PENDAHULUAN
Peradaban Islam adalah terjemahan dari kata Arab al-Hadhārah al-Islāmiyah. Kata Arab
ini sering juga diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan Kebudayaan Islam.
Kebudayaan Islam dalam dalam bahasa Arab adalah al-Tsaqāfah. Di Indonesia
sebagaimana juga di Arab dan Barat, masih banyak orang yang mensinonimkan dua
kata “kebudayaan” (Arab, al-Tsaqāfah; Inggris, culture) dan beradaban (Arab, al-
Hadhārah; Inggris, civilization). Dalam perkembangan ilmu antropologi sekarang,
kedua istilah itu dibedakan, kebudayaan adalah bentuk ungkapan tentang semangat
mendalam suatu masyarakat. Sedangkan, manifestasi-manifestasi kemajuan mekanis
dan teknologis lebih berkaitan dengan peradaban. Kalau kebudayaan lebih banyak
direfleksikan dlam seni, sastra, religi (agama), dan moral, maka peradaban terefleksi
dalam politik, ekonomi dan teknologi.
Pembahasan sejarah perkembangan peradaban Islam yang sangat panjang dan luas itu
tidak bias dilepaskan dari pembahasan sejarah perkembangan politiknya. Bukan saja
karena persoalan-persoalan politik sangat menentukan perkembangan aspek-aspek
peradaban tertentu seperti yang terlihat di buku karya Dr. Badri Yatim, M.A., tapi
terutama karena sistem politik dan pemerintahan itu sendiri merupakan salah satu aspek
penting dari peradaban, sebagaimana disebutkan di atas, karena itulah uraian dalam
sejarah politik Islam sangat dominan seperti sistem pemerintahan, ekonomi, ilmu
pengetahuan, pendidikan dan seni bangunan.
1. Khalifah Rasyidah
Nabi Muhammad saw. tidak meninggalkan wasiat tentang siapa yang akan
menggantikan beliau sebagai pemimpin politik umat Islam setelah beliau wafat. Karena
itulah, tidak lama setelah beliau wafat; belum lagi janazahnya dimakamkan, sejumlah
tokoh muhajirin dan anshor berkumpul dib alai kota Bani Sa’idah, Madinah. Mereka
memusyawarahkan siapa yang akan dipilih menjadi pemimpin. Musyawarah itu
berjalan cukup a lot karena masing-masing pihak, baik muhajirin maupun anshor sama-
sama merasa berhak menjadi pemimpin umat Islam. Namun, dengan semangat ukhuwah
Islamiah yang tinggi, akhirnya Abu Bakar terpilih. Rupanya semangat keagamaan Abu
Bakar mendapat penghargaan yang tinggi dari umat Islam,[1] sehingga masing-masing
pihak menerima dan membaiatnya.
Sebagai pemimpin umat Islam setelah Rasul, Abu Bakar disebut Khalifah Rasulillah
(pengganti Rasul) yang dalam perkembangan selanjutnya disebut khalifah saja. Khalifah
adalah pemimpin yang diangkat sesudah nabi wafat untuk menggantikan tugas beliau
sebagai pemimpin agama dan kepala pemerintahan.
Tampaknya, kekuasaan yang dijalankan Abu Bakar, sebagaimana pada masa
Rasulullah, bersifat sentral; kekuasaan legislative, eksekutif dan yudikatif terpusat di
tangan khalifah. Selain menjalankan roda kepemerintahan, khalifah juga melaksanakan
tugas hukum. Meskipun demikian, seperti juga Nabi Muhammad, Abu Bakar selalu
mengajak sahabat-sahabat besarnya bermusyawarah.
Ketika Abu Bakar sakit dan merasa ajalnya sudah dekat, ia bermusyawarah dengan para
pemuka sahabat, kemudian mengangkat Umar sebagai penggantinya dengan maksud
untuk mencegah kemungkinan terjadinya perselisihan dan perpecahan dikalangan umat
Islam. Kebijaksanaan Abu Bakar ternyata diterima masyarakat yang segera secara
beramai-ramai membaiat Umar. Umar menyebut dirinya Khalifah Khalifati Rasulillah
(pengganti dan pengganti Rasulullah). Ia juga memperkenalkan istilah Amir al-
Mu’minin (komandan orang-orang yang beriman).
Di zaman Umar gelombang ekspansi (perluasan daerah kekuasaan) pertama terjadi, ibu
kota Syiria, Damaskus, jatuh tahun 635 M. dan setahun kemudian, setelah tentara
Bizantium kalah dipertempuran Yarmuk, seluruh daerah Syiria jatuh kebawah
kekuasaan Islam. Dengan memakai Syiria sebagai basis, ekspansi diteruskan ke Mesir
di bawah kepemimpinan ‘Amr ibn ‘Ash dank e Irak dibawah pimpinan Sa’ad ibn Abi
Waqqash. Iskandaria, ibu kota Mesir, ditaklukkan tahun 641 M. dengan demikian,
Mesir jatuh ke bawah kekuasaan Islam. Al-Qudsiyah, sebuah kota dekat Hirah di Irak,
jatuh pada tahun 637 M. dari saba peperangan dilanjutkan ke ibu kota Persia, al-Madain
yang jatuh pada tahun itu juga. Pada tahun 641 M, Mosul dapat dikuasai. Dengan
demikian, pada masa kepemimpinan Umar, wilayah kekuasaan Islam sudah meliputi
Jazirah Arab. Palestina, Syiria, sebagian besar wilayah Persia dan Mesir.[2]
Karena perluasan daerah terjadi dengan cepat, Umar segera mengatur administrasi
Negara dengan mencontoh administrasi yang sudah berkembang terutama di Persia.
Administrasi pemerintahan diatur menjadi delapan wilayah propinsi: Makkah, Madinah,
Jazirah, Basrah, Kufah, Palestina, dan Mesir. Beberapa departemen yang dipandang
perlu didirikan. Pada masanya mulai diatur dan ditertibkan sistem pembayaran gaji dan
pajak tanah. Pengadilan didirikan dalam rangka memisahkan lembaga yudikatif dengan
lembaga eksekutif. Untuk menjaga keamanan dan ketertiban, jawatan kepolisian
dibentuk. Demikian juga pekerjaan umum.[3] Umar juga mendirikan Bait al-Mal,
menempa mata uang dan menciptakan tahun hijrah.
Di masa pemerintahan Usman ibn Affan (644-655 M), Armenia, Tunisia, Cyprus,
Rhodes, dan bagian yang tersisa dari Persia, Transoxania dan Tabaristan berhasil
direbut. Ekspansi Islam pertama berhenti sampai disini. Pemerintahan Usman
berlangsung selama 12 tahun. Pada masa paroh terakhir masa kekhalifaannya, muncul
perasaan tidak puas dan kecewa dikalangan umat Islam terhadapnya, kepemimpinan
Usman memang berbeda dengan kepemimpinan Umar. Ini mungkin karena umurnya
yang lanjut (diangkat dalam usia 70 tahun) dan sifatnya yang lemah lembut. Akhirnya,
pada tahun 35 H / 655 M, Usman dibunuh oleh kaum pemberontak yang terdiri dari
orang-orang yang kecewa itu.
Salah satu faktor yang menyebabkan banyak rakyat kecewa terhadap kepemimpinan
Usman adalah kebijaksanaannya mengangkat keluarga dalam kedudukan tinggi. Yang
terpenting diantaranya adalah Marwan ibn Hakam. Dialah pada dasarnya yang
menjalankan roda kepemerintahan, sedangkan Usman hanya menyandang gelar
khalifah.[4] Setelah banyak keluarganya yang duduk dalam jabatan-jabatan penting.
Usman laksana boneka dihadapan kerabatnya itu. Dia tidak dapat berbuat banyak dan
terlalu lemah terhadap keluarganya. Dia juga tidak tegas terhadap kesalahan bawahan.
Harta kekayaan Negara, oleh kerabatnya dibagi-bagikan tanpa terkontrol oleh Usman
sendiri. Dengan demikian bukan berarti bahwa pada masa Usman tidak ada kegiatan-
kegiatan penting. Usman berjasa membangun bendungan untuk menjaga arus banjir
yang besar dan mengatur pembagian air ke kota-kota. Dia juga yang membangun jalan-
jalan, jembatan-jembatan, masjid-masjid, dan memperluas masjid nabi di Madinah.
Setelah Usman wafat, masyarakat beramai-ramai membaiat Ali ibn Abi Thalib sebagai
khalifah. Ali memerintah hanya enam tahun. Selama masa pemerintahannya, ia
menghadapi berbagai pergolakan. Tidak ada masa sedikitpun dalam masa
pemerintahannya yang dapat dikatakan stabil. Setelah menduduki jabatan khalifah, Ali
memecat para gubernur yang diangkat oleh Usman. Dia yakin bahwa pemberontakan-
pemberontakan terjadi karena keteledoran mereka. Dia juga menarik kembali tanah
yang dihadiahkan Usman kepada penduduk dengan menyerahkan hasil pendapatannya
kepada Negara, dan memakai kembali sistem distribusi pajak tahunan sebagaimana
pernah diterapkan oleh Umar.[5]
Tak lama setelah itu, Ali menghadapi pemberontakan Thalhah, Zubair dan Aisyah. Alas
an mereka, Ali tidak mau menghukum para pembunuh Usman dan mereka menuntut
bela terhadap darah Usman yang telah ditumpahkan secara zalim. Kedudukan Ali
semakin lemah sebagai khalifah kemudian dijabat oleh anaknya, Hasan selama beberapa
bulan. Namun, karena Hasan ternyata lemah, sementara Mu’awiyah semakin kuat.
Maka Hasan membuat perjanjian damai. Perjanjian ini dapat mempersatukan umat
Islam kembali dalam satu kepemimpinan politik. Dibawah Mu’awiyah ibn Abi Sufyan.
Disisi lain Mu’awiyah juga menjadi penguasa absolute dalam Islam.
2. Khalifah Bani Umayyah
Memasuki masa kekuasaan Mu’awiyah yang menjadi awal kekuasaan Bani Umayyah,
pemerintahan yang bersifat demokrasi berubah menjadi monarchiheridetis (kerajaan
turun temurun). Kekhalifaan Mu’awiyah diperoleh melalui kekerasan, diplomasi dan
tipu daya, tidak dengan pemilihan atau suara terbanyak. Suksesi kepemimpinan secara
turun temurun dimulai ketika Mua’wiyah mewajibkan seluruh rakyatnya untuk
menyatakan setia terhadap anaknya, Yazid. Mu’awiyah bermaksud mencontoh kepada
monarchi di Persia dan Bizantium. Dia memang tetap menggunakan istilah khalifah,
namun dia memberikan interpretasi baru dari kata-kata itu untuk mengagungkan
jawaban tersebut. Dia menyebutnya “khalifah Allah” dalam pengertian “penguasa yang
diangkat oleh Allah”.[6]
Kekuasaan Bani Umayyah berumur kurang lebih 90 tahun. Ibu kota Negara
dipindahkan Mu’awiyah dari Madinah ke Damaskus, tempat ia berkuasa sebagai
gubenur sebelumnya. Khalifah-khalifah besar dinasti Bani Umayyah ini adalah
Mu’awiyah ibn Abi Sufyan (661-680 M), Abd. Al-Malik ibn Marwan (685-705 M), Al-
Walid ibn Abd. Malik (705-715 M), Umar ibn Abd al-Aziz (717-720 M), dan Hasyim
ibn Abd. Malik (724-743 M).
Ekspansi yang terhenti pada masa khalifah Usman dan Ali dilanjutkan kembali oleh
dinasti ini. Di sebelah timur, Muawiyah dapat menguasi daerah Khurasan samapi ke
sungai Oxus dan Afganistan sampai ke Kabul. Angkatan lautnya melakukan serangan
ke ibu kota Bizantium, Konstantinopel. Ekspansi ke timur yang dilakukan Muawiyah
kemudian dilanjutkan oleh Abd. Al-Malik, dia mengirim tentara menyebrangi sungai
Oxus dan berhasil menundukkan Balkh, Bukhara, Khawariz, Ferghana dan Samarkand.
Tentaranya bahkan sampai ke India dan dapat menguasai Balukhistan, Sind, dan daerah
Punjab sampai ke Maltan.
3. Khalifah Bani Abbas
Kekuasaan dinasti Bani Abbas atau khalifah Abbasiyah, sebagaimana disebutkan,
melanjutkan kekuasaan Bani Umayyah, dianamakan khalifah Abbasiyah karena para
pendiri dan penguasa dinasti ini adalah keturunan al-Abbas paman Nabi Muhammad
saw. Dinasti Abbasiyah didirikan oleh Abdullah al-Suffah ibn Muhammad ibn Ali ibn
Abdullah ibn al-Abbas. Kekuasaanya berlangsung dalam rentang waktu yang panjang,
dari tahun 132 H / 750 M s/d 656 H / 1258 M. selama dinasti ini berkuasa, pola
pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial,
dan budaya. Berdasarkan perubahan pola pemerintahan dan politik itu, para sejarawan
biasanya membagi masa pemerinthan membagi masa pemerintahan Bani Abbas menjadi
lima periode;
a. Periode Pertama (132 H/750 M – 232 H/847 M), disebut periode pengaruh Persia
pertama.
b. Periode Kedua (232 H/847 M – 334 H/945 M), disebut masa pengaruh Turki
pertama.
c. Periode Ketiga (334 H/945 M – 447 H/1055 M), masa kekuasaan dinasti Buwaih
dalam pemerintahan khalifah Abbasiyah. Periode ini disebut juga masa pengaruh Persia
kedua.
d. Periode Keempat (447 H/1055 M – 590 H/1194 M), masa kekuasaan dinasni Bani
Saljuk dalam pemerintahan khalifah Abbasiyah. Periode ini disebut juga masa pengaruh
Turki kedua.
e. Periode Kelima (590 H/1194 M – 656 H/1258 M), masa khalifah bebas dari
pengaruh dinasti lain, tetapi kekuasaanya hanya efektif disekitar kota Baghdad.
D. MASA DISINTEGRASI (1000-1250 M)
3. Perang Salib
Gerakan penting dalam gerakan ekspansi yang dilakukan oleh Alp Arselan adalah
peristiwa Manzikart (464 H/1071 M). tentara Alp Arselan yang hanya berkekuatan
15.000 prajurit, dalam peristiwa ini berhasil mengalahkan tentara Romawi yang
berjumlah 200.000 orang terdiri dari tentara Romawi, Ghuz, Al-Akraj, Al-Hajr, Prancis
dan Armenia. Peristiwa ini menanamkan benih permusuhan dan kebencian orang
Kristen terhadap umat Islam, yang kemudian mencetuskan Perang Salib. Kebencian itu
bertambah setelah Dinasti Saljuk dapat merebut Bait al-Maqdis pada tahun 471 H dari
kekuasaan Dinasti Fathimiyah, Mesir. Penguasa Saljuk menetapkan beberapa peraturan
bagi umat Kristen yang ingin berziarah ke Bait al-Maqdis. Peraturan itu dirasakan
sangat menyulitkan mereka.[9] Untuk memperoleh kembali keleluasan berziarah ke
tanah suci Kristen itu, pada tahun 1095 M, Paus Urbanus II berseru kepada umat
Kristen di Eropa supaya melakukan perang suci.[10] Perang ini kemudian dikenal
dengan nama Perang Salib, yang terjadi dalam tiga periode;
a. Periode Pertama; tahun 1095 M., 150.000 orang Eropa, sebagian besar bangsa
Prancis dan Norman, berangkat menuju konstantinopel, kemudian ke Palestina. Tentara
Salib yang dipimpin oleh Godfrey, Bohemond, dan Raymond ini memperoleh
kemenangan besar. Setelah menaklukkan Bait al-Maqdis, tentara Salib melanjutkan
ekspansinya. Mereka menguasai kota Akka (1104 M), Tripoli (1109 M), dan Tyre (1124
M). di Tripoli mereka mendirikan kerajaan Latin IV. Rajanya adalah Raymond.[11]
c. Periode Ketiga; tentara Salib pada periode ini dipimpin oleh raja Jerman, Frederick
II. Kali ini mereka berusaha merebut Mesir lebih dahulu sebelum ke Palestina, dengan
harapan dapat bantuan dari orang-orang Kristen Qibthi. Perang Salib yang berkobar di
timur. Perang ini tidak berhenti di Barat, di Spanyol, sampai umat Islam terusir dari
sana. Walaupun umat Islam berhasil mempertahankan daerah-daerah dari tentara Salib,
namun kerugian yang mereka derita bayak sekali, karena peperangan terjadi di kawasan
Islam.
a. Periode Pertama (711-755 M); Spanyol berada dibawah pemerintahan para wali
yang diangkat oleh khalifah Bani Umayyah yang berpusat di Damaskus. Pada periode
ini stabilitas negeri Spanyol belum tercapai secara sempurna, gangguan-gangguan masih
terjadi, baik dari dalam (perselisihan para elit penguasa dalam perbedaan etnis dan
golongan) maupun dari luar (sisa-sisa musuh Islam yang berada di daerah-daerah di
Spanyol).
b. Periode Pertama (755-912 M); Spanyol berada dibawah pemerintahan seorang yang
bergelar amir (panglima atau gubernur) tapi tidak tunduk pada pusat pemerintahan
Islam yang dipegang oleh khalifah Abbasiyah di Baghdad. Amir pertama adalah
Abdurrahman I, yang memasuki Spanyol (138 H/755 M) dan diberi gelar Al-Dakhil.
Dia adalah keturunan Bani Umayyah yang berhasil lolos dari kejaran Bani Abbas ketika
yang terakhir ini berhasil menaklukkan Bani Umayyah di Damaskus. Selanjutnya, ia
berhasil mendirikan dinasti Bani Umayyah di Spanyol. Penguasa-penguasa Spanyol
pada periode ini adalah Abd. Al-Rahman Al-Dakhil, Hisyam I, Hakam I, Abd. Al-
Rahman Al-Ausath, Muhammad ibn Abd. Al-Rahman, Munzif ibn Muhammad dan
Abdullah ibn Muhammad.
c. Periode Ketiga (912-1013 M); pada periode ini, umat Islam Spanyol mencapai
puncak kemajuan dan kejayaan, menyaingi kejayaan daulah Abbasiyah di Baghdad.
Abd. Al-Rahman Al-Nashir mendirikan Universitas Cordoba. Perpustakaannya
memiliki koleksi ratusan ribu buku. Hakam II juga seorang kolektor buku dan pendiri
perpustakaan pada masa itu, masyarakat dapat menikmati kesejahteraan dan
kemakmuran. Pembangunan kota berlangsung cepat.
d. Periode Keempat (1013-1086 M); Spanyol terpecah menjadi lebih dari tiga puluh
Negara kecil di bawah pemerintahan raja-raja golongan atau al-Mulukuth Thawaif, yang
berpusat di suatu kota seperti Seville, Cordoba, Toledo dan sebagainya.
e. Periode Kelima (1086-1248 M); Spanyol Islam meskipun masih terpecah dalam
beberapa Negara, tapi terdapat satu kekuatan yang dominan, yaitu kekuasaan Dinasti
Murabithun (1086-1143) dan Dinasti Muwahhidun (1146-1235 M).
f. Periode Keenam (1248-1492); pada periode ini, Islam hanya berkuasa di daerah
Granada, di bawah dinasti Bani Ahmar (1232-1492 M). peradaban kembali mengalami
kemajuan seperti zaman Abdurrahman An-Nashir, akan tetapi secara politik, dinasti ini
hanya berkuasa di wilayah yang kecil. Kekuasaan Islam yang merupakan pertahanan
terakhir di Spanyol ini berakhir.
3. Kemajuan Peradaban
Dalam masa lebih dari tujuh abad, kekuasaan Islam di Spanyol, umat Islam telah
mencapai kejayaan, banyak prestasi yang mereka peroleh, bahkan pengaruhnya
membawa Eropa dan kemudian dunia pada kemajuan kompleks. Antara lain:
a. Kemajuan Intelektual b. Kemegahan Pembangunan Fisik
1) Filsafat 1) Cordova
2) Sains 2) Granda
3) Fiqih
4) Musik dan Kesenian
5) Bahasa dan Sastra
1. Kerajaan Usmani
Pendiri kerajaan ini adalah bangsa Turki dari kabilah Oghuz yang mendiami daerah
Mongol dan daerah utara negeri Cina. Dalam jangka waktu kira-kira tiga abad, mereka
pindah ke Turkistan kemudian Persia dan Irak. Mereka masuk Islam sekitar abad
kesembilan atau kesepuluh, ketika mereka menetap di Asia Tengah. Di bawah tekanan
serangan-serangan Mongol pada abad ke-13 M, mereka melarikan diri ke daerah barat
dan mencari tempat pengungsian ditengah-tengah saudara mereka, orang-orang Turki
Seljuk, di dataran tinggi Asia Kecil.[15]
Kemajuan dan perkembangan ekspansi kerajaan Usmani yang demikian luas dan
berlangsung dengan cepat itu diikuti pula oleh kemajuan di bidang-bidang kehidupan
yang lain, diantaranya: a) Bidang kemeliteran dan kepemerintahan, b) Bidang ilmu
pengetahuan dan budaya, dan c) Bidang keagamaan.
2. Kerajaan Safawi di Persia
Ketika kerajaan Usmani sudah mencapai puncak kemajuannya. Kerajaan Safawi di
Persia baru berdiri. Kerajaan ini berkembang dengan cepat. Dalam perkembangannya,
kerajaan Safawi sering bentrok dengan Turki Usmani. Berbeda dari dua kerajaan Islam
lainnya (Usmani dan Mughal), kerajaan Safawi menyatakan; Syi’ah sebagai madzhab
Negara. Karena itu, kerajaan ini dapat dianggap sebagai peletak pertama dasar
terbentuknya Negara Iran dewasa ini.
Kemajuan yang dicapai kerajaan Safawi tidak hanya terbatas di bidang politik. Di
bidang lain, kerajaan ini juga mengalami banyak kemajuan. Kemajuan-kemajuan itu
antara lain: a) Bidang ekonomi, b) Bidang ilmu pengetahuan, dan c) Bidang
pembangunan fisik dan seni.
3. Kerajaan Mughal di India
Kerajaan Mughal berdiri seperempat abad sesudah berdirinya kerajaan Safawi. Jadi,
diantara tiga kerajaan Islam tersebut, kerajaan inilah yang termuda. Kerajaan Mughal
bukanlah kerajaan Islam pertama di anak buah India. Awal kekuasaan Islam di wilayah
India terjadi pada masa khalifah Al-Walid, dari Dinasti Bani Umayyah. Penaklukan
wilayah ini dilakukan oleh tentara Bani Umayyah di bawah pimpinan Muhammad ibn
Qasim.[16]
Kemajuan yang dicapai oleh tiga sultan pasca Akbar antara lain:
a. Kemantapan stabilitas politik
b. Bidang ekonomi
c. Bidang seni dan budaya.
Karya seni yang masih bias dinikmati sekarang dan merupakan karya seni terbesar yang
dicapai kerajaan Mughal adalah karya-karya arsitektur yang indah dan mengagumkan.
Pada masa Akbar dibangun istana Fatpur Sikri di Sikri, vila, dan masjid-masjid yang
indah. Pada masa Syah Jehan, dibangun masjid berlapiskan mutiara dan Taj Mahal di
Agra, Masjid Raya Delhi dan istana indah di Lahore.[17]
H. KEMUNDURAN TIGA KERAJAAN BESAR (1700-1800 M)
1. Renaisans di Eropa
Pada awal bangkitnya, Eropa menghadapi tantangan yang sangat berat. Di hadapannya
masih terdapat kekuatan-kekuatan perang Islam yang sulit dikalahkan, terutama
kerajaan Usmani yang berpusat di Turki. Tidak ada jalan lain, mereka harus menembus
lautan yang sebelumnya hanya dipandang sebagai dinding yang membatasi gerak
mereka.[21] Mereka melakukan berbagai penelitian tentang rahasia alam, berusaha
menaklukkan lautan dan menjelajahi benua yang sebelumnya masih diliputi kegelapan.
Setelah Christoper Colombus menemukan Benua Amerika (1492 M) dan Vasco da
Gama menemukan jalan ke timur melalui Tanjung Harapan (1498 M), Benua Amerika
dan kepulauan Hindia segera jatuh ke bawah kekuasaan Eropa. Dua penemuan itu
sungguh tak terkira nilainya, Eropa menjadi maju dalam dunia perdagangan, karena
tidak tergantung lagi pada jalur lama yang dikuasai umat Islam.
Negeri-negeri Islam yang pertama kali jatuh ke bawah kekuasaan Eropa adalah negeri-
negeri yang jauh dari pusat kekuasaan kerajaan Usmani, karena kerajaan ini meskipun
terus mengalami kemunduran, ia masih disegani dan dipandang masih cukup kuat untuk
berhadapan dengan kekuatan meliter Eropa waktu itu. Negeri Islam yang pertama kali
dapat dikuasi Barat adalah negeri-negeri Islam di Asia Tenggara dan di Anak Benua
India. Sementara, negeri-negeri Islam di Timur Tengah yang berada di bawah
kekuasaan Kerajaan Usmani, baru diduduki Eropa pada masa berikutnya.
2. Penjajahan Barat terhadap Dunia Islam
India ketika berada pada masa kemajuan pemerintahan kerajaan Mughal adalah negeri
yang kaya dengan hasil pertanian. Hal itu mengundang Eropa yang sedang mengalami
kemajuan untuk berdagang kesana. Di awal abad ke-17 M, Inggris dan Belanda mulai
menginjakkan kaki di India. Pada tahun 1611 M, Inggris mendapat izin menanamkan
modal, dan pada tahun 1617 M Belanda mendapatkan izin yang sama.
Asia Tenggara, negeri tempat Islam baru mulai berkembang yang merupakan daerah
rempah-rempah terkenal pada masa itu, justru menjadi ajang perebutan Negara-negara
Eropa. Kekuatan Eropa malah lebih awal menancapkan kekuasaannya. Hal ini mungkin
dikarenakan, disbanding dengan Mughal, kerajaan-kerajaan Islam di Asia Tenggara
lebih lemah sehingga dengan mudah dapat ditaklukkan. Sebagaimana di India, di Asia
Tenggara kekuasaan politik Negara-negara Eropa itu berlanjut terus sampai pertengahan
abad ke-20 M, ketika negeri-negeri jajahan tersebut memerdekakan diri dari kekuasaan
asing.
3. Kemunduran Kerajaan Usmani dan Ekspansi Barat ke Timur Tengah
Kemajuan Eropa dalam teknologi meliter dan industry perang membuat kerajaan
Usmani menjadi kecil dihadapan Eropa. Akan tetapi, nama besar Turki Usmani masih
membuat Eropa segan untuk menyerang atau mengalahkan wilayah yang berada di
bawah kekuasaan kerajaan Islam, termasuk daerah-daerah yang berada di Eropa Timur.
Namun, kekalahan besar kerajaan Usmani dalam menghadapi serangan Eropa di Wina
(1683 M) membuka mata Barat, bahwa kerajaan Usmani telah mundur jauh sekali.
Sejak itulah kerajaan Usmani berulangkali mendapat serangan-serangan besar dari
Barat.[22]
Faktor utama yang menarik kehadiran kekuatan-kekuatan Eropa ke negeri-negeri
muslim adalah ekonomi dan politik. Kemajuan Eropa dalam bidang industri
menyebabkan membutuhkan barang-barang baku, disamping rempah-rempah. Mereka
juga membutuhkan negeri-negeri tempat mereka dapat memasarkan hasil industri
mereka. Untuk menunjang perekonomian tersebut, kekuatan politik diperlukan sekali.
Akan tetapi, persoalan agama seringkali terlibat dalam persoalan politik penjajahan
Barat atas negeri-negeri Islam. Terutama perang Salib agaknya membekas pada
sebagian orang Barat, terutama Portugis dan Spanyol, karena dua Negara ini untuk
jangka waktu berabad-abad berada di bawah kekuasaan Islam.
4. Bangkitnya Nasionalisme di Dunia Islam
Benturan-benturan antara Islam dan kekuatan Eropa telah menyadarkan umat Islam,
bahwa mereka memang jauh tertinggal dari Eropa. Yang pertama merasakan hal itu
diantaranya; Turki Usmani, karena kerajaan ini yang pertama dan utama menghadapi
kekuatan Eropa. Kesadaran itu memaksa penguasa dan pejuang-pejuang Turki untuk
banyak belajar dari Eropa.
Usaha untuk memulihkan kembali kekuatan Islam pada umumnya dikenal dengan
istilah “Gerakan Pembaharuan” didorong oleh dua faktor yang saling mendukung,
pemurnian ajaran Islam dari unsur-unsur asing yang dipandang sebagai penyebab
kemunduran Islam dan membina gagasan-gagasan pembaharuan dan ilmu pengetahuan
dari Barat. Yang pertama Gerakan Wahabiyah yang dipelopori oleh Muhammad ibn
Abd. Al-Wahhab (1703-1787 M) di Arabia, Syah Waliyullah (1703-1762 M) di India,
dan Gerakan Sanusiyah di Afrika Utara yang dipimpin oleh Said Muhammad Sanusi
dari Aljazair. Yang kedua, tercermin dalam pengiriman para pelajar muslim oleh
penguasa Turki Usmani dan Mesir ke Negara-negara Eropa untuk menimbah ilmu
pengetahuan dan dilanjutkan dengan gerakan penerjemahan karya-karya Barat kedalam
bahasa Islam. Pelajar-pelajar muslim asal India juga banyak yang menuntut ilmu ke
Inggris.
Gagasan nasionalisme yang berasal dari Barat itu masuk ke negeri-negeri melalui
persentuhan umat Islam dengan Barat yang menjajah mereka dan dipercepat oleh
banyaknya pelajar muslim yang menuntut ilmu ke Eropa atau lembaga-lembaga
pendidikan “Barat” yang didirikan di negeri mereka. Gagasan ini pada mulanya banyak
mendapatkan tantangan dari pemuka-pemuka Islam karena dipandang tidak sejalan
dengan semangat ukhuwah Islamiyah. Akan tetapi, ia berkembang cepat setelah gagasan
Pan-Islamisme redup. Gagasan-gagasan nasionalisme dan gerakan-gerakan untuk
membebaskan dari dari kekuasaan penjajah Barat yang kafir juga bangkit di negeri-
negeri Islam lainnya.
5. Kemerdekaan Negara-negara Islam dari Penjajahan
Munculnya gagasan nasionalisme yang diikuti dengan berdirinya partai-partai politik
merupakan modal utama umat Islam dalam perjuangannya untuk mewujudkan Negara
merdeka yang bebas dari pengaruh politik Barat. Dalam kenyataan, memang partai-
partai itulah yang berjuang melepaskan diri dari dari kekuasaan penjajah. Perjuangan
mereka biasanya terwujud dalam beberapa bentuk kegiatan, seperti; a) gerakan politik,
baik dalam bentuk diplomasi maupun perjuangan bersenjata, dan b) pendidikan serta
propaganda dalam rangka mempersiapkan masyarakat menyambut dan mengisi
kemerdekaan itu.
Namun, sampai saat ini masih ada umat Islam yang berharap mendapatkan otonomi
sendiri, atau paling tidak menjadi penguasa atas masyarakat mereka sendiri. Mereka itu
adalah penduduk mayoritas muslim dalam Negara-negara nasional, Kasymir di India,
Moro di Filipina, dan sebagainya. Meski mereka hidup dalam Negara mereka, namun
status sebagai minoritas seringkali menyulitkan mereka dalam meningkatkan
kesejahteraan hidup.
J. KEDATANGAN ISLAM DI INDONESIA
Sejak zaman prasejarah, penduduk kepulauan Indonesia dikenal sebagai pelayar-pelayar
yang sanggup mengarungi lautan lepas. Sejak awal abad Masehi sudah ada rute-rute
pelayaran dan perdagangan antar kepulauan Indonesia dengan berbagai daerah di
daratan Asia Tenggara.[23] Wilayah Barat Nusantara dan sekitar Malaka sejak masa
kuno merupakan wilayah yang menjadi titik perhatian, terutama karena hasil bumi yang
dijual disana menarik bagi para pedagang dan menjadi daerah lintasan penting antara
Cina dan India.
Pedagang-pedagang Muslim asal Arab, Persia, dan India juga ada yang sampai ke
kepulauan Indonesia untuk berdagang sejak abad ke-7 M (abad 1 H), ketika Islam
pertama kali berkembang di Timur Tengah. Malaka, jauh sebelum ditaklukkan Portugis
(1511 M), merupakan pusat utama lalu lintas perdagangan dan pelayaran. Melaui
Malaka, hasil hutan dan rempah-rempah dari seluruh pelosok Nusantara dibawah ke
Cina dan India, terutama Gujarat yang melakukan hubungan dagang langsung dengan
Malaka pada waktu itu. Dengan demikian, Malaka menjadi mata rantai pelayaran yang
penting.
Pada zaman-zaman berikutnya, penduduk kepulauan ini masuk Islam, bermula dari
penduduk pribumi di koloni-koloni pedagang muslim. Menjelang abad ke-13 M,
masyarakat muslim sudah ada di Samudera Pasai, Perlak, dan Palembang di Sumatera.
Di Jawa, makam Fatimah binti Maimun di Leran (Gresik) yang berangka tahun 475 H
(1082 M), dan makam-makam Islam di Tralaya yang berasal dari abad ke-13 M
merupakan berkembangnya komunitas Islam.
Sampai berdirinya kerajaan-kerajaan Islam. Perkembangan agama Islam di Indonesia
dapat dibagi menjadi tiga fase, yaitu:
1) Singgahnya pedagang-pedagang Islam di pelabuhan-pelabuhan Nusantara.
2) Adanya komunitas-komunitas Islam di berbagai daerah kepulauan Indonesia.
3) Berdirinya kerajaan-kerajaan Islam.[24]
b. Aceh Darussalam
Kerajaan Aceh terletak di daerah yang sekarang dikenal dengan nama Kabupaten Aceh
Besar. Disini pula terletak ibu kotanya. Kurang begitu diketahui kapan kerajaan ini
sebenarnya berdiri. Anas Machmud berpendapat, kerajaan Aceh berdiri pada abad ke-15
M, di atas puing-puing kerajaan Lamuri, oleh Muzaffar Syah (1465-1497 M). dialah
yang membangun kota Aceh Darussalam.[27] Pada masa pemerintahannya Aceh
Darussalam mengalami kemajuan dalam bidang perdagangan, karena saudagar-saudagar
muslim sebelumnya berdagang dengan Malaka memindahkan kegiatan mereka ke Aceh.
Setelah Malaka dikuasai Portugis (1511 M). sebagai akibat penaklukan Malaka oleh
Portugis itu, jalan dagang yang sebelumnya jauh dari laut Jawa ke utara melalui Selat
Karimata terus ke Malaka, pindah melalui selat Sunda dan menyusur pantai Barat
Sumatera, terus ke Aceh. Dengan demikian, Aceh menjadi ramai oleh saudagar dari
berbagai negeri.
Puncak kekuasaan kerajaan Aceh terletak pada masa pemerintahan Sultan Iskandar
Muda (1608-1637 M). pada masanya Aceh menguasai seluruh pelabuhan pesisir Timur
dan Barat Sumatera. Dari Aceh, Tanah Gayo yang berbatasan diislamkan, juga
Minangkabau. Hanya orang-orang kafir Batak yang menangkis kekuatan-kekuatan
Islam yang datang.
b. Pajang
Kesultanan Pajang adalah pelanjut dan dipandang sebagai pewaris kerajaan Demak.
Kesultanan yang terletak di daerah kartasura sekarang itu merupakan kerajaan Islam
pertama yang terletak di daerah pedalaman pulau Jawa. Usia kesultanan ini tidak
panjang. Kekuasaan dan kebesarannya kemudian diambil alih oleh kerajaan Mataram.
Sultan pertama kesultanan ini adalah Jaka Tingkir yang berasal dari Pengging, di lereng
Gunung Merapi. Oleh raja Demak ketiga, Sultan Trenggono. Jaka Tingkir diangkat
menjadi penguasa di Pajang, setelah sebelumnya dikawinkan dengan anak
perempuannya. Kemudian penguasa Pajang itu, menurut Babad, dibangun dengan
mencontoh Keraton Demak.
Riwayat panjang berakhir tahun 1618. Kerajaan Pajang waktu itu memberontak
terhadap Mataram yang ketika itu di bawah Sultan Agung. Pajang dihancurkan, rajanya
melarikan diri ke Giri dan Surabaya.
c. Mataram
Awal dari kerajaan Mataram adalah ketika Sultan Adiwijaya dari Pajang meminta
bantuan kepada Ki Pamanahan yang berasal dari daerah pedalaman untuk menghadapi
dan menumpas pemberontakan Aria Penangsang. Sebagai hadiah atasnya, Sultan
kemudian menghadiahkan daerah Mataram kepada Ki Pamanahan yang menurunkan
raja-raja Mataram Islam kemudian.
Ki Gede Pamanahan menempati istana barunya di Mataram (1577 M). dia digantikan
oleh puteranya, Senopati (1584) dan dikukuhkan oleh Sultan Pahang. Senopatilah yang
dipandang sebagai Sultan Mataram pertama, setelah Pengeran Benawa, anak Sultan
Adiwijaya, menawarkan kekuasaan atas Pajang kepada Senopati. Meskipun senopati
menolak dan hanya meminta pusaka kerajaan, diantaranya Gong Kiai Skar Delima,
Kendali Kiai Macan Guguh dan Pelana Kiai Jatayu.[32] Namun, dalam tradisi Jawa,
penyerahan benda-benda pusaka itu sama artinya dengan penyerahan kekuasaan.
d. Cirebon
e. Kesultanan Cirebon adalah kerajaan Islam pertama di Jawa Barat. Kerajaan ini
didirikan oleh Sunan Gunung Jati. Di awal abad le-16, Cirebon masih merupakan
sebuah daerah kecil di bawah kekuasaan Pakuan Pajajaran. Raja Pajajaran hanya
menempatkan seorang juru labuhan disana, bernama Pangeran Walangsungsang.
Seorang tokoh yang mempunyai hubungan darah dengan raja Pajajaran. Ketika berhasil
memajukan Cirebon, ia sudah menganut agama Islam.
Dari Cirebon, Sunan Gunung Jati mengembangkan Islam ke daerah-daerah lain di Jawa
Barat seperti Majalengka, Kuningan, Kawali (Galuh), Sunda Kelapa dan Banten. Dasar
pengembangan Islam dan perdagangan kaum muslimin di Banten diletakkan oleh Sunan
Gunung Jati. Ketika ia kembali ke Cirebon, Banten diserahkan kepada anaknya, Sultan
Hasanuddin. Sultan inilah yang menurunkan raja-raja Banten.
f. Banten
Sejak sebelum zaman Islam, ketika masih berada dibawah kekuasaan raja-raja Sunda
(dari Pajajaran, atau mungkin sebelumnya), Banten sudah menjadi kota yang berarti.
Dalam tulisan Sunda Kuno, cerita Parahyangan, disebut-sebut nama Wahenten Girang.
Nama ini dapat dihubungkan dengan Banten, sebuah kota pelabuhan di ujung pantai
utara Jawa. Pada tahun 1524 atau 1525, Sunan Gunung Jati, meletakkan dasar bagi
pengembangan agama dan kerajaan Islam serta bagi perdagangan orang-orang Islam
disana.[33]
Menurut sumber tradisional, penguasa Pajajaran di Banten menerima Sunan Gunung
Jati dengan ramah tamah dan tertarik masuk Islam. Ia meratakan jalan bagi kegiatan
pengislaman disana. Dengan segera ia menjadi orang yang berkuasa atas kota itu
dengan bantuan tentara Jawa yang memang dimintanya. Namun, menurut cerita Barros.
Penyebaran Islam di Jawa Barat tidak melalui jalan damai. Sebagaimana disebut oleh
sumber-sumber tradisional. Beberapa pengislaman mungkin terjadi secara sukarela,
tetapi kekuasaan tidak diperoleh kecuali dengan menggunakan kekerasan. Banten,
dikatakan justru diserang tiba-tiba.
b. Maluku
Islam mencapai kepulauan rempah-rempah yang sekarang dikenal dengan Maluku ini
pada pertengahan terakhir abad ke-15, sekitar tahun 1460. Raja Ternate Vongi Tidore,
memeluk agama Islam. Ia mengambil istri keturunan ningrat dari Jawa. Di masa itu,
gelombang perdagangan muslim terus meningkat, sehingga raja menyerah pada tekanan
para pedagang muslim dan memutuskan belajar tentang Islam pada Madrasah Giri. Di
Giri, ia dikenal dengan nama Raja Bulawa atas raja Cengkeh, mungkin karena ia
membawa cengkeh dan yang terakhir kemudian dikenal sebagai penyebar utama Islam
di kepulauan Maluku.
c. Sulawesi
Kerajaan Gowa-Tallo, kerajaan kembar yang saling berbatasan, biasanya disebut
kerajaan Makassar. Kerajaan ini terletak di semenanjung Barat Daya pulau Sulawesi,
yang merupakan daerah transito sangat strategis. Sejak Gowa-Tallo tampil sebagai pusat
perdagangan laut, kerajaan ini menjalin hubungan baik dengan Ternate yang telah
menerima Islam dari Gresik/Giri. Di bawah pemerintahan Sultan Babullah, Ternate
mengadakan perjanjian persahabatan dengan Gowa-Tallo. Ketika itulah, raja Ternate
berusaha mengajak penguasa Gowa-Tallo untuk menganut Islam. Tetapi gagal. Baru
pada waktu Datu’ Ri Bandang datang ke kerajaan Gowa-Tallo, agama Islam mulai
masuk ke kerajaan ini.
Pada tahun 1619, seluruh Jawa Timur praktis sudah berada di bawah kekuasaan
Mataram, yang ketika itu di bawah sultan Agung. Pada masa pemerintahan Sultan
Agung inilah, kontak-kontak bersenjata antara kerajaan Mataram dengan VOC mulai
terjadi. Sementara itu, Banten di pantai Jawa Barat muncul sebagai simpul penting
antara lain karena perdagangan ladanya dan tempat penampungan pelarian dari pesisir
Jawa Tengah dan Jawa Timur. Di samping itu, Banten juga menarik perdagangan lada
dari Indrapura, Lampung dan Palembang.
Sementara itu, Maluku, Banda, Seram dan Ambon sebagai pangkal atau ujung
perdagangan rempah-rempah menjadi sasaran pedagang Barat yang ingin menguasainya
dengan politik monopolinya. Ternate dan Tidore dapat terus dan berhasil menggalakkan
dominasi total dari Portugis dan Spanyol.[36] Namun, ia mendapatkan ancaman dari
Belanda yang datang ke Indonesia.
Tujuan Belanda datang ke Indonesia, untuk mengembangkan usaha perdagangan, yaitu
mendapatkan rempah-rempah yang mahal harganya di Eropa. Perseroan Amesterdam
mengirim armada kapal dagangnya yang pertama ke Indonesia pada tahun 1595, terdiri
dari empat kapal. Melihat hasil yang diperoleh Perseroan Amesterdam itu, banyak
perseroan lain yang berdiri yang juga ingin berdagang dan berlayar ke Indonesia.
Dalam usaha mengembangkan perdagangannya, VOC Nampak ingin melakukan
monopoli. Karena itu, aktivitasnya yang ingin mneguasai perdagangan Indonesia
menimbulkan perlawanan pedagang-pedagang pribumi yang merasa kepentingannya
terancam. Sistem monopoli ini bertentangan dengan sistem tradisional yang dianut oleh
masyarakat. Sikap Belanda yang memaksakan kehendak dengan kekerasan makin
memperkuat sikap permusuhan pribumi. Namun, secara politis VOC dapat menguasai
sebagian besar wilayah Indonesia dalam waktu yang cepat.
Dari sebab itulah muncul perlawanan-perlawanan dari orang pribumi untuk mengusir
Belanda dari Nusantara. Dan beberapa peristiwa perlawanan besar terjadi tanpa
mengucilkan peristiwa yang lain, yaitu: Perang Paderi di Minangkabau, Perang
diponegoro, Perang Banjarmasin, dan Perang Aceh.
2. Kairo (Mesir)
Kota Kairo dibangun pada 17 Sya’ban 358 H/969 M oleh Panglima perang Dinasti
Fathimiah yang beraliran Syi’ah. Jawhar Al-Siqili, atas perintah Fathimiah, Al-Mu’izz
Lidinillah (953-975 M), sebagai ibu kota kerajaan dinasti tersebut. Bentuk kota ini
merupakan segi empat. Disekelilingnya dibangun pagar tembok besar dan tinggi, yang
sampai sekarang masih ditemui peninggalannya. Pagar tembok ini memanjang dari
Masjid ibn Thulun sampai ke Qal’at Al-Jabal. Daerah yang dilalui oleh dinding ini
sekarang disebut al-Husniyah, Bab al-Luk, Syibra, dan Ahya Bulaq.[41]
Kota yang terletak di tepi Sungai Nil ini mengalami tiga kali masa kejayaan, yaitu pada
masa dinasti Fathimiah, Shalah al-Din al-Ayyubi dan di bawah Baybars dan an-Nashir
pada masa dinasti Mamalik. Dinasti Fahtimiah ditumbangkan oleh dinasti ayyubiyah
yang didirikan oleh Shalah al-Din al-Ayyubi, seorang pahlawan Islam yang terkenal
dalam perang Salib. Ia tetap mempertahankan lembaga-lembaga yang didirikan oleh
dinasti Fathimiah tetapi mengubah orientasi keagamaannya dari Syi’ah kepada Sunni. Ia
juga mendirikan lembaga-lembaga baru, terutama masjid yang dilengkapi dengan
tempat belajar teologi dan hukum. Karya-karya ilmiah yang muncul pada masanya dan
sesudahnya adalah kamus-kamus biografi, compendium sejarah, manual hukum, dan
komentar-komentar teologi. Ilmu kedokteran diajarkan di rumah-rumah sakit.
Prestasinya yang lain adalah didirikannya sebuah rumah sakit bagi orang yang cacat
pikiran.[42]
3. Isfahan (Persia)
Isfihan adalah kota terkenal di Persia, pernah menjadi ibu kota kerajaan Safawi. Kota ini
merupakan gabungan dari dua kota sebelumnya, yaitu Jayy, tempat berdirinya
Syahrastan dan Yahudiyah yang didirikan oleh Buchtanashshar atas anjuran istrinya
yang beragama Yahudi.[43]
Ketika raja Safawi, Abbas I, menjadikan isfihan sebagai ibu kota kerajaannya, kota ini
terletak di atas sungai Zandah. Di atas sungai ini terbentang tiga buah jembatan yang
megah dan indah, satu diantaranya terletak ditengah kota. Sementara dua lainnya
dipinggiran kota. Kota ini ketika berada di kekuasaan Safawi, dikelilingi oleh tembok
yang terbuat dari tanah dengan delapan buah pintu. Di dalam kotak berdiri banyak
bangunan, seperti istana-istana, sekolah-sekolah, masjid, menara, pasar dan ruamh-
rumah yang indah, terukir rapi dengan warna yang menarik. Masjid Syah yang didirikan
oleh Abbas , merupakan salah satu masjid terindah di dunia. Pintunya dilapisi dengan
perak. Disamping itu, juga ada lapangan dan tanaman yang terawatt baik dan menawan.
4. Istanbul (Turki)
Istanbul adalah ibu kota kerajaan Turki Usmani. Kota ini sebelumnya merukan ibu kota
kerajaan Romawi Timur, yang bernama Konstantinopel. Sebagai ibu kota, di sinilah
tempat berkembangnya kebudayaan Turki yang merupakan perpaduan bermacam-
macam kebudayaan. Bangsa Turki Usmani banyak mengambil pelajaran etika dan
politik dari bangsa Persia. Sebagai bangsa yang berasal dari Asia Tengah, Turki
memang suka berasimilasi dan senang bergaul dengan bangsa lain. Dalam bidang
kemeliteran dan kepemerintahan, kebudayaan Bizantium banyak mempengaruhi
kerajaan Turki Usmani. Namun, jauh sebelum mereka berasimilasi dengan bangsa lain,
sejak pertama mereka masuk Islam, bangsa Arab sudah menjadi guru mereka dalam
bidang agama, ilmu, prinsip-prinsip kemasyarakatan, hokum, huruf Arab dijadikan
huruf resmi kerajaan.
2. Setelah Kemerdekaan
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, sejak awal kebangkitan nasional, posisi
agama sudah mulai dibicarakan dalam kaitannya dengan poltik atau Negara. Ada dua
pendapat yang didukung oleh dua golongan yang bertentangan tentang hal itu. Satu
golongan berpendapat; Negara Indonesia merdeka hendaknya merupakan Negara
“sekuler”, Negara yang dengan jelas memisahkan persoalan agama dan politik,
sebagaimana diterapkan di Negara Turki oleh Mustafa Kemal. Golongan lainnya
berpendapat; Negara Indonesia merdeka adalah “Negara Islam”. Kedua pendapat ini
terlihat sebelum kemerdekaan dalam polemik antara Soekarno dengan Agus Salim.
Meskipun persoalan itu belum selesai dipecahkan, tampaknya para pemimpin bangsa
Indonesia sudah bergerak memikirkan alternative “jalan tengah” dari dua pendapat
tersebut. Mereka menganjurkan suatu Negara yang mempunyai dasar keagamaan secara
umum dan pemerintah mengakui nilai keagamaan yang positif, karena itu akan
memajukan kegiatan keagamaan. Dalam kerangka itulah, Departemen Agama didirikan,
yang menangani berbagai macam persoalan tentang keagamaan, antara lain: pendidikan,
haji, hokum Islam,dan MUI.