Anda di halaman 1dari 3

Nama : Mala Nur Fitriana

NIM : 18407141016

Prodi : Ilmu Sejarah A 2018

SEKOLAH WANITA DAN TAMAN SISWA

Pada masa pemerintahan Hindia Belanda, upaya yang dilakukan untuk


mendirikan sekolah-sekolah bagi kaum pribumi hanyalah untuk mencetak tenaga ahli
yang terdidik dan murah. Sekolah tersebut hanya diperuntukkan untuk golonagn
bangsawan atau pejabat. Mengenai keadaan perempuan pada masa itu masih ada dalam
lingkungan yang kental dan sangat terikat oleh adat. Adanya sekolah-sekolah pada saat
itu hanya diperuntukkan untuk anak laki-laki sedangkan anak-anak perempuan hanya
mendapat pendidikan di rumah atau di lingkungan keluarga dan pendidikan yang
didapatkan adalah persiapan untuk menjadi seorang ibu rumah tangga yang baik, seperti
memasak, menjahit, dan membantik. Anak-anak perempuan masa itu sangat terikat oleh
adat yang kuat dan tidak memungkinkan mereka lepas dari ikatan adat dan keluarga
dikarenakan pada masa itu pendidikan untuk anak perempuan dirasa tidak perlu dan tidak
memberikan manfaat. Oleh karena itu pendidikan anak perempuan jauh ketinggalan
dengan anak laki-laki.
Dengan kondisi yang seperti itu maka membuat R.A Kartini, Raden Dewi Sartika
dan para pejuang lainnya berfikir untuk mengangkat derajat wanita. Menurut mereka
perempuan juga mempunyai hak yang sama seperti laki-laki salah satunya yaitu hak
untuk mendapatkan pendidikan. Dalam hal upaya untuk mengangkat derajat wanita,
Raden Dewi Sartika mempunyai gagasan untuk membangun sekolah khusus perempuan.
Kemudian beliau menemui R.A.A Martanegara (Bupati Bandung) untuk meminta
bantuan dalam mewujudkan keinginannya dalam membangun sekolah khusus
perempuan. Setelah melewati beberapa penolakan dari Bupati Bandung, akhirnya Raden
Dewi Sartika mendapat izin untuk mendirikan sekolah. Pada tanggal 16 Januari 1904
berhasl didirikan sekolah khusus perempuan yang diberi nama Sakola Istri. Pendirian
sekolah tersebut mendapat dukungan yang luas sehingga pada tahun 1911 nama Sakola
istri diganti menjadi Sakola Keutamaan Istri. Dengan berkembangnya waktu sekolah ini
mengalami perkembangan yang pesat, jumlah murid kian bertambah dan dukungan pun
semakin meluas. Raden Dewi Sartika sering menjadi pembicara dalam forum-forum
untuk menggugah semangat perempuan agar mau belajar dan tidak membatasi diri untuk
sekedar di dapun dan kamar. Pada tahun 1929 saaat peringatan pendirian sekolah ke 25
tahun, Sakolah Keutamaan Istri berubah menjadi Sakola Raden Dewi.
Selain Raden Dewi Sartika, salah satu tokoh pergerakan yang memiliki cita-cita
menjalankan pendidikan nasional bagi rakyat pribumi adalah Soewardi Soeryaningrat (Ki
Hajar Dewantara). Pada tanggal 3 Juli 1922 beliau mendirikan Tamansiswa, dengan
menggunakan semboyan ing ngarsa sung tulada (guru atau pengajar di depan memberi
contoh), ing madya mangun karsa (yang ditengah mengikuti kehendak), dan tut wuri
handayani (yang dibelakang mendorong dan membimbing anak didik). Dengan
mendirikan Taman Siswa ini, Ki Hajar Dewantara berkeinginan untuk mewujudkan
pendidikan kebangsaan yang berlandaskan kebudayaan. Bentuk pendidikan seperti ini
diharapkan dapat membangkitkan semangat dalam melawan pemerintah kolonial untuk
mencapai kemerdekaan.
Adanya pendidikan kebudayaan merupakan upaya untuk mengenal kebudayaan
sendiri sehingga akan menimbulkan rasa cinta terhadap miliknya dan ketika ada penjajah
yang akan merebut kebudayaannya maka timbul semangat untuk mempertahankannya.
Sementara itu pendidikan kebangsaan dimaksudakn agar tidak bergantung terhadap
pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah kolonial, sehingga menghasilkan
benih-benih penerus bangsa yang cerdas sesuai dengan pemberian pendidikan dengan
keadaan lingkungan dan kemudian menjadikan anak didik tahu akan bangsanya sehingga
muncul rasa cinta tanah air.
Perjuangan pendidikan yang dilakukan oleh Ki Hajar Dewantara bertujuan untuk
menyediakan pendidikan pribumi dengan pengajaran yang sesuai dengan kondisi pribumi
masa pemerintahan kolonial Belanda. Perkembangan pendidikan Taman Siswa
mengalami perkembangan yang sangat pesat. Hal ini dibuktikan dengan dibukanya
cabang-cabang sekolah di luar Yogyakarta, seperti K. Notodipuro di Surabaya dan
Panuju Darmobroto di Tegal yang memiliki pandangan sama mengenai perjuangan
kemerdekaan melalui pendidikan yang kemudian mendirikan Taman Siswa di daerah
masing-masing.

Referensi:
Djojonegoro, Wardiman. 1995. Lima Puluh Tahun Perkembangan Pendidikan Indonesia.
Jakarta: Depdikbud.
Kontribusi Perjuangan Raden Dewi Sartika Terhadap Perempuan di Indonesia. Diakses dari
http://sc.syekhnurjati.ac.id/esscamp/risetmhs/BAB159440917.pdf (Pada Tanggal 25 Maret 2020
Pukul 21.19).
Kombinasi Pendidikan Mualimin dan Wanita Taman Siswa. Diakses dari
http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/penelitian/drs-djumarwan/bab-i (Pada Tanggal 25
Maret 2020 Pukul 21.17).

Anda mungkin juga menyukai