seseorang itu menduduki posisi yang rendah dalam
birokrasi politik luar negeri umum, namun ia tetap dipengaruhi oleh

Teori 0alam Studi Hubungan Internasional


struktur organisasional umum tempat di mana ia bekerja yakni dengan
melalui arus komunikasi dan interaksi sosial dalam organisasi itu.

Dalam bagian ini kita akan menelaah karakteristik umum tentang


pembuatan/pengambilan keputusan-keputusan organisasional yang
berskala besar serta dampak khusus faktor-faktor organisasional bagi
pengambil/pembuat keputusan politik luar negeri yang terdiri dari
(William D.Coplin,1980, 149-154):

a. Penetapan Situasi (Defining Situation)


Sebagai salah satu fungsi birokrasi politik luar negeri adalah
memberikan informasi tentang lingkungan internasional bagi para
pengambil/pembuat keputusan. Citrayangdimiliki pengambil/pembuat
keputusan tetang lingkungan internasional sampai pada taraf tertentu
terbentuk dan dipelihara melalui informasi yang diberikan dengan
melalui operasional dinas intelijen dalam birokrasi tersebut. Badan-
badan yang dimaksudkan di sini adalah badan-badan yang memegang
peranan yang penting dalam kaitannya dengan pengambilan/
pembuatan keputusan dalam konteks lingkungan internasional.

Banyak faktor yang menandai perkembangan citra tentang


lingkungan internasional terutama dalam organisasi-organisasi yang
berskala besar dan juga ditandai oleh birokrasi politik luar negeri.
Wawasan dan bahkan informasi yang bertentangan dengan citra-
citra sebelumnya sering diabaikan dan bahkan dilupakan oleh dinas
intelijen yang ingin agar tetap "relevan" bagi para pembuat/pengambil
keputusan. Namun kenyataannya informasi yang diberikan oleh
badan ini jarang disarikan oleh para pembuat/pengambil keputusan
dari tingkat yang paling tinggi.

Setelah memahami adanya kecenderungan birokrasi untuk


membuat pandangan yang membias tentang dunia, para pengambil/
pembuat keputusan sering mengupayakan mencari informasi dari luar.
Para pakar perguruan tinggi, surat-surat kabar lokal dan bahkan teman
teman sering dimanfaatkan sebagai sumber informasi alternatif. Sela|n

80 Studi Hubungan Inte rnasioi&


dari itu , dalam kondisi tertentu misalnya dalam situasi yang kritis,
saluran-saluran birokrasi reguler yang bertugas untuk mengumpulkan
jp fo rm a s i, masih tetap merupakan andalan, khususnya pada tahap
p ra k ritis dan tahap dinikritis.

h Pemilihan Tujuan (Selecting Goals)


Pemilihan tujuan terhadap kebijaksanaan politik luar negeri
tidak dipandang sebagai fungsi birokratik politik luar negeri yang sah.
Di negara-negara yang memiliki sifat sistem politik yang demokrasi,
dan bahkan yang secara teoritis para pemimpin politik yang mewakili
aspirasi masyarakatnya adalah para wakil yang mengartikulasikan
tujuan-tujuan politik luar negeri. Namun disebabkan karena birokrasi
politik luar negeri membutuhkan tujuan-tujuan tersebut agar bisa
menata aktivitasnya, maka birokrasi memainkan peranannya dalam
pemilihan tujuan-tujuan tersebut.

Kita mengasumsikan bahwa proses pemilihan tujuan dalam


birokrasi politik luar negeri mirip dengan yang terjadi pada organisasi-
organisasi berskala besar. Tujuan bisamembantu pencapaian konsensus
dalam birokrasi dengan memberikan suatu arahan umum bagi para
personal administratif. Maka selanjutnya tujuan yang dimaksudkan itu
biasanya ditetapkan secara luas dan relatif stabil dalam jangka waktu
panjang. Dan sebagai salah satu contoh bagaimana tujuan politik luar
negeri yang ditetapkan secara luas dan yang memiliki sifat langgeng
adalah dalam "politik kebijaksanaan pembendungan komunisme".
Meski tujuan tersebut diartikulasikan pada akhir tahun 1940-an, politik
semacam itu lebih mengarah pada predisposisi umum terhadap Uni
Soviet (US) ketimbang kepada politik luar negeri. Misalnya, sebelum
tahun 1950-an, belum jelas apakah Amerika Serikat (AS) menganggap
Perlu untuk melindungi Korea Selatan atas serangan dari pihak Korea
^tara dalam kerangka pembendungan komunisme. Karena cirinya
^ang umum, maka teori pembendungan atau politik pembendungan
Containment policy) merupakan tujuan umum politik luar negeri
^ e rik a Serikat (AS) sejak akhir tahun 1940-an.

0r' Da(am Studi Hubungan Internasional 81


c. Pencarian Alternatif (Searching Alternatives)
Pencarian alternatif dalam kebijaksanaan politik luar negerj
yang di dalam birokrasi politik luar negeri dibatasi oleh faktor-faktor
yang beroperasi hampir di seluruh birokrasi yang berskala besar yang
biasanya dilembagakan sesuai dengan beberapa garis fungsional. Hal
ini dapat diartikan kedalam unit-unityangdirancang untuk mengulangi
kondisi-kondisi lama. Secara umum, efek kecenderungan itu adalah
agar organisasi yang berskala besar tadi lebih bersifat "satisficting"
ketimbang "memaksimalkan" pencarian alternatif secara sistematis
dalam birokrasi politik luar negeri yang paling tidak harus berlangsung
dalam kondisi yang kondusif. Oleh sebab itu, jarang diperoleh sumber-
sumber yang diperlukan untuk menjajaki berbagai alternatif.

Selain daripada itu, karena kompleksitas dalam masalah-ma­


salah keputusan yang semakin meningkat lingkup alternatif pada
pelaksanaannya secara radikal, biasanya dipersempit. Konsekuensinya
berbagai alternatif akan disisihkan terlebih dahulu sebelum masalah
itu dipelajari dengan seksama. Oleh karena itu alternatif yang bersifat
radikal kurang memiliki akses untuk mempertahankan tahap penyem-
pitan awal. Ilustrasi klasik tentang birokrasi politik luar negeri yang
menolak serangkaian alternatif setelah dipertimbangkan secara sung-
guh-sungguh tahun 1952 dan 1958 untuk mengisolasikan Cina Komu­
nis dari lingkungan internasional.

d. Pemilihan Alternatif (Choosing Alternatives)


Birokrasi politik luar negeri yang biasanya memilih a lte rn a tif

yang secara radikal tidak bertentangan dengan alternatif masa lalu dan
masa yang akan datang yang tidak mengandung risiko tinggi. A nggota-

anggota birokrasi ini relatif lebih lama menduduki posisi m erek a

dibanding dengan para pembuat atau pengambil keputusan di tingkat

atas lainnya. Lamanya waktu itu menimbulkan ketegangan d ian tara

para pengambil atau pembuat keputusan politik luar negeri yar18


bertujuan memeperkenalkan suatu kebijaksanaan yang sama se
berbeda dengan anggota-anggota tetapi birokrasi yang memandan

82 Studi Hubungan Internasi° ,

*
ubahan tersebut sebagai yang akan mengancam posisi mereka bila
^dak r n e n g im p l'k a s ik a n kritik terhadap penampilannya. Hal ini pada
urnnya berlaku dalam birokrasi politik luar negeri di mana sikap
^ereka menunjukkan bahwa yang bukan anggota birokrasi dianggap
tidak memahami masalah yang sebenarnya.

Meskipun birokrasi politik luar negeri mungkin secara tidak


t e rb u k a menentang seseorang pengambil/pembuat kebijakan politik
luar negeri yang berupaya memperkenalkan kebijaksanaan politik
luar negeri yang baru dan memiliki sifat yang agak evolusioner,
mereka bisa berpengaruh yang cukup besar terhadap pelaksanaan
kebijaksanaan politik luar negeri tersebut. Karena birokrasi yang
mengimplementasikan keputusan-keputusan yang bersifat umum
dalam politik, dilakukan dengan melalui serangkaian keputusan
administratif untuk kasus-kasus spesifik maka ia hanya bisa secara
lambat mengubah kebijaksanaan itu agar sesuai dengan pandangan-
pandangannya.

Selain berhadapan dengan organisasi-organisasi yang cenderung


menolakalternatifkebijaksanaanyangbaru itu, para pembuat/pengambil
kebijaksanaan/keputusan politik luar negeri sering berhadapan dengan
atau dihadapkan kepada pendapat-pendapat yang berbeda dengan
pilihan-pilihan kebijaksanaan/keputusan dalam birokrasi. Akibat dari
pertentangan itu, dalam birokrasi politik untuk jangka waktu yang
Panjang, akan berpengaruh bagi pemilihan alternatif politik luar negeri
yang memiliki sifat konservatif. Karena memahami adanya perbedaan-
Perbedaan opini seperti itu maka para pembuat/pengambil keputusan
P°litik luar negeri mengalami kendala/kekurangan dalam kerangka
merancang alternatif-alternatif yang bersifat radikal.

Adapun yang bisa terjadi dalam pilihan-pilihan lain, jikalau


a 1Perubahan, khususnya untuk menghindar dari efek pemodernan
8 dilakukan oleh birokrasi, diperoleh melalui permainan krisis
nan dalam kerangka rancangan, penyusunan politik luar negeri
8 biasanya tidak ditangani melalui saluran-saluran biasa dalam

°^arn Studi Hubungan Internasional 83


birokrasi akan tetapi melalui kelompok-kelompok ad hoc
beranggotakan penasihat-penasihat yang dipercaya untuk mena v l
hal itu. Contoh, sebagaimana yang pernah dilakukan oleh a ^
Serikat di Korea maupun yang terjadi terhadap krisis rudal
Keputusan yang bersifat krisis, bisa jadi lebih radikal daripada *
dipikirkan; karena para pembuat/pengambil keputusan p o litik ^
negeri mampu menghindari birokrasi, dengan cara "fait acco/n M
Terkait dengan persoalan tersebut, David Easton (1953, 129) tel^
membuat satu definisi tentang objek penelitian ilmu politik luar negeri
“ the authoriative allocation of values for a society". Pokok pikiran ini
sebenarnya berkaitan erat dengan pokok-pokok pikiran yang terdapat
dalam konsep keputusan politik. Meskipun secara teoritis pembuatan
keputusan (decision making theory) tidak selalu sama persis atau
tidak dalam kondisi yang "general agreement: bagi proses politik
pengambilan keputusan. Namun di sisi lain, terdapat yang secara
mendasar, memiliki kesamaannya sebagai suatu proses.

Proses politik dalam pengertian pengambilan keputusan politik

luar negeri pada permulaan diskusi tentang teoritisasi kebijaksanaan


politik luar negeri, telah disinggung bahwa suatu keputusan senantiasa

berkaitan erat dengan tindakan "a choice among alternatives’.


Pemilihan-pemilihan alternatif-alternatif yang berdasarkan kepada

proses psikologis-intelektualitas dalam mana, telah terjadi berbagai

tindakan-tindakan yang mengarah kepada sifat kompetitif, konflik

konflik dan akomodasi kekuatan-kekuatan di lingkungan eksternal-

Berkenaan dengan masalah ini, Charles O. Lerche, Jr dan Abdul Sai

(1963, 31), menggambarkan proses pembuatan keputusan politik u


negeri sebagai berikut:
f 3 cgt ^
"If foreign policy thus consist of the application or
internalized criteria of judgment to a dynamic external s itu a t i° r j U

may conceptualize the process as consisting of the following ^


(a), the establishment of the original criteria; (b). the d e te r m 1 ^

of the relevant variables in the situation; (c). the m easu rem en t

in t e r *
S t u d i H u b u n g a n in t
84
by the criteria; (d). the selection of the objectives; (e). the
variableS a strategy to reach the objectives; (f). the decision to
elab° rati°he action itself; (h). the evaluation of the results of the action
f ^ o f ^ o r i p n a f criteria'.

p rmulasikan yang dikemukakan Lerche dan Said Abdullah di


m e n u n ju k k a n betapa pentingnya suatu rumusan yang jelas dan
at3S/ di dalam kondisi dan situasi yang akan dilalui oleh pengambil
te^3S n Langkah ini ditempatkan ke dalam suatu proses pembuatan
k putusan sebagai: "a theoritical statement of what the foreign policy

making '

244 V ariab el-variab el Pengaruh Dalam Pengambilan Keputusan


Politik Luar Negeri

P e r m u la a n upaya studi perbandingan politik luar negeri dimulai


dengan membangun teori yang lebih eksplisit. Bagaimana kita dapat
mengetahui teorinya yang senantiasa disebut sebagai "pretheory" ke­
bijaksanaan politik luar negeri sebagaimana yang pernah dikemuka­
kan o le h James N. Rosenau (1980, 115) yang membuat suatu asumsi
bahwa ada tiga aspek penting dalam kedudukan suatu negara yakni,
dilihat dari atau menurut ukurannya terbagi ke dalam negara besar dan
negara kecil. Negara yang dikategorikan ke dalam aspek pembangun-
an ekonomi dikenai negara maju (developing countries) dan negara
Ypng sedang berkembang (underdeveloping countries) dan negara-
ne8ara Vang dilihat dari aspek sistem politiknya, adalah negara-negara
ipng rnemiliki sistem politik terbuka dan tertutup.

Uj Selanjutnya, James N. Rosenau (1980), bergerak ke arah penjelas-


fi^ u h T 6113' memkanSun kerangka beberapa variabei yang berpe-
Dalam , epaC*a pembuatan^PenSambilan keputusan politik iuar negeri.
nieneta k" Un^an 'n‘ Barnes N. Rosenau memberikan catatan untuk
den atau ^ SUatu ,re^at,ve potencies" dari variabel-variabel indepen-
^aPat diki'an^' member'*<an pengaruh kepada politik I uar negeri yang
as'fikasikan ke dalam 5 (lima) kategori yakni:

j DqIq

^ Hubungan Internasional 85
a. Variabel Idiosyncratic (Variabel Individual)
Variabel ini senantiasa berkenaan dengan persepsi, image dan
karakteristik pribadi si pembuat keputusan politik luar negeri, antara
lain terlihat di dalam kondisi-kondisi seperti, ketenangan versus
tergesa-gesa; kemarahan versus prudensi; pragmatis versus ideologj
yang bersifat pembasmian atau pemberantasan; ketakutan versus sikap
percaya diri yang berlebihan; keunggulan versus keterbelakangan;
kreativitas versus penghancuran.

Memang tidak dapat disangkal bahwa karakteristik psikologis


terutama para pemimpin terhadap ideologi serta para pembuat dan
pelaksana politik luar negeri khususnya akan memberikan pengaruh
tertentu terhadap hasil politik yang dibuatnya. Namun demikian,
variabel yang dihubungkan dengan karakteristik psikologis/ideologis
tadi, sangat sulit untuk dibuat suatu ukuran atau evaluasi tertentu.
Misalnya apakah variabel-variabel seperti status perkawinan, jenis
kelamin dan kualitas pendidikan, latar belakang sosial orang tua,
status ekonomi dan teman-teman dekat, akan dapat memberikan
pengaruhnya terhadap keputusan yang mau dibuat atau diambil oleh
si peminjam tadi?

Psikiater terkenai bernama Erich Fromm, membuat suatu


kesimpulan terhadap suatu studi tentang pemimpin-pemimpin politik

tertentu pada masa peperangan menjabat sebagai kepala pemerintahan;


misalnya Adolf Hitler ataupun Winston Chruchill. (Enrich From m ,

1973). Namun yang menjadi pertanyaan bagi kita adalah, apa dam p ak
hubungan Inggris-Jerman (menurut sejarah pada umumnya) a p a b ila

ternyata Adolf Hitler adalah seorang arsitek yang mapan dan W in s t o n

Chrunchill, menjadi wartawan, novelis dan artis yang terkenai. Atau


dengan pertanyaan yang lebih spesifik, apa dampak k e p r ib a d ia n

seseorang terhadap kebijaksanaan poiitik luar negeri? Pemimp'11


p e m im p in politik kharismatik seperti Kemal Attaturk, V.l. Lenin, John
F. Kennedy, Marshal Tito, Fransisco Franco, Konstantie KaranmaliS'
Indira Gandhi, Anwar Sadat, Juan Peron, U skup Agung Makarios, Jof*1

■ rtf1
86 Studi Hubungan Internas’0
Kanyatta' Golda Meir, Charles de Gaulle dan mungkin juga termasuk
Soekarno, telah memberikan banyak kesempatan kepada kita untuk
mempelajari dampak dari aspek kepribadian seseorang terhadap
p e m b u a ta n sampai kepada pelaksanaan politik luar negeri khususnya
dan dalam negeri.
Cukup adil misalnya jika kita akan membuat suatu asumsi bahwa
dam pak variabel ideosikratik lebih besar pada keputusan-keputusan
yang bersifat pragmatis. Selama masa krisis, beban keterbatasan waktu
dan ancaman terletak di atas bahu para pemimpin negara serta beberapa
penasihatnya yang bisa secara cepat dikumpulkan. Mirip dengan itu
a d a la h keputusan-keputusan di negara-negara yang bersifat otoritei
dan totaliter; oleh pendangan teori atau pendekatan ideosinkratik
nampaknya lebih gampang untuk dijelaskan ketimbang yang terdapa'
di negara-negara yang memiliki sifat atau sistem pemerintahan yan§
demokratik dicerminkan di dalam kondisi kompetitif.

Maka dalam hubungan ini karakter seseorang pemimpin (sifa


pribadinya) dalam hal ini memiliki kecenderungan diktator, iebih
mudah kiranya untuk direfleksikan ke dalam semua kategori keputusar
itu jika dibandingkan dengan sifat kepribadian sang pemimpir
demokratik di mana dalam masalah ini ia harus tunduk kepad;
aturan-aturan seperti dalam check and balance pemerintah,. pers yan|
bebas, parlemen atau kongres, pendapat umum, kelompok-kelompol
penekan dan sebagainya.

b- Variabel Peranan (role)


Variabel peranan ini agak sulit dijelaskan dengan tepat. Dar
Umurnnya variabel ini didefinisikan sebagai gambaran pekerjaan atai
sebagai aturan-aturan yang diharapkan bagi seseorang yang berkom
Petensi terhadap pembuatan dan pelaksanaan kebijaksanaan politil
uar negeri khususnya. Hal ini disebabkan oleh karena pada prin
j a ^ 3 C^ °'ce" ^an "choosing" dari berbagai kegiatan dan ini ber
Sa|.n sesLjai dengan proses dan semua bagian-bagian prosesing iti
ln8 memiliki kaitan satu dengan yang lainnya selanjutnya masul

' Dalam Studi Hubungan Internasional 8


ke dalam proses kebijaksanaan atau keputusan-keputusan. Pembuat­
an keputusan-keputusan yang berpusat kepada orang-orang di dalam
suatu proses kebijaksanaan luar negeri dan bagian-bagian dari proses
tersebut berkaitan erat dengan pemilihan-pemilihan alternatif yang di­
lakukan oleh orang-orang sebagai pembuat dan pengambil keputus­
an tersebut. Maka dalam kaitannya dengan peranan (rote), tercermin
di dalam kondisi interaktif antara individu dan sistem politik. Secara
bersamaan mereka muncul di dalam peranan-peranan merupakan ha-
rapan bahwa, sebuah sistem akan bekerja di dalam sifat individual itu
sendiri atau paling tidak, individu itu harus menerjemahkan harapan-
harapan yang dimaksudkan.

Variabei peranan bisa lebih operatif di dalam sistem politik


demokratif-kompetitif; hal ini disebabkan karena pada pembuatan
keputusan dalam perilakunya lebih bisa terlihat dan terbuka bagi kritik-
kritikan, dan juga disebabkan kapabilitasnya sebagai "individual's
personality" khususnya dalam keterampilan trik-trik politik atau dengan
perkataan lain, mungkin karena orang tersebut telah memiliki "power
and the skill" yang duduk dalam pemerintahan. Maka karakteristik
kepribadian akan iebih signifikan pengaruhnya sehingga dampak
yang pertama di dalam peranan jelas tampak sebagai suatu variabei
pengaruh.

c. Variabei Birokratik (governmental)


Variabei ini menyangkut pada struktur dan proses pemerintahan
serta impiikasinya terhadap pelaksanaan politik luar negeri. Studi
semacam ini sangat menarik dan ini juga sudah pernah d ila k u k a n

oleh Graham T. Allison dan Morton Halperin, terutama yang


memperhatikan masalah dan kompleksitas dan n u a n sa - n u a n sa

politik-birokratik. (Graham T. Allison, 1971). Digambarkan bahwa


kompleksitas birokratis merupakan karakteristik normal yang terdapat
hampir di semua negara-negara di dunia ini. Sebagai contoh, bag'
para penstudi politik birokratik politik mengatakan bahwa daripad3
mempelajari "kebijaksanaan-kebijaksanaan" Amerika Serikat (AS)

88 Studi Hubungan Internasion°


Eropa dan Uni Soviet (US) lebih baik berpikir menurut pandangan
angkatan Darat (AD), Angkatan Laut (L) dan Angkatan Udara (AU), CIA
dan Departemen Luar Negeri (Deplu) yang dalam hal ini di antaranya
berada dalam kondisi saling bersaing untuk mempengaruhi keputusan-
keputusan Presiden Amerika Serikat (AS) Lyndon B. Johnson, Richard
Nixon, Gerald Ford, Jimmy Carter dan Ronald Reagen dalam berbagai
isu .

Ini merupakan gambaran yang menunjukkan keputusan yang


n o n r a s io n a l nampaknya lebih rumit apabila seseorang mengetahui
bahwa masing-masing badan perwakilan pemerintahan dibagi ke dalam
domain atau ranah administratif, faksional dan personalitas. Lagi pula,
antara keputusan-keputusan dalam negeri dengan implementasinya
di luar negeri, besar kemungkinan telah terjadi salah persepsi,
ketidaksepakatan, distorsi kalkuiasi dari berbagai perintah dari atasan
dan bahkan keputusan palsu terhadap mereka. Oleh karena itu variabel
ini menyangkut para pejabat birokrasi, perumusan dan pelaksanaan
kebijakan-kebijakan itu.

d. Variabel Sosial (societal)


Dalam hal yang menyangkut variabel sosial, maka kita akan
mengarahkan perhatian kita kepada identifikasi efek struktur kelas,
penyebaran, (distribusi) pendapatan, status dan persamaan ras
linguistik, budayadan agama terhadap politik luar negeri negara-negara
tertentu. Di sisi lain kita juga bisa mengatakan bahwa negara, di mana
di daiamnya timbul perpecahari rasial dan etnis, akan terlebih dahuii
mengendalikan perpecahan tersebut sebelum memulai langkah-
langkah lain yang boleh jadi akan memberikan pengaruh terhadap
Politik luar negeri yang ofensif.

e- Variabel Sistemik (systemic influences)

Dalam penjelasan mengenai variabel sistemik, kita dapai


err>asukkan seluruh struktur dan proses sistem internasional. Sisterr
(6 ^ nasional yang memiliki pola atau model perimbangan kekuatar
ar>ce of power) yang boleh jadi akan memberikan dampaknyi

Dalam Studi Hubungan Internasional 8'


kepada kebijaksanaan politik luar negeri Negara-negara, akan berbeda
dengan dampak sistem internasional yang memiliki pola bipolar.

Dengan menggunakan hipotesis yang dikemukakan oleh Morton


Abraham Kaplan (1968, 385) bahwa dalam hukum-hukum sistem pola
perimbangan kekuatan politik luar negara-negara, akan nampak lebih
fleksibel, pragmatis, non ideologis dan pada umumnya, terkekang.
Sebaliknya dalam aturan-aturan bipolaritas, kita dapat menguji apakah
negara terdesak untuk masuk ke dalam aliansi-aliansi yang dapat

bertahan lama yang sama-sama ekskiusif yang diorganisasikan dan


dipimpin dengan baik serta mempunyai orientasi ideologis. D a la m

lingkungan bipolar, perang dingin pragmatis diduga akan membuka


jalan menuju ortodoksi politik dan ideologik, kecurigaan-kecurigaan
terhadap perumusan global mencapai tingkat landasan politik dan
saling mendesak untuk bertindak secara kasaryang hanya diakibatkan
oleh perang nuklir secara total.

Variabei sistemik juga meliputi kebijaksanaan-kebijaksanaan


dan tindakan-tindakan negara lain kiranya dapat mendorong studi
ini lebih intensif. Oleh pakar teorisasi studi hubungan internasional
(international relations) yang beraliran saintifik mengajukan suatu
asumsi bahwa politik luar negeri adalah sekumpulan respons
(tanggapan) terhadap tantangan-tantangan dan kesempatan eksternal.
(Richard N. Roscrane (1963), Charles MacClelland, 1966), Hans j.
Morgenthau, 1973, Raymond A. Aron, 1966). Mereka ini memandang
bahwa politik luar negeri sebagai tujuan negara yang diidentifikasikan
secara rasional dan bertindak melalui pemerintahannya. Tujuan-
tujuan tersebut untuk mencapai dan memaksimalkan kesempatan-
kesempatan dan yang berkaitan dengan apa yang hendak dicapai.
Serangan ke Vietnam Utara terhadap Vietnam Selatan misalnya, dilihat
oleh para pembuat keputusan politik iuar negeri Amerika Serikat (AS)
sebagai upaya suatu negara yang didukung oieh Uni Soviet (US) dan
Cina untuk mengganggu eksistensi perimbangan kekuatan {b a la n c e o f

power) di kawasan Asia Tenggara.

90 Studi Hubungan Internasioriol


Namun dalam setting yang iebih sempit, pemerintah Vietnam
|atari (sebeium jatuh 1976) dianggap oleh Amerika Serikat (AS)
sebagai yang "berguna daiam situasi persahabatan" sehingga dianggap
perlu u n tu k memberikan dukungan terutama dalam perjuangannya
^eiawan musuh-musuh intemalnya (Vietcong) dan musuh eksternal
yakni orang-orang Vietnam Utara. Jika ha! ini tidak dilakukan, maka
m usuh-m usuh tadi itu akan mengalahkan pemerintahan Vietnam
Selatan dan secara langsung, akan merugikan kepentingan Amerika
Serikat di kawasan Asia Tenggara khususnya. Analisis situasi seperti
ini le b ih bersifat horizontal. Pertikaian antara negara-negara, terutama
dalam k a ita n n y a dengan batas-batas negara-negara, terutama dalam
k aita n n ya dengan batas-batas wilayah, serta sumber-sumber alam,
dian g g ap sebagai resultante atas konflik-konflik kepentingan nasional
disandera di daiam kawasan sistem internasional.

D AFTA R P U S T A K A

Chilcote, Ronald, H., Theories of Comparative Politics: The Search for


a Paradigm, (Boulder, Colorado: Westview Press, 1981)

Coplin, William, D., Introduction to International Politics, (New


jersey: Prentice-Hali, 1980)
Dougherty, James, E & Robert L.Pfalzgraff, jr., Contending Theories
of International Relations, (New York: J.B Lippincoat Company,
1987)

Dyke, Vernon, van., Political Science: A Philosophical Analysis,


(California: Stanford University Press, 1977)

Easton, David., The Political System, (New York: Alfred A Knot,


1953)

arnsworth, David, N., international Relations An Introduction,


(Chicago: Nelson-Hall, 1988)
Gandhi, Madan, G., Modem Political Theory, (New Delhi: Mohan
Primlahi, 1981)

ori Dalam Studi Hubungan Internasional 91


Garnett, John, C., Commonsense and the Theory of International
Plitics, (Albany: State University of New York, 1984)

Holsti, K,J., Intenational Politics A Framework, (New jersey,


Englewoods Cliffs: Prentica Hall, 1977)
Isaak, Alan C , Scopes and Method of Political Science An Introduction
to Scopes to the Methodology of Political In q u iry, (Homewood,
lllioni: The Doresey Press, 1981)

Lerche, Charles, O & Abdul A, Said., Concept of International Politics,


(New Delhi: Prentice-Hall of India Private Ltd, 1972)

Macclelland, Charles ,A., System Theory and Human Conflict, (Elton,


New Jersey: Prentice-Hall, 1965)

Rapoport, Anatol., Various Meanings of Theory, American Politics


Science Reviews, Mi (Decem ber,!958)

Wasby, Stephen,L., Political Science the D icipline and It's Dimensions


An Introduction, (New york: Charles Scribner and Sons, 1970)

-ooOoo-

92 Studi Hubungan Internasion0 ,j


M O D EL PEM BUATAN K EPU TU SA N
P O LIT IK LUAR. N E G E R I U N IT D A N
T IN G K A T ANALISIS

3.1 M O D EL K O N S E P T U A L P E M B U A T A N
K E P U T U SA N P O LIT IK L U A R N E G E R I

3.1.1 Tiga Model Pembuatan Keputusan Politik Luar Negeri

Pembuatan keputusan {decision making) itu sendiri pada dasarnya


adalah merupakan suatu proses, yang pada akhirnya akan berhadapan
dengan tindakan pemilihan-pemilihan {choosings) ke dalam beberapa
alternatif-alternatif untuk mencapai tujuan dari pembuatan keputusan
tersebut. Maka dalam kaitan ini timbul pertanyaan: apakah yang
diartikan dengan proses pembuatan keputusan, faktor-faktor apa
sajakah yang barangkali dapat mempengaruhinya terutama bagi
tindakan pembentukan keputusan itu, serta bagaimanakah pula
cara melakukannya? Dan juga studi tentang pembuatan keputusan
berkaitan erat dengan diskripsi tentang "... how people behave as
Well as how how people should behave to get the 'best decisions".
(Bruce Russett & Haarvey Starr, 1985, 271) Proses pembuatan
^ Putusan yang idealnya, lebih menekankan kepada cita-cita/gagasan,
Mana keputusan tersebut merupakan keputusan yang dianggap
k §at rasional sifatnya (the most rational decisions). Ide seperti itu
nYak mengandung perdebatan terutama mengarah kepada apa yang
diartikan dengan "rationality" secara tegas. Namun dengan ungkapan
yang sangat sederhana bahwa yang diartikan dengan "rationality"
dapat digambarkan sebagai suatu hubungan antara cara mencapainya
dan tujuan-tujuannya. Atau dengan kata lain, rasionalitas merupakan
suatu aktivitas untuk mencapai tujuan tersebut, dilakukan melalui
suatu proses. Dalam kerangka ini, diperlukan suatu konstruksi
bangunan yang sering disebut sebagai: "the deal rational model of
decision making". Dalam kaitan ini dihadapkan dengan pembuatan
kerangka atau rumusan terhadap keputusan-keputusan politik luar
negeri (foreign policy decision making) diupayakan secara nyata
kedalam wacana yang idealis tadi.

Teorisasi studi hubungan internasional yang khusus mempelajari


kebijaksanaan politik luar negeri, dilakukan oleh Graham T. Allison.
Dalam kaitan ini ia mengajukan tiga model konseptual untuk
mendiskripsikan proses pembuatan keputusan politik luar negeri yang
bersifat studi kasus dalam masalah krisis nuklir Kuba antara Amerika
Serikat (AS) dengan Uni Soviet (US). (Graham T. Allison, 1971)

Model I: Aktor Rasional

Dalam model ini politik luar negeri dipandang sebagai akibat


dari tindakan-tindakan aktor rasional, terutama suatu pemerintah
yang monolit, yang dilakukan dengan sengaja untuk mencapai suatu
tujuan. Pembuatan keputusan politik luar negeri digambarkan sebagai
suatu proses intelektual. Perilaku pemerintah dianalogikan dengan
perilaku individu yang bernalar dan terkoordinasi. Dalam analogi
ini, individu itu melalui tahap-tahap intelektual, dengan menerapkan
penalaran yang sungguh-sungguh berusaha menetapkan pilihan atas
alternatif-alternatif yang ada. Jadi di sini unit anaiisis model pembuatan
keputusan ini adalah pilihan-pilihan yang diambil oleh pemerintah.
Dengan demikian anaiisis politik luar negeri harus memusatkan
pikiran pada penelaahan kepentingan nasional dan tujuan dari suatu
bangsa, alternatif-alternatif haluan kebijaksanaan yang bisa diam 1
oleh pemerintahnya, dan perhitungan-perhitungan untung-rugi ata

94 Stu d i H u b u n g a n Internasion°
masing-masing alternatif-altenatif tersebut. Seorang anaiis sudah
dianggap bisa menjelaskan suatu politik luar negeri jikalau ia bisa
menunjukkan pilihan yang layak dengan mengingat tujuan-tujuan
strategis dari bangsa/negara yang bersangkutan. Dalam model ini
digambarkan bahwa untuk melakukan pilihan-pilihan dan alternatif-
alternatif para pembuat keputusan menggunakan kriteria "optimalisasi
hasil".
Model II: Poses Organisasi

Model ini menggambarkan politik luar negeri sebagai hasil kerja


suatu organisasi besar yang menjalankan fungsinya menurut suatu
pola perilaku. Pembuatan keputusan politik luar negeri bukanlah
semata-mata sebagai suatu proses rasional (intelektual) akan tetapi
lebih menyerupai suatu proses mekanis. Proses mekanis itu dalam
konteks pembuatan keputusan politik luar negeri dilakukan dengan
cara mekanis yang merajuk kepada keputusan-keputusan yang telah
dibuat di masa lalu, pada preseden, prosedur yang berlaku, atau
pada peran yang telah ditetapkan bagi unit birokrasi. Inilah sebagai
gambaran singkat pola perilaku yang disebut prosedur kerja baku
(standard operating procedure).

Di sini digambarkan bahwa semua organisasi pemerintahan


memiliki catatan tentang perilakunya di masa lalu yang selalu dapat
dilihat dan diulang kembali. Organisasi itu pada dasarnya bersifat
konservatif dan jarang yang suka mencoba-coba terhadap sesuatu yang
baru. Pada umumnya cukup senang dengan perubahan-perubahan
kecil dan inkredental terhadap keputusan dan perilakunya masa lalu.
Oleh sebab itu dapat disimpulkan bahwa model ini mengajukan tiga
ProP°sisi yang terdiri dari:

a- Suatu pemerintahan terdiri atas sekumpulan organisasi-organisasi


yang secara longgar bersekutu dalam struktur hubungan;
Keputusan dan perilaku pemerintah bukan merupakan hasil dari
suatu proses penetapan pilihan secara rasional, akan tetapi sebagai

1 Pernt>uatan Keputusan Politik Luar Negeri Unit dan Tingkat Analisis 95


atau perilaku siapa yang punya pengaruh penting dalam pembuatan
keputusan itu dan bagaimana dengan sikap dan tindakan pemerintah?-
(b). apa yang menentukan sikap masing-masing pemain itu atau apa
yang menentukan persepsi dan kepentingan yang mendasari sikapnya
itu?; (c). bagaimana sikap yang ditunjukkan oleh para pemain itu di-
agresikan sehingga menghasilkan keputusan dan tindakan pemerin­
tah?

Masalah Vietnam dan Kuba Menurut Model I

Untuk membuktikan gambaran dari model I, yakni dalam proses


pembuatan keputusan para pemimpin berperilaku rasional. Dalam
hal ini diperlukan adanya suatu masalah besar yang dapat dianalisis
secara urut sehingga tergambar berbagai proses yang menghasilkan
suatu keputusan untuk melakukan tindakan. Sebagai contoh di sini
adalah masalah Vietnam merupakan contoh tentang masalah besar
yang ditangani secara besar-besaran oleh para pemimpin Amerika
Serikat. Para anaiisis yang menerbitkan buku Pentagon Paper, melihat
masalah ini yang memang sudah diawali jauh sebelumnya yakni pada
waktu Presiden Truman memberikan tuntutan kepada pemerintah
Perancis di Indonesia. Dan tindakan ini dianggap telah menetapkan
haluan bagi politik luar negeri Amerika Serikat di Asia Tenggara seusai
Perang Dunia Kedua. Bahkan politik Amerika Serikat di Vietnam pasca
Jenewa dianggap telah dibuat pada tahun 1954 oleh National Security
Council Amerika Serikat yang mengeluarkan makalah yang memuat
rancangan secara garis besar politik Amerika Serikat di Vietnam.

Maka menurut pandangan anaiisis yang menggunakan Model


I, komitmen Amerika Serikat (AS) untuk menanggung beban mem­
pertahankan Vietnam telah dibuat jauh-jauh sebelum pecah perang
itu tahun 1960. Presiden John F. Kennedy pernah menggerutu karena
Amerika Serikat sudah terlalu jauh terlibat di kawasan Asia Tenggara.
la juga seolah-olah harus melanjutkan kebijaksanaan luar negeri di
wilayah itu. Pertimbangnya menurut Model I adalah kenyataan bahwa
banyak negara yang menggantungkan kebijaksanaan ke dalam ke-

98 Studi Hubungan Internasional


, er|angsungan keterlibatan Amerika Serikat di sana, mengharuskan
^pperika Serikat mempertahankan kekuatan (balance of power) dan
juga mempertahankan struktur keamanan yang ada di kawasan terse­
st Presiden L. Johnson yang baru saja diangkat, setelah Presiden
j0hn F. Kennedy terbunuh, mengalami tekanan emosionai yang berat
dan tak ingin melakukan intervensi ke Vietnam karena khawatir akan
t e r u la n g n y a peristiwa Kuornintang yang membuat Cina dikuasai oleh
komunis, namun tidak sampai 48 jam, sesudah diangkat, dan mengu-
capkan sumpah jabatan kepresidenan, ia sudah berketetapan hati un­
tuk melibatkan pasukan Amerika Serikat di Vietnam. Dan juga banyak
para analisis yang meyakini bahwa Resolusi Teluk Tonkin 1964, yang
selanjutnya menjadi dasar hukum bagi pelaksanaan perang memang
telah disiapkan sejak lama jauh sebelum penempatan kapai-kapa!
Amerika Serikat betul-betul mendapat serangan dari Vietnam Utara.
Bahkan, sasaran yang hendak dibom, di daerah Vietnam Utara sudah
dilaporkan kepada presiden Johnson sehari setelah ia terpilih sebagai
presiden Amerika Serikat tahun 1964.

Semua informasi ini menujukkan bahwa keputusan politik luar


negeri Amerika Serikat tentang Vietnam merupakan suatu hasil pe-
rencanaan yang sangat matang. Analisis Model I ini juga berkeyakin-
an bahwa sudah sejak lama para pemimpin Amerika Serikat rneng-
isyaratkan bahwa adanya pertimbangan sebagai tujuan dasar di be-
lakang perencanaan dan tindakan Amerika Serikat di Vietnam yakni
tujuan utama adalah mempertahankan Vietnam dianggap sebagai hal
yang penting. Hal ini berkaitan dengan kepentingan keamanan na­
sional Amerika Serikat sendiri. Misalnya tahun 1948, Departemen
Luar Negeri Amerika Serikat mengatakan bahwa tujuan kebijaksanaan
luar negeri di kawasan Asia Tenggara adalah "mengeliminir pengaruh
komunisme do Indocina", yang sekaligus akan berate, Amerika Serikat
berusaha mempertahankan Vietnam Selatan yang non-komunis.

Lebih jauh daripada itu para analisis Model I yakni bahwa pada
Set|ap langkah para pembuat keputusan itu sadar betul apa yang mereka

Mode[ Pem buatan Keputusan Politik Luar Negeri Unit dan Tingkat A nalisis 99
iakukan. Sepulang dari misi ke Saigon, jenderal Maxwell Taylor dan
penasihat Gedung Putih W alt Rostow pada akhir 1961, membuat
rekomendasi kepada pemerintah Amerika Serikat agar memberikan
bantuannya kepada Vietnam dalam bentuk bantuan militer. Akan
tetapi dengan catatan pengiriman bantuan tentara dalam jumlah yang
sangat besar mungkin sekali akan dilakukan untuk masa depan. Pada
saat jumlah tentara Amerika Serikat kurang lebih 1000 orang, Menteri
Pertahanan MacNamara dengan meialui pidatonya mengatakan
bahwa biaya pengiriman.

Namun telah terjadi masalah pada 1965. Ternyata pilihan bukan


lagi berundingdengan pihak Vietnam Utaraatautidak lagi menghentikan
atau meneruskan perang; akan tetapi yang penting adalah antara kalah
dan menang. Akibat selanjutnya, jumlah pasukan Amerika Serikat
menggelembung, Menteri Pertahanan Amerika Serikat menyetujui
bantuan pasukan militer sebanyak 400.000 sampai tahun 1966 namun
ia sadar bahwa dia sendiri tidak yakin jumlah itu bisa memenangkan
perang. Dalam satu memo yang disampaikan menjelang akhir tahun
1966, kepada presiden Amerika Serikat, Johnson, menyebutkan bahwa
kemungkinannya sangat kecil bahwa perang tersebut bisa diselesaikan
dalam jangka waktu dua tahun lagi. Dengan mengirimkan pasukan
sebanyak itu mungkin dapat menyeiesaikan permasalahan, akan tetapi
bisa dilakukan dengan jalan iain yakni dengan melalui perundingan,
kendatipun itu belum dijamin sebagai jalan keluarnya.

Contoh lain yang bisa dijadikan sebagai tahap implementasi


Model I sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Graham T. Allison
tentang krisis nuklir Kuba. Dalam hubungan ini, yang hendak dija-
wab adalah pertanyaan mengapa Uni Soviet mengambil sikap dengan
keputusannya menempatkan peluru kendali nuklir di Kuba dan meng­
apa Amerika Serikat menanggapinya dengan memblokade Kuba?

Anaiisis yang menggunakan Model I bisa memanfaatkan banyak


sekali eksplanasi, misalnya Uni Soviet (US) melihat peluru kendali itu
merupakan suatu sarana untuk bargaining (tawar-menawar) dengan

100 Studi Hubungan Inte rnasiona l

MILIK PERPUSTAKAAN
I UN Rl IMAN
pihak Amerika Serikat (AS) dan mungkin saja penempatan senjat,
nUklir itu dijadikan sebagai taktik untuk mengalihkan perhatiai
Amerika Serikat (AS) dari sesuatu yang lebih penting atau barangkal
peluru kendali tersebut memang betul-betul untuk mempertahankar
Kuba, untuk meningkatkan prestise Uni Soviet atau meningkatkai
kemampuan militernya.

Kendati anaiisis itu memiliki dasar yang kuat, namun bag


pandangan Graham T. Allison, ada beberapa kelemahan pada masing
masingeksplanasi tersebut. Untuk mengomentari dugaan bahwapeluri
kendali itu digunakan untuk sarana "tawar-menawar" (bargaining)
Graham T. Allison menunjukkan Uni Soviet yang menempatkan peluri
kendalinya (nuklir) di Kuba, sebanyak 66, sementara itu Amerik;
Serikat hanya memiliki 15 yang di Turki. Diduga peluru kendal
(nuklir) itu dijadikan sebagai taktik untuk mengalihkan perhatian jug;
tidak masuk akal karena banyak sekali orang-orang Uni Soviet yani
ditempatkan di Kuba dalam posisi yang sangat mudah sekali menjad
korban serangan dari pihak Amerika Serikat. Dan jikalu itu bertujuar
untuk mempertahankan Kuba, kekuatan konvensional akan sanga
mudah dan sangat menguntungkan daripada dengan menggunakar
jenis peluru kendali nuklir antar-benua. Menurut Allison, paling
memuaskan adalah eksplantasi peningkatan kekuatan (power) yakn
dengan penempatan peluru kendali m nuklir di Kuba itu, dengar
segera bisa meningkatkan kekuatan militer Uni Soviet di dunia.

Anaiisis yang sama juga dapat kita gunakan dengan Model '
ini ke dalam tindakan keputusan Amerika Serikat untuk menanggap
penempatan senjata nuklir di Kuba itu dengan cara memblokadenya
Menurut Model I, dari berbagai alternatif, yang diusulkan pada saat-
saat genting terhadap pembuatan keputusan tersebut yakni dengar
membuat sikap blockade, dianggap sebagai sesuatu hal yang paling
Penting dan tepat untuk mengendalikan posisi antara "tidak berbual
apa-apa" dengan "mengambil tindakan agresif secara langsung".
Tindakan blockade memberikan arti bahwa membuat Uni Soviet haruj

Model Pem buatan Keputusan Politik Luar Negeri Unit dan Tingkat Anaiisis roi
mengambil tindakan dan menempatkan posisi Uni Soviet itu ke dalam
kondisi tindakan militer yang nampaknya tidak menguntungkan karena
konfrontasi itu akan terjadi di Karibia jauh dari pangkalan mereka.
Untuk menjelaskan mengapa Uni Soviet menarik kembali peluru
kendali nuklir itu dari Kuba yang menurut analisis Model I ini mungkin
dengan cara memanfaatkan tindakan John F. Kennedy sebagai indikasi
ancaman dan untuk menghadapi ancaman tersebut, orang-orang Uni
Soviet akan memutuskan sikapnya dengan cara mundur saja.

Eksplanasi yang hendak ditegaskan dalam kasus ini yang


berkaitan dengan kebijaksanaan dan keputusan politik luar negeri,
dapat dijelaskan dengan membangun asumsi bahwa para pembuat
keputusan menghadapi masalah berskala besar dalam mana, mereka
itu memiliki tujuan besar atau jangka panjang di mana keputusan akhir
mereka ini dilihat ke dalam perspektif sebagai jalan menuju pencapai
tujuan tertentu. Namun demikian, untuk sampai kepada sasaran atau
tujuan tersebut mereka harus mengikuti suatu proses rasional dengan
mempertimbangkan semua alternatif dan semua informasi seoptimal
mungkin hingga sampai pada menemukan alternatif yang paling
tepat.

Masalah Vietnam dan Kuba Menurut Model I dan Model III

Dengan mengikuti alur pikir yang dikemukakan oleh Graham T.


Allison sebagai langkah implementasi Model II dan Model III ke dalam
kasus yang sama yakni masalah Vietnam dan masalah Krisis Kuba.
Di dalam kaitannya dengan masalah Vietnam mereka mengajukan
pertanyaan: apakah Vietnam isu vital bagi persepsi Amerika Serikat?
Maka dalam persoalan ini, dibangun dengan pernyataan presiden
john F. Kennedy, bulan November 1961, apakah memang betul
bahwa masalah Vietnam ini sangat penting dalam kaitannya dengan
kebijaksanaan politik luar negeri Amerika Serikat yakni dengan
mempertahankan Vietnam dan Laos?

Pada Juni 1964 Presiden L. Johnson meminta kepada pihak


CIA, untuk memberikan penilaiannya, apakah Negara-negara A s ia

102 Studi Hubungan In te rn asion a l


Tenggara lainnya akan jatuh jikalau Vietnam Selatan dikuasai oleh
k o rn u n is? Dalam hal ini para analis menunjukkan bukti bahwa tahun
•]964, Presiden Johnson tidak terlalu memperhatikan masalah Vietnam.
Menurut data dari Agency for International Development (AID) dalam
urutan negara-negara penerima bantuan militer Amerika Serikat (AS)
pada periode dari tahun 1953-1961, Vietnam hanya menduduki tempat
ke 11, di bawah negara-negara Belanda, Korea, Italia. Maka dengan
singkat kata, Vietnam bukanlah termasuk di dalam kategori yang vital
dan sangat penting di dalam kerangka bangunan kebijaksanaan luar
negeri Amerika Serikat (AS) khususnya di Kawasan Asia Tenggara.

Apakah keterlibatan Amerika Serikat (AS) di Vietnam merupakan


hasil dari rencana yang mempunyai tujuan jangka panjang ataukah
telah diperhitungkan secara matang, ke dalam wacana yang luas
yang telah disetujui oleh pembuat keputusan (sebagaimana dalam
analisis Model I); ternyata dari hasil telaan informasi secara cermat
menunjukkan bahwa telah terjadi suatu kesimpangsiuran. Duta besar
Amerika Serikat (AS) yang di Saigon, pada pertengahan September
1965, mengirimkan telegram ke Washington untuk minta kejelasan
tentang apa yang menjadi tujuan utama pemerintahan di Vietnam.
Menurut David Hamberstam, pada tahun yang sama, pada saat
diusulkan pemboman di Vietnam, (yang kemudian dikenal dengan
sebutan kampanye pemboman Rolling Thunder) sebagai alternatif
pengiriman lebih banyak kekuatan militer, para pembuat keputusan
Amerika Serikat menyetujui atas usul tersebut yang bukan dikarenakan
percaya pada masalah ini akan bisa menyelesaikan masalah, akan
tetapi karena mereka tidak tahu jalan lain yang harus ditempuh dan
mereka tidak mau mengirimkan tentara lagi.

Dalam kenyataan menunjukkan bahwa Model I disebutkan se­


bagai tujuan jangka panjang yang mendorong tindakan Amerika Seri­
kat (AS) di Vietnam tersebut, senantiasa mengalami perubahan atau-
Pun dengan pertimbangan kembali. Dalam Mei 1967, MacNamara
err|inta kepada Presiden Lyndon. Johnson, menghilangkan kondisi

°del Pembuaton Keputusan Politik Luar Negeri Unit dan Tingkat Analisis 103
ketidakjelasan di dalam kerangka tujuan Amerika Serikat (AS) di Viet­
nam dan disertai dengan beberapa usuian antara lain agar: (a), komit-
men Amerika Serikat (AS) ditentukan dengan berdasarkan pada ke­
mampuan rakyat Vietnam Selatan dalam rangka menentukan masa
depannya sendiri; (b). Komitmen itu diberhentikan jikalau Vietnam
Selatan tidak mampu membantu dirinya sendiri. Selanjutnya ia me-
ngatakan bahwa komitmen itu tidak untuk menjamin keberlangsun-
gan kekuasaan suatu kelompok di Vietnam Selatan atau bahwa peme­
rintahan negeri tetap memiliki sistem politik yang non komunis atau
pun bisa jadi, negara itu tetap terpisah dari Vietnam Utara. Menurut
MacNamara, ketiga hal itu bukanlah urusan Amerika Serikat (AS).
Ini merupakan pendapat yang bertentangan dengan Memorandum
No. 288 dari National Security Action, yang menganggap bahwa tu­
juan Amerika Serikat (AS) adalah untuk "menciptakan Vietnam Selatan
yang merdeka dan non-komunis".

Model II dan Model III, juga bisa memberikan deskripsi tentang


masalah nuklir di Kuba yang dalam hal ini berbeda dengan peng­
gunaan Model I. Kalaupun memang penempatan atas peluru nuklir/
kendali di Kuba merupakan sesuatu yang direncanakan, yang secara
jangka panjang, oleh para pemimpin politik Uni Soviet (US) misalnya
sebagai suatu yang fait accompli yang bersamaan dengan Sidang Ple-
no Komite Sentral atau kunjungan Khrushchov ke Perserikatan Bang-
sa-Bangsa (PBB) yang ke dua-duanya pada akhir November 1962) ten-
tunya ini merupakan tindakan yang mempunyai dasar yang kuat. Akan
tetapi dalam hubungan ini Graham T. Allison menunjukkan bahwa
walaupun dengan usaha kerja keras tanpa henti, tujuan itu tidak akan
pernah dapat tercapai atau memberikan hasil maksimal. Lagi pula
orang-orang Uni Soviet (US) itu menggelarkan peluru kendali nuklir di
Kuba tanpa adanya usaha membuat kamuflase. Ini dapat berarti mem-
biarkan peluru itu untuk diketahui dan diserang lawan. Mereka juga
tahu adanya pesawat U-2 Amerika Serikat (AS) yang mengintai Kuba.

104 Studi Hubungan Internasional


Graham T. Allison mengatakan ini dengan menelaahnya dari
sisi procedural organizational pada Uni Soviet (US). Kendati pun
dengan membangun pergelaran peluru ke dalam satu pola trapesium,
bisa mempersulit usaha merahasiakan keberadaan persenjataan itu.
Upaya kamuflase tempat pagelaran persenjataan tidak dijadikan
sebagai bahan pertimbangan semata-mata, disebabkan organisasi
pemerintahan Uni Soviet (US) memang tidak pernah memperhatikan
masalah tersebut. Lalu, mengapa menempatkan peluru kendali
IRBM (Intermediate Range Ballistic Missile) yang besar dan bukan
dengan M RBM (Medium Range Ballistic Missile) yang lebih kecil?
Dan barangkali karena terdapat perbedaan antara Khruschev dengan
pemimpin militer Uni Soviet (US) yang lebih memperhatikan persoalan
perimbangan kekuatan militer strategis dan IRBM yang lebih besar
bisa digunakan untuk memenangkan perimbangan kekuatan itu.

Perilaku Amerika Serikat dalam krisis Kuba, dengan mudah


digambarkan dengan menggunakan Model II dan Model III. Graham
T. Allison menunjukkan bahwa "prosedur organisasional" jelas
mempengaruhi pengumpulan informasi intelijen, pilihan-pilihan
tindakan yang dipertimbangkan dan penerapan blockade atas Kuba.
Misalnya pada waktu pengiriman pesawat-pesawat pengintai untuk
mengadakan kegiatan pemotretan di atas daerah Kuba, terlambat
sampai sepuluh hari hanya disebabkan karena peranan organisasional
menimbulkan permasalahan Angkatan Udara dengan CIA khususnya
dalam hal siapa yang harus menjalankan misi itu.

Jika kita mengikuti alur pikir dalam Model II ada semacam ke-
harusan oleh para pembuat keputusan politik luar negeri Amerika Serikat
(AS)yangmempertimbangkan pilihan penyerbuan udara ke Kuba. Akan
tetapi hal ini tidak banyak dibicarakan karena para pemimpin Angkat-
an Udara (AU) langsung menoleh kepada alternatif-alternatif sesuai
dengan organisasinya dan muncul dengan usuian terhadap pemboman
besar-besaran semua depot penyimpanan amunisi persenjataan, la-
Par>gan uadara dan senjata artileri yang berhadapan dengan pangkal-

^oc/e/ Pembuatan Keputusan Politik Luar Negeri Unit dan Tingkat Anaiisis 105
an Angkatan Laut (AL) di Guantanamo, di samping semua pangkalan
peluru kendali nuklir itu. Para pemimpin politik Amerika Serikat (AS)
tercengang, melihat betapa besar-besarnya serangan yang dilancarkan
dalam usulan oleh Angkatan Udara (AU) itu. Namun tidaklah meng-
herankan karena mereka ini berbicara tentang sesuatu yang berbeda
dengan yang dibicarakan oleh para pemimpin militer tersebut.

Model III Graham T. Allison menunjukkan bahwa unsur-


unsur birokratis dan politik, punya pengaruh pada hasil akhir suatu
keputusan. Tahun 1962, Presiden John F. Kennedy sedang melakukan
kegiatan kampanye untuk pemilihan sisipan dengan janji bahwa
tidak ada peluru kendali nuklir Uni Soviet (US) yang ditempatkan di
Kuba, John F. Kennedy memandang bahwa informasi seperti itu hanya
berbau politik saja. Kepala CIA John MacCona, adalah tokoh yang
anti komunis garis keras, dan John F. Kennedy mencurigai informasi
tentang komunis yang berasal dari sumber seperti dia itu (Kepala CIA).
Juga CIA pada saat itu merasa curiga dan khawatir mendapat publisitas
yang buruk lagi, sesudah bulan September 1962 lalu, pesawat U-2nya
melakukan kesalahan fatal yang terbang melintasi wilayah Siberia
selama tiga menit dan satu lagi ditembak jatuh di Cina daratan. Dari ke
dua kejadian tersebut membuat CIA kendatipun mereka tahu, enggan
untuk melanjutkan penerbangan U-2 ke Ujung Barat pulau Kuba,
bahwa di sana memang ada pergelaran senjata nuklir oleh Uni Soviet
(US) karena mereka merasa takut ditembak jatuh lagi. Juga para aktor
yang teriibat dalam masalah ini tidak punya kesempatan tentang isu
apa yang terlihat dalam krisis Nuklir Kuba. Presiden John F. Kennedy
yang menganggap masalah ini sebagai isu politik yang tidak perlu
ditanggapi secara serius. Namun bagi pandangan Menteri Pertahanan
MacNamara, persoalan tersebut dilihatnya sebagai suatu "perangkat
keras". Peluru adalah peluru, di mana pun tempatnya.

Namun demikian, bagi pandangan orang kebanyakan, bahwa


permasalahannya terletak di dalam kerangka sebagai sarana o le h

Uni Soviet (US) dalam konstelasi Perang Dingin (Cold War). Dalam

106 Studi Hubungan Internasionot


vvacana pengertian yangaktual, yakni berupa pilihan-pilihan, alternatif-
alternatif Graham T. Allison menunjukkan bahwa krisis Kuba itu bukan
merupakan hasil dari proses pembuatan keputusan yang rasional dan
bertahap, melainkan beberapa langkah dan tindakan lebih menyerupai
akibat dari suatu proses yang saling tarik-menarik, di antara semua
partisipan politik, yang masing-masing bertujuan sendiri-sendiri.

3.2 T IN G K A T DAN U NIT A N A L IS IS ST U D I


H U B U N G A N IN T E R N A S IO N A L
Diilhami oleh uraian Bruce Russelt & Harvey Starr (1985, 3-10),
yakni berkenaan dengan deskripsi dan formulasi keputusan-keputusan
pin (foreign policy decisions) ke dalam tiga bagian yang diambil dari
peristiwa jatuhnya bom atom di kota Nagasaki dan Hiroshima oleh
pesawat terbang Amerika Serikat (AS), Enola Gay, Agustus 1945
beserta akibat yang ditimbulkannya serta juga peristiwa invasi sekutu
di Cekoslawakia 1968, dan yang terakhir masalah ekonomi dan politik
yang terjadi di Brasilia 1964; melahirkan gagasan tentang unit dan
tingkat anaiisis dalam studi hubungan internasional khususnya.

Gagasan tentang unit dan tingkat anaiisis ini didasari oleh


implikasi yang ditimbulkan oleh tiga peristiwa di dalam tema yang
berbeda-beda tadi yang saling mempunyai perbedaan-perbedaan yang
sangat menyolok, misalnya perbedaan atas waktu, negara kaya dan
negara miskin serta berkenaan dengan masalah ekonomi, politik dan
militer. Adapun kadar yang digunakan untuk menjelaskan atas pilhan-
pilihan yang diambil oleh pembuat keputusan politik luar negeri
memang terdapat perbedaan dari satu kasus dengan kasus lainnya.

Maka dengan demikian, jelaslah perbedaan terhadap kelas-ke-


'as eksplanasi yang dapat diajukan bagi masing-masing kebijakan atas
Pilihan-pilihan, alternatif-alternatif yang terlibat di dalamnya tampak
bcrvariasi. Karakteristik kepribadian dari pemimpin, agaknya lebih re-
'evan dengan kasus Uni Soviet (US) dan Amerika Serikat (AS) jika diban-
d'ngkan dengan yang terjadi di Brazil. Pengaruh-pengaruh lingkungan

0ffe/ Pembuatan Keputusan Politik Luar Negeri Unit dan Tingkat A naiisis 107

I
internasional yang melakukan intervensi di negeri Brazil, dianggap yang
paling tepat untuk dijelaskan daripada ke dua kasus lainnya.

Apa yang hendak disampaikan sesuai dengan uraian di


atas adalah berkaitan erat dengan kemampuan seseorang dalam
kerangka penelitian, penstudi hubungan internasional untuk bisa
mendeskripsikan, menjelaskan dan palingtidak dapat memprediksikan
terhadap perilaku yang timbul dalam fenomena internasional seperti
yang digambarkan oleh Bruce Russet dan Harvey Starr di atas. Untuk
tujuan tersebut, ia harus memilih bidang-bidang yang hendak diulas/
dikaji/dianalisis. la akan menetapkan batas-batas ruang lingkupnya,
menentukan pada tingkat mana, unit analisis mana, penelitian yang
akan dilakukan. Kegiatan seperti inilah merupakan suatu rangkaian
yang terkoordinasi secara menyeluruh dari sebuah proses analisis
khususnya dalam studi hubungan internasional. Proses analisis,
senantiasa berkaitan erat dengan masalah, yang diarahkan kepada
beberapa pertanyaan: bagaimanakah kita dapat memahami fenomena
atau peristiwa-peristiwa politik dalam hubungan internasional di
dalam wacana sistem internasional? Apa yang seharusnya ditelaah atau
diamati? Tentunya, sebagai jawabannya, akan terletak pada masalah
bagaimana kita menetapkan unit analisisnya yakni, perilakunya yang
hendak kita eksplanasikan (variabel dependen) dan unit analisisnya
(eksplanasinya) yakni berdampak terhadap unit analisis yang hendak
diamati (variabel independen). (Mohtar Mas'od, 1990, 39)

Sebagaimana halnya dalam setiap ilmu pengetahuan, memiliki


sejumlah kategori-kategori konseptual atau semacam t a x o n o m i-

taxonomi atas mana, bagian-bagian analisisnya s a l i n g b e r k a i t a n erat satu


sama lain. Dalam kategori inilah dibangun teori (th e o ry b u ild in g ) yang

berdasarkan kepada tingkat-tingkat analisis dan unit-unit analisisnya-


Misalnya, kimia bisa dipelajari pada tingkat analisisnya di dalam atom-
Di dalam kajian ilmu ekonomi, juga berkaitan dengan unit analis15
dimulai dengan individu-individu ekonomi nasional sampai kepa^a
ekonomi internasional (sistem ekonomi internasional).

108 Studi Hubunsan lnternas>°


D a la m konteks studi hubungan internasional, kita dapat mengenai
unit d an tingkat anaiisis yang dalam hal ini termasuk misalnya, bagian-
bagian yang memiliki dampak atau pengaruh pada individu, terutama
dalam kaitannya dengan aktor pembuat keputusan-keputusan politik
luar negeri. Itu senantiasa disebut aktor seperti yang diperankan oleh
negara -negara atau individu-individu yang memiliki perilaku yang
kita seb ut sebagai eksplanasi. (Bruce Russett & Harvey Starr, 1985,
11) N a m u n demikian, menurut pandangan mashab tradisionalis (yang
um um nya menggunakannya dalam studi tentang biografi, kemudian
bagi peneliti lainnya menyebutnya dengan istilah; "idiosyncratic
behavior". Davis Singer (1961, 77-92) yang dalam artikelnya berjudul
“The Level of Analysis Problems in International Relations",

T in g k a t anaiisis sistem internasional yang dianggap sebagai


tingkat y a n g p a lin g tin g g i dan memiliki sifat komprehensif dibandingkan
dengan tin g k a t anaiisis Negara-negara yang lebih memusatkan
perhatiannya pada studi tentang: " decision making approach". Dalam
hal ini David Singer membangun suatu ikhtisar untuk menunjukkan
gambaran tin g k a t anaiisis suatu ikhtisar untuk menunjukkan gambaran
tingkat a n a iis is tersebutdengan menampilkan suatu analogi. Analoginya
yang membicarakan tentang kegiatan keilmuan bahwa di tiap tingkat-
tingkatkeilmuan, senantiasa terdapat berbagai cara memilah-milah dan
mengatur fenomena yang dipelajari demi anaiisis yang sistematis. Baik
dalam fisika maupun dalam ilmu sosial, pengamat harus memilih pusat
Perhatian pada bagian-bagiannya atau pada keseluruhan fenomena
tersebut atau dalam komponennya atau pada sistemnya. Misalnya,
la dapat memilih mau memperhatikan bunga atau kebunnya, pohon
atau hutannya, rumah atau kampungnya, remaja nakal atau kelompok
8engnya, anggota DPR ataupun parlemennya dan sebagainya.

I Dalam kajian hubungan internasioanal, semua itu dapat dipe-


'■ Apakah itu bagian-bagian bunga-bunganya/batu-batuannya/
l ^ ° 10nannya/rumah/remaja nakal/anggota DPR; atau dapat juga
ergerak pada tingkat anaiisis yang lebih tinggi dan di sini dapat

^°de/ p
ernbuatan Keputusan Politik Luar Negeri Unit dan Tingkat A naiisis 109
dipelajari "keseluruhannya" yakni berupa kebun-kebunannya/hutan-
hutannya/kelompok-kelompok gengnya/parlemennya. Dalam kasus
yang pertama, kita dapat mempelajari politik dalam negeri (domestic-
internal politics) terhadap suatu negara tertentu yang mempengaruhi
para pembuat keputusan politik dalam negeri dengan cara memilih
elternatif-alternatif untuk melakukan suatu tindakan tertentu demi ke­
pentingan politik luar negerinya.

Dalam kasus yang ke dua, kita dapat mempelajari sistem in­


ternasional. Hal ini senantiasa berkenaan dengan formulasi di dalam
lingkungan yang lebih besar. Tujuannya adalah untuk membantu para
pembuat keputusan terutama dalam rangka menentukan alternatif-al-
ternatif apa, yang barangkali dapat diambil dan yang terbaik tentunya.
Maka untuk menjelaskan secara rinci dan jelas bagaimana hubungan
unit menjelaskan secara rinci dan jelas bagaimana hubungan unit dan
tingkat analisis yang ditujukan kepada studi hubungan internasional,
(Raymond F. Hopkins & Richard W . Mansbach (1973, 21) di mana ka-
jian atas fenomena hubungan internasional didasarkan pada tingkatan
analisis serta unit eksplanasinya, dituangkan ke dalam bentuk sebuah
matriks tiga tingkatan:
U N IT ANALISIS DAN U N IT EKSPLANASI
U N IT A N A L IS IS
U N IT In dividu & N egara & Sistem Regional
EKSPLA N ASI K e iom p o k Bangsa dan Sistem
G lobal
Individu & Ke iom po k 2 1 i
N egara & Bangsa 3 2 7

Sistem Regional dan


3 3 2
Sistem Global

Sum ber, Adaptasi dari: R a y m o n d F. H o p k in s & R ich a rd M. M ansbach, Structure and


Process in International Politics, (N e w York: Harper & Row, 7 973), 21.

Daiam rangka mengidentifikasikan tingkat-tingkat analisis, ada


berbagai pandangan yang muncul terutama di kalangan ilmuan politik
dan hubungan internasional. J. David Singer, mengidentifikasikan

110 Studi Hubungan Internasionat


enam tingkat analisis yang ada dalam studi hubungan internasional
y a k n i:

a. Individual decision makers;


Role of decision makers;
c Structure of government;
(i. International relations;
e. International system (the world system).

Namun yang paling penting dalam kaitannya dengan pembagian


atas unit dan tingkat analisis ini, adalah tingkat analisis sistem
internasional dan tingkat analisis negara-negara bangsa. (J- David
Sing er, 1961, 80). Dalam pengertian yang agak sama, dikemukakan
oleh John W . Spanier (1981, 20), ada tiga jenis tingkat analisis yakni:
(a), tingkat sistemik; (b). tingkat analisis negara-negara; dan (c ). tingkat
a n alisis pembuat keputusan (decision makers).

Dari perspektif ini, timbul pertanyaan berkenaan dengan pemili-


han tingkat analisis dan unit analisis, yang dalam hal ini dihadapkan
kepada analisis fenomena hubungan internasional. Ini merupakan
tantangan awal yang akan dialami oleh penstudi hubungan internasi­
onal khususnya. Hal ini dikaitkan dengan masalah ketidakmungkinan
kita dengan sekaligus menerangkan dan menjelaskan dari beberapa
tingkat dan unit analisis. Oleh sebab itu, bagaimana upaya kita agar
dengan demikian kita dapat menentukan atau memilih tingkat analisis
dan unit analisis yang mana sekiranya cocok dan yang kita inginkan,
perlu kiranya dipertimbangkan sedini mungkin sebelum kita bergerak
lebih jauh. Dan salah satu kesulitan dalam kita bergerak menganalisis
fenomena internasional terletak di sini. Hal ini terjadi disebabkan ter­
dapat perbedaan-perbedaan tajam terhadap berbagai persepsi/perspek-
tif yang dipergunakan. Sekedar contoh, analisis pada tingkat sistem
'nternasional (global) dikembangkan dalam teori klasik: perimbangan
kekuatan (balance of power) sebagaimana yang pernah ditulis oleh
Hans J. Morganthau dalam bukunya, Politics Among Nations Struggle
° f power and Peace (1948, 1954, 1969, 1980); serta disusul kemudian

Model Pem buatan Keputusan Politik Luar Negeri Unit dan Tingkat Analisis 111
oleh Morton Abraham Kaplan-System and Process in International Re-
lations (1957).

Demikian juga dalam buku yang ditulis oleh Richard C. Snyder/


H. W . Bruck/Burton Sapin, berjudul Foreign Policy Decision Making
(1963); Ernst B. Hass dan Joseph H. Nye, The Unity of Europe: Political
Social and Economic Forces, (1950, 1957, 1958).

Sementara itu untuk tingkat anaiisis kelompok, dikembangkan


oleh Graham T. Allison di dalam, The Essence of Decision-Explaining
the Cuban Missile Crisis 1971 dan sebelumnya dalam tulisannya
yang berjudul, The Conceptual Models and the Cuban Missile Crisis.
Pengembangan Model Rasional dalam kaitannya dengan pengambilan/
pembuatan keputusan politik luar negeri dituangkan ke dalam tiga
model proses pembuatan keputusan politik luar negeri.

I. Coba Sdr. jelaskan secara singkat beberapa alasan dasar mengapa


orang-orang mempelajari hubungan internasional serta bagaimana
dengan masalah manfaat yang akan diperoleh dengan studi ini!
2. Coba Sdr. sebutkan dan jelaskan dengan uraian singkat apa
alasan yang paling mendasar untuk mempelajari Hubungan
Internasional?
3. Coba Sdr. sebutkan dan jelaskan dengan uraian singkat tujuan
yang hendak dicapai dalam studi Hubungan Internasional?
4. Coba Sdr. identifikasikan bgaimanakah perkembangan studi
Hubungan Internasional?
5. Coba Sdr. rumuskan secara singkat rumusan dan batasan lingkup
studi Hubungan Internasional?
6. Sebutkan dan jelaskan dengan uraian singkat unit dan unit anaiisis
studi Hubungan Internasional itu!

BA FTA R PU STA KA

Allison, Graham T., "Conceptual Models and the Cuban Missile


Crisis", dalam Wolfram F. Hendrier (ed), Comparative Foreign

112 S tu d i H ubungan In te rn a sio tio l


Policy Theoritical Essays, (New York: Davis Mackey Company,
Inc, 1971),
C o u lo u m b u s , Theodore. A & James H. Wolfe., Introduction to
International Relations power and justice, (New York: Prentice-
Hall of India, 1981).

C o p lin , William D., Introduction to International Politics, (New Jersey


Prentice-Hall, Inc. 1980).

Chilcote, Ronald H., Theories of Comparative Politics The Search fora


Paradigm, (Boulder, Colorado: Westview Press, 1981).

D o u g h e rty , James E/Robert L. Pfalzgraff, Jr., Contending Theories of


International Relations, (New York: J.B. Lippincoat Company,
1987).

Dyke, Vernon, Van., Political Science: A Philosophycal Analyseis,


(California: Stanford University Press, 1977).

Easton, David., The Political System, (New York: Alfred A. Knopf,


1953).

Farnsworth., David N., International Relations An Introduction,


(Chicago: Nelson-Hall, 1988).

Fromm, Erich., The Anatomy of Human Destructiveness, (New York:


Holt, Rinahart & Winston, 1977).

Gandhi, Madan G., Modern Political Theory, (New Delhi: Mohan


Primlahi, 1981).

Garnett, John C., Commonsense and the Theory of International


Politics, (Albany: State University of New York, 1984).

Graham T. Allison., Essence of Decision Explaining the Cuban Missile


Crisis, (Boston: Little, Brown and Company, 1971).
^Qlsti, K.J., International Politics A Framework, N ew jersey,
Englewoods Cliffs: Prentice Hall, 1977; dalam edisi Indonesia,
K.J. Holsti., Politik Internasional Suatu Kerangka Analitis,
(Bandung: Binacipta, 1987).

Model Pembuatan Keputusan Politik Luar Negeri Unit dan Tingkat A nalisis 113
Hass, Ernst B. "The Balance of power: Prescription Concept or
Propaganda?". W orld Politics, (July, 1953).

Hopkins, Raymond F & Richard W . Mansbach., Structure and Process


in International Politics, (New York: Harper & Row, 1973).

Isaak, Alan C , of Scope and Methods of Political Science An


Introduction to the Methodology Political Inquiry, (Homewood,
Illionois: The Doresey Press, 1981).

Josoep, Daoed., "Konsep Perdamaian Dalam Sistem Internasional &


Strategy Nasional", A N A LISIS No. 1/XVIII/89.

Kusumohamidjojo, Budiono., Hubungan Internasional Kerangka Studi


Analitis, (Bandung: Binacipta, 1987).

Kaplan, Morton, Abraham., System and Process in International


Politics, (New York: John W illey and Sons, 1962).

Lerche, Charles O & Abdul A. Said., Concept of International Politics,


(New Delhi: Prentice-Hall of India Private Limited, 1972).

Mas'oed, Mochtar., llmu Hubungan Internasional Disiplin dan


Metodology, (Jakarta: LP3ES, 1990).

Morgenthau, Hans J., Politics Among Nations: Struggle for power and
Peace, (New York: Alfred A.Knopf. Inc, 1948); Edisi In d on esia,

Hans J. Morgenthau., Politik Antar Bangsa: Perjuangan Untuk


Kekuasaan dan Perdamaian, (Bandung: Binacipta, 1990).
Mathisen, Trygve., Methodology in the Study of International Relations,
(Oslo: Oslo University Press, 1959).
Mackinder, Sir Halford., "The Geographical Pivot of History •
Geographical Journal, XXIII (April, 1904).
Macclelland, Charles A., System Theory and Human Conflict, 0 °
Cliffs, New Jersey: Prentice-Hall, 1965).
Rapoport, Anatol, "Various Meanings of Theory", American
Science Revies, III (Desember, 1958).

114 Studi Hubungan Intern


gosenau, James N., "Pre - Theories and Theories of Foreign Policy,
dalam R. Barry Farrell (ed), Approaches to Comparative and
International Politics, (Evanstone III: Northwestern University
Press, 1966): James N. Rosenau, "Pre Theories and Theories of
Foreign Policy", dan dalam James N. Rosenau, The Scientific
Study of Foreign Policy, (New York: Nichols Publishing Co,
1980).

R o scra n e , Richard N., Action and Reaction in W orld Politics, (Boston:


Little, Brown and Company, 1963).

Sp ykm an, Nichols J., "Methods of Approach to the Study of


International Relations", dalam Proceedings of the Fifth
Conference of Teachers of International Law and relations
Subjects (Washington: Carnegie Endowment for International
Peace, 1993)

Singer, j. David., "The level of Analysis Problem in International


Relations", Klaus knorr and Sidney Verba (ed), The International
System: Theoretical Essays, (Princeton, N.J: Princeton University
Press, 1961).

Spanierjohn W ., Games Nations Play Analysing International Politics,


(New York: Holt, Rinehart and Winston, 1981).

Wright, Quincy, The Study of International Relations, (New York:


Appleton-Century-Crofts, 1955).
asby, Stephen L., Political Science the Dicipline and Its Dimensiona
an Introduction, (New York: Charles Scribner and Sons, 1970).


egler, David W ., War, Peace and International Politica, (Boston:
Little Brown and Company, 1984).

-ooOoo-

pe
Uat°n Keputusan Politik Luar Negeri Unit dan Tingkat A nalisis 115
B A G IA N KE D U A

NEGARA DAN
SISTEM INTERNASIONAL
2

NEGARA DAN SISTEM INTERNASIONAL

Tujuan Pembelajaran

Setelah membaca bab ini, Anda akan dapat:

1. Menjelaskan secara ringkas pandangan tradisional tentang konsep-


konsep state centric.
2. Mengidentifikasi beberapa elemen-elemen yang seharusnya ada
dalam sebuah negara.
3. Membuat klarifikasi tentang aktor-aktor dalam sistem politik
internasional.
4. Menganalisis sejauh manakah peranan aktor non negara dalam
sistem internasional terutama pasca Perang Dunia Kedua.
5- Bisa menjelaskan secara singkat menurut pandangan para ahli
tentang konsep sistem politik internasional serta beberapa
contohnya.
6- Menjelaskan bagaimanakah peranan kepentingan nasional dalam
kerangka sistem politik internasional.
NEGAFIA DAN SISTEM
INTERNASIONAL

4.1 K O N S E P T U A L IS A S I T E N T A N G N E G A R A

4.1.1 Pengertian Tentang Negara

Dalam hubungan ini bahwa negara, atau pengertian dan definisi


konsep tentang negara, ternyata belum ada kesepakatan di antara
kalangan ilmuan sosial terutama mengenai definisi negara. Definisi
ini setidak-tidaknya memuat tiga unsur. Pertama, negara adalah
seperangkat institusi (lembaga), lembaga atau institusi ini diisi oleh
personal negara. Institusi terpenting adalah alat kekerasan. Ke dua,
institusi ini ada di pusat dari suatu wilayah atau teritorioal dan biasanya
ini disebut sebagai masyarakat. Negara memandang ke dalam pada
masyarakat nasionalnya (inward looking) dan ke luar pada masyarakat
yang lebih besar dan luas, perilakunya di suatu wilayah atau kawasan
hanya dapat dijelaskan hanya dengan melalui aktivitasnya di wilayah
(area) yang lain. Ke tiga, negara memonopoli pembuatan aturan di
dalam batas wilayahnya.

Negara, sebagai suatu organisasi kekuasaan telah menempati


Posisi yang sentral dalam kehidupan kolektif manusia modern, negara
t'dak hanya dapat dipandang lagi sebagai sebuah entitas yang absolut,
di mana semua stakeholder pendukung adanya negara harus tunduk
secara mutlak terhadap penguasa negara. Namun demikian jika dilihat
dari segi terminologis tentang negara itu, menunjukkan bahwa istilah
negara, sesungguhnya merupakan istilah yang menerjemahkan ke
dalam bahasa Indonesia mengenai beberapa istilah asing seperti,
"staat" yang berasal dari bahasa Belanda, sementara itu kata "state"
yang berasal dari bahasa Inggris sedangkan istilah "d'etat" dari bahasa
Perancis, dan istilah "estado" dari bahasa Spanyol. Lalu perkataan
"stato" yang berasal dari bahasa Italia. Namun demikian, dari
keseluruhan istilah-istilah, "State", "stato", “ d'etat", "staat" itu sendiri
secara etimologis, berasal dari istilah dalam bahasa Latin Klasik,
"status", atau "statum", yang artinya menaruh dalam keadaan berdiri,
membuat berdiri, menempatkan berdiri, atau keadaan yang tegak.
Etimologi dan pertumbuhan istilah negara, sebagaimana yang telah
diuraikan di atas, justru karena pertumbuhan stelsel negara modern,
dimulai di Eropa, sekitar abad 17-an, maka sudah pada tempatnya jika
pembahasan ini dimulai dengan penyelidikan asal-usul dan pemakaian
kata-kata asing itu di benua Eropa.

Maka berhubungan dengan hal itu, bagaimanapun juga, negara


adalah sesuatu soal yang sentral terutama dalam ilmu politik, dan studi
hubungan internasional, maka perlu kiranya lebih dulu mengadakan
analisis terhadap negara untuk mengetahui apakah negara itu, atau
apa sifat yang mendasar daripada suatu negara. Pemahaman seperti
ini sepertinya diawali dari ungkapan bahwa semenjak manusia hidup
bersama atau bermasyarakat, maka manusia selalu hidup di bawah
satu bentuk otoritas. Otoritas itu selalu berubah-ubah sifatnya dan
melaksanakan tugas-tugasnya dengan menggunakan bermacam-
macam bentuk organisasi. Maka dengan demikian dapat dirumuskan
bahwa negara itu adalah suatu bentuk kehidupan bersama, daripada
manusia yang menduduki suatu wilayah tertentu secara tetap, bebas
daripada kekuasaan lain dan mempunyai pemerintahan yang teratur
yang membuat dan melaksanakan hukum terhadap semua orang dan

122 Studi H ubunsan Internasional


golongan-golongan yang ada di bawah kekuasaan atau di bawah
yurisdiksinya.

Negara-bangsa (nation-state) untuk tiga abad yang lalu telah


menjadi "leading-actors" dalam sistem hubungan internasional bahwa
sistem politik internasional sekarang adalah merupakan cerminan atas
peristiwa 350 tahun yang silam, yakni kita bertitik tolak dari yang
diambil dari tahun 1648 sebagai permulaan sistem negara modern (the
moderm state system). Sejarah kebangkitan nasionaiisme, nasionalisme
bangsa-bangsa di Eropa, bersamaan dengan ditandatanganinya naskah
Perjanjian Damai Westphalia (Treaty of Westphalia) 1648.

Ini adalah jenis perang antaragama yakni antara Katolik melawan


Protestan. Sebagian besar Eropa diperintah oleh yang dikenai dengan
sebutan The H oly Roman Empire di bawah pimpinan Austria dengan
kekuasaannya dipusatkan di Vienna. Sebagai penguasa-penguasa lokal,
adalah raja-raja atau ratu-ratu semakin memperoleh kekuasaannya
di dalam kaitannya dengan penguasaan wilayah sebagai cerminan
atas sistem federalisme dan Kaisar Romawi Suci tadi. Namun seteiah
timbulnya Revolusi Protestan mengakibatkan terjadinya erosi
kekuasaan atas raja-raja dan ratu-ratu atau para kaisar sejak abad ke
17 pada saat raja-raja dan ratu-ratu yang berada di Eropa Utara yang
memihak Protestan dalam menentang kaisar Romawi (Katolik). (David
W. Ziegler, 1984, 100).

Dengan adanya perjanjian Perdamaian WestPhalia 1648,


dijadikan sebagai satu formula untuk membangun kerangka perdamaian
dan ini dijadikan sebagai jaminan atau pengakuan sejak berkurangnya
kekuasaan para kaisar-kaisar itu. Formulasi yang dimaksudkan di sini
sebagaimana yang dikumandangkan dalam puisi Latin yang berbunyi,
cuius region eius religio (whose the region, his the religion) "the
religion of a region would be determined by religion of the ruler". Di
sisi lain dari implikasi Konferensi Perjanjian Perdamaian Westphalia
1648 adalah berkenaan dengan pengakuan atas posisi negara yang
Paling penting dalam wacana unit politik, terutama dalam kehidupan

Negara dan Sistem Internasional 123


rakyat di Eropa. Tahun 1648, menjadi tonggak/momentum/langkah
penting terhadap transformasi negara ke dalam kehendak rakyat yang
paling penting pula.

Apa yang menarik dari uraian di atas adalah berkenaan dengan


suatu upaya-upaya yang bersumber dari kelompok-kelompok yang
bertujuan untuk mengidentifikasikan dirinya, melalui sarana (medium)
yang bernama hukum; yang memiliki kedaulatan hukum sebagai suatu
negara. Proses ini senantiasa disebut sebagai langkah awal (staring
points) kebangkitan rohnya nasionalisme hingga usainya Perang Dunia
II. Kendatipun karakteristik pokok kebngkitan roh nasionalisme ini
(sistem negara-bangsa) terbatas bagi kawasan negara-negara di Eropa
saja, pada awalnya, bukan untuk mengatakan sistem politik di bagian
lain di dunia ini akan merasakan rembesan nasionalisme ini.

Sistem negara-bangsa (nation-state system) relatif baru berkem­


bang, jika hal ini diiihat dari dalam konteks sejarah diplomasi secara
keseluruhan (David N. Farnsworth, 1988, 17). Negara-negara kota
(city-state) seperti yang dibayangkan oleh bangsa-bangsa Yunani Kuno
dan Italia itu, bukanlah merupakan suatu negara-negara bangsa dan
juga seperti yang dialami oleh orang-orang Romawi Kuno (Roman
Empire ataupun juga apa yang disebut sebagai H olly Roman Em­
pire). (David N. Farnsworth, 1988, 18). Jika demikian hasilnya, sistem
negara-negara yang disebutkan di atas dapat kita kategorikan sebagai
"state" atau "countries".

Hal ini disebabkan kategori tersebut tidak memiliki karakteristik


apa yang dikenal dengan "the modern nation-state". Konsep ini paling
tidak bermuatan sebuah makna dasar sebagai "nasionalisme" dan
"kedaulatan hukum" (legal sovereignity) yakni sebagai bagian dari
sistem. Nation-state (negara-bangsa) itu sendiri merupakan sebuah
cita-cita (obsesi) tentang sebuah bangsa (nations) yaitu "a people who
free themselves parts of some large identify group". (Bruce Russett &
Harvey Starr, 1985, 45).

124 Studi Hubungan Internasional


Namun demikian, munculnya Multinational Corporations
(MNCs), International Governmental Organizations (IGOs) dan Non-
Govermental Organizations (NGOs) serta individu-individu selama
abad 20an, semakin menampilkan perannya di dalam masyarakat
global. Dan dengan gejala ini semakin mendesak peran utama negara-
negara yang selama ini mendominasi dalam sistem internasional.
Kehadiran IGOs semakin terasa mendapat tantangan terhadap negara-
negara. Masyarakat Eropa (EC) merupakan jenis organisasi bercorak
iGOyangterdiri dari European Coal and Stell Community (ECSC) 1952;
European Economic Community (EEC) 1958; European Community
(EC) 1967.

Ini tidak berarti bahwa negara-negara di Eropa telah mati, namun


dalam hal ini dilihat sebagai satu ilustrasi untuk mennjukkan peran
negara-bangsa sebagai "the single most important international actor"
mendapat tantangan besar terutama dengan munculnya organisasi-
orsanisasi yang bukan negara tadi. Dan bahkan peran orang-perorangan
(individu) dalam sistem hubungan internasional menjadi persoalan
bagi eksistensi negara-bangsa untuk masa mendatang.

4.1.2 Negara Sebagai Aktor Dalam Sistem Hubungan


Internasional

Negara (nation-state) telah menjadi aktor (pelaku) dalam sistem


politik dan hubungan internasional yang par-excelence. Sejak usai
Perang Dunia Kedua, terlihat percepatan pertumbuhan Negara-negara
Baru (New Emergimg Forces) sebagai anggota dalam masyarakat
internasional. Masyarakat internasional atau organisasi-organisasi
internasional seperti misalnya Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB); ketika
permulaan didirikan 1945, anggotanya baru sekitar 51 negara. Akan
tetapi, sejak terjadi krisis dekolonisasi tercapai hingga tahun 1980-an,
jumlah negara-negara baru itu terus meningkat secara drastis hampir
seratus negara baru yang diterima ke dalam sistem internasional itu
sehingga jumlahnya menurut data statistik 1983, sebanyak 157 negara
anggota PBB.

Negara dan Sistem Internasional 125


Hal ini dapat diartikan bahwa ekspansi sistem negara-bangsa
(Nation-States) yang hampir tiga kali lipat jumlahnya Negara-negara
merdeka tahun 1945. Ini merupakan suatu indikasi terhadap perubahan
penting dalam berbagai macam isu berkaitan dengan sistem itu sendiri.
Misalnya masalah ekonomi dan pembangunan negara-negara yang
sedang berkembang telah menjadi problema utama di forum PBB
(Perserikatan Bangsa-Bangsa) maupun di forum-forum internasional
lainnya dalam mana, negara-negara yang dikategorikan sebagai
keiompok negara-negara Dunia Ketiga barangkali dalam masa-masa
mendatang, dapat memainkan perannya ke dalam konstelasi seperti itu.
Walaupun sekali lagi dikatakan, dengan sembari hancurnya kekuasaan
kolonialisme yang pada gilirannya, gelombang arus ekspansi sistem
negara-negara yang tidak dapat dibendung juga akan melahirkan
perbedaan-perbedaan masalah krusial yang tidak secara langsung
melahirkan berbagai macam konflik di dalam sistem itu sendiri.

Sebagai salah satu langkah yang menggambarkan bagaimana


intervensi sistem Negara-bangsa yang terdapat dalam sistem
internasional Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), ketika diadakannya
pembicaraan/Session I Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa
(MU PBB) 1946 di mana sebanyak 51 suara yang 20-nya berasal dari
negara-negara Amerika Latin; 5 dari Negara-Negara Persemakmuran
Inggris; 12 dari negara-negara Eropa Barat. (David N. Farnsworth,
1988, 24). Apalagi dengan bubarnya beberapa negara-negara Uni
Soviet (US) menjadi negara-negara Persemakmuran CISO pada
tanggal 8 Desember 1991 yang mengubah diri menjadi CIS itu akan
mengubah struktur organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang
dalam hal ini terutama Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa
(DK PBB).

Dari satu sisi negara, itu merupakan suatu entitas legal (legal
status) dan legal equality. Seperti halnya suatu kerjasama dalam suatu
organisasi negara tidak memiliki eksistensi konkrit. Oleh sebab itu
negara adalah sebuah: "legal abstraction". Dengan melalui pemerin-

126 Studi Hubungan Internasional


tahannya. Sebagai wakil negara, diberikan sebagai status legal bagi
mandat ke dalam konteks suatu perjanjian, kerjasama organisasi dan
sebagainya. Negara telah diberikan statusnya yang bersifat "legal mo­
nopoly on the use of force in the global arena by international law".
(Bruce Russett & Harvey Starr, 1981, 49).

Untuk memenuhi syarat-syarat sebuah negara, sebagai suatu


entitas, harus dipertemukan ke dalam tiga kriteria. Pertama, negara
merupakan suatu himpunan orang-orang (an association of people), ke
dua, "these people must be politically organized. They must be located
on definite territory" (David W . Ziegler, 1984, 101). Menurut Richard
H. Foster/Robert V. Editon (1985, 79), bahwa negara yang diartikan
di sini paling tidak, memiliki landasan rumusan yang bertujuan untuk
memberikan status terhadap negara tersebut yang harus memiliki empat
(minimal) unsur yang terdapat didalamnya yaitu: "A ll definitions of the
modern state make reference to permanent population, a territory, a
government, and sovereignity. A ll state must possess these element
to be recognized as an equal by other states". Karakteristik sebagai
satu negara-bangsa yang modern dapat dinyatakan dengan sangat
sederhana sebagaimana yang diungkapkan oleh David N. Farnworth,
1988, 18 yakni, "(a), a reasonably precise portion of territory must
exist...that a portion of land is generally following as making up that
nation-state; (b). naturally following the designation of territory, a
population".

Ada tiga pandangan yang merumuskan pengertian sebuah negara


secara fisik, sebagaimana yang diungkapkan di atas. Jikalau dilihat
dari sisi pandang pendekatan yang digunakan yang lebih cenderung
merujuk kepada aliran pemikiran hukum internasional, yang bersifat
Positivisme, mendefinisikan negara sebagai suatu entitas hukum dan
politik yang memiliki atribut-atribut seperti, penduduk, wilayah,
Pemerintah dan kedaulatan dan belakangan ditambah dengan unsur
Pengakuan dari negara-negara lain. Pendekatan ini lebih melihat
negara itu dari sisi pandang norma-norma hukum internasional yang

Negara dan Sistem Internasional 127


ingin menyamakan semua negara sebagai actor utama di dalam sistem
politik internasional dan memberikan perbedaan antara aktor negara
dan aktor non-negara dalam pergaulan internasional.

Negara jika menurut pengertian di atas, merujuk pada keduduk-


annya dalam konteks, negara sebagai subjek hukum internasional yang
memiliki sifat istimewa (par excellence). Negaralah yang merupakan
pengertian pokok dari doktrin maupun dari hukum internasional prak-
tis. Maka dengan demikian, negara sebagai entitas politik dan hukum
internasional yang memiliki atribut-atribut tadi. Unsur-unsur seperti
itu semula ditentukan dari Konferensi Pan-Amerika 1933 di Motevi-
deo (konvensi mengenai Hak-hak dan Kewajiban Negara). Negara,
mempunyai insur konstitutif dari negara menurut pengertian hukum
internasional.

Pada saat kita membicarakan negara sebagai sebagai konsep


Hukum Internasional (Konvensi Montevideo) yang merumuskan
negara sebagai/berdasarkan adanya 3-4 unsur/atribut konstitutif, negara
juga akan bisa dilihat dari sisi konsep ilmu politik. Dalam ilmu politik,
kedudukan negara jika dilihat dari ketiga unsur atau empat unsur
yang melekat di sana, dianggap sebagai yang memiliki entitas politik,
unsur-unsur konstitutif sebagai kesatuan (entitas) politik yang konkrit,
negara in concreto, sebagaimana Negara itu tumbuh dan berkembang
dan terjelma dalam sejarah, sebagai bentukan atas pengelompokan
sosial sebagai asosiasi manusia-manusia. Ke tiga unsur konstitutif
pertama terhadap negara sebagai unsur yang minimal dari setiap
pengelompokan yang dinamakan negara. Maka dengan demikian,
negara itu bukanlah penduduk, bukanlah wilayah, atau pemerintah
sekalipun. Namun negara adalah penggabungan dari ketiga unsur-
unsur konstitutif tadi, dan unsur-unsur itu adalah sebagai berikut.

PEN D U D U K

Penduduk suatu negara adalah semua orang yang pada suatu


waktu mendiami wilayah negara. Mereka itu secara sosiologis disebut
sebagai "rakyat" dari negara tersebut. Rakyat dalam konteks ini adalah

128 Studi Hubungan Internasional


sebagai suatu kumpulan manusia yang dipersatukan oleh suatu rasa
persamaan dan yang bersama-sama mendiami suatu wilayah suatu
negara.

W ILAYAH

Jika penduduk adalah substratum personal suatu negara, maka


yang diartikan dengan suatu wilayah adalah landasan material atau
landasan fisik sebuah negara. Dengan wilayah dalam hubungan ini
diartikan bukan hanya wilayah geografis atau wilayah dalam pengertian
sempit, akan tetapi terutama wilayah dalam artian hukum atau wilayah
dalam artian luas ini merupakan wilayah di mana, dilaksanakan
yurisdiksi negara yang meliputi baik dengan wilayah geografis maupun
udara di atas wilayah negara itu sampai tidak terbatas dan laut di sekitar
pantai negara (laut teritorial).

4.1.3 Pengertian Bangsa dan Nasionalime

Bahwa Nasionalisme dan Natie (bangsa) adalah merupakan


sebuah gejala sosial politik yang dianggap terpenting terutama pada
zaman ini. Konsep Nasionalime dan Natie, adalah dua serangkai
gejala sosial dan politik yang pada akhirnya bermuara pada negara-
bangsa (nation-states) Nasionalime adalah sebuah gerakan sosial
(social force) yang penuh dinamika yang mengembus kurang lebih dua
setengah abad yang lalu yang berasal dari kawasan Eropa kontinental
dan menimbulkan gejolak di kawasan Asia dan Afrika dalam abad
ini. Revolusi Perancis tahun 1789, adalah merupakan contoh dan
bentuknya yang pertama dan pergolakan serta kebangkitan negara-
negara Asia Afrika pada abad 20-an.

Istilah bangsa berbeda dengan pengertian yang ada dalam se­


buah negara. Bahwa bangsa tidak cukup hanya dilihat dari segi ta­
taran geografisnya. Namun sebuah bangsa merupakan sekelompok
orang-orang (a grouping of people) yang memiliki kesamaan pandan­
gan di antara anggotanya. Kesamaan dalam pandangan tersebut dapat
dicermati dari ungkapan terhadap kultur, bahasa yang digunakan

Negara dan Sistem Internasional 129


etika dan sebagainya. Suatu istilah yang dikaitkan dengan suatu keg­
iatan perang atau revolusi. Nasionalisme juga sering digunakan untuk
menggambarkan suatu pergerakan dari kelompok minoritas tertentu.
Nasionalisme juga dikatakan sebagai suatu ideologi dari suatu sistem
kepercayaan yang diterima sebagai suatu yang benar oleh kelompok
tertentu. Nasionalisme adalah suatu konsep yang berdasarkan kepada
yang berdasarkan kepada ungkapan perasa'an atas kebersamaan ter­
hadap yang lain (sebagai suatu anggota kelompok) dalam perspektif
sebagai suatu bangsa.

4.2 A K T O R -A K T O R N O N -N E G A R A (NGO )
4.2.1 Non-Governmental Organization (NGO 's)

Meskipun kegagalan yang dialami oleh orang-orang Palestina


untuk membentuk sebuah negara yang berdaulat dalam kerangka
penyatuan kriteria bagi status suatu negara tertentu, PLO (Palestinian
Liberation Organizaton) ini telah memainkan perannya yang cukup
penting dalam percaturan politik internasional. Ini merupakan
suatu kenyataan di luar salah satu prinsip-prinsip dasar tradisional
politik internasional, bahwa negara-negara bangsa yang memiliki
kedaulatanlah yang harus menjadi aktor dalam sistem hubungan
internasional. Akan tetapi, dalam perkembangan yang lebih lanjut,
tidak hanya aktor yang seperti itu memiliki status seperti itu saja.
Namun, peranan IGOs (Inter-Governmental Organization), MNCs
(Multi-National Corporations) dan individu-individu juga mengambil
bagian pentingdalam sistem internasional. Kasus Palestinian Liberation
Organization (PLO) tidak dapat seluruhnya dapat dinyatakan tidak sah
yang mengklaim bahwa negara-negara bangsalah yang ideal sebagai
aktor dalam sistem hubungan internasional. Dalam hal ini PLO dengan
sangat jelas bercita-cita sebagai suatu negara yang kondusif.

Manuver-manuver politik yang mereka lakukan telah menunjuk­


kan bahwa organisasi ini dapat memberikan pengaruhnya terhadap
kondisi politik internasional meskipun organisasi PLO ini tidak memi-

130 Studi Hubungan Internasional


|j|<i unsur-unsur konstitutif sebagaimana halnya sebuah negara. Atau
barangkali, lebih tepatlah jika mengartikan bahwa kelompok-kelom­
pok gerakan seperti yang ditampilkan oleh PLO, disebut sebagai yang
terkandung dalam pengertian sebagai "states-inwaiting".

Aktor-aktor non-negara di dalam terminologi ilmu politik dan


hubungan internasional dapat dibagi ke dalam dua bagian utama
yaitu:

(a) Intergovernmental organization (IGO)


(b) Non-governmental organization (NGO)

Adapun yang termasuk di dalam kategori IGO 's misalnya


Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Liga Bangsa-Bangsa (LBB), North
Atlantic Treaty Organization (NATO) dan sebagainya. Sedangkan yang
termasuk contoh sebagai kategori NG O 's adalah seperti, International
Red Cross (IRC), Amnesty International. Apa yang dicontohkan
terakhir ini adalah organisasi-organisasi yang secara tidak langsung
berhubungan dengan kepentingan pemerintah nasional. Khususnya
NGO's dalam pertumbuhan dan perkembangannya, dapat dikatakan
sebagai suatu hal yang spektakuler. NGO's yang sering disebut sebagai
organisasi "transnational organizations" (meskipun kata trans-states
lebih tepat digunakan di sini). Sebagai salah satu contoh bagi tipologis
organisasi seperti ini adalah Roman Catholic Church yang dianggap
lebih tua daripada ketika munculnya pemikiran tentang konsep: "the
state system 1684".

Pada saat ini organisasi-organisasi yang non-negara lebih


kurang berjumlah 2000-an termasuk di dalamnya International
Olympic Committee (IOC), International Air Transport Association
dan Experiments in International Living. Meskipun pada awalnya
(Perang Dunia Kedua) sekitar 170-1n NGO's, namun setelah usainya
Perang Dunia Kedua, pada akhir tahun 1970-an, sudah mencapai
jumlah sekitar 2500-an banyaknya. (David W . Ziegler, 1984; David
N. Farnsworth, 1988).

^ eSara dan Sistem Internasional 131


Sebagai salah satu catatan penting dalam kaitan ini adalah
perbedaan antara IGOs dengan NG O 's terlihat dalam perbedaan sifat
keanggotaannya (memberships). Dari satu sisi, NG O 's dalam sifat
keanggotaannnya tidak sebagai perwakilan pemerintah yang secara
langsung dari negara-negara yang terlibat dalam organisasi yang
bersangkutan; akan tetapi dalam IGO's adalah sebaliknya. Mereka ini
adalah organisasi-organisasi yang melewati batas-batas wilayah negara
nasional yang dalam hal ini ia terlihat dari individu-individu, seperti
misalnya apa yang dilakukan oleh seperti Anwar Sadat ataupun apa
yang dilakukan oleh kelompok-kelompok gerakan politik (the Palestine
Liberation Organization (PLO) dan bukan sebagai pejabat dari suatu
pemerintah nasional.

Dalam sektor kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh NGO's


tercermin di dalam badan-badan atau lembaga-lembaga keagamaan,
organisasi-organisasi profesional, organisasi-organisasi keolahragaan,
kelompok-kelompok perdagangan serta ada juga partai-partai politik.
Namun dapat juga dikatakan bahwa N G O 's tidak cenderung memiliki
sifat atau motif politik tertentu; tetapi dalam kenyataannya, kesan
seperti itu bisa saja ditolak. Dalam lingkup yang luas, khususnya dalam
rangka penyelenggaraan olah raga sedunia, kesan terhadap makna
politiknya secara tidak langsung memang tampak. Ketika persoalan
antara Republik Rakyat Cina (RRC) dengan Cina Taiwan, dalam
penyelengaaraan Olimpiade 1984 dan 1975 beberapa Negara dari
kawasan Afrika memboikot penyelenggaraan pesta olah raga tersebut.
Hal ini disebabkan Selandia Baru berafiliasi dalam bidang olah raga
dengan Republik Afrika Selatan (RAS) dan ini tentunya berkaitan
dengan masalah politik apartheid-nya. Tahun 1980-an Amerika
Serikat (AS) mengadakan tindakan boikot terhadap penyelenggaraan
Olimpiade Moskwa berkenaan dengan masalah invansi Uni Soviet
(US) di Afghanistan dan kemudian selanjutnya Uni Soviet (US) balik
menyerang mengambil sikap memboikot pelaksanaan Olimpiade
musim panas di Los Angeles 1984. (Richard H. Foster/Robert V.
Edington, 1985, 83; David N. Farnsworth, 1988, 33-34).

132 Studi Hubungan Internasional


Non-Governmental Organization (NGO's), yang terdiri dari
negara-negara(privatcitizens) atau kelompok-kelompok swastaataupun
antara ke dua-duanya yang bekerjasama pada tingkat internasional.
Sebagai bentukan suatu lembaga kerjasama, organisasi-organisasi ini
telah ada atau sejak adanya sistem negara-bangsa, seperti misalnya
Gereja Katolik Roma. Organisasi ini tetap ada dan semakin bertambah
saja jumlahnya. Cara terbaik untuk menggambarkan (sebagai ilustrasi)
atas keanekaragaman (diversitas) organisasi-organisasi non pemerintah
ini dengan cara menampilkan ke dalam daftar. Kegiatan seperti ini
meskipun sangat kecil, akan tetapi sudah dapat dianggap sebagai
sampel mini untuk mewakili lebih dari dua puluh ribu organisasi-
organisasi nonpemerintah sebagaimana dapat dilihat di bawah ini.

DAFTAR ILUSTRASI O RG A N ISA SI N O N PEMERINTAH

Amnesty International (Al)


African Trade Union Confederation (ATUC)
Association of International Libraries (AIL)
Baptist World Alliance (BW A)
European Civil Service Federation (ECSF)
European Computer Manufacturing Association (ECMA)
Experiments in International Living (EIL)
Inter-American Bar Association (IBA)
International Chamber of Commerce (ICC)
International Confederation of Free Trade Unions (ICFTU)
International Association of Seed Crushers (IASC)
International Confederation of Midwives (ICM)
International Council of Scientific Unions (ICS)
International Criminals Police Organization (Interpol) (ICPO)
International Federation of Christian Trade Unions (IFCT)
International Films and Telvision Council (ICFT)
International Olym pic Committee (ICC)
International Policital Science Association (IPSA)
International Red Cross (IRC)

Negara dan Sistem Internasional 133


International Rice Research Institue (IRRI)
International Society for the Protection of Animals (ISPA)
Lions International (LI)
Nordic Mucicians Union (M NU)
Palentine Liberation Organization (PLO)
Rockefeller Foundation (RF)
Salvation Army (SA)
Scandinavian Bank Employee's Union (SBEU)
Union of International Fairs (UIF)
Universal Esperanto Association (UEA)
World Coalition Against Vivisection (WCAV)
Sumber, Adaptasi dari W illiam D. C olpin Introduction to International Politics, (N ew
Jersey: Prentice-Hall, Inc. 1980), 123.

Studi singkat mengenai daftar tersebut jelas menunjukkan betapa


menusia yang membentuk organisasi-organisasi yang nonpemerintah
(NGO's) untuk mencapai tujuan sosial, ekonomi dan politik, di mana
di antaranya telah membentuk struktur dan kelembagaan formal besar
dan sementara yang lainnya, hanya sekali-sekali mengadakan acara
pertemuan yang membahas kepentingan bersama dari para anggotanya.
Organisasi-organisasi ini mengumpulkan danadan mengalokasikannya
serta mendistribusikan berbagai jenis dan bentuk informasi.

Sementara itu, keanekaragaman organisasi non pemerintah


yang semakin membesar dan berkembang pesat seperti dalam gam­
bar menunjukkan peningkatan-peningkatan jumlah organisasi yang
demikian tinggi terutama sejak tahun 1940-an. Peningkatan yang ter­
tinggi terjadi di Eropa Barat dan Amerika Utara dan sebagian negara-
negara berkembang.

134 Studi Hubungan Internasional


30.000
25.000

Sumber: "W erm er & Field, N ongoverm ental Forces a n d W orld Politics A Study of
Business, Labor a n d Political Group", N e w York, Praeger, 1972, dalam
W illiam D. Coplin, Introduction to International Politics, (N e w jersey)
Prentice-Hall, Inc., 1980), 124.

Gambar 4.1 Pertumbuhan Organisasi Non Pemerintah (NCO 's)


1860-1970

4.2.2 Multi-National Corporation (MNC's)

Organisasi ini didefinisikan sebagai sekumpulan perusahaan


yang berasal dari negara-negara yang berbeda dan bergabung ke
dalam atau melalui ikatan-ikatan strategis manajemen bersama.
Dan suatu rumusan yang agak keras bahwa yang diartikan dengan
MNC's itu adalah perusahaan-perusahaan yang para pemimpinnya
bekerja ke dalam satu pangkalan, akan tetapi aktifitasnya dilakukan
di negara lain. Dalam perkembangan yang terjadi, M NC's ini
semakin meningkatkan frekuensi aktivitasnya dalam bidang ekonomi
internasional terutama sejak usainya Perang Dunia Kedua menjadi
alasan yang kuat dan merangsang terhadap bisnis multinasional dan
semakin bertambah terus. Kurang lebih 7000 bisnis korporasi dengan
anak cabang-cabangnya di negara-negara lain yang pada saat ini sekitar
26.000 cabang tersebar di beberapa negara dan yang paling besar
dikuasai oleh Amerika Serikat (AS). Misalnya General Motors (GM),

Negara dan Sistem Internasional 135


NESTLE, FIAT, Exxon dan sebagainya. Selain itu organisasi-organisasi
multinasional lainnya berupaya mencapai tujuannya terutama dalam
bidang ekonomi, seperti Royal Dutch Shell Mobil, British Petroleum
serta juga termasuk di dalamnya Standard O il of California (Stanfac).

Tetapi yang menjadi persoalan dalam hal ini adalah apa yang
terpenting atas kehadiran MNC's bagi studi hubungan internasional?
Dalam kaitan ini Theodore A. Couloumbis & James H. Wolfe, me-
ngajak kita menengok data statistik untuk menunjukkan perbandingan
antara kekuatan perekonomian perusahaan-perusahaan multinasional
dengan kekuatan perekonomian negara-negara. Tampaknya memang
bahwa M NC's menguasai proporsi bagian besar pangsa ekonomi yang
ada terutama dari segi luas lingkup dan volume perusahaan itu mem­
berikan dampak terhadap sistem internasional. Ini merupakan suatu
gejala yang akan memberikan dampak terhadap pola hubungan in­
ternasional dan sekaligus juga akan memberikan pola pengaruhnya
terhadap studi hubungan internasional umumnya. Gejala ini akan
mengarah kepada perubahan atau terjadi polarisasi bagi pandangan
dan persepsi para penstudi hubungan internasional. Ada pihak yang
merasa optimis dan ada pola yang merasa pesimis terhadap kehadiran
perusahaan-perusahaan multinasional.

4.3 O R G A N IS A S I A N T A R P E M E R IN T A H (IG O ’S)


DAN T IP O L O G IN Y A
4.3.1 Organisasi Antarpemerintah (IGO )

Di depan telah diuraikan dengan panjang lebar kedudukan


negara-bangsa dalam konstelasi sistem internasional dan aktor
internasional yang nonnegara-bangsa. Aktor nonnegara dalam
kepustakaan ilmu politik dan hubungan internasional dapat dibagi
kedalam dua bagian pokok, yakni:

a. Intergovernmental organization (IGO's); dan


b. Nongovernmental organization (NGO's)

136 Studi Hubungan Internasional


IGO 's ini sering disebut sebagai suatu Organisasi Internasional
(Ol) yang mempunyai peranan sebagai aktordalam sistem internasional
dan yang dalam hal ini hanya merupakan organisasi-organisasi seperti
misalnya Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang meliputi susunan
negara-negara, individu-individu, yang menempatkan wakil-wakilnya
sebagai organisasi tadi, untuk mewakili kepentingan-kepentingan dan
kebijaksanaan-kebijaksanaan politik luar negerinya masing-masing.

Namun demikian, belumlah sangat jelas apa yang diartikan


dengan Organisasi Internasional (International Organizations) itu.
Kendati secara sekilas telah diberikan dalam bentuk atribut-atribut se­
bagai label statusnya. Untuk itu Theodore A. Couloumbis & James
H. Wolfe (1912, 252) membangun pendekatan terhadap masalah
pendefinisian Organisasi Internasional dengan membaginya ke dalam
tiga pendekatan berdasarkan tingkat komparasinya. Pertama, Organi­
sasi Internasional dapat dirumuskan ke dalam terminologi/istilah/atau
dimensi tujuannya. Kedua, Organisasi Internasional dapat dirumuskan
dengan berdasarkan pada kelembagaannya. Ke tiga, adalah Organisasi
Internasional didekati dengan berdasarkan kepada prosesnya. Namun
kurang lebih sama, Bruce Russett & Harvey Starr (1985, 53-55) yang
melihat bahwa IGO's senantiasa dikaitkan dengan kategori berdasar­
kan pada lingkup (scope) dan keanggotaannya (scope of membership)
dan lingkup tujuannya (scope of purposes).

Maka jika Organisasi Internasional dilihat dari segi luas lingkup


keanggotaannya (universal political organizations) seperti yang nam-
pak di dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Liga Bangsa-Bangsa
(LBB) mempunyai tujuan yang umum (general purposes) dalam bi-
dang-bidang seperti, misalnya di bidang politik, ekonomi, pemba-
ngunan, militer sosial-budaya serta berbagai fungsi-fungsi lainnya bagi
kepentingan-kepentingan negara-negara anggotanya. Tujuannya yang
bersifat umum, namun sifat keanggotaannnya terbatas (general pur­
poses organizations) dan (limited organization). Ini termasuk organi­
sasi militer/pertahanan seperti contohnya, North Atlantic State (OAS),
Organizations of African Unity (OAU), dan sebaliknya.

Negara dan Sistem Internasional 137


Di samping itu, klasifikasi dengan berdasarkan fungsinya
maka IGO's atau yang disebut dengan " limited on purposes IG O 's".
Ciri khasnya terdapat di dalam ketidakseimbangan antara jumlah
organisasi dengan fungsinya yang terbatas itu. Dari tahun 1945-
1989 terdapat kurang lebih 220 buah jumlah organisasi semacam
ini kemudian dari tahun 1969-1983 bertambah menjadi 360 buah
organisasi. Fungsionalisme organisasi internasional dapat dilihat
di dalam intensitas atau aksentuasinya dalam bidang/fungsi militer
seperti Misalnya Liga Arab, NATO, Pakta Warsawa (bubar tahun
1991). Dan fungsi yang lebih menjurus kepada masalah ekonomi,
terdapat misalnya, European Common Market, ASEAN, CO M ECO N
(Council for Mutual Economic Assistance), serta yang secara khusus
bergerak dalam bidang pelayanan sosial kemasyarakatan seperti
misalnya, W H O (W orld Health Organization), ILO (International
Labor Organization), dan yang terakhir khusus menekankan bidang
kerjanya pada fungsi moneter dan pembangunan ekonomi, seperti IMF
(International Monetary Funds), W B (W orld Bank) dan sebagainya.

Dari segi pendekatan berdasarkan tujuannya, organisasi interna­


sional mempunyai tujuan-tujuan sebagai berikut:

a. Regulation of international relations prim arily through techniques


of peaceful settlements of disputes among nations-states.
b. Minimalization or at least, control of international conflict (war);
c. Promotion of corporative, development among nation-states for
the social and economic benefit of certain or of human kind in
general;
d. Collective defence of a group nations-states against external
threat. (Theodore A. Couloumbis & James H. Wolfe, 1981, 252)

IGO's terdiri dari lembaga-lembaga yang memiliki anggota peja-


bat-pejabat pemerintah sebagai delegasi negara-negara yang tercermin
di dalam PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa). Sedangkan NGO's, dapat
dipahami dengan memperhatikan bahwa ia adalah lembaga-lembaga
yang dicerminkan oleh himpunan-himpunan (associations) privat in-

138 Studi Hubungan Internasional


temasional yang terdiri dari kelompok-kelompok ilmuwan, kelompok-
kelompok budayawan dan sebagainya. Namun mereka ini tidak secara
langsung berkepentingan atau berpartisipasi atas nama pemerintah.
Sebagai contoh, International Chamber of Commerce (ICC), Interna­
tional Parliamentary Union (IPU), W orld Veterans Federations (WVF).
IGO's dapat diklasifikasikan ke dalam empat kategori besar, yang dini-
lai dari perspektif keanggotaannya dan tujuannya sebagai berikut:

a. Global membership and general-purposes organizations


Adalah organisasi seperti PBB, LBB yang mempunyai skope yang
lebih luas dan berbagai fungsinya seperti pertahanan keamanan,
kerjasama sosial ekonomi, perlindungan hak-hak asasi manusia
dan sebagainya.

b. Global membership and limited-purposes organizations


Adalah organisasi-organisasi yang memiliki fungsi seperti badan-
badan khusus PBB, International Bank For Recontruction De­
velopment (IBRD), World Health Organization (W H O ), UNESCO
(United Nations Education, Scientific and Cultural Organization).

c. Regional Membership and General Purposes Organizations


Adalah organisasi-organisasi yang bersifat regional yang mem­
punyai luas lingkup sasarannya atau kegiatannya diantaranya
dalam bidang-bidang seperti, keamanan, politik, ekonomi sosial.
Sebagai contohnya termasuk, Organization of American State
(OAS), Liga Arab dan sebagainya.

d. Regional Membership and limited Purposes Organizations


Adalah organisasi-organisasi yang memiliki sub-divisi dalam bi­
dang-bidang ekonomi-sosial dan militer atau organisasi-organisasi
pertahanan misalnya, LAFTA (Latin American Free Trade Associa­
tion), CEMA, NATO.

Maka dengan berdasarkan pada klasifikasi tersebut di atas, suatu


organisasi antarpemerintah (IGO) terbentuk apabila dua atu lebih

Negara dan Sistem Internasional 139


negara-negara yang menandatangani perjanjian atau piagam. Namun
demikian, untuk memahami lingkup organisasi pemerintah diketahui
dengan dua hal, yaitu lingkup geografis keanggotaan dan dengan me­
lalui jenis tujuan yang hendak dicapai. Lingkup geografis keanggotaan,
itu bisa digolongkan sebagai global dan regional. Organisasi global
adalah organisasi yang keanggotaannya ada di kawasan-kawasan uta­
ma dunia. Sebagai contoh negara-negara Persemakmuran merupakan
suatu organisasi antarpemerintah yang keanggotaannya global akan
tetapi tidak universal.

4.3.2 Beberapa Tipologis Organisasi AntarPemerintah.

Sampai di sini, kita sampai pada persoalan peran organissi an­


tarpemerintah (IGO) dalam sistem internasional atau dalam konstelasi
politik internasional. Maka di bagian ini dibuat suatu tipologis me­
ngenai organisasi kerjasama antarpemerintah (IGO) dilihat dari ber­
bagai tipe dan karakteristik dari berbagai bentuk dan jenisnya. Dengan
demikian akan memberikan gambaran sedikit tentang peranan mereka
dalam politik internasional. Dari tipologis organisasi antarpemerintah
harus dianggap sebagai "aktor" yang memberikan pengaruh terhadap
kebijakan-kebijakan negara-negara dan organisasi-organisasi antarpe­
merintah.

Lingkup dan aktivitas organisasi antarpemerintah bisa regional


dan global dan mencakup masalah-msalah sosial dan ekonomi
serta masalah-masalah perang dan damai. Meskipun pertumbuhan
organissi-organisasi antarpemerintah pada tingkat global, tampaknya
yang terbatas. Pada tingkat regional, ternyata tidak terbatas. Bahwa
peranan organisasi-organisasi antarpemerintah (IGO) dalam hubungan
antarnegara (inter-states relationships) dalam bidang kerjasama sosial
dan ekonomi seta di bidang perang dan damai. Dan peran ini muncul
dari seperangkat interaksi yang kompleks antara pengambil keputusan
dan kebijakan-kebijakan yang memberikan pengaruhnya.

140 Studi Hubungan Internasional


T IPO LO G IS O RG AN ISASI IGOs

Tujuan Keanggotaan Tujuan Um um Tujuan Terbatas

Global PBB & LBB WHO


Regional NATO, ASEAN COM ECO N
Lain-lain British Com International Wool

Regional Memberships and General-Purpose Organizations

Adalah organisasi-organisasi regional yang mempunyai ru-


ang lingkup sasarannya (kegiatannya) dalam bidang-bidang seperti,
keamanan, politik, ekonomi sosial. Termasuk organisasi seperti ini
adalah Organization of American State (OASO, Liga Arab, European
Community (ECO) dan sebagainya.

Regional Memberships and Limited Purpose Organizations

Organisasi-organisasi internasional jika dilihat dari segi


pendekatan prosesnya, dihadapkan kepada masalah awal dari analisa
ini yakni berupa proses organisasi internasional itu sendiri apa; dan
bagaimanakah proses organisasi internasional dengan pemerintahan
nasional? Proses organisasi-organisasi internasional akan lebih
menunjukkan kepada suatu gambaran bahwa ia merupakan/sebagai
bentuk yang "global regu/at/on"yangsangatmendasar. Adapun sebagai
karakteristik yang melekat dalam organisasi seperti ini berbeda dengan
pemerintahan nasional umumnya (sistem politik) dan tampaknya ia
lebih khusus. Sebagai subjek pemerintahan nasional agaknya lebih
besar yang terdiri dari individu-induvidu, keluarga-keluarga, kota-kota,
kelas-kelas sosial dan sebagainya.

Di sisi lain, Organisasi Internasional (IGOs) yang sebagai sub-


jeknya terdiri dari negara-negara yang mewakili pemerintahnya dan
mi agak lebih sempit dibandingkan dengan subjek pemerintahan na­
sional. Lagi pula pemerintahan nasional fungsinya lebih inklusif/men-
dalam yang mencakup seluruh sendi-sendi kehidupan masyarakatnya.
Sedangkan dalam organisasi-organisasi internasional, tidak secara
ketat pengaruhnya kepada para anggota-anggotanya dan mungkin

Negara dan Sistem Internasional 141


hanya dengan beberapa macam resolusi-resolusi, misalnya di bidang
keamanan, politik, informasi laporan-laporan dan bantuan-bantuan
teknis sifatnya.

International-govermental actors yang senantiasa disebut se­


bagai intergovernmental organization (IGOs) oleh pandangan sarjana
professional, lebih merujuk kepada karakter organisasi yang public in­
ternational organization sebagaimana yang dipergunakan dalam buku
ini yaitu sebagai international governmental organizations (IGOs).
Hal ini akan terwujud jika ada dua atau lebih negara-negara yang
menandatangani satu traktat ataupun suatu piagam. Dokumen seperti
ini dijadikan suatu konstitusi bagi organisasi yang dimaksudkan yakni
terdiri atas a set of guidelines outlining the aims of yhe organizations
as whell as ways in which it should achieve those aims (William D.
Coplin, 1980, 119).

Bentuk tipikal setiap organisasi-organisasi antarpemerintah


dibentuk dengan berdasarkan pada dokumen/piagam/traktatnya. Oleh
sebab itu ada dua cara untuk mengklasifikasikan organisasi-organisasi
internasional antarpemerintah yaitu dengan cara atau melalui lingkup
geografis keanggotaannya dan dengan melalui jenis tujuannya
yang hendak dicapai. Dari lingkup geografis keanggotaannya dapat
digolongkan ke dalam organisasi-organisasi regional dan organisasi-
organisasi global. Organisasi-organisasi global adalah organisasi-
organisasi yang sifat keanggotaannya ada di kawsan-kawasan utama
dunia ini.

Terminologi global di sini menunjukkan sifat kepada kepemi-


likan keanggotaannya yang ada di setiap kawasan dunia akan tetapi
keanggotaannya tidak terbuka bagi semua negara-negara. Misalnya
negara-negara Persemakmuran (Commonwealth-State) adalah organi­
sasi internasional antarpemerintah yang sifat keanggotaannya global,
akan tetapi tidak bersifat universal. Dalam hal ini sebagai organisasi
seperti itu adalah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dikategorikan se­
bagai organisasi internasional antarpemerintah yang universal.

142 Studi Hubungan Internasional


Universalitas terhadap suatu organisasi internasional pada
dasarnya muncul pemikiran dasar atau gagasan untuk mendirikan
o r g a n is a s i internasional yang bersifat internasionalis bukanlah pada
sa at akan didirikannya organisasi internasional yang bersifat universal
seperti misalnya Liga Bangsa-Bangsa (LBB) ataupun Perserikatan
gangsa-Bangsa (PBB), akan tetapi jauh sebelum itu terwujud, yakni
telah ada sejak berabad-abad lamanya meskipun bentuknya yang
sangat sederhana lamanya meskipun bentuknya yang sangat sederhana
dibandingkan dengan yang ada sekarang.

daftar pu st a k a

Coplin, William , D., Introduction to International Politics, (New


Jersey: Prentice-Hall, Inc, 1980)

Farnsworth, David, N., International Relations An Introduction,


(Chicago: Nelson-Hall, 1988)

Foster, Richard H & Robert V, Edington., Viewing International


Relations and W orld Politics, (Englewood Cliffts, N.J: Prentice
Hall,Inc,

Russtt, Bruce & Harvey S Starr., W orld Politics: The Menu for Choice,
(Boston: Little Brown & Cmpany, 1985)

Ziegler,David, W ., War,Peace and International Politics, (Boston:


Little Brown and Company, 1984)

-ooOoo-

Model Pem buatan Keputusan Politik Luar Negeri Unit dan Tingkat Analisis 143
BEBERAPA M ODEL SISTEM
INTERNASIONAL

5.1 S IS T E M IN T E R N A S IO N A L DAN N E G A R A -
NEGARA
Dengan mencandra judul di atas, secara konseptual dapat
dibagi kedalam dua aspek yakni sistem dan internasional. Terminologi
internasional, dihadapkan dengan suatu sistem. Sistem, dalam konteks
ini dilihat sebagai suatu paradigma yang sering digunakan dalam
kerangka penelitian Sosiologi Politik Konvensional, yakni teori
sistem (system theory) dijadikan sebagai instrument untuk menelaah
dinamika dan mekanisme kehidupan sosial politik, dan sistem
dapat juga dijadikan sebagai suatu model analisisnya. Namun pada
dasarnya, konsep umum mengenai pemikiran sistem, yang lahir dari
dunia ilmu pengetahuan alam. Dengan secara sederhana, pemikiran
sistem dikatakan bahwa masyarakat merupakan suatu keseluruhan
yang saling bergantung satu sama lain yang analognya dengan sebuah
"organisme biologis". (Roderick Martin, 1977: 7).

Maka dengan demikian kita dapat mengatakan bahwa sebagian


besar rumusan/batasan/definisi dari sebuah sistem, adalah adanya
!r>terrelatedness atau unsur-unsur di dalam sistem itu. Dalam sistem
'nternasional, keterhubungan-keterhubungan tadi dilihat dalam bentuk
interaksi dalam hubungan antar negara. Dimulai dari tingkat analisis
sistem internasional (internasional system level of analysis) kita
mempunyai satu gambaran yang paling umum tentang politik dunia
(global), di sana terdapat negara-negara bangsa dan politik luar negri
yang lain. Dalam eksistensi negara-negara bangsa, senantiasa dilihat
dalam konstruksi berupa negara-negara lainnya dan aktor-aktor yang
besar dan juga yang kecil, beberapa diantaranya memiliki kekuatan
besar dalam bidang militer dan ekonomi, dan yang lainnya tidak
punya, ada yang dengan baik bisa mengelola sumber-sumber daya
alamnya dan ada juga di antaranya tidak.

Tatanan/susunan negara-negara, termasuk di dalamnya political-


geographical arrangement dan juga physical location of states. Dua
aspek ini penting dalam kaitannya dengan interaksi antarbangsa, dalam
sistem internasional dan pengaruhnya terhadap perilaku negara-negara.
Dalam konteks ini kita bicara tentang struktur dari sebuah sistem
sebagai susunan/tertib dari bermacam-macam hal dalam sistem itu.
Sebuah sistem sebagai suatu rangkaian unsur-unsur yang berinteraksi
dengan unsur-unsur lainnya. Sebuah sistem internasional tampaknya
lebih kompleks, adalah serangkaian interaksi yang terdiri dari negara-
negara. Sebuah sistem dirumuskan dengan satu kombinasi atas atribut-
atribut sebagai komponen-komponennya dan interaksi-interaksinya.
Komponen-komponen itu adalah:

a. Sejumlah negara-negara yang menjadi aktor.


b. Relatif terdapat ukuran-ukuran dari berbagai aktor-aktor negara
(ukurannya seperti, jumlah penduduk, luas wilayah dan lokasi,
tingkat kesehatan, tingkat ekonomi (GPN), kekuasaan militer, dan
sebagainya.
c. Sejumlah aktor-aktor nonnegara (non-state actors).
d. Linkage dan interaksi-interaksi diantara para aktor (diplomasi,
perdagangan internasional, integrasi, migrasi, tourisme, pertukaran
mahasiswa dan sebagainya).

146 Studi Hubungan Internasional


Sistem internasional yang dilihat dalam konteks corak para aktor
aktornya terutama keikutsertaan mereka dalam sistem internasiona
tersebut, terdapat sekurang-kurangnya enam corak yang dibagi kf
dalam: major actors dan minor actors.

M AJO R ACTO RS M IN O R A C T O R S

1. Negara-negara 1. Individu-individu
2. Organisasi-organisasi 2. Organisasi Non-Negara (NGOs)
internasional 3. M ultinational Corporations (MNCs)

Sumber: Adaptasi dari, John K in g G am ble (et.al), Introduction to Political Scie n ce


(N e w jersey: Prentice-Hall, 1987, 420).

Joseph Frankel (1973, 39), pernah mengatakan bahw;


yang dimaksudkan dengan pengertian atau konsep sistem politik
internasional adalah, a collection of independent political unit:
which interact with some regularity. Sedangkan sebagai pandangar
yang dikemukakan oleh K. J. Holsti (1974, 29), yang merumuskar
sistem politik internasional itu sebagai any collection of independent
political entities tribes, city-states, nations or empires which interac
with considerable frequences and according to regularized processes
Stanley Hoffman (1965, 90) yang mengatakan bahwa yang diartikar
dengan sistem politik internasional adalah adanya pola-pola tersebul
ditentukan dalam struktur dunia itu sendiri. Richard H. Foster/Robert V
Edington (1985, 83-84) yang mengatakan bahwa dengan penggunaar
terminologi international system, kita dapat mengartikannya dengar
membuat suatu kerangka abstraksi bahwa ia merupakan suatu lukisar
atas suatu lingkungan yang dalam mana negara-negara atau aktor-
aktor lainnya berinteraksi satu sama lain. Inilah yang dimaksudkar
dengan sebuah lingkungan internasional. Lingkungan internasional
tadi dengan mudah kita tandai yakni dengan memperhatikanny;
bahwa di dalamnya terdapat banyak jenis-jenis pelaku. Misalnya,
Negara-Negara yang jumlahnya mencapai kurang lebih 150 negara,
berinteraksi di belahan dunia kita.

Beberapa Model Sistem Internasional 14;


Sistem (politik) internasional juga dapat dipandang dari anali­
sis etimologinya yakni dengan cara pemisahan kata-kata sistem dan
internasional. Pengertian sistem di sini dianggap sebagai suatu yang
memiliki sejumlah elemen-elemen yang bekerja dalam satu kom-
pleksitas. Sedangkan istilah internasional, ditempatkan sebagai suatu
klaim atas pandangan yang membedakan antara pengertian interna­
sional dan konsep interstates atau dengan konsep intergovernmental
yang digunakan untuk menggambarkan kegiatan-kegiatan, misalnya
peperangan, diplomasi, perdagangan internasional dan kegiatan lain
yang berskala internasional. Namun semua jenis hubungan-hubungan
tersebut, baik itu dengan menggunakan istilah transgovermental, in­
terstates, intergovernmental sampai saat ini dimasukkan sebagai tema-
tema internasional. (Clive Archer, 1983, 1).

Maka dengan demikian, sistem politik internasional itu terdiri


dari sejumlah aktor-aktor, baik itu bersifat Intergovermental Organiza­
tion (IGO's), NonCovermental Organizations (NGO 's) dan aktor-aktor
lainnya yang aktif dalam fora-fora internasional. Oleh sebab itu dalam
kaitannya dengan analisis sistem politik internasional paling tidak kita
harus memperhatikan variable-variabel yang terdapat di dalam dimensi
yang lebih luas. Hal ini dimaksudkan karena ia berkaitan erat dengan
pemahaman kita tentang sistem itu sendiri di mana ia terdiri dari kom-
binasi atau asosiasi atas variabel-variabel, atribut-atribut, komponen-
komponen dan disertai dengan interaksinya.

Semuanya ini akan tampak jika kita dapat memahami bagaimana


aktor-aktor tersebut dirancang, bagaimanakah ia bekerja dan dengan
itu pula kita dapat belajar di dalam suatu persoalan besar (a great deal)
tentang setting politik internasional. Di samping itu, dianggap penting
juga dalam kaitannya dengan membantu kita untuk tujuan analisis
yang tidak hanya berlaku pada kajian masa lalu, akan tetapi juga
diberlakukan bagi aktor-aktor sistem internasional pada saat ini.

148 Studi Hubungan Internasional


5.2 P E R IM B A N G A N K E K U A T A N ( B A L A N C E O F
POW ER)
Teori yang dianggap paling tua dalam hubungannya dengan
studi hubungan internasional adalah teori perimbangan kekuatan
(balance of power). Atau paling tidak secara implisit mulai tampak
sebagaimana yang pernah terjadi dalam sejarah Cina Kuno dan
Yunani Kuno, kendatipun secara formal tidak pernah diartikulasikan.
Oleh karena itu, konsep ini sering dimasukkan ke dalam konstruksi
sistem politik internasional klasik yang terjadi di kawasan Eropa dari
pertengahan abad 17 sampai kepada Revolusi Perancis dan Perang
Napoleon 1815. Dan selama periode itulah pula wacana utama untuk
mempertahankan sistem politik internasional dalam bentuk-bentuk
kekaisaran, kerajaan-kerajaan, dan sebagainya yang sejenis dengan itu,
meletusnya perang dalam skala besar dan interdependensi hubungan
internasional, menjadi suatu catatan yang sangat penting.

Paling penting dalam kaitan ini adalah bahwa aktor-aktor utama


dalam sistem internasional kebanyakan berada di Eropa. Untuk tujuan
praktisnya, kemudian sistem politik internasional klasik dalam periode
ini berisi pola-pola interaksi antara negara-negara Eropa. Negara-
negara adidaya seperti Perancis, Inggris, Rusia, Austria, Spanyol,
Swedia, Belanda, Turky dan Prussia yang menginginkan status sebagai
negara besar (great power status) meskipun tidak pernah terealisir
dalam jangka waktu lama. Namun semikian dari negara-negara inilah
yang pada gilirannya akan menyerang, invansi, mengintervensi secara
langsung negara-negara kecil yang selanjutnya akan coba untuk tujuan
mendominasi negara-negara kecil itu ke dalam sistem.

Sistem politik internasional klasik yang dimaksudkan di atas,


akan memberikan kontribusinya kepada bentuk tipikal pola perilaku
negara-negara besar. Negara-negara yang bertujuan untuk mengejar
C|ta-cita, harapan, kepentingan-kepentingan keamanan, misalnya,
dan bertujuan untuk memperluas wilayah pengawasannya ke dalam
forrnulasi kebijaksanaan luar negerinya. Suasana seperti ini akan

^eberapa M odel Sistem Internasional 149


menghasilkan suatu sistem yang berbentuk koalisi. Negara-negara
yang akan bekerjasama di dalam bentuk koalisi untuk kepentingan
dan bisa survive terhadap tekanan-tekanan dari negara-negara
musuhnya (negara-negara luar). Aktifitas seperti ini berkenaan dengan
sistem politik internasional yang senantiasa dapat merujuk kepada
konsep "balance of power". Terminologi ini telah dimanfaatkan
yang telah dijabarkan sebagai arti dan cara-cara yang berbeda-beda.
Tetapi pengertiannya tetap digunakan untuk menggambarkan makna
dasar terhadap serangkaian pola-pola perilaku yang ditampilkan
oleh negara-negara untuk melindungi negara lainnya dari ancaman,
kontrol atau keamanan wilayahnya yang datang dari negara-negara
Iain, di dalam suatu sistem tertentu. Sehingga dapat dikatakan bahwa
dengan adanya konsep berimbangan kekuatan (balance of power)
akan lebih menunjukkan signifikasinya sebagai bentuk perilaku
aliansi internasional yang sengaja dirancang untuk melindungi,
mempertahankan sistem internasional umumnya.

Pada periode klasik ini isu utama berasal dari apa yang disebut
threats of empire building name prim arily from France (William D.
Coplin, 1980,29)di manadi bawah kekuasaan LouisXIVdan Napoleon
Bonaparte, Perancis berkeinginan untuk diiringi oleh kebijaksanaan
politik luar negerinya yang sengaja dirancang untuk mendirikan sebuah
Kekaisaran Eropa (European Empires). Napoleon dari sisi, mencoba
berupaya untuk menempatkan kembali sistem politik internasional ke
dalam satu bentuk kerarajaan (kekaisaran). Pengalaman yang singkat ini
ditunjukkan di dalam sejarahnya yang terangkum sebagai keseluruhan
sebagai suatu indikasi sekaligus konsep perimbangan kekuatan di
dalam polanya senantiasa beroperasi untuk mempertahankan sistem
politik internasional, yang dikategorikan sebagai periode yang sangat
panjang (1815-1945).

Sistem politik internasional klasik seperti itu dapat juga disebut


sebagai masa transisi yang menuju kepada karakteristiknya yang
universalisasi terhadap sistem. Pada tahun 1815, hampir kesemuany3

150 Studi Hubungan InternasionO^


anggota sistem ini menguasai dunia yang tidak hanya dalam bentuk-
bentuk daerah koloni, akan tetapi juga menjangkau kepada suatu pola
hubungan yang bersifat "...the world was controlled by an independent
state and, conversely, that colonialism ...by 1945 every major region
of the world had it least one or two independent state". (Wlilliam
D. Coplin, 1980, 30) dan juga pada masa ini telah menumbuhkan
kekuatan yang semakin memperkuat kelompok-kelompok kepentingan
dan organisasi-organisasi politik dalam negeri, yang dalam beberapa
hal ditandai dengan munculnya beberapa lembaga-lembaga dan
ini diharapkan akan memperkuat potensi pelaksanaan politik luar
negerinya secara mandiri.

Suasana sosial dan budaya mengalami perubahan yang


mendalam konteks ini demi memperkuat rasa nasionalisme dan ini
tercermin di dalam kebijaksanaan politik luar negeri, faktor teknologi
yang meningkat deras mendorong kemampuan negara-negara dalam
rangka memobilisasi kekuatan militer atas bantuan penemuan mesin
uap dan pesawat terbang, kemampuan untuk memecahkan persoalan-
persoalan yang semakin intens, atas peralatan yang digunakan (military
technology) semakin meningkat dan berkembang, yang kesemuanya
ini sebagai dampak yang ditimbulkan oleh dua faktor yakni Revolusi
Perancis dan Revolusi Industri.

Dan dalam perkembangan selanjutnya, ternyata memberikan


pengaruh terhadap sistem internasional yaitu dalam bentuk universal-
isasi bagi pembuat keputusan yang mulai memikirkan mengenai re­
gional empires atau barangkali akan menuju kepada suatu kebutuhan
untuk membangun suatu lembaga internasional secara terpusat yang
bertujuan untuk mempertahankan system politik internasional sebagai
usaha bentukan yang lain (alternatif) ataupun dapat dikatakan sebagai
suatu hal yang bersifat "simbolik" melepaskan diri dari perasaan domi-
nasi oleh satu negara besar yang pada gilirannya akan mengancam
eksistensi sistem internasional, diusahakanlah bagaimana membentuk

^ek>erapa Model Sistem Internasional 151


apa yang disebut sebagai prinsip keamanan bersama (collective secu­
rity).

Prinsip keamanan bersama ini hampir sama artinya dengan


konsep perimbangan kekuasaan (balance of power) yang pada
pokoknya bertujuan untuk mempertahankan sebuah sistem politik
internasional dari ancaman yang cenderung ke arah "universal empires"
tadi. Hal ini dapat terpenuhi jika dengan cara membentuk lembaga-
lembaga internasional. Namun yang menjadi persoalan adalah, what
types of central institution should be created and how that institution
should operate...(William D. Colpin, 1987, 35). Pemilihan bentuk
organisasi atau lembaga, merupakan langkah nyata dalam upaya
berbagai alternatif untuk mengorganisasikan dan mengasosiasikan
sistem internasional sebagai resultance kondisi lingkungan politik
yang dihasilkan oleh perilaku internasional.

Perkembangan model organisasi sistem politik internasional


dapat kiranya membantu untuk menjelaskan perilaku negara-bangsa,
manakala mereka ini masuk ke dalam lingkungan politik. Di dalam
sebuah sistem, negara-bangsa dijadikan sebagai bagian dari ekspedisi
perilaku itu. Model ini pula dijadikan sebagai suatu means of analyzing
the international system.

Adapun yang diartikan dengan konsep atau teori ataupun pe­


mikiran "perimbangan kekuatan" di dalam konstelasi sistem interna­
sional dijadikan sebagai suatu pemberian makna didalam perspektif
teoretis terutama di dalam kajian atau studi hubungan internasional.
Bagi pandangan keiompok atau aliran pemikiran/mashab realist poli­
tik internasional sebagai suatu pemikiran alternatif saja, dan dengan
digunakannya konsep power sebagai sentral operasional konsepnya
untuk menjelaskan perilaku internasional.

Dan dalam rangka pembicaraan tentang konsep perimbangan


kekuatan (balance of power) di sini, hanya dijadikan sebagai salah satu
alatatau instrumen pengorganisasian sistem internasional itu. Gagasan
atas konsep perimbangan kekuatan itu yang digunakan di sini sebagai

152 Studi Hubungan Internasional


suatu sistem organisasi fa system of organization) yang terkadang tidak
selalu konsisten dengan pemikiran sistem itu sendiri. Umpamanya kita
menggunakan konsep ini untuk memberikan penjelasan hubungan
militer (military relationship) antara Amerika Serikat dengan Uni
Soviet, maka komentar dapat dikemukakan bahwa suatu perimbangan
kekuatan ada "hanya" (eksis) dua negara (Amerika Serikat dan Uni
Soviet). Kendati demikian, yang dimaksudkan di sini lebih kena kepada
aspek kondisinya di dalam sebuah sistem internasional yakni kondisi
kekuatan militer yang seimbang (equality) antara Amerika Serikat dan
Uni Soviet.

Di samping itu penggunaan terminologi perimbangan kekuatan


(balance of power) bertentangan dengan isi pokok konsepnya yakni
terjadinya pergeseran. Konsep balance of power digunakan untuk
menggambarkan suatu keseimbangan (ba/ancejatauketidakseimbangan
(imbalance) terutama dalam konteks "power relationships", power-
relasionship, antara dua negara atau penggabungan beberapa negara
(koalisi). Benar, telah terjadi berbagai segi pengertian yang berbeda-
beda pendapat dari para sarjana untuk mendefinisikan konsep balance
of power. Para penulis yang berbeda, berbeda pula pemberian arti
konsep (varing sense) itu.

Erns B. Hass, "The Balance of power: Prescription, Concept or


Propaganda?" (World Politics, V July, 1953), 442-447, menemukan
setidaknya ada delapan pengertian yang berbeda-beda terhadap
pengertian atas terminologi atau digunakan ke dalam delapan versi
yang saling berbeda-beda yakni:

a. Keseimbangan sebagai akibat dari distribusi kekuatan yang


seimbang diantara Negara-bangsa (distribution of power);
b- Keseimbangan sebagai akibat dari distribusi kekuatan yang tidak
seimbang diantara negara-negara bangsa (an equilibrium or
balancing process);
c- Keseimbangan sebagai akibat dari dominasi salah satu negara-
negara bangsa balancer-(hegemony or the search for hegemony);

Beberapa M odel Sistem Internasional 153


d. Suatu sistem yang relatif stabil dan damai (stability and peace in a
concert of power);
e. Suatu sistem yang dicirikan oleh ketidakstabilan dan perang
(instability and war);
f. Cara lain untuk menyebutkan keuntungan politik (power politics
in general);
g. Suatu dalil sejarah yang universal (a universal law of history);
dan
h. Suatu pedoman bagi para pembuat kebijaksanaan fa system and
guide to policy makes).

Semakin jelaslah bahwa konsep "balance of power" melahirkan


sifatnya yang ke dua. Banyak yang melihat bahwa konsep itu lebih
menunjukkan kepada suatu unilateral superiority dibandingkan
dengan melihatnya sebagai suatu objective bilateral balance atas
dasar pemikiran rivalitas semata. Dalam perspektif teoretis, konsep
perimbangan kekuatan (balance of power) diterima sebagai suatu
kondisi atau bahkan sebagai suatu situasi/keadaan yang didalamnya
terdapat suatu universal tendency or law of state behavior dijadikan
sebagai sebuah pedoman bagi negarawan ataupun bagi sebuah model
untuk mempertahankan suatu karakter tipologis terhadap sistem
internasional.

Namun sebagai suatu sistem pengorganisasian, walau bagai-


manapun perimbangan kekuatan kiranya dapat dimanfaatkan sebagai
alat kontrol terhadap timbulnya suatu konflik ataupun pertentangan
terutama bagi negara-negara besar. Maka dalam konteks ini konsep
perimbangan kekuatan (balance of power) dianggap sebagai suatu
sistem atau "balance of power system is a system of two competing
coalitions, each of which includes about the same number of major
states with each which of the major state of about equal power, major
states are not hierarchically organized...the balance of power system
accepts the idea that conflict is inherent international politics, but that
the best means of limiting the customes of conflict is through an equi­

154 Studi Hubungan Internasional


librium of power between oppsosing coalitions" (David N. Farnworth,
1987, 2).

Maka dengan demikian, suatu kondisi yang disebut sebagai


yang stabiI, yang dapat terpengaruhi di dalam sistem internasional,
bilamana konsep perimbangan kekuatan tadi itu dibangun di dalam
kerangka hubungan-hubungan diantara negara-negara besar. Aspek
perimbangan kekuatan sebagai suatu sistem, dapat dimasukkan ke
daiam pengertian yang kiranya dapat dianggap sebagai alat untuk
memecahkan permasalahan yang mungkin terjadi dalam hubungan
antar negara-negara; namun yang penting dalam kerangka ini adalah
bagaimana agar konflik tersebut dapat dibatasi atau bahkan dapat
dikurangi.

Anggota-anggota dalam

\
koalisi untuk
mempertahankan
keseimbangan

Sumber, A daptasi dari: D a v id N. Farnsworth, International Relations A n Introduction,


(Chicago: Nelson-Hall, 1985, 63)

Gambar 5.1 Model Sistem Balance O f Power

Beberapa Model Sistem Internasional 155


5.3 S IS T E M IN T E R N A S IO N A L D A LA M PO LA
H U B U N G A N B IP O L A R
Traktat Perjanjian Perdamaian Westphalia 1648, dianggap
sebagai momentum yang mengawali konsepsi perimbangan kekuatan
(balance of power) dalam kerangka sistem politik internasional.
Kemudian di dalam perwujudannya, yang menandai perilaku sistem
internasional dimulai pada tahun sekitar 1648-1914 dan permulaan
Perang Dunia Pertama. Dalam bagian ini kita akan menggunakan
konsepsi perimbangan kekuatan untuk menggambarkan masyarakat
internasional selama beberapa periode dalam berbagai bentuk dan
jenis model.

Bipolar sebagai satu model yang digambarkan sebagai varian


dari system hubungan internasional yang berpolakan pada "balance of
power" meskipun dalam cara kerjanya masing-masing pola memiliki
karakter yang sama, yakni diantara ke duannya memiliki sifatnya yang
organized around competitive coalition. Perbedaannya yang agak
menonjol adalah terletak di dalam: model balance of power is not
the policy objective for either coalition in bipolar system. A balance
of power system intends to achieve international stability through
equality and reluctance to fight a war of attrition (David N. Farnworth,
1988, 68).

Masa Perang Dunia Kedua, pada umumnya adalah sebagai


gambaran salah satu dari sistem ini. Walaupun dari sisi lain, ada yang
berpendapat bahwa model ini disebut Perang Dingin (Cold War) yang
menjadi ciri sejarah dunia sejak tahun 1974. Model ini berjalan pada
saat sistem internasional memiliki dua negara adidaya. Masing-masing
negara adidaya tadi bertindak sebagai sekutu, pelindung, atau bahkan
sebagai pengawas terhadap negara-negara kecil yang masuk ke dalam
bloknya. Untuk tipe sistem ini, Morton A. Kaplan (1962), yang menitik
beratkan.

156 Studi Hubungan Internasional


5.4 S IS T E M IN T E R N A S IO N A L D A L A M PO LA
H U B U N G A N M U L T IP O L A R
Model multipolar dapat digambarkan sebagai salah suatu
sistem yang berada diantara model balance of power dan model
bipolar. Model multipolar, juga seperti halnya ke dua model yang
disebutkan di atas, sifat dari sistem model ini dapat disebut sebagai a
competitive-coalitions system namun berbeda dengan ke dua model
di atas, hal ini disebabkan dalam mode! multipolar, memiliki dua atau
lebih kekuatan (koalisi) tergabung di dalamnya. Akan tetapi, ada satu
kelemahan yang terkandung dalam kerangka teorisasinya yakni, jika
kita memproyeksikannya sebagai suatu sistem, khususnyadiasosiasikan
dengan sistem internasional, umpamanya di dalam terminologi
ekonomi. Dalam pandangan ini yang menerima gagasan bahwa sistem
internasional salah satunya yang bersifat bipolaristikdari suatu kekuatan
militer namun, dalam berbagai hal, lebih menunjukkan sifatnya yang
ekonomikal. Amerika Serikat (AS), Jepang, dan Masyarakat Ekonomi
Eropa (MEE), adalah merupakan persekutuan militer akan tetapi dari
sisi lain ia menunjukkan pada aspek perekonomian yang kompetitif.
Dari satu sisi, ia tetap mempertahankan kutub yang satu (tunggal) yakni
dengan cara kerjasama (cooperation) namun di sisi lainnya, bergerak ke
arah eskalasi kompetitif. Kutub ekonomi memiliki intensitas kompetitif
tinggi, tetapi mempertahankan kerjasama di bidang perdagangan.
Keseimbangan di dalam suatu sistem model multipolar dapat dicapai
dengan dua cara yakni, pertama, suatu Negara atau bangsa dapat
berpindah keanggotaannya ke dalam salah satu koalisi yang lemah.
Ke dua, dengan cara tanpa membutuhkan perubahan-perubahan, akan
tetapi bisa dilakukan dengan cara realignment of the coalition.

Beberapa M odel Sistem Internasional 157


5.5 S IS T E M IN T E R N A S IO N A L D A L A M P O LA
HUBUNGAN KEAMANAN BERSAM A
Tiga dari sistem yang dibicarakan di muka, ternyata ketiga-tigan-
ya memiliki karakter competitive coalition system. Namun sebaliknya

158 Studi Hubungan Internasional


dalam sistem model keamanan bersama (collective security) senantia­
sa berdasarkan kepada kerjasama yang sangat luas (cooperative world­
wide) untuk mempertahankan perdamaian. Keamanan bersama sen­
gaja dirancang untuk menghindarkan potensi suatu agresi yang datang
dari kekuatan-kekuatan luar. Maka dengan demikian, kesan yang
timbul dari sistem dari model keamanan bersama ini sebagai suatu
model yang ideal. Sebab dalam sistem model keamanan bersama ini
tidak dibutuhkan kekuatan militer sebagai instrument politik. Setiap
kegiatan agresi yang datang dari kekuatan luar, kalau menurut sistem
model ini, akan dikenakan sanksi hukum atau dikenakan hukuman
seperti misalnya sanksi-sanksi ekonomi dan militer yang ditetapkan
secara kolektif dari semua negara-negara yang tergabung dalam ke­
amanan bersama tersebut.

Satu pandangan yang mengatakan bahwa konsep dari sistem


keamanan bersama ini lebih menunjukkan sifatnyayang lebih terkenal
adalah artian khusus yang sering diartikan dalam pengertian yang
longgar khususnya dalam implementasinya. Dalam istilah teknisnya
Keamanan Bersama (Collective Security) merupakan sebuah sistem
dari negara-negara yang bergabung bersama (a system of states
that join together) yang pada umumnya dilakukan dengan cara
penandatanganan sebuah traktat (treatyj yang secara eksplisit, dibuat
suatu perjanjian dilaksanakan dengan cara: (a) they renounce the use
of force to settle dispute with each other; (b) they promise to use force
against any of their number who break rule. (David W . Ziegler, 1987,
187).

Dalam rangka implementasi keamanan bersama ini hanya dapat


diberiakukan di dalam situasi sistem yang bertujuan untuk memelihara
perdamaian antara anggota-anggota dan bukan untuk melindungi
Mereka yang melakukan penyerangan ke luar. Namun dalam kaitan ini
tidak tepat jika dikatakan bahwa North Atlantic Treaty Organization
(NATO) sebagai suatu sistem pertahanan bersama. Hal ini disebabkan
bahwa NATO pada umumnya tidak bertujuan untuk mempertahankan

Beberapa M odel Sistem Internasional 159


(depend) Islandia dari agresi Inggris (kendatipun antara ke dua-duanya
termasuk anggota NATO) akan tetapi yang dipertahankan adalah
Islandia dan Inggris. NATO, dan Pakta Warsawa, yang sama-sama
sebagai suatu organisasi pertahanan bersama (collective defence
organization) dan bukan sebagai organisasi keamanan bersama
Ccollective security) atau yang disebut sebagai suatu aliansi pertahanan
bersama. Keamanan bersama, bahwa semua negara-negara lain dalam
sistem akan secara otomatis menjadi sekutu, jika terjadi suatu tindakan
agresi yang datang dari negara luar.

Prinsip-prinsip keamanan bersama telah diupayakan di dalam


kerangka sistem Liga Bangsa-Bangsa (LBB) pada era Perang Dunia
Pertama yang oleh para pendiri organisasi tersebut, memang secara
kebetulan gagalnya sistem perimbangan kekuatan untuk mencegah
perang. Prinsip-prinsip keamanan bersama ini telah dicantumkan di
dalam Artikel 16 CovenentLigaBangsa-Bangsadan tidak secara langsung
lembaga ini konfrontasi dengan krisis internasional yang dianggap
sebagai ujian teori dan praktik keamanan bersama sebagaimana yang
terlihat dalam kasus Mansyuria tahun 1931. Mansyuria, pada saat itu
kendati masih termasuk bagian kekuasaan Cina (nom inally still part of
China), namun setelah terjadi suatu eksploitasi dalam artian ekonomik
oleh negara-negara tetangganya yang dipimpin oleh Jepang. Jepang
sementara itu mengadakan okupasi terhadap Korea. Keiompok militer
di Jepang berkehendak melakukan aneksasi kalau bukan dikatakan
intervensi atau menguasai semua kawasan Mansyuria dengan cara
memobilisasi sejumlah kaum imigran Cina bagian Selatan serta dalam
jangka waktu panjang, mendirikan industri-industri strategisnya di
sana dengan keuntungan untuk bangsa Jepang sendiri.

Krisis yang lain terjadi dihadapkan dengan Liga Bangsa-Bangsa


(LBB), muncul di Amerika Latin. Konflik antara Boliviadengan Paraguay
dalam konteks perebutan sebuah lembah sungai yang dinamakan
daerah Chaco (100.000 mil) yang mengakibatkan timbulnya
peperangan tahun 1933. Liga Bangsa-Bangsa (LBB) dalam persoalan

160 Studi Hubungan Internasional


ini mengambilkan tindakan dalam bentuk embargo senjata, namun
tidak mendatangkan keberhasilan terutama untuk memberhentikan
pengiriman persenjataan sampai tahun 1934, tetapi pada akhirnya,
satu tindakan cepat diambil oleh Kongres Amerika Serikat (AS) yang
memberikan wewenang kepada presiden agar mengambil prakarsa
yang salah satunya adalah dengan melarang penjualan senjata dan
amunisi ke Bolivia dan Paraguay.

Krisis yang ke tiga terjadi yang dihadapkan dengan Liga Bangsa-


Bangsa (LBB) adalah yang berkenaan dengan masalah Abyssinia atau
yang sekarang disebut dengan Eithopia. Italia yang sudah mengadakan
kolonisasi negara tetangganya kawasan Eritrea dalam jangka waktu
yang panjang, akan menjadi satu garis kontrol dengan Eithopia yang
merupakan salah satu dari negara-negara koloni di benua Afrika
dan ini tidak masuk ke dalam daerah pengawasan Eropa. Orang-
orang Italia yang pernah mencobanya pada akhir abad 19 tetapi
mengalami kegagalan dan mengalami kekalahan pada Perang Adowa
1986. Mussolini hendak balas dendam atas kekalahan tersebut dan
memperagakan renaissance baru orang Italia di bawah panji-panji
fasisme. Ambisi Italia ini tidak jauh berbeda dengan apa yangdilakukan
oleh Perancis dan Inggris ketika pada awalnya mereka menguasai
Afrika, hanya mereka sedikit agak terlambat dalam sejarah. Eithopia,
bukanlah unoccupied teritorial melainkan sebagai salah satu anggota
dari Liga Bangsa-Bangsa (LBB).

Namun bagi pandangan Italia, tampak ada perasaan malu-


malu demi mencapai tujuan utamanya dalam abad 20 yakni untuk
memperbesar inskalansi invansinya terhadap negara tetangganya yang
pada akhirnya dijadikan sebagai daerah koloni Eritria dan ini agaknya
semakin nyata. Italia mengerahkan tenaga buruh yang secara besar-
besaran untuk membangun jalan-jalan, galangan kapal serta lapangan
pesawat terbang di sana. Penduduk pribumi Eritrea dimobilisasi untuk
mengikuti pendidikan militer. Tahun 1934, pasukan Italia ini adalah
merupakan batas-batas wilayah persengketaan, sedangkan jarak antara

Beberapa M odel Sistem Internasional 161


ke dua negara terbentang sejauh 50 mil di luar kawasan Ethiopia. Pada
Januari 1935, Kaisar Heile Salassie mengajukan tuntutan kehadapan
Liga Bangsa-Bangsa agar memberikan dukungannya atas perlakuan
Italia ini. Akan tetapi karena Italia mempunyai komitmen lagipula
tidak ada tanda-tanda bahwa tindakan Italia tersebut mempunyai dasar
yang kuat yang mengarah kepada indikasi ke arah sana, meskipun
berpedoman kepada doktrin keamanan bersama.

Pada Oktober 1935, Italia melakukan invansi kembali. Liga


Bangsa-Bangsa (LBB) pada akhirnya dalam sepekan telah menuduh
Italia masuk ke dalam kondisi perang dan sepuluh hari kemudian,
setelah diambil keputusan (vote) untuk menerapkan sanksi kepada
Italia termasuk dalam hal ini suatu tindakan embargo senjata, kredit
bank dan semua bahan impor Italia.

Ini adalah merupakan kegagalan fatal untuk mengambil langkah


melawan Italia kendatipun sudah dilakukan tindakan diplomasi raha-
sia antara dua negara besar di Liga Bangsa-Bangsa (LBB), yakni Inggris
dan Perancis yang masing-masing mewakili Perdana Menteri Hoare
dari Inggris dan Laval dari Perancis yang tidak setuju diberlakukan-
nya tindakan sanksi terbatas kepada Italia, akan tetapi juga disinggung
eksistensi Ethiopia agar kawasan ini dijadikan sebagai daerah protek-
torat administratif Liga Bangsa-Bangsa (LBB). Namun demikian, tindak­
an atas sanksi-sanksi ini sifatnya terbatas tidak membuat pihak Italia
bergeming, malahan sebaliknya, semakin memperluas dan memper-
besar cakupan invansinya di Ethiopia sampai pada akhirnya pihak Liga
Bangsa-Bangsa gagal dan bubar sejak tahun 1936. Bersamaan dengan
itu pula Italia mengambil secara penuh kedaulatan Negara Ethiopia.

5.6 K E P E N T IN G A N N A S IO N A L D A L A M S IS T E M
H U B U N G A N IN T E R N A S IO N A L
Kita akan bicara mengenai negara pada saat negara-negara itu
diletakkan ke dalam konstruksi aktor-aktor sistem internasional. Kita
boleh saja mengatakan negara Amerika Serikat atau bahkan Perancis

162 Studi Hubungan Internasional


dan negara Indonesia yang dalam kenyataannya memang itu ada.
Kesemuanya ini ada dalam realitas. Tentunya, dalam hal ini, negara-
negara lebih banyak mengarah kepada konstruksi intelektualitas.
Sebab, dalam kaitannya dengan pembuatan keputusan, manusialah
yang melakukannya dan bukan berada pada negara itu.

Argumentasi di atas dikemukakan berkenaan dengan anaiisis


sumber-sumber internal kebijaksanaan dan perilaku internasional
terhadap negara-negara. Sebuah negara, yang diletakkan di dalam
konstelasi internasionai, dapat dikategorikan sebagai seorang pribadi
internasional (international person) di dalam interaksinya sebagai
seorang pribadi-pribadi internasional lainnya yang sama (in a some
number of similar international persons) dalam politik internasional.
Politik internasional dalam arena internasional dilihat sebagai suatu
dunia tanpa memiliki satu autoritas tunggal yang terpusat (no central
authority) untuk meredakan ketegangan-ketegangan, konflik-konflik
yang mungkin terjadi diantara negara-negara. Suatu arena internasional
yang demikian, selanjutnya akan dipandang sebagai satu panggung/
arena/pentas yang dipenuhi oleh tindakan-tindakan kekerasan dan
sarat dengan tuntutan-tuntutan, dan tanpa ada suasana lingkungan
kesetiakawanan, dan sebagainya.

Dari titik pandang ini, terutama dalam kepentingannya dengan


aktor negara-negara, disebabkan karena keterbatasan dan "single
minded" yang melekat dalam diri Negara itu maka diupayakanlah
bagaimana cara mengejar kepentingan nasional (national interest) yang
terbaik, dan hal ini perlu dirumuskan dan akhirnya diperjuangkan.
Dan setiap negara-negara yang berbuat sama, untuk merealisasikan
atau bahkan untuk bisa dipertahankan, demi kepentingan nasional
tadi, dan ini dianggap sangat vital.

Kepentingan nasional secara konseptual, dipergunakan untuk


Menjelaskan perilaku politik luar negri dari suatu negara. Umpama-
nVa, pada saat Jepang memberikan bantuannya kepada Indonesia,
'tu didasarkan kepada kepentingan nasionalnya yakni, menjamin

^ b e ra p a M odel Sistem Internasional 163


kelancaran atas pasok bahan dasar industrinya. Demikian juga ketika
pemerintah Indonesia memberikan bantuannya kepada Nelson Man­
dela yang berkaitan dengan kepentingan nasional Indonesia di forum
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan masalah Timor Timur.

Namun di samping kepopuleran konsep kepentingan nasional


tersebut, ada kendala dijumpai pada saatawal konseptualisasi dan defi-
nisi dari para ilmuan dan praktisi politik hubungan internasional yang
lahir dari berbagai variasi pendapat dan pandangan-pandangan. Ter­
utama masalah bagaimana membangun definisi tentang kepentingan
nasional itu, apakah dapat diterima secara universal rumusan yang di-
peroleh it? Dan secara khusus, apakah yang menjadi kepentingan nasi­
onal suatu negara dan rakyatnya pada suatu waktu dan dalam suatu isu
tertentu? Siapakah yang menentukan urutan-urutan prioritas tindakan
yang dilakukan oleh Negara, kapan dan bagaimanakah urutan-urutan
prioritas tersebut dapat dilaksanakan? Bagaimana dan siapakah yang
menentukan perumusan suatu ancaman, dan bagaimana dan siapa la-
wan? Apa peran pemerintah ketika terjadi perselisihan pendapat yang
serius untuk menetapkan tujuan nasional dan sebagainya?

Bagi masing-masing pertanyaan di atas, dapat ditanggapi


dengan pendapat dan pandangan berbeda-beda dari beberapa ilmuan
khususnya dalam studi hubungan internasional. Dalam upaya mencari
justifikasi pandangan mereka, tentang konsepsi kepentingan nasional
itu, maka dalam hal ini Hans J. Morgenthau, Frederick L. Schumann,
George F. Kennan dan Henry A. Kissinger termasuk orang-orang yang
memiliki pemikiran aliran realis dalam studi hubungan internasional
yang secara sistematis merumuskan dan mendukung premis bahwa
strategi diplomasi harus didorong oleh kepentingan nasional. Dan
pandangan ini berbeda dengan kelompok aliran pemikiran idealis,
bahwa masalah kepentingan nasional senantiasa dengan nilai-nilai
moral, legalitas dan kriteria ideologis. (Theodore A. Couloumbis &
James H. Wolfe, 1981, 77)

164 Studi H ubunsan Internasional


Kendatipun kagiatan-kegiatan seperti itu banyak mendapat kri
tikan-kritikan dari aliran pemikiran saintifik yang menuntut definis
operasionai yang iebih tegas. Jika hal ini dijadikan sebagai dasar dar
prinsip-prinsip dalam kerangka unit-unit analisa dalam kajian hubung­
an internasional. Walaupun demikian, Hans J. Morgenthau tetap ber-
tahan dalam pendiriannya bahwa konsep abstraksi power (kekuasaan
dan kepentingan nasional tidak dapat dikuantifikasikan. Hans J. Mor-
genthau yakin bahwa tindakan politik bukanlah fenomena yang ter­
batas dan presisinya dapat diamati dengan jelas. Oleh karena itu jika
konsep-konsep dan setepat-tepatnya realitas politik (accurateI) maka
sebenarnya, konsep-konsep itu jangan diberi definisi yangterlalu pasti.
Konsep kepentingan nasional, bagi pikiran HansJ. Morgenthau, memi­
liki kesamaannya dalam hal konsep umum dalam konstitusi Amerika
Serikat, seperti kesejahteraan umum dan hak-hak asasi manusia, hak
perlindungan hukum. Konsep ini memuat artian minimum yang in-
heren dengan konsep itu sendiri. Akan tetapi artian yang minimum di
luar artiannya minimum itu di mana konsep tersebut dengan berbagai
macam hal yang secara logika, kepadanan dengan isinya konsep ini
ditentukan oleh tradisi politik dan konteks kultural dalam mana politik
luar negeri diputuskan oleh negara yang bersangkutan. (Theodore A.
Couloumbis & James H. Wolfe, 1981, 77-78).

Arti minimum yang inheren dengan konsep kepentingan nasional


adalah kelangsungan hidup (survival). Maka dalam kaitan ini Hans
J. Morgenthau mengatakan bahwa kemampuan minimum bangsa-
bangsa adalah untuk melindungi identitas fisik, politik dan identitas
budaya mereka oleh gangguan negara-negara lain. Diterjemahkan ke
dalam arti lebih khusus, negara-negara harus bisa mempertahankan
integritas wilayahnya (physical identity); mempertahankan identitas
politik (political identity); mempertahankan rezim-rezim ekonomi-
politiknya seperti misalnya demokratis kompetitif, komunisme,
kapitalisme, sosialisme, otoriter dan totaliter dan sebagainya. Dalam
perbandingan terhadap identitas cultural senantiasa berkaitan dengan
etnis, agama, bahasa, norma-norma, dan sejarahnya.

Beberapa M odel Sistem Internasional 165


Dari pengertian yang ditinjau secara umum ini kalau menurut
Hans J. Morgenthau, seorang negarawan bisa menurunkan kebijak-
sanaan-kebijaksanaannya yang secara khusus (spesifik) baik itu yang
bersifat kerjasama (cooperative) maupun itu yang bersifat tindakan
kekerasan (konfliktual) seperti halnya dalam kerangka perlombaan
senjata nuklir, balance of power, subversi, perang ekonomi, dan pro­
paganda. Namun demikian yang mewarnai perdebatan tentang kon-
spe kepentingan nasional yang menimbulkan berbagai pertanyaan-
pertanyaan semuanya mengarah kepada formuiasi bahwa kepentingan
nasional itu merupakan konsep politik. Maka sebagai konsep politik,
kepentingan nasional melahirkan beberapa persoalan sebagaimana
yang mereka ajukan berikut ini:

(1) Bagaimana kita dapat membedakan kepentingan nasional dari


kepentingan keiompok, kelas-kelas elit yang berkuasa ataupun
kepentingan asing yang dipergunakan oleh keiompok dalam
negeri? Pertanyaan yang sama dapat dirumuskan, bagaimana,
oleh siapa atas dasar apa kepentingan nasional (Indonesia,
Jepang, Korea, Amerika Serikat, Uni Soviet, Cina, Inggris)
ditentukan. Untuk menjawab pertanyaan ini bagi pandangan
HansJ. Morgenthau, bahwa kepentingan nasional itu merupakan
hasil kompromi dari kepentingan-kepentingan politik yang saling
bersaing. Namun demikian, itu bukan sesuatu yang ideal yang
dicapai secara abstrak dan saintifikasi, akan tetapi merupakan
hasil persaingan politik internasional yang berlangsung secara
terus menerus. Pemerintah dengan melalui berbagai lembaga-
lembaga, pada akhirnya bertanggung jawab untuk merumuskan
dan mengimplementasikannya dalam bentuk kebijaksanaan-
kebijaksanaan yang diarahkan untuk mencapai kepentingan
nasional (for defining an implementing national interest oriented
policies).
(2) Seberapa luas cakupan dan seberapa jauh intensitas kepentingan
nasional suatu negara harus sesuai dengan kemampuannya.
(Morgenthau, 1958, 65) dan dijelaskan lebih lanjut bahwa salah

166 Studi Hubungan Internasional


bila negara-negara seperti Perancis, dan Inggris pada tahun
1970-an, yang menginginkan sebagai negara adidaya berupaya
menerapkan pengaruhnya untuk menyeiesaikan pertikaian yang
terjadi di dunia. Universalisme nasionalis (keinginan untuk
mengubah seluruh dunia, seolah-olah menjadi negara monolit
(tunggal).
(3) Bagaimana seharusnya menghubungkan kepentingan nasional
suatu negara dengan kepentingan negara-negara lainnya bagi
pandangan Hans J. Morgenthau, bahwa bagi seorang diplomatik
yang baik, adalah seorang diplomat rasional, yakni seorang
diplomat yang prudent adalah kemampuan menilai kebutuhan
dan keinginan sendiri sambil dengan seksama menilai kebutuhan
dan kepentingan orang Iain sehingga akan muncul keseimbangan.
Artinya, bahwa kepentingan nasional tidak hanya sekedar sadar
akan kepentingannya sendiri, akan tetapi juga kepentingan
bangsa lain. Yang harus didefinisikan dalam pengertian cocok
dengan kepentingan bangsa lain itu. Dalam suatu dunia yang
multinasional, maka persyaratan moralitas politik dalam suatu
zaman di mana perang sebagai totalitas dan ini juga merupakan
persyaratan kelangsungan hidup.

Hans J. Morgenthau mengasumsikan bahwa sistem internasi­


onal bukanlah suatu sistem yang penuh dengan keharmonisan (ke-
selarasan) namun bukan juga sebuah sistem yang ditakdirkan untuk
selalu menimbulkan peperangan. Diasumsikan bahwa pada tingkat-
tingkat tertentu, ada saja konflik-konflik dan ancaman perang dan
semuanya itu dapat dikurangi (dieliminir) dengan cara sedikit demi se-
dikit menyesuaikannya dengan kepentingan-kepentingan yang saling
bertentangan dengan melalui tindakan-tindakan diplomatik, akhirnya
bagaimana seharusnya kepentingan nasional itu dikembangkan? Apa-
kah ada jaminan yang datangdari tindakan keamanan kolektif ataukah
dengan jaminan global. Maka dalam hal ini Morgenthau menentang
atas tindakan suatu negara yang didasarkan kepada prinsip-prinsip

Beberapa M odel Sistem Internasional 167


abstrak dan prinsip-prinsip yang bersifat universal selain kepentingan
nasional.

Jika keamanan di tiap-tiap negara di dunia harus dijamin oleh


semua negara di dunia, (teori jaminan keamanan bersama) maka
konflik tidak dapat dialokasikan dan setiap pertikaian akan dengan
cepat meningkat dan konsekuensinya membahayakan, terutama pada
era senjata nuklir ini. Maka dalam konteks ini Hans J. Morgenthau
merasa, bahwa skeptic terhadap para pemimpin yang membenarkan
kebijakan-kebijakan atas dasar jaminan keamanan kolektif dan bukan
pada kepentingan nasional.

Contoh, ia menentang tindakan intervensi yang dilakukan oleh


Amerika Serikat dimanapun di atas dunia ini dengan berdasarkan
atas jaminan kolektif ini ataupun dengan dalih mempertahankan
demokrasi. Dan ia melontarkan kritik apa yang dilakukan oleh Uni
Soviet dengan mengatasnamakan prinsip-prinsip komunisme dan
solidaritas sosialisme di dalam kerangka memperluas pengaruhnya.

Dalam kaitannya dengan kepentingan nasional, kepentingan


regional, ataupun dengan kepentingan suatu aliansi, Hans J. Morgen­
thau mengatakan bahwa kepentingan nasional mendominasi kepent­
ingan regional. Bagi pandangan Hans J. Morgenthau, manfaat aliansi
lebih baik didukung oleh dasar-dasar keuntungan dan keamanan yang
timbal-balik dari negara-negara yang ikut serta (mutual security of par­
ticipating nations-state) bukan atas dasar dan prinsip-prinsip ideologis
dan moral.

Sebagai contoh, North Atlantic Treaty Organization (NATO)


ternyata lebih mementingkan kepentingan atas perlindungan keamanan
wilayah negara-negara anggotanya termasuk dalam perlindungan
aspek politik, ekonomi, identitas budaya negara yang bersangkutan.

Suatu aliansi, regionalitas, yang tidak ikut serta secara sungguh-


sungguh memenuhi kepentingan negaranya sebagaimana dirumuskan
oleh pemerintahnya tidak mungkin dapat bertahan atau efektif dalam

168 Studi Hubungan Internasional


jangka waktu yang lama. Dalam kaitan ini bagi pandangan aliran
pemikiran realis, paling tidak, dengan mengajukan satu pertanyaan
pokok dalam pergulatan antara aliran pemikiran idealis, yang
berkaitan dengan motivasi batin manusia yakni bagaimana mengejar
kepentingan (nasional) secara prudent? Jawabannya, sebagaimana
yang dikemukakan oleh aliran realis bahwa keputusan yang berkenaan
dengan kepentingan nasional yang secara konkrit dan bisa ditunjukkan
dalam batas-batas prudence dan bukan dengan berdasarkan pada
kriteria yang abstrak dan impersonal seperti kriteria moralitas, nilai-
nilai hukum dan ideologis.

Contoh, dengan menggunakan dasar-dasar pemikiran kepenting­


an nasional, yang konkrit sebagaimana yang tercermin dalam sikap
dan tindakan Presiden Lincoln pada tanggal 22 Agustus 1862 yang
menulis bahwa pada prinsipnya Lincoln (memuat perdebatan antara
aliran idealisme dan realisme) di mana memberikan dukungan penuh
terhadap kemerdekaan/kebebasan untuk semua orang di mana pun
(clearly oppose slavery and favor freedom for all people everywhere).
(Theodore A. Couloumbis & James H. Walfe, 1981, 80).

KESIMPULAN

Pada dasarnya, bahwa sistem politik internasional itu sudah


ada sejak lama dan rangkaian momentum itu pula yang menjadi
kebanyakan landasan berpikir dalam perkembangannya lebih lanjut
seperti misalnya munculnya konsep "city-statesystem", "nation-states",
"balance of power" dan sebagainya yang kesemuanya ini mengalir
dan selanjutnya mewarnai sistem internasional yang sekarang.

Negara yang menjadi aktor utama dalam sistem internasional.


Dalam kedudukannya seperti itu, banyak anaiisis yang meninjau
konsep negara itu dari berbagai perspektif, baik itu dari segi hukum
mternasional maupun dari segi dan filsafatnya.

Dalam sistem politik internasional yang dijadikan sebagai


konsep pemikiran yakni sebagai suatu sistem yang memiliki bebrapa

Beberapa M odel Sistem Internasional 169


actor-aktor Intergovernmental Organizations (IGO's), Nongovermental
Organizations (NGO's). Aktor-aktor ini terkonsolidasi ke dalam bentuk
kerjasama dalam wujud organisasi internasional yang menarik untuk
dikaji dalam konteks sistem politik internasional. Konsep sistem politik
internasional itu yang memiliki berbagai pola-pola atau model yang
menandai sistem internasional seperti, model sistem bipolar, model
sistem multipolar, model sistem perimbangan kekuatan dan model
sistem keamanan bersama.

Negara, jika diletakkan kedudukannya dalam sistem politik


internasional dipersonifikasikan sebagai pribadi (aktor) yang tentunya
memiliki kepentingan nasional yang harus dicapai sebagaimana yang
dirumuskan di dalam kebijaksanaan politik luar negerinya.

Tinjauan Pertanyaan dan Diskusi

1. Coba Sdr. jelaskan secara ringkas pandangan tradisional mengenai


konsep "state-centric" dan bagaimanakah peranan negara dalam
sistem internasional?
2. Coba Sdr. identifikasikan beberapa elemen yang harus ada dalam
suatu negara bagaimanakah posisi elemen-elemen tersebut dalam
konstruksi sistem internasional?
3. Coba Sdr. jelaskan konsep-konsep sistem politik internasional itu
dan sebutkanlah pula beberapa contohnya yang Sdr. ketahui!
4. Jelaskan secara singkat peranan kepentingan nasional dalam
politik dan hubungan internasional atau dalam studi hubungan
internasional!

DAFTAR PUSTAKA
Archer, Clive, International Organization, (London: George Allen &
Unwin, 1983)
Colpin, William D. Introduction to International Politics, (New Jersey:
Prentice-Hall < Inc. 1980).

170 Studi Hubungan Internasional


Couloumbis, Theodore & James H. Wolfe, Introduction to International
Relations: power and Justice, (New Delhi: Prentice-Hall of India,
1981).

Farnsworth, David N, International relations An Introduction (Chicago:


Nelson-Hall, 1980).

Foster, Richard H & Robert V. Edington, Viewing International


Relations and W orld Politics, (Englewood Cliffs, N, J: Prentice-
Hall, inc, 1985)

Frankie, Joseph, International P,olitics: Conflict and Harmony, (New


York: Harmodsworth, 1973)

Holsti, K. J. International Politics A Framework, (Englewoods, Cliffs,


N .J: Prentice-Hall, Inc 1977)

Hofmann, Stanley, "International System and International Law",


dalam: Stanley Hoffman, The State of war-Essays on the Theory
and Practical of International Relations, (New York: Frederick
A. Praeger, 1965)

Morgenthau, Hans J., Politics Among Nations: The Struggle for power
and Peace, (New York: Alfred A. Knopf, Inc. 1965).

Russett, Bruce & Harvey S. Starr, World Politics: The Menu for Choice,
(Boston: Little Brown and Company, 1985)

-ooOoo-

Beberapa M odel Sistem Internasional 171


BAGIAN KE T IG A

POLITIK LUAR
NEGERI TERHADAP
SISTEM H U BU N G A N
INTERNASIONAL
3

P O L IT IK L U A R N E G E R I

T E R H A D A P S IS T E M IN T E R N A S IO N A L

Tujuan Pembelajaran

Setelah membaca bab ini Anda akan dapat:

1. Menjelaskan masalah-masalah yang berkaitan dengan membangun


kerangka definisional politik luar negeri.
2. Menjelaskan tujuan-tujuan dan sasaran politik luar negri serta
mengemukakan beberapa contohnya.
3. Mengidentifikasikan keterkaitan antara power dalam poiitik luat
negeri.
4. Menjelaskan elemen-elemen power yang determinan dan
keterkaitannya dalam penyelenggaraan kebijaksanaan politik luar
negeri.
5. Menjelaskan sifat dan hakikatdiplomasi sebagai instrumen kebijak­
sanaan politik luar negeri.
6. Menjelaskan pengertian propaganda, instrumen ekonomi,
instrumen intervensi serta berbagai aspek serta beberapa contoh­
nya.
P O L IT IK L U A R N E G E R I
T E R H A D A P SISTEM
IN T E R N A S IO N A L

6.1 M A S A L A H D E F IN ISI K O N S E P PO LIT IK LU A R


NEGERI

6.1.1 Pengertian Politik Luar Negeri

Dalam uraian terdahulu mengenai batas-batas dan lingkup


studi hubungan internasional telah dengan jelas diberikan pengertian
hubungan internasional secara definisional dan secara harfiahnya bisa
diartikan sebagai hubungan antarnegara atau hubungan antarbangsa
yang meliputi semua hubungan-hubungan yang terjadi dengan
melampaui batas-batas ketatanegaraan. Hubungan internasional
sering disubstitusikan untuk penggunaan terminologi hubungan antar
negara untuk menandai semua hubungan tersebut. Hal ini disebabkan
dalam kenyataannya, pada akhir-akhir ini kita mengenai hubungan-
hubungan yang melintasi kedaulatan negara yakni munculnya
organisasi multinasional corporation.

Politik luar negeri adalah keseluruhan perjalanan keputusan


pemerintah untuk mengatur semua hubungan dengan negara lain.
Politik luar negeri merupakan pola perilaku yang diwujudkan oleh
suatu negara sewaktu memperjuangkan kepentingan nasionalnya
dalam hubungannya dengan negara Iain. Politik luar negeri juga dapat
diartikan sebagai suatu bentuk kebijaksanaan atau tindakan yang
diambil dalam hubungannya dengan situasi/aktor yang ada di luar
batas-batas wilayah negara. Politik luar negeri merupakan manifestasi
utama dari perilaku negara dalam hubungannya dengan negara lain,
sehingga yang terjadi adalah adanya interaksi negara-negara.

Interaksi antarnegara itu dapat berlangsung dalam sistem


internasional, di mana ternyata negara tetap masih merupakan aktor
utama dalam hubungan internasional tadi. Maka dengan demikian
hubungan internasional merupakan forum interaksi dari berbagai
kepentingan-kepentingan nasional. Dalam interaksi itulah pula setiap
Negara berupaya menegakkan dan mempertahankan kepentingan
nasionalnya dalam forum interaksi masyarakat internasional yakni
dengan melalui kebijaksanaan politik luar negeri masing-masing.

Seperti yang dikemukakan oleh Robert Keohane & Joseph


Nye (1972, ix), bahwa secara internasional para ilmuan dan praktisi
politik internasional yang memusatkan perhatiannya kepada masalah-
masalah hubungan antarbangsa atau hubungan antarnegara. Negara
dalam konteks ini dipandang sebagai aktor yang memiliki tujuan
dan kekuasaan yang bersifat otonom. Negara merupakan unit dasar
dalam politik luar negeri dari berbagai negara yang pada gilirannya
akan membentuk suatu pola perilaku. Pola perilakunya inilah yang
mencerminkan koneksitasnya dalam rangka pengambilan keputusan
atau kebijaksanaan luar negerinyayangdiartikulasikan oleh pemerintah
dengan segala konsekuensinya.

Ini adalah suatu proses yakni suatu proses pembuatan


keputusan atau kebijaksanaan atau mengartikulasikan kebijaksanaan-
kebijaksanaan yang pada prinsipnya dipengaruhi oleh suasana dalam
negeri (domestik) dan suasana internsional dan kesemuanya ini
diarahkan kepada tujuan atau sasaran politik luar negeri itu sendiri,
didasarkan pada dua unsur utama.

178 Studi Hubungan Internasional


Dua unsur utama tersebut yang dalam politik luar negeri yaitu:

a. Tujuan nasional (national objectives); dan


b. Sarana (means) untuk mencapai tujuan tersebut.

Tujuan nasional atau lebih tepat dikatakan sebagai sarana politik


luar negeri. Sedangkan yang berkaitan dengan sarana politik luar
negeri adalah yang ada hubungannya dengan instrumen-instrumen
atau melalui mana pelaksanaan politik luar negeri itu dilakukan.
Dalam bagian ini diuraikan lebih lanjut mengenai dua unsur politik
luar negeri itu.

6.1.2 Tujuan Politik Luar Negeri

Dalam setiap politik luar negeri pada umumnya memiliki tu­


juan maupun sasaran yang hendak dicapai (foreign policy objectives)
yang terkadang melebihi kepentingan nasionalnya. Dalam hal ini ter-
gantung kepada si pembuat kebijaksanaan atau keputusan politik luar
negeri yang bersangkutan dan dalam hal ini, sering terjadi perbedaan-
perbedaan, terutama di dalam perspektif, orientasi dan peranan orien-
tasi politik luar negerinya.

Seperti yang dikatakan oleh K. J. Holsti (1983, bab 4-5, 124),


bahwa untuk memikirkan bagaimana sebaiknya tujuan-tujuan dari
politik luar negeri itu adalah sebagaimana suatu image of future state
affairs and future conditions that government through individual
policy makers aspire to bring about by wielding influence abroad and
by changing or sustaining the behavior of others states. Tujuan-tujuan
yang hendak dicapai itu bisa saja dalam bentuknya yang nyata, seperti
misalnya tujuan politik luar negeri Mesir, adalah untuk memperoleh
kembali wilayahnya yang ada di Sinai.

Maka selanjutnya pandangan K. J. Holsti (1974, 130-152) meng-


uraikan berbagai kemungkinan untuk dapat memahami struktur dan
tujuan politik luar negeri yang pada dasarnya adalah untuk mewakili,
menegakkan, membela, memperjuangkan dan memenuhi kepenting-

Politik Luar Negeri Terhadap Sistem Internasional 179


an nasional dalam forum internasional yang tidak lain adalah forum in­
teraksi masyarakat internasional. Kepentingan nasional menjadi prin-
sip dalam kerangka pelaksanaan politik luar negeri.

K. J. Holsti (1987, 175) membuat suatu skema untuk menggam-


barkan dan klasifikasi ruang lingkup tujuan politik luar negeri dengan
menggunakan tiga kriteria yakni:

a. Nilai yang berada pada tujuan atau tingkat nilai yang mendorong
pembuat kebijaksanaan/keputusan dan penggunaan sumber daya
negara untuk mencapai tujuan itu;
b. Unsur waktu untuk mencapai tujuan;
c. Jenis tuntutan tujuan yang dibebankan kepada negara lain ke
dalam sistem. Berdasarkan kepada kriteria tersebut, kita dapat
membentuk kategori tujuan-tujuan politik luar negeri itu sebagai
berikut:

1. Nilai dan kepentingan "inti" (core objectives) yang mendorong


pemerintah dan bangsa untuk melakukan eksistensinya dalam
rangka mempertahankan atau memperluas tujuan sepanjang
bisa dilakukan dengan atau tanpa menekan negara lain;
2. Tujuan-tujuan antara (jangka menengah)biasanyamenekankan
tujuannya pada negara Iain (komitmen untuk mencapai tujuan
ini secara sungguh-sungguh dan biasanya tujuan ini memiliki
beberapa pembatasan);
3. Tujuan jangka panjang biasanya jarang memiliki batasan
waktu untuk mencapainya.

Sasaran yang pragmatis sebagaimana yang dirancang, menurut


pandangan K. J. Holsti, Budiono Kusumojamidjojo yakni dengan
mengaitkannya dengan kepentingan Indonesia dengan cara sebagai
berikut: Dalam kategori yang pertama, dibedakan antara sasaran yang
spesifik, misalnya penyelesaian friksi perbatasan antara Indonesia dan
PNG dan sasaran umum misalnya, penegasan umum sikap Indonesia
terhadap gagasan Masyarakat Kawasan Pasifik. Sedangkan dalam
kategori ke dua, sasaran (tujuan) itu dapat dibedakan menurut sifatnya

180 Studi Hubungan Internasional


yaitu: ideologis (sikap antikomunisme maupun liberalisme), politik
(VVawasan Nusantara, ASEAN, politik bebas aktif), militer (antialisasi,
dwifungsi ABRi, Doktrin Perang Semesta dan Pertahanan Wilayah),
ekonomi (politik pembangunan, swasembada, orientasi ekspor), sosio-
budaya (ahli teknoiogi secara selektif, kerjasama kemanusiaan dan
pertukaran kebudayaan).

Dalam kategori yang ke tiga, dapat dibedakan antara sasaran


(tujuan) yang konstan (misalnya yang menyangkut eksistensi dan
kesejanteraan nasional) dan sasaran yang dapat berubah dari hari ke
hari (misalnya penetapan kuota impor ataupun tarif ekspor). Dalam
kategori yang ke empat sasaran politik iuar negeri dibedakan menurut
jangka waktu relevansinya, antara lain adalah sebagai berikut:

a. Sasaran jangka pendek, pada umumnya meiiputi persoaian yang


harus diatasi dengan segera dan selekasnya (misalnya Timor
Timur, perbatasan Indonesia PNG).
b. Sasaran jangka menengah pada umumnya menyangkut volume
masalah yang besar dan beraneka ragam, karena itu bisa diperinci:

Usaha untuk memenuhi kebutuhan nasional melalui


langkah-langkah internasional (misalnya perjuangkan untuk
memperoleh kuota ekspor yang menguntungkan ke pasar-
pasar di Eropa, Amerika Utara dan Jepang dan sebagainya);
Usaha untuk meningkatkan dan mempertahankan martabat
atau prestise nasional pada for a internasional dengan melalui
inisiatif diplomatic, display kekuatan militer, ekspansi
ekonomi dan pengembangan teknoiogi;
Usaha ekspansi di bidang ideologi dan geopolitik (misalnya
dengan melalui propaganda, agitasi, subservi dan
sebagainya).

c- Sasaran jangka panjang, mencerminkan cita-cita utama dari suatu


bangsa dalam kerangka masyarakat internasional. Ke dalam
jenis sasaran ini dapat dikelompokkan misalnya perjuangan
mengunggulkan sistem kapitalisme, atau komunisme atau sistem

politik Luar Negeri Terhadap Sistem Internasional 181


Pancasila atau yang lainnya. (Budiono Kusumohamidjojo, 1987,
35-36).

Dalam kenyataannya memang timbuinya berbagai tujuan dan


sasaran negara-negara dalam lingkungan internasional. Tujuan dan
sasaran itu biasanya mengarah kepada pengertian kepentingan.

6.1.3 Kekuatan (Power) Dan Politik Luar Negeri

6.1.3.1 Konsep Dasar Tentang Kekuatan (Power)

Kekuatan (power) dalam konteks politik luar negeri dapat


digambarkan sebagai suatu "relationship". Pengertian ini hanya dapat
diberlakukan jika dengan memperhatikan resultansi perilaku negara-
negara lainnya atau sebagai aktor internasional yangsaling bersentuhan
di dalam suasana lingkungan internasional. Persentuhan-persentuhan
itu tidak saja berkaitan dengan kapabilitasnya sendiri akan tetapi
termasuk di dalamnya, tujuan-tujuan, kebijaksanaan-kebijaksanaannya,
yang kesemuanya itu terakomodasi ke dalam interaksinya.

Dalam keterhubungan (relationships) antara aktor-aktor (negara-


negara) internasional dapat dilihat ke dalam 2 arah, yang dapat
digambarkan di dalam konsepsi power. Hal ini diperjelas oleh Bruce
Russett & Harvey Starr (1985, 127-161), memang ada keterkaitan
antara power dan politik luar negeri itu dengan memperhatikan:

a. "we can look at how two states compare on a set of national


attributes or characteristics; the capabilities of a state become
meaningful when they are compared with those of other
international actors.
b. We can iook at the actaI set of interaction between pairs of states-
how they behave toward each other. In discussing power we
shall be concerned with both attributes of power and power as a
process of interaction-how states influence others to behave".

Dua pendekatan relasionai terhadap politik luar negeri dan


power dapat kita manfaatkan di dalam pemahaman perilaku negara-

182 Studi Hubungan Internasional


negara dalam forum internasional. Kita telah membicarakan tentang
definisi/rumusan dari politik luar negeri, dan konsep-konsep dasar
berkenaan dengan itu serta juga sudah kita bicarakan langkah-langkah
apa hendak dilakukan oleh negara dalam lingkungan internasional.
Namun dalam penampilannya masing-masing aktor ini memiliki
perbedaan-perbedaan yang mendasar yakni dengan memperhatikan
pada sumber-sumber kekuatan (power).

Kekuatan (power) memainkan peranan sentral dan peiajaran


politik dunia (internasional). Hal ini disebab’kan, kekuatan-kekuatan
(power), seperti halnya dalam politik luar negeri (foreign policy),
dapat dibangun suatu kerangka bangunan sebagai lukisan yang saling
berkaitan (relasional) atau sebagai suatu koneksitas. Daiam mana,
aktualitas "power" senantiasa dihadapkan kepada realitas politik luar
negeri. Untuk melihat sejauh mana keterhubungan antara ke dua
masalah itu kita bisa mengajukan pertanyaan: bagaimana ke dua
Negara (aktor) dibandingkan dengan menggunakan “power" sebagai
sekumpulan atribut-atribut yang dimiliki aktor-aktor tersebut? Ataupun
dengan cara memperhatikan "pow er" sebagai "relationship" diantara
dua aktor politik dengan kehendak yang berbeda.

Artinya, power dijadikan sebagai karakteristik Negara-negara


bangsa yang dapat dikuantifikasikan. Misalnya, output ekonomi, iuas
wilayah, banyaknya penduduk dan juga kemampuan/kekuatan militer.
Sejauh manakah sifat daya paksa yang dimaksudkan sebagai unsur
kekuatan (power) sebagai suatu rangkaian atribut-atribut yang dimilki
oleh negara dan sebagai karakteristik.

Posisi power sebagai kekuatan dianggap demikian penting jika


hal ini dihubungkan dengan kedudukan negara sebagai aktor utama
dalam sistem hubungan internasional. Namun demikian, tantangan
awal untuk membicarakan konsep power atau kekuatan seringterbentur
Pada banyak ragamnya batasan atau definisi konsep yang dikenakan
dalam power itu. Pada umumnya orang melihat bahwa power terdiri

Politik Luar Negeri Terhadap Sistem Internasional 183


dari kualitas, dikaitkan dengan kemampuan negara. Power sebagai
suatu proses interaksi. Power berkaitan erat dengan atribut-atribut
dalam hubungannya dengan dua aktor politik di mana antara aktor (A)
memiliki kemampuan untuk mengontrol/mengendalikan mental dan
aktivitas aktor (B). (lihat HansJ. Morgenthau, 1973).

Robert Dahl (1957, 2010-215), telah membuat definisi power


*ir- '

sebagai " the ability to shift the probability of outcome". Power juga
dilihatnya sebagai suatu yang paling berkaitan (relationships) antara
dua aktor politik seperti individu-individu, kelompok-kelompok, partai-
partai politik pemerintahan dan organisasi-organisasi internasional.
Karl W . Deutsh (1968, 29), membangun suatu analogi antaraspek
ekonomi dan aspek politik. Ekonomi sebagai aspek power bisa saja
dimiliki seseorang, perusahaan-perusahaan dan sebagainya.

Di samping sebagai alat diplomasi dalam politik internasional


bagi pencapaian politik iuar negeri, maka power mempunyai peranan
yang sangat penting artinya dalam studi politik dan hubungan
internasional. Maka dalam kaitan ini pandangan kaum realist dalam
analisa politik internasionai yang menempatkan posisi power sebagai
peran sentral. Termasuk dalam hal ini HansJ. Morgenthau menggunakan
konsep power untuk mengeskpianasi fenomena politik internasional
sebagaimana dituiisnya dalam buku, Politics Among Nations: Struggle
for power and Peace. Oleh karena itu politik internasional seperti
halnya semua politik pada umunya adalah perjuangan untuk kekuasaan
(power).

Untuk lebih memberikan kejelasan mengenai berbagai hal


dalam kaitannya dengan konsep "power", di sini diberikan anaiisis
deskriptif mengenai konflik Timur Tengah. Adapun yang menjadi
permasalahannya apakah Israel itu kuat sebagai negara? Jawabannya
tentunya harus ditempatkan ke dalam posisinya di dalam hubungan-
hubungan Israel dengan negara-negara yang menentangnya ataupun
kekuatan-kekuatan (negara)yangmendukungnya. Apakah Israel sebagai
suatu Negara yang kuat atau lemah dibandingkan dengan negara-negara

184 Studi Hubungan Internasional


Arab lainnya? Semuanya itu tergantung kepada negara-negara yang
mana menjadi aktor baik itu yang memberikan dukungannya ataukah
negara-negara yang menentangnya. Dari beberapa kali meletusnya
konflik perang antara Arab-lsrael dan dengan negara-negara Arab
lainnya, ternyata pada akhirnya dimenangkan oleh Israel.

Ini merupakan suatu indikasi bahwa Israel memang sebagai


negara yang kuat, sekaligus juga mempunyai power yang besar
dibanding dengan negara-negara tetangganya. Atau paiing tidak, dalam
situasi tertentu, apa yang menjadi parameter kekuatan di sini, apakah
itu tercermin dalam bentuk kekuatan militer ataukah dari kekuatan-
kekuatan lainnya?

Jika terdapat kekuatan-kekuatan Iain (luar) dalam kerangka


analisis power relationships antara Arab dengan Israel, maka dalam
persoalannya akan menjadi lain. Israel tidak akan memiliki kekuatan
atau kemampuan untuk melawan Arab seandainya Arab mendapat
bantuan atau mendapat dukungan dari Uni Soviet (US). Demikian
pula misalnya pihak Israel mendapat dukungan dari Amerika Serikat
(AS). Jadi, dengan demikian, power dalam konteks Israel sangat relatif
sekali. Artinya tergantung pada aktivitas-aktivitas lainnya (kekuatan-
kekuatan di luar hubungan partai-partai yang bersangkutan). Oleh
sebab itu "power" hanya dapat dipahami jika permasalahannya
dielakkan di dalam konstelasi power relationships. Artinya ia tidak bisa
berdiri sendiri untuk memberikan eksplanasi penggunaan konsep atau
analisis perilaku politik internasional. Konflik antara Amerika Serikat
(AS) dengan Vietnam, mengapa pada akhirnya Amerika Serikat (AS)
rnengalami kekalahan? Demikian juga dalam kasus Uni Soviet (US)
dengan Afghanistan; Vietnam Utara-Vietkong-Uni Soviet (US)-Cina.

6.1.3.2 Unsur-unsur Determinan Dalam politik Luar Negeri

Erat kaitannya dengan kajian terhadap "power" adalah pembi-


caraan tentang unsur-unsur determinan yang terdapat dalam konsep
power atau disebut sebagai unsur kapabilitas (kemampuan-kemam-

politik Luar Negeri Terhadap Sistem Internasional 185


puan) sebagai suatu Negara-Bangsa (Nation-State). Dalam hubungan
ini, Charles O. Lerche dan Abdul Said (1970, 59-77), secara panjang
lebar membangun suatu sistem klasifikasi ke dalam beberapa kategori
dan ini dinamakan sebagai, intangible elements of power and tangibly
elements of power.

Unsur-unsur yang termasuk ke dalam kategori yang nyata


terlihat (tangible) terdiri dari unsur-unsur, seperti penduduk, wilayah,
sumber-sumber daya alam, kemampuan industrial, pertanian, militer
dan mobiiitas. Dan yang termasuk dalam kategori unsur-unsur yang
tidak terlihat nyata (intangible) terdiri dari: kepemimpinan, dan
personal, birokrasi-organisasi efisiensi, tipe pemerintahannya, reputasi,
dukungan luar negeri dan ketergantungan.

Dalam kaitan ini David N. Farnsworth (1988, 41-36) meng­


gunakan kategori yang sama yakni kategori intangible elements dan
tangible elements. Dalam hal ini bagi pandangan ini bahwa yang ter­
masuk unsur-unsur atau unsur-unsur yang bersifat tangible adalah un-
sur-unsur yang terdiri atas, penduduk, geografis, sumber-sumber daya
alam, kekuatan-kekuatan ekonomi, kekuatan militer. Sedangkan untuk
unsur-unsur yang berkategorikan sebagai yang bersifat intangible ter­
diri dari unsur-unsur seperti, national morale, nation leadership dan
sistem politik.

a. Geografis
Sebagai unsur geografis, tidak hanya termasuk ke dalam u k u ra n

sebuah negara, akan tetapi terhadap topografisnya terutama tentang


batas-batas wilayah, fisiknya, lokasi politiknya, cuaca, yang kesem ua

unsur tersebut merupakan faktor sebagai suatu kekuatan nasional.


Berkaitan dengan itu, dibuat suatu hipotesis bahwa negara yang besar
akan lebih kuat dibandingkan dengan negara kecil.

Namun demikian dengan kategori seperti ini tampaknya tidak


cukup kuat sebagai alasan untuk mendukung hipotesis di atas. Atau
dengan pengertian lain, hal seperti itu tidak dapat dijadikan seb ag a1

186 Studi Hubungan In te rn a s io n ^


jndikasi bahwa suatu negara akan dapat menjadi negara adidaya (super
power). Besar kecilnya sumber daya aiam yang dimiliki, lokasi (posisi)
negara yang bersangkutan, banyak memiliki gunung-gunung, iautan
yang luas, sungai-sungai, struktur tanahnya, yang memiliki kaitan yang
erat dengan sistem pertahanan militer dan unsur-unsur lain yang akan
memberikan dampak (pengaruh) bagi eksistensi sebuah negara ini.

Suatu negara yang memiliki posisi wilayahnya yang sangat luas,


akan menjadi sebuah negara yang kuat pada giiirannya akan menjadi
sebuah negara yang bersifat "major pow er" meskipun Kanada dan
Austria adalah negara yang memiliki status demikian akan tetapi ia
belum termasuk di daiam kategori sebagai negara kuat. Cina. atau
bahkan Russia (Uni Soviet), negara besar, jika dipakai parameternya
adalah besarnya wilayah, namun ternyata kemudian tidak cukup
dengan mengandalkan unsur-unsur itu, meskipun ini merupakan
ukuran sejauhmana sebuah negara menjadi besar dan kuat. Bagaimana
dengan negara Israel, kalau parameternya dengan berdasarkannya
pada luas wilayahnya, yang relatif kecil, mampu mendemostrasikan
kemampuan militernya yang besar. Dan bagaimana dengan negara-
negara yang memiliki wilayah yang sedemikian luas dan besar, seperti
negara-negara yang telah disebutkan di atas?

Adapun masalah-masalah dan yang berkenaan dengan itu.


dikoseptualisasikan ke dalam apa yang disebut dengan istilah
geopolitik adaiah sebuah aliran pemikiran (a school of thought) yang
memadukan bidang studi geografi, strategi dan politik. Pemikiran ini
mulai bangkitdan berkembang sekitar tahun 1900-an dan pasca Perang
Dunia Kedua. Dan di antara tokohnya yang paling terkenai adalah Sir
Halford MacKinder. Menurut pandangannya bahwa kawasan-kawasan
Eropa, Asia dan Afrika sebagai world island dan kawasan-kawasan
lainnya dijadikan sebagai satelit. Teorinya yang terkenai adalah daerah
lantung (heartland) yang terdiri dari negara-negara Eropa, Asia (Iran,
Tibet, Mongolia) dan sebagian besar dari Timur Tengah.

p°Htik Luar Negeri Terhadap Sistem Internasional 187


Sebagai prinsip dasar teorinya bertitik tolak dari apa yang
disebut heartland theory suatu pandangan atau pemiiikan yang
dikaitkan dengan power terhadap kemampuan suatu negara untuk
menguasai wilayah-wilayah tertentu. Formulasinya dimulai dengan
memperhatikan wilayah-wilayah tertentu seperti kawasari Eropa, Asia
dan Afrika sebagai suatu perspektif pusat-pusat kekuatan internasional.
Dalam hal ini dikatakan bahwa "he who rules East Europe Commands
the world". (MacKinder 1919, 150).

Namun jika kita terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia,


kira-kira demikian: barang siapa yang manguasai Eropa Timur, akan
menguasai Daerah Jantung Eurasia (Eropa-Asia); barang siapa yang
menguasai Daerah Jantung Eurasia akan menguasai pulau Dunia
Eropa, Asia dan Afrika, dan barang siapa yang dapat menguasai Pulau
Dunia, akan menguasai Dunia.

Karl Haushofer, seorang geolog bangsa Jerman dan yang juga


pernah menjadi penasihat perang Hitler sangat dipengaruhi oleh
teorinya MacKinder. la berangkat dari prinsip-prinsip dasar geopolitik.
Karl Houshofer memberikan nasihat kepada Hitler untuk membentuk
suatu persekutuan antara Jerman dengan Uni Soviet dan Jepang
dengan tujuan utamanya mengontrol pulau dunia. Namun sebaliknya
menurut versi Amerika Serikat, suatu interpretasi yang hampir bersifat
diametrically contradictory yang dikemukakan oleh MacKinder dan
juga oleh Alfred T. Mahan, la mengatakan bahwa, " control of the
oceans with a large two-ocean navy was route to United State security,
not control of the world island".

Dengan demikian lahirlah hubungan yang saling kait-mengait


antara faktor geografis dan kapabi I itas pol itik nasional sebagai cerm i n a n
ke dalam perspektif ekologis yang telah melahirkan suatu gebrakan
besar-besaran, khususnya dalam perspektif teoritik politik modern
(teori hubungan internasional: realism political theory). W ila y a h

(bumi, daratan) suatu negara merupakan elemen terhadap k e k u a ta n

(power) terlepas dari kecil atau besarnya, sempit atau luasnya. F a k to r

188 Studi Hubungan In te rn a s io n a l


luas wilayah saja tidak menjelaskan tentang kapabilitasnya untuk
memberi hidup atau menampung suatu jumlah penduduk di atasnya,
seperti yang dibuktikan oleh Gurun Sahara, di satu sisi, negara Jepang
di sisi lainnya. Kekuatan yang efektif dengan berdasarkan kompleksitas
faktor seperti misalnya faktor lokasi, kesuburan tanah, curah hujan, sifat
watak penduduknya, teknoiogi dan kualitas pimpinan nasionalnya.

Dalam kasus Jepang yang tidak terlalu kecil untuk dapat


mengalahkan Rusia pada Perang Russia-Jepang tahun 1904-1905.
Wilayah Russia yang begitu luas merupakan rintangan (kendala) dan
dapat menyulitkan pemusatan kekuatan militer serta operasi suplai
bahan-bahan amunisi di Siberia yang jauh. Untuk alasan yang sama,
luas wilayah ini mula-mula merupakan kerugian bagi Rusia pada saat
Hitler menyerangnya dalam bulan Juni 1941. Namun sebaliknya luas
wilayah memberikan keuntungan bagi Rusia sehingga dapat melempar
dan membalik keluar invasi Napoleon 1812 dan nasib yang sama
pula dialami oleh tentara Jerman dalam Perang Dunia Kedua. Faktor
luas wilayah ini bagi pandangan Russia yang memungkinkan gerakan
mundur yang jauh (long reteat) yangsekaligus akan menyulitkan suplai
bagi musuh dan penduduk musuh secara efektif.

Russia bisa mengorbankan faktor uang, waktu, wilayah seperti


halnya yang dilakukan oleh Cina dalam menghadapi Jepang. Meskipun
faktor luas wilayah mempengeruhi jalannya peperangan yang sifatnya
defensif ataukah ofensif, akan tetapi, efeknya berkaitan erat dengan
berbagai faktor lainnya, seperti masalah efisiensi pengangkutan/trans-
portasi, penempatan satuan-satuan militer, cuaca dan kebijaksanaan
pemimpin diplomati dan militer. Luas wilayah, akan memberikan
keuntungan bilamana dikaitkan dengan tingkat kesulitan dengan ren-
cana infasi yang datang dari luar wilayah yang bersangkutan. Dalam
hal ini ada kaitannya dengan faktor penduduk, bangunan-bangunan
•"Hiliter, jaringan-jaringan komunikasi, transportasi, dan sebagainya.
Namun ada lagi kerugian, di samping yang telah disebutkan di atas,
sebagai keuntungan misalnya kesulitan dalam rangka persatuan nasi-

p°litik Luar Negeri Terhadap Sistem Internasional 189


onal, pemerintah yang efektif dan integrasi nasional dalam berbagai
aspeknya.

Faktor letak lokasi wilayahnya, malah ada yang mengatakan lebih


penting artinya dibanding dengan faktor Iuas wilayah yangdimiliki oleh
suatu negara. Faktor letak lokasi wilayah akan memberikan banyak
pengaruhnya kepada tipologi perekonomian, perindustrian dalam
bidang perkayuan, perburuan, peternakan, pertanian, pertambangan
dan perdagangan; yang kesemuanya faktor itu akan memberikan
dampaknya. Adapun yang diartikan dengan lokasi dalam masalah
ini adalah berkaitan dengan tata ruang daerah-daerah atau negara-
negara lain akan memberikan pengaruh pada aspek kebudayaan
dan perekonomian, kekuatan militer dan kekuatan ekonomi negara.
Umpamanya, dalam bidang perekonomian, ada beberapa faktor-faktor
yang menentukan berbagai kegiatan yang berkaitan dengan sektor ini
antara lain:

a. Menentukan hubungannya dengan rute-rute perdagangan


internasional;
b. Pusat-pusat tempat tinggal penduduk;
c. Perairan untuk menangkap ikan.

Lokasi, cenderung untuk menentukan apakah suatu negara,


akan menjadi suatu landpower, ataukah akan menjadi seapower.
Lokasi, juga dapat dilihat di dalam kaitannya dengan diplomasi dan
strategi peperangan. Konsekuensi logis terhadap tata letak (posisi) dan
ditambah lagi dengan faktor-faktor lainnya maka suatu negara, dapat
menjadi pertempuran dalam peperangan atau akan menjadi daerah
penyangga (buffer) bagi negara-negara lainnya.

b. Penduduk
Penduduk dalam konteks ini dianggap sebagai hal yang riil (nya­
ta) yang dalam pengertian bahwa unsur ini dapat dikualifikasikan. la
berperan sebagai elemen dalam kekuatan nasional dengan melihatnya
secara khusus dari beberapa aspek yang terkandung di dalamnya se-

190 Studi Hubungan Internasional


perti, jumlah, kualitas dan karakter (watak), pertambahan penduduk,
distribusi penduduk, tingkat kemampuan penduduk dengan perkem-
bangan industri-idustri, teknoiogi dan kemajuan militer, dan sebagai­
nya. Jumlah penduduk dari suatu negara merupakan faktor yang ter-
penting. Demikian juga halnya dengan kualitas dan watak (karakter)
dari penduduk tersebut. Dan masalah ini pada dasarnya memiliki be­
berapa aspek diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Distribusi menurut usia dan jenis kelamin;


2. Kecenderungan angka kelahiran dan kematian;
3. Standar hidup, kesehatan dan melek huruf;
4. Kapasitas produksi dan kecakapan;
5. Kebiasaan dan kepercayaan;
6. Perbandingan penduduk yang tinggal di daerah pedesaan dan
yang di perkotaan;
7. Perubahan dalam pola kehidupan dan pikiran;
8. Perbedaan-perbedaan regionalitas dan karakternya;
9. Tingkat mobilitas sosial;
10. Karakter nasional;
11. Semangat nasional;
12. Kualitas diplomasi.

Dari beberapa unsur yang terdapat dalam penduduk, ternyata


selain unsur power itu yang nyata, juga memiliki aspek tidak nyata
seperti misalnya, pendidikan, kesehatan, persatuan, moralitas, me-
rata tempat tinggalnya, berpengetahuan luas, loyal terhadap otoritas
pemerintahannya, dan sebagainya. Oleh sebab itu banyak karakteris­
tik penduduk ini yang sulit diukur dan malahan sampai kepada dam-
paknya terhadap power negara yang bersangkutan sulit dinilai seperti
Persatuan, melek huruf, dan loyalitas. Misalnya, apakah tentara yang
buta huruf akan bertempur lebih efektif ketimbang yang melek huruf?

c- Sumber-sumber Alam
Sumber-sumber alam, berkaitan dengan letak geografisnya serta
kuantitas sumber daya alamnya terhadap kepentingan suatu negara.

p°litik Luar Negeri Terhadap Sistem Internasional 191


Hal ini menjadi penting, bilamana dikaitkan juga dengan kemampuan
suatu negara untuk memproses sumber-sumber alam tersebut menjadi
suatu nilai industrial, misalnya perumahan, industri, militer, listrik serta
kemampuan untuk mendistribusikan produknya itu bagi kepentingan
ekonomi pembangunan bangsa yang bersangkutan.

Kedudukan sumber-sumber daya alam misalnya, batu bara, besi,


aluminium, minyak, boksit memiliki posisi yang strategis dalam sektor
industri. Artinya, posisi tersebut harusdi I ihatdalamkonteks kemampuan
negara untuk meprosesnya dan mendistribusikannya atas hasil-hasil
industri tersebut terhadap kondisi ekonominya umumnya. Jadi, ada
dua negara-negara yang memiliki sumber daya alam yang melimpah
akan tetapi lemah dalam bidang teknologi industri pemasarannya.
Dan sebaliknya, negara-negara yang memiiki sumber-sumber daya
alam. Dengan dua fenomena ini maka akan melahirkan suatu sifat
ketergantungan bagi kegiatan ekspor bahan-bahan mentahnya yang
harus didatangkan dari luar negeri.

Ketergantungan dan hubungan antara industrial dengan ke-


beradaan sumber-sumber daya alam dapat dicontohkan oleh nega­
ra-negara seperti Amerika Serikat (AS), dalam sektor industri boksit,
mereka harus mengimpornya dari Jamaika. Sedangkan bahan mentah
minyak, diambil dari Meksiko, nikel didatangkan dari Kanada, karet
alam dari Indonesia dan Malaysia, timah dari Malaysia, Thailand,
Bolivia, yang jumlahnya tersebar ke dalam 85%-100% dari masing-
masing sumber-sumber alam itu diimpor oleh Amerika Serikat (AS).

Konsep sumber-sumber daya alam yang dilihat dari perspektif


kapabilitasnya berkaitan dengan gagasan bahwa negara-negara dengan
tingkat kebutuhannya sangat tinggi dan pengaruhnya kepada kekuatan-
kekuatan luar (eksternal). Oleh karena itu sumber-sumber daya alam
yang tidak terpenuhi secara maksimal sebagai power dalam konteks
kekuatan perekonomiannya yang kuat, kesinambungan industrialisasi
negara. Semua ini merupakan alat untuk memahami kapabilitas politik

192 S tu d i H u bu nga n In te rn a s io n a l
suatu negara dan dijadikan sebagai suatu langkah proyeksi dalam
hubungannya dengan negara lain.

Ada sumber-sumber daya alam yang kaya, tidak dengan sendiri-


nya membuat negara menjadi sejahtera. Akan tetapi hal ini sangat pen-
ting bagi kepentingan nasional (kekuatan nasional). Dalam kaitannya
dengan geografis dengan lokasi yang menguntungkan, dengan memi­
liki tanah-tanah subur, atau deposit-deposit mineral dapat membantu
kekuatan perekonomian pada umumnya. Karena dengan keberadaan
seperti ini akan menyebabkan suatu kondisi di mana negara-negara
lain menjadi tergantung memiliki manfaat tertentu misalnya mineral-
mineral, flora, fauna, air terjun dan kesuburan tanah yang beberapa
hal di antaranya menjadi kandungan yang terdiri dari dua aspek yakni
aspek bahan mentah dan sumber daya alam.

Sumber daya alam (SDA), dalam hubungan ini mengandung


arti sebagai potensi kekayaan, keuntungan. Sedangkan yang diartikan
dengan bahan-bahan mentah hanya ada manfaatnya (utility) jika hal ini
dilihat dalam perspektif sebagai potensi ketimbang manfaat yangnyata.
Akan tetapi, dari sisi lain, barang-barang pemberian alam terkadang
tidak selalu mendatangkan keuntungan (menurut tempat tertentu),
malahan dapat dikatakan sesuatu yang mendatangkan kerugian
tertentu. Mungkin kita menebang hutan-hutan secara sembarangan
akan mendatangkan kendala dalam kaitannya dengan pengolahan
bidang pertanian serta minyak, kandungan air, erosi dan sebagainya.
Meskipun semuanya sudah diketahui dan dirasakan bahwa sumber
alam di suatu negara dapat memberikan motivasi atas tindakan
intervensi negara luar dan kondisi ini tidak selalu menguntungkan.

d. Kapabilitas Ekonomi
Cross National Product (GNP) suatu negara menjadi indikator
yang sangat penting bahwa suatu negara dapat memberikan penga-
ruhnya dalam konstruksi hubungan internasional. Masalah ini akan
tercermin dalam kemampuan suatu negara atau bangsa untuk meng-
hasilkan produk yang bisa bersaing dalam perdagangan internasional.

Politik Luar Negeri Terhadap Sistem Internasional 193


G N P suatu negara atau bangsa umumnya tercermin dalam pemba-
ngunan ekonomi yakni semakin tinggi G N P semakin besar pula nilai
pembangunan ekonominya.

G N P juga berkaitan dengan produk energi, listrik dan baja


sebagai indikator produktivitas industri. Indikator-indikator ini juga
dapat berhubungan dengan G N P dalam hubungan ini berarti kekayaan
negara banyaknya uang dan sumber alam dapat dicurahkan kepada
kemampuan militer. Atau dengan pengertian lain, G N P sebagai
ukuran nilai seluruh barang dan jasa yang dihasilkan oleh suatu negara
dalam jangka waktu satu tahun bisa digunakan untuk membandingkan
kekayaan suatu negara dengan kekayaan negara lain.

G N P memberikan petunjuk umum tentang seluruh kekayaan


negara namun tidak bisa digunakan sebagai pegangan atas kemampuan
suatu negara itu untuk memenuhi kehendak ekonomi rakyatnya.
Indikator ekonomi yang dianggap paling pokok mantaatnya adalah
G N P perkapita (kekayaan dibagi oleh jumlah rakyat dalam suatu
negara). Indikator ini selanjutnya menimbulkan masalah pada saat
negara yang memiliki jumlah penduduk relatif kecil, namun tingginya
tingkat industrialisasinya. Sebagai contoh, antara Swedia dengan Swiss
memiliki tingkat tertinggi di antara negara-negara industri G N P per
kapita. Namun ke dua negara tersebut tidaklah menjadi yang terkuat
jika dibandingkan dengan negara industri besar dengan pendapatan
perkapitanya (hampir $ 21.000 milyar). namun Negara Kuwait bukan
sebagai negara yang sangat kuat (particularly powerful nation).

Dengan membuat perbandingan kekuatan-kekuatan terhadap


suatu negara dengan negara lain berdasarkan parameter pendapat­
an perkapitanya ada kecenderungan untuk membesar-besarkan ba­
nyaknya negara-negara berkembang dengan kategorisasi seperti itu.
India, dengan G N P $ 375 milyar dengan jumlah penduduk 700 juta
orang, sedangkan pendapatan perkapitanya hanya sekitar $ 250 per-
tahun, Bangladesh dikategorikan sebagai Negara miskin, pendapatan
perkapitanya hanya $ 140 pertahun.

194 Studi Hubungan Internasional


e. Kekuatan Militer Dan Mobilitas
Unsur kekuatan ini sangat erat kaitannya dengan gagasan
tradisional yang mengatakan bahwa suatu kekuatan yang didukung
o le h kekuatan militer akan melahirkan mobilitasnya yangtinggi maka
hal ini dianggap sebagai suatu unsur yang nyata, karena kekuatan
militer dan mobilitasnya bisa diukur dengan menggunakan jumlah
anggaran yang dikeluarkan untuk tujuan pertahanan dan keamanan.
Dari sejumlah pengeluaran tersebut dikembangkan ke dalam berbagai
fasiiitas, misalnya pengembangan pesawat-pesawat terbang, tank-tank,
persenjataan nuklir, kapal-kapal perang, dan sebagainya.

Simplikasi power yang digunakan dalam bidang militer adalah


ditujukan untuk pemenuhan kepentingan nasional di mana ini
dijadikan sebagai alat (military force) demi tercapainya tujuan yang
dimaksudkan. Namun demikian, kekuatan militer ternyata tidak dapat
berdiri sendiri, kekuatan militer di samping terdapatnya kekuatan
yang bersifat "tangible" juga sekaligus bersifat "intangible". Misalnya,
aspek ekonomi, skill, kepemimpinan, teknoiogi, moral pasukan,
format latihan-latihannya, kemampuan organisasinya, manajemennya,
sikap personalianya terhadap otoritas pemerintahnya. Maka dengan
demikian, kaitan antara berbagai aspek atau unsur yang terkandung
dalam lingkup geografis, sumber-sumber alam serta kapasitas
industrial, memberikan kontribusinya terhadap kepentingan suatu
negara dan aspek ini berada dalam aspek kesiapan militernya. (Hans J.
Morgenthau, 1990, 128).

Jika hal di atas kita proyeksikan ke masa depan (abad 20-an),


menunjukkan bahwa kedudukan militer tidak akan dapat lagi berdiri
secaraotomotik. Hal ini disebabkan dalam abad itu, akan membuktikan
secara besar-besaran terjadi perubahan-perubahan dan perkembangan
terutama dalam bidang teknik peralatan perang. Teknoiogi peralatan
Perang untuk hal mana, pihak-pihak yang lebih kecil tidak dapat
mencari kompensasi ke dalam cara-cara lain, sehingga kedudukan
Persoalan ini selain penggunaan pembaharuan teknoiogi yang tepat,

politik Luar Negeri Terhadap Sistem Internasional 195


juga kualitas pimpinan militer selalu memberikan pengaruh yang
determinan terhadap kekuatan nasional negara. Kapabilitas militer
dapat dilihat sebagai "heavily dependent” terhadap kondisi dan
semuanya yang berkenaan dengan kualitas manusianya (kesehatan,
pendidikan, melek huruf serta moralitasnya).

6.2 INSTRUMEN POLITIK LUAR NEGERI


6.2.1 Diplomasi

6.2.1.1 Sifat dan Hakikat Diplomasi

Ada hubungan antara diplomasi dengan politik luar negeri.


Hubungan tersebut terdapat dalam perbedaannya yakni dengan cara
membuat pertanyaan " What you d o ? (politik luar negeri), sedangkan
untuk bagian diplomasi dengan pertanyaan, h ow you do it? maka
dengan demikian, dapat dikatakan bahwa diplomasi dianggap sebagai
implementasi terhadap politik luar negeri. Diplomasi, senantiasa
berkaitan erat dengan interaksi antarpemerintah-pemerintah (C to C)
yang secara langsung (direct government to government interactions).
Bagaimanakah dan kapankah diplomasi itu ada dalam politik luar
negeri?

Hubungan antara diplomasi dengan politik luar negeri terdapat


dalam aktualisasi komunikasi secara langsung antara pejabat-pejabat
yang diwakili oleh dua atau lebih pemerintahannya. Maka dengan
demikian peranan diplomasi menjadi sentral secara teknis terhadap
implementasi politik luar negeri. Diplomasi itu pada akhirnya
sebagaimana halnya dengan alat, mesin atau instrumen lainnya
namun ia bersifat netral, yang artinya terlepas dari nilai-nilai, apakah ia
bermoral atau tidak. Nilai-nilai dan terlepas dari nilai-nilai, apakah ia
bermoral atau tidak. Nilai-nilai dan penggunaannya tergantung kepada
maksud dan tujuan serta kemampuan, kemahiran atau kecakapan dari
mereka yang melaksanakannya.

196 S tu d i H ubu nga n In te rn a s io n a l


Cara kerja diplomasi dapat dilaksanakan dengan melalui de-
partemen-departemen luar negeri, kedaulatan-kedaulatan besar, kon-
sulat-konsulat serta misi-misi khusus yang diselengarakan di seluruh
dunia. Dan pada umumnya, dijalankan dengan pola hubungan bila­
teral. Akan tetapi disebabkan semakin terasa bahwa demikian penting-
nya kegiatan-kegiatan dengan diadakannya berbagai konferensi yang
berskala internasional, organisasi-organisasi regional serta berbagai
tindakan keamanan bersama maka aspek-aspek yang berpolakan ke­
pada hubungan yang bersifat multilateral, dirasakan semakin penting
perannya dalam kerangka hubungan antara negara-negara.

Dalam kerangka ini, diplomasi berjalan di dalam berbagai


aspek yang meliputi berbagai macam masalah dan kepentingan yang
mulai dari masalah perang dan perdamaian (hubungan antarnegara
yang bersifat bilateral) sampai kepada masalah-masalah yang sangat
erat kaitannya dengan masalah perang dan perdamaian (hubungan
antarnegara yang bersifat multilateral). Dengan paparan masalah dan
kompleksitas mekanisme kerja sebuah diplomasi, dianggap perlu
suatu kajian apa dan bagaimana sebenarnya yang diartikan dengan
diplomasi itu. Inilah yang akan diuraikan di bawah ini.

6.2.1.2 Definisi Diplomasi

Dalam perspeksi klasik, diplomasi dapat dirumuskan sebagai


"the application of independent and tact to th e conduct of official
relations between government of independent states" (Harold K.
Nicolson, 1972, 475). Diplomasi dapat juga didefinisikan sebagai
"the method b y which these relations are adjusted and m anaged"
(Oxford English Dictionary). Quincy Wright (1955, 25-30) mengatakan
bahwa yang diartikan dengan diplomasi adalah sebagai "m eans of
the employment of tact, shrewdness, and skill in any negotiation or
t r a n s a c t io n Namun dalam pengertian yang lebih khusus lagi bahwa
diplomasi adalah sebagai "m eans of em ploym ent of tact, shrewdness,
and skill in any negotiation or transaction". Namun dalam pengertian
yang lebih khusus lagi bahwa diplomasi diartikan sebagai "sense used

P o litik L u a r N e g e ri Terha dap S istem In te rn a s io n a l 197


a. Kewajiban yang pertama seorang diplomat adalah untuk mewakili
negaranya sendiri (to represent his or her state). Seorang diplomat
merupakan agen/pejabat komunikasi pada umumnya antara
departemen luar negerinya dan departemen luar negeri negara di
mana dia ditugaskan. Di samping itu, bahwa seorang diplomasi
di mana ia ditempatkan adalah merupakan negara yang dia wakili
dan negaranya akan dinilai menurut kesan dari tindakan-tindakan
sang diplomat itu. Diplomat pada prinsipnya harus memupuk
dan membina kontak-kontak sosial dengan para pejabat tinggj
di departemen luar negeri, dengan pemerintah pada umumnya,
dengan para rekan diplomasi lainnya, dengan tokoh-tokoh yang
mempunyai pengaruh dari segala lapisan masyarakat. Kontak-
kontak sosial seperti itu paling tidak dapat memberi kesenangan,
menggembirakan dan memberikan dorongan semangat dan
bermanfaat bagi kepentingan dorongan semangat dan bermanfaat
bagi kepentingan negara yang diwakilinya. Kontak-kontak itu
merupakan "pembantu" yang tidak dapat dihindarkan untuk
melancarkan tugas pokoknya yakni berupa, perundingan-
perundingan, negosiasi-negosiasi, dan sebagainya. Kegiatan
seperti ini secara umum dapat dikatakan sebagai aktivitas simbolis
dari fungsi-fungsi (symbolic behavior). Seperti contoh berikut,
bahwa dalam jangka waktu lama, Jerman Barat tidak mengakui
keberadaan Jerman Timur, sebelum para duta besar Jerman
Barat mengadakan pertemuan di negara-negara mana mereka
menempatkan misi-misi perdagangan atau konsulat-konsulatnya.
Kondisi ini merupakan "symbolic contribution" yang mengklaim
bahwa hanya satu Jerman adanya.
b. Sebagai kewajiban yang ke dua dari seorang diplomat adalah
dengan melaksanakan kegiatan perundingan (negotiation). Dalam
praktiknya perundingan merupakan usaha-usaha yang paling
utama (par excellence) untuk mencapai persetujuan dengan
jalan kompromi dan kontak pribadi secara langsung. Oleh sebab
pada prinsipnya seorang diplomat adalah orang yang melakukan

200 Studi Hubungan Internasional


perundingan atau orang yang berunding. Maka berkenaan dengan
itu kewajiban seorang diplomat meliputi hal-hal berikut:
Untuk merencanakan berbagai macam persetujuan bilateral
dan multilateral yang dituangkan ke dalam perjanjian-
perjanjian (treaties convention, protocols, dan dokumen-
dokumen lainnya) yang memiliki sifat sosial, politik dan
ekonomi.
Pokok bahasannya atau isinya dapat bermacam-macam, mulai
dari masalah-masalah pembentukan organisasi-organisasi
keamanan internasional, perubahan-perubahan wilayah,
pengaturan-pengaturan tentang penerang sipil internasional,
telekomunikasi internasional, hubungan-hubungan ekonomi
internasional, sampai kepada soal-soal khusus seperti,
imigrasi, hak-hak perjalanan, wisatawan dan sebagainya.

c. Kewajiban yang ke tiga dari seorang diplomat adalah pelapor/


laporan. Hal ini berkenaan dengan laporan-laporan yang dikirim
oeh para diplomat dari perwakilan-perwakilan di luar negeri
merupakan bahan-bahan untuk menyusun dan menetapkan politik
luar negeri. Laporan-laporan ini meliputi hampir semua pokok-
pokok persoalan yang mulai dari penyelidikan teknis sampai
kepada pemeriksaan psikologis dari bangsa-bangsa lain. Seorang
diplomasi harus merupakan orang yang terbaik dalam pembuatan
laporan.
d. Tugas yang ke empat dari seorang diplomat adalah melindungi
kehidupan dan meningkatkan kepentingan warga negaranya baik
yang ada di negaranya maupun di luar negeri, ada bencana alam
ataupun kerusuhan dalam negeri, peranan diplomat seperti ini
menjadi sangat penting. Warga negara harus dilindungi atau jika
diperlukan dilakukan dengan evakuasi, mereka harus didampingi
oleh pengacara jika diadili, kekayaan mereka atau kepentingan
lainnya di luar negeri harus dilindungi. Bagi negara-negara besar,
untuk tugas yang demikian, ditunjuk pejabat konsuler bukan warga
kedutaan. Konsulat yang didirikan di berbagai kota-kotadi sebuah

p°litik Luar Negeri Terhadap Sistem Internasional 201


negara adalah merupakan pos diplomatik yang melayani warga
yang bepergian dari dan ke negara asalnya, melayani masalah visa
dan informasi, melindungi kepentingan warga negara pada saat
berada di luar negaranya serta membantu warga negara dalam
transaksi dagang. Pejabat konsuler ada kalanya melakukan fungsi
diplomatik lainnya akan tetapi jika halnya atau bila komunikasi
diplomatik mengalami gangguan yang tidak secara normal.

6.2.1.4 Sasaran-sasaran Diplomasi

Keempat tugas diplomasi sebagaimana yang telah diuraikan di


atas, merupakan unsur dasar politik luar negeri di mana-mana dan
segala zaman apapun. Dapatlah pula dikatakan bahwa kepala suku
masyarakat primitif yang memelihara hubungan politik dengan ma­
syarakat suku tetanggannya, perlu menjalankan empat fungsi dan ke­
wajiban tersebut apabila ia ingin memperoleh hasil dan memelihara
perdamaian yang kondusif. Kebutuhan akan dijalankannya semua
fungsi tersebut, sama tuanya dan sama luasnya seperti politik inter­
nasional itu sendiri. Hanya, penyelenggaraan atas semua fungsi yang
dimaksudkan itu oleh perwakilan yang terorganisasikan secara fung-
sional memang belum ada.

Ada dua sarana diplomasi yang terorganisasikan yakni, departe­


men luar negeri di ibukota negara-negara yang bersangkutan, dan
perwakilan diplomatik yang dikirim oleh departemen luar negeri ke
ibukota negara-negara asing. Departemen Luar Negeri adalah badan
pembentukan siasat, otak politik luar negeri, di mana kesan-kesan dari
luar negeri dikumpulkan dan dianalisis, di mana disusun politik luar
negeri dan darimana datangnya dorongan yang diubah oleh para wakil
diplomatik menjadi politik luar negeri yang sebenarnya.

Sementara departemen luar negeri adalah otak politik luar negeri,


maka para wakil diplomatik adalah mata, telinga dan mulutnya, ujung-
ujung jari-jarinya dapat diumpamakan sebagai penjelmaannya. Maka
dalam hubungannya dengan sarana-sarana diplomatik tadi, seorang

202 Studi Hubungan Internasional


diplomatik palingtidakmengerjakan tigafungsi untuk pemerintahannya
yakni, perwakilan simbolis, perwakilan sah dan perwakilan politik.

a. Perwakilan Simbolis
Seorang diplomat, pertama sekali adalah sebagai simbolis dari
negaranya. Dalam peranannya sebagai lambang (symbol) perwakilan
negara, diplomat zaman sebelumnya tidak lebih daripada menghindari
upacara diplomatik kerajaan. Namun pada saat sekarang ini, para duta
besar sebagai tambahan terhadap kegiatannya adalah mengunjungi
upacara diplomatik dan kegiatan sosial yang harus mengarahkan
kelompok-kelompok asing dan menghindari segala kegiatan yang
diselenggarakan oleh negara yang memiliki hubungan dengan negara
yang diwakilinya.

Oleh karena itu, ia senantiasa harus menjalankan fungsi


simbolisme dan memperhatikan dirinya pada fungsi simbolis dari
pihak para diplomatik negara lain di mana ia ditugaskan. Semua
fungsi ini diperlukan untuk menyelidiki. Di sisi lain, mempersoalkan
bagaimana reputasi negaranya di luar negeri, dan prestise mana negara
sendiri memandang negara di mana ia dikuasakan. Jika Indonesia
menyelenggarakan upacara-upacara kenegaraan untuk memperingati
hari Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, di Jakarta, para
duta besar dan perwakilan-perwakilan diplomatik negara-negara
sahabat wajib menghadirinya. Jika keiompok penari balet Uni Soviet
berkunjung ke Paris, duta besar Rusia diharapkan bersedia membuka
pertunjukan pembukaan. Jika pemerintah Amerika Serikat mendirikan
Pusat Kesehatan Anak-anak di Negara Dunia Ketiga, duta besar
Amerika Serikat tidak hanya menghadiri pembukaan pemakaian Pusat
Kesehatan Anak-anak tersebut, akan tetapi juga akan menunjukkan
Perhatiannya secara terus-menerus terhadap kegiatan pusat kesehatan
anak-anak tersebut. Baik dalam bidang pertanian, kesehatan, musik,
ilrnu pengetahuan atau kebijaksanaan militer, jika suatu pemerintah
Memiliki saham dalam proyek tersebut, maka diplomat tersebut harus

p°Htik Luar Negeri Terhadap Sistem Internasional 203

vovrnvx NVNns wn •
M V A n A JV ; 1 £>.£! 1\ !"1 J V ll- LiiA l It L
memberikan lambing bahwa sumbangan yang diberikan untuk itu
tetap berkesinambungan.

b. Perwakilan Sah
Seorang diplomat, juga dapat bertindak sebagai wakil yang sah
(formal/resmi) dari pemerintah negaranya. la bertindak sebagai wakil
yang sah atas nama pemerintah negarariya, dalam arti yang sama
dengan suatu perusahaan domestik dengan kedudukannya yang di
Jakarta, diwakili oleh para wakil yang sah di negara-negara dan kota-
kota lainnya. Perwakilan-perwakilan semacam ini dilihat sebagai
agen-agen yang bertindak atas nama badan yang diwakilinya itu kita
namakan perusahaan itu, membuat pernyataan yang mengikatnya,
menandatangani kontrak yang mengikatnya yang bertindak dalam
batas-batas piagam bersama secara bersama yang seolah-olah mereka
adalah perusahaan itu.

Demikian pula misalnya, duta besar Indonesia yang bertugas di


Washington, menjalankan tugas itu atas nama pemerintah Republik
Indonesia. Fungsi Negara yang oleh Undang-undang Dasar, Undang-
undang Indonesia, serta pemerintah-pemerintah ia diizinkan untuk
menyelenggarakan tugas yang dimaksudkan. la dapat diberikan kuasa
untuk menandatangani perjanjian-perjanjian ataupun menyerahkan
dan menerima dokumen ratifikasi, dengan mana dokumen/perjanjian
yang sudah ditandatangani, sudah dimulai masa berlakunya. la juga
memberikan perlindungan hukum bagi warga negara Indonesia di
luar negeri. la dapat mewakili Indonesia dalam konferensi-konferensi
internasional atau pada Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa
(SU PBB) dan memberikan suaranya atas nama dan menurut perintah
pemerintah negaranya.

c. Perwakilan Politik
Seorang diplomat, beserta kementrian luar negeri, m e m b e n tu k

politik luar negerinya. Ini merupakan pekerjaan yang cukup pegang


peran penting. Seperti halnya Kementrian Luar Negeri adalah urat nadi

politik luar negeri, demikian pula dengan perwakilan diplomatiknya

204 Studi Hubungan Internasional


merupakan serabut-serabut terpencil yang memelihara lalu lintas
pulang balik antara pusat dan dunia luar.

Sedikitnya satu dari empat tugas diplomasi yang disebutkan


di atas, adalah merupakan tanggung jawab para diplomat untuk
dilaksanakan yakni, mereka harus menaksir tujuan negara-negara lain
kekuatan yang benar dan potensial yangdimiliki untuk mencapai tujuan
tersebut. Untuk itu mereka harus memperoleh informasi mengenai
rencana pemerintah di mana mereka telah dikuasakan dengan cara
bertanya secara langsung kepada para pegawai pemerintah dan para
pemimpin politik dengan cara memeriksa pers dan juru bicara lain
untuk mendapatkan informasi khususnya bagaimana pendapat umum.
Mereka harus menilai pengaruh yang potensial dalam kebijaksanaan
pemerintah dari beberapa kecenderungan yang berlawanan
(kontroversial) dalam pemerintahan, partai-partai politik serta berbagai
pendapat umum lainnya.

Seorang diplomat asing Jakarta harus tetap memberitahukan


pemerintahnya mengenai sikap sekarang dan barangkali di kemudian
hari dan berbagai cabang pemerintahan Indonesia dalam kaitannya
dengan masalah hangat di lingkungan internasional. la harus menilai
kepentingan bagi perkembangan politik luar negeri dari berbagai orang
yang dalam pemerintahan dan partai-partai politik. Sikap apa yang harus
diambil dalam masalah masalah umum dan khusus bilamana terjadi
apa-apa yang menyangkut negaranya? Sejauh manakah pengaruh
seorang kolumnis atau komentator di surat-surat kabar ataupun di
mass media lainnya atas politik resmi dan pendapat umum?

Dan seberapa besar dan banyaknya pandangannya yang me­


wakili pemerintah resmi dan kecenderungan dalam pendapat umum?
Dalam menyelenggarakan fungsi pemeliharaan perdamaian yang ter­
diri dari bujukan, perundingan dan ancaman kekerasan, seorang wakil
diplomatik memainkan peranan penting. Kementrian Luar Negerinya
dapat memberikan kepadanya pemerintah mengenai tujuan yang hen-
dak dikejar dan sarana yang sepatutnya digunakan. Namun demikian,

Politik Luar Negeri Terhadap Sistem Internasional 205


penyelenggaraan perintah tersebut harus didasarkan kepada bebera­
pa pertimbangan-pertimbangan dan keterandalan yang dimiliki oleh
diplomat yang bersangkutan. Bagaimana suatu argumen dapat meya-
kinkan, keuntungan apa yang akan diberikan oleh suatu tindakan ke­
kerasan atau tindakan sebuah ancaman? Sejauhmanakah keberhasilan
salah satu teknik itu mendapat tekanan dan menjadi pusat perhatian
dan pada gilirannya nanti akan menjadi pertimbangan atas tindakan
selanjutnya dalam kerangka pelaksanaan politik luar negerinya yang
akan datang.

6.2.1.5 Klasifikasi Diplomat dan Konsuler

Sampai saat ini uraian kita mempergunakan terminologi diplomat


dalam pengertian yang umum yaitu yang meliputi semua anggota-
anggota kementrian-kementrian luar negeri dan kepada mereka yang
secara khusus bertindak sebagai kepala-kepala perwakilan. Tetapi
tidak semua kegiatan diplomasi itu dilakukan oleh diplomat-diplomat.
Dalam pengertian yang tertentu, setiap warga negara yang berada
atau sedang mengadakan perjalanan di negara lain, adalah seorang
diplomat. Namun di dalam pengertian profesional, para diplomat
terdiri dari dua golongan besar yakni:

a. Pegawai-pegawai diplomatik dan


b. Pegawai-pegawai konsuler.

Dari segi fungsi dan tugas diplomasi sebagaimana yang telah


diuraikan di atas, dapat dilakukan oleh ke dua golongan ini. Tetapi
secara umum, dapat juga kita mengatakan bahwa pegawai-pegawai
diplomat mengutamakan tugas-tugas representatif (perwakilan) dan
negosiasi, sedangkan bagi pegawai-pegawai konsuler, agak lebih
khusus sebab hal ini berkaitan dengan tugasnya untuk memberikan
perlindungan bagi kepentingan-kepentingan para warga negaranya,
tugas pelaporan (reporting) dan ini merupakan tugas dan kewajiban
yang pokok bagi ke dua golongan ini.

206 Studi Hubungan Internasional


Personalia Diplomatik

Posisi atau jabatan/kedudukan tertinggi dalam dinas diploma


tik (diplomatic service) dipegang oleh kepala-kepala perwakilan. Ke
banyakan dari mereka ini yang memiliki pangkat sebagai duta besa
(ambassadors) atau sebagai duta (minister). Tingkat/jabatan/pangkat
pangkat diplomat yang merupakan hierarkis diplomatik yang masil
berdasarkan kepada ketentuan-ketentuan yang disetujui dalam Kong
res W ina 1815. Akan tetapi tingkat satu atau tingkat dua atau tingka
tiga telah menjadi satu yang pada umumnya disebut sebagai envoy,
extraordinary and ministers plenipotentiary (Charles G. Fenwick
1952, 463).

Para konsul merupakan bagian dari Dinas Luar Biasa (foreigr


service) dari suatu negara. Mereka ini sering melakukan fungsi-fungs
diplomatik dan konsuler, akan tetapi tugas-tugas mereka memilik
perbedaan-perbedaan dalam hubungannya dengan tugas-tuga:
diplomatik umumnya. Mereka merupakan suatu cabang/bagian yanj
terpisah dari dinas luar negeri, meskipun pada saat ini kebanyakar
negara-negara terhadap pejabat-pejabat diplomatik dan konsulerny;
dapat saling berganti sesuai dengan kebutuhan yang akan timbul
Akan tetapi jika dilihat dari sejarahnya, dinas konsuler lebih tu;
usianya dengan dinas diplomatik. Hal ini disebabkan oleh karen;
dinas diplomatik melaksanakan dua macam fungsi sejak lama sebelurr
tumbuhnya sistem negara-bangsa (nation-states system) dan lahirny;
diplomasi yang terorganisir. Fungsi-fungsi ini meliputi hubungan
hubungan dagang dan kegiatan usaha-usaha (bisnis) dan pelayanar
jasa terhadap warga negara.

Laporan berkala dan laporan khusus;


Memberikan jawaban atas pertanyaan yang menyangku
perdagangan;
Penyelesaian perselisihan dalam perdagangan;
Dan sebagainya.

politik Luar Negeri Terhadap Sistem Internasional 20.


Semua yang tercantum di bawah merupakan tugas-tugas khusus
dari fungsi umum yang pertama. Dan sebagai fungsi yang ke dua,
kendati akan meliputi fungsi yang pertama, memberikan bantuan
pelayanan perjalanan di negara di mana konsul itu ditugaskan. Adapun
tugas-tugas tersebut meliputi:

Kesejahteraan dan hal-ikhwal setiap warga negara;


Mengatur penguburan;
Mengatur warisan dari warga negara yang meninggal dunia di luar
negeri;
Bantuan pelayanan kepada setiap warga negara yang melanggar
peraturan hukum di luar negeri;
Perlindungan dan bantuan kepada para pelaut (tugas secara khusus)
Pada umumnya, para konsul dibagi ke dalam 5 kelas yakni:

a. Konsul Jenderal
b. Konsul
c. Konsul Muda
d. Agen konsul

6.2.1.6 Peraturan Peraturan dan Prosedural Diplomatik

Diplomasi masih tetap diberlakukan dengan berdasarkan kepada


suatu kode etik yang sangat ruwet sebagai hasil perkembangan masa
lalu. Peraturan-peraturan yang tidak tertulis, maupun yang tertulis
agaknya sama pentingnya dengan apa yang tercantum dalam Reglement
tahun 1815 atau dokumen-dokumen lainnya seperti, Convention on
Diplom atic Officers dan Convention on Concular Officeers.

Termasuk dalam hal ini pengangkatan dan penerimaan para


diplomat, berakhirnya suatu Misi Diplomatik untuk para pejabat-peja-
bat konsuler dan juga, bagi aturan-aturan mengenai hak-hak istimewa
(privileges) dan kekebalan diplomatik (immunitas) dan konsuler.

208 Studi Hubungan Internasional


6.2.1.7 Pengangkatan dan Penerimaan Diplomat

Pada dasarnya oleh masing-masing negara menunjuk dan


mengangkat wakil-wakil diplomatiknya menurut caranya sendiri,
namun pada umumnya pengangkatan dan penunjukkan itu disusul
oleh atau dilanjutkan dengan berdasarkan kepada beberapa prosedur
yang memperoleh pengangkutan secara internasional. Biasanya,
pengangkatan (nomination) bagi seorang diplomat yang baru akan
diumumkan secara resmi setelah negara yang bersangkutan (negara
yang akan menerima) bagi seorang diplomatik yang baru akan
diumumkan secara resmi setelah negara yang bersangkutan (negara
yang akan menerima) diplomat itu memberikan atau menyatakan
persetujuannya akan hal itu. Persetujuan yang akan diberikan itu
disebut dengan istilah: agreement dan agreation (prosedur untuk
menentukan persetujuan itu).

Umumnya seorang diplomat, sebelum berangkat ke posnya


yang baru, akan tinggal terlebih dahulu di ibukota negaranya dengan
tujuan untuk membicarakan dengan berbagai hal yang menyangkut
tugas seorang diplomat dari negaranya termasuk dalam hai ini
adalah pembicaraan dengan Kepala Negaranya, Menteri Luar Negeri
dan para pejabat yang berkompeten untuk itu. Adapun sebagai isu
pembicaraan yang akan diberikan sebagai bekal kepada diplomat
yang bersangkutan sekitar masalah sejarah berdasarkan hubungan
antara negaranya dengan Negara yang akan ditempatinya serta bahan-
bahan (surat-surat kepercayaan) atau disebut dengan istilah letters of
credence yakni surat-surat pengangkatan resmi dari seorang diplomat
yang ditandatangani oleh kepala negara dan ditujukan kepada Kepala
Negara di mana diplomat tersebut ditempatkan.

Segera setelah diplomat tersebut tiba di posnya, maka ia akan


rnenghubungi Menteri Luar Negeri untuk memohon memberikan
waktu untuk melakukan suatu audience dengan Kepala Negara dengan
lr>aksud untuk menyerahkan surat-surat kepercayaannya (letters of
credence). Dalam rangka penyerahan surat-surat kepercayaan tersebut,

Politik Luar Negeri Terhadap Sistem Internasional 209


dilaksanakanlah dalam bentuk upaya (ceremony) secara resmi yang
isinya terdiri dari pidato singkat dari wakil diplomatik itu dan pidato
dari Kepala Negara setelah menerima surat kepercayaan.

6.2.1.8 Berakhirnya Suatu Misi Diplomatik

Berakhirnya suatu misi diplomatik dapat terjadi dengan melalui


beberapa cara antara lain adalah sebagai berikut:

a. Seorang diplomat tertentu dapat minta berhenti;


b. Seorang diplomat dapat direcall (dipanggil pulang) atau
diberhentikan dari jabatannya;
c. Dalam hal recall ini dapat terjadi melalui cara sebagai berikut:

1. Beliau dapat di recall oleh pemerintahnya sendiri atas


kehendak atau keputusan pemerintahnya sendiri;
2. Atas permintaan pemerintah dari negara di mana diplomat itu
ditempatkan.

Maka dalam kondisi seperti ini, dapat disebabkan oleh beberapa


alasan-alasan tertentu misalnya, disebabkan diplomat tersebut sudah
dipandang atau dianggap sebagai yang person non grata di negara itu,
atau karena hubungan antara dua negara yang bersangkutan demikian
memburuk, sehingga dipandang perlu untuk memanggil pulang
diplomat yang bersangkutan. Dalam kondisi di mana antara dua
negara sudah tidak harmonis lagi, yang sebagai dampaknya adalah
dengan dipanggilnya diplomat tadi itu maka hal ini dapat berarti,
diplomat tersebut dipanggil pulang sekedar untuk konsultasi. Ini
adalah merupakan praktik, kebiasaan bilamana hubungan diplomatik
antara dua Negara tersebut ada dalam kondisi yang memburuk atau
menjadi tegang, ataupun, diplomat tersebut akan dipindahkan ke pos
yang lain ataupun sebagai tindakan pendahuluan yang pada gilirannya
nanti akan disusul tindakan pemberhentian.

210 Studi Hubungan Internasional


6.2.1.9 Hak-hak Istimewa dan Kekebalan (imunitas)

Bagi Para Diplomat

Adapun sebagai alasan-alasan yang menjadikan seorang diplomat


memiliki hak-hak istimewa dan kekebalan diplomatik dilakukan
dengan dua cara yakni:

Para diplomat wakil pribadi dari kepala negaranya yang dalam


kenyataannya adalah juga sebagai perwakilan dari pemerintahnya
dan arena itu wakil daripada rakyat negaranya masing-masing.
Agar supaya para diplomat melakukan tugasnya dengan baik
dan memuaskan, maka dibebaskanlah mereka ini dari beberapa
pembatasan-pembatasan yang dibebankan atau ditetapkan oleh
peraturan-peraturan hukum setempat.

Namun biasanya, mereka dibebaskan dari pungutan pajak


langsung dan bea cukai, dari yurisdiksi sipil dan kriminal dari negara di
mana mereka ditempatkan (dibebaskan dari hukum negara asing pada
umumnya). Demikian pula keluarga mereka dapat anggota-anggota
staf secara pribadi masing-masing tidak dapat diganggu gugat.

Bagi Para Konsul

Kepada pada konsuler, umumnya tidak diberikan hak-hak dan


kekebalan sebagaimana yang diberikan kepada seorang diplomat. Dan
status mereka lebih banyakditentukanoleh perjanjian-perjanjian antara
pemerintah-pemerintah, atau hak-hak istimewa berdasarkan kepada
sifatnya yang cortesy (kehormatan) daripada menurut ketentuan-
ketentuan atau peraturan hukum internasional. Namun beberapa
hal, atau keadaan para konsul diberikan semua hak istimewa dan
kekebalan yang biasanya diberikan kepada para diplomat, yang terjadi
semacam ini jikalau mereka menjalankan fungsi-fungsi diplomatik dan
konsuler. Kantor-kantor konsuler dan arsip-arsipnya dipandang sebagai
harta benda dari negara asal para konsul dan karena itu bersifat "extra­
territorial".

Politik Luar Negeri Terhadap Sistem Internasional 211


6.3 IN S T R U M E N P R O P A G A N D A IN T E R N A S IO N A L

6.3.1 Persoalan Definisi Konsep

Propaganda sebagaimana halnya dengan pengertian diplomasi,


memiliki perbedaan di dalam dua hal seperti yang dikemukakan oleh
Joseph Frankel (1988, 142-146) yakni:

First, it is addressed to the people of other states rather than to


their governments (important subject of propaganda conducted by the
government at home need not concern us here) the effect on other
government is rarely more than incidental.

Second, propaganda is selfish, governed exclusively by the


national interests of thepropagandistand therefore usually unacceptable
to other states. There is here no attempt to find a compromist between
competing national interest; the aim is exclusively the national
advantage of the propagandist.

Di samping itu Terrencer Qualter (1962, 27) mengemukakan


arti propaganda sebagai berikut:

"...usaha yang dilakukan dengan sengaja oleh individu atau


kelompok untuk membentuk, menguasai atau mengubah sikap
kelompok lain dengan menggunakan instrumen komunikasi dengan
harapan bahwa dalam situasi tertentu, reaksi sasaran yang dipengaruhi
sesuai dengan yang dikehendaki oleh propagandis...dalam tahap
"usaha yang sengaja" terdapat kunci mengenai gagasan propaganda.
Hal tersebut membedakan propaganda dan non-propaganda..."

Dengan demikian, jelas bahwa setiap tindakan "promosi" bisa


jadi propaganda jika tindakan tersebut merupakan bagian kampanye
yang sengaja untuk membujuk tindakan pihak lain dengan menguasai
sikap mereka. Kimbal Young (1963, 19) yang menggunakan definisi
sama dengan yang di atas, namun di sini lebih ditekankan pada segi
tindakan. la melihat bahwa rumusan propaganda dianggap sebagai
suatu...pemakaian simbol secara terencana dan sistematik, baik

212 Studi Hubungan Internasional


disengaja maupun tidak, khususnya melalui bentuk anjuran dan teknik
psikologi serupa, dengan maksud mangubah dan menguasai tindakan
sasaran agar berlaku sesuai dengan garis yang telah ditetapkan.

Dari ke dua definisi tersebut di atas, yang kedua-duanya memi­


liki empat karakter yang sama yakni:

a. Komunikator yang bertindak dengan maksud mengubah sikap,


pendapatan dan perilaku komunikan;
b. Simbol yang dipakai komunikator baik dalam bentuk tulisan
maupun secara lisan;
c. Media komunikasi;
d. Komunikasi atau lebih dikenal dengan sebutan "sasaran".

Bagi pandangan Theodore A. Couloumbis & James H. Wolfe


(1990, 184), mendefinisikan propaganda itu sebagai suatu proses yang
melibatkan seorang komunikator yang bertujuan untuk mengubah
sikap, pendapat dan perilaku penduduk yang dijadikan sebagai
sasarannya dengan melalui simbol-simbol verbal, tulisan dan perilaku
dengan menggunakan media seperti, buku-buku, pamflet-pamflet,
film, ceramah dan lain sebagainya.

6.3.2 Model-model Propaganda

Pemerintah N egara B
Pemerintah N egara A U paya mempengaruhi
kebijakan dari
Pengaruh
M engubah kebijaksanaan
terhadap
Keiom pok organisasi
Keiompok etnis, agama, M em pengaruhi dan
bahasa, dan politik tindakan dari
Negara B

Negara A________________________________________________________________

Sumber, Adaptasi dari: K. j. Holsti, Politik Internasional Suatu Kerangka Analisis,


(Bandung: Binacipta, 1987), 2 7 0

Gambar 6.1 Model Propaganda

Politik Luar Negeri Terhadap Sistem Internasional 213


Dengan semakin berkembangnya politik massa (perluasan ke-
terlibatan masyarakat dalam masalah politik) serta hubungan antarpri-
badi diantara masyarakat dari berbagai bangsa, dimensi psikologis dan
opini masyarakat tentang politik luar negeri semakin menjadi penting.
Saat ini dengan perkembangan atas terkelompokkannya ke dalam ber­
bagai kelas-kelas sosial, gerakan dan kelompok kepentingan, masyara­
kat semakin memainkan peranan yang sangat'penting pula terutama
dalam rangka menetapkan tujuan politik luar negeri serta menentukan
sarana yang diinginkan dalam mencapai atau mempertahankan tujuan
yang ditetapkan dan pada gilirannya, masyarakat pulalah yang men­
jadi sasaran persuasifnya.

Salah satu aspek yang unik dalam politik internasional adalah


dalam usaha pemerintah melalui diplomat dan propaganda mempe-
ngaruhi sikap dan perilaku rakyat, kelompok etnis tertentu, golongan,
kelompok-kelompok keagamaan, kelompok ekonomi, dan sebagai­
nya. Dengan melalui propaganda, diharapkan kelompok-kelompok
tersebut ataupun masyarakat keseluruhan akan mempengaruhi sikap
perilaku dan tindakan pemerintahnya. Sebagai contoh, tahun 1974,
junta militer Chilie menyewa sebuah perusahaan Hubungan Masyara­
kat (Humas) di New York, Amerika Serikat guna meracang program
informasi untuk mengubah citra bangsa Amerika Serikat yang kurang
baik terhadap rezim penguasa Chilie.

Usaha demikian, bukan tidak memiliki arti yang pokok, terbukti


dengan 400 perusahaan seperti itu berkembang di Amerika Serikat
dan melakukan kegiatan propaganda untuk kepentingan pemerintah
negara lain. Dan kebanyakan perusahaan tersebut melakukan kegiatan
yang berkaitan dengan usaha memperkenalkan pariwisata, perdagang­
an. Akan tetapi banyak juga yang melakukan kegiatannya untuk ke-
pentingan-kepentingan politik (misi-misi politik) yang bertugas untuk
mempengaruhi kelompok masyarakat tertentu dengan harapan ke­
giatan atau tindakan seperti itu, akan dapat mempengaruhi. program

214 Studi Hubungan Internasional


pemerintahnya. Program pelaksanaan propaganda tampak dalam
gambar 6.2.

6.3.3 Proses Pelaksanaan Propaganda

Sikap atau tindakan yang Negara B


dikehendaki Negara A
M em pengaruhi sikap keiom pok organisasi
dan tindakan dari
Negara B
Negara A

Sumber, A daptasi dari: K. j. Holsti, Politik Internasional Saru Kerangka Analitis


(Bandun: Binacipta, 1987), 2 6 9

Gambar 6.2 Proses Pelaksanaan Propaganda

Pada dasarnya pemerintah yang ada di dunia kita ini telah


melakukan program informasi ke luar negeri. Semua Negara-negara
besar memiliki birokrasi yang luas di dalam negeri dan petugas
penerangan di luar negeri yang bertugas untuk membentuk sikap
masyarakatdi luar negeri sesuai dengan yangdikehendakikebijaksanaan
pemerintahnya. Adapun fungsi mereka adalah melakukan hubungan
dengan pejabat-pejabat berita baru kepada seluruh organisasi dan
individu yang diperkirakan mampu menimbulkan perhatian terhadap
kegiatan dan keadaan di negara tersebut, sekalipun untuk menjawab
berbagai persoalan yang diajukan oleh wartawan, mahasiswa dan
sebagainya. Namun yang terpenting di sini adalah fungsi mereka
untuk membentuk citra (image) terutama itu mengenai negaranya di
luar negeri.

Dalam memandang jaringan hubungan non pemerintah yang


luas, propaganda juga dapat berlangsung dalam tingkatan yang kurang
resmi, di mana keiompok atau gerakan di suatu negara berupaya un­
tuk mengubah atau memperkuat sikap masyarakat di negara lain.
Misalnya, berbagai juru bicara keiompok kulit hitam Afrika Selatan
telah berkunjung di banyak Negara dengan menyampaikan kepada
msyarakat di negaranya dan tentang kebijaksanaan politik apartheid

Politik Luar Negeri Terhadap Sistem Internasional 21 5


pemerintah Afrika Selatan. Mereka berharap dengan tindakan se­
perti itu kepada masyarakat yang dikunjunginya akan mempengaruhi
pemerintahnya masing-masing untuk mengubah kebijaksanaan terha­
dap pemerintah Afrika Selatan.

Maka dengan cara demikian, diharapkan akan berkembang pe-


rubahan dalam rangka kebijaksanaan pemeriotah Afrika Selatan terha­
dap masyarakat kulit hitam di negara itu. Gambaran seperti ini meru­
pakan kasus mengenai keterlibatan aktor nonnegara yang berusaha
mempengaruhi keadaannya atau mencoba memperbaiki sasaran do-
mestiknya dengan cara mengaitkannya dengan kelompok-kelompok
atau masyarakat di luar negeri. Model propaganda yang berlangsung
seperti ini tampak dalam gambar di atas.

6.3.4 Sasaran Utama Propaganda

Dengan memperhatikan model proses berjalannya suatu propa­


ganda sebagaimana yang telah dikemukakan di atas, secara selintas
dapat dipahami bahwa siapa-siapa yang akan menjadi sasaran utama
dalam kegiatan propaganda tersebut. Menurut atau otoriter dan tidak
dapat diubah.

a. Sikap yang memiliki fungsi kelompok dapat diubah dengan


gampang dengan cara pengubahan sikap kelompok secara
keseluruhan.
b. Sikap individu bisa diubah dengan menghadapkan yang
bersangkutan dengan lingkungan atau dengan pengalaman
traumatik.

Dengan adanya sasaran inilah yang membedakan diplomasi


dengan propaganda sebagai instrumen politik luar negeri dan ini
terletak di dalam dua faktor. Pertama adalah faktor sasaran. Bilamana
sasaran utama dari kegiatan diplomasi adalah pemerintahan negara-
negara lain, maka sebagai sasaran utama dari propaganda adalah
penduduknya negara yang bersangkutan. Namun demikian, penetapan
sebagai sasaran terhadap penduduk sebagai sasaran propaganda juga

216 Studi Hubungan Internasional


tidak dapat dilakukan secara pukul rata. Misalnya, siaran radio yang
disiarkan ke luar negeri (konsumsi luar negeri) yang dapat didengarkan
oleh siapa saja yang menghendakinya pada umumnya diprogram untuk
lapisan masyarakat tertentu atau malahan untuk kelompok-kelompok
kepentingan tertentu saja.

Masalahnya, kebanyakan penduduk dunia sebenarnya tidak


tertarik pada masalah-masalah politik luar negeri. Kebanyakan individu
(orang-orang) malahan lebih tertarik dan berminat pada lingkungan
sekelilingnya. Maka sebagai implikasinya adalah propaganda sebagai
instrument politik luar negeri diperlukan suatu batasan-batasan yang
tepat sasaran masyarakat mana yang diharapkan menjadi sasaran
pokoknya, apakah itu di dalam keiompok etnis, agama, sosial,
ekonomi, atau keiompok bahasa tertentu.

Namun demikian, yang menarik dalam masalah ini bahwa


respons terbesar terhadap rangsangan komunikasi dari luar negeri
diberikan kepada kelompok-kelompok kaum muda. Hal ini dilakukan
dengan cara langsung daripada dengan tidak langsung (dengan
perantaraan) seperti misalnya, dengan melalui pembuatan risalah-
risalah yang abstrak.

Propaganda itu juga akan berhasil dalam menumbuhkan


atau dengan maksud membentuk sikap atau pendapat (opini)
yang dikehendaki jika sumber informasinya bersifat tunggal untuk
sasaran tertentu. Maka dalam hal ini kegiatan propaganda tentunya
akan mendatangkan keuntungan jika ia mampu memberikan
informasi mengenai objek atau masalah baru. Akan tetapi kondisi
masyarakatnya yang belum mengalami kristalisasi dalam sikap dan
pola perilaku dihadapkan dengan berbagai informasi yang diberikan
atau disampaikan. Sedangkan informasi sebelumnya tidak dihiraukan
°leh mereka. Penerimaan informasi tersebut diakibatkan oleh
kurangnya pengetahuan mereka mengenai topik yang disampaikan
oleh komunikator sebelumnya. Dan juga sebagai akibat mereka tidak
memiliki apapun terhadap informasi yang dianggap baru.

politik Luar Negeri Terhadap Sistem Internasional 217


Sebagai faktoryangkedua,dengan membedakan propagandadan
diplomasi dilihat dari cara kerjanya. Diplomasi yang diselenggarakan
secara resmi, langsung dan dengan impiikasinya yang dikaitkan
dengan waktu tertentu. Sebaliknya, propaganda berlangsung secara
tidak resmi dan tidak dapat terkontrol secara langsung oleh pihak
berwenang di mana penduduknya dijadikan sebagai sasaran terhadap
rangsangan komunikasi yang datang dari luar negeri. Cara kerjanya
yang agak lamban tetapi diproyeksikan dalam jangka waktu panjang.
Dan sebagai impiikasinya, propaganda sebagai instrumen politik luar
negeri agaknya sulit untuk diukur dengan parameter tertentu.

Jika dibandingkan dengan kegiatan diplomasi, dari hasil yang


dicapai, dapat dikategorikan sebagai suatu kegiatan yang sukses,
gaga! atau tidak efektif. Hasil yang dicapai dengan melalui kegiatan
propaganda selalu berlangsung dengan relatif sifatnya. Hasil yang
relatif itu harus dikembalikan kepada konotasi penggunaan pengertian
"propaganda" itu sendiri. Mengutip pendapat Torrence Qualter, K.
J. Hilsti yang mengatakan bahwa propaganda sebagai suatu usaha
yang terencana untuk mengubah sikap orang lain dengan melalui
penggunaan sarana komunikasi sedemikian rupa, sehingga dalam
situasi tertentu orang itu akan bereaksi sesuai dengan yang dikehendaki
oleh pelaku propaganda (propagandis).

Berkesesuaian dengan uraian di atas maka dapatlah diartikan


bahwa propaganda tidak selalu berdampak permusuhan. Seperti
yang dicontohkan dalam kegiatan kedutaan besar Australia di Jakarta
dilihat dalam konteks pariwisata atau yang lain, menunjuk kepada
kepentingan negara itu, sama juga dengan propaganda seperti yang
dilakukan Radio Beijing bagi gerakan komunisme bawah tanah di
negara-negara Asia Tenggara. Perbedaannya, barangkali terletak pada
perbedaan di satu sisi propaganda dilihat dari tujuannya (sasaran)
dengan cara damai.

Sementara di sisi lain, melakukan herakan agar dapat unggul


dalam suatu konflik. Maka dengan demikian, titik berat dalam kegiatan

218 Studi Hubungan Internasional


propaganda memang memiliki dua alternatif yakni, menimbulkan
simpati terhadap perilaku propaganda atau dengan kegiatan itu dapat
membangkitkan antipati terhadap sasaran pelaku propagandis.

6.3.5 Teknik-teknik Propaganda

Sebelum ini kita telah membahas mengenai masalah-masalah


yang berkaitan dengan sasaran kegiatan propaganda dengan segala
akibat yang ditimbulkan yakni tercermin dalam perubahan pola
perilaku, sikap dan sebagainya. Dan ini selalu dilihat dalam perubahan
pola perilaku, sikap dan sebagainya. Dan ini selalu dilihat dalam
dataran pelaksanaan politik luar negeri. Sekarangdalam bagian ini akan
dibahas mengenai teknik-teknik propaganda terutama pada aspek cara
pengiriman pesan-pesannya kepada sasaran. Untuk itu saya mengutip
secara langsung pendapat yang dikemukakan oleh Alfred McClung
Lee da Alizabeth Bryant sebagai hasil saduran oleh K. J. Holsti dari
buku mereka berjudul, The Fine Art of Propaganda: A Study of Father
Coughlin's Speeche, 1939, 22-25 diantaranya ditampilkan beberapa
teknik-teknik yang dimaksud sebagai berikut:

a. Name calling
Propagandis menyematkan simbol emosional terhadap individu
atau negara. Sasaran diharapkan melakukan respons positif (sesuai
dengan kehendak propagandis) terhadap label tanpa mengkaji bukti
apapun. Propagandis mengaitkan himbauannya dengan stereotype
yang telah tertanam pada objek sasaran. Maka dengan demikian,
kaum komunis dibubuhi label "merah", pimpinan buruh menjadi
"boss serikat pekerja" dan pemerintah konstitusional sebagai "klik
kapitalis".

b. Glittering generally
Teknik ini serupa dengan sebelumnya, akan tetapi teknik ini
dipergunakan untuk menjelaskan gagasan atau kebijaksanaan. Istilah
"dunia bebas" sangat populer digunakan oleh propagandis barat.
Penggunaan istilah "solidaritas sosial" yang digunakan oleh paham

Politik Luar Negeri Terhadap Sistem Internasional 219


komunis untuk menjelaskan hubungan yang rumit antara negara
dengan partai komunis dunia (internasional) dan "semangat Afrika"
diharapkan mampu membentuk kesan kekuatan dan persatuan.

c. Transfer
Propagandis berusaha memperkenalkan gagasan, pribadi,
negara atau kebijaksanaan pemerintah kepada pihak Iain untuk
membuat sasaran propaganda menyetujui atau paling tidak sepakat
terhadap gagasan yang diajukan. Salah satu untuk membangkitkan
sikap perlawanan diantara masyarakat religius terhadap komunisme
ialah dengan menyamakan paham komunisme dengan atheis. Kaum
komunisme secara teratur melakukan propaganda dengan masyarakat
kapitalisme dengan dekade moral dank um anti-Semit berharap
untuk membangun dukungan masyarakat bagi sikap mereka dengan
mengasosiasikan Yahudi dengan Komunisme.

d. Plain folks
Setiap propagandis menyadari bahwa masalah yang dikhawatir-
kan ialah kesulitan jika penampilannya dianggap "asing" atau "aneh".
Karena itu ia berusaha memperkenalkan dirinya sedapat mungkin
erat dengan nilai dan gaya hidup sasaran propaganda dengan meng­
gunakan dialek, aksen dan ungkapan-ungkapan lokal dalam rangka
berkomunikasi.

e. Testimonial
Dalam hal ini seorang propagandis melakukan kegiatan dengan
cara memberikan penghargaan kepada seseorang atau lembaga
untuk mendukung atau mengkritik suatu gagasan atau sebagai suatu
unit politik tertentu. Perbedaan teknik propaganda seperti ini adalah
"menghimbau pemerintah" pada saat sasaran diminta mempercayai
sesuatu dengan mudah karena pemerintah bahwa informasi yang
disampaikannya adalah benar.

220 Studi Hubungan Internasionai


f. Seleksi
Hampir seluruhnya dapat dikatakan bahwa propaganda dilaku­
kan dengan berdasarkan fakta yang terpilih. Meskipun hal ini khusus
mengenai isi faktualnya. Pada saat penyajian rinci disajikan bahwa ke­
giatan propaganda dalam hal ini dilakukan hanya dengan berdasarkan
fakta yang diperlukan untuk "membuktikan" pernyataan yang sama
sebelumnya.

g. Bandwagon
Teknik propaganda seperti ini digunakan dengan cara meman-
faatkan kehendak sasaran untuk "memiliki" atau bersepakat dengan
kelompok orang banyak. Tampaknya teknik ini serupa dengan apa
yang ditampilkan oleh teknik testimonial di atas, akan tetapi teknik
ini lebih banyak mengonsentrasi kegiatannya kepada orang banyak
bukan dengan memberikan penghargaan pribadi atau lembaga. Pelak-
sanaan teknik seperti ini dilakukan dengan suatu daya tarik. Pesan pro­
paganda komunis sering menggunakan ungkapan seperti "seluruh du­
nia mengetahui..." atau "seluruh rakyat progressif menuntut bahwa..."
ini adalah teknik propaganda yang mengatakan kepada sasaran secara
langsung terutama dalam masyarakat minoritas dan akan bergabung
ke dalam kelompok. Atau jika sasaran tertarik kepada propagandis,
maka teknik ini akan menguatkan sikapnya dengan menyatakan bah­
wa ia berada dalam kedudukan yang "benar".

h. Frustration Scapegoat
Salah satu cara termudah untuk menciptakan suatu perasaan
kebencian dan menghilangkan frustasi ialah dengan membentuk
sumber kesalahan. Rezim revolusioner, yang menghadapai kekacauan
social dan ekonomi, yang tampaknya rumit dan ini terjadi di dalam
negeri, serta frustasi yang internal dan eksternal sebagai penyebab
rnalapetaka yang melanda rakyatnya.

Sebagai contoh yangpalingterkenal adalah mitosyangdiciptakan


°leh Hitler bahwa masalah yang terjadi di dalam negeri Jerman, dan

Politik Luar Negeri Terhadap Sistem Internasional 221


dunia internasional dibuat oleh "kaum Yahudi" yang sering disamakan
dengan komunis.

6.4 IN S T R U M E N D A L A M B ID A N G E K O N O M I

6.4.1 Pasar Perdagangan

Di sini dibedakan pengertian antara instrumen ekonomi dengan


instrumen diplomasi, dan instrumen propaganda dalam hubungannya
dengan politik luar negeri. Maka dalam kaitan ini penggunaan
instrumen ekonomi serta perdagangan internasional sebagai bagian
dari instrumen politik luar negeri, bukan merupakan barang baru
dalam lingkup studi politik internasional khususnya.

Ekonomi internasional merupakan suatu sistem pola-pola dan


lembaga-lembaga dalam proses arus barang dan jasa serta uang
diantara negara-negara bangsa di dunia (sistem internasional). Namun
tidak seperti hainya pola sistem pengorganisasian dan sentralisasi
ekonomi daiam negeri. Dalam hal ini negara memiliki otoritas
membuat keputusan-keputusan penting yang akan mempengaruhi
seluruh sistem perekonomian. Dalam hal ini ekonomi internasional
yang memiliki posisi sebagai produk dari pengambilan keputusan
yang disentralisasikan (decentralized decision making).

Ternyata dalam sistem internasional, fakta menunjukkan bahwa


tidak ada otoritas pusat yang mengendalikan ekonomi internasional,
akan tetapi keputusan-keputusan yang diambil oleh negara-negara
itu sendiri, yang bertindak secara unilateral ataupun secara kolektif.
Tindakan kolektif bisa diambil baik secara formal maupun informal.
Dengan cara formal, dilakukan dengan melalui tindakan-tindakan
unilateral yang terkoordinasikan. Keputusan-keputusan yang penting
itu akan memberikan pengaruh kepada stabilitas dan masa depan
ekonomi internasional. Dan sering dibuat secara unilateral oleh
pemerintah-pemerintah yang mengutamakan situasi ekonominya
sendiri. Organisasi-organisasi antarpemerintah (intergovernmental)

222 Studi Hubungan Internasional


tertentu diciptakan untuk membantu mengendalikan ekonomi
internasional. Menurut William D. Coplin (1980,129), bahwa ekonomi
internasional dapat dipandang dari tiga unsur yakni:

a. Bahwa ekonomi internasional mengendalikan dan saling


kait mengkait (interdependence) antara pasar perdagangan
internasional (the international trade markets);
b. Pasar modal internasional (the international capital markets);
c. Pasar uang internasional (the international currency markets).
Masing-masing merupakan pasar dalam artian bahwa pasar itu
melibatkan antara pembelian dan penjual yang transaksinya
mendasari transaksi yang akan datang diantara si pembeli dan si
penjual.

Pasar internasional terdiri dari unsur-unsur arus barang dan jasa


(flow of goods and services) yang melampaui batas-batas kedaulatan
negara (nasional) atau dengan perkataan lain disebut sebagai "across
national boundaries". Suatu arus yang ditentukan oleh kondisi-kondisi
ekonomi dan politik. Dalam gambar yang menunjukkan seberapa
banyak tindakan-tindakan perdagangan yang berkembang antara
tahun 1928-1978.

Pada dekade terakhir, menunjukkan volume perdagangan


dunia sejumlah yang mulai dari $ 240 juta sampai dengan # 900 juta.
Sebagian besar yang ditunjukkan oleh fakta bahwa rata-rata pajak yang
digunakan untuk barang-barang, oleh bangsa-bangsa, dianggap yang
paling pokoktelah mengalami kemunduran sejak 26% 1946dan sekitar
11% pada pertengahan tahun 1950-an. Tetapi yang lebih penting
dalam kaitan ini adalah sifat saling ketergantungan (independen) antar-
bangsa di dunia, mengalami perkembangan yang sangat cepat.

Maka dalam kaitannya dengan masalah di atas, yang paling po­


kok adalah dari segi ekonomi, prinsip keunggulan komparatif (com­
parative advantage) yang berlangsung di sini sehingga negara-negara
akan bisa lebih banyak menjual yang diproduksi paling murah oleh
mereka dan bisa lebih banyak membeli yang paling diproduksi kurang

Politik Luar Negeri Terhadap Sistem Internasional 223


efisien oleh negara-negara yang itu. Dengan cara seperti ini, setiap
negara akan dapat memperoleh hasil dan karena adanya perbedaan
sumber daya material dan sumber daya manusia diantara negara-ne­
gara, biasanya akan menjadi dasar pertimbangan dalam mencandra
pemikiran kearah keunggulan komparatif tadi.

Prinsip keunggulan komparatif, diterjemahkan ke dalam wacana


(domain) kebijaksanaan perdagangan bebas. Dan pada umumnya,
kebijaksanaan seperti itu menyangkut pada tingkat persahabatan
dalam hubungan antarnegara yang dengan demikian diharapkan
memberikan pengaruh terhadap kesediaan mereka untuk berdagang.
Karena perdagangan menyangkut pula tingkat interdependensi.
Negara-negara sering membatasi kegiatan perdagangan seperti itu
sebagai akibat terjadinya hubungan antarnegara-negara yang mungkin
terjadi.

Perkembangan terhadap tingkatan yang berjalan sedemikian


cepatnya mulai tampak sejak usianya Perang Dunia Kedua. Dan yang
perlu dicatat di sini, munculnya organisasi yang dibangun oleh negara-
negara Dunia Ketiga (Negara berkembang) seperti, General Agreement
on Trade and Tariffs (GATT) tahun 1947 dari sejumlah anggotanya
23 negara. Namun anggota GATT sekarang ini tampaknya semakin
bertambah saja seiring dengan perkembangan di bidang ekonomi
perdagangan internasional yang yakni menjadi 83 negara.

Tujuan utama GATT untuk melindungi kondisi diskriminatif


tentang tarif dan untuk membantu pengurangan atastingkat-tingkattarif
yang ada. Di samping GATT, ada pula organisasi namanya European
Common Market (ECM) dan Andrean Pact (AP), yang telah berhasil
dalam rangka kegiatan pemberian bantuan kepada para anggotanya
untuk meningkatkan perdagangan bebas. Ataupun dalam organisasi-
organisasi regional yang ada di Eropa, Association of Free Trade
Europe (AFTE). Secara praktiknya telah menghilangkan batas-batas
kegiatan perdagangan diantara para anggotanya (Norwegia, Australia,

224 Studi Hubungan Internasional


Perancis, Swedia, dan Swiss). Sementara dari Masyarakat Ekonomi
Eropa (MEE) teiah muncul menghilangkan pembatasan-pembatasan
diantara anggota-anggotanya dan telah mulai menggunakan kebijakar
di bidang tarif bersama, terhadap negara-negara yang bukan anggota.

Implikasi yang ditimbulkan oleh adanya tindakan-tindakan kebi-


jakan-kebijakan ekonomi dalam arena politik luar negeri atau tindakar
ekonomi memperoleh relusltase politik yang mengandung relevansi
sebagai instrumen politik luar negeri. Tindakan dalam bidang pereko­
nomian dan perdagangan internasional hanya dapat dikatakan relevan
jikalau ia mengarah kepada salah satu atau lebih sasaran sebagai beri­
kut:

a. Dengan cara yang positif maupun negatif memaksa Negara lair


untuk menyerahkan konsensi atau menyepakati suatu formula
politik tertentu;
b. Memperkokoh kedudukan politik sendiri dan atau melemahkar
kedudukan politik negara lain;
c. Memperluas kawasan kepentingan nasional atau kawasar
pengaruh (sphere of influence domain) terhadap negara-negarj
lain. (Budiono Kusumohamidjojo, 1987, 62)

Hal ini dapat berarti bahwa posisi negara dalam konstruks


seperti ini bagai pemenuhan kepentingan politik dalam kerangki
bangunan instrumen politik luar negeri, yaitu dengan mengabaikar
keuntungan ekonomi dan dengan memanfaatkan kepentingan ekonom
(ketergantungan ekonomik) dengan negara lain demi terselenggarany;
perluasan pengaruh politiknya baik dengan melalui perdagangar
internasonal yang dilakukan oleh pemerintah secara langsung ataupur
dengan melalui peraturan yang diterapkan dalam hubungan dagan^
swasta internasional.

Perdagangan (sebagai instrumen ekonomi) dalam konstruks


politik luar negeri di mana kedudukan seperti itu dilakukan sebaga
instrumen. Dan biasanya, dapat dilakukan dengan tiga tujuan yakni:

Politik Luar Negeri Terhadap Sistem Internasional 22:


a. Mencapai sasaran politik luar negeri dengan mengeksploitasi
kebutuhan dan ketergantungan ekonomi dan mengajukan imbalan
ekonomi atau dengan melakukan ancaman atau menerapkan
sanksi ekonomi;
b. Meningkatkan kapabilitas negara atau meniadakan potensi
kapabilitas negara lawan.
c. Menciptakan satelit ekonomi yakni dengan jaminan pemasaran
dan sumber persediaan atau membantu mempertahankan
ketaatan politik negara-negara satelit atau dengan menciptakan
"ruang pengarah" dan menjalin hubungan dengan formulasi
ketergantungan bidang ekonomi. (K. J. Holsti, 1987, 303)

6.4.2 Pasar Modal

Pasar modal internasional berkaitan dengan masalah arus


investasi modal yang melampaui batas-batas negara. Dalam hubungan
ini, pembeiinyaadalah penerima modal sedangkan si penjualnyaadalah
investor. Investasi modal swasta yang melampaui batas-batas negara
tadi, sudah berlangsung lama. Penjual berkehendak mengembangakan
bisnisnya dengan melampaui modalnya yang ditanamkannya (improve
business) sementara para pembeli berkeinginan atau mencari "...a
return on investment greater than they would otherwise receive by
investing in their own country". (William D. Colpin, 1980, 204)

Mekanisme kerja investasi asing (investasi modal asing) sangat


bervariasi. Seorang investor dapat saja menjual saham-sahamnya di
luar negeri dan obligasi ke dalam berbagai macam pasar-pasar modal
yang ada. Dalam hal ini suatu Bank di satu Negara, dapat memberikan
dana pinjaman dari bank-bank atau ke bentuk-bentuk bisnis lainnya,
ke Negara-negara lain. Sebelum Perang Dunia Kedua, investasi modal
asing sangat erat kaitannya dengan kolonialisme.

Misalnya sebelum tahun 1945, para investor Perancis di kawasan


Asia dan Afrika, yang menanamkan modal mereka di daerah-daerah
koloni ini. Namun bersamaan dengan menghilangkannya politik ko-

226 Studi Hubungan Internasional


ionialisme sebagai bentuk hubungan politik, maka pola-pola hubung­
an dalam bentuk investasi asing ini tidak banyak lagi ditentukan oleh
ikatan-ikatan kolonialisme tadi. Para investor dari negara-negara maju,
masih terdapat kecenderungan untuk menanamkan modalnya di nega­
ra-negara bekas-bekas jajahan mereka kendatipun intensitasnya sudah
tidak sama dengan negara-negara itu di bawah kekuasaan kolonial.

Arus investasi asing seperti dalam kegiatan perdagangan, tidak


bebas sebagaimana mestinya apabila kondisi ekonomi murni berlang­
sung. Dan pada dasarnya, ada dua cara untuk melakukan tekanari-
tekanan ekonomi-politik. Dari segi positifnya, pemerintah negara-ne­
gara maju memiliki alasan-alasan untuk berupaya meningkatkan arus
modal ke negara-negara berkembang. Usaha seperti itu dapat berupa
bantuan luar negeri dan pinjaman dari negara-negara maju ataupun
dengan jaminan-jaminan investasi sebagai inisiatif bersifat perlindung­
an atas investasi warganya di negara-negara lain.

Dari segi negatifnya, negara penerima modal asing tersebut


sering menganut kebijaksanaan-kebijaksanaan yang membuat investasi
modal asing itu tidak menarik. Hal ini bisa terbentuk diskriminasi
atas pajak-pajak (discriminatory taxes) atau, bahkan pengambilari
perusahaan-perusahaan asing oleh negara tuan rumah (by the host
country). Sebagai contoh, tahun 1970-an negara Chili melaksanakan
nasionalisasi sejumlah tambang-tambang tembaga milik Amerika
Serikat beserta fasiIitas-fasiIitas produksinya.

Ini adalah suatu tindakan yang mengakibatkan arus modal


dalam bentuk investasi asing, semakin menurun frekuensinya ke
Chili. Baik negara maju maupun negara-negara berkembang sering
menggunakan kebijaksanaan-kebijaksanaan yang menghambat arus
investasi asing meskipun dari sisi lain, dengan kegiatan penanaman
modal asing dalam bentuk investasi itu dari sisi lain, dengan kegiatan
penanaman modal asing dalam bentuk investasi ini, barangkali ada
semacam rasa khawatir bahwa dengan kemunculan arus modal asing
ke dalam negeri mereka yang terlalu banyak, arus investasi asing akan

politik Luar Negeri Terhadap Sistem Internasional 22 7


memberikan dampak lebih jauh terhadap kemandirian dalam rangka
pengelolaan sistem perekonomian mereka. Hal ini berkaitan dengan
kegiatan ekonomi, terkadang mengandung makna politis (dampak
politik).

Pada tahun-tahun terakhir, organisasi-organisasi antarpemerin-


tah (intergovernmental organizations) baik itu dalam bentuk regional
maupun dalam bentuk global tidak dapat berkembang secara luas sam­
pai pada akhirnya nanti, menjadi sumber investasi modal. Misalnya,
internasional Bank for Reconstruction and Development (IBRD) yang
nantinya melahirkan W orld Bank (W B), International Development
Agency (IDA) dan perwakilan-perwakilan Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB) yang memperoleh uang berdasarkan perjanjian yang dibangun
oleh negara-negara, serta dengan melalui mekanisme kerjanya teru­
tama bagi keuangan tradisional seperti misalnya penjualan obligasi-
obligasi. Mereka meminjamkan uang itu kepada negara-negara yang
membutuhkannya terutama negara-negara berkembang, sebab tanpa
cara itu tidak akan mampu meminjamkannya. Selain itu, organisasi-
organisasi regional tertentu seperti Inter-American Development Bank
(IADB), African Development Bank (ADB), dan Asian Development
Bank (ADB) yang didirikan untuk Negara-Negara berkembang pada
umumnya. Hal ini disebabkan modal-nodal dari kawasan dunia yang
tidak mampu menarik investasi swasta yang memang relevan untuk
itu. Para investor ingin suatu jaminan dan keuntungan atas uang me­
reka. Mereka akan menanamkan uang mereka biasanya kepada pe-
rusahaan-perusahaan yang mempunyai prospek yang kemungkinan
akan berhasil.

Karena kondisi-kondisi seperti itu jarang ditemui di beberapa


faktor lain seperti misalnya, infrastrukturnya yang belum jalan (pem-
bangunan jalan-jalan) yang harus didahulukan, organisasi-organisasi
antarpemerintah secara mendadak dibentuk terutama ditujukan ke­
pada penyediaan dana pembangunan jangka panjang. Dalam satu
sisi, mereka mewakili penjual modal (represent sellers of capital) yang

228 Studi Hubungan Internasional


bersedia mengambil risiko lebih besar dengan imbalan yang lebih ke-
cil dari para investor-investor swasta, mereka mengalami kesukaran
untuk membayar utangnya (solvent) yang bersifat finansial organisasi
mereka.

Organisasi-organisasi antarpemerintah (IGO's) seperti misalnya,


Bank Dunia (BD), tidak terlepas dari pengaruh politik. Ketika Negara
Chili di kekuasaan rezim kiri, tahun 1970-an, dan pinjaman (loan
funds) dari IGO 's sepertinya terpotong. IGO 's tampaknya terkendala
sebagai akibat kekuatan-kekuatan pribadi seseorang dengan keinginan
memanipulasi arus-arus modal. Investasi modal sebagai sesuatu yang
produktivitasnya kuat. Namun bahayanya, ada beberapa kemungkinan
dari modal yangdipinjamkantidakdapatdikembalikan lagi sebagai mana
yang mereka rencanakan jauh-jauh sebelumnya atau bahkan dengan
perkataan lain, modal dasarnya saja pun (original investment) tidak
akan kembali. Jika arus modal internasional berhenti, atau berjalan
dengan lamban, maka perekonomian dunia akan mengalami stagnasi
dan disusul kemudian tumbuhnya pengangguran-pengangguran secara
besar-besaran.

Pada akhir tahun 1970-an, ada kecenderungan perubahan pola


arus modal internasional. Dari tahun-tahun, bisnis dan perbankan
selalu dipegang oleh kekuatan-kekuatan utama yaitu oleh Amerika
Serikat dan negara-negara barat khususnya dalam pemilikan investasi
internasional terbesar dan terkuat. Namun demikian, pada saat harga
minyak membumbung tinggi, negara-negara pengekspor minyak
menjadi "capoial rich".

Maka dengan demikian terbukti bahwa pasar modal internasional


merupakan sebuah kekuatan yang berhadapan dengan dua masalah
utama yakni, perubahan dan pengawasan dalam konstelasi politik
internasional. Tanpa adanya modal (capital) dari sumber-sumber luar,
banyak negara-negara yangtidak membangun jalan-jalan,memperbesar
Pelayanan kesehatan dan tingkat ekonomi dengan pertumbuhan
Penduduk yang senantiasa meninggi. Andaikanlah misalnya diberikan

Politik Luar Negeri Terhadap Sistem Internasional 225


modal yang datang dari pinjaman bank internasional, maka negara
penerima modal itu harus mempersiapkan berbagai kebijakan-
kebijakan ekonomi (economic policies) dan pekerjaan bagi proyek itu
senantiasa harus di bawah pengawasan si penyandang dana tentunya.
Kalau atau perusahaan multinasional yang memberikan capital
tentunya dengan catatan , akan memperoleh keuntungan dari modal
yang ditanamkan itu sebesar-besarnya.

6.4.3 Pasar Uang (Current Market)

Pasar uang internasional merupakan resultante atas pengaturan


bentuk pasar yang lain. Pasar ini lahir disebabkan tidak ada mata uang
dunia yang seragam yang diatur oleh lembaga internasional. Dalam
hubungan antara negara berdimensi perdagangan orang tidak akan
mengandalkan sistem barter. Maka dalam perdagangan internasional
mata uang pembeli dan penjual biasanya berbeda. Untuk menemukan
dasar dan ukuran stabilitas atas para pedagang internasional umum
yang dijadikan sebagai ukuran adalah nilai mata uang yang berlaku
standar (Imeasure currencies according to an accepted standard).
Namun sebelum Perang Dunia Kedua, nilai emas dijadikan sebagai
standar. Akan tetapi sejak berakhirnya Perang Dunia Kedua sampai
tahun 1970-an emas ditambah mata uang "internasional" tertentu
berlaku sebagai standar. Misalnya sebelum musim panas tahun 1971,
kebanyakan negara-negara dan pedagang mata uang dolar dianggap
sebagai mata uang inernasional. Dan hal ini dapat berarti bahwa para
pedagang dan si pemberi modal bersedia mengakui stabilitas dolar
dan mengukur mata uang lain terhadap dolar. Sebagai akibatnya,
masalah-masalah yang berkaitan dengan neraca pembayaran Inggris
dan Amerika Serikat antara dolar dan poundsterling tidak lagi berlaku
sebagai mata uang standar. Hal ini akan menimbulkan situasi di
mana mata uang standar. Hal ini akan menimbulkan situasi di mana
uang setiap negara dinilai terhadap mata uang egara-negara lainnya.
Misalnya, menggunakan mata uang dolar sebagai standar untuk
mengukur mata uang mark Jerman, sehingga para pedagang akan

230 Studi Hubungan Internasional


menyelesaikannya dengan negara-negara lain ata nilai mata uang
setiap negara. Yang menari dari uraian mengenai tindakan-tindakan
ekonomi dengan segalaaspeknya (kebijakan ekonomi dan perdagangan
internasional) yang dikategorikan sebagai instrument poltik luar negeri
ditentukan oleh resultase (pengaruh) politik yang diharapkan tercapai.
Dampak politik sebagai akibat kebijakan ekonomi sangat beraneka
ragam. Kemungkinan itu banyak ditentukan oleh beberapa faktor
diantaranya:

a. Sifat dan kebijakan atau tindakan ekonomi yang meliputi imbalan,


ancaman;
b. Bidang atau jenis benda ekonomi dan perdagangan yang terkena
kebijakan tersebut. Embargo terhadap benda ekonomi strategis
seperti bahan pangan, bakar atau perlengkapan militer, selalu
menimbulkan dampak lebih besardaripadaterhadap tindakan yang
sama seperti barang-barang elektronik, tekstil atau kerajinan;
c. Partai-partai yang terlibat dalam kegiatan ekonomi. Negara yang
potensial selalu lebih mampu mengambil inisiatif dan juga telah
tahan menghadapi atau kebijakan ekonomi yang dilancarkan oleh
lawannya. Sebaliknya, negara-negara yang relatif lemah, kecuali
kekurangan akses untuk mengambil inisiatif juga selalu lebih peka
terhadap akibat yang ditimbulkan oleh kebijakan atau tindakan
ekonomi;
d. Kaitan ideologis dan militer yang dapat dimiliki oleh suatu
kebijakan atau tindakan ekonomi. Penetapan tarif preferensi
yang ditetapkan oleh Amerika Serikat bagi Yugoslavia misalnya,
memberikan pengaruh yang lebih besar bila dibandingkan
kebijakan yang sama bagi Yunani atau Muangthai. Masalahnya,
perbaikan hubungan antara Amerika Serikat dan Yugoslavia
mengandung risiko lebih besar bagi negara-negara Pakta Warsawa
jika dibandingkan dengan risiko dari perkembangan yang sama
terjadi bagi Amerika Serikat dengan negara-negara sekutunya.
(Budiono Kusumohamidjojo, 1987, 63)

Politik Luar Negeri Terhadap Sistem Internasional 231


Masih erat kaitannya dengan tindakan ekonomi sebagai
instrument poiitik luar negeri tidak kalah pentingnya adalah masalah
bantuan luar negeri (foreign aids). Bantuan luar negeri (pemindahan
keuangan, barang-barang atau bantuan teknis dari negara donor kepada
negara penerima bantuan) merupakan salah satu instrumen dalam
kebijakan luar negeri yang sudah lama dipergunakan dalam kaitannya
dengan studi hubungan internasional khususnya. Sebelumnya
instrumen ini digunakan terutama untuk keuntungan politik jangka
pendek dan bukan sebagai prinsip kemanusiaan atau pembangunan
ekonomi jangka panjang.

Inggris, sebagai Negara yang pertama memformulasikan kebi­


jakan bantuan luar negeri yang dirancang terutama untuk membantu
pembangunan ekonomi jangka panjang. Dengan melalui program ini
(kesejahteraan dan pembangunan Negara jajahan) awal tahun 1930-
an, Inggris berupaya menyeragamkan perekonomian negara-negara
jajahan dan mempersiapkan kemerdekaan politik dan ekonomi ne­
gara-negara tersebut. Pasca Perang Dunia Kedua, Amerika Serikat
menggantikan kedudukan Inggris sebagai Negara yang memberikan
bantuan luar negeri.

Pertama, membantu perbaikan ekonomi Eropa yang hancur


karena perang (program pemulihan Eropa Amerika Serikat mengeluar-
kan $ 12 milyar) yang selanjutnya memberikan bantuan kepada Nega­
ra-negara berkembang untuk membentuk persekutuan militer modern
dan merintis jalan menuju kelangsungan ekonomi dan industrialisasi.
(K. J. Holsti, 1987. 321-322)

Kebanyakan dari bantuan luar negeri itu dalam bentuk program


kerjasama yang dioperasionalkan dengan pola hubungan bilateral
dilakukan dengan melalui perundingan-perundingan secara langsung
antara negara donor dan negara penerima bantuan. Namun ada juga
yang dilakukan dengan melalui organisasi-organisasi serta program
bantuan luar negeri yang bersifat multilateral, seperti, Internasional
Bank For Reconstruction and Development (UNTAP). Dengan

232 Studi Hubungan Internasional


lembaga tersebut negara-negara industri yang menjadi anggota bisa
menyediakan dan mengirim personil dengan keahlian khususnya
ke negara-negara berkembang yang juga menjadi anggota lembaga
tersebut. Maka dengan kegiatan dalam bentuk bantuan luar negeri,
dimaksudkan itu ternyata memiliki tiga tujuan pokok yakni:

a. mempertahankan negara penerima bantuan sebagai sekutu


politiknya;
b. mengubah atau "memperbaiki" orientasi politik dari negara
penerima bantuan;
c. mencegah negara penerima bantuan menjadi sekutu lawan
(Budiono Kusumohamidjojo, 1987, 64)

Dari ketiga tujuan pokok bantuan luar negeri yang disebutkan


di atas, menjadi jelaslah bahwa pengertian "bantuan" dalam wacana
politik luar negeri memiliki makna yang berbeda-beda. Seperti halnya
dalam konteks politik internasional makna bantuan luar tampaknya
berkonotasi dengan terminologi politik. Kita dapat memperhatikan
misalnya dalam upaya Amerika Serikat mencurahkan bantuannya
kepada negara-negara berkembang berupa sarana persenjataan
dan perlengkapan militer yang lebih banyak dibanding dengan
sektor lainnya seperti dalam bidang bantuan pangan, kesehatan dan
sebagainya. Akhirnya dapat diartikan bahwa bantuan semacam ini
lebih menunjukkan makna terhadap perpanjangan tangan dari politik
hegemonistik.

Kendati masih terdapat beberapa program bantuan luar negeri


yang berupaya untuk mencapai sasaran bagi kemanusiaan tanpa
terlepas dari muatan-muatan politik adalah seperti yang ditunjukkan
dalam Marshall Plan yang diberikan oleh Amerika Serikat kepada
Eropa Barat pada akhir dekade 1940-an berperan dalam menentukan
bentuk dan posisi Negara-negara Eropa Barat.

Awal tahun 1970-an, sejumlah besar bantuan yang diberikan


oleh Amerika Serikat di bidang ekonomi, disalurkan kepada beberapa
negara sekutunya yang dianggap potensial. Misalnya kepada Brasil,

Politik Luar Negeri Terhadap Sistem Internasional 232


India, Korea Selatan, Israel, Mesir, Pakistan, Nigeria, Tunisia dan
Turki. Jenis bantuan luar negeri yang dilakukan oleh Negara-negara
besar (donor) terbagi atas empat jenis:

a. Bantuan di bidang militer dengan segala hal yang berkaitan dengan


itu;
b. Bantuan di bidang teknik;
c. Bantuan (grant) dan program komoditi impor;
d. Pinjaman pembangunan.

6.5 IN S T R U M E N D A L A M B ID A N G IN T E R V E N S I

6.5.1 Definisi Konseptual Intervensi

Jika dibandingkan dengan diplomasi, tindakan ekonomi,


propaganda, dalam rangka penyelenggaraan politik luar negeri,
konsep intervensi sudah tergolong tua dalam apa yang disebut
sebagai perangkat keras. Intervensi sudah lama dikenai sejak abad
pertengahan di Eropa, Cina dan Kawasan lainnya. Namun demikian,
apa dan bagaimana intervensi itu tampaknya belum banyak diperoleh
kejelasan. Oleh sebab itu semacam solusi yang dilemparkan oleh para
peneliti studi hubungan internasional, berupaya membangun kerangka
pengertian secara sistematis yang diletakkan ke dalam suatu kondisi
di mana kondisi perlakuan terhadap intervensi berhadapan dengan
eksplanasi empiris dalam konteks prinsip-prinsip moral, norma-norma
hokum serta doktrin-doktrin strategik. Akankah masalah ini dapat
diasosiasikan dengan dasar-dasar empiris manakala nilai-nilai moral/
normatif serta orientasi politik luar negeri dijadikan sebagai perangkat
analisisnya?

Ada memang terlihat kecenderungan dengan memanfaatkan


intervensi sebagai instrumen politik luar negeri terutama sejak per-
mulaan abad 20, atau sejak usainya Perang Dunia Kedua. Intervensi
sudah menjadi suatu kebiasaan (normal) sebagai sarana guna mening-
katkan atau menumbangkan kegiatan revolusi yang dilatar belakangi

234 Studi Hubungan Internasional


oieh gerakan-gerakan pembebasan atau gerakan revolusi yang dilatar-
belakangi oleh gerakan-gerakan pembebasan atau gerakan kaum na-
sionaiis. Dalam dua ratus kegiatan revolusi, selama lima puluh tahun
pertama abad 20-an berbagai bentuk intervensi berlangsung dalam
lebih dari separuh gerakan revolusi itu di mana terdapat beberapa
negara yang terlibat di dalamnya.

Maka dengan demikian, sepintas telah diperoleh gambaran apa


dan bagaimana adanya sebuah kegiatan intervensi. Kegiatan intervensi
senantiasa ditempatkan di dalam konstruksi studi politik dan hubungan
internasional. Dalam aktivitasnya, intervensi selalu melibatkan
kekuatan-kekuatan yang tentunya memiliki orientasi dan sasaran
yang hendak dicapai. Berangkat dari sini, tentunya masalah ini tidak
dapat diabaikan oleh para pembuat kebijaksanaan politik luar negeri.
Hal ini dikaitkan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam kegiatan
intervensi yang mengabaikan norma-norma hukum, moralitas agaknya
bertentangan dengan aspek kemanusiaan, kebebasan individual serta
tatanan hubungan-hubungan internasional pada umumnya. Di sana,
terdapat nilai-nilai yang dikonseptualisasikan di dalam tatanan cocok,
pantas, sesuai.

Sebab dengan tidak adanya wacana seperti itu kegiatan


intervensi hanya tinggal sebagai logika yang mendasari legitimasi para
aktor lain untuk melakukan intervensi. Bagaimana dengan pertanyaan
yang berdasarkan kepada strategic, bagaimana jikalau suatu tindakan
intervensi dikatakan berhasil jika hanya berstandar kepada pola
perilakunya?

Masalah intervensi dijadikan sebagai pemberian makna krusial


di dalam kerangka hubungan internasional. Maka bagi penstudi
Hukum Internasional menjadikan mereka dalam posisi sulit karena
pelaku intervensi hendak dilandasi oleh norma-norma hukum, atau
norma-norma yang non-intervensi. Dengan landasan seperti ini akan
mengurangi campur tangan internasional dan akan menjadi suatu

Politik Luar Negeri Terhadap Sistem Internasional 23t


kebiasaan yang dapat diterima oleh semua pihak dan pada gilirannya
nanti, ini akan menjadi suatu norma yang ajek.

Dalam kepustakaan studi hubungan internasional, tidak banyak


dijumpai mengenai anaiisis intervensi. Kendatipun di sana-sisni data
deskripsi sejarah terjadinya perang sebagai akibat tindakan intervensi
yang dilakukan oleh suatu negara terhadap negara lain. Namun tidak
banyak juga dijumapi dan diketahui intervensi dijadikan sebagai suatu
yang bersifat general knowledge. Atau dengan perkataan lain, data
sejarah yangadapun belum dijadikan sebagai materi untuk menjelaskan
secara sistematis bahwa intervensi itu dapat dianalisis secara ilmiah.
Namun hanya intervensi dianggap sebagai suatu tipologi atas perilaku.
Dan sampai di sini, belum dapat di kategori kan sebagai suatu eksplanasi
ilmiah atau sesuatu yang mengarah kepada generalisasi. Kita dalam
hal ini menginginkan suatu karakteristik yang mengarah kepada body
of knowledge terhadap tindakan intervensi itu.

Dari sisi lain, tindakan intervensi dikategorikan sesuatu tindakan


yang tidak mengandung nilai-nilai moral, pantas-tidak pantas, baik-
buruk. Sehingga dengan demikian suatu tindakan intervensi dianggap
sebagai sikap invansi dalam kerangka sistem internasional atau
malahan dikatakan intervensi dianggap sebagai sesuatu yang wajar
saja sebab di sana tidak dikandung tujuan apakah bermoral atau tidak
dan ini tergantung kepada tujuan yang akan dicapainya. Jika setiap
pelaku akan berpikir bahwa determinasi tindakan kekerasan dijadikan
sebagai doktrin dalam sikap non-intervensi, dan dapat diterima, maka
maknanya akan berubah karena lebih cenderung kepada penilaian
sebagai doktrin dalam sikap non-intervensi, dan dapat diterima, maka
maknanya akan berubah karena lebih cenderung kepada penilaian
atas pribadi-pribadi (individual) dan tidak berlaku sebagai dasar
legalitasnya yang kuat.

Atau dengan penjelasan bahwa suatu tindakan intervensi di­


anggap sebagai perbuatan tercela bagi orang lain atau intervensi dili-
hat sebagai instrument saja dan bukan sebagai tujuan. Maka dengan

236 Studi Hubungan Internasional


demikian dapatlah dikatakan bahwa tidak ada sintesa yang tegas an­
tara nilai-nilai moral dengan tindakan intervensi.

Karena tidak ada sintesa antara ke duanya, maka sejauh itu


pula kajian secara ilmuah bagi tindakan intervensi tidak dapat
dilakukan. Atau dengan perkataan lain, tidak dapat menjelaskan
fenomena empiric berdasarkan kepada nilai-nilai keilmuan. Masalah
moral tidak dapat dikacaukan dengan tersedianya literature ilmiah
terhadap tindakan intervensi. Kecuali jika intervensi dikategorikan
sebagai suatu "tindakan" (actions) dengan cara mana actor (Negara)
berhadapan dengan aktor lain, sehingga akan melahirkan masalah
di pihak lain. Penjelasan seperti inipun dalam kepustakaan, diskusi
mengenai intervensi bicaratentangseputar intervensi militer, intervensi
propaganda, intervensi ekonomi, intervensi diplomatic dan intervensi
ideology.

Tindakan intervensi yang sering dibicarakan berkonotasi de­


ngan penggunaan terminology intervensi sinonim dengan terminology
imprealisrne, agressi, kolonialisme, peperangan dan sebagainya yang
sejenis dengan itu, yakni, non cooperative intereractions of nations.
Program bantuan luar negeri termasuk kedalam konsep intervensi.
Maka dengan demikian, tindakan intervensi dianggap sebagai tindakan
yang hendak merubah sendi-sendi Negara yang dijadikan sebagai sa­
saran. Formulasi perilakunya tamapak sebagai tindakan campurtangan
(interfance) adikara sebuah Negara terhadap Negara Iain jelas me-
nampilkan dua kepentingan yang saling berhadapan. Intervensi
senantiasa berasosiasi dengan penggunaan ancaman yang bermuat-
an kekerasan. Perilaku kekerasan dijadikan sebagai indicator adan­
ya suatu tindakan intervensi itu. Kehadiran kekuatan militer dalam
melaksanakan tindakan intervensi menunjukkan lebih jelas lagi se-
berapa jauhkah yang dinamakan dengan pengertian tindakan inter­
vensi dalam kaitannya dengan hubungan antar Negara. Terdapatnya
unsur paksaan, pengganjalan-pengganjalan dilandasi oleh tindakan
kekerasan (the use of force). Namun jika terjadi tindakan yang bersifat.

Politik Luar N egeri Terhadap Sistem Internasional 237


6.5.2 Bentuk-bentuk Intervensi

6.5.2.1 Campur Tangan Diplomatik

Ada kecenderungan dengan penggunaan intervensi sebagai


instrumen politik luar negeri semakin meningkat terutama sejak era
paruh abad 20-an dengan dilatarbelakangai oleh berbagai motivasi
dan persepsi. Sikap seperti itu tampak dalam praktik di mana sejumlah
bentuk dan jenis intervensi berlangsung. Menurut pendapat K. J.
Holsti (1987, 352-378), ada enam bentuk tindakan intervensi antara
lain adalah:

a. Campur tangan diplomatik;


b. Berbagai tindakan politik terselubung;
c. Untuk kekuatan;
d. Subversi;
e. Perang gerilya terutama yang didukung oleh dan diorganisasikan
dari luar negeri;
f. Intervensi militer.

Intervensi diplomatik terjadi pada saat pejabat diplomatik


memberikan komentarnya secara terbuka mengenai proses politik
dalam negeri (termasuk keputusan kebijaksanaan luar negeri) negara
lain. Ini dapat berarti, pejabat diplomatik tadi melakukan campur
tangan dalam masalah dalam negeri negara lain.

Karena perhatian masyarakat dan pemerintah dapat dipengaruhi


oleh sumber informasi dari luar dengan sendirinya kondisi demikian
akan selalu menggoda negara lain atau para diplomatnya membuat
komentar mengenai masalah politik yang sedang berlangsung
dalam negeri suatu negara tertentu. Kadang-kadang pernyataan
yang dikemukakan oleh duta besar atau pimpinan pemerintahan
mengenai masalah domestik negara lain menjadi bagian protokoler,
yang kadangkala pernyataan yang hati-hati maupun berisi nada-nada
ancaman akan sangat mempengaruhi masalah politik negara lain.

238 Studi Hubungan Internasional


Tahun 1954, Menteri Luar Negeri Amerika Serikat John Foster
Dulles mengancam bahwa pemerintah Amerika Serikat akan melaku­
kan "peninjauan kembali" kebijaksanaannya atas Eropa jika Dewan
Nasional Perancis tidak dapat meratifikasi Perjanjian Pertahanan Ber­
sama Masyarakat Eropa (European Defence of Community Treaty).
Pernyataan tersebut dikemukakan dengan cara tertentu untuk tidak
menunjukkan keraguan bahwa Foster Dulles sebenarnya mengharap-
kan dukungan mayoritas anggota Parlemen Perancis terhadap perjan­
jian itu.

6.5.2.2 Tindakan Politik Terselubung

Cara mencampuri urusan dalam negara lain yang paling tua


adalah dengan melakukan tindakan penyuapan. Pada abad 18, pem-
berian berupa imbalan-imbalan dalam wujud uang, kepada diplomat
asingdan pejabat pemerintah merupakan sarana khas untuk mencapai
sasaran diplomatik. Tindakan yang demikian merupakan kebiasaan
yang sudah diterima umum (meskipun tidak dipublikasikan) mereka
membayar kepada Menteri Luar Negeri atau diplomat kerajaan lain
sejumlah uang "pension" (uang suap) untuk melakukan jasa tertentu
dalam masalah pokok yang sedang hangat pada saat itu. Dokumen
yang diperoleh dari Istana Louis XV dari Perancis bahwa antara tahun
1757 dan 1769, Perancis memberikan subsidi bagi negarawan Austria
lebih dari 82 juta livre. Tindakan politik terselubung oleh Amerika
Serikat di luar negeri mencakup pemberian uang suap atau paling
tidak dengan memberikan hadiah kepada agen-agen subversi, agen-
agen Inggris dan Perancis pada abad 19 yang sering memperoleh dae-
rah jajahan baru dengan menyuap para pemimpin politik lokal, dan
nazi, serta kaum komunis membiayai tindakan politik terselubung di
negara-negara lain.

Penyebarluasan propaganda secara terselubung dengan melalui


saluran radiogelap, koran-koran bawah tanah ataupun berupa selebaran
gelap dapat diklasifikasikan sebagai tindakan politik terselubung yang
dilakukan untuk tujuan mempengaruhi proses politik dalam negeri

Politik Luar Negeri Terhadap Sistem Internasional 239


yang dijadikan sebagai sasaran kegiatan tersebut. Propaganda Amerika
Serikat (AS) terhadap pemilihan pemerintahan daerah di Italia tahun
1975, tidak selalu mudah untuk diketahui dan berbagai tindakan
Amerika Serikat (AS) lainnya atas nama Partai Kristen Demokrat,
benar-benar merupakan tindakan politik terselubung. Serupa dengan
itu adalah yang tercakup dalam kegiatan pembunuhan terhadap
pejabat pemerintah, diplomat, pemimpin partai politik ataupun
seorang elit ekonomi tertentu. Meskipun demikian, pembunuhan
bukanlah merupakan bentuk yang lazim dalam konteks keterlibatan
negara-negara tertentu dalam masalah-masalah dalam negeri negara
lain. Namun yang biasanya dilakukan ialah dengan cara membiayai
atau dengan membangkitkan keberanian unsur-unsur pemberontakan
dalam negeri yang mempunyai dorongan pembunuhan politik.

6.5.2.3 Subversi

Istilah subversi, menandai hampir setiap tindakan pemberon­


takan yang dilakukan oleh berbagai Negara. Akan tetapi yang membe-
dakan antara subversi dengan subversi pemberontakan biasa, adalah
tindakan subversi yang diorganisasikan, didukung oleh dan diken-
dalikan oleh kekuatan-kekuatan asing, dilakukan demi kepentingan
negara asing tersebut dengan cara memanfaatkan unsur ketidakpuasan
yang terjadi dalam masyarakat tersebut.

Propaganda secaraterbukayangdilakukan oleh kekuatan-kekuat­


an dari luar (asing) tidak dapat diklasifikasikan sebagai tindakan sub­
versi kecuali jikalau penyebaran propaganda tersebut sering dikaitkan
dengan tindakan sistematik untuk membantu kelompok-kelompok
pemberontak pribumi dalam rangka memperoleh kekuasaan. Namun
demikian yang menjadi permasalahan bagi pembuat kebijaksanaan
adalah berkaitan dengan perbedaan tindakan substansi atas tindakan
tersebut. Apakah tindakan tersebut (pemberontakan) terhadap peme­
rintah yang berkuasa benar-benar dilakukan demi tujuan memenuhi
kepentingan asing tersebut? Ataukah dilakukan demi kepentingan ma­
syarakat pribumi (lokal) atau dengan pemberontakan dalam negeri? Di

240 Studi Hubungan Internasional


sini sulit untuk menetapkan garis pemisah yang tegas, karena hampir
setiap revolusi yang sedang berlangsung akan melibatkan kekuatan-
kekuatan eksternal.

6.5.2.4 Perang Gerilya dan Sistem Perang Konvensional

Ini adalah sebagai bentuk yang ke lima dari tindakan intervensi,


yakni perpaduan antara subversi dengan sistem konvensional yang
dikenal dengan istilah gerilya yang berarti suatu tindakan perang dalam
skala kecil. Gerilya tidak selalu merupakan hasil intervensi atas kekuat­
an asing. Akan tetapi cukup banyak terdapat kegiatan-kegiatan gerilya
merupakan manifestasi intervensi. Namun di sisi lain, kegiatan gerilya
dalam praktik cenderung mengandung nilai-nilai tindakan intervensi
yang datang dari luar. Tujuannya adalah untuk melemahkan posisi
pemerintah yang berkuasa, membuatnya tidak berfungsi sebagaimana
layaknya dan tiba pada gilirannya berusaha menggulingkannya.

Itulah maka dalam strategi perang gerilya, berusaha memperoleh


penguasaan positif atas sebagian besar penduduk serta memberhasil-
kan pengasingan penduduk dari rezim yang berkuasa. Gerakan-ge­
rakan seperti ini memerlukan kelompok-kelompok kecil dengan mo-
bilitas tinggi demi mengalahkan kekuatan militer negara, berdasarkan
pemikiran, jikalau terdapat penduduk masih bersikap apatis, maka sa­
saran kegiatan tersebut amatlah mudah dilakukan.

6.5.2.5 Intervensi Militer

Merupakan manifestasi maksimal dari bentuk intervensi adalah


intervensi militer. Hal ini dapat diwujudkan dengan melalui dan
bentuk pengiriman ekspedisi militer untuk tujuan menunjang suatu
pemerintahan negara tertentu yang sedang berkuasa ataupun mem-
bantu suatu kelompok pemberontak tertentu. Wujud nyata dari tin­
dakan intervensi militer ini dilakukan secara terang-terangan, paling
mahal dan mengandung risiko yang paling besar pula.

Politik Luar Negeri Terhadap Sistem Internasional 241


Intervensi militer adalah merupakan tindakan yang dilakukan
untuk menjaga stabilitas rezim yang berkuasa terhadap rongrongan
pemberontak atau dilakukan untuk tujuan kepentingan suatu pembe-
rontak menggulingkan pemerintah yang sah. Intervensi militer secara
besar-besaran dilakukan dalam beberapa jangka waktu seperti yang
terjadi di Vietnam, pada saat Amerika Serikat.mulai mengirimkan pe-
nasihat militernya untuk maksud melatih tentara Vietnam Selatan yang
selanjutnya disusul oleh Kesatuan tentara Amerika Serikat melakukan
operasi militer untuk memberikan dukungan kepada gerakan peme-
rintahan militer Vietnam Selatan dan terakhir mengirimkan pasukan
lebih dari setengah juta tentara untuk melakukan operasi militer secara
langsung. Contoh klasik mengenai intervensi militer mendadak un­
tuk menggulingkan pemerintah yang berkuasa, dilukiskan oleh invasi
gabungan Uni Soviet, Jerman Timur, Polandia, Hongaria dan Bulgaria
terhadap Cekoslowakia bulan Agustus 1968.

KESIM PULAN

1. Politik luar negeri merupakan atau bentuk kebijaksanaan atau


tindakan yang diambil dalam hubungannya dengan situasi/aktor
yang berada dalam batas-batas wilayah tertentu. la merupakan
suatu manifestasi dari perilaku negara dalam hubungannya
dengan negara-negara lain. Pola hubungan ini dapat dilihat dalam
interaksinya.
2. Interaksi negara-negara yang terwujud dalam politik luar
negeri bekerja di dalam tatanan/sistem dan struktur hubungan
internasional yang tentunya memiliki tujuan dan sasaran tertentu
yang hendak dicapai dalam sistem hubungan internasional itu.
Menurut K. J. Holsti, ada tiga macam sasaran yang dilakukan
dalam kerangka politik luar negeri yakni, kepentingan ini (core),
tujuan/menengah dan tujuan jangka panjang.
3. Dalam rangka mencapai tujuan tersebut, negara dalam hubungan
dengan negara lain, memiliki kekuatan-kekuatan (powers) yang
terdiri dari berbagai komponen tertentu yang terlihat nyata

242 Studi Hubungan Internasional


(tangible) terdiri dari unsur-unsur penduduk, wilayah, sumberdaya
alam, kemampuan industrial, militer, pertanian, kepemimpinan
dan personal, birokrasi-birokrasi, tipologi pemerintah, reputasi,
dukungan dari luar negeri dan sebagainya.
4. Dalam rangka mencapai tujuan politik luar negeri, atas
kerangka bangunan sistem politik internasional terutama untuk
mempertahankan, memelihara kepentingan nasionalnya, tentunya
membuat negara-negara tersebut dalam penyelenggaraan politik
luar negerinya memiliki instrumen-instrumen untuk menjalankan
kebijaksanaan luar negerinya. Maka dalam hubungan ini dikenal
instrumen-instrumen antara lain, diplomasi, propaganda, ekonomi
internasional dan intervensi.

TINJAUAN PERTANYAAN DAN D ISKUSI


1. Coba Sdr. jelaskan masalah perspektif definisional terhadap politik
luar negeri dan beberapa contohnya dengan singkat dan jelas!
2. Apa yang menjadi tujuan utama politik luar negeri menurut kajian
studi hubungan internasional dan bagaimana pula suatu negara
mengupayakan agar tujuan tersebut dapat tercapai?
3. Coba Sdr. identifikasikan pengertian konsep dasar power dalam
kostruksi politik luar negeri sehingga menjadi jelas kedudukan
power itu dalam rangka penyelenggaraan politik luar negeri serta
berikanlah contoh-contohnya!
4. Jelaskan unsur-unsur determinan power dan hubungannya dengan
penyelenggaraan politik luar negeri!
5. Jelaskan bagaimana kedudukan diplomasi dalam kerangka
penyelenggaraan politik luar negeri dan berikanlah beberapa
contohnya!
6- Jelaskan seberapa jauhkah pengaruh instrumen politik luar negeri
(ekonomi dan intervensi) di dalam hubungan antara negara-negara
(sistem internasional)!

Politik Luar Negeri Terhadap Sistem Internasional 243


D A FT A R P U S T A K A
Couloumbis, Theodore A, James H. Wolfe, Pengantar Hubungan
Internasional: Keadilan dan power, (Bandung: Abardin, 1990).

Colpin, William, D, Introduction to International Politics, (Englewoods


Clifs, N .J.: Pretice-Hall, 1990).

Dahl, Robert. A, "the Concept of power", Behavioral Science, Vol. 11


(july 1957), 201-205.

Deutsch, Karl W , The Analysis of International Relations, (Englewoods


Cliffs. N .J: Prentice-Hall, 1968)

Brown, J. A. C, Techniques of Persuasion: From Propaganda to


Brainwashing, (Middlesex, Eng: Penguin Books, 1963).

Frankel, Joseph, International Relations in A Changing World, (New


York, Oxford: Oxford University Press, 1988).

Farnsworth, David N, International Relations An Introduction,


(Chicago: Nelson-Hall, 1988).

Fenwick, Charles G, International Law, (New York: Appleton-Century-


Crofts, 1952).

Holsti, K.J., International Politics A Framework for Analysis,


(Englewoods, Cliffs, N. J: Prentice-Hall, 1977).

Keohane, Robert. O & Joseph S. Nye. Jr (ed), Transnational Relations


and W orld Politics, (Cambrige: Harvard University Press,
1972).
Kusumohamidjojo, Budiono, Hubungan Internasional: Kerangka Studi
Anaiisis, (Bandung: Binacipta, 1987).

Lee, Alfred McClung & Elizabeth Bryant Lee, The Fine Art of
Propaganda: A Study of Father Coughlin's Speech, (New York:
Harcoat Brace Javanovich, 1939).

Morgenthau, Hans J., Politik Antar Bangsa: Perjuangan Untuk


Kekuasaan dan Perdamaian, (Bandung: Binacipta, 1990).

244 Studi Hubungan Internasional


Mackinder, Halford J, Democratic Ideals and Reality, (New York:
Henry Holt, 1919).

Mahan, Albert T, The Influence of Seapower Upon History 1660-1783,


(New York: Sagamore Press, 1890) dan diedit kembali oleh Louis
M. Hacker (1957) Chapter I yang bertemakan "Discussions of
the Elements of Sea power".

Nicolson, Harold K, Evolution of Diplom atic Method, (New York:


McMillan Company, 1982); The Congrers of Vienna, (London:
Constable, Ltd, 1946); Diplomacy, (London: Oxford University
Press, 1964).

Poullada, Leon P, "Diplom acy: The Making Link in the Study of


International Politics", McLelland D. S & Olsen W . C. dan
Sonderman F. A. (ed), The Story and Practice of International
Relations, (Englewoods Cliffs, N. J: Prentice-Hall, 1974).

Russett, Brute & Harvey Starr, W orld Politics The Menu for Choice,
(New York: W . H. Freeman and Company, 1985).

Qualter, Terrance H, Propaganda and Pschological Warfare, (New


York: Random House, 1962).

Rosenau, James, N, "International as a Scientific Concept" James N.


Rosenau, The Scientific Study of Foreign Policy, (New York:
Nochols Publishing Company, 1980).

Wright, Quincy, The Study of International Relations, (New York:


Appleton-Century-Crofts, 1955).

Ziegler, David, W , War, Peace and International Politics, (Boston,


Toronto: Little, Brown and Company, 1984).

-ooOoo-

Politik Luar Negeri Terhadap Sistem Internasional 245


BAG IA N KE EMPAT

INSTITUSI UTAMA
SISTEM INTERNASIONAL
4
INSTITUSI UTAMA
SISTEM INTERNASIONAL

Tujuan Pembelajaran

Setelah membaca bab ini anda akan dapat:

1. Menjelaskan dengan uraian singkat mengenai latar belakang


sejarah hukum internasional sehingga dengan demikian akan
tergambar bagaimana kedudukan hukum sebagai institusi utama
dalam sistem internasional.
2. Menguraikan sumber-sumber hukum internasional serta dapat
memberikan beberapa contohnya.
3. Menguraikan beberapa jenis subjek-subjek hukum internasional
dan menunjukkan beberapa contohnya.
4. Membuat anaiisis sistem Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ke
dalam bentuk diagram serta di mana letak kelemahan-kelemahan
Liga Bangsa-Bangsa (LBB) dan perbedaannya dengan PBB.
5. Menjelaskan dengan membuat contoh-contoh sejauhmana
perkembangan organisasi internasional dan bagaimana ke-
dudukannya dalam sistem internasional pada umumnya.
INSTITUSI UTAMA DALAM
SISTEM INTERNASIONAL

7.1 P R IN S IP D A S A R H U K U M IN T E R N A S IO N A L

7.1.1 Pengertian Hukum Internasional

Hukum internasional mungkin lebih baik dipahami atau


dipandang sebagai "a system of agreements between international
actors" yakni negara-negara yang merumuskan bagaimana hubungan
diantara negara-negara tadi dapat dilaksanakan secara kondusif.
(Daniel S.Papp, 1990, 450) Atau dengan rumusan lain bahwa hukum
internasional dikatakan "as a body of rules that countries feel an
obligation to obey in their" Oohn K. Gamble, 1987, 395). Hukum
internasional juga dapat diartikan dengan membuat rumusan sebagai
suatu keseluruhan hukum yang untuk sebagian besar terdiri dari
sendi-sendi dan aturan-aturan perilaku terhadap aman negara-negara
rnerasakan dirinya terikat untuk menaatinya dalam hubungan antara
negara itu satu dengan lainnya (J-G. Starke, 1989, 3) yang meliputi
unsur-unsur berikut yakni:

a- Aturan-aturan hukum yang bertalian dengan berfungsinya


lembaga-lembaga dan organisasi-organisasi internasional,
hubungan-hubungan lembaga atau organisasi yang satu dengan
yang lainnya dan hubungan-hubungan lembaga atau organisasi
itu dengan negara-negara dan individu-individu; dan
b. Aturan-aturan hukum tertentu yang bertalian dengan individu-
individu dan satuan-satuan yang bukan negara sejauh hak dan
kewajiban-kewajiban para individu dan satuan-satuan yang bukan
negara itu merupakan kepentingan masyarakat internasional.

Dari berbagai penulis yang merumuskan pengertian hukum


internasional dan ternyata mempunyaiperbedaan-perbedaan.
Perbedaan tersebut sebagai akibat berbagai sudut pandang yang
digunakan dalam menelaah pengertian hukum internasional itu.
Namun demikian, secara umum dapatlah dikatakan bahwa hukum
internasional itu merupakan sekumpulan aturan yang mengatur
hubungan antarnegara atau keseluruhan kaidah dan asas-asas yang
mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas-batas negara
atau negara dengan negara, negara dengan subjek hukum dan bukan
negara atau subjek hukum bukan negara satu sama lainnya.

7.1.2 Perkembangan Hukum Internasional

Temadiatas, bukandijadikan sebagai landasanuntukmenjelaskan


bahwa materinya senantiasa berasal dari suatu penelitian kesejarahan
(matters of historical research) yang akan membawapenstudi hukum
internasional dan hubungan internasional untuk memulai suatu
kegiatan penelitian berdasarkan makna dasardari hukum internasional
dengan melalui metodologi survei lingkungan politik, dengan mana,
konsepsi komunitas negara-negara telah dibangun dengan melalui
lintasan sejarah.

Namun bagi penstudi dan anaiisis hukum internasional, jauh


lebih dari sekedar "law of any individual state", dalam artian semacam
warisan masa lalu. la tidak hanya sekedar cerminan atas prinsip-prinsip
legal dan suasana masa lalu yang akan melahirkan dasar-dasar hukum
bagi kepentingan ekonomi, sosial dan politik, akan tetapi "it is in large
part of determined" dari semua aspek-aspek tersebut.

252 Studi Hubungan Internasional


Di sisi lain, merupakan suatu kebutuhan bagi masyarakat
internasional dalam kaitannya dengan interaksi hubungan antar bangsa
(relations of states) diperlukan suatu upaya untuk mempersatukan
berbagai faktor sebagaimana terdapat dalam hubungan antarnegara
(unifying factors in the relations of state) yakni masalah: bagaimanakah
kedudukan masyarakat negara-negara (community of states) dalam
konstelasi era modern yang didasari oleh prinsip-prinsip "common
welfare of the nations as the body". (Charles G. Fenwick, 1948, 3)

Untuk menuju cita-cita kesejahteraan umum bangsa-bangsa


sebagai satu badan, dengan melalui suatu badan-badan pemerintahan
yang terpusat (central agency of government) yang mengatur ke dalam
suatu kelompok kolektivitas. Ada aturan-aturan yang mengarahkan
wacana hubungan-hubungan antarnegara-negara ke dalam sebuah
kolektivitas tersebut disebut sebagai hukum internasional. Aturan-
aturan yang dilakukan dengan melalui hukum internasional ini
oleh negara-negara dalam kerangka hubungan antarnegara, bersifat
normatif di samping dalam hubungan tersebut dibatasi oleh prinsip-
prinsip kedaulatan nasional masing-masing negara, dan akan dijadikan
karakteristik identitas utama.

Jadi, hukum internasional yang dipahami adalah senantiasa


ditempatkan ke dalam sekumpulan pengaturan-pengaturan yang
mengikat kolektivitas politik yang dalam hal ini adalah negara-negara
yang melakukan interaksi di dalam hubungannya dengan negara-negara
lain. Pengaturan-pengaturan tersebut dilihat dalam pengertian yang
sangat mendasar, meliputi berbagai aktivitas hubungan antarnegara.
Dan sebagai salah satu dari aktivitas tersebut terdapat dalam kegiatan
diplomasi.

Salah satu yang tertua dalam kaitannya dengan hukum


internasional yang diamati adalah pada Kongres Perdamaian di Vienna
1815, suatu pertemuan dalam bentuk kongres, sebagai upaya untuk
menciptakan perdamaian di Eropa setelah usainya Perang Napoleon
1815. Melalui kongres tersebut maka melahirkan suatu kondisi yang

Institusi Utama Dalam Sistem Internasional 253


dalam kaitannya dengan pola hubungan antara bangsa melalui suatu
sistem yakni sistem perimbangan kekuatan (balance of powers)
pada abad 19 dan ini memberikan kontribusi bagi kumpulan hukum
internasional selanjutnya. Kongres tersebut antara lain menentukan
kategorisasi utusan diplomatik, prinsip-prinsip umum mengenai
pelayaran pada sungai-sungai internasional serta ketentuan-ketentuan
yang menentang perdagangan para budak.

Meskipun demikian ada beberapa ganjalan yang terdapat dalam


kongres di Vienna itu, yakni berkenaan dengan masalah wakil-wakil
negara yang bertindak mewakili negaranya (diplomasi). Beberapa
negara yang ada yang menyebutnya sebagai "delegates ambassador"
yang lain pula menyebutnya sebagai "minister plenipotentiary, envoy
atau nuncio". Namun pada akhirnya disetujui bahwa tingkat-tingkat
status para diplomat disusun sebagai berikut; yang tingkatannya
tertinggi disebut sebagai "ambassador" (duta besar), minister resident
dan charge d'affaires". (David W . Ziegler, 1984, 153)

Sejak Kongres W ina 1815 itulah (yang mendirikan sistem


Concert of Europe) dengan tujuan untuk melawan gelombang baru
sebagai akibat Revolusi Perancis itu, tampaknya memang memung-
kinkan mengalihkan perhatian kepada makna perjanjian dan konvensi
internasional. Perjanjian Internasional itu telah menjadi suatu feno-
mena dan telah menjadi bagian tersendiri dalam hukum internasional.
Dalam kerangka politik internasional dikatakan, perjanjian interna­
sional senantiasa memperoleh makna yang strategis dalam kerangka
peiaksanaan politik luar negeri.

Pelaksanaan politik luar negeri yangdilihatdari formulasi norma-


norma hukum, yang mengatur hubungan antarnegara, diungkapkan
dalam bentuk perjanjian tadi. Ternyata bisa ditelusuri latar belakang
sejarahnya di mana ini dijadikan sebagai satu langkah dini, yakni
nilai-nilai hukum internasional yang paling mendasar terdapat di
dalam bentuk-bentuk aturan yang diakui oleh negara-negara atas dasar
hubungan antara negara (in the form of rules recognized by states).

254 Studi Hubungan Internasional


Hubungan antarnegara dalam permulaan awal sejarahnya hanya
terbatas pada kedekatan geografis (kawasan) tertentu dan konteks
antarnegara-negara pada saat itu masih dalam tahapan relatif sedikit.
Tentunya dampak (implikasi) dari hubungan-hubungan antarnegara
tersebut, telah melahirkan suatu keyakinan bahwa ini adalah suatu
bentuk yang disebut dengan istilah: " rules regional international law "
meskipun masih tampak sentuhan-sentuhan nilai hukum relatif kecil
namun dianggap telah memberikan ciri di dalamnya yakni sebagai
"the character of law at all".

Ini adalah ungkapan historis sistem aturan-aturan perilaku untuk


mengatur hubungan antarnegara merdeka yang lahir dari kebiasaan-
kebiasaan yangditaati oleh negara-negara atau masyarakat-masyarakat
ini, dalam hubungan timbal balik (intercourse). Perjanjian-perjanjian,
peraturan-peraturan, serta kebiasaan-kebiasaan atas peperangan,
banyak ditemui pada saat/zaman sebelum lahirnya agama Kristen,
sebagai contoh misalnya, di Mesir kuno dan India kuno, sementara
di China dan dunia Islam terdapat kasus-kasus historis tentang
penggunaan arbitrasi dan mediasi. Contoh lainnya, misalnya pada
zaman negara-negara kota Yunani kuno kita dapat menjumpai bukti-
bukti sebagai embrio hukum internasional berupa aturan-aturan
kebiasaan yang sudah mengristal ke dalam hukum-hukum kebiasaan
lama yang dipatuhi oleh negara-negara kota pada saat itu. Misalnya
aturan-aturan mengenai tidak dapat diganggugugatnya para bentara
dalam perang, perlunya suatu pernyataan perang terlebih dahulu dan
perbudakan para tawanan perang. Aturan-aturan tadi, dilandasi oleh
pengaruh-pengaruh agama yang mendalam yang menandai suatu era
di mana perbedaan-perbedaan antarhukum, moralitas, keadilan dan
agama tidak memiliki garis pemisah yang jelas (J-G. Starke, 1989, 7-
8 ).

Namun yang perlu mendapat perhatian dalam hubungan ini


adalah berkenaan dengan perkembangan konsep-konsep suatu amsy
negara-negara (community of states) dimana peranan Roma, sebagai

Institusi Utama Dalam Sistem Internasional 255


negara kota dalam sejarahnya dibagi ke dalam dua periode. Pertama,
Roma adalah sebuah negara kota diantara negara-negara kota lainnya
dan hubungan-hubungan mereka ke dalam suatu ikatan sedemikian
erat, yang nyaris mirip dengan sistem negara-kota yang dilakukan di
Yunani kuno.

Akan tetapi, salah satu aspek yang dianggap penting mengenai


aturan-aturan yang menguasai hubungan-hubungan antara Roma
dengan berbagai bangsa-bangsa yang mempunyai hubungan Roma,
senantiasa didasari aturan-aturan yang bersifat yuridis formal. Dan
jika hal ini dikaitkan dengan perkembangan hukum internasional,
maka lebih banyak tampaknya dipengaruhi oleh nilai-nilai hukum
Romawi ini di mana secara tidak langsung menyesuaikan diri
dengan pengaturan-pengaturan hubungan-hubungan antara negara-
negara modern. Dengan demikian fenomena seperti ini secara tidak
langsung memberikan kontribusi orang Yunani dan Romawi terhadap
perkembangan Hukum Internasional, tidak bisa dipandang dengan
sebelah mata.

PerangTiga Puluh Tahun (1618-1648) adalah pertikaian di benua


Eropa yang paling dahsyat setelah invasi suku-suku barbar. Peristiwa
yang paling penting dalam abad 17. Perang ini merupakan klimaks dan
praktik yang terakhir pertikaian yang bermuatan perang antaragama.
Perang yang diakhiri dengan suatu pertemuan Konferensi Perdamaian
di Westphalia 1648, setelah mengadakan perundingan yang berlarut-
larut selama tiga tahun lamanya, yang serentak diadakan di Munster
dan Osnbruck. Mayoritas besar negara-negara Eropa terwakili dalam
perundingan-perundingan ini, sehingga kongres ini dianggap sebagai
yang pertama kalinya diadakan di benua Eropa.

Ada dua naskah perjanjian yang ditandatangani sebagai Naskah


Perjanjian Damai di Munster dan Osnbruck yang secara yuridis
merupakan suatu traktat (treaty) terkenal dengan sebutan konferensi
Perdamaian Westphalia 1648. Lebih kurang satu abad lamanya,
perjanjian Westphalia bertahan sebagai perangkat bagi organisasi

256 Studi Hubungan Internasional


politik di Eropa. Dan sebagai karakteristik Perdamaian Westphalia
adalah bahwa peristiwa itu dijadikan sebagai titik tolak bagi sejarah
hukum internasional yang terdapat dalam publikasi-publikasi utama
tentang hal ini. Bahkan nilai-nilai perdamaian yang dihasilkan dalam
pertemuan ini dianggap sebagai saat lahirnya Hukum Internasional
Eropa. Kendati pandangan seperti ini tidak memiliki dasar yang kuat.
Namun Perdamaian Westphalia, memang merupakan suatu tonggak
sejarah dalam perkembangan hukum internasional lebih lanjut.

Ada tiga hal pokok yang terdapat dalam asas Perdamaian


Westphalia 1648 sebagaimana yang terdapat dalam traktatnya antara
lain:

a) Negara-negara yang akan menjadi anggota-anggota Kerajaan Besar


Roma, berjumlah sekitar 300-an yang telah memiliki hak untuk
mengadakan hubungan-hubungan dalam bentuk persekutuan
dengan negara-negara lain, asalkan persekutuan tersebut tidak
ditujukan untuk melawan Kaisar atau Kerajaan Besar Roma dan
memperkosa Perdamaian Westphalia;
b) Perdamaian ini telah mendapat pengakuan internasional
(international recognition) untuk pertama kalinya bagi agama
protestan (Lutheranisme dan calvinisme). Kaum Katolik ataupun
kaum Protestan yang pada tanggal 1 Januari 1624 telah menikmati
hak-hak ibadah baik secara terbuka maupun secara pribadi,
mendapatkan pengukuhan haknya;
c) Perdamaian Westphalia merupakan bagian yang tak terpisahkan
dalam hukum internasional terutama dalam kerangka usaha untuk
mewujudkan konvensi multilateral.

Dan dalam kaitannya dengan pembubuhan dalam perjanjian ini


terdapat ketentuan sanksi-sanksi bahwa tindakan-tindakan permusuhan
yangtelah dilakukan di masa lalu, akan "dilupakan dan diampuni secara
abadi", sehingga segala tuntutan sebagai akibat tindakan permusuhan
itu dikubur. Apabila terdapat pelanggaran terhadap perjanjian ini maka
dicapai dengan dengan kata sepakat bahwa pihak yang dirugikan

Institusi Utama Dalam Sistem Internasional 257


pertama-tama akan menyerahkan persoalan ini kepada " penyelesaian
secara damai atau penyelesaian secara juridis" dan jikalau upaya ini
tidak berhasil, maka semua pihak yang terlibat itu dalam jangka waktu
tiga tahun , "akan mengangkat senjata dengan segala muslihat dan
kekuatan untuk menakhlukkan pihak yang melanggar". Maka jika
dilihat dari ketentuan ini dianggap penting dalam kaitannya dengan
upaya yang pertama kepada penyelenggara organisasi internasional
untuk pemeliharaan perdamaian internasional umumnya.

Dan di sisi lain terhadap isi perjanjian ini telah membawa


perubahan-perubahan terutama bagi status politik negara-negara Eropa
Barat. Di kalangan negara-negara Eropa kekuasaan yang tertinggi pada
saat itu berada di tangan Perancis di bawah kekuasaan pemerintahan
Raja Louis XIV (1643-1715). Bahasa Perancis dijadikan sebagai
bahasa perjanjian-perjanjian internasional atau dalam perundingan-
perundingan internasional yang akan menggantikan bahasa latin
sebagai suatu kebiasaan dalam cara berkomunikasi antara diplomat-
diplomat dalam hubungan antarnegara.

Pada dasarnya, struktur/pola Eropa Barat selama masa itu


tetap, berlaku menurut struktur yang telah dibentuk oleh Perjanjian
Perdamaian Westphalia. Namun ada beberapa perubahan sebagaimana
sebelumnya dalam Perjanjian Perdamaian Utrecht (1713) yang telah
mengakhiri Perang Suksesi Spanyol dengan mengakui pencabutan hak
atau tuntutan secara timbal balik yakni Raja Perancis. Selain Perancis
dan Spanyol, juga Inggris dan Belanda menjadi penandatangan
Perjanjian Perdamaian Utrecht yang tidak bersifat pola hubungan
multilateral sebagaimana halnya dengan Perjanjian Perdamain
Westphalia, melainkan terdiri dari beberapa perjanjian-perjanjian
yang bersifat bilateral.

Perjanjian Perdamaian Utrecht memberikan kepada Inggris


keuntungan-keuntungan terutama dalam kaitannya dengan perdagang-
an dan politik. Misalnya, kepemilikan atas wilayah-wilayah Gibraltar
dan berakhirnya kekuasaan tertinggi Perancis di Eropa sebagai akibat

258 Studi Hubungan Internasional


dari peperangan-peperangan yang berlarut-larut. Dalam Perjanjian
Perdamaian Utrecht dinyatakan bahwa " perdamaian dan keamanan
di kalangan umat Kristen dapat dipulihkan dengan suatu perimbang-
an kekuatan yang adil (justum potentia equalibrium) yang dijadikan
sebagai landasan terbaik yang paling kuat untuk menjalin persaha-
batan bersama juga, terhadap penyesuaian yang kekal". Perimbangan
kekuatan yang adil, dapat diartikan sebagai kondisi politik, antara
negara-negara dalam mana, tidak ada negara yang mencapai suatu
kekuatan sedemikian kuat (dominasi), sehingga akan membahayakan
kemerdekaan politik negara-negara lain. Atau dengan perkataan lain,
tidak ada negara yang memegang hegemoni (kekuasaan tunggal) deng­
an hubungannya dengan negara-negara lain.

Di bawah suasana perimbangan kekuatan (balance of power),


paling tidak dianggap suatu tindakan penghancurluluhan monopoli
kekuatan tunggal (hegemonial). Ketiadaan suatu kekuatan tunggal
dalam bentuk organisasi yang kompeten untuk memegang hukum dan
tatanan dan keamanan negarahanyadapatdiproleh dalam pembentukan
persekutuan-persekutuan terutama untuk menjaga keseimbangan tadi.
Sampai pada zaman kekuasaan Napoleon, memang situasi politik
sedikit banyak sesuai dengan prinsip-prinsip perimbangan kekuatan.
Namun kerajaan-kerajaan sebagai yang menegara, pada saat itu, sejak
tahun 1701 mencapai puncaknya di bawah kekuasaan Frederick
Agung (1740-1786) setelah penakhlukan atas Austria dan Perancis.
Dan lagi pula, Russia di Eropa Timur menjadi negara terkuat di bawah
pemerintahan Perdamaian Nystad (Treaty of Nysta of 1721).

Dengan pecahnya Revolusi perancis (French Revolution) seka-


ligus menimbulkan masalah terutama tentang perimbangan kekuatan
(balance of power) kembali menarik perhatian khususnya di Eropa. Di-
katakan ini merupakan suatu peristiwa politik yang penting. Peristiwa
politik yang dimaksud adalah apa yang dikemukakan dalam Majelis
Nasional, tentang asas-asas yang bersumberkan kepada prinsip-prinsip
hukum alam, bahwa bangsa Perancis bertekad mengeliminir adanya

institusi Utam a Dalam Sistem Internasional 259


perang-perang dan ini dikeluarkan melalui suatu deklarasi yang secara
ringkas dikatakan bahwa: dihapuskan adanya perang dan mengutuk
serangan-serangan terhadap kemerdekaan bagsa-bangsa lain serta ket-
aatan terhadap asas non-intervensi.

Kemudian tahun 1792, dengan melalui maklumat Majelis


Permusyawarahan Nasional bahwa, Perancis bersedia membantu
bagi sekutu secara layak bagi semua bangsa-bangsa merdeka. Secara
radikal, ini menunjukkan satu fenomena yang secara revolusioner
mengarah kepada suatu perubahan politik, yang didorong oleh
adanya revolusi Perancis tersebut. Dan dampaknya lebih lanjut adalah
terutama kepada pertumbuhan nilai-nilai hukum internasional. Dalam
revolusi itu sendiri terkandung nilai-nilai atau martabat manusia yang
mungkin dapat dijadikan alasan kegagalan kekuasaan-kekuasaan
pangeran-pangeran abad 18 lalu di samping pengaruh dan akibat
konsepsi kebangsaan dan gagasan revolusioner yang menyentuh
segi-segi hubungan internasional, hukum perdata internasional, serta
berbagai peraturan-peraturan internasional lainnya.

Kongres Perdamaian yang di W ina 1814-1815 diasumsikan


sebagai kongres pertemuan sebagai reflektivitas terhadap “A great law
making body" yang dirancang oleh negara-negara baru dengan suatu
penyatuan Swedia, Norwegia dan Belanda, Belgia serta unifikasi atas
Jerman. Di samping itu Kongres W ina juga merupakan langkah akhir
terhadap usaha-usaha perdamaian yakni sebagai suatu "akta final"
yang ditandatangani tanggal 9 Juni 1815 oleh wakil-wakil dari Austria,
Perancis, Inggris, Portugal, Prussia, Russia, dan Swedia. Perjanjian
Perdamaian Wina, juga telah meletakkan dasar-dasar politik Eropa
setelah setengah abad lamanya yakni sampai pada unifikasi Jerman
dan Italia serta Konfederasi Jerman baru yang didirikan oleh Perjanjian
W ina sebagai pengganti Kerajaan Agung Romawi Suci yang tumbang.
Dan juga sebagai langkah awal dalam rangka pembentukan norma-
norma hukum internasional yakni dengan berdasarkan kepada adanya
perjanjian-perjanjian internasional tersebut.

260 Studi Hubungan Internasional


Traktat W ina yang disusun/dirancang di bawah arahan tige
kekuatan besar (Russia, Prussia, dan Austria) melakukan langkah-
langkah berdasarkan inisiatif Czar Alexandre pendiri Aliansi Suci (Holv
Alliance) adalah nama yang dipersiapkan sebagai simbol nepotisme
kekuatan selama lebih satu abad. Namun sebagai suatu fakta sejarah
persekutuan, tidak lebih daripada "a personal union of sovereign whose
proclaimed purposes to apply the principles of Christian morality ir,
the administration oftheis domestic affairs as well as in the conduct oi
their international relations" (Charles G. Fenwick, 1948, 16-1 7).

Sejumlah negara-negara yang terlibat dalam Kongres Perda­


maian W ina seperti Prussia, Austria, dan Inggris mengonsolidasikan
diri ke dalam bentuk Quadruple Alliance (Tetrarchy) atau empat
serangkai yang dianggap sebagai negara besar dalam artian politik.
Dalam perkembangan selanjutnya terjadi penambahan anggota deng­
an masuknya Perancis sebagai namanya pun ikut berubah menjadi
Quintuple Alliance atau Pentrachy. Kendatipun sebelumnya, dalam
perjanjian Choumont 1 Maret 1814 antara Austria, Inggris, Prussia dan
Russia telah berjanji untuk menggalang kekuatan diantara mereka ke
dalam suatu bentuk persekutuan. Maka dengan lahirnya bentuk perse­
kutuan yang dibentuk negara-negara ini, mulailah pula dikenal suatu
pola hubungan antarnegara yang disebut sebagai The Concert O f Eu­
ropean Concert, sebagai rujukan atas negara-negara empat serangkai
tadi.

Perang-perang Napoleon dan kegiatan-kegiatan diplomatik di


Eropa, serta keberadaan Persekutuan Suci (Holy Alliance) dan ikatan-
ikatan Lima Serangkai negara-negara besar, kesemuanya telah mem­
berikan akibat-akibat secara luas terutama dalam kaitannya dengan
kerangka bangunan prinsip-prinsip dasar hukum dan hubungan inter­
nasional. Setelah ambruknya kekuasaan dinasti Bourbon di Spanyol
dalam perang Perancis dan Spanyol 1808 yang telah mencetuskan ge­
rakan-gerakan revolusioner di daerah-daerah koloni Spanyol khusus-
nya di benua Amerika dan akibat selanjutnya, melahirkan negara-

Institusi Utam a Dalam Sistem Internasional 261


negara republik merdeka. Munculnya Brazil sebagai negara merde-
ka tahun 1882 sebagai akibat invasi Napoleon ke jazirah Iberia
(Spanyol dan Portugal). Lahirnya negara-negara merdeka di Amerika
Latin serentak menimbulkan atau setidak-tidaknya menjadi sebab utama
bagi munculnya peristiwa lain yang memiliki makna sejarah. Berkait­
an dengan rencana intervensi terhadap Spanyol maka negara-negara
yang terhimpun dalam Persekutuan Suci, dalam Kongres Perdamaian
Verona 1820 yang merancang intervensi ke daerah-daerah bekas koloni
Spanyol di Amerika Latin untuk maksud memulihkan kekuasaan Kera-
jaan Spanyol di sana. Terhadap rencana intervensi ini, Amerika meli-
hat ini suatu gejala yang tidak sesuai dengan tujuan untuk memper-
juangkan kepentingan nasionalnya dari luar.

Untuk itu, pihak Amerika Serikat melalui Presidennya, Monroe,


di dalam amanatnya di depan Kongres Amerika Serikat 2 Desember
1823, menyatakan sikapnya yang dengan tegas menentang politik mana
yang terkenal sebagai Doktrin Monroe. Ditandaskan bahwa Amerika
Serikat menganut politik non-intervensi (non-intervention policy)
dalam pertikaian-pertikaian Eropa. Presiden Monroe menandaskan
sebagai inti doktrinnya adalah bahwa sesuatu usaha di pihak negara-
negara sekutu (holy Alliance) untuk menanamkan sistem kekuasaan
mereka di bagian wilayah manapun.

Inilah yang dimaksudkan oleh Amerika Serikat dengan sebagai


bentuk perwakilan (guardinship) atas negara-negara di bawah kontrol
belahan bumi barat (western hemisphere) sebagai suatu alat untuk
mempertahankan keamanan nasionalnya sendiri yang tidak hanya
memberikan makna politis, akan tetapi telah meletakkan dasar-dasar
bagi perkembangan suatu sistem regional ke dalam suatu bentuk
komunitas bangsa-bangsa yang lebih besar (Arthur Nusbaum, 1970,
101-103, Charles G. Fenwick, 1949, 16-17).

Meskipun gagasan persekutuan negar-negara besar yang men-


dapat penghormatan yang tinggi dalam konstelasi hubungan antara
negara di Eropa, namun pada akhirnya gagal di pertengahan abad

262 Studi Hubungan Internasional


sebagai akibat dari perang Krim tatkala Perancis dan Inggris yanj
mendapatkan bantuan diplomatik dari Austria yang terlibat dalarr
pertikaian dengan Rusia, 1853 sekaligus perimbangan kekuatan di
ganggu oleh serangan Rusia atas Turki. Dengan perjanjian perdamaiar
Paris 30 Maret 1856 yang mengakhiri perang Krim menduduki tempa
terpenting sesudah perjanjian Westphalia dan W ina dalam perkem
bangan sejarah Hukum Internasional. Dengan berdasarkan kepadj
ketentuan-ketentuan perjanjian Paris, Turki diizinkan 'untuk ikut sert;
dalam persekutuan Eropa'. Atau secara formal, Turki diperkenankar
masuk sebagai anggota masyarakat bangsa-bangsa.

Perjanjian Perdamaian Paris, tampaknya lebih berhasil dalan


pembentukan komisi Internasional untuk Sungai Dedube sebaga
status sungai internasional. Komisi ini terdiri dari wakil-wakil negar;
besar Turki dan Sardina. Komisi ini bertangggung jawab dan menjamir
pemanfaatan muara-muara sungai Danube untuk pelayaran. Selair
itu, pelayanan sungai Danube dinyataklan terbuka bagi semua negar;
dengan melalui suatu perjanjian Perdamaian Paris. Disamping
dengan melalui pengaturan sendiri (16 April 1856) negara-negara yanj
menandatangani Perjanjian Perdamaian Paris dengan mengeluarkar
deklarasi tentang hukum maritim. Deklarasi ini menghapus tindakan
tindakan permusuhan di laut, terutama penangkapan atas kapal-kapa
dagang musuh yang dilakukan oleh kapal-kapal swasta, layarar
terhadap perampasan barang-barang rampasan musuh di atas kapal
kapal netral.

Telah terjadi pergesaran dalam perimbangan kekuatan (politica


equilibrium) pusat dan negara-negara Eropa yang berkeinginar
untuk diatur kembali. Unifikasi Italia yang telah dilaksanakan tahui
1870 dan masuk dalam kelompok negara-negara besar (the Crea
powers). Konfederasi Jerman yang dibangun oleh kongres Win,
setelah mengalami kehancuran tahun 1866 yang pecah menjadi sati
konfederasi negara-negara Jerman Utara di bawah kepemimpinai
Prussia.

Institusi Utam a Dalam Sistem Internasional 26


Pergesaran dalam perimbangan kekuatan ini terungkap dalam
kongres Berlin 12878 antara negara-negara besar dan Turki di bawah
pimpinan Bismarck. Kongres mana, bertujuan untuk menyeiesaikan
permasalahan Balkan yang dalam kenyataannya setelah usainya
perang antara perang antara Rusia dan Turki 1977. Perjanjian
Berlin yang dihasilkan dengan melalui sebuah Kongres memberikan
kontribusinya kepada pembentukan hukum internasional dengan
menambahkan tiga anggota baru ke dalam masyarakat bangsa-bangsa
yakni dengan memberikan kemerdekaan kepada Rumania, Serbia,
dan Montenegro.

Sementara masih ditemui kondisi struktur masyarakat Interna­


sional yang tidak stabil terutama selama abad 17-an dan di sisi lain,
ada kehendak untuk menciptakan suatu gagasan penyatuan (unifikasi)
maka dengan demikian, akan terjaganya sistem politik internasional
yang kondusif. Upaya-upaya ke arah itu, telah dirintis dengan se-
rangkaian pertemuan-pertemuan, kongres-kongres internasional, dari
waktu ke waktu dengan tujuan utama untuk mengatur kepentingan-ke-
pentingan ekonomi, sosial. Uni-uni khusus didirikan bagi kepentingan
administrasi permanen terutama bagi kepentingan berkaitan dengan
masalah-masalah internasional seperti, kesehatan masyarakat, morali-
tas, keamanan yang kesemuanya dikonstruksikan demi kepentingan
masyarakat internasional pada umumnya.

Ketika menjelang abad ke-20 terjadi situasi paradoksal dalam


masyarakat internasional yakni ketidakstabilan struktur politik yang
diakibatkan oleh perang-perang yang hampir tidak dapat dielakkan,
sementara itu kepentingan-kepentingan ekonomi sosial negara-negara
suatu realitas yang saling pengaruh mempengaruhi dan kait mengkait
satu sama lain. Pada tanggal 20 Mei 1899 diadakan konferensi
perdamaian di Hague atas undangan Raja Rusia. Tujuannya adalah
untuk meningkatkan pembatasan-pembatasan terhadap pengadaan
dan perlombaan senjata. Untuk mewujudkan tujuan tersebut,
diupayakan untuk mendirikan sistem keamanan bersama (collective

264 Studi Hubungan Internasional


Security). Maka dengan demikian, setidaknya telkah tercapai cita-cita
perdamaian global (general Peace) dan diharapakan agar dibentuknya
satu bacaan arbitrasi untuk menyelesaikan pertikaian-pertikaian
interasional dan juga mempunyai otoritas yang mengatur pelaksanaan
hubungan antarnegara yang ada.

Konferensi perdamaian internasional yang ke-2 diadakan di


Hague tanggal 15 Juni 1907 yang lebih lengkap jika dibandingkan
dengan pertemuan pertama 1899, dalam mana pertemuan ke-2 itu lebih
menitikberatkan kepada masalah: bagaimana memperkuat struktur
politik masyarakat internasional. Jika dihitung dari jumlah peserta
yang hadir, lebih banyak dibandingakan pertemuan yang pertama
sebanyak 26 delegasi, sementara pada pertemuan yang ke-2, semakin
meningkat yakni sebanyak 44 utusan/delegasi. Dan badan-badan yang
membuat keputusan-keputusan tidak jauh berbeda dengan pertemuan
yang pertama. Namun jumlah dan ruang lingkup permasalahan
yang diangkat memang lebih luas dibandingkan dengan pertemuan
yang pertama, ada sekitar tiga belas buah konvensi yang diakui oleh
pertemuan/konvensi perdamaian 1907. Sebelas di antaranya, berkaitan
dengan masalah peperangan yang diperkirakan masih terus berlanjut.
Kode etik tentang perang di darat (The Code of Warfare on Land) yang
diakui tahun 1899, direvisi dan ada sejumlah alasan untuk menambah
konvensi-konvensi yang berkaitan dengan berbagai aspek perang
samudera (maritime war), status saudagar kapal pada saat tenggelamnya
dan timbulnya kapal, penyesuaian prinsip-prinsip konvensi Genewa
bagi perang laut, penetralan, hukum perampasan benda-benda di
laut vvaktu perang, serta mengatur perlakuan kekuasaan militer di
wilayah musuh yang diduduki. Tiga bulan konvensi dari tahun 1907
yang mengubah hasil pertemuan di tahun 1809, sedangkan konvensi
untuk tujuan membentuk satu International Project Court, konferensi
rnenyetujui dengan berdasarkan prinsip-prinsip hukum terutama
dalam kerangka penyelesaian persengketaan-persengketaan khusus
Vang disebabkan oleh kegiatan penangkapan dan persitaan kapal-

lr)stitusi Utam a Dalam Sistem Internasional 265


kapal dagang serta barang-barang muatannya oleh negara musuh pada
waktu terjadinya perang.

Pada waktu itu dapat ditambahkan bahwa rancangan konvensi


tentang pembentukan International Project Court telah menyebabkan
dioselengggarakannya konferenai angkatan I laut 1908-1909 di
London (London Naval Conference). Maksud dilaksanakan konferensi
seperti ini adalah untuk merumuskan apa yang disebut dengan istilah
internationalprijlaw. Karena itu tanpa adanya hukum ini maka lembaga
ini tidak akan ada artinya. Dalam konferensi itu telah menghasilkan
suatu deklarasi yang dikenai sebagai 'the declaration of London' 26
Februari 1909 tentang hukum perang angkatan laut (declaration of
London Concernong of the law of naval war atau London Sea Law
Declaration of War). Namun, tahun 1906, Deklarasi London 1908
menemui ajalnya. Hal ini disebabkan karena tidak mampu untuk
mewujudkan instrumen baru yang berfungsi sebagai alat kontrol dan
yang dapat mengatur perilaku negara-negara, tidak adanya upaya yang
realistis bagaimana mengorganisasikan masyarakat internasional ke
dalam suatu kerangka bangunan yang berdasarkan kepada asas-asas
dan nilai-nilai hukum atau tatanan. Oleh karena ketiadaan kondisi
seperti itulah telah memberikan angin terhadap munculnya konflik
antarnegara yang pada akhirnya meletuslah Perang Dunia Pertama.

Perang Dunia Pertama, dimulai dengan dilanggarnya secara


terang-terangan sifat kenetralan (netralityj atas Belgia, oleh Jerman.
Perang Dunia Pertama itu sendiri dimulai pada bulan Agustus 1914.
Inggris di satu sisi menyatakan seluruh Laut Utara sebagai daerah militer
dengan menempatkan kekuatan tentara di daerah tersebut. Ini dapat
berarti bahwa kapal-kapal yang netral memasuki Laut Utara dalam
kondisi membahayakan sebagai tindakan balasan. Pemerintah Jerman
(4-2-1915) menyatakan bahwa seluruh perairan di sekeliling Inggris,
Skotlandia dan Irlandia, sebagai 'daerah perang'. Dan mengumumkan
bahwa kapal-kapal musuh yang lewat di daerah itu akan dihancurkan
dan termasuk kapal-kapal netral sekalipun. Tindakan Jerman ini dibalas

266 Studi Hubungan Internasional


lagi oleh Inggris dengan sebutan sebagai tindakan retalisasi melalu
pengumuman (1 Maret 1959) Inggris melakukannya dengan maksuc
'untuk menangkap semua kapal' yang mengangkat barang-baranj
yang diduga akan dibawa ke pelabuhan-pelabuhan atau menjad
milik musuh atau yang berasal dari daerah musuh. Tujuan utama dar
sikap Inggris ini tetap pada pendirian untuk melumpuhkan perniagaar
Jerman atau mematahkan ekspor dan impor Jerman melalui laut.

Dengan ilustrasi seperti di atas, yakni adanya pelanggaran ata:


daerah-daerah netral (aturan-aturan kenetralan) dalam suasana Pe
rang Dunia Pertama yang menunjukkan suatu indikasi kepada kit£
bagaimana lemahnya hukum kenetralan itu di kawasan internasional
Meskipun tidak seluruh hukum internasional yang berupa konvensi-
konvensi, perjanjian-perjanjian dalam konstelasi hubungan interna­
sional (hubungan antarnegara) pada masa itu dilangkahi begitu saja.
Di sisi lain, masih ada aspek-aspek hukum internasional menunjuk­
kan kegunaannya secara luas sebagai pedoman yang kiranya dapal
dimanfaatkan oleh negara-negara netral dan sebagai dasar hukum
untuk membenarkan tindakan-tindakan serta kebijakan-kebijakannya.
Namun yang menjadi permasalahan sebenarnya terletak pada, sebera-
pa jauhkah makna yang terkandung dalam aturan-aturan konvensi itu
secara luas dapat menjangkau dan memberikan akses sebagai siasat
hukum untuk membela tindakan-tindakannya dalam konstelasi itu.

Perang Dunia Pertama diakhiri dengan diadakan suatu Perjanjian


Perdamaian Versailes 1919 antara negara-negara Sekutu dan Jerman.
disusun dalam Perjanjian Perdamaian sainte/Germain 1919 dengan
Austria, Perjanjian Perdamaian Neully 1919 dengan Bulgaria dan
Perjanjian Perdamaian Trianon 1920 dengan Hongaria. Perjanjian-
perjanjian perdamaian ini tentunya memiliki jangkauan yang sangat
luas dalam dimensi politik dan muatan-muatan politik internasional.
Perjanjian Perdamaian Versailes yang mulai efektif 10 Januari 1920,
mempunyai dampak terhadap pembaharuan bidang politik yang paling
mendasar adalah dalam hubungannya dengan hukum internasional

Institusi Utama Dalam Sistem Internasional 267


yaitu terbentuknya lembaga internasional global yaitu Liga Bangsa-
Bangsa (LBB) yang berdiri di atas sebuah "covenante" (Piagam Piala
Bangsa-Bangsa) sebagai bagian yang pertama (pendahuluan) dari
perjanjian perdamaian Versailes tadi.

Gagasan Liga Bangsa-Bangsa ini berasal dari hasil pemikiran-pe-


mikiran Inggris dan Amerika Serikat (AS), terutama dari Presiden W ood­
row Wilson sebagai pendiri dan pendukung pada garda terdepan bagi
Liga Bangsa-Bangsa (LBB) ini. dulunya pernah membuat gagasan yang
menginginkan suatu bentuk uni yang luas jangkauannya sebagaimana
uni yang ada di Amerika Serikat (AS). Beliau memikirkan konsep ini
pada masa ia memangku jabatan Presiden Amerika Serikat (AS) yang
berupaya bagaimana membentuk suatu Pakta Pan Amerika yang ternya-
ta mengalami kegagalan dan akhirnya lahirlah Doktrin Monroe.

Sebagaimana halnya di Inggris, gagasan untuk mendirikan suatu


lembaga internasional permanen demi tercapainya perdamaian dunia
yang abadi seperti yang pernah dicetuskan oleh Abbe de Saint-Pieree
(1 713), dianggap sebagai faktor yang memberikan motivasi membentuk
lembagayangdimaksud. Namun demikian, sejarah perkembangan yang
melatar belakangi pemikiran yang mendirikan lembaga internasional
seperti Liga Bangsa-Bangsa (LBB) itu di samping yang telah disebutkan
di atas, juga dapat dilihat dari berbagai pengalaman-pengalaman
yang ada seperti dengan pengalaman Perang Dunia Pertama yang
secara substansial, telah memberikan kontribusinya bagi rencana
pembentukan Liga Bangsa-Bangsa (LBB). Perang Dunia Pertama
dipandang sebagian pengamat, adalah merupakan suatu resultante
atas pergolakan sistem perimbangan kekuatan yang bergerak dalam
kondisi yang tidak kondusif. Kendati demikian, Liga Bangsa-Bangsa
(LBB) adalah subjek hukum internasional yang mempunyai hak-
hak dan kewajiban tidak saja bersifat internasional, akan tetapi juga
termasuk dalam hukum-hukum lainnya, layaknya sebuah organisasi
negara dalam artian yang khusus. Institusi Liga Bangsa-Bangsa (LBB)
yang terdiri dari sepuluh negara anggota Dewan (empat negara-negara

268 Studi Hubungan Internasional


besar diangkat sebagai anggota tetap) adalah cerminan atas filsafat dar
Concert of European dan ke dua adalah Majelis Umum: Liga Bangsa
Bangsa (LBB) (Assembly of The League). Dan yangterakhir, Mahkamah
Internasional Permanen (Permanent Court O f International Justice.
yang dibentuk di Den Haag, tanggal 16 Desember 1920.

Awal tahun 1920-an, Liga Bangsa-Bangsa (LBB) mulai akti


dengan bermuatan anggota sebanyak 59 negara-negara yang hampi
semuanya meliputi negara-negara yang berada di kawasan Eropa. Dar
kegiatan ini dapat berjalan setelah mendapat Ratifikasi Persetujuar
Versailles, Liga Bangsa-Bangsa (LBB) adalah hasil renungan khusu;
untuk dijadikan sebagai organisasi global. Namun dalam perkembang
an selanjutnya, peranan Liga Bangsa-Bangsa ini agak sedikit menurur
atau terganggu oleh ulah Amerika Serikat (AS) yang memutuskan ti
dak mau bergabung dalam ikatan organisasi global tadi itu diharapkar
sebagai moderator. Keputusan Amerika Serikat (AS) ini sebagian be
sar diakibatkan karena adanya rasa khawatir dari pihak senat Amerik;
Serikat (AS) dan dijangkiti virus pemikiran/aliran/paham isolasionismt
yang tidak menginginkan kehadiran Liga Bangsa-Bangsa, sebab deng
an demikian dianggap sebagai suatu pengikiran terhadap kedaulatar
Amerika Serikat. Amerika Serikat (AS) dengan melalui Senat mau ber
gabung dengan Liga Bangsa-Bangsa (LBB) jika dilandasi oleh beberap;
ketentuan dan syarat-syarat.

Unsur-unsur kelemahan segera timbul dalam tubuh organisas


Internasional Liga Bangsa-Bangsa (LBB) ini terutama pada saat menjelanj
akhir dasawarsa pertama sejak kelahiran Liga Bangsa-Bangsa (LBB)
Tahun 1931, ditandai dengan situasi krisis ekonomi internasiona
dan kondisi ini cukup memberikan pengaruh terhadap eksistensi Lige
Bangsa-Bangsa (LBB) selanjutnya. Pukulan yang sangat besar dialam:
oleh lembaga ini ketika invasi Jepang ke Manchuria 1931. Pada saat
itu LBB berusaha mengambil sikap melindungi kepentingan Tiongkok.
Atas kejadian ini dianggap sebagai indikasi beberapa di antaranya
sebagai kelemahan yangdialami oleh Liga Bangsa-Bangsa (LBB).

Institusi Utam a Dalam Sistem Internasional 269


Akan tetapi dari beberapa pandangan yang dikemukakan
pengamat internasional bahwa di samping kelemahan-kelemahan yang
ada di tubuh Liga Bangsa-Bangsa (LBB), ternyata di samping itu terdapat
aspek yang menunjukkan keberhasilannya untuk menyeiesaikan kurang
lebih separuh jumlah masalah yangditanganinya. Namun demikian jika
dicermati lebih dalam, ternyata kegagalan Liga Bangsa-Bangsa terdapat
dalam lima kasus besar di antaranya adalah, pendudukan Jepang atas
Mansyuria, pendudukan Ethiopia oleh Italia, perang Chico (konflik
antara Bolivia dan Paraguay). Perang saudara di Spanyol dan serangan
Uni Soviet (US) terhadap Finlandia. Semuanya bisa kita kategorikan
sebagai kelemahan atau yang membuatnya gagal dalam misinya untuk
mewujudkan perdamaian dan keamanan internasional.

Namun demikian, tidaklah wajar kiranya dengan hanya me-


nimpakan semua bentuk-bentuk kegagalan-kegagalannya saja tanpa
melihat sisi keberhasilannya demi mengupayakan tujuan tersebut di
atas. Oleh karena itu jikalau kita evaluasi lebih dalam segi-segi keber-
nasilan Liga Bangsa-Bangsa dalam rangka keberhasilan pemeliharaan
perdamaian yang dilakukannya selama 20 tahun (1920-1938) dapat
diklasifikasikan sebagai masa-masa di mana perselisihan-perselisihan
yang khusus berhasil diselesaikan Liga, seperti perselisihan kepulauan
Aaland 1920 yang berhasil mendamaikan Finlandia dan Swedia, kasus
Korfu 1924 di mana Italia berhadapan dengan Yunani.

Menurut pandangan Hans J. Morgenthau (1990, 548-556), ada


tiga kelemahan yang terdapat dalam lembaga internasional seperti
Liga Bangsa-Bangsa (LBB). Hal ini tidak berarti LBB tidak menjalan­
kan fungsi pemerintahan yang penting. Dan jika kita kaitkan dengan
mempertahankan ketertiban dunia (The World Order) dan pemeli­
haraan keamanan internasional (Security Keeping) dan pemeliharaan
perdamaian internasional (international peace-keeping). Liga Bangsa-
Bangsa (LBB) hanya memiliki potensi untuk tatkala negara-negara be­
sar dalam mengejar kepentingannya sangat tidak berpengaruh terha­
dap eksistensi organisasi ini. Hal ini tampak dalam ketidak berdayaan

270 Studi Hubungan Internasional


Liga Bangsa-Bangsa (LBB) untuk bertindak sebagai satu pemerintahan
internasional (International Government). Tahun 1920-an, Polandia
merebut Vilna (ibu kota Lithuania). Hal ini dapat terjadi dengan me-
langgar hukum internasional itu dilakukan oleh sekutu Perancis yang
kuat. Liga Bangsa-Bangsa (LBB) menolak bertindak ketika tahun 1923,
Italia menduduki kepulauan Korfu dari Yunani. la tidak berbuat apa-
apa bahkan menunjukkan sikap yang memperkuat setelah Jepang me-
masuki Mansyuria pada tahun 1931 dan setelah ia menyerang China
yang sebenarnya tahun 1937. Liga, tidak dapat berbuat apapun untuk
mencegah atau memberhentikan Perang Chaco antara Bolivia dan
Paraguay tahun 1932-1935, kecuali dengan membuat embargo senja­
ta, mula-mula terhadap ke dua belah pihak yang berperang kemudian
terhadap Paraguay.

Sejak tahun 1935, Liga Bangsa-Bangsa (LBB) tidak berbuat se­


suatu apapun yang bermanfaat untuk mempertahankan wewenang-
nya di dalam wilayah kota Dazig dan Liga tidak dapat berbuat pada
saat menghadapi pelanggaran Perjanjian Perdamaian Versailles yang
dilakukan Jerman terus menerus. Liga tidak dapat berbuat suatu tin­
dakan untuk mengendalikan akibat internasional dari perang saudara
Spanyol sejak tahun 1936. Namun pada Desember 1936, Liga Bangsa-
Bangsa (LBB) mengeluarkan Uni Soviet (US) sebagai akibat tindakan-
nya dalam kasus Finlandia.

Kelemahan Konstitusional

Di bawah Perjanjian Liga Bangsa-Bangsa (LBB), peperangan


tidak dikeluarkan dari perlindungan hukum. Para anggota Liga Bangsa-
Bangsa di bawah kondisi tertentu, tidak diperbolehkan pergi untuk
melakukan peperangan. Oleh karenanya mereka diperbolehkan pergi
berperang apabila terdapat kondisi seperti itu. Dengan demikian, kata
pendahuluan dalam perjanjian yang menentukan bahwa, "penerimaan
kewajiban tidak akan melakukan perang". Dalam artikel 12 Piagam
Liga Bangsa-Bangsa (LBB) menetapkan bahwa para anggotanya
seharusnya " tidak akan berperang sebelum tiga bulan sesudah putusan

Institusi Utama Dalam Sistem Internasional 271


wasit...". Maka atas dasar artikel 13, paragraf 4, para anggota telah
menyetujui bahwa mereka tidak akan berperang melawan anggota
Liga Bangsa-Bangsas (LBB) yang telah menepati" keputusan yuridis
suatu perselisihan. Akhirnya menurut artikel 15, paragraf 6, " apabila
suatu laporan oleh dewan dengan suara bulat telah disetujui oleh para
anggotanya lain daripada wakU satu atau lebih pihak dari perselisihan
itu, para anggota Liga Bangsa-Bangsa (LBB) menyetujui tidak akan
berperang dengan pihak manapun dari perselisihan yang menempati
rekomendasi laporan itu".

Kelemahan Struktural

Struktur organisasi Liga Bangsa-Bangsa (LBB) lebih cenderung


bergaya Eropa pada zaman di mana beberapa faktor utama politik
internasional tidak lagi dikuasai gaya Eropa. Ada dua kekuatan yang
sangat besar secara bergantian memperoleh kekuasaan besar dalam
organisasi ini. Perancis dan Inggris ialah kekuatan Eropa. Satu-satunya
kekuatan yang bukan Eropa yang menjadi anggota Liga Bangsa-Bangsa
(LBB) adalah Jepang. Dua negara yang tahun 1920-an dan 1930-an,
dianggap sebagai negara yang terkuatdiduniayakni Amerika Serikat(AS)
dan Russia (Uni Soviet) adalah negara yang belum pernah menjadi
anggota, Uni Soviet (US) hanya selama tahun-tahun kemunduran Liga
Bangsa-Bangsa (LBB) selama tahun 1934-1939.

Sejumlah anggota Liga Bangsa-Bangsa (LBB) sebanyak 31 anggota


pertama, hanya sepuluh negara anggota yang berasal dari kawasan Ero­
pa dan sebanyak tujuh dari tiga belas yang ikut kemudian. Oleh karena
artikel 12 dalam perjanjian, berusaha membuat sesuatu yurisdiksi Liga
Bangsa-Bangsa (LBB) yang universal tanpa mengindahkan keanggota-
annya. Ini memberikan wewenang kepada Liga Bangsa-Bangsa (LBB)
dalam hal, apabila ada suatu perselisihan antara dua negara, satu di
antaranya atau ke dua-duanya bukan anggota Liga Bangsa-Bangsa (LBB),
untuk meminta kepada yang bukan anggota Liga Bangsa-Bangsa (LBB)
"menerima persyaratan keanggotaan dalam Liga Bangsa-Bangsa (LBB)
untuk tujuan perselisihan yang demikian, atas kondisi yang dianggap

272 Studi Hubungan Internasional


adil oleh dewan...apabila negara yang diminta demikian, menolak
menerima syarat-syarat keanggotaan dan akan berlindung lagi kepada
peperangan untuk melawan satu negara anggota Liga Bangsa-Bangsa
", Sanksi artikel 16 dapat diterapkan kepada negara yang demikian.
“apabila ke dua belah pihak dari perselisihan itu.. .menolak menerima
persyaratan keanggotaan ...dewan dapat mengambil tindakan dan
memberi anjuran yang sedemikian rupa sehingga akan tercegah per-
musuhan tersebut". Dalam paragraf terakhir, artikel 17 berusaha mem­
buat Liga Bangsa-Bangsa (LBB) sebagai sebuah Pemerintahan Dunia
(world government) yang bertujuan untuk memelihara perdamaian dan
keamanan internasional. Kemungkinan dalam bentuk pemerintahan du­
nia semuanya akan bergantung kepada pembagian kekuasaan (distribu­
tion of power) antara anggota anggota Liga Bangsa-Bangsa itu sendiri.
Masalah ini berkaitan erat dengan sifat universalitas Liga Bangsa-Bangsa
(LBB) itu. oleh sebab ketiadaan karakter/ watak inilah pula yang men­
jadi sumber petaka dalam kaitannya dengan kasus politik Inggris dan
Perancis dalam dua Perang Dunia. Politik ke dua negara cenderung
pada makrosnitikal politik, Perancis di satu sisi mungkin mencapai suk-
ses pada zaman Louis XIV yang mana pada masa itu tekanan terberat
yang terdapat dalam pola atau sistem hubungan internasional yang
bersifat perimbangan yang terletak di kawasan Eropa Tengah dan Barat
dan keunggulan seperti apa yang diperoleh oleh Perancis tahun 1919,
seharusnya memberikan kepada negara itu kemungkinan besar untuk
memantapkan hegemoninya di dunia. Namun setelah Russia menjadi
salah satu faktor terbesar dalam perimbangan kekuatan, Napoleon ha­
rus mengalami bahwa hegemoni atas benua Eropa tidak berarti banyak,
dengan hanya bersumber kepada Eropa Timur dan sebagian besar ter­
letak di Asia.

Kelemahan Politis

Berbagai kepentingan yang tersebar yang dianut oleh kekuatan


besar yang mengungguli prinsip-prinsip keadilan yang dibuat Liga
Bangsa-Bangsa (LBB) dengan berdasarkan kepada sifat status quo.

Institusi Utama Dalam Sistem Internasional 273


Pasca Perang Dunia Pertama (1921) keempat anggota permanen Liga
Bangsa-Bangsa (LBB) dalam Dewan Liga Bangsa-Bangsa (LBB) masih
dapat mengambil tindakan sesuai dengan masalah politik (pertikaian
politik) yang relatif penting seperti halnya dalam politik pembendungan
(contaiment policy) dalam bentuk pembendungan pulau-pulau
Aukland yang melibatkan Finlandia dan Swedia dan pemisahan Silesia
atas dan ini yang merupakan tulang perebutan antara Jerman dan
Polandia. Liga Bangsa-Bangsa (LBB) dalam konteks ini tidak banyak
berbuat yakni dengan cara atau upaya kolektif demi penyelesaian
perselisihan-perselisihan. Akan tetapi kendalanya terlihat dalam aspek
politik kekuatan besar lah yang memberikan angin kepada kondisi
yang saling berkontradiksi.

Pada saat Jerman masuk menjadi anggota Liga Bangsa-Bangsa


(LBB) 1952, ia menjalankan politik yang menggugurkan status quo
Perjanjian Perdamaian Versailles terutama dengan menggunakan
konsep/prinsip-prinsip penentuan sendiri nasib nasionalnya (self
determination of nations) sebagai dinamit untuk meruntuhkan dasar-
dasar status quo wilayah. Ternyata politik seperti itu bertentangan deng­
an politik yang dianut oleh Perancis dan Sekutu Timurnya yang pada
awalnya dilakukan secara sembunyi-sembunyi, lama kelamaan secara
terus terang menunjukkan keunggulan mereka masing-masing sebagai
negara-negara Besar di Eropa. Dengan alasan rasa kekhawatiran dan
takut pada revolusi Bolshevis, maka Jerman tetap menjalankan prinsip-
prinsip penentuan nasib sebagai bangsa sendiri, di samping seolah-
olah rasa takut terhadap imperialisme Russia yang sedang menceng-
keram kekuatan Barat sebagai senjata untuk memperkuat posisinya.

Italia, di pihak lain, manjalankan politik yang sama dengan gaya


Inggris Raya. Bagi Italia kembalinya Jerman dalam batas-batas tertentu,
sebagai salah satu cara memperlemah Perancis dan Sekutu-sekutunya
di Timur, seperti Yugoslavia. Italia menggunakan Jerman sebagaimana
Jerman menggunakan Russia (Uni Sovyet) dalam kerangka dominasi di
Laut Tengah. Akhirnya Jepang sejak Perjanjian Perdamaian Versailles

274 Studi Hubungan Internasional


tahun 1922, mulai mempersiapkan dirinya untuk saat di mana ia
dapat mendirikan hegemoninya di Timur Jauh (far east). Dengan cara
menohok Inggris Raya dan Amerika Serikat (AS) dari posisi mereka di
Timur Jauh dan segera setelah itu melangkah dengan "menutup pintu"
bagi Tiongkok. Langkah pertama Jepang untuk mendirikan kerajaan
Timur Jauhnya, dengan menyerbu Mansyuria tahun 1931, mau tidak
mau ia masuk ke dalam konflik dalam Perancis serta Inggris (anggota
utama Liga Bangsa-Bangsa).

Sebagai alat perlengkapan untuk tindakan-tindakan di atas nama


politik internasional, Liga Bangsa-Bangsa berakhir seiring dengan
meletusnya Perang Dunia Kedua. Kendatipun dikatakan bahwa banyak
sebenarnya kelemahan ataukah memang ketidakmampuan organisasi
ini melakukan terhadap perilaku anggota-anggotanya. Mungkin satu
hal, dikarenakan memang demikianlah menjadi karakter sebuah
organisasi internasional, tidak seketat sebuah organisasi negara
nasional yang memiliki pemerintahan tunggal (single authority).
Apakah mungkin disebabkan hal ini pula Liga Bangsa-Bangsa tidak
dapat memberhasilkan usaha-usaha ke arah pembatasan persenjataan
sebagaimana disebutkan dalam covenant 1933 yang sekaligus
memberikan peluang kepada Adolf Hitler mengundurkan diri dari Liga
Bangsa-Bangsa (LBB) ini.

Pada 3 Januari 1937, Amerika Serikat (AS) mengumumkan


netralitas negaranya. Dua puluh satu negara-negara tergabung dalam
pernyataan netral itu dan mendirikan apa yang disebut dengan sebuah
"security zone"di sekelilingkawasan Amerika. Pada pandangan hukum
internasional, gagasan netralitas tidak memiliki arti apa-apa. Russia
mendirikan negara protektorat atas Estonia, Latvia dan Lithuania dan
bulan November itu mengadakan invasi ke Finlandia tanpa justifikasi
kebijakan nasional. Pada April 1940,Jerman menginvasi Norwegiadan
satu bulan setelah itu, menyerang Belanda dan Belgia dan Polandia.
Namun sebelumnya 1939 antara Jerman dan Uni Soviet sepakat untuk
mendirikan suatu Pact of Neutrality and Non-aggresion.

Institusi Utama Dalam Sistem Internasional 275


Kemudian Uni Soviet menandatangani perjanjian yang sama
dengan Jepang. Sembilan hari setelah peristiwa itu, terjadilah serangan
Jerman atas Polandia. Dalam jangka waktu yang singkat pasukan darat
Uni Soviet (US) mendarat di Polandia Timur. Akibat lebih lanjut dari
tindakan Jerman tersebut, Inggris dan Perancis sama-sama menyatakan
perang dengan Jerman. Serangan-serangan Jerman atas Uni Soviet (US)
Juli 1941 secara mendadak mengubah pola hubungan antar-negara
dan sekaligus mengubah pula keikutsertaannya dalam perang yang
berkecamuk.

Sementara Perang Dunia Kedua berkecamuk, sekutu melalui


Persetujuan Atlantic Charter 14 Agustus 1941, dan The Moscow
Conference of Foreign Ministers 31 Oktober 1943. Dua buah
pertemuan Internasional sangat penting terutama dalam kaitannya
dengan rencana untuk mendirikan organisasi internasional yang
permanen: Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) adalah produk positif
Perang Dunia Kedua. Perserikatan Bangsa-Bangsa pula yang menjadi
eksperimen ke dua yang paling besar dari umat manusia dalam upaya
membentuk organisasi dunia (global) dengan tujuan untuk memelihara
perdamaian dunia dengan jalan mengelakkan peperangan dan
mempererat hubungan kerjasama antara negara-negara bangsa.

Meskipun jauh sebelumnya gagasan untuk membentuk organi­


sasi internasional yang sejenis dengan Liga Bangsa-Bangsa (LBB) su-
dah dilansir sejak tahun 1941 pada saat terjadinya pertemuan dari 14
negara-negara sekutu (Inggris, Kanada, Australia, Selandia Baru, Uni
Afrika Selatan, Yunani, Belgia, Ceko-Slovakia, Luxemburg, Nederland,
Norwegia, Polandia, Yugoslavia, dan Perancis), 12 Juni 1941, yang
mengeluarkan pernyataan antarsekutu yang berisi, bahwa satu-satu-
nya dasar perdamaian yang kekal dan sejati adalah kerjasama secara
sukarela dari semua bangsa-bangsa yang bebas tanpa adanya ancaman
dan paksaan, dengan kerjasama bangsa-bangsa menikamti jaminan-
jaminan keamanan sosial-ekonomi dan politik.

276 Studi Hubungan Internasional


Pada saat Perang Dunia Kedua sedang berlangsung, antara ne­
gara-negara sekutu sepakat dengan melalui Piagam Atlantika (Atlantic
Charter) tanggal 14 Agustus 1941 memproklamirkan kerjasama inter­
nasional yang ditandatangani presiden Amerika Serikat (AS) Ferdinand
Delano Roosevelt dan Perdana Menteri Inggris, Sir Winston Churchill,
menyetujui diberlakukannya sejumlah common principles yang me-
mungkinkan adanya kerjasama antara semua negara-negara dengan
berdasarkan prinsip-prinsip persamaan derajat dan saling hormat-
menghormati. Prinsip-prinsip Piagam Atlantik selanjutnya ditandaskan
kembali oleh sebanyak dua puluh enam (1 Januari 1942), Menteri Luar
Negeri Amerika Serikat (AS), Inggris, dan Russia, bertemu di Moscow
dan mengadopsi serangkaian pernyataan-pernyataan. Kesepakatan an­
tara negara-negara besar tersebut diwujudkan dalam bentuk prokla-
masi yang diberi judul , Declaration of The Moscow Conference of
Foreign Ministers atau disebut dengan Moscow Declaration yang
ditandatangani oleh empat negara besar yakni, Amerika Serikat (AS),
Inggris, Uni Soviet, Republik Rakyat China (RRC).

Dalam pernyataan Moscow itu dinyatakan bahwa "...the first of


whisch proclaim ed that they recognized the necessity of establishing
at the earliest practiceable date general international organization,
based on the principle of the sovereign equality of all peace-loving
states, and open to membership by all such states large and small,
for maintenance of peace and security" (Charles G, Fenwick, 1948,
25-26) Dalam pertemuan Moscow itu, pemerintah-pemerintah negara-
negara besar merancang dokumen bersama yang berisi antara Iain,
saran-saran tentang pembentukan organisasi internasional. Dokumen
ini selanjutnya dijadikan sebagai dasar dari pertemuan yang diadakan
di Dumbarton Okas, sebuah kota kecil di dekat ibukota Amerika Serikat
(AS), Washington DC, membuat sejumlah saran-saran "proposals for
the Establishment of general international organization", selanjutnya
diserahkan kepada para anggota untuk diperiksa atau diteliti lebih
lanjut.

Institusi Utam a Dalam Sistem Internasional 277


Setahun setelah pertemuan tiga negara besar itu, dilaksanakan
pula pertemuan di Yalta , atau lebih dikenai dengan sebutan Yalta
Conference pada Februari 1945 antara negara-negara Amerika Seri­
kat (AS), Inggris, dan Uni Soviet yang memutuskan untuk selanjutnya
mengundang sebanyak 50 negara guna membicarakan rancangan
kemungkinan-kemungkinan pembentukan suatu organisasi internasi­
onal yang berdasarkan saran-saran sementara (proposal) yang ditetap-
kan pada peertemuan Dumbarton Oaks itu. bertindak sebagai negara
sponsor termasuk Amerika Serikat (AS), Inggris, China dan Uni Soviet.
Konferensi yang diadakan untuk membicarakan saran-saran yang telah
disusun dalam pertemuan Dumberton Oaks dilanjutkan di San Fran­
sisco dari tanggal 25 April sampai dengan Juni 1945. Dalam konferensi
San Fransisco, yang kemudian berhasil menyusun Piagam Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) sesuai dengan proposal yang dibuat pada per­
temuan Dumberton Oaks dulu. Dan pada 24 Oktober 1945, kurang
lebih 50 negara bebas yang cinta damai membentuk organisasi inter­
nasional yang diberi nama Perserikatan Bangsa-Bangsa di atas sebuah
piagam yang bernama-."Charter of The United Nations " diakui dan
disahkan 26 Juni 1945 yang berisikan 111 pasal terbagi ke dalam 19
bab disertai dengan lampiran berupa Statuta Peradilan Internasional
(Statute of International Court of Justice), yang awalnya diambil dari
gagasan statuta Permanent Court of International Justice (ICJ), yang
disusun sebagai bagian yang tidak terpisahkan dengan Piagam Perseri­
katan Bangsa-Bangsa (PBB), maksud dan tujuan Perserikatan Bangsa-
Bangsa (PBB) terdapat dalam mukadimah (1 dan 2) Piagam. Untuk
mencapai tujuan yang dimaksudkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB) dilengkapi dengan badan-badan berikut, Majelis Umum (Gen­
eral Assembly), yang meliputi semua wakil-wakil negara-negara ang­
gota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Adapun tugas utama Majelis
Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (M U PBB) adalah, memajukan ker­
jasama internasional dalam bidang-bidang seperti ekonomi, budaya,
dan pendidikan. Sedangkan Dewan Keamanan (Security Council), ter-

278 Studi Hubungan Internasional


diri dari 5 anggota tetap (lima besar) yang memiliki hak veto (Amerika
Serikat (AS), Inggris, Cina Nasionalis, Perancis dan Uni Soviet (US) dan
ada 6 anggota tidak tetap dipilih selama 2 tahun sekali yang dipilih
oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (M UPBB). Dewan Ke­
amanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DKPBB) bertugas terutama di bi­
dang pemeliharaan perdamaian dan keamanan internasional. Dewan
Ekonomi dan Sosial (Economic and Social Council) ECOSOC-terdiri
dari anggota-anggotanya yang berjumlah 10 negara anggota yang di­
pilih oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (M U PBB) dalam
jangka waktu tiga tahun sekali. Tugas utama Dewan Ekonomi dan So­
sial Perserikatan Bangsa-Bangsa adalah, mengkoordinir aktifitas-akti-
fitas terhadap badan-badan khusus untuk memajukan pertumbuhan
ekonomi dan sosial serta kesejahteraan umum dan untuk mengawasi
pelaksanaan hak-hak asasi dan kebebasan fundamental manusia.

Dewan Perwalian Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations


of Trusteeship Council) yang beranggotakan negara-negara besar dan
negara-negara lainnya yang menurut wilayah-wilayah perwalian serta
negara-negara yang tidak turut mengurus wilayah perwalian itu dan
memberikan laporan dan nasihat kepada Majelis Umum Perserikatan
Bangsa-Bangsa (M U PBB) mengenai penyelenggaraan perwalian di
wilayah-wilayah perwalian. Mahkamah Internasional (International
Court of Justice) yang terdiri dari 15 hakim yang dipilih oleh Majelis
Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Dewan Kemanan Perserikatan
Bangsa-Bangsa, berkedudukan di Den Haag, Nederland. Terakhir
adalah Sekretariat, yang dikepalai oleh Sekretaris Jenderal Perserikatan
Bangsa-Bangsa (SJPBB) yang diangkat oleh Majelis Umum (MU) atas
saran-saran Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DKPBB).
Fungsi Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) adalah
sebagai seorang pamong praja internasional (International C ivil
Service).

Institusi Utama Dalam Sistem Internasional 279

t v ' i i i J K r - ..

UiN SUNAM KAlij Au A


7.2 SU M BER HUKUM INTERNASIONAL
7.2.1 Hukum Kebiasaan Internasional

Adapun yang diartikan dengan sebagai sumber-sumber hukum


internasional dalam buku ini adalah "...bahan-bahan aktual yang
digunakan oleh para ahli hukum internasional untuk menetapkan
hukum yang berlaku bagi situasi tertentu..." (J.G. Starke,1984, 31).
Pada umumnya diantara para ahli Hukum Internasional-hanya bicara
dan sumber hukum internasional yakni, kebiasaan intenasional,
konvensi atau traktat internasional. Sedangkan yang diartikan dengan
sumber hukum internasional juga digunakan oleh penulis-penulis di
bidang hukum internasional memiliki arti yang banyak sekaii.

Ada sebagian penulis yang menginterpretasikan terminologi


sumber itu ke dalam pengertian:

"...the causes of international law, that is the forces in


international relations that have led to the establhisment of the law,
the social and ecomic condition out of which the necessary of the
law has arisen. Others have regarded as sources of international law
certain historical facts, long-established usages and formal treaties,
which have appreaered to embodied the consent of particular nations
to be bound by a guven rule. Again, third group of writers have
interpreted the word sources as meaning the evidencesto existance of
certain rules, the declaration or pronouncement or official document
whisch indicate that nation have recognize and obligation to do or
not to do certain things. " (Charles C. Fenwick, 1984, 69)

Namun demikian, dalam hukum nasional (domestic law), tidak


mudah dibedakan antara sumber hukum dalam artian formal dengan
sumber hukum adalah artian material. Sumber hukum dalam artian
formal menunjukkan kepada mekanisme cara diciptakannya peraturan
perundang-undangan; sedangkan sumber hukum dalam artian
meterial, menunjuk kepada praktik-praktik hukum yang dihasilkan,
yang setelah disetujui badan legislatif, kemudian diundangkan dan

280 Studi Hubungan Internasional


sifatnya mengikat (Brownlie, 1979, 2). Dalam hukum internasional
tidak terlihat mekanisme penciptaan peraturan perundang-undangan
seperti biasanya dijumpai dalam hukum nasional, sehingga sumber
hukum dalam artian forma! tidak terdapat dalam hukum internasional.
Sebagai substitusi dalam hal ini diterapkan satu prinsip, bahwa
persetujuan antarnegara menciptakan aturan yang berlaku secara
umum. Maka dengan demikian, sulit kiranya untuk membedakan
antara sumber hukum dalam artian formal dengan sumber hukum
dalam artian materia!.

Sumber hukum dalam artian material dalam hukum internasi­


onal dapat dibedakan dalam konsensus antara negara-negara sebagai
aturan tertentu, seperti misalnya keputusan-keputusan Mahkamah in­
ternasional, Resolusi Majelis Umum PBB, dan perjanjian antara negara
yang mengikat negara-negara tertentu.

Dalam pasal 38 Piagam Mahkamah Internasional dikatakan bah­


wa Mahkamah berfungsi memutuskan perkara-perkara yang diajukan
kepadanya berdasarkan hukum internasional.

(a). Konvensi internasional yang bersifat umum atau khusus, aturan-


aturan yang diciptakan yang secara terang-terangan diakui negara-
negara yang bersangkutan.
(b) Kebiasaan Internasional, sebagai bukti dari praktik umum yang
dipraktikkan sebagai hokum.
(c) Asas-asas hukum umum, yang diakui oleh bangsa-bangsa
beradab.
(d) Sesuai dengan ketentuan pasal 59 Piagam Mahkamah Internasionai,
keputusan pengadilan dan ajaran-ajaran ahii-ahli hukum yang
sangat terkenal dari berbagai bangsa, sebagai sumber hukum
tambahan untuk membentuk aturan-aturan hukum.

Jika kita mengatakan bahwa kebiasaan sebagai salah satu sumber


hukum internasionai yangsampai abad 20-an, masih dianggap sebagai
sumber hukum internasional yang penting. Dan malahan, dapat
dikatakan bahwa sampai saat ini sebagian besar hukum internasional

Institusi Utama Dalam Sistem Internasionai 281


adalah merupakan hukum kebiasaan. Peraturan-peraturan ini pada
umunya telah menjalani proses historis yang panjang yang berpuncak
pada pengakuannya dari masyarakat internasional. Namun makna
Hukum Kebiasaan Internasional semakin kecil sebagai akibat yang
ditimbulkan oleh semakin banyaknya dan bertambahnya traktat-
traktatyang membentuk hukum (law making). Semakin ajaib lagi sejak
pertengahan abad lalu, hasil pekerjaan Komisi Hukum Internasional
dalam mengondifikasikan dan menyatakan bahwa prosedur hukum
kebiasaan internasional dalam bentuk berbagai traktat, seperti konvensi
Genewa 29 April 1958 tentang hukum laut lepas, Konvensi W ina 18
April 1961, 24 April 1963, dan 22 Mei 1969 yang masing-masing
tentang hubungan diplomatik, hubungan konsuler dan hukum traktat.

Terminologi "kebiasaan" (custom) dan "adat istiadat" (usages)


sering digunakan secara bergantian. Namun di antara ke duanya
terdapat perbedaan teknis. Adat istiadat biasanya mendahului
kebiasaan. Kebiasaan, mulai muncul mana kala adat istiadat berhenti.
Adat istiadat sebagai suatu kebiasaan perilaku dalam konstelasi
internasional, yang belum diterima sebagai suatu norma hukum,
sedangkan kebiasaan paling tidak harus diunifikasikan. Namun dalam
hubungan ini, kebiasaan merupakan ciri peraturan hukum internasional
sejak dari dahulu hingga sampai saat ini. Masa Yunani Kuno, hukum
perang dan damai lahir dari adat istiadat yang bersifat umum yang
dipatuhi oleh negara-negara kota di Yunani Kuno. Dan pada akhirnya,
Hukum Kebiasaan ini terkristalisasikan melalui proses generalisasi dan
unifikasi sebagai adat istiadat, kebiasaan dari masing-masing republik
kota.

Dengan proses yang sama dapat kita jumpai diantara negara-


negara Italia kecil pada abad pertengahan. Dari proses semacam itu
akhirnya berkembang menjadi satu peraturan hukum internasional
yang melintasi kontak-kontak antarnegara. Kontak-kontak antarnegara
tadi, biasanya bermuatan politik internasional yang dikenal, juga
sebagai sumber yang pada umumnya diakui berasal dari tiga sumber

282 Studi Hubungan Internasional


yakni kebiasaan, prinsip-prinsip hukum yang umumnya diterima oleh
negara-negara beradab dan perjanjian-perjanjian internasional.

Hukum Kebiasaan Internasional yang telah terkristalisasi dalam


adat istiadat (dalam praktiknya) dilihat dari lingkungan hubungan
antarnegara (hubungan diplomatik antarnegara) dapat kita lihat
dalam contoh kasus yang berkenaan dengan hak-hak istimewa dan
kekebalan diplomatik pada umumnya dapat diterima sebagai suatu
kebiasaan dalam praktik hubungan internasional dengan tujuan demi
memberikan perlindungan kepada para diplomat di atas aturan-aturan
hukum (rules for protecting the diplomat). Dalam praktiknya, akhirnya
menjadi formula hukum internasional dengan melalui suatu kebiasaan-
kebiasaan (customs) yang selanjutnya diperkuat oleh perjanjian-
perjanjian (treaties) tahun 1961: The Vienna Convention on Diplom atic
Relations, yang dirancang untuk memberikan perlindungan hukum
atas para diplomat pada umumnya.

Aturan-aturan hukum yang memberikan perlindungan-perlin-


dungan terhadap praktik-praktik diplomasi yang berkaitan erat dengan
statusnya yang istimewa dan dengan kekebalan diplomatiknya itu ter-
kadang demikian kompleks (rumit) sebagaimana halnya kebanyakan
hukum-hukum internasional lainnya, sangat menarik kiranya ditampil-
kan sebagai ilustrasi untuk lebih memperjelas uraian ini.

Ketika terjadi peristiwa penyanderaan terhadap diplomat


Amerika Serikat (The Seizure of The United States Embassy Personel) di
Taheran, November 1979. Bagi pandangan Barat, bahwa pelanggaran
dan penyanderaan terhadap kedutaan besar Amerika Serikat (AS)
itu dilihat sebagai suatu tindakan pelanggaran terhadap Hukum
Internasional (HI). Namun demikian, pada awalnya pemerintah Iran
menuntut bahwa yang melakukan penyanderaan pada Duta Besar
Amerika Serikat (AS) itu adalah para mahasiswa. Dan pemerintahan
Iran akan bertanggung jawab atas peristiwa penahanan itu.

Sementara itu berbagai upaya dilakukan (negosiasi dengan


pemerintah Amerika Serikat (AS) dan Iran, embargo di bidang ekonomi,

Institusi Utama Dalam Sistem Internasional 283


dan sebagainya. Amerika Serikat (AS) menyerahkan masalah ini kepada
Mahkamah Internasional (International Court of justice). Mahkamah
Internasional menyetujui dan menyatakan bahwa Iran betul-betul
teiah melakukan pelanggaran terhadap hukum internasional. Namun
tidak ada sesuatu kekuatan hukum pun yang bisa memperkuat agar
Iran tunduk dan sekaligus dapat melepaskan sanderanya dengan
suatu keputusan. Namun suatu indikasi kepada kita yang sebetulnya,
Iran tidak secara total menekankan pada masalah internasional itu,
melainkan mereka lebih memusatkan perhatiannya kepada masalah
dalam negeri Iran sendiri di mana pihak Amerika Serikat (AS) dalam hal
ini para diplomat telah melakukan tindakan mata-mata dan manipulasi
kepentingan dalam negeri Iran, dan gedung kedutaan besar Amerika
Serikat (AS) dijadikan markasnya.

Oleh sebab itu dalam kasus penyanderaan dan penahanan


terhadap para diplomat Amerika Serikat di Iran itu semata-mata dapat
dikatakan suatu tindakan balas dendam dalam hubungan antardua
negara (justifiable retaliation). Maka dalam kaitannya dengan nilai-
nilai hukum internasional dihadapkan dengan kasus penyanderaan dan
penahanan atas para diplomat Amerika Serikatdi Iran ini, menunjukkan
hukum internasional itu memiliki keterbatasan-keterbatasan tertentu
dan kesemuanya itu juga tergantung kepada sikap dan perilaku aktor
yang ikut bermain di dalamnya. Permasalahannya, barangkali kembali
kepada daya ikat dan paksa yang ada dalam hukum internasional itu
sendiri sehingga, negara-negara yang memang melanggar ketentuan-
ketentuan hukum yang diberlakukan, dapat mempersempit ruang
geraknya. Jadi dengan demikian, yang diperlukan di sini adalah
instrumen dan bentuk-bentuk sanksi pelanggar hukum itu tegas dan
jelas.

7.2.2 Perjanjian Internasional (Traktat)

Traktat (perjanjian-perjanjian) merupakan sumber hukum


internasional yang ke dua, yang cukup penting terutama dalam
kaitannya dengan praktik-praktik hubungan internasional (hubungan

284 Studi Hubungan Internasional


antarnegara). Bertolak belakang dengan sumber hukum internasional
yang berupa prinsip-prinsip umum hukum dan hukum kebiasaan
internasional, maka traktat diakui sebagai sumber hukum internasional
yang sangat penting (dominate importance). Namun demikian, yang
perlu dicatat, bahwa perjanjian-perjanjian (treaties) yang menjadi
sumber hukum internasional dapat berfungsi jikalau sudah mendapat
pengakuan/dipakai oleh badan-badan atau bangsa-bangsa sebagai
suatu badan (lembaga). Misalnya, contoh perjanjian antardua negara
secara individual, adalah hukum yangdiberlakukan bagi kedua peserta
(negara-negara) saja (law as between the parties) dan belum tentu
dapat mengikat ketentuan yang berlaku sebagaimana isi perjanjian itu
(antara dua negara) terhadap negara-negara lainnya (no obligation on
the part of other states).

Kasus seperti ini dapat disebut sebagai tindakan yang bersifat


kontrak antara dua peserta (contract between two parties). Ataupun
tidak jauh bedanya dengan kontrak antara seorang warga negara
dengan sesamanya atas hukum yang berlaku setempat (under
municipal law). Berbeda misalnya dengan bilateral agreements yang
ikut serta di dalamnya semua negara-negara di dunia, seperti dalam
kasus perjanjian ekstradisi. Maka yang menjadi pertanyaan: apakah
perjanjian-perjanjian (traktat) membentuk hukum internasional?
Jawabannya, tergantung kepada substansi perjanjian itu sendiri.
artinya, dapat membedakan mana pengertian yang terkandung dalam
terminologi kontrak dan traktat seperti yang dicontohkandi atas. Namun
demikian kendatipun terdapat perbedaan, terletak dalam karakternya,
di mana terminologi traktat, sering disebut sebagai law making treaties
(yang membentuk hukum), yang menetapkan hukum bagi negara-
negara, atau sekelompok negara, baik yang kecil maupun negara
yang besar sebagai peserta di dalamnya aktif untuk memperjuangkan
kepentingan-kepentingan umum mereka. Atau dengan perkataan
lain, hukum ini dipergunakan secara universal bagi semua peserta.
Contoh perjanjian perdamaian Westphalia 1648, didasarkan kepada
sistem modern negara-negara berdaulat; Kongres Wina, yang berperan

Institusi Utam a Dalam Sistem Internasional 285


sebagai satu "great law making body" dan sejumlah persepakatan
misalnya internasionalisasi Sungai Rhine dan sistem klasifikasi para
pejabat diplomatik menjadi hukum bagi negara-negara di Eropa.

Sementara dalam pengertian yang dikenakan bagi terminologi


kontrak dan perjanjian, misalnya traktat antara dua negara atau
beberapa negara saja mengenai hal tertentu secara khusus menyangkut
negara-negara tersebut. Traktat yang dapat "membentuk hukum" (law
making treaties) merupakan sumber langsung hukum internasional.
Sedangkan "kontrak" dan "traktat" (treaty contracts) menetapkan
kewajiban-kewajiban yang hanya berlaku bagi para peserta traktat
tersebut.

Traktat yang "membentuk hukum" pada hakikatnya tidak


selamanya mengandung nilai-nilai hukum internasional yang dapat
diterapkan secara universal. Kita hanya mengakui dua macam traktat
vaitu: (1) traktat yang membentuk hukum yang berisi peraturan-
peraturan mengenai hukum internasional secara universal, misalnya
Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB); (2) traktat yang menetapkan
peraturan-peraturan yang benar-benar bersifat umum. Berbeda
dengan traktat yang membentuk hukum, traktat dengan kontrak bukan
merupakan sumber hukum internasional secara langsung, akan tetapi
traktat dengan kontrak merupakan hukum khusus bagi para peserta
yang manandatanganinya. Maka oleh karena itu dalam pasal 38 ayat
1.a Statuta Mahkamah Internasional (Ml) menggunakan istilah konvensi
"khusus" (particular convention), atau juga bisa disebut juga dengan
istilah protokoler atau sebuah agreement.

Soal lain yang berkenaan dengan masalah sumber hukum


internasional yang dalam hal ini adalah traktat, adalah bagaimanakah
sebuah traktat menjadi hukum yang mengikat (binding law)? Untuk itu
David W . Ziegler (1984, 154-155) membuatnya ke dalam tiga langkah.
Sebagai contohnya terdapat di dalam non-proliferation Treaty 1968.
Sebagai langkah pertama, dengan ditandatanganinya sebuah naskah
yang telah ditentukan (signature) maka tindakan seperti ini tidak lebih

286 Studi Hubungan Internasional


dari sebuah persepakatan/persetujuan/perjanjian daiam bentuknya
yang tertulis (agreement on wording). Adapun yang terpenting disini
adalah bukti tertulisnya itu, kendati arti tanda tangan itu sendiri tidak
mengikat sebuah negara.

Langkah yang ke dua, dengan melakukan ratifikasi yang berarti,


bahwa sebuah traktat, dapat dianggap mengikat sejauh isi perjanjian
tersebut telah mendapat ratifikasi. Masing-masing negara memiliki
prosedurnya sendiri untuk meratifikasi dokumen perjanjian tersebut.
Dan sebagai langkah yang ke tiga, deposito yang biasanya diiringi oleh
publikasi atau didaftarkan dalam bentuk dokumen.

Merupakan satu kelemahan dari hukum internasional adalah


ketidakadaannya suatu badan yang berkompeten yang kuat untuk
mengikat sebuah atau beberapa negara dalam bentuk perjanjian-
perjanjian. Artinya, sebuah badan yang berfungsi sebagai badan
legislator atau sebagai badan pembuat peraturan dan hasil keputusan
yang dibuat tersebut dapat mengikat negara-negara pesertanya. Akan
tetapidalamsudutpandanghukum internasional, masalah inisenantiasa
didasarkan kepada sebuah "consent"(persetujuan, persepakatan dari
negara-negara, bahwa mereka dapat menerimanya sebagai prinsip
dan aturan-aturan hukum. Sebuah aturan dapat berubah menjadi
suatu hukum atau peraturan, apabila "it was accepted as having
binding force between the parties... in respect to formal treaties and
conventions; for the obviously expressed the consent of the parties to
the agreement" (Charles G. Fenwick, 1984, 30).

Hampir semua hukum perjanjian internasional, yang mendapat


pengakuan negara-negara atau bangsa-bangsa beradab, terdapat dalam
berbagai bentuk dan jenisnya. Perjanjian Internasional, sekurang-
kurangnya sudah dapat menghasilkan atau menciptakan aturan-aturan
atas hukum yang diharapkan dapat mengatur hubungan antarnegara.
Namun sekedar ilustrasi, di bawah bagian ini diberikan beberapa
contoh tentang perjanjian-perjanjian internasional dalam kerangka
sumber-sumber hukum internasional.

Institusi Utama Dalam Sistem Internasional 287


1. Perjanjian Hubungan Diplomatik dan Konsuler:
a) Vienna Convention on Diplomatic Relations and Optional
Protocols, 1961.
b) Vienna Convention on Consular Relations an Optional
Protocols, 1963.
c) New York Covention on Special Missions and Optional
Protocols, 1969.
d) New York Convention on The Prevention and Punishment of
Crimes Against Internationally Protected Persons, Including
Diplomatic Agents, 1973.
e) Vienna Convention on the Representation of States in Their
relations With International Organization of Universal
Character, 1975.
f) International Convention Against The Taking of Hastages ,
New York, 1979.

2. Pengaturan Tentang Perjanjian Internasional, dalam;


a) Vienna Convention on Law Treaties , 1969.
b) Vienna Convention on Succesion of States in Respect of
Treaties, 1978.
c) Vienna Convention on Law of Treaties Between States
and International Organizations or Between International
Organizations, 1986.

3. Pengaturan Dalam Bidang Laut, diatur dalam;


a) Law of The Sea Convention, 1958.
b) Law O f The Sea Convention, 1982.

4. Konvensi Tentang Ruang Udara dan Angkasa, yakni;


a) Paris Convention on 1919 for The Regulationof Aerial
Navigation.
b) Havana Convention of 1928 in Commercial Aviation.
c) Warsaw Convention for The Unification of The Certain Rules
Relations to International Carriage by Air, 1929.
d) Chicago Convention on International Civil Aviation, 1944.

288 Studi Hubungan Internasional


e) International A ir Service Transit Agreement, Chicago, 1944.
f) International A ir Transport Agreement, Chicago, 1944.
g) Geneva Convention on The International Recognition of
Rights in Air Craft, 1948.
h) Rome Convention on Damage Caused by Foreign Air Craft to
Third Parties in Surfaces, 1952.
i) Brussels Convention Relating to Cooperation for The Safety of
Air Navigation, 1970.
j) Tokyo Convention for The Supression of Unlawful Seizure of
Air Craft, 1970.
k) Montreal Convention For The Supression of Unlawful Acts
Against The Safety Of Civil Aviation, 1971.
I) The Nuclear Weapons Test Ban Treaty of 1963.
m) The Treaty on Principles Governing The Activities of States in
The Exploration and Uses Outer Space, Including Moon and
Other Celestial Bodies of 1967.
n) The Agreement on The Rescue Astronouts, The Return of
Astronouts, And The Object Launched Into Outer Space of 1968.
o) The Convention on International Liability For Damage Caused
by Space Object of 1972.

7.2.3 Asas-asas Hukum Umum

Di samping perjanjian antarnegara dan kebiasaan internasional,


pasal 38 Piagam Mahkamah Internasional menyebutkan bahwa asas-
asas hukum umum yang diakui oleh negara-negara atau bangsa-bangsa
yang beradab sebagai sumber hukum internasional. Brierly (1985, 62)
mengatakan bahwa asas-asas hukum umum, memiliki spektrum yang
sangat luas meliputi asas-asas hukum perdata yang diterapkan oleh
pengadilan nasional yang selanjutnya digunakan untuk kasus-kasus
hubungan internasional. Asas-asas hukum umum ini digunakan oleh
mahkamah, apabila sumber-sumber utama hukum internasional tidak
mencukupi untuk dijadikan sebagai landasan hukum bagi putusan
Mahkamah Internasional.

Institusi Utama Dalam Sistem Internasional 289


Amstutz (1982, 416), yang mengatakan bahwa prinsip-prinsip
umum internasional yangditerima sebagai sumberhukum internasional
di mana terdapat juga aturan-aturan mengenai moral, misalnya "as the
establishment of morals standards of human dignity, the abolitions of
the slave trade, the rights to wage war for just morals ends". Asas-asas
hukum ini juga dimaksudkan sebagai prosedur sebagaimana dalam
pacta sunt servada dan rebus sic standibus.

7.2.4 Keputusan Pengadilan

Pasal 38 dari Piagam Mahkamah Internasional yang menyatakan


bahwa Keputusan-keputusan Pengadilan merupakan sumber Hukum
Internasional (HI) Tambahan untuk menentukan aturan hukum.
Namun, satu-satunya mahkamah permanen yang memiliki yurisdiksi
umum adalah Mahkamah Internasional (Ml) yang tahun 1946
menggantikan Mahkamah Internasional (Ml) Permanen yangdibentuk
tahun 1921 mahkamah ini bertugas menuntut Piagam Perserikatan
Bangsa-Bangsa yang berisi ketentuan-ketentuan organik persis sama
dengan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Piagam Mahkamah
Internasional Permanen.

Selama periode tahun 1921-1940, Mahkamah Internasional


Permanen telah memberikan kontribusinya terhadap pertimbangan-
pertimbangan dan nasihat-nasihat umum tentang masalah internasional,
perkembangan yurisprudensi internasional. Menurut pasal 59
Piagam Mahkamah Internasional, keputusan-keputusan Mahkamah
Internasional (Ml) "tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat
kecuali bagi para pihak dan mengenai hal yang khusus itu". Artinya,
piagam ini diperdebatkan oleh para ahli hukum yang terlibat dalam
panitia Penyusunan Piagam Mahkamah Internasional dan selanjutnya
menyatakan prinsip-prinsip 'res-judicata'. Contohnya International
Court of Justice The European Economic Community.

290 Studi Hubungan Internasional


7.2.5 Karya-karya Hukum (Jurisdictive Work)

Tulisan para ahli hukum sangat terkenal dari berbagai bangsa/


negara, disebut dalam pasal 38 dari Piagam Mahkamah Internasional
sebagai sumber Hukum Internasional (HI). Tambahan untuk menentu-
kan hukum. Oleh karena itu karya-karya hukum bukanlah sumber hu­
kum yang berdiri sendiri kendatipun sering muncul berbagai pendapat
yang dikeluarkan dalam karya-karya tersebut mengarah pada pem­
bentukan Hukum Internasional (HI) (j.G. Starke, 1989, 46). Namun
demikian paling tidak dari hasil karya mereka ini telah memberikan
kontribusi terhadap Hukum Internasional. Hugo de Grotius (1583-
1645), diakui sebagai Bapak Hukum Internasional; dan diakui pula
sebagai kontributor yang paling besar pula dalam kerangka menegak-
kan prinsip-prinsip Hukum Internasional (HI), seperti misalnya "notion
of diplomatic immunity, the principles of the extra teritoriality, the
rights of the non combantants in war". Dan juga termasuk karya-karya,
Samuel Papendorf dalam bukunya yang berjudul, The Law of Nature
and of Nations (1672), Cornelius Van Bynkershoek, Forum O f Am­
bassadors (1721), Question O f Public Law (1737), Emirich de Vattel,
dalam bukunya yang berjudul, The Law of Nations, 1758.

7.3 SUBJEK HUKUM INTERNASIONAL


7.3.1 Negara

Hukum Internasional (HI) terutama berkenaan dengan hak-hak


dan kewajiban dan kepentingan-kepentingan negara-negara dalam
hubungannya dengan negara-negara lain pada dataran sistem internasi­
onal. Dan pada umumnya, peraturan-peraturan pada hukum internasi­
onal adalah peraturan-peraturan yang harus ditaati oleh negara-negara,
dan dengan segala cara yang sama traktat mengenakan kewajiban-
kewajiban yang hanya mengikat negara-negara yang ikut menanda-
tanganinya. Argumentasi ini bukan hendak mengatakan bahwa tidak
ada lagi kelompok-kelompok lain, yang menurut hukum, dapat dima-
sukkan dalam kategori sebagai subjek hukum internasional.

Institusi Utama Dalam Sistem Internasional 291


Secara tradisional, serta menurut teori-teori yang berlaku, hu­
kum internasional memandang negara (sta te ) sebagai subjek utama
dari hukum internasional. Dengan demikian Negara lah sebagai
pengembang hak dan kewajiban internasional, mempunyai hak un­
tuk mengikatkan diri dalam satu perjanjian internasional, mengajukan
tuntutan-tuntutan apabila terjadi suatu pelanggaran terhadap suatu
perjanjian internasional, sebagai pihak penggugat atau tergugat di de­
pan Mahkamah Internasional (Ml), serta menikmati hak-hak khusus
(privilage) dan kekebalan diplomatik (Anwar, 1989, 26).

Negara-negara dengan melalui pemerintahannya, yang diakui


dan dianggap sebagai subjek Hukum Internasional yang utama (par-
exellence) terutama dalam kerangka hubungan antara negara. Akan
tetapi, disebabkan tuntutan sejarah, untuk memenuhi kebutuhan negara
yang tidak bisa dicapai secara individual, maka muncullah subjek-
subjek hukum yang baru yakni Organisasi-organisasi Internasional
(Ol). Kemudian, di dalam perkembangan lebih lanjut, diakui pula
sebagai subjek Hukum Internasional (HI), Individu-individu, sertaKe
satuan-kesatuan yang bukan negara (non state entity) asalkan hak
dan kewajiban mereka menjadi tanggung jawab masyarakat dunia
internasional.

Negara, telah menjadi aktor utama (par-exellence) dalam sistem


internasional. Negara, bagi pandangan hukum internasional dijadikan
sebagai subjek Hukum Internasional yang terutama, yang pertama. Se-
bab, dalam kenyataannnya nenunjukkan bahwa yang pertama-tama
mengadakan hubungan internasional adalah negara itu sendiri. Ada-
pun aturan-aturan yang disediakan oleh masyarakat internasional,
dapatlah dipastikan berupa aturan-aturan tentang perilaku negara
dalam hubungannya dengan negara-negara lain dalam wacana sistem
internasional.

Hal ini sudah terlihat sejak usainya Perang Dunia Kedua, per-
cepatan pertumbuhan negara-negara baru sebagai anggota masyara­
kat internasional, meningkat secara tajam. Oleh karena itu dalam

292 Studi Hubungan Internasional


kedudukannya sebagai pelaku (aktor) dan subjek dalam politik dar
hukum internasional, maka tentunya negara merupakan suatu entita;
legal atau negara sebagai legal abstraction. Melalui pemerintahannya
negara di anggap sebagai wakil yang diberikan status legal demikian
sebagai pemegang mandat dalam konteks suatu perjanjian-perjanjiar
kerjasama antara Organisasi-organisasi Internasional (Ol).

Sebagai suatu entitas legal atau sebagaiKe satuan politik dalarr


hukum internasional tadi, negara harus memiliki kriteria-kriteria atai
unsur-unsur tertentu. Hal ini ditentukan dalam Konferensi Pan-Amerita
dari tahun 1933 di kota Montevideo. Konferensi Pan-Amerika in
menghasilkan "konvensi mengenai hak-hak dan kewajiban-kewajibar
negara" (Rights and Duties of States), atau yang lebih lazim disebu
sebagai Konvensi Montevideo. Dalam pasal (1) Konvensi Montevidec
1933: Hak dan Kewajiban negara, dicantumkan beberapa kriteria di
mana:

Negara sebagai suatu pribadi Hukum Internasional seharusnya


memiliki kualifikasi: (a) penduduk yang permanen; (b) wilayah ter­
tentu-, (c) Pemerintah; (d) kemampuan untuk berhubungan dengan
negara-negara lain.

Negara yang diartikan sesuai dengan kriteria atau atribut-atribut


yang harus dimiliki oleh suatu negara, pandangan ini berasal dari
aliran pemikiran hukum internasional positivisme. Negara lah yang
merupakan pengertian pokok (doktrin maupun hukum internasional
praktis) yang merupakan unsur-unsur "konstitutif" dari sebuah negara
itu.

Namun belakangan, timbul persoalan baru, bahwa eksistensi


sebuah negara ditentukan oleh adanya "pengakuan" (recognition)
kepada negara-negara yang baru itu ataupun dengan perubahan
status lainnya dari negara-negara lain. Dalam waktu tertentu, akan
dihadapi permasalahan ini oleh negara-negara lain terutama terutama
dalam hubungan diplomatik dengan negara-negara atau pemerintah
yang hendak diakui itu dipertahankan. Bagi pandangan Hukum

Institusi Utama Dalam Sistem Internasional 293


Internasional, masalah pengakuan ini belum dapat ditampilkan
sebagai suatu himpunan kaidah-kaidah hukum atau prinsip-prinsip
yang memiliki batasan-batasan yang tegas dan jelas.

Ada dua perspektif teoritik yang sal ingbertentangan dalam rangka


mengemukakan pendapatnya mengenai pengakuan ini. Pertama,
merupakan teori yang paling keras jika dipandang dari sudut hukum,
yang disebut sebagai teori pengakuan konstitutif (constitutive theory
of recognition). Menurut teori ini, negara ataupun pemerintahan yang
baru, yang sebelumnya sudah diakui sebagai sebuah negara secara
legal, belum dapat dikatakan eksis, sebelum mendapat pengakuan dari
negara lain. Suatu masalah besar yang dihadapi oleh teori ini adalah,
■^bagaimana dapat menentukan kelahiran negara secara legal tadi?

Ke dua, dalam teori ini tampaknya lebih bersikap politis dan


teori ini disebut teori pengakuan deklaratif (declarative theory of
recognition). Menurut teori ini, suatu negara atau pemerintah yang
baru bisa dianggap eksis, dengan melalui penerapan "pengujian
yang objektif" (seperti kemampuan pemerintah untuk memelihara
dan mengontrol penduduknya), tanpa menghiraukan apakah negara-
negara lain akan mengakuinya. Pengakuan sebagai suatu tindakan
yang benar-benar bersifat politis apabila pemerintah atau negara (A)
misalnya mengumumkan (memproklamirkan) maksud dan tujuannya
untuk melembagakan dan mengadakan hubungan (kontrak) diplomatik
secara formal dengan negara atau pemerintah negara (B).

7.3.2 Organisasi Internasional


Organisasi-organisasi Internasional atau Lembaga-lembaga
Internasional, beserta organ-organnya, diakui sebagai Subjek Hukum
Internasional dengan berdasarkan kepada "advisory of opinion
international Court of Justice", mengenai status Perserikatan Bangsa-
Bangsa (PBB). Dalam masalah ini di samping negara, maka Organisasi
Internasional (Ol) pun dapat menjadi subjek Hukum Internasional
(HI). Sebagai suatu Organisasi Internasional (Ol) menurut pandangan

294 Studi Hubungan Internasional


Mahkamah Internasional (Ml), Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)
adalah Subjek Hukum Internasional dan mempunyai kemampuan
untuk melaksanakan hak-hak dan kewajiban internasional. Mamka
dengan demikian, terbukti dalam praktik politik internasional, dewasa
ini bahwa bukan hanya negara saja yang dapat menjadi subjek hukum
internasional. Lembaga-lembaga Internasional dan organ-organ
internasional seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), telah didirikan
dengan berdasarkan pada konvensi internasional yang mengatur
kewajiban dan fungsi lembaga dan organ-organ tersebut. Misalnya,
Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan Konstitusi Internasional
Labour Organization (ILO). Demikian pula dengan Badan-Badan
Khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa (The United Nations of Special
Agency) merupakan Subjek Hukum Internasional. Badan-badan
khusus PBB tersebut diantaranya:

1. ITU (International Telecomunications Union)


2. UP (Universal Postal Union)
3. ILO (International Labour Organization)
4. FAO (Food and Agriculture Organization)
5. UNESCO (United Nations Educations Scientific and Cultural
Organization)
6. ICAO (International C ivil Aviation Organization)
7. IBRD (International Bank for Reconstruction dan Development)
8. IFC (International Finance Corporation)
9. W M O (W orld Meteorological Organization)
10. IM CO (Inter-Covernmental Maritime Consultative Organization)
11. IRO (International Refuges Organization)'
12. IMF (International Monetary Funds)
13. IDA (International Development Association)

Maka dengan demikian, Organisasi Internasional (Ol) akan


memiliki hak dan kewajiban internasional serta kapasitas untuk me-
ngajukan tuntunan internasional sebagaimana layaknya sebuah nega­
ra, ditentukan ole suatu negara. Sedangkan organisasi-organisasi inter-

Institusi Utam a Dalam Sistem Internasional 295


nasional ditentukan oleh sekumpulan peraturan yang dapat dilukiskan
sebagai hukum konstitusional internasional.

Kedudukan Organisai Internasional (Ol) sebagai Subjek Hu­


kum Internasional dimaksudkan adalah Organisasi-organisasi Interna­
sional (Ol) yang dihasilkan dari traktat-traktat (perjanjian-perjanjian)
internasional yang dilakukan oleh negara-negara. Negara-negara yang
berdaulat ikut serta secara aktif dalam Organisasi-organisasi Interna­
sional dan kerjasama internasional. Kerjasama internasional maupun
kerjasama Regional yang diwujudkan dalam kerjasama internasional
tadi merupakan suatu fenomena yang tergolong tua dalam wacana se­
jarah hubungan internasional.

Dalam sejarah pertumbuhan dan perkembangannya, orang-


orang senantiasa mengaitkannya dengan konsepsi city-state system
pada masa Yunani Kuno. Dalam sistem ini dianggap sebagai cerminan
deskriptif bagi sebuah miniatur atas karakteristik pokok pilitik interna­
sional kontemporer. Deskripsi yang dibuat oleh Thucydides, dalam
bukunya yang berjudul Polopenesian W ar 431-404 SM, memberitahu-
kan kepada kita bahwa pada zamannya Yunani Kuno itu telah dilaku-
kanya suatu aktivitas-aktivitas yang berkenaan dengan bentuk-bentuk
negosiasi-negosiasi , aliansi-aliansi, aktivitas-aktivitas diplomatik.

Dalam konsepsi Negara Kota (city-state system) dalam perkem­


bangannya tersebut dijadikan sebagai suatu model yang pertama-tama
dalam universal general-purpose international organization, yang
dalam sejarahnya menunjukkan bahwa lahirnya konflik-konflik, per-
tikaian-pertikaian, perselisihan-perselisihan yang berskala internasion­
al, yang terbentuk ke dalam bentuk jenis dan formatnya pada akhirnya
dijadikan sebagai momentum atau titik tolak untuk memberikan akses
di dalam kerangka pembentukan kerjasama internasional, persekutu-
an-persekutuan atau organisasi-organisasi internasional. Atas pemben­
tukan organisasi-organisasi internasional ini senantiasa mencandera
perdamaian secara global.

296 Studi Hubungan Internasional


Perdamaian internasional sebagai resultance perang, pertikaian,
konflik-konflik, ternyata telah menjadi bahan pemikiran dari para filosof
ataupun orang-orang yang cinta damai yang pada gilirannya dijadikan
sebagai obsesi pembentukan organisasi-organisasi internasional yang
lebih konkrit. Dante Alighery dari Italia, pada abad 13; William Penn
pada abad 17; Abbe Saint Pierre, Jean Jaques Rousseau (1712-1776),
Immanuel Kant (1724-1804) dan Jeremy Bentham (1748-1832) pada
abad 18; dan Saint Simone, William Ladd, William Jay, Gustave
de Malinare, Johan Gasper Bluntshii dan James Lorimer pada abad
19, adalah orang-orang yang membangun pendekatan ide-ide bagi
internasional dunia (world government) dan perdamaian internasional
(World Peaceful). (Theodore A. Columbis & James H. Wolfe, 1981,
257-258).

Oleh karena itu pemikiran tentang berdirinya Organisasi Inter­


nasional (Ol) tidak terlepas dari hakikat manusia. hakikat manusia ter­
diri dari dua dimensi. Dimensi satu sebagai makhluk individual dan
dimensi yang lain sebagai makhluk sosial. Sebagai makhluk sosial,
manusia pada dasarnya memiliki stimulan untuk menjalin hubungan
dengan manusia-manusia lainnya tidak Iain adalah untuk memper-
tahankan dan mengejar kepentingan-kepentingannya atau untuk me-
menuhi kebutuhannya. Untuk dapat tercapai tujuan tersebut, maka
manusia tadi terdorong untuk bekerjasama dengan manusia lainnya
dalam bentuk organisasi-organisasi.

Dalam organisasi tadi, manusia mengelompokkan diri dan dalam


organisasi itu pulalah manusia tadi bertindak, melakukan interaksi.
Kegiatan interaksi ini saling bersesuaian dengan melalui tindakan
bersama untuk membangun sebuah organisasi yang menyerupai
struktur sosial. Dalam organisasi manusia tadi mengorganisasikan
dirinya karena didorong oleh fakta sosial. Manusia teridentifikasi ke
dalam organisasi yang dapat berbentuk apa yang disebut sebagai
negara, bangsa. Keberadaan sebuah negara atau bangsa dalam
konteks hubungannya dengan negara lain atau bangsa-bangsa lain,

Institusi Utam a Dalam Sistem Internasional 297


terakumulasi ke dalam apa yang dinamakan sebagai organisasi
internasional. Terbentuknya organisasi internasional ini diakui sebagai
pengejawantahan kepentingan, kebutuhan, kehendak manusia secara
lebih luas/global.

Fakta sosial yang memberikan gagasan terhadap pembentukan


organisasi-organisasi internasional. Ternyata fakta dan realitas yang
terjadi dalam masyarakat internasional (dunia) seperti perang, senan­
tiasa berkaitan dengan pengurangan, pencegahan atas perang dan
regulasinya telah pula dijadikan sebagai alasan dasar terbentuknya or­
ganisasi-organisasi internasional di sisi lain, sebagaimana yang pernah
diungkapkan oleh para filosof dan pemikir-pemikir lain yang concern
dengan masalah-masalah internasional.

Dalam sejarahnya telah nampak beberapa kelemahan-kelemahan


atau ketidakmampuan teknik-teknik tradisional terhadap kegiatan
diplomatik secara bilateral untuk memecahkan permasalahan yang
berskala besar yang berkenaan dengan dua kepentingan atau lebih
negara-negara menjadi jelas sebagai akibat pluralistik negara-negara
internasional. Dari kondisi seperti inilah kiranya embrio kegiatan
konferensi-konferensi internasional (international conference) yakni
adanya pertemuan-pertemuan atas wakil-wakil beberapa negara-negara
untuk membicarakan dan negosiasi terhadap masalah-masalah umum,
dengan melalui suatu ' ...conclusion of a multilateral treaty creating a
legal obligations for the contracting parties". (Guiseppe Schiavone,
1986,6) Format dari kegiatan seperti itu nampak pada muktamar
perdamaian Westphalia (1648) dan Final Act of the Congress of Vienna
(Juni 1815) sampai pada Perjanjian Perdamaian Versailles, untuk
mengakhiri Perang Dunia I, Neully (1919) dan Tranon (1920) yang
kesemuanya ini merupakan hasil konferensi-konferensi internasional.

Pasca Perang Napoleon 1815 sebagai awal terhadap konsep


perimbangan kekuasaan (balance of power) yang baru antara lima
negara besar (pentarchy) yang terdiri dari negara-negara austria,
Inggris, Perancis, Prussia dan Russia yang menunjuk kepada satu

298 Studi Hubungan Internasional


upaya bagi terjaminnya suatu kerangka perdamaian internasional
dan stabilitas internasional ke dalam suatu konstruksi yang bersifat
multilateral (multilaterla frame work). Dengan melalui Persekutuan
Suci ( H oly Alliance) yang diputuskan di Paris, September 1815, antara
negara-negara besar seperti Austria, Prussia dan Russia bekerjasama
dengan pemerintah-pemerintah Eropa lainnya dengan membuat suatu
perjanjian membangun suatu pemerintahan mereka sendiri yang
berdasarkan kepada prinsip-prinsip agama Kristen, diformulasikan
sebagai fathers of families yang digunakan dalam rangka konsultatif
dan mengatur pertemuan-pertemuan (congress system).

Dengan memanfaatkan sistem kongres (congress system) terlibat


dalam mekanisme pertumbuhan dan perkembangan organisasi-
organisasi internasional. Dengan inilah pula dapat dikatakan sistem
kongres, menjadi karakter dalam kerangka pertumbuhan organisasi-
organisasi internasional umumnya. Namun dalam perkembangan
selanjutnya, terjadi pergeseran atau bahkan perubahan yaitu dari
sistem kongres menjadi Concert of Europe sampai pada meletusnya
Perang Dunia Pertama, di mana peranan negara-negara besar yang
kesemuanya berada di Eropa dan ini mencerminkan corak seperti itu.
Dalam rangka aplikasi sistem ini mulai dari tahun 1850-an, lembaga-
lembaga administratif organisasi pemerintah (IGO's) maupun yang
Non-govermentalOrganizations (NGO's) mulai tumbuh dengan cepat.
Beratus-ratus perhimpunan-perhimpunan privat internasional ataupun
uni-uni didirikan pada akhir pertengahan abad 19 yang bergerak dengan
berbagai sektor, terutama bentuk organisasi antarpemerintah.

The European Commision for the Danube (1856) yang dianggap


telah memberikan kontribusi terhadap pentingnya fungsi administrasi
dan legislatif yang bertanggung jawab terhadap fungsi-fungsi sungai-
sungai di Eropa pada saat itu. Misalnya, Central Commisioan for the
Navigation of The Rhein (1815). Kemudian menyusul lagi berbagai
lembaga yang bersifat administratif, informatif dan konsultatif yang
termasuk dalam kategori yaitu, Geodetic Union (1864), International

Institusi Utam a Dalam Sistem Internasional 299


Telegraph (ITU), General Postal Union (1874) yang kemudian
berubah menjadi Universal Postal Union (UPU), Metric Union (1875),
International Meteorological Organization (1878), International
Railway Transport (1890), dan United International Bureau for the
Protection of Intelectual Povery (1893).

Di samping tentang budaya, ilmu pengetahuan, transportasi dan


komunikasi, kerjasama yang bersifat intergovernmental organization
telah berubah menjadi area-area yang sangat penting dalam kaitannya
dengan kerjasama dan konflik dalam hubungan antarnegara. Namun
demikian muncul perhatian terhadap masalah kesehatan dijawab
dengan mendirikan International Office of Public Health pada 1903
dan International Institute of Agriculture tahun 1905 dan pada akhirnya
ke dua organisasi internasional tersebut berubah menjadi World Health
Organization (W H O ) dan Food And Agricultural Organization (FAO).

a. Organisasi Internasional Liga Bangsa-Bangsa (LBB)


Liga Bangsa-Bangsa (League O f Nations) yang didirikan tahun
1919, bertujuan untuk meningkatkan kerjasama internasional dan
mencapai perdamaian dunia serta keamanan internasional. Berdirinya
organisasi internasional seperti Liga Bangsa-Bangsa ini, berkaitan
erat dengan rangakaian sejarah berdirinya organisasi-organisasi
internasional lainnya. Sebelum terbentuknya Liga Bangsa-Bangsa di
Eropa, telah nampak upaya-upaya ke arah bagaimana mengurangi
ketegangan yang diakibatkan oleh peertikaian negara-negara yang
terkadang masuk ke dalam suasana peperangan. Upaya-upaya tersebut
tampak dalam Himpunan Eropa tahun 1815 dan Konferensi Den Haag
tahun 1899 dan 1907.

Majelis Eropa (Mangone, 1945, 40-42, 48-60), dengan panjang


lebar menguraikan bagaimana usaha-usaha yang dilakukan dalam
rangka menjelang terbentuknya organisasi internasional (global) yang
terbentuk tahun 1815, yang pada prinsipnya terdiri dari rangkaian
pertemuan-pertemuan diplomatik yang diadakan sewaktu-waktu oleh

300 Studi Hubungan Internasional


negara-negara utama di Eropa. Kendatipun dari sisi lain, bahwa Majelis
Eropa ini tidak mampu untuk membentuk arus terjadinya kemelut
perang Rusia dan Turki tahun 1877. Badan ini berhasil dalam Kongres
Berlin 1878 untuk mencegah perang lebih parah lagi di luar pihak
yang berperang.

Majelis Eropa ini dalam rangka misinya untuk membangun


kerangka organisasi internasional yang permanen, dapat dikatakan
ia malah sebagai organisasi internasional cara kerja yang dilakukan
tampak lebih bersifat multilateral diplomatik. Hal ini terjadi dengan
memperhatikan berbagai kepentingan-kepentingan yang ada di Eropa
ada kesamaan dan persoalan-persoalan yang ada pun dapat dipecahkan
dengan pertimbangan kolektif serta mengahasilkan putusan atas
persetujuan bersama pula. Maka di sini mulai tampak kebutuhan akan
jalur-jalur diplomatik negosiasi-negosiasi yang bercorak multilateral.
Dengan berdirinya organisasi internasional Liga Bangsa-Bangsa (LBB)
dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menunjukkan bukti nyata atas
pola hubungan antarnegara selanjutnya.

Namun demikian, berdirinya Liga Bangsa-Bangsa (League of


Nations) tahun 1919 berkaitan dengan rangakaian sejarah berdirinya
dan pembentukan organisasi-organisasi internasional lainnya. Hal ini
terjadi karena bersamaan dnegan pengalaman traumatis perang dunia
pertama yang pada akhirnya menghasilkan terbentuknya organisasi
ini sebagian besar banyak dipengaruhi oleh pemikiran atau gagasan
yang dilontarkan oleh presiden Amerika Serikat Woodrow Wilson
yang dirancang untuk membantu kebutuhan akan suatu lembaga
internasional yang disusun atas dasar struktur formal dan asas-asas
normatif ideologis yang diharapkan dapat melindungi dan mencegah
timbulnya perang dunia.

Dalam rangka menjalankan tugasnya, Liga Bangsa-Bangsa


dilengkapi dengan organ-organ atau badan-badan yang disebut sebagai
'council' yang secara teratur mengadakan pertemuan-pertemuan

Institusi Utama Dalam Sistem Internasional 301


empat kali dalam setahun sesuai dengan kebutuhan. Selanjutnya ada
pula namanya Majelis Liga Bangsa-Bangsa (League Assembly) yang
mengadakan pertemuan satu kali dalam setahun. Lalu, satu badan lagi
namanya Sekretariat Liga Bangsa-Bangsa yang secara operasional badan
inilah yang bekerja. Dan yang paling akhir adalah Permanent Court
of International lustice (PCIJ). Anggota-anggotanya terdiri dari negara-
negara Eropa yang semula berjumlah 51 negara anggota. Liga Bangsa-
Bangsa yang dirancang untuk menjadi suatu lembaga Internasional
yang permanen dan berskala global, namun tidak berusia panjang
disebabkan oleh berbagai faktordan padaakhirnya kegagalannya untuk
mencegah perang dan konflik dalam hubungan antarnegara, terutama
setelah meletusnya Perang Dunia Kedua, selanjutnya menyusullah
dengan terbentuknya organisasi internasional yang baru, mirip dengan
Liga, adalah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

b. Organisasi Internasional Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)


Ada semacam komitmen diantara negara-negara besar untuk
mengakui seluruh jaringan kerja hubungan internasional pada pasca
Perang Dunia Kedua yang berdasarkan padanilai-nilai kesetiakawanan,
kerjasama dan kesempatan yang sama bagi semua bangsa-bangsa yang
sangat jelas terungkap pada permulaan tahun 1940-an atau sebelum
akhir Perang Dunia Kedua. Sebagai landasan berpikir mereka pada
saat itu bersumber dari prinsip-prinsip Piagam Atlantik 1941 dan Joint
Declaration of The United Nations 1942.

Dan sebagai permulaan November 1943, wakil-wakil dari 44


negara, yang tergabung dalam perserikatan, ditandatangani suatu per-
janjian bagi United Nations Relief and the Rehabilitation Adminis­
tration (UNRRA) untuk memberi bantuan kepada negara-negara yang
bebas dari dominasi kekuasaan Jerman. Antara Mei dan Juni 1943,
diadakan pertemuan yang berkaitan dengan masalah pangan dan per-
tanian yakni, United Nations Conference on Food and Agriculture di
Virginia, yang pada akhirnya nanti berubah menjadi Food and Agricul­
tural Organization (FAO).

302 Studi Hubungan Internasional


Inilah beberapa organisasi internasional yang sempat didirikan
sebelum berakhirnya Perang Dunia Kedua. Menjeiang berakhirnya
Perang Dunia Kedua, diadakanlah pertemuan di San Fransisco (Konfe-
rensi San Fransisco) atau yang sering disebut sebagai United Nations
Conference on International Organization antara April dan Juni 1945
yang diwakili oleh negara-negara yang jumlahnya 50 negara.

Suasana semakin bertambah lemahnya kedudukan Liga Bangsa-


Bangsa (LBB) dan seteiah menyaksikan malapetaka yang ditimbulkan
oleh Perang Dunia Kedua, negarawan-negarawan di dunia mulai
memikirkan jalan ke arah perdamaian melalui pembentukan organisasi
internasional. Maka berkaitan dengan hal tersebut, pada musim semi
tahun 1944, Amerika Serikat (AS) memprakarsai suatu pertemuan dan
mengundang Inggris, Cina dan Uni Soviet (US) untuk mnengirimkan
delegasinya dalam pertemuan yang diadakan di Dumbarton Oaks,
Washington, untuk membicarakan tentang masalah yang berkaitan
dengan pendahuluan bentuk dan corak organisasi dunia yang akan
datang. Pertemuan itu menghasilkan apa yang dinamakan sebagai
Dumbarton Oaks Proposals yang mendapat persetujuan dari empat
negara besar tersebut di atas.

Dalam pertemuan berikutnya yang diadakan di Yalta (Konferensi


Perdamaian Yalta) 4-5 Februari 1945 antara Delano Roosevelt,
Winston Churchill dan Stalin. Topik pembicaraan adalah berintikan
pada masalah upaya-upaya pembentukan organisasi internasional yang
permanen dan ditentukan juga bahwa United Nations Conference on
International Organization akan diadakan di San Fransisko 25 April
1945. Maka pada 5 Maret 1945, Amerika Serikat atas nama negara-
negara sponsor menyampaikan undangan untuk pertemuan pada
United Nations Conference on International Organization. Konferensi
dibuka tanggal 25 April 1945 di San Fransisko. Sejumlah 282 delegasi
yang mewakili berbagai negara hadir, diantaranya Eden dan Altee dari
Inggris, Bidault dan Paul Boncor dari Perancis, Moloto dari Russia,
dan Romulo dari Filipina. Dalam pertemuan itu diputuskan bahwa

Institusi Utam a Dalam Sistem Internasional 303


agenda telah membicarakan Dumbarton Oaks Proposals yang dengan
amandemen-amandemen dari beberapa delegasi.

Pada 26 Juni 1945, delegasi dari 50 negara menandatangani


Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan sekaligus dimufakati
dan memutuskan strukturdan mekanisme Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB). Badan-badan seperti, Dewan Keamanan (DK) akan bertanggung
jawab pada masalah-masalah perdamaian internasional dan keamanan.
Sementara Dewan Ekonomi dan Sosial (ECOSOC) bertanggung jawab
di bawah wewenang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa
(M U PBB) untuk meningkatkan dan membantu dan mengkoordinasikan
kerjasama di sektor ekonomi dan sosial.

Maka dengan demikian terbentuklah organisasi internasional


Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang berfungsi sebagai organisasi
internasional atau organisasi masyarakat bangsa-bangsa. Untuk melak-
sanakan tujuannya, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mempunyai
enam organ utama dan badan-badan khusus (specialized agencies) di
antaranya adalah sebagai berikut:

(1). The General Assembly (Majelis Umum)


(2). The Security Council (Dewan Keamanan)
(3). The Economic and Social Council
(4). The Trusteeship Council (Dewan Perwalian)
(5). The International Court of Justice (Mahkamah Internasional)
(6). The Secretariat

Dan badan-badan khusus yang dimaksudkan dalam Piagam


Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pasal 57 yang mengatakan bahwa
berbagai badan-badan khusus yang dibentuk melalui persetujuan
antarpemerintah di bidang ekonomi, sosial kebudayaan, pendidikan,
kesehatan, serta bidang-bidang yang berkaitan dengan hal-hal tersebut
di atas, ditempatkan ke dalam suatu kaitan dengan sistem Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB). Caranya sebagaimana yangdiatur dalam pasal 63
dari Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), yakni Dewan Ekonomi

304 Studi Hubungan Internasional


dan Sosia! Perserikatan Bangsa-Bangsa (ECOSOC) akan membua
perjanjian-perjanjian dengan badan khusus tersebut serta ditentukar
berapa lamanya badan khusus tersebut ditempatkan dalam sistem PBE
dan perjanjian-perjanjian tersebut harus mendapat persetujuan dari
Majelis Umum (MU). Dalam hal ini Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB;
mengadakan koordinasi secara keseluruhan terhadap Badan-badan
Khusus (specialized agencies) yang dilaksanakan oleh ECOSOC.
Adapun badan-badan khusus yang dibentuk sebelum dibentuknya
PBB, ITU, UPA dan HO, sedangkan setelah terbentuknya PBB adalah
FAO, ICAO, UNESCO, W M O , W H O , IBRD dan IMF (didirikan dengan
berdasarkan berbagai konferensi).

Sistem Organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)


Dalam sistem organisasional Perserikatan Bangsa-Bangsa mem-
perlihatkan bahwa dominasi negara-negara besar cukup menonjol
terutama dalam Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (The
United Nations Security Council). Hal ini berkaitan erat dengan kons-
telasi politik internsional yang sering terjadi yakni terhadap pemilikan
hak veto demi memperjuangkan kepentingan nasionalnya di forum
internasional misalnya dalam organisasi internasional Perserikatan
Bangsa-Bangsa ini. Demikianlah halnya dalam Majelis Umum
Perserikatan Bangsa-Bangsa (The United General Assembly) yang terdiri
dari wakil-wakil anggota tetap (member states equal representation).
Selanjutnya dalam Mahkamah Internasional (The United Nations
International Court of Justice) adalah bagian yang tidak terpisahkan
dari sistem organisasional Perserikatan Bangsa-Bangsa. Semua badan-
badan yang telah disebutkan itu dikoordinasikan oleh Sekretariat
Perserikatan Bangsa-Bangsa (The United Nations Secretariat) yang
memiliki staf-staf tetap dan dengan statusnya sebagai pegawai sipil.

Institusi Utam a Dalam Sistem Internasional 305


SISTEM ORGANISASIONAL
PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA
Dewan Perwalian Dewan Keamanan

Majelis Umum

Mahkamah Internasional Sekretariat

Dewan Ekonomi dan Sosial


(ECOSOC)

Gambar 7.1 Sistem Organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa


Dari badan-badan utama Perserikatan Bangsa-Bangsa (Majelis
Umum, Dewan Keamanan, Dewan Perwalian,Mahkamah Internasional,
Sekretariat dan Dewan Ekonomi dan Sosial), masih terbagi lagi ke
dalam berbagai macam badan-badan khusus (specialized agencies)
Perserikatan Bangsa-Bangsa sebagai berikut:

GENERAL ASSEMBLY
Terdiri dari:
a. United Nations Relief and Works Agency for Palestina Refuges in
the Near East (UN RW A).
b. United Nations Conference on Trade and Development
(UNCTAC).
c. United Nations Children's Fund (UNICEF).
d. Office of the United Nations High Commissioner for Refuges
(UNHCR)
e. joint United Nations Food Agricultural Organizations W orld Food
Programme United Nations Institute for Training and Research
(UNITAR).
f. United Nations Development Programme (UNDP).
g. United Nations Industrial Development Organization (UN ID O ).

30 6 Studi Hubungan Internasional


h. United Nations Environment Programme (UNEP)
j. United Nations University (UNU).
j. United Nations Special Fund (UNSF).
k. United Nations W orld Foos Council (UNW FC).

Dewan Ekonomi Dan Sosial

a. Regional Commision.
b. Functional Commision.
c. Sessional Standing and ad.hoc committee.

Dalam ECO SO C ini terdapat pula badan-badan khusus dan


badan-badan lain yangterkaitdengan sistem organisasional Perserikatan
Bangsa-Bangsa yakni:
a. GATT (General Agreement on Tariffs and Trade)
b. ILO (International Labour Organization)
c. FAO (Food and Agricultural Organization)
d. UNESCO (United Nations Educational, Scientific and Cultural
Organization)
e. W H O (W orld Health Organization)
f. ID A (International Development Association)
g. IBRD (International Bank for Reconstruction and Development)
h. IFC (International Finance Corporation)
i. IMF (International Monetary Fund)
j. ICAO (International C ivil Aviation Organization)
k. U PU (Universal Postal Union)
I. W M O (W orld Meteorological Organization)
m. IMCO (Inter Governmental Maritime Consultative Organization)

Dewan Keamanan
Terdiri dari:
a. UNTSO (United Nations Truce Supervisison Organization in
Palestine)
b. U N M O G IP (United Nations M ilitary Observer Group in India and
Pakistan)

Institusi Utama Dalam Sistem Internasional 307


c. UNFICYP (United Nations Peace-keeping Force in Cyprus)
d. UNEF ( United Nations Emergency Force)
e. U N D O P (United Nation Disengagement Observer Force)
f. MSC (M ilitary Staff Committee)
g. DC (Disarmament Commision)

PIA G A M PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA

Kerangka Dasar, Asas, Tujuan dan Keanggotaan

a. Kerangka Dasar
Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa terdiri dari pembukaan/
mukadimah yangdiawali dnegan perkataan tujuan utama, yang terdiri
dari 4 tujuan pokok dan selanjutnya disusul dengan 4 instrumen atau
syarat untuk mencapai tujuan tersebut serta 1 diktum.

Di samping itu Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa juga terdiri


atas 19 bab terbagi atas 11 pasal, statuta dari Mahkamah Internasional
yang terdiri dari 5 bab dan bab-bab ini dibagi lagi ke dalam 70 pasal.

b. Asas dan Tujuan


Tentang tujuan dan asas Perserikatan Bangsa-Bangsa terdapat
dalam mukadimah/pembukaan/preambulenya adalah sebagai berikut:
bahwa Perserikatan Bangsa-Bangsa bertujuan untuk menyelamatkan
generasi yang akan datang dari bencana perang yang selama hidup kita
telah dua kali membawa sengsara yang tak terkira bagi umat manusia,
dan untuk meneguhkan kembali hak-hak asasi manusia, harkat dan
nilai-nilai pribadi manusia, hak yang sama bagi pria dan wanita
dan bagi bangsa yang besar dan yang kecil, dan untuk menciptakan
keadaan di mana keadilan dan penghormatan terhadap kewajiban
yangtimbul dari perjanjian dan Iain-lain sumber hukum internasional
dapat dipertahankan, dan untuk meningkatkan kemampuan sosial dan
taraf kehidupan yang lebih baik dalam suasana kemerdekaan yang
lebih luas.

308 Studi Hubungan Internasional


Dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa dicantumkan menge-
nai tujuan Perserikatan Bangsa-Bangsa itu sebagaimana diatur dalam
bab I pasal 1 sebagai berikut: untuk memelihara perdamaian dan ke-
amanan internasional, mengembangkan hubungan persahabatan anta­
ra bangsa-bangsa berdasarkan penghargaan atas asas persamaan hak-
hak dan penentuan nasib sendiri dari Bangsa-Bangsa, dan mengambi!
tindakan-tindakan lain yang tepat guna memperkokoh perdamaian
dunia; mewujudkan kerjasama internasional dalam memecahkan ma-
saiah-masalah internasional yang bercorak ekonomi, sosial, kebuda-
yaan atau kemanusiaan dan dalam memajukan dan mendorong peng­
hargaan terhadap hak-hak manusia dan kebebasan-kebebasan dasar
bagi semua orang tanpa membedakan bangsa, kelamin, bahasa atau
agama; dan menjadi pusat untuk menyerasikan tindakan-tindakan
bangsa-bangsa dalam mencapai tujuan-tujuan bersama ini.

c. Asas Organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)


Organisasi perserikatan Bangsa-Bangsa beserta anggota-anggota-
nya dalam rangka mencapai tujuannya, terdapat dalam pasal 1 Piagam
Perserikatan Bangsa-Bangsa akan bertindak sesuai dengan asas-asas
sebagai berikut:
1. Organisasi didasarkan atas asas persamaan kedaulatan dari semua
anggota-anggotanya.
2. Semua anggota, dengan maksud untuk menjamin bagi dirinya
masing-masing semua hak dan manfaat yang timbul dari keanggota-
annya akan memenuhi dengan jujur kewajiban kewajiban yang
diterimanya sesuai dengan Piagam yang sekarang ini.
3. Semua anggota akan menyelesaikan dengan jalan damai semua
sengketa-sengketa internasional mereka sedemikian rupa sehingga
perdamaian dan keamanan internasional dan keadilan tidak
terancam.
4. Semua anggota dalam hubungan internasional mereka akan
menghindarkan diri dari ancaman atau penggunaan kekerasan
keutuhan wilayah atau kemerdekaan politik suatu negara atau

Institusi U tam a Dalam Sistem Internasional 309


dengan caraapapunyangbertentangan dengan Tujuan Perserikatan
Bangsa-Bangsa.
5. Semua anggota akan memberikan setiap bantuan pada Perserikatan
Bangsa-Bangsa dalam tindakan apapun yang diambilnya sesuai
dengan piagam ini, dan tidak akan memberikan bantuan kepada
negara manapun, yang oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa sedang
ditindak secara preventif atau dengan kekerasan.
6. Organisasi ini akan menjamin agar negara-negara yang bukan
anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa bertindak sesuai dengan
asas-asas ini sejauh diperlukan bagi pemeliharaan perdamaian
dan keamanan internasional.
7. Tidak satupun ketentuan dalam piagam ini yang dapat memberi
kuasa kepada Perserikatan Bangsa-Bansga untuk mencampuri
urusan-urusan yang pada hakikatnya termasuk yurisdiksi dalam
negeri sesuatu negara atau yang dapat menuntut anggota-anggota
mengajukan penyelesaian urusan-urusan tersebut menurut piagam
ini; akan tetapi asas ini tidak akan merugikan pelaksanaan tindakan
kekerasan menurut bab 7.

Masalah Keanggotaan Perserikatan Bangsa-Bangsa

Masalah keanggotaan Perserikatan Bangsa-Bangsa diatur di


dalam BAB II, pasal 3 sampai dengan pasal 6 Piagam Perserikatan
Bansga-Bangsa. Maka untuk lebih jelasnya, dalam Pasal 3 Piagam Per­
serikatan Bangsa-Bangsa mengaturtentang kedudukan anggota pemula
Perserikatan Bangsa-Bangsa atau Anggota Pendiri Perserikatan Bangsa-
Bangsa ini. adapun sebagai anggota-anggota pemula dari Perserikatan
Bangsa-Bangsa tersebut adalah sebagai berikut:

1. Negara-negara yang telah ikut serta dalam konferensi di San


Fransisko tanggal 25 April 1945 yang dikenal dengan sebutan
United Nations Conference on International Organization
2. Negara-negara yang terlebih dahulu menandatangani deklarasi
Washington tanggal 1 Januari 1942

310 Studi Hubungan Internasional


3. Negara-negara dalam item 1 dan 2 di atas yang telah menanda-
tangani Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa dan meratifikasinya
sesuai dengan pasal 110 Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa ini

Sebagai anggota yang baru, penerimaannya diatur dalam pasal


4 Piagam yang berbunyi, keanggotaan Perserikatan Bangsa-Bangsa ter-
buka untuk semua negara lain yang cinta damai dan menerima semua
kewajiban yang tertera dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa dan
dengan berdasarkan pertimbangan organisasi ini sanggup dan berse-
dia menjalankan kewajibannya.

Penerimaan negara yang demikian, masuk dalam keanggotaan


Perserikatan Bangsa-Bangsa dilakukan dengan suatu keputusan Majelis
Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa atas anjuran Dewan Keamanan
Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Struktur Organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa

Dalam rangka menjalankan fungsinya sebagai salah satu organ­


isasi internasional serta untuk mencapai tujuan organisasi ini, maka
Perserikatan Bangsa-Bangsa memiliki alat-alat perlengkapan sebagai
berikut:

a. Majelis Umum (General Assembly)


b. Dewan Keamanan (Security Council)
c. Dewan Ekonomi dan Sosial (Economic and Social Council
ECO SO C)
d. Dewan Perwalian (Trusteeship Council)
e. Mahkamah Internasional (International Court of Justice)
f. Sekretariat (Secretariat)

Badan-Badan Khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa

1. Organisasi Perburuhan Internasional (International Labour


Organization) yang didirikan pada tanggal 21 April 1919 dan
berkedudukan di Genewa, Swiss.

Institusi Utam a Dalam Sistem Internasional 311


2. Organisasi Bahan Makanan dan Pertanian (Food and Agricultural
Organization) yang didirikan pada tanggal 16 Oktober 1945 yang
berkedudukan di Caracala (Roma) Italia.
3. Bank Pembangunan dan Perkembangan Internasional (International
Bank for Reconstruction and Development) yang didirikan pada 27
Desember 1945 dan berkedudukan di Washington DC (Amerika
Serikat).
4. Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund),
yang didirikan pada 27 Desember 1945, yang berkedudukan di
Washington DC (Amerika Serikat).
5. Koperasi Keuangan Internasional (Internastional Finance
Assciation), yang didirikan pada 2 Juli 1956, yang berkedudukan
di Washington DC (Amerika Serikat).
6. Organisasi Pendidikan, llmu Pengetahuan dan Kebudayaan
(United Nations Education, Scientific and Cultural Organization),
yang didirikan pada 4 November 1946 dan berkedudukan di Apris
(Perancis).
7. Organisasi Kesehatan Seluruh Dunia (W orld Health Organization)
yang didirikan pada tanggal 7 April 1968 dan berkedudukan di
Cenewa (Swiss).
8. Persatuan Telekomunikasi Internasional (International
telecomunications Union), yang didirikan pada 1865, dan
berkedudukan di Genewa (Swiss).
9. Persatuan Pos Sedunia (Universal Postal Union), yang didirikan
pada 1 Juli 1875, dan berkedudukan di Bern (Jerman).
10. Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (International Civil
Aviation Organization), yang didirikan pada 4 April 1947,
berkedudukan di Montreal (Kanada).
11. Organisasi Penasehat Maritim Antar Pemerintah (Inter-
Governmental Maritime Consultative Organization), yang
didirikan pada 6 Maret 1958 dan 17 Maret 1958 dalam mana
konvensinya mulai berlaku setelah mendapat ratifikasi oleh 21
negara.

312 Studi Hubungan Internasional


12. Organisasi Pengungsian Internasional (International Refugee
Organisation), yang didirikan selama terjadinya suasana perang
duni II demi memberikan bantuan kepada pengungsi.

Tujuan Dan Fungsi Organisasi Internasional


Organisasi internasional memainkan peranan yang penting
dalam sistem internasional sebagai facilitating, coordination and regu­
lating terhadap interaksi dan periiaku negara-negara pada umumnya.
Namun demikian sekurang-kurangnya ada empat fungsi dari organ­
isasi internasional yakni:

1) Regulate the behaviour of states in order to minimilization the


potential of war.
2) Facilitate the statement of disputes through pacific means.
3) To promote the economic and social well-being of human kind.
4) Increase and facilitate the level of independence among states.
(Amstutz, 1982, 422-423)

Di samping itu ada juga yang mengklasifikasikan tujuan organi­


sasi internasional itu ke dalam dua bentuk yakni, tujuan umum dan
tujuan khusus. Tujuan umum dari organisasi internasional adalah tu­
juan yang sebagaimana umumnya organisasi-organisasi lainnya. Se-
dangkan sebagai tujuan khusus organisasi internasional yakni tujuan
yang spesifik yang hendak dicapai oleh masing-masing corak organi­
sasi internasional bersangkutan. Tujuan umum organisasi internasi­
onal adalah:

1) Mewujudkan dan memelihara perdamaian dunia serta keamanan


internasional dengan berbagai variasi cara yang dipilih oieh
organisasi internasional bersangkutan diantara cara dan upaya-
upaya yang disediakan oleh Hukum Internasional.
2) Mengurus serta meningkatkan kesejahteraan dunia, maupun
negara anggota, dengan melaiui berbagai cara yang dipilih dan
sesuai dengan organisasi internasional yang bersangkutan. (Tsani,
1990, 99).

Institusi Utama Dalam Sistem Internasional 313


Pada umumnya organisasi internasional dibentuk dalam rangka
mencapai semua atau beberapa tujuan-tujuan berikut yakni:

1) Regulasi hubungan internasional terutama dengan melalui teknik-


teknik penyelesaian pertikaian antara negara-negara secara
damai;
2) Mengurangi atau meminimalkan atau paling tidak mengendaiikan
konflik-konflik atau perang internasional;
3) Memajukan aktivitas-aktivitas kerjasama dan pembangunan
antarnegara demi keuntungan-keuntungan sosial dan ekonomi
dari kawasan tertentu atau untuk manusia pada umumnya;
4) Pertahanan kolektif sekelompok negara-negara untuk menghadapi
ancaman eksternal (Theodore A. Coulombis & James H, Wolfe,
1990, 279).

Peranan Individu Dalam Hukum Internasional


Individu, dalam kaitannya dengan hukum internasional (subjek
hukum internasional) tersangkut secara tidak langsung. Hubungan
antara individu dan hukum internasional dalam hubungan ini biasanya
dilakukan melalui negara di mana individu yang bersangkutan menjadi
warganegara. Individu diberikan hak untuk mengajukan tuntutan-
tuntutan yang timbul dari Perjanjian Perdamaian Perang Dunia
Pertama, dan berbagai pengadilan yang didirikan atas dasar perjanjian
perdamaian tersebut.

Mengenai teori bahwa hanya individulah sebagai pemegang hak


dan kewajiban internasional sejauh mereka adalah objek dan bukan
subjek. Teori yang dianut oleh Hans Kelsen dan para pengikutnya
yang menyatakan bahwa hanya individulah yang merupakan subjek
hukum internasional di samping negara. Dalam hal ini Hans Kelsen
menganalisis paham tentang negara dan mengakui bahwa negara
hanya sebagai suatu konsep hukum bersifat teknis yang mencakup
keseluruhan peraturan yang beriaku bagi sekelompok manusia dalam
suatu wilayah tertentu; negara dan hukum dianggap sinonim.

314 Studi Hubungan Internasional


Konsep negara digunakan untuk menyatakan secara teknis
keadaan hukum dalam mana individu wajib melakukan perbuatan
tertentu atau menerima manfaat-manfaat tertentu atas nama kelompok
umat manusia di mana mereka menjadi anggotanya. Misalnya bila
dikatakan Inggris bertanggung jawab menurut hukum internasional
atas kesalahan pejabatnya atau angkatan bersenjatanya terhadap
negara lain, maka ini suatu cara teknis menyatakan fakta bahwa rakyat
Inggris secara keseluruhan yakni, para individu yang tunduk kepada
hukum Inggris, terikat melalui pribadi-pribadi yang memegang tampuk
pemerintahannya untuk menebus kesalahan yang ditimpakan kepada
Inggris sebagai negara. Jadi, menurut hukum internasional, kewajiban
negara pada akhirnya adalah kewajiban yang mengikat para individu.
0. G. Starke, 1989, 53-54)

Banyak traktat modern yang memberikan hak dan mengenakan


kewajiban kepada individu, tak peduli apakah peraturan traktat itu
telah dilakukan atau tidak oleh badan legislatif nasional. Misalnya
Mahkamah Internasional secara otoratif telah melaksanakan pemutusan
dalam perkara Danzig Railw ay Officials Case bahwa bila dalam traktat
para peserta bermaksud memberikan hak-hak kepada individu, maka
hak-hak itu harus efektif dalam hukum internasional. 0- G. Starke,
1989, 54).

Ada semacam kecenderungan yang dikenakan oleh hukum in­


ternasional yang mengenakan secara langsung kewajibannya terhadap
individu. Hal ini ditegaskan dalam Konvensi Genosida yang diterima
dalam Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 9 De-
sember 1948. Menurut konvensi ini, negara-negara peserta bermufa-
kat bahwa genosida (perbuatan) yang dilakukan dengan maksud untuk
membinasakan seluruh atau sebagian bangsa, suku bangsa, ras, atau
kelompok keagamaan dan persekongkolan atau penghasutan untuk
melakukan genosida, percobaan dan ikut serta dalam tindakan terse­
but, harus dihukum oleh pengadilan pidana internasional.

Institusi Utam a Dalam Sistem Internasional 315


Pasal IV Konvensi Genosida yang menyatakan bahwa pribadi-
pribadiyangmelakukanperbuatan ituharusdi hukum "sekalipunmereka
itu adalah penguasa yang bertanggung jawab secara konstitusional,
pejabat negara ataupun orang-orang biasa". (J.G. Starke, 1989, 87)

Kendati demikian, ternyata peranan individu tidak saja terlihat


dalam konteks hukum internasional akan tetapi dalam hubungannya
dengan politik internasional juga peranan para individu semakin
penting. Peranan tersebut tampak dalam kaitannya dengan pemerintah
dan kebijaksanaan politik luar negeri suatu negara. Untuk itu
diperlihatkan bagaimana corak (karakteristik) pribadi seseorang yang
berhubungan dengan kegiatan diplomasi dan intra-governmental
bargaining. Dalam hal ini berkaitan erat dengan studi pemimpin dan
kepemimpinan itu sendiri. Maka peranan "im age" yang harus dimiliki
oleh pemimpin itu dalam kaitannya dengan keputusan politik luar
negeri yakni apa yang disebut dengan psychological environment
terhadap orang yang membuat keputusan tersebut dan juga kaitannya
dengan sistem kepercayaan (Belief System) bagaimana gambaran
atau citra terhadap lingkungan internasional, dengan negara lain, dan
bagaimana pengaruh luar dengan negaranya sendiri.

Argumentasi di atas senantiasa berdasarkan kepada beberapa


asumsi bahwa:

1) Politik luar negeri dibangun atau dibuat dan diimplementasikan


oleh orang-orang atau individu-individu (people).
2) Individu-individu itu dapat dan mampu membuat alternatif-
aiternatif dalam kerangka proses pembuatan keputusan atau
kebijakan politik luar negeri bersangkutan. (Russet Harvey Starr,
1985, 98)

Individu sebagai aktor (subjek) hukum internasional, yang ikut


berpartisipasi dalam sistem internasional dapat dikelompokkan ke
dalam tujuh kategori yakni:

316 Studi Hubungan Internasional


1) Governmental Representatives
Termasuk dalam kategori ini adalah individu-individu yang ber-
peran sebagai delegasi untuk mewakili negara, khususnya dalam
majelis atau badan-badan, wakil, asisten ataupun bentuk mewakili
negara dalam komisi ad hoc dan badan-badan lain sebagai peja-
bat-pejabat negara yang dalam hal ini kapasitasnya untuk menga-
dakan hubungan dengan organisasi-organisasi internasional

2) Representatives of Private Association


Dalam hal ini digunakan istilah "private associations" termasuk di
diamnya international Non-Covernment Organizations (NGO's).
Dalam hubungan ini masuk didlamnya seperti misalnya ILO,
serta sebagai perwakilan perusahaan-perusahaan, dalam komisi-
komisi konsultatif ITU dan juga termasuk dalam hal ini NGO's
yang ikut serta dalam proses pembuatan keputusan IGO's. Maka
dengan demikian individu itu berperan sebagai wakil negara yang
tercermin dalam berbagai kegiatan di tingkat internasional.

3) Representatives of International Organizations


Adalah kategori yang memberikan akses kepada individu-individu
yang ada dalam hubungan ini adalah para pejabat-pejabat yang
ada dalam IGO's dan dalam hal ini ia berperan sebagai yang
mewakili di dalam hubungannya dengan IGO 's lainnya.

4) Executive Heads
Adalah orang-orang yang teiah memiliki jabatan-jabatan sebagai
sekretaris jenderal ataupun direktur jenderal dalam suatu organi­
sasi-organisasi internasional. Dan juga termasuk dalam kategori
ini adalah para anggota-anggota badan eksekutif, seperti misalnya
dalam jabatan sebagai komisi dalam Masyarakat Eropa (European
Community) dan sebagainya.

5) Members of Secretariats
Adalah orang-orang yang memiliki kapasitas sebagai anggota-
anggota staf pada organisasi-organisasi internasional.

Institusi Utama Dalam Sistem Internasional 317


6) Individuals acting in their own capacity
Dalam kategori ini dibuat sebagai gambaran bagi individu-
individu yang memiliki kesempatan dan hak-hak sebagai tenaga
expert dan komisi-komisi ad hoc atau badan-badan internasional
lainnya, termasuk dalam hubungan ini anggota-anggota arbitrasi
dan hakim-hakim yang berperan sebagai penengah (mediator)
untuk menyelesaikan persoalan tertentu.

7) Publicist
Adalah orang-orang yang bekerja dalam kaitannya dengan media
massa apakah itu cetak atau audio visual ataukah radio, paling
tidak komentar-komentar atau opini-opini yang dilontarkan oleh
orang-orang seperti ini akan memberikan pengaruh kepada
organisasi internasional tertentu. Laporan-laporan yang mereka
buat, khususnya tentang peristiwa internasional. Dan juga
termasuk dalam kategori ini orangyang memiliki kapasitas sebagai
peninjau (observers) organisasi internasional.

Ternyata dalam perkembangan hubungan internasional praktik-


praktik internasional lainnya, pada saat sekarang ini, menunjukkan
semakin iuasnya subjek-subjek hukum internasional, yang tidak
lagi didominasi oleh negara-negara, akan tetapi beberapa lembaga-
lembaga, aktor-aktor lainnya yang ikut serta dalam proses itu. di
bawah ini diberikan beberapa hal yang mengalami perkembangan dan
periuasan aktivitas para aktor sejak subjek hukum internasional yakni:

1. Lembaga-lembaga dan Organ-organ Internasional seperti


Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan International Albour
Organization (ILO) yang telah didirikan dengan berdasarkan
kepada Konvensi Internasional yang mengatur kewajiban dan
fungsi lembaga dan organ-organ tersebut, misainya Piagam
Perserikatan Bangsa-Bangsa 1945, dan Konstitusi International
Labour Organization (ILO).

318 Studi Hubungan Internasional


Dalam A d v is o r y o p in io n Mahkamah Internasional yang me-
nyatakan bahwa Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) adalah oknum
internasional. Hal ini berlaku juga bagi organisasi-organisasi inter­
nasional lainnya, bahwa Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menu­
rut hukum internasional merupakan oknum internasional.

Dan bahkan organisasi-organisasi dan masyarakat-masyarakat


internasional dan regional misalnya, masyarakat ekonomi Eropa
(ME) dengan berdasarkan kepada instrumen-instrumen penting
mereka, dapat dilengkapi dengan badan internasional, seperti
pakta pertahanan atlantik utara (NATO) yangmemiliki 'kepribadian
yuridis' (juridical personality) menurut pasal 4 persetujuan 20
Desember 1951 mengenai status NAT!, perwakilan-perwakilan
nasional dan staf internasional.

2. Beberapa konvensi 'yang membentuk hukum' (law making)


telah diadakan sehubungan dengan pokok-pokok hukum pidana
internasional misalnya Konvensi Genewa tentang Supression on
Counterfeiting Currency (1929) dan juga termasuk dalam hubungan
ini seperti, Supression of the International Drugs Traffics (1936),
single Narcotic Drugs Convention (1961) dan masih banyak lagi
yang berkaitan dengan gambaran sejauh mana peran konvensi
dalam sistem internasional sebagai subjek hukum internasional.
3. Pada pemberontak sebagai suatu kelompok diberikan hak-
hak berperang (belligerent rights) dalam perselisihan dengan
pemerintah yang sah, sekalipun beium berorganisasi seperti
hainya negara-negara. (j.G. Starke , 1989, 59-60)

KesimpuSan

1. Kedudukan hukum internasional dalam bagian ini di Iukiskan


sebagai norma-norma yang menjadi semacam rambu-rambu
dalam interaksi hubungan antarnegara dalam sistem internasional.
Gambaran yang menjelaskan bagaimana aturan-aturan yang perlu
mendapat pertimbangan-pertimbangan aturan-aturan yang perlu
mendapat pertimbangan yang sungguh-sungguh sebagai kerangka

Institusi Utam a Dalam Sistem Internasional 319


acuan yang lahir dari proses sejarah dalam mana pelaksanaannya
telah dilakukan dalam bentuk-bentuk pertemuan-pertemuan
konferensi-konferensi dan sebagainya. Kemudian, dari hasil
pertemuan tersebut, akhirnya sampai kepada kata sepakat kendati
tidak selalu bulat, dikukuhkan ke dalam traktat-traktat, perjanjian-
perjanjian internasional serta diambil pula dari kebiasaan-
kebiasaan (customs) diangkat ke level internasional menjadi suatu
kebiasaan internasional. Semuanya ini dijadikan sebagai sumber
hukum internasional.
2. Organisasi-organisasi internasional dan negara dijadikan sebagai
subjek hukum internasional dan di samping beberapa lembaga-
lembaga Iain serta konvensi-konvensi serta tidak lepas dari peranan
individu-individu. Hal ini disebabkan dalam kenyataan memang
bahwa yang pertama-tama melakukan interaksi atau hubungan
internasional adalah negara, organisasi-organisasi internasional,
individu-individu dan lainnya. Negara, dalam wacana hukum
internasional dilihat sebagai yang memiliki entitas legal yang
selanjutnya harus memiliki atribut-atribut sekurang-kurangnya
ada empat unsur di dalamnya (menurut Konvensi Montevideo
1933) yang mengatur hak kewajiban negara terdiri dari, wilayah,
penduduk yang tetap, pemerintah dan kedaulatan. Tiga dari unsur
di atas dianggap sebagai unsur konstitutif yang harus dimiliki
sebagai syarat berdirinya sebuah negara.

Tinjauan Pertanyaan Dan Diskusi

1. Coba Saudara Jelaskan secara singkat dan jelas latar belakang


sejarah perkembangan hukum internasional!
2. Jelaskan bagaimanakah kedudukan negara, organisasi-organisasi
internasional menurut norma-norma hukum internasional dan
dalam sistem internasional!
3. Coba Sdr. Sebutkan dan uraikan dengan jelas dan singkat apa
sajakah yang dikategorikan sebagai subjek dan sumber hukum
internasional dan mengapa, berikan alasan-alasannya!

320 Studi Hubungan Internasional


4. Buatlah skema sistem Perserikatan Bangsa-Bangsa dan berikanlah
beberapa contohnya!

DA FT A R P U S T A K A
Admawiria, Sam Suheidi, Sejarah Hukum Internasional, (Banding
Binacipta , 1970).
Amstutz, Mark R., An Introduction to Political Science: Managemen\
of Conflicts, (Glensview, Illinois: Foresman And Company
1982)

Anwar, Cahirul, Hukum Internasional - Pengantar Hukum Bangsi


bangsa , ( J a k a r t a : Djembatan , 1989)

Baros, James , Perserikatan Bangsa-Bangsa Dulu, Kini dan Esok


(Jakarta: Bumi Aksara, 1986)

Brierly, J.L., The Law of Nations, (New York: Oxford University Press
1985)

Brownlie, Ian, Principles of Public International Law , (New York


Oxford University Press, 1979)

Couloumbis, Theodore. A & James FT Wolfe, Pengantar Hubungai


Internasional Keadilan dan power, (Bandung: Abardin, 1990)

Coulumbis, Theodore & James H. Wolfe, Introduction to Internationa


Relations: power and Justice, (Practice-Hall of India, New Delh
1981)

Fenwick, Charles G., International Law,{ New York: Appleton-Centur^


Cropts, inc. 1948)

Giuseppe, Schiavone, International Organizations: A Dictionary <


Directory, (London: The MacMillan Press, 1986)

Isjwara F., Pengantar llmu Politik, (Bandung: Binacipta, 1968)

Jacobson, Harold Karan, Networks of Independence, (New Yorl


Alfred A. Knopf, Inc, 1984)

Institusi Utama Dalam Sistem Internasional 3;


Morgenthau, Hans )., Politik Antar Bangsa: Perjuangan Untuk
Kekuasaan dan Perdamaian, (Bandung: Binacipta, 1990)
Russet, Bruce & Harvey Starr, W orld Politics: The Menu for Choice,
(New York:W.H. Freeman and Company, 1985)

Starke, J.G., Pengantar Hukum Internasional I, (Jakarta: Aksara Persada,


1989)
Tsani, Mohd. Burhan, Hukum dan Hubungan Internasional,
(Yogyakarta: Liberty, 1990)

Ziegler, David W ., War, Peace and International Politics, (Boston,


Toronto: Little Brown And Company, 1984)

-ooOoo-

322 Studi Hubungan Internasional


B AG IA N KE LIM A

MANAJEMEN KONFLIK DA LAW


SISTEM INTERNASIONAL
5
MANAJEMEN KONFLIK
DALAM SISTEM INTERNASIONAL

Tujuan Pembelajaran
Setelah membaca bab ini anda akan dapat:

1. Menjelaskan secara singkat dan jelas dasar pemikiran tentang


sistem dan dalam sistem internasional.
2. Menguraikan secara singkat karakteristik sistem internasional dan
memberikan beberapa contohnya.
3. Menguraikan secara singkat beberapa karakteristik konflik-konflik
internasional dan beberapa contohnya.
4. Menjelaskan beberapa upaya untuk menyelesaikan konflik-
konflik internasional dengan menempatkannya sebagai konflik
manajemen sistem internasional.
5. Menjelaskan dari segi analisis seberapa jauhkah hubungan antara
peranan hukum internasional dan organisasi internasional dalam
kerangka penyelesaian konflik dalam sistem internasional dan
berbagai contoh yang ada.
MANAjEMEN KONFLIK DALAM
SISTEM INTERNASIONAL

8.1 PENGANTAR

8.1.1 Dasar Pemikiran Teori Sistem

Masalah yang senantiasa muncul dalam studi politik dan hubun^


an internasional adalah berkaitan erat dengan upaya membangu
kerangka hubungan internasional yang kondusif terhadap stabil
tas dan tertib di dalam suatu masyarakat, di mana para pesertan\
dalam masyarakat (komunitas) tersebut, memiliki kesempatan untu
mengembangkan kemerdekaannya dan untuk memperjuangkan ki
pentingan-kepentingannya. Dalam tatanan dinamika dan mekanisrr
hubungan-hubungan antara peserta/pelaku dalam sistem itu bagi pe
juangan untuk kepentingan-kepentingannya tersebut, tampaknya
dak terlepas dari suasana benturan-benturan, gesekan-gesekan yar
terkadang melahirkan pertikaian-pertikaian, konflik-konflik, sengket
sengketa adalah merupakan resultante atas perjuangan bagi kepentin
an-kepentingan para pelaku itu.

Dari berbagai macam konflik-konflik dalam sistem sosial, kh


susnya konflik dalam kerangka hubungan antarnegara dalam sistem i
ternasional, konflik-konflik serupa pun ada dan permasalahannya se
cara atau upaya yang bagaimana memecahkan permasalahan yang se-
makin kompleks, dibandingkan dengan sistem sosial di atas.

Kompleksitas ini disebabkan oleh tiga hal pokok. Pertama, mul-


tiplikasi pelaku-pelaku di bidang internasional, diantara mana perseng-
ketaan mungkin timbul; multiplikasi ini tidak hanya dalam pengertian
jenis pelaku melainkan juga jumlah setiap jenis pelaku. Ke dua, mul-
tiplikasi permasalahan yang dapat menjadi sebab dari persengketaan.
Ketiga, multipl ikasi cara dan peralatan yang digunakan untuk me­
mecahkan persengketaan di masa depan (Yoesoef, 1989, 7-8).

Maka dalam hubungan ini yang hendak dibicarakan adalah


sistem internasional yang berkaitan dengan tempat kedudukan pelaku-
pelaku (aktor-aktor) internasional, konflik-konflik yang ada dalam
sistem tersebut, upaya-upaya manajerial sistem hubungan internasi­
onal (manajemen konflik) internasional. Maka untuk mencapai sa-
saran tersebut, yang pertama sekali akan dibahas adalah unsur-unsur
yang terdapat dalam sistem internasional yaitu studi tentang sistem
(teori sistem) atau pemikiran-pemikiran dasar tentang sistem itu secara
konseptual. Lalu, mengenai sistem internasional itu sendiri berkenaan
dengan corak atau karakteristik atau pembawaan hubungan interna­
sional yakni dalam rupa konflik-konflik internasional di bawah tema
karakteristik konflik-konflik sistem internasional. Dan yang paling
akhir dalam bagian ini akan dibahas masalah: bagaimana usaha-usaha
memecahkan permasalahan, sengketa-sengketa, konflik-konflik yang
ada dalam sistem internasional tersebut. Dalam hubungan ini kita
akan dihadapkan dengan persoalan pengelolaan atas konflik (manaje­
men konflik) dalam wacana sistem internasional.

Paradigma teoritik yang sering digunakan dalam studi politik


dan hubungan internasional untuk membahas berbagai fenomena
internasional berupa teori sistem (system theory). Teori sistem dapat
memberikan kontribusi kepada kita suatu pangkal tolak untuk dapat
memahami sifat dan pembawaan hubungan-hubungan internasional.
Menurut para ilmuwan politik dan hubungan internasional, dengan

328 Studi Hubungan Internasional


memanfaatkan teori sistem sebagai model dalam kajian masalah di-
namika dan mekanisme kehidupan sosial politik dan sebagai instru-
men juga sekaligus. Sistem di sini dijadikan sebagai model analisis
dan instrumen wawasan konseptualisasi.

Konsep umum mengenai sistem ini lahir dari pemikiran ilmu


pengetahuan alam, lalu konsep ini diambil alih dan dipergunakan
oleh ilmuwan sosial dalam rangka mengkaji politik (pendekatan sistem
dalam telaah dinamika kehidupan sosial kemasyarakatan atau sistem
politik). Secara sederhana, pemikiran dasar sistem itu mengacu kepa­
da satu asumsi bahwa masyarakat itu merupakan satu totalitas sebagai
satu Kesatuan (entitas) yang mempunyai elemen-elemen/unsur-unsur,
di mana setiap unsur atau elemen tadi mempunyai kaitan satu sama
lain (interdependensi). Sistem seperti ini dapat dianalogikan dengan
satu organisme biologis.

Sekalipun demikian, sistem yang digunakan dalam artian meto-


dologik atau tatacara, berkaitan erat dengan pendekatan sistemik yang
lebih dikenal dengan teori sistem sebagai langkah pemilihan berbagai
kemungkinan tingkat analisis yakni dengan masalah apa yang harus
ditelaah atau yang dapat diamati.

Khususnya dalam studi hubungan internasional, masalah apa


yang harus ditelaah, apa yang harus dipakai sebagai unit analisis
(eksplanasi). Seperti apa yang dikatakan oleh David Singer (1961),
bahwa di dalam ilmu apapun, ada semacam keharusan untuk memilih
sasaran analisis tertentu. Dalam setiap bidang kegiatan keilmuan,
selalu terdapat berbagai metode untuk memilah-milah dan mengatur
fenomena-fenomena yang akan dipelajari demi analisis yang sistematis.
Baik di dalam ilmu Fisika, maupun dalam ilmu-ilmu sosial, pengamat
harus memilih pusat perhatiannya, pada bagian-bagiannya atau
keseluruhan fenomena itu, pada komponennya atau pada sistemnya.

Misalnya, kita dapat memilih mau memperhatikan bunga atau


kebunnya, pohon atau hutannya, rumah atau kampungnya, remaja
nakal atau gengnya, Dewan Perwakilan Rakyat atau Parlemennya, dan

Manajem en Konflik Dalam Sistem Internasional 329


sebagainya. Dalam kaitannya dengan studi hubungan internasional,
memungkinkan kita untuk mempelajari bunga-bungaannya/batu-
batuannya/pepohonannya/rumah-rumahnya/mobil-mobilnya/remaja-
remaja nakalnya/anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)nya/
ataukah kita dapat mengalihkan perhatian kepada tingkat anaiisis dan
mempelajari keseluruhan yaitu kebunnya/hutannya/kampungnya/
kelompok gengnya/tetangganya/parlemennya.

Dalam tingkat pendekatan yang pertama, kita berhadapan


dengan studi tentang politik dalam negeri (domestik) dari suatu negara.
Dan sebagai pendekatan yang ke dua, kita dapat mempelajari sistem
internasional yang merupakan lingkungan besar, yang menurut David
Singer, tingkat anaiisis negara dan sistem internasional, dijadikan
sebagai upaya melukiskan (mendeskripsikan), menjelaskan (eksplanasi)
fenomena internasional pada umumnya.

Bagi para pendukung tingkat anaiisis sistem internasional, bah­


wa bangsa-bangsa di dunia ini beserta interaksinya di antara mereka
itu adalah merupakan suatu sistem. Struktur sistem dan perubahan-per-
ubahan yang ada menentukan perilaku aktor dalam sistem hubungan
internasional yang tampak di dalamnya. Sistem sebagai lingkungan
telah mempengaruhi perilaku negara-negara-bangsa (nation-states).
Pengetahuan tentang dinamika sistem, yang beranggotakan lembaga-
lembaga, negara-negara-bangsa, digunakan sebagai instrumen untuk
menjelaskan perilaku para aktor (pelaku-pelaku) dalam sistem inter­
nasional.

8.1.2 Karakteristik Sistem Internasional

Sistem internasional secara singkat dapat dirumuskan sebagai


"past and present interactions among many actors of the international
system" (David Farnworth, 1985, 5). Sistem internasional dilihat
sebagai pola-pola hubungan yang teratur antara negara-negara yang
lahir sebagai hasil reaksi dan interaksi politik luar negeri dari berbagai
negara. Dalam hal ini tampak perilaku negara yang responsif, agresif

330 Studi Hubungan Internasional


dan kompetitif berjalan ke dalam suatu regulitas. (Dahlan Nasution,
1989, 41). Sistem internasional terwujud bila bertemu dua kondisi.
Pertama, terdapat interkoneksi antara unit-unit di dalam sistem yang
bersangkutan sehingga perubahan-perubahan yang terjadi di beberapa
bagiannya akan mengubah pula bagian-bagian lainnya. (Yoesoef,
1989, 10).

Sistem internasional dalam bentuknya merupakan bentul<


khusus dari sistem sosial, meskipun sistem sosial berbeda dengar
sistem internasional. Sistem politik internasional berjalan di daiarr
suatu sistem dan bukan di dalam suatu masyarakat atau komunitas
Meskipun ada juga yang mengatakan masalah itu dengan menggunakar
istilah "masyarakat bangsa-bangsa" (the community of nations) atai
terdiri dari "masyarakat negara-negara" (the society of states). Dalan
sistem sosial (setiap masyarakat) ada penerimaan bersama atas leve
atau tingkat-tingkat sasaran yang hendak dicapai. Sedangkan dalan
sistem internasional, tidak memiliki nilai-nilai/tujuan bersama, kecual
eksistensi dalam sistem itu.

Dengan demikian sistem internasional dapat diklasifikasika


sebagai sebuah anarkhis yang setengah teratur, kebebasan, da
tujuan-tujuan yang hendak dicapai. Namun demikian, tingkat yan
paling mendasar dalam konstruksi sistem internasionalnyalah pelaki
pelaku (aktor-aktor) yang diibaratkan berada pada sebuah pangguni
Sistem internasional dilihat sebagai suatu gagasan (ide) bahwa di san;
terjadi suatu hubungan-hubungan (relations) dalam kaitannya denga
aktivitas-aktivitas antar para pelaku.

Gagasan ini sebenarnya berasal dari pemikiran atas pembei


tukan kelompok-kelompok manusia (the nation of human formir
groups) yang dilihat dari perspektif fakta sosial bahwa manusia i
memiliki aspek sosialnya dan aspek individualnya. Dari aspek sosi;
nya, manusia dianggap sebagai makhluk sosial dalam mana sebag
akibat itu, manusia tidak dapat hidup secara sendirian, untuk dap
melangsungkan kehidupannya. Dalam diri manusia itu ada semaca

M anajem en Konflik Dalam Sistem Internasional


stimulus untuk menjalin hubungan-hubungan dengan orang lain demi
memenuhi kebutuhannya, kepentingannya tersebut maka manusia
itu tergerak, terdorong untuk bekerjasama dengan manusia-manusia
lainnya dalam bentuk organisasi. Manusia dalam kelompok-kelompok
atau organisasi-organisasi tadi itu diidentifikasikan oleh individu-indi­
vidu, pribadi-pribadi dalam bentuk interaksi-interaksi (interactions).

Masyarakat (society) adalah salah satu struktur bagi individu-


individu. Masyarakat yang terdiri dari manusia-manusia yang melak-
sanakan interaksi-interaksi dalam lingkungan kerjasama itu. Kegiatan
interaksi ini berjalan dalam kondisi berkesesuaian dan ini tampak
dalam tindakan-tindakan (actions) bersama, dalam membentuk struk­
tur sosial yangdiketahui sebagai bentukan bagi sebuah organisasi. Ma­
nusia itu dapat mengorganisasikan diri ke dalam berbagai kelompok-
kelompok karena mendapat dukungan dari t'akta sosial tadi. Manusia
yang berada dalam lingkungan kelompok-kelompok, organisasi-or­
ganisasi tadi dapat diidentifikasikan ke dalam sebuah negara-bangsa,
dalam konteks ini adalah hubungan antar-negara (interstates) yang dia-
sosiasikan di dalam sistem internasional.

Negara bangsa sebagai pelaku utama dalam sistem internasional.


Sejumlah negara-negara bangsa di dalam sistem itu muncul secara
intens terutama sejak usainya Perang Dunia Kedua. Jumlah negara-
bangsa bertambah dua kali lipat sejak berakhirnya Perang Dunia
Kedua tersebut. Dari 75 negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB) yang baru, lebih dari 60 negara adalah bekas jajahan yang baru
merdeka setelah usainya Perang Dunia Kedua, sampai dewasa ini
jumlahnya kurang lebih 159 negara bangsa, dan sampai tahun 1983,
sudah berjumlah 180 negara.

Dalam sistem internasional tersebut di samping negara-negara


bangsa, juga terdapat beberapa organisasi-organisasi internasional
yang jumlahnya ratusan, apakah itu yang bentuknya sebagai Inter­
national Governmental Organizations (IGOs) atau bisa juga sebagai
Nongovernmental Organizations (NGOs) dan Multinational Corpora­

332 Studi Hubungan Internasional


tions (MNCs). Negara yang dalam hal ini dijadikan sebagai aktor uta-
ma dalam sistem internasional disebabkan, pandangan bahwa negar;
itu dianggap sebagai legal entity dan legal equality dalam hubungan
nya dengan negara lain. Negara dalam hal ini tidak memiliki eksis
tensi nyata, ia adalah sesuatu yang "legal abstraction" bahwa dengai
melalui pemerintahnya dan wakil-wakil pemerintahnyalah, negara-ne
gara dapat mengadakan perjanjian-perjanjian, negosiasi-negosiasi dai
sebagainya. Negara juga memiliki status hukum yang menurut Kor
vensi Montevido 1933. Negara itu memiliki corak atau pembawaa
seperti:

(a). Orang-orang (people);


(b). Wilayah (teritorial);
(c). Pemerintah (government); dan
(d). Kedaulatan (sovereignity)

Di samping negara-negara bangsa (nations-states) sebag


aktor utama dalam sistem internasional, sebagaimana yang tel;
dikemukakan di muka, juga ia terdiri dari pelaku-pelaku yang buk;
negara-bangsa (non states actors). Ini terdiri atas Intergovernmen;
Organizations (IGOs), dan Non-Governmental Organization (NGO
Atau dengan berdasarkan klasifikasi ini dimasukkan sebagai lembaj
lembaga internasional (international institutions) yang kini berjuml
kurang lebih 200-an dan yang mempekerjakan kira-kira 500.0
orang pejabat-pejabat internasional yang tidak tunduk kepada huki
dan ketentuan nasional darimana mereka datang. Badan-bac
transnasional, sebagai pelaku berikutnya di samping dua pek
yang telah disebutkan di atas adalah dalam bentuk badan-bac
transnasional seperti Multinational Corporations (MNCs), kelomp
kelompok gerakan politik, ataupun kelompok-kelompok keagama
kelompok-kelompok ekonomi sosial politik, Amnesti Internasioi
dan sebagainya.

M anajem en Konflik Dalam Sistem Internasional


8.1.3 Struktur Dalam Sistem Internasional

Sebagai pelaku yang ke empat berupa lembaga-lembaga


penelitian di berbagai bidang kehidupan: ekonomi, bisnis, teknologi,
sosial, politik, budaya yang dalam kegiatannya lebih mengacu kepada
aktivitas lingkup akademik ataupun yang bersifat alamiah. Di taksir
ada sekitar 10.000 buah jumlah dari kelompok-kelompok seperti ini di
dunia. Sebagai pelaku yang ke lima, adalah perseorangan, baik itu yang
tergabung dalam gerakan-gerakan revolusioner ataupun dalam bentuk
terorisme internasional sehingga secara analitik, dapat dikelompok
sebagai sub-national actors akan tetapi aksi dan tindakannya
berpolakan lintas nasional, maupun yang tergabung dalam gerakan-
gerakan analisis dan pemikiran seperti misalnya, Club of Rome, The
Great Peace journey, suatu gerakan perdamaian yang dibentuk oleh
perseorangan. Manusia pribadi-pribadi itu bertindak atas nama dan
keyakinan dan pertimbangan-pertimbangan pribadi masing-masing
yang terkadang belum tentu sejalan dengan pandangan dan pendirian
yang dipegang oleh negara-negara bangsa darimana mereka berasal.

Namun, tindakan-tindakan ataupun buah pikiran mereka lang-


sung menyangkut masalah yang menjadi kepentingan negara-negara
masing-masing. Maka dengan sudut pandang seperti ini bahwa ke-
hadiran perseorangan di bidang hubungan internasional mengakibat-
kan kegiatan diplomasi mengalami perubahan di mana diplomasi an-
tarindividual.

Maka dengan demikian, pelaku-pelaku internasional dari ber­


bagai bentuknya, lingkup kegiatannya, keanggotaannya, tujuan/sasar-
annya, ikut memeriahkan panggung politik internasional (sistem inter­
nasional), bagi pandangan yang dikemukakan oleh Jhon K. Gamble
(et. al), mengelompokkan pelaku-pelaku itu ke dalam dua kategori po-
kok yakni: pelaku-pelaku besar (major) dan pelaku-pelaku kecil (mi­
nor) digambarkan sebagai berikut:

334 Studi Hubungan Internasional


M A JO R A C T O R S M IN O R A C T O R S
1. States/or Countries 1- Individual
2. Internasional Organizations 2. Non-Governmental
Organizations
3. Multinational Corporations (MNCs)
4. Elites
Sumber, Adaptasi dari, John K in g G am ble (et. al), Introduction to Political Science,
(N e w jersey: Prentice-Hall, Englew oods, 1987), 420.

Secara drastis dalam perkembangan organisasi-organisasi inter­


nasional (IGOs, NGOs, MNCs, Perseorangan maupun badan-badan
internasional lainnya) terutama sejak berakhirnya Perang Dunia Ke
dua, menunjukkan suatu gambaran yang sedemikian rupa, dan untuk
meiihat seberapa jauh perkembangan yang terjadi dalam organisasi-
organisasi internasional tersebut, dapat dilihat dalam Gambar 8.1.

250

150

100

50

1875 1900 1925 1950 1970

Sum ber: Adaptasi dari, “U n io n of Internasional A ssociation Yearbook of Intem sional


Organizations 1974", vol. 7 5 , (Brussels, UIA, 1974), dalam Amtuts,
Introduction to Political Scie n ce (Clensview , Illinois: Scott, Forem an a n d
Com pany, 1982, 423).

Gambar 8.1 Pertumbuhan Organisasi Internasional (1875 - 1970)

Hal ini terjadi sebagai akibat yang sebagian besar dari multi-
plikasi pelaku-pelaku internasional sebagaimana yang telah diuraikan
di atas. Sehingga masalah dan isu yang timbul dan berkembang se­
bagai akibat interaksi antara pelaku-pelaku dan sebagai akibat yang
ditimbulkannya. Pertama, dalam kenyataannya, batas politik antara
sesuatu negara-bangsa, di dalam mana ia berdaulat dan mempunyai

M anajem en Konflik Dalam Sistem Internasional 335


wewenang sepenuhnya tidak lagi tampak batas-batas nasional masing-
masing.

Dalam kenyataannya, bahwa dahulu dianggap semata-mata se­


bagai masalah nasional kini dijadikan masalah internasional. Misal­
nya masalah di bidang makanan, sumber-sumber energi, pendidikan,
ilmu pengetahuan, penduduk, pinjaman luar negeri, perdagangan luar
negeri, dan sebagainya. Cara dan peralatan yang dimaksudkan adalah
bahwa dalam kenyataan semakin banyaknya negara-negara bangsa
yang memiliki peralatan dan berkemampuan untuk menggunakan
kekuatan peralatannya terhadap negara-negara bangsa lain sebagaima-
na memecahkan masalah sebagaimana yang diinginkannya. Di sam-
ping peralatan berupa senjata yang semakin meningkat jenisnya dan
peningkatan daya hancurnya dari setiap jenis senjata, mereka dapat
pula menggunakan sarana lain, ekonomi misalnya, dari pembuatan
di bidang impor yang sudah merupakan cara tradisional untuk keper-
luan ini sampai kepada pembatasan di bidang transaksi moneter dan
kredit, dari embargo di bidang bahan baku dan bahan mentah sampai
embargo bahan makanan untuk kepentingan politik dan diplomasi in­
ternasional (Yoesoef, 1989, 10-11).

8.1.4 Karakteristik Konflik Sistem Internasional

Politik internasional (sistem internasional) seperti halnya dalam


kehidupan sosial, senantiasa berkaitan dengan konflik dan kerjasama
(conflict and cooperative). Bahkan dalam lingkungan kita sendiri
dengan teman-teman, antarkeluarga, terdapat muatan-muatan dan
corak kompetisi (konflik) dan kerjasama seperti itu. Meskipun dalam
tingkat tertentu, kompetisi atau konflik itu masih terdapat jarak yakni
dengan adanya kontrol pada masing-masing jenis konflik itu. Kontrol
ini dianggap sebagai bagian yang penting dengan masih dimilikinya
unsur ini, akan terpeliharanya hubungan kerjasama yang baik.

Dalam tataran sistem internasional, meskipun masih terdapat be-


berapa kesamaan dengan konflik yang terjadi dalam tataran kehidup-

336 Studi Hubungan Internasional


an sosial, bahwa daiam tataran lingkungan konflik kehidupan sosial
tadi di mana kepentingan (interest) dan kehendak-kehendak, untuk
menjalin hubungan kerjasama (cooperative relationships) tampaknya
relatif longgar jika dibandingkan dengan lingkungan konflik dalam ta­
taran sistem internasional. Dalam tataran sistem internasional, inten-
sitas dan tingkat kecenderungan untuk menekankan pada unsur-unsur
kompetitif semakin intensif.

Intensitas atas kecenderungan tersebut dapat tercermin dalam


bentuk-bentuk perang, perlombaan senjata (arms race), dan sebagai­
nya. Dalam rangka mengorganisasikan sistem internasional di mana
respons terhadap kebutuhan untuk mencapai tujuan bersama adalah
juga merupakan resultante dari hasil konflik-konflik itu. Konflik sebagai
hasil terjadinya persaingan merupakan gambaran umum yang terdapat
dalam sistem internasional (hubungan-hubungan antarnegara-bangsa)
yang dilandasi oleh konsep: ego-centrisme (aspirasi untuk memper-
tahankan dan meningkatkan kekuatan serta kedudukan negara dalam
hubungannya dengan negara lain) yang berasal dari perkembangan
sistem negara-negara kebangsaan itu sendiri.

Sistem negara-bangsa (Nations-State System) sangat inheren


dengan sifat-sifat kompetisi. Hal ini disebabkan karena seperti yang
disebutkan tadi yakni terdapatnya suatu sifat yang dimiliki oleh
negara yakni ego-centered concept of state dan juga ditandai dengan
kepentingan-kepentingan dan tujuan-tujuan yang dimanifestasikan
di dalam tataran atau wacana garis kebijakan luar negeri (politik luar
negeri) masing-masing negara. Dalam konteks ini ada dua kategori
klasifikasi menurut kriteria teknis penggunaannya atas berbagai
konflik tersebut, sebagaimana yang dikemukakan oleh Lerche dand
Said (1972, 145), yakni:
(1) Violent conflicts;
(2) Non-violent conflicts.
Walaupun antara keduanya terdapat perbedaan yang tidak tegas.
Karena masalahnya tidak terletak pada jenis kekerasannya melainkan

M anajem en Konflik Dalam Sistem Internasional 337


ada dalam tingkat kekerasannya. Alasan untuk melancarkan perang
dengan tanpa tindakan kekerasan, sama saja dengan alasan perang
dengan menggunakan tindakan kekerasan. Perencana perang hanya
mempertimbangkan agar perang bisa dilangsungkan dengan biaya
relatif murah, serta alasan dan pertimbangan risiko yang ditimbulkan
oleh keadaan perang tadi, sehingga pada akhirnya akan berpengaruh
pada intensitas dan frekuensi tindakan perang. ke dua-duanya bertujuan
dengan melaksanakan konflik dengan mengacu kepada prinsip yang
sama, yakni berupa strategi dan taktik yang dipakai.

Namun demikian dalam perkembangannya lebih lanjut, perbe-


daan antara ke duanya semakin tidak jelas sebagai akibat dari perkem-
bangan industri teknologi di bidang militer. Maka jikalaupun masih
terlihat, mungkin dari sisi kualitatif dan kuantitatifnya saja. Di samping
itu kita juga masih bisa melihat sisi perbedaan analisisnya antara dua
kategori besar dengan berdasarkan kepada sasaran (tujuan) yakni:
(1) Balancing objective conflict (konflik dengan sasaran keseimbang-
an);
(2) Hegemonic objective conflict (konflik dengan sasaran hegemonik).

Konflik dengan sasaran keseimbangan bertujuan untuk menca-


pai kondisi (keadaan) seimbang mengenai suatu masalah yang diper-
tentangkan. Sementara untuk penjelasan sasaran konflik yang hege­
monik, adalah yang bertujuan untuk mendominasi keadaan (situasi)
dengan cara mencari atau pemulihan keadaan (restoration) terhadap
terganggunya suatu keseimbangan dalam konflik hubungan antar-
negara-negara. Para pelaku konflik lebih cenderung tidak menunjuk-
kan perhatian (konsentrasi) kepada adanya satu sasaran dan berupaya
untuk mencapai keunggulan sebanyak mungkin.

Di sini dikemukakan dua contoh jenis konflik dengan sasaran


keseimbangan yaitu, (1) expansionist policies yakni suatu kebijakan
(politik) yang dilakukan oleh suatu negara untuk tujuan memperluas
wilayah kekuasaannya dan dengan demikian tentunya ia berhadapan
dengan negara lainnya. Di antara faktor-faktor itu adalah, untuk

338 Studi Hubungan Internasional


mempertahankan prestise (gengsi) terutama bagi negara-negara besar;
akuisisi terhadap bahan-bahan mentah; memperiuas tempat pasar
atas barang-barang mereka; mencari tenaga-tenaga buruh yang reiatif
murah, pencarian bagi landasan atau pangkalan mil iter, dan sebagainya.
Sebagai contoh yang sangat terkenal dalam kaitannya dengan jenis
konflik seperti ini adalah metode yang digunakan oleh imperialisme
dan kolonialisme. Ini merupakan contoh klasik (tradisional) untuk
menggambarkan seberapa jauhkah bentuk tindakan ekspansi ini dalam
sistem internasional.

Namun semenjak pertengahan abad 20-an, gaya kolonialismedan


imperialisme ini tidak populer lagi dan telah mengalami kehancuran
dengan berbagai sebab. Akan tetapi segera muncul tipe baru yang
sama dengan tindakan imperialime tadi, dan ini sering disebut sebagai
neo-ekspansionisme yang telah berkembang dalam bentuk-bentuk
ketergantungan ekonomi dan dalam negara-negara satelit. Terutama
ini terjadi antara negara maju (negara-negara industri) dengan negara-
negara berkembang (negara-negara yang dikelompokkan ke dalam
negara-negara Dunia Ketiga) atau secara keras dikategorikan sebagai
negara-negara miskin (kekurangan). Hubungan antara ke duanya
(negara maju) dan negara-negara Dunia Ketiga (negara berkembang)
senantiasa dilihat dari perspektif ketergantungan (dependence)
khususnya dalam bidang ekonomi.

Jenis yang ke dua dari sasaran keseimbangan atas konflik adalah


revisionist dan status-quo confrontation (revisionisme) adalah suatu
bentuk konflik atau persengketaan yang bertujuan untuk melakukan
perubahan-perubahan terhadap negara-negara status-quo. Bentuk
konflik seperti ini muncul pada saat kondisi atau keadaan di mana
kebijakan ekspansionis berhadapan dengan kepentingan-kepentingan
negara-negara yang memiliki status-quo (keadaan tetap pada saat
tertentu). Atau dengan perkataan lain, revisionisme, hendak mengubah
keadaan atau "status-quo", dan pada umumnya negara-negara revisionis
lah yang memulai konflik dan negara yang berstatus-quo akan berusaha
membela diri dengan berbagai cara dan strategi yang ada.

Manajem en Konflik Dalam Sistem Internasional 339


Di samping beberapa jenis konflik yang telah disebutkan di atas,
masih ada lagi konflik yang bernama konflik nasionalisme (nationalism
conflicts). Pada umumnya konflik jenis ini dimulai dari munculnyasikap
nasionalisme yang terbentuk dalam kelompok-kelompok nasionalis
yang bertujuan untuk memperjuangkan kemerdekaan (kebebasan
mereka) dari belenggu penjajah (kolonialisme). Ketika tujuan ini
tercapai, maka sikap seperti ini sering dikaitkan dengan konsepsi self
determination of nations (hak menentukan nasib bangsa sendiri).

Konflik dengan berdasarkan atas pengalaman sejarah yakni


suatu bentuk konflik yang dilakukan oleh negara-negara dengan dasar
sentimen (rasa kebencian yang telah mendalam) dalam waktu yang
panjang. Meskipun demikian asal usul perasaan benci ini tidak tegas.
Contohnya, antara orang Russia dengan orangjerman dan antara orang
Perancis dengan orangjerman, dan sebagainya sejenis dengan itu.

Konflik rasial, agama, sosial budaya, lahir sebagai bentuk konflik


yang didorong oleh motivasi perbedaan-perbedaan suku, warna kulit,
kepercayaan, ekonomi (kaya miskin), perbedaan kultur, ideologis,
dan sebagainya. Sebagai contoh, Afrika Selatan, sebagai kasus dalam
konteks konflik yang berdasarkan pada rasialist; konflik yang terjadi
di India dan Pakistan adalah sebagai akibat perbedaan antara agama
Islam dan Hindu. Dan masih banyak lagi sebenarnya contoh untuk
menunjukkan seberapa jauhkah masalah ini menjadi fenomena dalam
kerangka konflik internasional.

Adalah konflik dengan sasaran hegemonik yang mirip dengan


perjuangan untuk memperoleh kekuasaan (struggle for power) sebagai
konsekuensi atas konsep perimbangan kekuatan (balancing of power)
dulu, sebelum hancurnya komunisme di Uni Soviet berhadapan
dengan Amerika Serikat (AS) atau dalam konsep sering disebut sebagai
hubungan antara Timur-Barat. Hubungan mereka ini senantiasa dilihat
dari hubungan berdasarkan kekuatan (power relationships) terutama
dalam kaitannya dengan pemilikan atas jumlah persenjataan strategis.
Seperti misalnya, dalam hubungan antara Amerika Serikat (AS) dengan

340 Studi Hubungan Internasional


Uni Soviet (US) dalam bentuk perjanjian persenjataan yaitu Strategic
Arms Limitation Talks (SALT) adalah suatu pembicaraan mengenai
pembatasan persenjataan (arms limitations) ofensif strategis.

Untuk pertama kalinya diadakan pembicaraan antara Amerika


Serikat (AS) dan Uni Soviet (US) pada tanggal 26 Mei 1972, yang
ditandatangani oleh Presiden Amerika Serikat Richard Nixon dan
Sekjen Partai Komunis Uni Soviet (PKUS) Leonid Brezhnez dalam
"Interium Agreements SALT I" dan berakhir masa berlakunya sejak
Oktober 1977. Dan selanjutnya, diadakan pula pertemuan antara
Presiden Amerika Serikat (AS) Gerald Ford dan Sekjen Partai Komunis
Uni Soviet Leonid Brezhnev pada 24 November 1974 (Vladivostok
Accord).

Demikianlah beberapa uraian tentang konsep-konsep sampai


pada pemikiran sistem internasional. Kemudian dijelaskan pula tentang
karakteristik sistem internasional dan diakhiri dengan penjelasan
yang berkaitan dengan konflik-konflik dan bentuk-bentuknya dan ini
merupakan gambaran yang ditunjukkan sebagai ciri yang terjadi dalam
konstruksi sistem internasional (sistem hubungan internasional) pada
umumnya. Meskipun demikian, yang paling penting dalam hubungan
ini adalah penjelasan atau anaiisis tentang bagaimanakah mengelola
atau bagaimana cara menyelesaikan sengketa-sengketa internasional
itu. Sebab dalam sistem internasional, senantiasa seperti itu diuraikan
lebih rinci dengan mengemukakan beberapa metode pendekatan
teori dalam kerangka penyelesaian atas konflik-konflik internasional
tersebut.

8.2 MANAJEMEN KONFLIK DALAM SISTEM


INTERNASIONAL
8.2.1 Metode Perimbangan Kekuatan
Dalam uraian terdahulu, secara panjang lebar telah dijelaskan
mengenai sistem internasional. Sistem internasional dengan beberapa
muatan-muatannya yang terdiri dari aktor-aktor (pelaku) internasional

Manajem en Konflik Dalam Sistem Internasional 341


yang berupa negara-negara, organisasi-organisasi internasional (IGOs,
NGOsatau MNCs), individu-individu, badan-badan internasional, yang
kesemuanya itu menjadi pelaku-pelaku dalam sistem internasional
dan diantara para pelaku ini mengadakan interaksi-interaksi. Dalam
proses interaksi itu tampaknya tidak terlepas dari konflik-konflik dan
kerjasama. Sehingga apa yang terjadi pada akhirnya yaitu konflik dan
kerjasama. Karena dalam pembawaan sistem tersebut terjadi konflik
dan kerjasama sebagai resultance dari masing-masing pelaku yang
berupaya mencari dan mempertahankan kepentingan-kepentingannya
itu. Oleh sebab itu yang menjadi permasalahan adalah bagaimana
agar konflik-konflik dan kerjasama tersebut dalam kerangka sistem
internasional berjalan dengan kondisi yang kondusif? Tujuan yang
akan dicapai dalam tulisan bagian ini adalah untuk menguraikan secara
umum upaya-upaya pengelolaan terhadap konflik-konflik dalam sistem
internasional dengan ditampilkannya berbagai pendekatan teori dan
metodeyangdiharapkan dapat memberikan kontribusi atas pemecahan
masalah yangtimbul dalam kerangka hubungan internasional itu.

Menurut pandangan Amstutz (1982, 405-409), bahwa metode


ataupun pendekatan teori dalam rangka manajemen konflik dapat
diklasifikasikan ke dalam pemikiran yang disebutnya sebagai general
perspectives yang dihubungkan dengan penggunaan power bagi
hubungan internasional pada umumnya. Pertama, perspektif yang
mengasumsikan bahwa power itu berada dalam konstruksi realitas
sebuah sistem internasional dan power diperlukan sebagai upaya
pengelolaan dalam rangka mengoptimalisasikan perdamaian pada
umumnya. Ke dua, diasumsikan bahwa hubungan internasional yang
harmonis, dapat diwujudkan dengan cara "avoiding power". Ke tiga,
diasumsikan bahwa perdamaian dapat dipelihara dan dipertahankan
jikalau dilakukan dengan cara "reduction" dan "elimination".

Selanjutnya dalam perspektif pengelolaan power (manajemen


konflik atau penggunaan power) dilakukan dengan cara penggunaan
atas beberapa metode atau pendekatan teori diantaranya adalah:

342 Studi Hubungan Internasional


1. Pertimbangan kekuatan (balance of power);
2. Keamanan bersama (collective security); dan
3. Pemerintahan dunia (world government)

Untuk lebih memperjelas bagaimana pengelolaan atas konflik


dengan berdasarkan power tadi itu yakni dengan berdasarkan tiga
perspektif power dengan enam macam pendekatan teori, digambarkan
oleh Amstut dalam bentuk skema perspektif dan metode pemeliharaan
perdamaian internasional sebagai berikut:

PERSPEKTIF DAN M ETODE PEM ELIHARAAN PERDAM AIAN

M e t o d a P e m e lih a r a a n
P e r s p e k t if Power
P e r d a m a ia n

(1) M a n a g in g power:
a. B alanced pow er a. B alanced of pow er
b. Im b alanced pow er fa. Collective security
c. W orld governm ent
(2) A v o id in g p ow er a. Pasific settlement of disputes
fa. Functionalism
(3) R e d u cin g a n d Elim inating p ow er - disarmaments

Sumber: A daptasi dari M ark R . Amstutz, Introduction to Political Science: Tt


M anagem ent of Conflicts, (Clensview , Illin o is; Scott, Forem an a n d C om pa n
1982, 406).

Metode pemeliharaan perdamaian ini mengasumsikan bahv\


negara-negara, seperti halnya orang-orang, senantiasa berkaitan er
dengan upaya-upaya untuk dapat memenuhi kepentingan-kepentin
annya yaitu dalam kerangka optimalisasi kepentingan-kepentingan n
sionalnya. Pendekatan ini berusaha untuk mentransformasikan sua
daya dan upaya untuk membangun suatu tatanan (order) atau tert
dan kondisi yang harmonis sebagai akibat dari dorongan-dorong
ambisius negara-negara.

Dasar pijakan yang digunakan terutama dari asumsi kons


perimbangan kekuatan bahwa perdamaian dapat diwujudk
bilamana terdapat apa yang disebut dengan maintaining of gene
equilibrium of power among nations (states) (Amztutz, 1982, 40

M anajem en Konflik Dalam Sistem Internasional


Perimbangan kekuatan (balance of power) pada dasarnya tidak
didirikan untuk satu negara saja, atau oleh sekelompok negara-negara
dalam sistem internasional, melainkan dimulai dari alasan-alasan
motivasi atas kompetisi antarnegara-negara itu sendiri. Pendekatan
dalam perimbangan kekuatan ini bukan ditujukan kepada atau untuk
melukiskan kebijakan-kebijakan negara-negara akan tetapi hanya
sebagai "... resulting condition from these national interests, and they
do so by maximing their power capabilities ... does not describe the
intentions and goals of states but the consequences resulting from the
competitive struggle among states" (Amstutz, 1982, 406-407).

8.2.2 Metode Keamanan Bersama (Collective Security)

Masalah keamanan bersama senantiasa berkaitan erat dengan


“the creation of a coluntary of states". Hal ini didasarkan kepada pan­
dangan bahwa di dalamnya tercermin suatu komitmen di antara ang-
gota. Komitmen tersebut mengatakan bahwa jikalau salah satu ang-
gota organisasi keamanan bersama ini atau dalam sistem ini mendapat
serangan atau agresi dari luar, maka serentak dengan itu oleh sistem
organisasi tersebut dilakukan perlawanan terhadap agressor tersebut.

Adapun sebagai dasar gagasan metode pemeliharaan atas perda­


maian seperti itu, terungkap dalam sikap: "an attack on one an attack
on all". Sebagai tujuan utamanya bukan membangun suatu hubung­
an antara negara-negara yang kondusif melainkan lebih berkonsen-
trasi kepada "a conflict management method that can be utilized in a
relatively peaceful environment ... attempt to do is systematize and
institutionalized behaviour (Amstutz, 1982, 408). Dalam mekanisme
kerjanya sistem keamanan bersama ini sekurang-kurangnya memuat
dua syarat utama yakni:

(1) A community of states must be able to identity a state commiting


agression;
(2) State must be willing and able to automatically punish the agressor
state.

344 Studi Hubungan Internasional


Tidak gampang untuk dapat mempertemukan ke dua aspek
tersebut di atas. Sebab hal ini berkaitan erat dengan upaya untuk
mengidentifikasikan bentuk-bentuk agresi tersebut. Setiap negara,
terdapat perbedaan secara prinsipil terdapat batasan atau formulasi
terhadap agressi itu, dan terutama dalam rangka penjabarannya.
Metode seperti ini telah diterapkan oleh Liga Bangsa-Bangsa (LBB)
maupun Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) secara parsial. Liga Bangsa-
Bangsa yang didirikan sejak usainya Perang Dunia Pertama, telah
melembagakan sistem ini yang dikatakan bahwa seluruh anggota Liga
bertanggung jawab atas atau untuk melindungi ancaman agressi. Ha!
ini dicantumkan dalam Pasal 10, 13, 15 dan 16 Piagam.

8.2.3 Metode Pemerintahan Dunia (World Government)

Sebagai metode yang ke tiga, adalah pemerintahan dunu


(internasional). Metode ini dianggap sebagai sesuatu sikapyang radikal
terutama atas cara pengelolaan power. Asumsinya, bahwa di dalarr
suatu tatanan (tertib) atau order yang diciptakan atau dibangun, dar
ditujukan kepada upaya perdamaian dunia maka kekuatan-kekuatar
politik itu harus disentralisasikan. Tidak seperti yang terdapat dalan
metode sistem keamanan bersama, yang berusaha untuk menciptakar
suatu monopoli atas pengaruh/kekuatan (monopoly of forces) di dalan
suatu sistem internasional.

Sedangkan dalam sistem pemerintahan dunia (internasional;


yang lebih menekankan pada sistem hubungan antarnegara (intei
states system) yang didasarkan kepada proses transformasi. Di man
unsur kedaulatan harus ditransfer kepada suatu lembaga dan bada
internasional tunggal (single international agency) yang bertanggun
jawab dalam rangka pengelolaan atas konflik-konflik atau sengkefc
sengketa internasional yang mungkin terjadi dalam hubungan-hubunj
an antarnegara bangsa (interstates relationships).

Ada memang premis yang dibuat dalam kerangka pemikira


sistem pemerintahan dunia ini yakni dengan menciptakan atau men

Manajem en Konflik Dalam Sistem Internasional 3■


bangun pemerintahan dunia yang dapatlah kiranya diharapkan paling
tidak untuk mempertahankan dan memelihara stabilitas internasional
ataupun perdamaian jikalau pandangan seperti ini diarahkan kepada
penciptaan suatu monopoly of forces oleh suatu badan internasional
yang kuat dan dengan tindakan seperti itu telah dianggap cukup untuk
mengelola konflik-konflik atau sengketa-sengketa internasional dan
memecahkan persoalan yang timbul sebagai resultance atas hubung-
an-hubungan antarnegara tadi itu.

Namun demikian dengan berdasarkan pada alur pikiran yakni


dengan upaya untuk menciptakan suatu badan atau lembaga yang
berskala internasional (mendunia), dan memiliki suatu otoritas tunggal
(single authority) dilaksanakan oleh suatu badan atau lembaga tadi
maka segera akan tampak jelas di sana terdapat kecenderungan untuk
mengarahkan upaya-upaya kepada penciptaan internasional empire
dan ini dianggap mirip dengan Roman Empire.

Ataupun dengan demikian, akan melahirkan suatu model yang


sama seperti sistem federalisme dalam mana, power (kekuatan-kekuat-
an politik) akan dibagi-bagikan kepada negara-negara anggota yang
berjumlah sekitar 180 negara dari suatu sistem kekuasaan yang ter-
pusat (a central authority). Sebagai contoh misalnya, organisasi inter­
nasional Perserikatan Bangsa-Bangsa. Ini adalah suatu model untuk
mencirikan satu pemerintahan dunia.

8.3 P E N Y E L E S A IA N K O N F L IK S E C A R A D A M A I
(P A C IF IC SET T LE M E N D IS P U T E )
8.3.1 Arbitrase Internasional

Metode ini tidak seperti metode-metode yang telah disebutkan di


atas. Metode yang hendak dijelaskan dalam bagian ini adalah metode
dalam kerangka penyelesaian sengketa-sengketa ataupun pertikaian-
pertikaian atau bahkan konflik-konflik internasional dengan berlandas-
kan kepada asas-asas perdamaian itu yang dilakukan dengan melalui

346 Studi Hubungan Internasional


arah dan tujuan (sasaran) desentralisasi sistem internasional dengan
menekankan pada nilai-nilai legalitas dan nilai-nilai moralitas.

Penyelesaian secara damai dapat ditempuh dengan jalan atau


melalui pengadilan (adjudicatory) dan atau dilakukan di luarpengadilan
(non-adjudicatory). Berdasarkan atas perbedaan cara tersebut, sengketa
internasional dapat dibedakan menjadi sengketa justiciable (sengketa
yang dapat diajukan ke pengadilan atas dasar hukum internasional)
dan sengketa non-justiciable (sengketa yang bukan merupakan sasaran
penyelesaian dengan melalui pengadilan).

Sengketa atau konflik-konflik yang bersifat justiciable sering


disebut sebagai sengketa hukum karena, sengketa tersebut timbul dari
Hukum Internasional dan diselesaikan dengan menerapkan hukum in­
ternasional. Sengketa yang bersifat non-justiciable, seringdikenal deng­
an sifat sengketa atau konflik sebagai sengketa politik, karena hanya
melibatkan kebijakan (policies) atau urusan yang berada di luar jang-
kauan hukum (internasional) sehingga dalam rangka penyelesaiannya
pun, lebih banyak dilakukan dengan cara atau pertimbangan politik.

Oleh sebab itu penyelesaian yang bersifat non-adjudicatory juga


sering disebut sebagai penyelesaian politik. Selanjutnya penyelesaian
politik juga sering dikenal dengan sebutan penyelesaian diplomatik.
Penyelesaian sengketa secara damai (pasific settlement of disputes)
dapat dibedakan menjadi:
(1) Penyelesaian dengan melalui pengadilan
(2) Penyelesaian dilakukan di luar pengadilan

Penyelesaian sengketa dengan melalui pengadilan dapat di­


tempuh dengan melalui penyelesaian sengketa internasional dengan
melalui arbitrase internasional adalah dengan mengajukan sengketa
internasional kepada arbitrator yang dipilih secara bebas oleh pihak-
pihak, yang memberi keputusan dengan tidak harus ketat memperhati-
kan pertimbangan-pertimbangan hukum. Arbitrase adalah merupakan
suatu cara penerapan prinsip-prinsip hukum terhadap suatu sengketa

Manajem en Konflik Dalam Sistem Internasional 347


dalam batas-batas yang telah disetujui sebelumnya, dari dan oleh pi-
hak-pihak yang bersengketa.

Secara esensial, arbitrase ini merupakan prosedural bagi kon-


sensus. Persetujuan para pihak-pihak yang bersengketalah yang meng-
atur pengadilan arbitrase. Arbitrase terdiri dari:
1. Seorang arbitrator, atau
2. Komisi bersama antara anggota-anggota yang ditunjuk oleh para
pihak yang bersengketa;
3. Komisi campuran yang terdiri dari orang-orang yang diajukan oleh
pihak-pihak yang bersengketa dan anggota-anggota tambahan
yang dipilih dengan cara lain.

Pengadilan arbitrase dilaksanakan oleh suatu panel hakim atau


suatu arbitrator yang dibentuk atas dasar persetuj uan khusus para pihak,
atau dengan perjanjian-perjanjian arbitrase yang telah ada. Persetujuan
arbitrase tersebut, dikenal sebagai kompromi yang memuat:
1. Persetujuan para pihak untuk terikat pada keputusan arbitrase;
2. Metode pemilihan panel arbitrase;
3. Waktu dan tempat 'hearing';
4. Batas-batas fakta yang dipertimbangkan;
5. Prinsip-prinsip hukum atau keadilan yang harus diterapkan untuk
mencapai suatu keputusan.

Ada beberapa arbitrase internasional yang telah tersedia antara


lain adalah:
7. Court of Arbitration of the International Chambr of Commerce
(ICC), yang didirikan di Paris 1919.
2. International Centre for Settlement of Investment Disputes
(ICSID).
3. International Centre for Commercial Arbitration (RCCA) yang
berpusat di Kuala Lumpur 1978 dan untuk kawasan Afrika disebut
Regional Centre for Commercial Arbitration di Kairo 1979.

348 Studi Hubungan Internasional


8.3.2 Pengadilan Internasionai

Dewasa ini di lingkungan internasional, satu-satunya cara untuk


dapat menyeiesaikan konflik-konflik internasional melalui pengadilan
yaitu dengan cara mengajukan sengketa atau konflik tadi ke hadapan
Mahkamah Internasional (International Court of Justice). Dalam hal ini
Mahkamah Internasional memiliki wewenang untuk:

1. Melaksanakan "contentious jurisdiction" yaitu jurisdiksi atas


perkara biasa;
2. Members "advisory opinion" yaitu pendapat mahkamah yang
bersifat nasehat.

Di samping penyelesaian yang dilakukan dengan meiaiui peng-


adilan, sengketa internasionai dapat juga diselesaikan di luar penga­
dilan yakni daiam rupa: negosiasi, mediasi, good offices, konsiliasi,
penyelidikan.

Negosiasi

Negosiasi secara esensial berarti pertukaran pendapat dan usui


antarpihak-pihak yang bersengketa untuk mencari kemungkinan
tercapainya penyelesaian konflik secara damai. Negosiasi merupakan
proses yang didalamnya secara eksplisit, diajukan usul secara nyata
untuk mencapai suatu persetujuan. Negosiasi ini melibatkan diskusi
langsung antarpihak-pihak yang bersengketa atau tidak pihak luar
yang terlibat dalam proses negosiasi ini.

Dalam proses negosiasi, peran diplomasi sangat penting dan


esensial. Selama proses negosiasi berlangsung peran agen diplomatik
(perwakilan diplomatik) harus melaksanakan instruksi pemerintahnya
dan selalu harus tampil dengan penawarannya yang terbaik demi
kepentingan negaranya sendiri. Perwakilan diplomatik harus mampu
meyakinkan bahwa penyelesaian yang dicapai harus mempunyai
signifikan praktis dan tidak hanya mampu menyeiesaikan konflik-
konflik yang ada, melainkan juga mampu mencegah terjadinya
sengketa mengenai hal yang sama dikemudian hari.

M anajem en Konflik Dalam Sistem Internasional 349


Negosiasi di samping pengertian yang disebutkan di muka, juga
ia merupakan suatu metode yang diterima secara universal dalam
kerangka menyelesaikan konflik-konflik internasional dan paling
umum digunakan untuk menyelesaikan konflik-konflik internasional.
Negosiasi merupakan cara-cara yang utama yang digunakan oleh pi­
hak-pihak yang bersengketa sebelum mereka menggunakan cara-cara
penyelesaian konflik lain.

Dan terkadang, dalam negosiasi digunakan'secara bersama-sama


dengan good offies (jasa baik) ataupun dengan mediasi. Negosiasi
dapat dilakukan dengan/dalam bentuk-bentuk bilateral atau negosiasi
dalam bentuk multilateral, dengan melalui saluran diplomatik atau
pada konferensi diplomatik ataupun dalam organisasi internasional.
Negosiasi dilakukan oleh seorang Kepala Negara/Pemerintahan,
Presiden, Perdana Menteri, Menteri Luar Negeri atau para pejabat
Departemen lainnya.

Namun demikian, negosiasi yang paling dianggap penting di­


lakukan dengan melalui jalur (saluran) diplomatik yakni, misi diplo­
matik permanen antara para pihak yang bersengketa dan komunika-
si secara lisan maupun secara tertulis antara perwakilan diplomatik
dengan Menteri Luar Negeri tempat misi diplomatik itu dikuasakan.

Mediasi

Mediasi adalah tindakan yang dari negara ke tiga atau individu


yang tidak berkepentingan dalam satu konflik-konflik atau sengketa-
sengketa internasional yang bertujuan hanya untuk membawa ke arah
negosiasi atau dengan memberikan fasilitas ke arah negosiasi dan juga
sekaligus berperan aktif dalam negosiasi pihak yang bertikai. Dalam hal
ini antara ke dua belah pihak yang bersengketa secara bersama-sama
sepakat untuk menunjuk pihak ke tiga yang akan memberikan "nasihat-
nasihat"nya tentang bagaimana mereka sebaiknva menyelesaikan
pertentangan mereka. Sekalipun nasihat-nasihat pihak yang ke tiga
tersebut tidak mengikat pihak-pihak yang terlibat dalam konflik, namun

350 Studi Hubungan Internasional


cara pengendalian seperti ini terkadang menghasilkan penyelesaiannya
cukupefektif karena dengan cara seperti ini memberikan kemungkinan-
kemungkinan untuk mengurangi irasionalitas yang biasanya timbul di
dalam setiap konflik, memungkinkan pihak-pihak yang bersengketa
menarik diri tanpa harus kehilangan muka, mengurangi pemborosan
yang dikeluarkan untuk membiayai sengketa-sengketa tersebut
(Nasikun, 1993, 24).

Peran seorang mediator yang berperan aktif demi tercapainya


penyelesaian konflik-konflik internasional yang dimaksudkan itu. Se­
ll ingga dalam peran aktifnya, bahwa saran atau apapun namanya tidak
bersifat mengikat terhadap pihak-pihak yang bersengketa. Peran para
mediator, menurut Konvensi Den Haag 18999 adalah mendamaikan
tuntutan yang saling berlawanan serta meredakan rasa dendam yang
barangkali timbul dalam hubungan antarnegara yang bersengketa.

Dilihat dari sisi lingkup suatu meditasi, tampaknya sangat


terbatas yang tidak memiliki prosedural hukum ataupun metode dalam
rangka melakukan penelitiannya mengenai fakta-fakta atas konflik-
konflik yang ada. Pengetahuan yang dimiliki oleh para mediator,
hanya terbatas pada fakta-fakta yang dituturkan oleh para pihak yang
bersengketa. Menjadi mediator, dapat terdiri dari satu negara atau
lebih atau juga terdiri dari orang-orang perorangan (individual). Pihak
mediator memimpin atau berpartisipasi dalam proses negosiasi tadi
dan secara bersama-sama dengan pihak yang bersengketa.

Good-Offices (jasa-jasa Baik)

Merupakan suatu metode dalam rangka penyelesaian suatu


konflik-konflik internasional secara tradisional yang tidak tercantum
dalam ketentuan pasal 33 Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, akan
tetapi merupakan suatu metode yang sering digunakan oleh Perserikat­
an Bangsa-Bangsa dalam tindakan penyelesaian suatu sengketa inter­
nasional pada umumnya. Jasa-jasa baik (good offices) adalah tindakan
yang dilakukan oleh pihak ke tiga (thirdparty) yang membawa ke arah

M anajem en Konflik Dalam Sistem Internasional 351


negosiasi atau yang memberikan fasiiitas ke arah terselenggaranya ne­
gosiasi dengan tanpa berperan serta dalam diskusi mengenai substansi
atau pokok-pokok persengketaan yang bersangkutan.

jasa-jasa baik ini terjadi bilamana pihak-pihak yang bersengketa


memberikan kesempatan kepada pihak ketiga tadi yang mencoba
untuk membujuk kepada para pihak-pihak yang bersengketa untuk
meiakukan negosiasi sendiri. Penawaran atas jasa-jasa baik ini oleh
pihak ke tiga hanya dapat menawarkan saluran- komunikasi (channels
of communications) atau dengan fasiiitas lain, agar dengan demikian,
dapat dimanfaatkan oleh para pihak lain yang bersengketa demi
terselenggaranya suatu negosiasi. Dalam hal ini pihak ke tiga tidak
diperbolehkan menawarkan syarat-syarat penyelesaian (terms of
settlement). Pihak ke tiga hanya memberikan jasa baik bersahabat
yang semata-mata berupaya agar dapat menyelesaikan persengketaan
tanpa meiibatkan diri dalam isu yang sedang menghangat.

Pihak ke tiga hanya menawarkan dan menyediakan alasan-alas-


an yang bersifat netral mengenai perlunya suatu negosiasi. Organi­
sasi-organisasi internasional yang dalam hal ini sebagai contoh Per­
serikatan Bangsa-Sangsa (Dewan Keamanan) ataupun Majelis Umum
Perserikatan Bangsa-Bangsa dapat bertindak sebagai mediator (pihak
ke tiga) dalam kerangka menawarkan jasa baik itu.

Konsiiiasi (Conciliation)

Konsiiiasi dalam pengertian umum mencakup berbagai jenis


metode yang bertujuan untuk menyelesaikan persengketaan dalam
lingkup internasional. Namun demikian, metode seperti ini sering
juga disebut sebagai metode pengendalian sosial atas konflik-konflik
sosial tertentu. Pengendalian semacam ini terwujud dengan melalui
lembaga-lembaga tertentu yang memungkinkan tumbuhnya pola dis­
kusi dan pengambilan keputusan-keputusan antara pihak-pihak yang
bersengketa.

352 S tu d i H ubungan In te rn a s io n a l
Dengan demikian, konsiliasi sebagai metode untuk menyeie­
saikan konflik dan dilakukan dengan motivasi bersahabat dengan
bantuan negara lain atau badan pemerintah yang tidak memihak atau
sebagai Komisi Penasihat. Dalam artian sempit, konsiliasi merupakan
pengajuan sengketa kepada suatu komisi atau komiter yang akan mem-
buat suatu ia p o ra n dengan disertai suatu usuian dalam kerangka pe­
n y e le s a ia n bag i p ih a k - p ih a k y a n g bersengketa. Namun usuian tersebut
tid a k b e rs ifa t m e n g ik a t. Artinya, p ara pihak yang bersengketa bebas
m e la k s a n a k a n atas u s u ia n te rs e b u t ataupun syarat-syarat p e n y e le s a ia n

(terms of settlement). Konsiliasi berarti penunjukkan sekelompok


individu yang akan mendengar pendapat ke dua belah pihak yang
bersengketa, menyelidiki atas fakta-fakta yang mendasari terjadinya
konflik-konflik itu dan mungkin setelah dilakukan suatu pembicaraan
(diskusi) dengan p a ra pihak yang bertikai, menyampaikan suatu usul
formal untuk dipertimbangkan oleh ke dua belah pihak yang berseng­
keta sebagai suatu upaya untuk menyeiesaikan sengketa yang ada itu.
Penyelidikan dan pemeriksaan menjadi kunci pokok dalam rangka
pelaksanaan konsiliasi ini, oleh para konsiliator, atau dalam penger-
tian lain, bahwa konsiliasi merupakan hasi! peran negara atau orang
ke tiga ataupun dari beberapa negara ke tiga untuk memformulasikan
suatu usul penyelesaian terhadap konflik-konflik internasional khusus-
nya.

Penyelidikan (Enquiry)

Metode penyelidikan erat kaitannya dengan metode fact


finding (penemuan fakta-fakta) di mana antara ke duanya merupakan
bagian yang tidak dapat dipisahkan dari fungsi pengadilan. ke duanya
merupakan bagian yang esensial bagi fungsi pengadilan dan konsiliasi.
Dengan penemuan atas fakta-fakta, para pihak-pihak yang bersengketa
dapat membentangkan fakta-fakta sembari membiarkan konflik-konflik
tetap berlangsung ada pada tingkat penanganan diplomatik. Sekaii
lagi, penyelidikan adalah suatu proses penemuan atau pencarian fakta
oleh suatu tim pencari fakta yang bersifat netral.

M a n a je m e n K o n flik D a la m S is te m In te rn a s io n a l 353
Perlucutan Senjata (Disarmament)

Sebagai suatu metode pendekatan dalam kerangka pemeliharaan


perdamaian internasional yang dapat dirumuskan sebagai suatu upaya
pereduksian (reduction) dan dengan cara eliminasi (elimination) atas
persenjataan strategis (arms weapons). Perlucutan senjata (disarma­
ment) berkaitan erat dengan pengawasan senjata (arms control) dan
juga dengan pembatasan senjata (arms limitation) serta ditambah de­
ngan perlombaan senjata (arms race).

Berangkat dari pengertian dan batasan tentang perlucutan sen­


jata secara umum dapatlah dikatakan bahwa perlucutan senjata meru­
pakan usaha bersama dari setiap negara untuk mengurangi atau meng-
hapus atas sejumlah, jenis dan kualitas persenjataan yang telah dan
yang akan dibuat sehingga dapat terjaminnya kelangsungan hidup
manusia. Namun di sisi lain, erat kaitannya dengan konsep perlucutan
senjata adalah dengan pengawasan senjata terdapat dua masalah yang
tidak dipisahkan dalam konteks stabilisasi sistem internasional. Antara
ke duanya yang menurut Anggoro (1987, 13) memiliki tujuan (sasaran)
yang sama yakni untuk memperkecil atau bahkan untuk mengurangi
atau menghapus sama sekali kemungkinan akan munculnya perang.

Perlucutan senjata diterjemahkan sebagai upaya untuk me­


ngurangi atau bahkan lebih ekstrem lagi memusnahkan semua jenis
persenjataan. Dalam hal ini dimensi kuantitasnya yang lebih menjadi
sorotan dalam konsep seperti ini. Sedangkan dalam kaitannya dengan
pengawasan senjata lebih menunjukkan sifatnya yang kualitatif yakni
sebagai upaya membatasi jenis persenjataan dalam konteks pengem-
bangannya atau penggelaran sistem persenjataan tertentu (Anggoro,
1987, 14).

Namun demikian, dalam rangka menggunakan konsep periu-


cutan senjata sebagai suatu upaya untuk memelihara perdamaian in­
ternasional, setidak-tidaknya ada empat dasar pokok yang melandasi
upaya perlucutan senjata, sebagaimana yang telah dikemukakan oleh
K. J. Holsti (1987, 409), yaitu:

354 S tu d i H ubungan In te rn a s io n a l
1. Kepentingan untuk melakukan periucutan senjata dari semua
pihak dengan bersandarkan pada perhitungan untung-ruginya;
2. Ancaman tingkat tinggi terutama dari penggunaan persenjataan
nuklir harus dibatasi;
3. Nilai-niiai hierarkhis dari upaya penangkalan maupun dalam
rangka mencegah tindakan-tindakan kekerasan secara iuas;
4. Mengadakan pemeliharaan dan pengawasan yang secara terpusat
dalam menggunakan senjata yang dianggap strategis.

8,4 PERDAMAIAN MELALUI ORGANSSASl


INTERNASIONAL DAN REGIONAL
8.4.1 Penyelesaian Melalui Organisasi Internasional

Penyelesaian dalam tataran regional atas berbagai konflik inter­


nasional (regional) secara damai dengan menggunakan jasa organisasi-
organisasi regional (regional organizations). Negara-negara organisasi
internasional seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa sebelum berusaha
untuk menyelesaikannya dengan melalui penyelesaian regional, yang
menjadi anggota organisasi-organisasi regional diminta untuk meng-
ajukan sengketa-sengketanya yang timbul antar mereka ke Dewan
Keamanan (Security Council) Perserikatan Bangsa-Bangsa sebelum
berusaha menyelesaikannya melalui penyelesaian regional. Masing-
masing organisasi internasional sudah mempunyai aturan mengenai
cara-cara penyelesaian secara damai sengketa yang terjadi pada ne-
gara-negara anggota organisasi yang bersangkutan. Berikut akan di-
tampilkan beberapa contoh penyelenggaraan bagi penyelesaian kon­
flik-konflik dengan melalui penyelenggaraan manajerial regionalisme.

8.4.2 Penyelesaian Melalui Regionalisme ASEAN

Dalam rangka untuk menyeiesaikan konflik-konflik yang mung-


kin timbul dalam Organisasi Regional ASEAN, negara anggota ASEAN
bersepakat untuk membentuk suatu badan permanen yang diberikan
kepada Dewan Agung (High Council). Dewan Agung ini terdiri dari

M a n a je m e n K o n flik D alam S istem In te rn a s io n a l 355


perwakilan-perwakilan tingkat menteri masing-masing negara-negara
anggota Organisasi Regional ASEAN.

Dewan Agung ini bertanggung jawab atas sengketa atau situasi


yang mungkin saja terjadi dan akan mungkin dapat mengganggu per­
damaian dan keserasian organisasi kerjasama regional ASEAN. We-
wenang ini timbul apabila bagi yang bersengketa atau situasi tersebut
tidak tercapai dengan suatu penyelesaian dengan melalui negosiasi se­
cara langsung. Penerapan proses regional tersebut akan diberiakukan
hanya apabila ada persetujuan dari semua pihak yang bersengketa.

Dalam rangka upaya menyeiesaikan suatu konflik, maka dalam


hubungan ini Dewan Agung memiliki kekuasaan atau wewenang se­
bagai berikut:
1. Memberikan rekomendasi kepada para pihak-pihak yang
bersengketa untuk mempergunakan cara-cara penyelesaian yang
tepat misalnya dengan cara "good offices" (jasa baik), mediasi
(perantara), enquiry (penyelidikan), ataupun dengan cara konsiliasi
(rujukan);
2. Dewan Agung bisa bertindak sendiri sebagai yang menawarkan
jasa baiknya (good offices);
3. Atas persetujuan para pihak yang bersengketa Dewan Agung akan
bertindak sebagai komite mediasi, komite penyelidikan ataupun
bisa dengan status komisi konsiliasi;
4. Apabila dianggap perlu, Dewan Agung dapat memberikan
rekomendasinya kepada pihak-pihak yang bersengketa untuk
mengambil sarana yang tepat guna mencegah memburuknya
sengketa atau konflik-konflik atau situasi.

8.4.3 Penyelesaian Organisasi Regional Negara-Negara Amerika

Ketentuan Bagian V yang semula bagian IV, Piagam Organ­


isasi Negara-negara Amerika (OAS), mewajibkan bahwa semua seng­
keta atau konflik-konflik yang terjadi dalam skala internasional, yang

356 Studi Hubungan Internasional


mungkin timbul dalam hubungan antarnegara negara Amerika, harus
diajukan ke prosedural yang bersifat damai seperti yang ditentukan
oleh Piagam yakni dengan cara negosiasi secara langsung seperti de­
ngan cara penawaran jasa-jasa baik, mediasi, penyelidikan, konsiliasi,
penyelesaian dengan melalui jasa pengadilan, arbitrase atau dengan
cara-cara lain yang mendapat persetujuan dari pihak-pihak yang ber­
sengketa.

Dalam penyelesaian regional ini ada dua orang yang berperan


aktif yakni: Komiter Konsultatif Menteri Luar Negeri (Consultative
Committee of Ministers of Foreign Affairs) dan Komite Perdamaian
AntarNegara Negara Amerika (Inter-American Peace Committee).

Komite Konsultatif yang bertindak dengan melalui Dewan Or­


ganisasi Negara-Negara Amerika dengan menerapkan prosedural
"Komite Penelitian". Komite Perdamaian yang berperan sebagai lem-
baga yang dapat meyakinkan negara-negara yang bersengketa agar se-
cepatnya memungkinkan dapat mengeluarkan suatu keputusan atau
rekomendasi yang tidak mengikat ke dua negara atau kepada negara-
negara yang bersengketa. Komite hanya menyarankan sarana-sarana
dan langkah-langkah yang kondusif untuk tercapainya suatu penyele­
saian (Tsani, 1990, 116).

8.4.4 Penyelesaian Regional Dewan Eropa

Dewan Eropa pada than 1957 yang berhasil menyetujui suatu


konvensi tentang penyelesaian tentang konflik. Dalam konvensi terse­
but diinformasikan suatu prosedural dan kewajiban yang menyeluruh
dengan langkah-langkah berikut:

1. Mengajukan sengketa hukum ke Mahkamah Internasional;


2. Konsiliasi untuk sengketa yang bukan hukum;
3. Arbitrase untuk sengketa yang bukan hukum, sebagaimana
dijadikan sebagai alternatif dan tambahan atas konsiliasi (Tsani,
1990, 116-117).

M a n a je m e n K o n flik D a la m S is te m In te rn a s io n a l 357
8.4.5 Penyelesaian Regional Arab

Liga Arab belum memiliki suatu kode umum mengenai penyele­


saian sengketa secara damai. Namun dalam Pasal IV Pakta Liga Arab,
memberikan gambaran bahwa negara anggota bisa mengajukan seng­
keta ke Dewan Liga Arab untuk diselesaikan melalui langkah mediasi.
Apabila ada persetujuan antara pihak-pihak yang bersengketa, maka
konflik-konflik itu dapat diajukan ke Dewan Liga Arab untuk diminta
suatu penyelesaian. Dalam hal ini persyaratan bahwa keputusan de­
wan efektif dan wajib (Tsani, 1990, 117).

8.4.6 Penyelesaian Regional Organisasi Persatuan Afrika (OAU)

Dalam ketentuan pasal 3 dan pasal 19 Piagam Organisasi Per­


satuan Afrika, negara anggota mengakui kewajiban untuk menyeie­
saikan sengketa antara negara-negara dengan cara damai. Untuk ke-
pentingan tersebut, dibentuklah suatu komisi sebagai lembaga yang
ditugaskan untuk penyelesaian suatu sengketa yang mungkin timbul
dalam hubungan antarnegara-negara tersebut. Komisi ini terdiri dari
21 negara-negara anggota yang dipilih dan diangkat oleh Majelis Ke-
pa!a Negara.

Komisi ini memiliki yurisdiksi hanya terhadap sengketa antara


negara-negara Afrika. Dalam hal ini sengketa dapat diajukan kepada
komite:

1. Dengan persetujuan para pihak yang bersengketa;


2. Hanya oleh satu pihak yang bersengketa saja;
3. Oleh Dewan Menteri atau Majelis Kepala Negara atau Kepala
Pemerintahan.

Metode pendekatan yang dilakukan dalam rangka penyelesaian


atas konflik-konflik dengan melalui mediasi, konsiliasi dan arbitrase.
Pengaturannya bisa dijumpai dalam Protokol Kairo 1964 yakni me­
ngenai mediasi, konsiliasi dan arbitrase. Komisi organisasi berhak me-
nentukan apakah suatu sengketa akan diajukan ke mediator ataukah
ke konsiliator ataukah ke arbitrator.

358 S tu d i H ubungan In te rn a s io n a l
Diplomasi dan jasa-jasa baik Biro dan Politik Organisasi sang-
at menentukan dalam hal pemberian formalitas dan dorongan untuk
mempergunakan mekanisme komisi secara efektif. Pelaksanaan penye­
lesaian sengketa internasional secara damai dengan melalui proses re­
gional, pada dasarnya hanya menerapkan metode-metoda penyelesai­
an sengketa internasional secara damai yang telah disediakan oleh Hu­
kum Internasional.

8.4.7 Pendekatan Perdamaian Dengan Organisasi Internasional PBB

Bagi pihak-pihak yang berkonflik, terutama dengan konflik-


konflik yang berskala internasional, yang mungkin dapat mengancam
perdamaian dan keamanan internasional, pertama-tama harus disele-
saikan dengan cara-cara damai yakni melalui negosiasi, penyelidikan,
mediasi, konsiliasi, arbitrase, penyelesaian dengan melalui Jasa peng­
adilan, penyelesaian regional atau dengan cara-cara damai lainnya
yang disetujui oleh pihak-pihak yang bersengketa. Dalam hubungan
ini yang secara khusus diadakan pendekatan secara damai dengan
melalui organisasi internasional seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa dinyatakan bahwa secara
khusus "Organisasi didasarkan kepada prinsip-prinsip persamaan ke-
daulatan (the Sovereign equality) bagi semua anggota-anggota". Dalam
hal ini Perserikatan Bangsa-Bangsa sebagai organisasi internasional
dapat melakukan sesuatu yang berkaitan dengan upaya penyelesaian
sengketa internasional dengan dua hal yaitu:

1. Mencoba untuk mendorong secara bersama-sama di dalam


satu wadah internasional (organisasi dunia) dengan bemnacam
ragam instrumennya dan badan-badannya untuk mencari solusi
perdamaian "di dalam sistem negara-negara" sehingga pada
akhirnya dapat dimanfaatkan secara optimal.
2. Mencoba untuk mendorong dan mengadministrasikan (mengelola)
kerjasama internasional ke dalam wacana yang lebih !uas tanpa
memperhitungkan hal-hal yang bersifat poiitis.

M a n a je m e n Konflik Dalam S istem In te rn a s io n a l 359


PENEG AKAN PERDAM AIAN IN TERN ASIO N AL DAN KEAM ANAN
IN TERN ASIO N AL

Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa memasukkan berbagai


pendekatan bagi upaya-upaya perdamaian dan keamanan internasional.
Majelis Umum (General Assembly) dan Dewan Keamanan (Security
Council) Perserikatan Bangsa-Bangsa adalah merupakan forum-forum
dalam mana masalah-masalah internasional dapat dibicarakan, atau
opini-opini publik dapat diungkapkan dan negosiasi-negosiasi dapat
dilaksanakan antara pihak-pihak yang bersengketa (aming disputing
nations). Dewan Ekonomi dan Sosial (ECOSOC) dan beserta Badan
Badan Khusus (specialized agencies) Perserikatan Bangsa-Bangsa
memberikan peluang dan kesempatan-kesempatan dari macam-
macam jenis kerjasama yang bersifat non-politik dan juga yang bersifat
hal-hal teknis.

Perserikatan Bangsa-Bangsa yang memiliki Badan-Badan Khusus


untuk dimanfaatkan sebagai mediasi (penengahan) dan perwujudan
(conciliations) terhadap berbagai konflik-konflik internasional; adju-
dikasi (perwasitan) dalam hukum internsional (International Court of
justice) dan pengaturan (regulations) terhadap pelucutan senjata (dis­
armament). Di samping itu juga Perserikatan Bangsa-Bangsa merilis
keamanan bersama (collective security) sebagai pendekatan utama
bagi pencegahan perang (preventif), masalah ini tercantum dalam bab
VII, Pasal 39-51 Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa. Maka dengan
demikian peranan yang dimainkan oleh organisasi-organisasi interna­
sional dalam sistem internasional terutama dalam kaitannya dengan
konflik-konflik internasional, adalah sebagai fasilitating, coordinating
dan regulating, terhadap perilaku negara-negara di dalam sistem inter­
nasional itu. Atau setidak-tidaknya ada empat fungsi yang diperankan
oleh organisasi-organisasi internasional itu diantaranya ialah:
1. They can regulate the behavior of states in order to minimize the
potential of war;

360 S tu d i H ubungan In te rn a s io n a l
2. They can facilitate the settlement of disputes through pacific
means;
3. They can promote the economic and social well-being oi
humankind;
4. They can increasing and facilitate the level of interdependence
among states (Amstutz, 7982, 422-423).

8.5 P E N Y E L E S A IA N K O N F L IK S E C A R A
KEKERASAN
8.5.1 Perang (War)

Dimulai dengan uraian beberapa karakteristik konflik-konflik


internasional sampai kepada analisis beberapa cara untuk mengelola
konflik-konflik tersebut, ternyata masalah pengelolaan atas berbagai
konflik tersebut kesemuanya dapat dilakukan dengan cara-cara damai.
Akan tetapi di samping upaya-upaya yang dilakukan dengan cara-
cara damai, terdapat juga cara penyelesaian konflik dalam sistem
internasional itu dengan cara-cara tindakan kekerasan (pemaksaan).

Konflik yang mengarah kepada pemakaian kekerasan adalah


bermula dari perpaduan antara berbagai sebab, seperti pertentangan
tuntutan masalah, sikap bermusuhan, serta jenis tindakan militer dan
diplomatik tertentu. Konflik tersebut pada umumnya disebabkan per­
tentangan dalam rangka pencapaian tujuan tertentu misalnya perluasan
atau mempertahankan wilayah teritorial, keamanan, semangat, jalur
kemudahan menuju ke arah daerah pemasaran, prestise, persekutuan,
revolusi dunia, penggulingan pemerintah negara yang tidak bersaha-
bat, dan sebagainya. Dalam rangka usaha mempertahankan dan atau
mencapai tujuan tersebut, tuntutan, tindakan atau ke dua-duanya ber-
langsung dan bertentangan dengan kepentingan serta tujuan negara
lainnya (K. J. Holsti, 1987, 589).

Negara-negara akan menggunakan metode pemaksaan tanpa


kekerasan, apabila prosedur secara damai tidak dapat menyelesaikan

M a n a je m e n K o n flik D a la m S istem In te rn a s io n a l 361


persoalan atau konflik-konflik tertentu mereka. Diantara tindakan yang
termasuk dalam kategori pemaksaan tadi adalah:
1. Pemanggilan diplomat;
2. Pengusiran diplomat negara lain;
3. Penolakan untuk memberikan pengakuan;
4. Pemutusan pengakuan hubungan diplomatik; dan
5. Penundaan pelaksanaan perjanjian-perjanjian.

Di samping cara penyelesaian dengan penggunaan paksa (co-


ercives) dalam hubungan antarnegara bangsa, ternyata dalam politik
hubungan antarnegara tersebut dijumpai pula beberapa metode atau
pendekatan dalam kerangka penyelesaian macam-macam konflik in­
ternasional adalah dengan cara penyelesaian konflik internasional
dengan tindakan kekerasan. Penyelesaian konflik dengan tindakan
kekerasan (penyelesaian konflik tidak secara damai) dapat dibagi ke
dalam tujuh macam yaitu:
1. Perang;
2. Tindakan berseojata bukan perang;
3. Retorsi;
4. Reprisal;
5. Biokade damai;
6. Embargo; dan
7. Intervensi.

Sebagai titik akhir dari penyelesaian pertikaian atau sengketa


dalam politik internasional (sistem internasional) disebabkan tidak
dijumpainya suatu penyelenggaraan dalam penyelesaian dengan cara-
cara atau metode pendekatan lain (hukum) ataupun dengan cara-cara
damai lainnya, maka ditempuhlah jalan dengan penggunaan tindakan
secara kekerasan yaitu dalam rupa peperangan. Perang dalam konteks
ini dianggap sebagai prosedur untuk memaksa pihak musuh dan
merupakan alasan yang paling akhir (pamungkas) dalam lingkungan
politik internasional. Perang, merupakan cara yang khas untuk
mengakhiri konflik dan bukan sebagai kategori konflik itu sendiri.

362 S tu d i H ubu nga n In te rn a s io n a l


Perang kalau menurut ahli perang Clausewitz (1962, 63) di­
gunakan untuk memaksakan kehendak negara berdaulat dan kuat
terhadap negara lainnya dengan mengalahkan kapasitas militer negara
yang berusaha menentangnya. Untuk mencapai tujuan tersebut, tidak
diperlukan penghancuran, pendudukan atau pemaksaan penerapan
lembaga sosial terhadap masyarakat negara yang dikalahkan. Karena
inti perang di sini, adalah mengalahkan, bukan untuk menghancurkan
musuh. Perang bertujuan untuk mengalahkan negara lawan, sehingga
negara yang kalah tidak mempunyai pilihan lain, kecuali menerima
syarat-syarat penyelesaian (terms of settlement) yang ditentukan oleh
negara-negara pemenang perang. Dengan berakhirnya perang, berarti
konflik atau sengketa telah diselesaikan (Starkeq, 1984, 494; K. j.
Holsti, 1987, 82).

8.5.2 Tindakan Bersenjata Bukan Perang

Tindakan bersenjata yang bukan dengan perang berarti, penggu­


naan kekerasan senjata, akan tetapi belum sampai pada kategori per­
ang. Tindakan ini sering disebut sebagai perang pendek atau tindak­
an kekerasan yang terbatas. Tindakan semacam ini termasuk sebagai
suatu upaya yang bersifat help-self. Untuk upaya ini bertujuan untuk
menyelesaikan sengketa-sengketa, agar negara diarahkan ke sana demi
tercapainya suatu kedamaian.

8.5.3 Retorsi

Retorsi merupakan tindakan yang "tidak bersahabat" yang


dilakukan oleh suatu negara terhadap negara lain yang telah terlebih
dahulu melakukan beberapa tindakan yang tidak bersahabat. Retorsi
merupakan tindakan pembalasan terha
melakukan suatu tindakan (perbuatan)
adil. Dan pada umumnya retorsi berupaya membalas perbuatan yang
telah dilakukan negara lain sehingga tindakan retorsi dianggap sebagai
tindakan yang sama dengan tindakan yang dilakukan oleh negara yang

Manajem en K o n flik D a la m S istem In te rn a s io n a l 363


dikenai retorsi. Misalnya, deportasi dibalas dengan deportasi atau
pernyataan persona nongrata dibalas dengan persona nongrata pula.

Adapun sebagai wujud dari tindakan retorsi, antara lain:


1. Pemutusan hubungan diplomatik;
2. Pencabutan hak-hak istimewa diplomatik;
3. Penarikan konsesi pajak/ tarif;
4. Penghentian bantuan ekonomi (Tsani, 1990, 199).

8.5.4 Reprisal

Tindakan yang berupa reprisal pada awalnya merupakan upaya


pembalasan guna menjamin diperoleh suatu ganti kerugian atau
terbatas pada penahanan harta benda atau orang. Sekarang ini suatu
tindakan reprisal dapat diartikan sebagai upaya pemaksaan yang
dilakukan oleh suatu negara terhadap negara lain dengan maksud untuk
menyeiesaikan suatu sengketa yang timbul sebagai akibat negara yang
dikenai reprisal, telah melakukan tindakan yang ilegal atau tindakan
yang tidak bisa dibenarkan.

Maka dengan memperhatikan makna dasar yang dikandung


dalam tindakan reprisal ini, maka sebetulnya tindakan yang dilakukan
dalam hal ini adalah lebih bersifat tindakan permusuhan yangdiiakukan
oleh suatu negara terhadap negara lain, sebagai upaya perlawanan
untuk memaksa negara lain itu menghentikan melakukan tindakan
ilegal. Karena tindakan reprisal termasuk yang melibatkan tindakan
kekerasan, maka validitasnya sering diragukan. Reprisal itu sendiri
adalah ilegal, akan tetapi diperbolehkan sebagai upaya melawan
tindakan ilegal. Reprisal termasuk di antaranya:
1. Pemboikotan;
2. Embargo.

Afghanistan, juga dapat dikatakan sebagai suatu upaya untuk


menyeiesaikan sengketa yang timbul dalam hubungan antarnegara-
negara bangsa. James N. Rosenau, telah mengajukan batasan bagi
suatu pengertian atas intervensi dengan melalui dua faktor yaitu:

364 Studi Hubungan Internasional


1. Bahwa intervensi membedakan diri dengan tajam dalam hal
cara menyelenggarakan hubungan antarnegara bangsa yang
konvensional;
2. Bahwa intervensi secara sadar dilakukan untuk mengakibatkan
perubahan politik yang mendasar di negara-negara yang dijadikan
sebagai sasaran intervensi (K.J.Holsti, 1989, 278-279).

Kesimpulan
1. Bahwa sistem internasional yang dijadikan sebagai model analisis
untuk menggambarkan fenomena politik internasional dalam
tataran sangat luas dan dalam. Sistem internasional senantiasa
dilandasi oleh pemikiran dasar atau konsep sistem itu sendiri
dalam mana setiap atribut-atribut yang ada dalam sistem itu
saling berinteraksi satu sama lain dan senantiasa ada saling
ketergantungan.
2. Sistem internasional yang dimaksudkan dalam hubungan ini
adalah sistem internasional yang memuat berbagai atribut-atribut
yang berisi pelaku-pelaku. Pelaku-pelaku itu terdiri dari negara-
negara, organisasi-organsisasi internasional (IGOs, NGOs, MNCs)
ataupun orang-perorangan yang ikut memberikan kontribusi atau
paling tidak memberikan pengaruh terhadap mekanisme dan
dinamika sistem internasional.
3. Sistem internasional sebagai suatu kumpulan dari satuan-satuan
politik yang masing-masing adalah independen dan mempunyai
proses interaksi dengan tingkat keteraturan tertentu. Namun dalam
kelanjutan adanya interaksi tadi, adalah implikasi dalam suasana
internasionalnya yakni terjadinya konflik-konflik internasional.
Dan inilah pula yang menjadi karakteristik sistem internasional
yakni adanya konflik dan kerjasama.
4. Karakteristik dan formulasi dari satuan politik yang saling ber­
interaksi tersebut, pada akhirnya membentuk suatu sistem inter­
nasional adalah konflik dan kerjasama (damai) sebagai resultance
dari bermacam interaksi internasional itu dalam tataran yang lebih
moderat.

M anajem en Konflik Dalam Sistem Internasional 365


I

5. Meskipundemikian,dapatdiamatibahwatatananaturan perdamaian
seyogianya dapat ditaati. Aturan yang diartikan dalam hubungan
ini adalah usaha-usaha mengelola atas konflik-konflik yang terjadi
dalam lingkungan sistem internasional. Maka dalam konteks ini
dikenai dengan pengelolaan konflik (koflik manajemen) dalam
sistem internasional. Pengelolaan atas konflik-konflik internasional
tersebut dapat dilakukan dengan berbagai pendekatan teori dan
metodeapakah itudilihatdarisegi hukum internasional,organisasi-
organisasi internasional, maupun tindakan penyelesaian di luar
hukum yakni dengan tindakan kekerasan, bagaimanapun, usaha-
usaha mengelola konflik-konflik dalam hubungan antara negara-
negara bangsa sedikit banyak berfungsi untuk mencegah konflik
yang lebih luas. Oleh sebab itu nampaknya sukar untuk dibantah
bahwa hubungan internasional pada akhirnya merupakan forum
interaksi dari berbagai kepentingan-kepentingan nasional negara-
negara, yang dilakukan dalam tataran internasional.

Tinjauan Pertanyaan Dan Diskusi

1. Coba Saudara jelaskan dengan singkat dan tepat seberapa jauhkan


hubungan antara konsep sistem dengan sistem internasional!
2. Uraikanlah dengan jelas apa sajakah yang menjadi karakteristik
sistem internasional itu menurut pandangan Saudara, dan beberapa
pandangan ahli!
3. Apa yang menjadi alasan dasar jikalau kita mengambil kesimpul-
an bahwa sistem internasional tersebut adalah konflik dan
kerjasama?
4. Apa nama solusi-solusi yang hendak diajarkan oleh studi hubung­
an internasional manakala berhadapan dengan konflik-konflik
internasional, serta bagaimanakah upaya yang dilakukan untuk
tujuan itu?

366 Studi Hubungan Internasional


DA FTA R P U S T A K A
Amstutz, Mark.R, An Introdiction to Political Science-The Management
of Conflict, (Glenview, Illinois: Scott, Foresman and Company,
1982).

Anggoro, Kustanto, "Pendekatan dan Teori Studi Strategi", Jurnal Ilmu


Politik, (Jakarta, Gramedia, 1987).

Anwar, Chairul, Hukum Internasiona-Pengantar Hukum Bangsa-


Bangsa,(Jakarta, Djambatan, 1989).

Archer, Clive, Internasional Organizations, (London: George Allen &


Unwin, 1983).

Bangsa Bangsa, Perserikatan, Pengetahuan Dasar Mengenai


Perserikatan Bangsa-Bangsa, (New York: Perserikatan Bangsa-
Bangsa, tanpa tahun).

Claude, Inis, Swords into Plowshares: The Problem and Progres of


International Organizations, (New York: Random-House, Inc.,
1964).

Farnsworth, David, International Relations An Introduction, (Chicago,


Illinois, Nelson-Hall Inc, 1988).

Gamble, John King (et.al), Introduction to Political Science,


(Englewoods Cliffs, New Jersey: Prentice-Hall, Inc., 1987).

Holsti, K.J, Politik Internasional - Suatu Kerangka Analisis, (Bandung:


Binacipta, 1987).

Jacobson, Harold Karan, Networks of Interdependence, (New York,


Alfred A Knoff, 1984).

Jones, Walter. S, The Logic of International Relations, (Boston: Little


Brown & Son, 1984).

Kusumohamidjojo, Budiono, Hubungan Internasional Kerangka Studi


Analisis, (Bandung: Binacipta, 1987).

Manajem en Konflik Dalam Sistem Internasional 36;


Lerche, Charles O & Abdul Said, Concepts of International Politics,
(New Delhi: Prentice-Hall of India Private Limited, 1972).
Morgenthau, Hans J, Politics Among Nations: Struggle for power and
Peace, (New York: Alfred A Knoff, 1949).

Nasution, Dahlan, Politik Internasional Konsep dan Teori, (Jakarta:


Erlangga, 1989).

Ranney, Austin, Governing An Introduction to Political Science,


(Englewoods, New Jersey: Prentice-Hall, Inc, 1987).
Singer, David, "The Level-of-Analysis Problem in International
Relations" dalam Klaus Knorrdan Sidney (ed), The International
System: Theoritical Essays, (Priceton, New Jersey: priceton
University Press, 1971); Bruce Russett & Harvey Starr, World
Politics: The Menu for Choice, (New York: W .H . Freemen and
Company, 1985).

Starke, J.G, Pengantar Hukum Internasional, (Jakarta: Aksara Persada


Indonesia, 1989).

Tsani, Mohd.Burhan, Hukum dan Hubungan Internasional,


(Yogyakarta: Liberty, 1990).

Yoesoef, Daoed, "Konsep Perdamaian Dalam Sistem Internasional


dan Strategi Nasional", dalam ANALISIS, Tahun XVII, No. 1
(1989), (Jakarta: CSIS, 1989).

-ooOoo-

368 Studi Hubungan Internasional


TENTANG PENULIS

P. Anthonius Sitepu, adalah staf pengajar senior pada


Departemen llmu Politik, FISIP, Universitas Sumatera Utara. Penulis
memperoleh gelar sarjana S1 pada Universitas Katolik Parahyangan
(Unpar), Bandung dalam studi hubungan internasionai pada tahun
1981. Gelar Magister Sains di bidang yang sama ia raih di Universitas
Gadjah Mada (UGM ) pada tahun 1992 di bawah bimbingan Prof. Dr.
H.M Amien Rais, M.A. Buku lain yang telah terbit di antaranya Sistem
Politik Indonesia (Pustaka Bangsa, 2001) dan Soekarno, Militer, dan
Partai Politik (USU Press, 2009). Buku ini adalah buku yang pertama
yang diterbitkan Graha llmu. Penulis dapat dihubungi melalui surat
elektronik: be_web2001 @yahoo.com.

-ooOoo-

Anda mungkin juga menyukai