Anda di halaman 1dari 5

SUKU MANDAILING

Suku Mandailing adalah salah satu suku yang ada di Asia Tenggara. Suku ini lebih banyak
ditemui di bagian utara pulau Sumatra, Indonesia. Mereka berada di bawah pengaruh Kaum
Padri yang memerintah Minangkabau di Tanah Datar. Hasilnya, suku ini dipengaruhi oleh
budaya Islam. Suku ini juga tersebar di Malaysia, tepatnya di Selangor dan Perak. Suku ini juga
memiliki keterkaitan dengan Suku Angkola.

Asal usul nama


Mandailing atau Mandahiling diperkirakan berasal dari 2 kata dari bahasa Sanskerta, yaitu
kata Mandala dan Holing. Mandala berarti pusat dari federasi beberapa kerajaan,
sedangkan Holing/Hiling/Kalingga berasal dari nama Kerajaan Kalinga. Kerajaan
Kalingga diperkirakan berdiri sebelum digantikan Kerajaan Sriwijaya pada abad ke-7 dengan
raja terakhirnya Sri Paduka Maharaja Indrawarman putra dari Ratu Shima. Sri Maharaja
Indrawarman juga merupakan saudara kandung dari Raja Sanjaya yang membentuk Mataram
Hindu di Pulau Jawa, setelah menikahi Ratu Galuh, yang di kemudian hari disebut juga
sebagai Kerajaan Medang (yang raja-rajanya bergantian antara
keturunan Syailendra dan Sanjaya yang diikat dalam tali perkawinan antar keturunan keduanya,
untuk mengakhiri peperangan antar dua wangsa keturunan Wijaya itu, yaitu Wangsa
Sanjaya dan Wangsa Syailendra).
Dalam bahasa Minangkabau, Mandailing juga bisa diartikan sebagai mande hilang yang
bermaksud "ibu yang hilang". Oleh karenanya ada pula anggapan berdasarkan silsilah, yang
mengatakan bahwa masyarakat Mandailing berasal dari Kerajaan Pagaruyung di Minangkabau.
Itu sebabnya bahasa Melayu dialek Minangkabau masih dikenal luas sebagai bahasa asli di
wilayah-wilayah penyebaran etnis Mandailing di Sumatra.

Sejarah
Ketika Kesultanan Barus berhasil dikuasai Belanda (Setelah perjanjian di London Tracktaat
Londonsche antara Kerajaan Inggris dan Kerajaan Belanda, yang menukar guling wilayah
Sumatra bagian utara yang awalnya diklaim Inggris dan wilayah Kalimantan bagian utara yang
awalnya telah dikuasai Belanda), termasuk Afdeeling Tanah Batak (Negeri Toba dan Negeri
Silindung), yang kalau itu berada di bawah Kesultanan Aceh, Karesidenan
Mandailing dihapuskan. Sebagian wilayah Mandailing digabungkan dalam wilayah Karesidenan
Tapanuli yang berpusat di Tapian Na Uli (Tapanuli) di Barus, tetapi tetap dalam West Kust
Sumatra's Gouvernement. Sementara itu wilayah Lubuksikaping (Pasaman dan Pasaman Barat)
masuk dalam Karesidenan Padang Darat dalam West Kust Sumatra's Gouvernement, dan
wilayah Tambusai (Rokan Hulu) masuk dalam wilayah Riaw Gouvernement. Di lain pihak
sebagian lagi wilayah Mandailing masuk dalam Oost Kust Sumatra's
Gouvernement atau Gubernuran Pantai Timur Sumatra, yaitu wilayah Labuhanbatu, Asahan dan
Batubara. Wilayah Mandailing yang masuk dalam Karesidenan Tapanuli adalah Mandailing
Natal, Mandailing Angkola, Padangsidempuan, dan Mandailing Padanglawas.
Semenjak berdiri Karesidenan Tapanuli, ibu kota Mandailing di kota Padangsidempuan
dipindahkan secara berganti-ganti antara Kota Tapanuli dan Kota Padangsidempuan. Ketika
masih Karesidenan Mandailing, ibu kotanya pertama kali di Air Bangis sehingga dikenal
sebagai Karesidenan Air Bangis, kemudian pindah ke Kotanopan, lalu ke Kota Panyabungan dan
terakhir adalah Kota Padangsidempuan. Wilayah Karesidenan Mandailing inilah yang disebut
sebagai wilayah Kesultanan Mandailing dengan sultan terakhirnya adalah Raja
Gadumbang (Lubis Nasution). Setelah itu, pemerintahan Mandailing terpecah belah dalam
beberapa Kuria yang dibentuk oleh Belanda dalam rangka Devide et Impera, hingga mencapai 50
Kuria. Kuria sendiri berasal dari Bahasa Arab, yaitu 'Qurya' yang berarti 'negeri', yang sering
dipakai istilahnya dalam pemerintahan Darul Islam Minangkabau selama masa perang
Paderi untuk menggantikan istilah 'nagari' atau 'negeri.
Wilayah Kesultanan Mandailing dikenal juga sebagai Kesultanan Pagaruyung Utara, yang
dahulu terpecah akibat turun tahtanya Raja Pagaruyung Daulat Yang Dipertuan Raja Naro pada
awal abad ke-19, yang digantikan Daulat Yang Dipertuan Muningsyah II oleh Baso Nan Ampek
Balai (4 raja yang merupakan pengawas tahta raja-raja Pagaruyung secara turun menurun
menurut adat), yang berlanjut dengan Perang Paderi. Namun perpecahan ini sudah disatukan
semenjak Anwar Nasution yang mewakili pihak Kesultanan Pagaruyung Utara yang berpusat
di Aek Na Ngali (Aia Madingin) di Batang Natal, - beberapa tahun lalu -, diundang pihak
keluarga Kesultanan Pagaruyung (Selatan) di Batusangkar untuk kembali bersatu, setelah 200
tahun terpecah kongsi akibat perang saudara. Pada masyarakat Minangkabau, nama Mandailing
atau Mandahiliang menjadi salah satu nama 'suku' atau 'nama keluarga dari garis ibu' (sistem
matrilineal) yang ada pada masyarakat Minangkabau.

Mandailing bukan Batak


Dalam rangka devide et impera, banyak sejarahwan asing yang dipengaruhi pemikiran
Gubernur Jenderal Hindia Timur Thomas Stamford Raffless dalam rangka kristenisasi,
menjadikan Mandailing menjadi sub etnis dari Batak. Secara administrasi, pemasukan
Mandailing dalam sub etnis Batak dimulai pada masa pemerintahan Belanda pada awal abad ke-
20 lalu, walau pun orang-orang Mandailing yang diwakili raja-raja Kuria menolak untuk disub
etniskan dalam etnis Batak. Akibatnya muncul peristiwa yang dikenal sebagai Riwajat Tanah
Wakaf Bangsa Mandailing di Soengai Mati, Medan pada tahun 1925, hingga berlanjut ke
pengadilan.
Akhirnya, berdasarkan hasil keputusan Pengadilan Pemerintahan Hindia Belanda di
Batavia, Mandahiling diakui sebagai etnis terpisah dari Batak, karena berdasarkan de facto, etnis
Batak sendiri sebenarnya lebih muda dari etnis Mandailing. Berdasarkan silsilah yang diakui
etnis Batak sendiri dalam Tarombo Si Raja Batak,- Si Raja Batak merupakan nenek moyang
orang Batak, ibunya yang bernama Deak Boru Parujar berasal dari etnis Mandailing. Jadi
sebelum ada etnis Batak, etnis Mandailing sudah ada. Etnis Mandailing sendiri, menurut
silsilahnya berasal dari etnis Minangkabau.

Adat istiadat
Suku Mandailing mempunyai aturan adat istiadat yang diatur dalam suatu tuntunan yang
bernama Surat Tumbaga Holing (Serat Tembaga Kalinga). Surat Tumbaga Holing biasanya
selalu dibacakan dalam upacara-upacara adat. Selain itu, orang Mandailing pun mengenal tulisan
yang dinamakan Aksara Tulak-Tulak atau Urup Tulak-Tulak, yang merupakan varian dari aksara
Proto-Sumatra, yang berasal dari huruf Pallawa. Bentuknya tidak berbeda dengan Aksara
Minangkabau, Aksara Rencong dari Aceh, Aksara Sunda Kuno, dan Aksara Nusantara lainnya.
Meskipun Etnis Mandailing mempunyai aksara yang dinamakan urup tulak-tulak dan
dipergunakan untuk menulis kitab-kitab kuno yang disebut pustaha / pustaka, tetapi hampir tidak
ada sejarah yang dituliskan dalam huruf itu, umumnya huruf itu hanya digunakan untuk menulis
aturan adat dan pengobatan. Sejarah Mandailing sendiri berkaitan erat dengan Sejarah
Minangkabau, tetapi perbedaannya sejarah Mandailing diceritakan berdasarkan garis silsilah
laki-laki, sementara sejarah Minangkabau berdasarkan garis silsilah perempuan. Oleh sebab itu,
sejarah Mandailing umumnya tertulis dalam bahasa Minangkabau.

Kekerabatan
Suku Mandailing sendiri mengenal paham kekerabatan, baik patrilineal maupun
matrilineal. Dalam sistem patrilineal, orang Mandailing mengenal marga. Berbeda dengan orang
Batak yang mengenal sampai 500 marga, walau pun orang Mandailing jauh lebih banyak, tetapi
hanya mengenal belasan marga saja, diantaranya adalah Lubis Singasoro, Lubis
Singengu, Nasution, Harahap, Pulungan, Batubara, Parinduri, Lintang, Hasibuan, Rambe, Dalim
unthe atau Nai Monte, Rangkuti, Tanjung, Mardia, Daulay, Matondang, dan Hutasuhut.
Umumnya marga-marga Mandailing berasal dari keturunan yang sama yaitu berasal dari
Bugis/Lubis, sehingga tanah Mandailing disebut juga sebagai Tanah Bugis (Bugih) Lamo.
Umumnya orang-orang Mandahiling tidak mengenal pelarangan perkawinan semarga seperti
yang terjadi pada etnis Batak. Tak heran, bila marga-marga di Batak bertambah banyak karena
banyaknya perkawinan semarga yang diharuskan membuat marga baru, sementara pada etnis
Mandailing hanya ada kewajiban memotong korban berupa ayam, kamping, atau kerbau
tergantung status sosial orang Mandailing itu pada masyarakatnya.
Marga-marga di Mandailing Julu dan Pakantan, seperti berikut: Lubis yang terbagi kepada
Lubis Kota Nopan dan Lubis Singa Soro, Nasution, Parinduri, Batu Bara, Matondang, Daulay,
Nai Monte, Hasibuan, Pulungan. Di Mandailing Godang, Nasution juga terpecah lagi dalam
beberapa marga, seperti Nasution Panyabungan, Tambangan, Borotan, Lancat, Jior, Tonga,
Dolok, Maga, Pidoli, dan lain-lain. Di Mandailing Angkola, Lubis terpecah dalam Harahap dan
Hutasuhut.

Kesenian tradisional
Kesenian yang ada di Mandailing antara lain:
Sibaso adalah acara yang dilakukan oleh dukun/tabib dalam rangka menyembuhkan penyakit
atau memberi peruntungan pada masyarakat yang membutuhkannya. Pada masa masyarakat pra
Islam, Si Baso biasanya melakukan hal-hal magis dengan upacara tertentu, untuk memenuhi
keinginan masyarakat yang meminta bantuannya. Dalam riwayatnya, acara Sibaso ini
diperkenalkan oleh seorang Datu (Dukun/Tabib tradisional) yang berasal dari Bugis yang tinggal
di Sayurmaincat.
Gordang Sambilan adalah alat kesenian terdiri atas sembilan gendang besar (beduk) yang ditabuh
bersamaan, dalam rangka tertentu, misalnya pada hari raya. Salah satu beduk ditabuh oleh
seorang raja/pemimpin wilayah, yang biasanya memulai irama penabuhan.
Tarian Tor-tor atau Tarian Gunung-gunung adalah tarian yang dilakukan oleh raja-raja dan
keturunannya di Mandailing. Tor dalam bahasa Mandailing bisa berarti gunung, bisa juga berarti
bukit, yang berasal dari bahasa Arab/Ibrani, yaitu Thur. Tarian Tor-tor di Mandailing dilakukan
dengan irama lambat, dengan gerakan pelan dan lembut dari penarinya, dan berpindah tempat
secara pelan atau diam di tempat, sehingga terkesan sakral. Biasanya Tarian Tortor ini diiringi
musik yang disebut sebagai Onang-onang. Tarian Tor-tor ini dikenal sebagai warisan dari Nabi
Sulaiman yang berasal dari suku Levi's, yang diciptakan sekitar 3000 tahun yang lalu, ketika
berhasil menguasai wilayah Saba'.
Moncak atau Poncak adalah tarian yang berasal dari gerakan pencak silat. Biasanya tarian ini
dilakukan dalam rombongan yang hendak mendatangi tempat yang dituju, semisal dalam rangka
pesta perkawinan (Marolet/Baralek), ketika rombongan pengantin pria mendatangi tempat
mempelai perempuan.
Markusip yang berarti berbisik adalah acara yang dilakukan para bujang di Mandailing dalam
rangka merayu anak gadis yang diincarnya pada tengah malam, dengan cara mendatangi bawah
kolong kamar dimana sang anak gadis itu tidur (biasanya pada zaman dahulu rumah tradisional
di Mandailing berbentuk rumah panggung. Awalnya, sang bujang akan meniup Tulila, yaitu alat
tiup tradisional dengan irama tertentu, sehingga anak gadis yang diincarnya mengetahui
keberadaannya. Selanjutnya, anak bujang akan mengeluarkan rayuan melalui pantun dan kata-
kata bersyair secara berbisik-bisik, melalui lubang papan lantai, dan dibalas dengan pantun dan
kata-kata bersyair pula.
Ende-ende adalah nyanyian tradisional yang berbentuk puisi atau pantun yang dinyanyikan
secara oral, yang isinya menggambarkan nilai-nilai budaya, relijius, filsafat, estetika serta
hiburan, juga termasuk di dalamnya riwayat leluhur atau kisah tertentu.
Turi-turian adalah cerita adat yang menggambarkan cerita atau kejadian di masa lalu, yang
pernah terjadi dalam masyarakat Mandailing, bisa menggambarkan silsilah keluarga dan lainnya.
Salung adalah alat musik tiup yang digunakan untuk menghibur dengan cara sambil
menyanyikan sebuah cerita dalam suatu pesta adat.

Marga Mandahiling
Kata marga di Mandailing atau Mandahiling bisa berarti clan yang berasal dari
bahasa Sanskrit, varga yaitu warga atau warna, ditambah imbuhan ma atau mar,
menjadi mavarga atau marvarga, artinya berwarga, dan disingkat menjadi marga. Marga itu
sendiri bermakna kelompok atau puak orang yang berasal dari satu keturunan atau satu dusun.
Marga juga bisa berasal dari singkatan 'naMA keluaRGA'. Namun, tidak semua orang
Mandailing mencantumkan marga dalam namanya, karena dianggap cukup sebagai identitas
antara orang Mandailing/Mandahiling sendiri. Selain itu, di antara orang Mandailing ada juga
yang tak memakai sistem patrilineal atau sistem marga, melainkan memakai
sistem matrilineal atau yang diistilahkan sebagai sistem suku dalam bahasa Minang, seperti
contohnya etnis Lubu yang merupakan penduduk asli Mandahiling. Selain itu, marga juga bisa
diartikan sebagai dusun, seperti halnya arti marga di wilayah Sumatra Selatan.

Etnis Mandahiling adalah suku bangsa' yang mendiami 3 Provinsi di Pulau Sumatra, yaitu
Kabupaten Mandailing Natal, Kabupaten Padang Lawas, Kabupaten Padang Lawas Utara,
Kabupaten Tapanuli Selatan, Kabupaten Labuhanbatu, Kabupaten Labuhanbatu Utara,
Kabupaten Labuhanbatu Selatan, Kabupaten Asahan dan Kabupaten Batubara di Provinsi
Sumatra Utara, Indonesia beserta di Kabupaten Pasaman dan Kabupaten Pasaman Barat, di
Provinsi Sumatra Barat, dan di Kabupaten Rokan Hulu, Provinsi Riau. Pada masa penjajahan
Belanda, kesemuanya masuk dalam Afdeeling Mandahiling di bawah Sumatra's West Kust
Gouvernement (Gubernuran Pesisir Barat Sumatra). Pada masyarakat Minangkabau, Mandailing
atau Mandahiliang menjadi salah satu nama 'suku' atau nama keluarga dari garis ibu (matrilineal)
yang ada pada masyarakat Minangkabau.
Seperti halnya orang Arab dan Tionghoa, orang Mandailing atau Mandahiling mempunyai
pengetahuan mengenai silsilah, yang dalam bahasa Mandailing disebut sebagai
(Tarombo atau Tambo). Silsilah orang Mandailing bisa mencapai beberapa keturunan sekaligus
riwayat nenek moyang mereka. Pada mulanya silsilah sesuatu marga, diriwayatkan turun-
temurun secara lisan (tambo atau terombo), kemudian diturunkan secara tertulis. Menurut
Abdoellah Loebis yang menulis mengenai asal usul orang Mandailing dalam majalah Mandailing
yang diterbitkan di Medan pada awal kurun ke-20: "Yang masih ada memegang tambo turun-
turunannya, yaitu marga Lubis dan Nasution, sebagaimana yang sudah dikarang oleh Almarhum
Raja Mulya bekas Kuriahoofd (daerah) Aek (Sungai) Nangali..." Ini tidak bermakna marga-
marga Mandailing yang lain tidak memelihara silsilah mereka.
Penelitian silsilah marga Lubis Singengu (keturunan Silangkitang) di Kotanopan dan Lubis
Singasoro (keturunan Sibaitang) di Pakantan, beserta Harahap (keturunan Sutan Bugis)
dan Hutasuhut (keturunan Sutan Borayun) di Angkola]], yang merupakan keturunan Namora
Pande Bosi, menunjukkan bahwa marga itu mula menetap di Mandailing Julu dan Mandailing
Jae (Angkola) pada kurun abad ke-16 M, keturunan dari Raden Patah gelar Angin Bugis
dari Majapahit, yang bersama pasukan Bugis dari Palembang, yang kalah adu kerbau dengan
Kerajaan Pagaruyung di Padang Sibusuk. Sementara Lubis-Lubis lainnya,
seperti Parinduri, Batubara, Daulae, Raorao, Tanjung, dan lainnya, yang bukan keturunan
Namora Pande Bosi, umumnya sampai sekarang belum banyak dipublikasikan.
Sementara pada umumnya marga Nasution Sibaroar yang berada di Mandailing Godang
merupakan keturunan Si Baroar gelar Sutan (Sultan) Di Aru, dan marga-marga Nasution lainnya,
antara lain Nasution Panyabungan, Tambangan, Borotan, Lantat, Jior, Tonga, Dolok, Maga,
Pidoli, dan lain-lain, berdasarkan nama dusun masing-masing, yang awalnya memakai sistem
matrilineal.

Umumnya marga-marga di Mandailing, kisah asal-usulnya tidak menunjukkan berasal dari Toba,
seperti opini yang ditebarkan. Antara lain, Batu Bara, Daulae dan Matondang yang berasal dari
satu nenek moyang. Tokoh nenek moyang ketiga marga tersebut menurut kisahnya dua orang
bersaudara, yakni Parmato Sopiak dan Datu Bitcu Rayo. Sekitar Tahun 1560 M, keduanya
bersama rombongan berangkat dari Batu Bara, Tanjung Balai menuju kawasan Barumun. Di
tempat itu, mereka mendirikan kampung bernama Binabo, dan di situlah akhirnya Parmato
Sopiak meninggal dunia. (Pada 1981, beberapa tokoh marga Daulae, Matondang dan Batu Bara
dari Mandailing telah memugar makam Parmato Sopiak yang terletak dekat desa Binabo di
kawasan Barumun.) Kemudian hari, dua putera Parmato Sopiak yang bernama Si Lae dan Si
Tondang bersama pengikut mereka pindah ke Mandailing Godang, dan mendirikan kampung
bernama Pintu Padang. Di situlah, keturunan mereka berkembang dan bermarga Daulae dan
Matondang. Datu Bitcu Rayo kemudian berpindah, dan mendirikan kampung Pagaran Tonga. Di
tempat itu, keturunannya berkembang menjadi marga Batu Bara.

Orang-orang Mandailing bermarga Rangkuti dan pecahannya marga Parinduri, juga tidak
mendukung pendapat, yang mengatakan mereka berasal dari Toba. "...sampai kini tidak seorang
pun Marga Rangkuti yang menganggap dirinya Batak, tidak marmora (punya hubungan kerabat
mertua) dan tidak maranak boru (punya hubungan kerabat bermenantu) ke Tanah Batak." Sebab,
menurut penuturan yang dihimpun dari orang-orang tua di Mandailing dan disesuaikan pula
dengan tarombo marga Rangkuti, bahwa Ompu Parsadaan Rangkuti (nenek moyang orang-orang
bermarga Rangkuti) di Runding, bernama Sutan Pane Paruhuman, yang datang dari Ulu Panai
membuka Huta Runding dan mendirikan kerajaan di sana. Kerajaan tersebut berhadapan
dengan Harajaon (kerajaan) Pulungan di Hutabargot di kaki Tor (gunung) Dolok Sigantang di
seberang sungai Batang Gadis kira-kira 16 km dari Panyabungan"[1]

Marga-Marga Mandailing
Etnis Mandailing hanya mengenal sekitar belasan marga, antara
lain Lubis, Nasution, Pulungan, Batubara, Parinduri, Lintang,
Harahap,Hasibuan (Nasibuan), Rambe, Dalimunthe, Rangkuti (Ra
Kuti), Tanjung, Mardia, Daulay, Matondang, Hutasuhut.
Menurut Abdoellah Loebis, marga-marga di Mandailing Julu dan Pakantan adalah seperti
berikut: Lubis (yang terbahagi kepada Lubis Huta Nopan dan Lubis Singa Soro), Nasution,
Parinduri, Batu Bara, Matondang, Daulay, Nai Monte, Hasibuan, Pulungan. Marga-marga di
Mandailing Godang adalah Nasution yang terbagi kepada Nasution Panyabungan, Tambangan,
Borotan, Lantat, Jior, Tonga, Dolok, Maga, Pidoli, dan lain-lain; Lubis, Hasibuan, Harahap, Batu
Bara, Matondang (keturunan Hasibuan), Rangkuti, Mardia, Parinduri, Batu na Bolon, Pulungan,
Rambe, Mangintir, Nai Monte, Panggabean, Tangga Ambeng dan Margara. (Rangkuti, Mardia
dan Parinduri asalnya satu marga.)
Menurut Basyral Hamidy Harahap dan Hotman M. Siahaan, di Angkola dan Sipirok terdapat
marga-marga Pulungan, Baumi, Harahap, Siregar, Dalimunte dan Daulay. Di Padang Lawas,
terdapat marga-marga Harahap, Siregar, Hasibuan, Daulay, Dalimunte, Pulungan, Nasution dan
Lubis.
Menurut Basyral Hamidy Harahap dalam buku berjudul Horja, marga-marga di Mandailing
antara lain Babiat, Dabuar, Baumi, Dalimunthe, Dasopang, Daulae, Dongoran, Harahap,
Hasibuan, Hutasuhut, Lubis, Nasution, Pane, Parinduri, Pasaribu, Payung, Pohan, Pulungan,
Rambe, Rangkuti, Ritonga, Sagala, Simbolon, Siregar, Tanjung.

Anda mungkin juga menyukai