Anda di halaman 1dari 10

PENGKAJIAN SEJARAH PENDIDIKAN UNTUK

PEREMPUAN PRIBUMI PADA MASA KOLONIAL


DI HINDIA BELANDA
1
Wara Pamungkas Mustikaningtyas
1
Universitas Negeri Malang (warapamungkas24@gmail.com)

ABSTRAK
Pendidikan merupakan salah satu cara untuk meningkatkan derajat
seseorang dan merupakan hak asasi setiap manusia. Tidak hanya bagi kaum laki-
laki, kaum perempuan pun memiliki hak yang sama untuk memperoleh
pendidikan. Pendidikan bagi kaum perempuan bukan hanya untuk menyamakan
derajat dengan kaum laki-laki tetapi juga untuk membekali kaum perempuan agar
dapat mandiri dan menjadi sosok pendidik utama di keluarga yang mumpuni.
Pada awal abad ke-20 di Hindia Belanda muncul kaum-kaum etis yang
membentuk politik Balas Budi. Salah satu upaya yang digagas oleh politik Balas
Budi adalah di bidang pendidikan. Namun, pendidikan yang ada mayoritas hanya
diperuntukkan bagi kaum laki-laki. Di waktu yang sama, masih menjadi hal yang
tabu bagi kaum perempuan untuk bersekolah. Berawal dari keinginan untuk
memberdayakan kaum perempuan dan mengangkat martabatnya, muncul tokoh-
tokoh perempuan seperti R. A. Kartini, Dewi Sartika, dan Rohana Kudus yang
berusaha memperjuangkan hak-hak perempuan di bidang pendidikan. Tokoh-
tokoh perempuan ini tidak hanya memberikan pengetahuan tentang bahasa
Belanda tetapi juga keterampilan-keterampilan untuk perempuan. Artikel ini
bertujuan untuk memberikan informasi seputar pendidikan kaum perempuan
pribumi di Hindia Belanda pada awal abad ke-20 dan membuka waasan
masyarakat bahwa kaum perempuan memiliki kemampuan yang besar untuk
mengembangkan pengetahuan dan keterampilan mereka melalui pendidikan.
Kata kunci: Pendidikan, perempuan, pribumi, kolonial.

Kedudukan perempuan sepanjang abad ke-19 belum membawa perubahan yang


baik. Kebijakan kolonial tidak hanya membedakan kaum rakyat jelata maupun
kaum priyayi, tetapi juga telah membedakan status laki laki dan perempuan
sehingga terjadi tingkatan sosial. Niel (2009:31), menyebutkan perbedaan antara
golongan rakyat jelata dan golongan priyayi di bidang pekerjaan. Rakyat jelata
umumnya merupakan golongan yang bekerja sebagai petani dan merupakan
masyarakat dari desa atau kampung. Sedangkan golongan priyayi umumnya
bekerja sebagai administrator atau pegawai pemerintah, golongan ini merupakan
golongan terpelajar yang berada di tempat yang lebih baik dan tinggal baik di kota
maupun di desa.
Munculnya sistem pendidikan di Hindia Belanda sebenarnya sudah ada
sejak tahun 1808 yang dicetuskan pertama kali oleh Daendels. Pada saat itu,
Daendels memberikan perintah bahwa di seluruh regen di pulau Jawa bagian utara
dan timur harus mendirikan sekolah dengan biaya sendiri. Pendidikan yang
didirikan ini mengajarkan adat istiadat yang diajarkan kepada anak-anak. Bagi
Daendels, pembentukan sekolah tanpa melibatkan dana dari pemerintah
merupakan suatu tindakan yang tidak akan merugikan perbendaharaan pemerintah
(Nasution, 1983:10).
Seiring perkembangan waktu, pada tahun 1900 mulai muncul pemikiran-
pemikiran dari golongan etis yang menghendaki adanya kegiatan balas budi dari
pihak kolonial untuk penduduk di negara jajahannya. Kegiatan ini kemudian
dikenal sebagai politik Balas Budi yang menyangkut tiga hal pokok yaitu irigasi,
emigrasi, dan edukasi. Salah satu golongan etis yang memelopori dibentuknya
politik Balas Budi adalah Van Deventer. Menurut Van Deventer, adanya politik
Balas Budi bukan hanya untuk memberikan bantuan kepada tanah jajahan tetapi
juga menganjurkan agar keuangan negara penjajah dan negara jajahan dipisahkan
(Niel, 2009:54).
Setelah berjalannya politik Balas Budi tersebut, mulai muncul sekolah-
sekolah yang dibentuk secara resmi oleh pemerintah kolonial untuk penduduk di
Hindia-Belanda. Sekolah-sekolah yang dibentuk tersebut antara lain HIS
(Hollandsch Inlandsche School) atau sekolah kelas I, MULO (Meer Uitgebreid
Lager Onderwijs) yang setara SMP, dan ALS (Algemene Middelbare School) yang
setara SMA (Agung & Suparman, 2012:25).
Meski dengan adanya politik Balas Budi yang telah memunculkan adanya
sistem pendidikan di Hindia Belanda, bukan berarti seluruh masyarakatnya telah
mendapatkan pendidikan secara merata. Hanya golongan dari kaum-kaum priyayi
dan umumnya anak laki-laki yang mendapatkan kesempatan untuk bersekolah.
Sedangkan di masa yang sama, masih menjadi hal yang tabu bagi seorang
perempuan untuk bersekolah. Oleh sebab itu, masih banyak golongan perempuan
yang tidak memperoleh pendidikan dengan layak seperti golongan laki-laki.
Dalam hukum adat di Hindia Belanda saat itu, kaum perempuan tidak
diperkenankan untuk bersekolah karena beberapa hal. Para orang tua umumnya
berpendapat bahwa sebagai seorang anak perempuan cukuplah menjadi seorang
ibu rumah tangga yang bertugas untuk mengurus suami dan anak. Mereka belum
memikirkan apa manfaat yang diperoleh jika seorang perempuan juga
mendapatkan pendidikan yang sama seperti laki-laki.
Melihat nasib kaum perempuan yang masih memprihatinkan tersebut
mulai muncul gagasan-gagasan dari para tokoh perempuan untuk memajukan
kaumnya sendiri di bidang pendidikan. Keharusan perempuan untuk keluar dari
rumah, mendapatkan pendidikan, dan kesetaraan kedudukan dengan kaum laki-
laki mulai diperjuangkan. Usaha terobosan terhadap perjuangan kaum perempuan
ini dipelopori oleh R.A Kartini, Dewi Sartika, dan Rohana Kudus.
Pembaharuan yang dilakukan oleh Dewi Sartika adalah melalui kegiatan
pendidikan khusus perempuan yang dinamakan Sakola Istri. Sekolah ini
menekankan pendidikannya sesuai dengan tugas perempuan yang berhubungan
dengan tugas rumah tangga. Selain Dewi Sartika, pembaharuan lain juga
dilakukan oleh R. A. Kartini yang mendirikan sebuah sekolah yang dikhususkan
untuk perempuan. Sedangkan pembaharuan yang digagas Rohana Kudus adalah
dengan mendirikan sekolah khusus keterampilan perempuan yang disebut Sekolah
Kerajinan Amai Setia. Tidak hanya di bidang pendidikan, Rohana Kudus pun aktif
di bidang jurnalistik dan organisasi yang terus menerus meneriakkan perjuangan
untuk mengangkat hak-hak perempuan.
Pengangkatan permasalahan mengenai pendidikan untuk kaum perempuan
pribumi di Hindia Belanda ini bertujuan untuk membuka wawasan masyarakat
bahwa kaum perempuan memiliki kemampuan yang besar untuk mengembangkan
ilmu pengetahuan dan keterampilan yang mereka miliki melalui pendidikan.
Dengan pendidikan dan kemandirian, kaum perempuan juga bisa menjadi sosok
yang tangguh dalam menghadapi dunia luar dan berbagai permasalahan, serta
menjadi sosok yang dapat diandalkan oleh keluarga.

PEMBAHASAN
Munculnya gagasan untuk membentuk sebuah sekolah dan mendidik kaum
perempuan pada awalnya berasal dari kaum priyayi. Sebut saja tokoh pendidikan
seperti Dewi Sartika, R.A. Kartini, dan Rohana Kudus. Mereka tergerak hatinya
untuk mendidik kaum perempuan di lingkungan sosial mereka dikarenakan
mereka prihatin akan bagaimana kaum perempuan pada saat itu dipandang dan
diperlakukan dengan tidak adil. Tentu saja, mereka tidak melakukan usaha
seorang diri. Ada tokoh-tokoh lain di belakang mereka yang mendukung
perjuangan mereka dalam memperjuangkan hak-hak perempuan, misalnya saja
suami, ayah, kerabat, atau kawan lain. Berkat dorongan dan tekad yang kuat, pada
akhirnya mereka bisa membentuk sebuah lembaga pendidikan yang bahkan masih
dipertahankan hingga saat ini.
Tokoh penggagas pendidikan untuk perempuan pribumi yang pertama
adalah R.A. Kartini. Raden Ajeng Kartini lahir pada tanggal 21 April 1879 di
Mayong, Jepara dan merupakan anak perempuan tertua. Ia merupakan putri dari
Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat dan M.A. Ngasirah (Rafik, 1989:59).
Sebagai seorang bangsawan, R.A. Kartini mendapatkan pendidikan hingga
cukup tamat ELS (Europese Lagere School). Setelah R.A. Kartini berumur 12
tahun, ia tidak diperbolehkan keluar rumah karena sedang dipingit. Selama
dipingit, sebagai hiburan R.A. Kartini selalu membaca buku berbahasa Belanda
dan menulis surat kepada teman-teman korespondesi yang berasal dari Belanda.
R.A. Kartini mengungkapkan keinginannya untuk memberikan pendidikan bagi
kaum perempuan di negaranya. Dalam surat R.A. Kartini kepada salah satu
sahabatnya yaitu Nona Zeehandelaer pada tanggal 25 Mei 1899 ia menulis
dan adat kebiasaan negeri kami sungguh-sungguh bertentangan dengan kemauan
zaman baru, zaman baru yang saya inginkan masuk ke dalam masyarakat kami
(Djumhur, 1976:154).
R.A. Kartini berkeinginan agar perempuan dapat hidup bebas dari ikatan
adat istiadat yang terlalu ketat dan agar dapat berdiri sendiri tanpa
menggantungkan diri dengan kaum laki-laki. Menurutnya, kaum perempuan harus
dapat melakukan pekerjaan lain selain pekerjaan rumah tangga dan dapat
membentengi diri dari perlakukan yang semena-mena dari orang lain (Rafik,
1989:60).
Usaha-usaha untuk melaksanakan cita-cita R.A. Kartini salah satunya
yaitu pada tahun 1903, untuk pertama kalinya R.A. Kartini membuka sekolah
gadis di Jepara. Proses belajar dan pembelajaran awalnya dilakukan di belakang
rumahnya. Murid-muridnya adalah anak para pekerja rumah tangga yang
berjumlah 5 anak, dan 2 orang adiknya yang bernama R.A. Rukmini dan R.A.
Kardinah (Djumhur, 1976:154).
Sekolah yang didirikan R.A. Kartini sempat tersendat setelah R.A. Kartini
meninggal pada tanggal 17 September 1904. Kedua adiknya yang semula
mengelolanya, tidak mampu menampung semua calon murid yang ada. Kemajuan
berarti justru diteruskan oleh pasangan suami istri Van Deventer yang dalam
sejarah dikenal sebagai penganjur politik etis atau politik balas budi yang
memberikan kesempatan pendidikan cukup luas bagi anak-anak jajahan.
Selanjutnya, karena merasa tidak sabar dengan perkembangan yang ada,
maka Van Deventer mengeluarkan uang sendiri dan berusaha menggalang dana
dari berbagai kalangan guna mendirikan sebuah yayasan pendidikan di Semarang
pada tahun 1912 dan dinamai Yayasan Kartini. Yayasan tersebut didirikan untuk
menghormati cita-cita Kartini yang ingin memajukan pemikiran wanita Indonesia.
Setelah di Semarang, Van Deventer mengembangan dan mendirikan sekolah
Kartini lagi di beberapa kota besar seperti di Surabaya, Yogyakarta, Malang,
Madiun, Cirebon, dan beberapa kota lainnya. Sekolah dasar berbahasa pengantar
Belanda khusus diperuntukkan bagi gadis remaja. Berbeda dengan SD biasa, di
Sekolah Kartini diberikan pelajaran tambahan memasak dan menjahit.
Sekolah Kartini yang terletak di Jalan Kartini, Pasar Baru, Jakarta Pusat,
berawal dari "dana Kartini" yang digalakkan oleh beberapa tokoh Belanda yang
menjawab tuntutan politik etis awal abad ke-20. Sekolah pun mulai berdiri di
banyak kota besar dan seluruhnya dikelola swasta. Namun antara Sekolah Kartini
di beberapa kota tidak saling berhubungan. Dengan semangat Sumpah Pemuda
dan berkat perjuangan Ny. Abdurachman (istri wedana Mister Cornelis atau
Jatinegara), staf pengelola dan pengajar terdiri dari perempuan Indonesia.
Di Jakarta selain Sekolah Kartini I, di Jalan Kartini (Kartiniweg) juga ada
Sekolah Kartini II di Pasar Nangka dan Kartini III di Jatinegara. Pada masa
pendudukan Jepang sekolah ini ditutup karena gedungnya digunakan untuk
asrama tentara Jepang. Sekolah dibuka lagi tahun 1953 untuk memperingati 25
tahun Persatuan Gerakan Wanita.
Pada masa kemerdekaan, nama sekolah berganti menjadi Sekolah
Kerajinan Wanita "Kartini". Bentuknya tidak banyak berbeda dengan Sekolah
Kepandaian Puteri milik pemerintah tetapi gurunya menerima subsidi. Untuk
pencarian dana, didirikanlah Yayasan Sekolah Kartini yang diperoleh dari
beberapa kalangan di Belanda. Dari dana ini, Bataviasche Kartini School
Vereniging (Perkumpulan Sekolah Kartini di Jakarta) mendirikan sebuah gedung
pertemuan pada tahun 1913. Anggota perhimpunan terdiri dari nyonya-nyonya
Belanda dan istri para pegawai negeri Pemerintahan Hindia Belanda. Selain itu,
juga didirikan Sekolah kewanitaan (Maisjes Vakonderwijs) yang juga berdiri atas
jasa R.A Kartini (Soemanto dan Soeyarno, 1983: 44-45).
Tokoh selanjutnya adalah Dewi Sartika yang lahir pada tangal 4 Desember
1884 di Bandung. Dewi Sartika dilahirkan dari keluarga priyayi Sunda, Nyi Raden
Rajapermas dengan Raden Somanagara. Meskipun bertentangan dengan adat
waktu itu, ayah-ibunya bersikukuh menyekolahkan Dewi Sartika di sekolah
Belanda. Setelah ayahnya wafat, Dewi Sartika diasuh oleh pamannya (kakak
ibunya) yang menjadi patih di Cicalengka. Oleh pamannya itu, ia mendapatkan
pengetahuan mengenai kebudayaan Sunda, sementara wawasan kebudayaan Barat
didapatkannya dari seorang nyonya Asisten Residen berkebangsaan Belanda
(Ahmadi, 1975:36).
Sedari kecil, Dewi Sartika sudah menunjukkan bakat pendidik dan
kegigihan untuk meraih kemajuan. Sambil bermain di belakang gedung kepatihan,
ia sering memperagakan praktik di sekolah, belajar baca-tulis, dan bahasa Belanda
kepada anak-anak pembantu di kepatihan. Alat-alat belajar yang digunakan saat
itu adalah papan bilik kandang kereta sebagai papan tulis, arang, dan pecahan
genting.
Sejak umur belasan tahun, ia sudah bercita-cita untuk mendirikan sekolah
bagi anak-anak gadis dari kalangan bangsawan dan rakyat jelata. Hanya dengan
bekal pendidikan sekolah rakyat biasa selama 3 tahun serta semangat yang tinggi,
dan adanya dorongan dari Bupati Bandung R.A.A. Martanegara serta seorang
warga negara Belanda Tuan Den Hamer, maka pada tanggal 16 Januari 1904
didirikanlah sekolah bagi anak-anak gadis yang diberi nama Sakola Istri (Ahmadi,
1975:37).
Sakola Istri yang didirikan oleh Dewi Sartika kemudian mengalami
perkembangan. Sekolah tersebut diharapkan menghasilkan murid-murid yang
kelak menjadi perempuan yang siap menghadapai tantangan rumah tangga setelah
menikah. Dewi Sartika bercita-cita dapat mengangkat derajat kaum wanita
melalui pendidikan dengan menyebarkan ilmu pengetahuan kepada anak-anak
perempuan (Ahmadi, 1975:37).
Kurikulum yang diberikan di Sekolah yang didirikan oleh Dewi Sartika itu
disesuaikan dengan Kurikulum Sekolah Kelas Dua (Tweede Klasse Inlandsche
School) milik pemerintah pada saat itu. Tetapi ditambah dengan mata pelajaran
keterampilan yang sesuai dengan kodrat wanita seperti memasak, mencuci,
menyetrika, membatik, menjahit, menisik, merenda, dan menyulam. Selain itu
diajarkan pula pelajaran agama, kesehatan, bahasa Melayu, dan bahasa Belanda.
Pelajaran-pelajaran tersebut tidak hanya diberikan secara teori tetapi diberikan
juga dalam bentuk praktik (KOWANI, 1978: 10). Usaha Dewi Sartika untuk
sekolahnya itu menarik perhatian wanita lain di beberapa Kabupatan antara lain di
Garut, Tasikmalaya, dan Purwakerta. Pengaruh ini bahkan menjalar sampai ke
pulau Sumatra hingga beberapa gadis dari sana berdatangan ke sekolah Dewi
Sartika untuk mendapatkan pendidikan.
Tahun demi tahun Sekolah Keutaman Istri ini bertambah banyak
peminatnya. Untuk mengimbangi jumlah murid, pada tahun 1909 bangunan
sekolah diperluas lagi sehingga menghadap ke Jalan Kebon Cawu (sekarang Jalan
Keutamaan Istri). Setelah mengatasi segala tantangan yang ada, akhrinya pada
tahun 1909 sekolah tersebut dapat mengeluarkan lulusan pertamannya dengan
memberikan ijazah. Pada tahun 1910 nama sekolah tersbut diganti menjadi
Sekolah Dewi Sartika dan pada tahun 1911 sekolah ini telah memiliki lima kelas.
Pada tahun 1929 atas usul Dewi Sartika kepada pemerintah, didirikan sebuah
gedung baru yang diberi nama Sekolah Raden Dewi. Sampai akhir hayatnya Dewi
Sartika masih terus berjuang dalam bidang pendidikan khususnya memajukan
sekolah-sekolah yang didirikan oleh Dewi Sartika.
Tokoh ketiga adalah Rohana Kudus. Perempuan yang lahir di kota Gadang
tanggal 20 Desember 1884 ini merupakan seorang putri dari Muhammad Rajaad
Maharadja Sutan. Sejak kecil, Rohana Kudus telah menunjukkan diri sebagai
serang perempuan yang bercita-cita memajukan pendidikan kaumnya. Ia sering
membaca banyak buku dan menceritakannya kembali kepada banyak orang. Pada
tahun 1896, di usianya yang baru mencapai 12 tahun ia sudah mengajar teman-
teman perempuannya membaca dan menulis huruf Arab dan huruf latin. Pada
tahun 1905, ia mendirikan sekolah Gadis di kota Gadang dengan mengajarkan
berbagai macam kerajinan untuk kaum perempuan. Pada tanggal 1 Februari 1911,
ia memimpin sebuah organisasi perempuan Minangkabau yang bernama
Kerajinan Amai Setia. Selanjutnya, nama organisasi ini dijadikan nama sekolah
yang telah ia bentuk. Di bidang jurnalistik, Rohana Kudus aktif sebagai pemimpin
redaksi surat kabar Sunting Melayu pada tanggal 10 Juli 1912 (Ahmadi, 1972:37).
Pendidikan yang telah didirikan oleh perempuan-perempuan Indonesia
tersebut menekan adanya diskriminasi antara laki-laki dan perempuan. Mereka
dengan kerja keras berhasil membawa perempuan untuk ikut berperan dalam
organisasi maupun kedudukan yang tidak kalah penting dengan kedudukan yang
diperoleh laki-laki. Walaupun pada awalnya kedudukan mereka sangat rendah
atau bahkan bisa dikatakan tidak berguna dan tidak dipandang dari segi manapun
karena kurangnya pengetahuan dan pendidikan yang mereka peroleh. Organisasi
yang telah dibentuk oleh perempuan-perempuan Indonesia menggambarkan
bahwa dengan pendidikan mereka akan mendapat pelajaran yang lebih baik tidak
hanya tentang ilmu pengetahuan namun juga tentang membentuk organisasi dan
lembaga lainnya yang dibentuk oleh perempuan.
Pendidikan yang diperoleh perempuan Indonesia membuat mereka
memiliki peran aktif dalam perkembangan pendidikan di Indonesia. Mereka
menjadi lebih peka terhadap pendidikan yang diterapkan atau yang diberikan. Para
perempuan Indonesia sadar bahwa dengan pendidikan mereka akan dapat
mengangkat martabat mereka di bidang pendidikan dan organisasi lainnya.
Perempuan juga semakin terlihat peran aktifnya jika dibandingkan dengan
sebelum mereka mendapatkan pedidikan. Peran dalam organisasi yang menaungi
pendidikan perempuan di Indonesia ataupun peran dalam rumah tangga dan
membantu suami mereka memperjuangkan pendidikan di Indonesia.
Peran aktif perempuan dalam pendidikan di Indonesia begitu terlihat
seperti Dewi Sartika yang secara suka rela memberikan pelajaran kepada anak
dari pelayan kepatihan. Pelajaran yang diberikan memang sangat sederhana,
hanya sekedar baca tulis dan menghitung secara sederhana. Namun dari situlah
terlihat betapa perannya dalam pendidikan sangat besar dimulai dari lingkungan
sekitar rumah di kediamannya.
Salah satu tokoh perempuan yang pada masanya merasakan dampak
positif memperoleh pendidikan adalah G.R.Aj. Siti Noeroel Kamaril Ngasarati
Koesoemowardhani. Ia merupakan putri sulung K.G.P.A.A. Mangkoenagoro VII
dan G.K. Ratu Timoer.
Sebagai seorang putri bangsawan, ia mendapatkan pendidikan yang baik,
meskipun pada masanya seorang perempuan yang bersekolah masih cukup jarang.
Perempuan bangsawan yang kerap dipanggil Gusti Noeroel ini pertama kali
bersekolah di TK Pamardi Putri, kemudian melanjutkan ke ELS, dan terakhir
MULO (Hermono, 2014:57-58).
Gusti Noeroel tumbuh menjadi perempuan terhormat yang berpendidikan
dan menghargai persamaan hak antara kaum perempuan dan laki-laki.
Menurutnya, seorang perempuan juga berhak mendapatkan hak yang sama dengan
laki-laki seperti bermain olahraga, menunggang kuda, dan berenang. Sehingga
semasa kecilnya, meskipun ia hidup dalam pengawasan para penjaga di Pura
Mangkunagaran, ia biasa bermain tenis, menunggang kuda, dan berenang dengan
teman-teman sebayanya dan saudara-saudaranya.
Selain itu, Gusti Noeroel juga membuktikan bahwa dengan pendidikan,
maka dunia akan terbuka begitu lebar bagi kaum perempuan. Para perempuan
menjadi mampu untuk ikut andil dalam sebuah organisasi dan pergerakan pada
masanya. Gusti Noeroel mampu menunjukkan bahwa dengan pendidikan, tidak
akan ada perempuan yang terikat terlalu kuat dengan adat. Justru sebaliknya,
perempuan mampu berkembang menjadi sosok yang kuat, mandiri, dan
berdedikasi tinggi sebagai modal untuk menjadi pendidik pertama bagi anak-
anaknya.

PENUTUP
Adanya gagasan untuk memberikan pendidikan bagi kaum pribumi Hindia
Belanda telah ada sejak tahun 1808 di bawah kepemimpian Daendels. Pendidikan
bagi kaum pribumi semakin gencar diperjuangkan ketika adanya pembentukan
politik Balas Budi dari para golongan etis di tahun 1900. Pertama kali muncul
gagasan untuk membentuk sebuah pendidikan bagi perempuan pribumi muncul
dari para golongan priyayi. Beberapa di antaranya adalah R.A. Kartini yang
menggagas Sekolah Kartini, Dewi Sartika yang mendirikan Sakola Putri, dan
Rohana Kudus yang mendirikan Sekolah Kerajinan Amai Setia. Tujuan dari
didirikannya pendidikan bagi perempuan pribumi adalah untuk membentuk
perempuan pribumi yang tangguh dan mampu menyetarakan derajat dan hak
mereka dengan derajat dan hak laki-laki.
Sekolah yang digagas R.A. Kartini pertama kali berdiri pada tahun 1903 di
Jepara. Sekolahnya sempat mengalami kendala dan akhirnya diambilalih oleh
kawan Belandanya, Van De Venter, untuk kemudian dikembangkan lebih lanjut.
Sakola Istri milik Dewi Sartika mengalami perubahan nama sebanyak dua kali,
yaitu Sekolah Keutamaan Istri dan terakhir Sekolah Raden Dewi. Sedangkan
upaya yang dilakukan Rohana Kudus adalah dengan aktif di organisasi perempuan
Minangkabau yang kemudian berkembang menjadi sekolah untuk perempuan
bernama Sekolah Kerajinan Amai Setia. Selain di organisasi, Rohana Kudus juga
aktif sebagai pemimpin redaksi surat kabar Sunting Melayu. Umumnya, pelajaran
yang diberikan di sekolah-sekolah yang digagas ketiga tokoh tersebut adalah
keterampilan-keterampilan khusus perempuan seperti menjahit atau memasak.
Tetapi tidak menuntup kesempatan bagi kaum perempuan untuk mempelajari
bahasa Belanda juga yang saat itu menjadi bahasa resmi di Hindia Belanda.
Pendidikan bagi perempuan mampu membentuk perempuan yang tangguh,
mampu memperjuangkan haknya sendiri, setara dengan laki-laki, dan merupakan
bekal yang utama untuk menjadi seorang pendidik pertama bagi anak-anaknya.
Dengan pendidikan, dunia terbuka lebar bagi kaum perempuan dan mereka juga
menjadi lebih tangguh dalam menghadapi setiap permasalahan.

DAFTAR RUJUKAN
Ahmadi, Abu. 1975. Sejarah Pendidikan. Semarang: CV. Toha Putra.
Djumhur. Danasuparta. 1959. Sejarah Pendidikan. Bandung: CV. Penerbit Ilmu.
Hermono, Ully. 2014. Gusti Noeroel: Streven Naar Geluk (Mengejar
Kebahagiaan). Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara.
KOWANI. 1978. Sejarah Setengah Abad Pergerakan Wanita Indonesia. Jakarta:
Balai Pustaka.
Nasution. 1983. Sejarah Pendidikan Indonesia. Bandung: Penerbit Jemmars.
Niel, Van Robert. 2009. Munculnya Elite Modern Indonesia. Bogor: Pustaka Jaya.
Rafik, A. Amin, M. 1989. Sejarah Pendidikan Indonesia. Surabaya: Penerbit
Express.
Soemanto, Wasty. Soeyarno. 1983. Landasan Historis Pendidikan Indonesia.
Surabaya: Usaha Nasional.

Anda mungkin juga menyukai