Anda di halaman 1dari 27

MANDAILING NATAL

SEJARAH MANDAILING NATAL

Asal Muasal Nama Mandailing

Kata Mandailing mempunyai dua arti. Pertama sebagai kesatuan budaya, maka Mandailing adalah nama
suatu etnis (suku bangsa). Kedua, sebagai kesatuan wilayah di Propinsi Sumatra Utara. Wilayah Mandailing
terletak di Kabupaten Mandailing-Natal. Sebelum tahun 1992, wilayah ini terletak di Kabupaten Tapanuli
Selatan. Batas-batas wilayahnya di sebelah utara dengan Kecamatan Angkola (Simarongit, Desa Sihepeng) dan
dengan Padang Bolak (Rudang Sinabur). Ke arah barat berbatasan dengan wilayah Natal (Lingga Bayu),
sementara ke arah selatan berbatasan dengan Kabupaten Pasaman (Ranjo Batu), Propinsi Sumatra Barat.
Perbatasannya ke arah timur berada di wilayah Barumun. Sejak lama wilayah Mandailing dibagi atas dua sub-
wilayah yaitu Mandailing Godang (Groot Mandailing) dan Mandailing Julu (Klein Mandailing). Pada masa
sebelum kemerdekaan, raja-raja di Mandailing Godang umumnya bermarga Nasution dan di Mandailing Julu
bermarga Lubis. Fakta ini menegaskan bahwa Mandailing dapat dilihat dari dua pengertian yaitu sebagai suku-
bangsa dan wilayah geografis. Gunung berapi yang masih aktif Gunung Sorik Marapi berada di perbatasan antara
Mandailing Godang dan Mandailing Julu.
Asal usul kata Mandailing banyak diperdebatkan, namun didominasi oleh dua pendapat. Berasal dari Mande
Hilang (artinya ibu yang hilang, Minangkabau) dan Mandala Holing, sebuah nama kerajaan yang telah ada sejak
abad ke-12, terbentang dari Portibi di Padang Lawas sampai ke Pidoli di Panyabungan. Dokumentasi sejarah
Mandailing memang sulit diperoleh karena sekalipun ada warisan aksara tradisional, surat tulak-tulak dan kitab
pustaha, namun pustaha lebih banyak berisi tentang pengobatan tradisional, ilmu gaib bahkan ramalan mimpi (the
interpretation of dream). Sejarah Mandailing justru lebih banyak diketahui dari Buku Kakawin Negarakertagama
(Nagara Kretagama) yang ditulis oleh Pujangga Majapahit Mpu Prapanca. Ia mencatat bahwa pada tahun 1287
Saka (1365 Masehi) prajurit Majapahit menyebutkan ada wilayah yang bernama Mandahiling. Kata Mandahiling
ditemukan pada syair ke-13 yang berbunyi:

Naskah Nagara Kretagama

Lwir ning nusa pranusa pramukha sakahawat/


ksoni ri Malayu nan jambi mwan palembang
karitang i teba len/ Dharmacraya tumut, kandis
kahwas manankabwa ro siyak i rkan/ Kampar
mwan i pane, kampe harw athawe
mandahiling i tumihan parilak/ mwan i barat"

Mandailing Bukan Batak


Dalam hal ini banyak sejarahwan asing menjadikan Mandailing menjadi sub etnis dari Batak
mulai pada masa pemerintahan Belanda, padahal orang-orang Mandailing sendiri menolak untuk
disatukan dalam etnis Batak dalam administrasi pemerintahan Belanda pada awal abad 20 lalu, yang
dikenal sebagai Riwajat Tanah Wakaf Bangsa Mandailing di Soengai Mati, Medan pada tahun 1925, yang
berlanjut ke pengadilan. Hingga akhirnya, berdasarkan hasil keputusan Pengadilan Pemerintahan Hindia
Belanda di Batavia, Mandahiling diakui sebagai etnis terpisah dari Batak, karena etnis Batak sendiri
sebenarnya lebih muda dari etnis Mandailing berdasarkan silsilah yang diakui etnis Batak sendiri
Tarombo si Raja Batak,- nenek moyang orang Batak, yang ibunya yang bernama Deak Boru Parujar
berasal dari etnis Mandailing. Etnis Mandailing sendiri menurut silsilahnya berasal dari etnis
Minangkabau.

Kabupaten Mandailing Natal terletak pada 00 10-10 50 Lintang Utara dan 980 50 sampai 1000 10
Bujur Timur dengan ketinggian 0 samapai 2,145 diatas permukaan laut. Luas wilayah Kabupaten
Mandailing Natal + 6.620,70 Km2 dengan batas wilayah sebagai berikut :
Sebelah Utara dengan Kabupaten Tapanuli Selatan ;

Sebelah Timur dengan Propinsi Sumatera Barat ;

Sebelah Selatan dengan Propinsi Sumatera Barat ;

Sebelah barat dengan Samudera Indonesia.

Jumlah penduduk Kabupaten Mandailing Natal sesuai dengan data yang terbaru dari BPS Kabupaten
Mandailing Natal adalah 390.389 jiwa, dengan rincian penduduk agama :

- Muslim 379.064 jiwa

- Non Muslim 11.325 jiwa

Jumlah : 390.389 jiwa

Cukup menarik bahwa di Mandailing terdapat Suku Lubu atau dikenal dengan orang ( Alak) Siladang.
Mereka tinggal di bagian selatan Panyabungan . Sementara di Muarasipongi tinggal Suku Ulu (Alak
Muarasipongi) Dahulu mereka dipandang sebagai suku terasing dengan bahasa yang berbeda dengan bahasa
Mandailing dan memiliki raja sendiri pada masa lalu.
Mandailing Julu berhawa sejuk dikelilingi oleh gunung. Aek Batang Gadis dan Aek Pungkut adalah dua
sungai yang mengalir dari hulu yang sama (Gunung Kulabu) dan bertemu kembali di Muara Pungkut, selanjutnya
memakai nama Aek Batang Gadis yang bermuara ke Singkuang, Lautan Hindia di pantai barat Sumatra.
Kotanopan adalah kota kecil yang dianggap sebagai pusat Mandailing Julu. Persawahan banyak ditemui di
sepanjang lereng gunung dan di tepi sungai, namun luasnya kurang memadai dibanding dengan areal persawahan di
Mandailing Godang. Hawanya yang sejuk sangat sesuai untuk tanaman kopi.
ADAT ISTIADAT DAN BUDAYA MADINA

Adat Istiadat
Adat istiadat suku Mandailing diatur dalam Surat Tumbaga Holing (Surat Tembaga Kalinga), yang selalu
dibacakan dalam upacara-upacara adat. Orang Mandailing mengenal tulisan yang dinamakan Aksara
Tulak-Tulak, yang merupakan varian dari aksara Proto-Sumatera, yang berasal dari huruf Pallawa,
bentuknya tak berbeda dengan Aksara Minangkabau, Aksara Rencong dari Aceh, Aksara Sunda Kuna,
dan Aksara Nusantara lainnya. Meskipun Suku Mandailing mempunyai aksara yang dinamakan urup
tulak-tulak dan dipergunakan untuk menulis kitab-kitab kuno yang disebut pustaha (pustaka). Namun
amat sulit menemukan catatan sejarah mengenai Mandailing sebelum abad ke-19. Umumnya pustaka-
pustaka ini berisi catatan pengobatan tradisional, ilmu-ilmu gaib, ramalan-ramalan tentang waktu yang
baik dan buruk, serta ramalan mimpi.
Kekerabatan
Suku Mandailing sendiri mengenal paham kekerabatan, baik patrilineal maupun matrilineal. Dalam
sistem patrilineal, orang Mandailing mengenal marga. Di Mandailing hanya dikenal belasan marga saja,
antara lain Lubis, Nasution, Harahap, Pulungan, Batubara, Parinduri, Lintang, Hasibuan, Rambe,
Dalimunthe, Rangkuti, Tanjung, Mardia, Daulay, Matondang, dan Hutasuhut. Bila orang Batak mengenal
pelarangan kawin semarga, maka orang Mandailing tidaklah mengenal pelarangan kawin semarga. Hal ini
lah yang menyebabkan marga orang Batak bertambah banyak, karena setiap ada kawin semarga, maka
mereka membuat marga yang baru. Di lain pihak orang-orang dari etnis Mandailing apabila terjadi
perkawinan semarga, maka mereka hanya berkewajiban melakukan upacara korban, berupa ayam,
kambing atau kerbau, tergantung status sosial mereka di masyarakat, namun aturan adat itu sekarang tidak
lagi dipenuhi, karena nilai-nilai status sosial masyarakat Mandailing sudah berubah, terutama di
perantauan.

Asal usul suatu kelompok dapat juga dilihat dari tarombo (silsilah) marga mereka. Marga Nasution (dari
nenek-moyang bernama Si Baroar) dan Lubis (dari nenek-moyang bernama Namora Pande Bosi) adalah marga
dengan jumlah "pengikut" terbesar. Masyarakat Mandailing menurunkan marga berdasarkan marga ayahnya
(patrilineal). Selain marga Lubis, Namora Pande Bosi juga mempunyai keturunan yang kemudian memakai marga
Pulungan dan Harahap. Marga-marga lain yang dikenal di Mandailing adalah: Rangkuti dan Parinduri (memiliki
nenek-moyang yang sama, Mangaraja Sutan Pane), Matondang dan Daulae (memiliki nenek-moyang yang sama,
Parmato Sopiak) dan Batubara dari nenek-moyangnya, Bitcu Raya. Selain itu dikenal juga: Hasibuan, Dalimunte,
Mardia, Tanjung dan Lintang.

DALIAN NA TOLU

Tubu unte, tubu dohot durina. Tubu jolma, tubu dohot adatna, artinya tumbuh pohon jeruk, tumbuh pula
durinya, tumbuh (muncul) manusia, muncul pula adat-istiadatnya. Pepatah inilah yang menjelaskan bahwa setiap
manusia memiliki adat (nilai luhur) dalam kehidupan dan lingkungannya. Dalam nilai-nilai budaya etnis
Mandailing dikenal Dalian Na Tolu (landasan yang tiga atau tiga landasan) sebagai nilai bersama (shared values),
yaitu mora, kahanggi, dan anakboru.

Dalam implementasi nilai ini dikenal istilah: Pertama, hormat marmora, maksudnya kita hormati pihak
mertua, karena kita sudah menyambungkan pertalian darah dengan beliau. Kedua, manat markahangi, maksudnya
dengarkan apa yang terjadi di antara sesama saudara. Kahanggi adalah saudara dari pihak ayah (laki-laki) seperti
adik-abang, sepupu (anak laki-laki paman), bahkan lebih luas adalah saudara semarga. Dengan demikian
seharusnya seorang yang bermarga Nasution akan berkahanggi dengan Nasution lainnya. Namun tidak jarang
terjadi perkawinan semarga yang mengakibatkan orang semarga saling menjadi mora atau anakboru. Ketiga, elek
maranakboru, maksudnya pandai-pandailah mengambil hati pihak yang memberikan bantuan, baik bantuan tenaga
atau yang yang lainnya. Anak boru dalam budaya Mandailing adalah pihak yang bekerja lebih banyak, biasanya
mereka lebih sabar pula. Orangtua pihak laki-laki menjadi anakboru dari pihak orangtua perempuan jika anaknya
menikah dengan boru besannya.

PARTUTURAN

Selanjutnya dikenal etika bertutur (partuturon) akibat adanya hubungan darah, perkawinan dan
kekerabatan. Partuturon selanjutnya dikenal dalam lingkup yang lebih luas sewaktu berkomunikasi di masyarakat
yang berasal dari Mandailing di mana saja. Pada hari pekan (poken) di Mandailing, anak gadis yang berjualan akan
memanggil udak (paman, saudara laki-laki ayah) kepada pembeli yang lebih kurang seusia ayahnya. Berikut adalah
contoh partuturon dengan membayangkan "saya" atau au adalah anak laki-laki:

orangtua laki-laki dan perempuan ayah saya, dipanggil ompung, keduanya disebut ompung suhut;

orangtua laki-laki dan perempuan ibu saya, dipanggil ompung, keduanya disebut ompung mora,

orangtua laki saya dipanggil amang dan orangtua perempuan, dipanggil inang (umak)

orangtua laki-laki istri saya, dipanggil tulang, yang perempuan, dipanggil nantulang (inang tulang).

saudara saya yang lebih tua, dipanggil angkang dan lebih muda dipanggil anggi atau iboto (perempuan),

Partuturon selanjutnya dapat diperoleh pada dokumentasi yang tersedia di PIDM.

TOKOH-TOKOH TERKENAL MANDAILING


1. ABDUL HARIS NASUTION

Jenderal Besar TNI (Purn.) Abdul Haris Nasution (lahir di Kotanopan, Sumatera Utara, 3
Desember 1918 meninggal di Jakarta, 6 September 2000 pada umur 81 tahun) adalah
seorang pahlawan nasional Indonesia[2] yang merupakan salah satu tokoh yang menjadi
sasaran dalam peristiwa Gerakan 30 September, namun yang menjadi korban adalah
putrinya Ade Irma Suryani Nasution dan ajudannya, Lettu Pierre Tendean.

Nasution dilahirkan dari keluarga Batak Muslim.[4] Ia adalah anak kedua dan juga merupakan putra tertua
dalam keluarganya. Ayahnya adalah seorang pedagang yang menjual tekstil, karet dan kopi, dan
merupakan anggota dari organisasi Sarekat Islam. Ayahnya, yang sangat religius, ingin anaknya untuk
belajar di sekolah agama, sementara ibunya ingin dia belajar kedokteran di Batavia. Namun, setelah lulus
dari sekolah pada tahun 1932, Nasution menerima beasiswa untuk belajar mengajar di Bukit Tinggi.

Pada tahun 1935 Nasution pindah ke Bandung untuk melanjutkan studi, di sana ia tinggal selama tiga
tahun. Keinginannya untuk menjadi guru secara bertahap memudar saat minatnya dalam politik tumbuh.
Dia diam-diam membeli buku yang ditulis oleh Soekarno dan membacanya dengan teman-temannya.
Setelah lulus pada tahun 1937, Nasution kembali ke Sumatera dan mengajar di Bengkulu, ia tinggal di
dekat rumah pengasingan Soekarno. Dia kadang-kadang berbicara dengan Soekarno, dan mendengarnya
berpidato. Setahun kemudian Nasution pindah ke Tanjung Raja, dekat Palembang, di mana ia
melanjutkan mengajar, namun ia menjadi lebih dan lebih tertarik pada politik dan militer.[5]

Pada tahun 1940, Jerman Nazi menduduki Belanda dan pemerintah kolonial Belanda membentuk korps
perwira cadangan yang menerima orang Indonesia. Nasution kemudian bergabung, karena ini adalah satu-
satunya cara untuk mendapatkan pelatihan militer. Seiring dengan beberapa orang Indonesia lainnya, ia
dikirim ke Akademi Militer Bandung untuk pelatihan. Pada bulan September 1940 ia dipromosikan
menjadi kopral, tiga bulan kemudian menjadi sersan. Dia kemudian menjadi seorang perwira di
Koninklijk Nederlands-Indische Leger (KNIL).[6] Pada tahun 1942 Jepang menyerbu dan menduduki
Indonesia. Pada saat itu, Nasution di Surabaya, ia ditempatkan di sana untuk mempertahankan pelabuhan.
Nasution kemudian menemukan jalan kembali ke Bandung dan bersembunyi, karena ia takut ditangkap
oleh Jepang. Namun, ia kemudian membantu milisi PETA yang dibentuk oleh penjajah Jepang dengan
membawa pesan, tetapi tidak benar-benar menjadi anggota.[7]

2. Sutan Takdir Alisjahbana


Sutan Takdir Alisjahbana
Sutan Takdir Alisjahbana (STA), (lahir di Natal, Sumatera Utara, 11 Februari
1908 meninggal di Jakarta, 17 Juli 1994 pada umur 86 tahun) adalah seorang budayawan,
sastrawan dan ahli tata bahasa Indonesia. Ia juga salah seorang pendiri Universitas
Nasional, Jakarta.

Ibunya, Puti Samiah adalah seorang Minangkabau yang telah turun temurun menetap di Natal, Sumatera
Utara. Puti Samiah merupakan keturunan Rajo Putih, salah seorang raja Kesultanan Indrapura yang
mendirikan kerajaan Lingga Pura di Natal. Dari ibunya, STA berkerabat dengan Sutan Sjahrir, perdana
menteri pertama Indonesia.[1] Ayahnya, Raden Alisyahbana gelar Sutan Arbi, ialah seorang guru.[2] Kakek
STA dari garis ayah, Sutan Mohamad Zahab, dikenal sebagai seseorang yang memiliki pengetahuan
agama dan hukum yang luas. Di atas makamnya tertumpuk buku-buku yang sering disaksikan terbuang
begitu saja oleh STA ketika dia masih kecil. Kabarnya, ketika kecil STA bukan seorang kutu buku, dan
lebih senang bermain-main di luar. Setelah lulus dari sekolah dasar pada waktu itu, STA pergi ke
Bandung, dan seringkali menempuh perjalanan tujuh hari tujuh malam dari Jawa ke Sumatera setiap kali
dia mendapat liburan. Pengalaman ini bisa terlihat dari cara dia menuliskan karakter Yusuf di dalam salah
satu bukunya yang paling terkenal: Layar Terkembang.

STA menikah dengan tiga orang istri serta dikaruniai sembilan orang putra dan putri. Istri pertamanya
adalah Raden Ajeng Rohani Daha (menikah tahun 1929 dan wafat pada tahun 1935) yang masih
berkerabat dengan STA. Dari R.A Rohani Daha, STA dikaruniai tiga orang anak yaitu Samiati
Alisjahbana, Iskandar Alisjahbana, dan Sofyan Alisjahbana. Tahun 1941, STA menikah dengan Raden
Roro Sugiarti (wafat tahun 1952) dan dikaruniai dua orang anak yaitu Mirta Alisjahbana dan Sri Artaria
Alisjahbana. Dengan istri terakhirnya, Dr. Margaret Axer (menikah 1953 dan wafat 1994), STA dikaruniai
empat orang anak, yaitu Tamalia Alisjahbana, Marita Alisjahbana, Marga Alisjahbana, dan Mario
Alisjahbana.

Putra sulungnya, Iskandar Alisjahbana pernah menjabat sebagai Rektor ITB, serta mertua dari Menteri
Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas pada Kabinet Indonesia Bersatu II,
Armida Alisjahbana. Iskandar juga dikenal sebagai "Bapak Sistem Komunikasi Satelit Domestik Palapa."
Sofjan dan Mirta Alisjahbana merupakan pendiri majalah Femina Group.[3]

PANORAMA ALAM MANDAILING

TAMAN NASIONAL BATANG GADIS (TNBG)


Taman Nasional Batang Gadis (TNBG) luasnya 108.000 Ha berada di Pegunungan Bukit Barisan, 300-
2.145 meter di atas permukaan laut. TNBG merupakan hutan negara kawasan hutan lindung register yang
sebenarnya telah ditetapkan sejak zaman penjajahan Belanda. Ada enam kawasan yang termasuk ke dalam TNBG
yaitu Hutan Lindung: Batang Gadis I (register 4), Batang Gadis II (register 5), Batang Natal I (register 27), Batang
Natal II (register 28), Batahan Hulu (register 29) dan Batang Parlampungan I (register 36).

KepMen Pertanian No. 923/Kpts/Um/12/1982, menetapkan kawasan TNBG sebagai hutan lindung dan
hutan produksi terbatas. Gagasan TNBG yang dideklarasikan pada 31 Desember 2001 adalah upaya mewariskan
hutan kepada anak cucu. TNBG adalah pengakuan negara dan penguatan terhadap tradisi lokal masyarakat
Mandailing-Natal yang telah menjaga hutan alam dan sumber airnya selama ini. TNBG berperan sangat penting
untuk melindungi Daerah Aliran Sungai (DAS) Batang Gadis, seluas 386.455 Ha. Sepanjang DAS Batang Gadis,
mengalir 943 sungai dan anak sungai. TNBG juga berfungsi untuk menjaga tata air regional, karena keseimbangan
air di lokasi lain yang bertetangga dengan Mandailing Natal seperti Kab. Tapanuli Selatan, Pasaman (Sumbar)
Rokan Ulu (Riau)

Keragaman Fauna Di TNBG

Nama jenis: Harimau Sumatera/Sumatran tiger


Harimau Sumatera merupakan satu-satunya dari tiga jenis harimau yang pernah dimiliki Indonesia
yang masih bertahan hidup. Dua jenis lainnya, yakni Harimau Jawa dan Harimau Bali, yang baru saja
punah. Meski termasuk jenis dilindungi dan masuk dalam Lampiran I CITES, Harimau Sumatera kini
dalam kondisi kritis alias nyaris punah. Dua penyebab utama keterancamannya adalah maraknya
perburuan, rusak dan terfragmentasi tempat hidupnya.

Nama jenis: Tapir/Malayan tapir


Nama latin : Tapirus indicus
Keterangan:

Tapir merupakan jenis satwa yang sangat khas dengan dwiwarna tubuhnya yang hitam dan putih. Tapir
merupakan penghuni hutan-hutan primer di Indonesia khususnya di wilayah Sumatera, persebarannya ke
arah utara tidak melampaui daerah Danau Toba. Tapir tidak hanya dilindungi dari segi hukum yang
berlaku di Indonesia Jenis yang digolongkan IUCN (The World Conservation Union). Sebagai jenis
terancam punah, satwa ini juga masuk dalam Lampiran I CITES ((Convention on International Trade in
Endangered in Species of Wild Fauna and Flora).
Nama jenis: Kambing hutan/Serow
Nama latin : Naemorhedus sumatrae
Keterangan:

Pada dasarnya kambing hutan berbeda dengan kambing yang diternakkan, karena kambing hutan
merupakan perpaduan antara kambing dengan antelop dan mempunyai hubungan dekat dengan kerbau.
Kambing hutan merupakan satwa yang sangat tangkas dan sering terlihat memanjat dengan cepat di
lereng terjal yang biasanya hanya bisa dicapai oleh manusia dengan bantuan tali.

Landak (camera trap)

Nama jenis: Landak/Porcupine


Nama latin : Hystrix brachyura
Keterangan:

Dengan duri-duri di bagian belakang tubuhnya, landak merupakan jenis mamalia yang unik. Jika
terganggu, landak akan menegakkan duri-durinya hingga ia tampak dua kali lebih besar. Landak biasa
ditemukan di atas tanah di hutan dataran rendah hingga pegunungan.Untuk berlindung, landak tinggal di
lubang yang digalinya. Meski tidak terlalu sulit ditemukan di kawasan usulan TN Batang Gadis, secara
global jenis landak yang dilindungi ini tergolong langka dan terancam punah.

Kucing Emas (camera


trap)
Nama jenis: Kucing emas/Asiatic Golden Cat
Nama latin : Catopuma temminckii.
Keterangan:

Kucing langka ini berukuran tubuh cukup besar dengan panjang tubuh total dapat mencapai 1,3 meter dan
berat 15 kg. Kucing emas merupakan jenis satwa yang dilindungi dan masuk dalam Lampiran I CITES.
Jarang terdokumentasi, namun tim survei keanekaragaman hayati TamanNasional Batang Gadis berhasil
'menjebaknya dalam perangkap kamera.

Kucing Congkok
(camera trap)

Nama jenis: Kucing congkok/Leopard cat


Nama latin : Celis bensalensis
Keterangan:

Semua jenis kucing liar pada umumnya mirip dengan kucing kampung bentuk tubuhnya dan sama-sama
mempunyai 28-30 gigi. Ciri yang membedakannya adalah ukuran, panjang ekor dan pola warna. Biasanya
tubuhnya berwana kekuningan dengan bintik hitam diseluruh tubuh bagian atas termasuk ekor. Biasanya
hidup secara nocturnal (aktif malam hari) dan terestrial, terkadang aktif juga di pepohonan kecil.
Makanannya meliputi mamalia kecil dan serangga besar.

Kijang (camera trap)

Nama jenis: Kijang/Common barking deer


Nama latin : Muntiacus muntjak
Keterangan:
Kijang Muntiacus sp. berjalan dengan kepala merendah, punggung agak melengkung dan kaki
belakangnyatinggi. Mengangkat tinggi kakinya dari permukaan tanah setiap kali melangkah. Tubuh
bagian atas tengguli, agak lebih gelap sepanajng garis punggung; bagian bawah keputih-putihan dan
sering berulas abu-abu. Ekor coklat tua di atas dan putib di bawah. Aktif terutama pada siang hari.
Makannya meliputi dedaunan muda, rumput-rumputan dan buah-buahan yang jatuh dan biji-bijian.

Rangkong Badak

Nama jenis : Rangkong badak/Rhinoceros hornbill


Nama latin : Buceros rhinoceros
Keterangan:

Rangkong merupakan burung penghuni puncak-puncak kanopi hutan. Dengan bungkal atau ton)olan di
kepala yang menyerupai cula badak, maka disebut demikianlah namanya. Terbang dari satu pohon buah
ke pohon lain, rangkong ibarat 'petani hutan' yang menebarkan biji-bijian hutan yang sangat penting
untuk regenerasi dan menjamin keberlanjutan ekosistem hutan. Rangkong badak yang merupakan burung
penetap dan dilindungi di Indonesia ini, cukup umum diternukan di kawasan Taman Nasional Batang
Gadis.

Limbless amphibians
Amphibi

Nama jenis: Amphibi tak berkaki/Limbless amphibians


Nama latin : Ichtyopis slutinosa
Keterangan:

Satwa ini termasuk dalam sejenis amfibia (katak), narnun tidak mempunyai kaki dan hidup di tanah yang
becek di sekitar air atau sungai yang tidak terlalu deras dan berlumpur, kerap disamakan dengan cacing.
Kecuali mempunyai mulut dan mata yang jelas, biasanya terdapat garis kuning pada kedua sisi bagian
tubuhnya.Satwa ini termasuk satwa purba dan langka.

Flora
Bunga Padma (camera trap)

Nama jenis : Bunga padma/Rafflesia

Nama latin : Rafflesia sp.

Keterangan:

Bunga ini merupakan kerabat bunga padma (Rafflesia arnoldi R. Brown) yang adalah flora maskot
Indonesia dan bunga terbesar di dunia.Bunga yang diternukan di lereng Gunung Sorik Merapi seperti
pada gambar ini diduga merupakan jenis baru yang belum pernah dideskripsikan. Bunga padma sangat
unik karena dia tidak memiliki akar, batang maupun daun. Bunga padma tumbuh sebagai parasit di jenis
liana tertentu (biasanya di Tetrastigma sp.) dan merupakan jenis flora yang secara global terancam punah.
Hingga kini, bunga ini masih di teliti di oleh para ahli tanaman di Herbarium Bogoriense, Bogor, Jawa
Barat.

Kantong Semar
Nama jenis: Kantongsemar/Pltcher plant
Nama latin : Nephentes sp.
Keterangan:

Turnbuhan ini termasuk karnivora, menyerap unsur makanan penting dari serangga dan arthropoda yang
jatuh dan terbenam ke dalam kantong. Kantong itu sebenarnya adalah daun yang mengalami modifikasi dan berisi
cairan yang digunakan untuk mencerna makanan. Kantong semar ini (Nephentes sp.) merupakan tumbuhan dari
suku Nephentaceae. Tumbuhan ini dilindungi berdasarkan UU No 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya
Alam Hayati dan Ekosistemnya. Undang- Undang ini ditindaklanjuti dengan PP nomor 7 tahun 1999 tentang jenis-
jenis tumbuhan dan satwa yang dilindungi.

Berdasarkan penelitian LIPI terdapat 222 jenis tumbuhan di hutan dataran rendah dan 225 jenis di hutan
pegunungan. Tumbuhan Kantung Semar yang dilindungi sesuai PP No. 7/1999 juga terdapat di TNBG. TNBG juga
memiliki kekayaan 218 jenis burung (38 di antaranya jenis langka dan dilindungi), bahkan 10 jenis burung
merupakan burung migran dari China dan Jepang. Harimau Sumatra (Panthera tigris sumatrae), harimau dahan,
kucing hutan, kucing emas, beruang madu (Helarctos malayanus), tapir sumatra (Tapirus indicus), kambing hutan,
orang utan (Pongo pygmaeus), siamang (Hylobates syndactylus) dan lain-lain adalah kekayaan mamalia yang luas
biasa di TNBG. Maraknya penebangan liar adalah ancaman utama bagai pelestarian TNBG. Panthera tigris
sumatrae adalah harimau yang terkecil ukurannya dari 9 spesies harimau di dunia (3 di antaranya telah punah).
Jumlah harimau ini sudah sangat kritis (berkisar 250-300 ekor) disebabkan pembukaan lahan di hutan yang menjadi
pemukiman harimau dan perburuan liar. (bahan diambil antara lain dari Buletin Haba No. 61/2011)

Taman Rekreasi MADINA


Sopotinjak
Di Kecamatan Batang Natal terdapat sebuah puncak yang bernama Sopotinjak. Pemandangannya sangat
indah. Dari puncak bukit ini kita dapat memandang pemandangan alam Mandailing Natal yang dikelilingi
oleh hutan tropis. Udaranya sangat segar dan sejuk. Anda dapat menikmati segelas bandrek untuk
menghangatkan tubuh.

Bendungan Batang Gadis


Taman Rekreasi Bendung Batang Gadis dinyatakan sebagai salah satu jembatan besar di Indonesia.
Terletak di desa Aek Godang. Bendungan ini dibangun sbelum trbentukanya Kabupaten Mandailing
Natal. Pada waktu itu danau buatan ini masih termasuk wilayah Kabupaten Tapanuli Selatan. Bendung
Batang Gadis memberikan banyak manfaat. Bendungan ini digunakan untuk pengairan sawah di
Kabupaten Mandailing Natal. Belakangan ini kawasannya sudah ditata indah. Lokasinya yang luas dan
strategis menarik pengunjung karena mereka dapat menikmati keindahan alam Mandailing Natal. Banyak
yang berkunjung pada saat Idul Fitri.
Gunung Sorik Marapi

Gunung berapi Sorik Marapi terletak pada ketinggian 2.142 m di atas permukaan laut. Hutan di sekeliling
gunung ini masih dalam kondisi yang baik dan penuh dengan berbagai keanekaragaman hayati dan
menjadi asset terbesar untuk pengembangan Taman Nasional batang Gadis. Kegiatan trekking akhir-akhir
ini sudah mulai sering dilakukan untuk penelitian kekayaan alam Mandailing Natal. Ada beberapa trek
menuju puncak Sorik Marapi ini. Untuk mencapai ke puncak Sorik Marapi ini dibutuhkan waktu rata-rata
3 jam.

Danau Marambe
Danau Marambe terletak di Desa Sirambas, Kecamatan Panyabungan Barat. Danau ini sangat indah, hijau
dan asri dengan luas genangan 20 hektar.

Danau ini dikelilingi oleh bukit-bukit hijau yang membuat alamnya sejuk dan menyenangkan. Danau ini
dimanfaatkan juga sebagai tempat pemancingan dan membuat pengunjung lebih tertarik berkunjung ke
tempat ini terutama bagi yang mempunyai hobby memancing.

Air Panas Sibanggor


Sibanggor merupakan sebuah tempat yang menyenangkan yang terletak di kaki Gunung Sorik Marapi.
Sibanggor terdiri atas tiga desa : Sibanggor Jae, Sibanggor Tonga dan Sibanggor Julu. Seluruh daerah
Sibanggor penuh dengan air panas kecil. Lokasi yang paling nyaman terletak di pinggir jalan antara
Sibanggor Tonga dan Jae.

Air panas disini mangandung belerang. Ba-nyak pengun-jung dari dae-rah lain da-tang khusus untuk
mengobati berbagai jenis penyakit kulit. Di lokasi ini juga terdapat beberapa kamar mandi dimana
pengunjung dapat menikmati kehangatan air belerang dan juga ada beberapa tempat khusus untuk
merebus telur. Disamping itu, disini juga dapat menikmati pemandangan dan rumah-rumah penduduk
yang masih sangat tradisional.

Danau Siombun
Danau ini sangat bersih. Air yang mengalir keluar dari danau kecil ini digunakan masyarakat lokal untuk
mandi. Air danau ini juga digunakan sebagai persediaan air untuk Panyabungan. Menurut masyarakat
setempat,dahulu kala ada seorang anak yang meminta air pada ibunya. Tapi ibunya tidak memberikannya
air sehingga dia menjadi marah dan membuang air yang ada disana. Sebuah sumur muncul tiba-tiba dan
makin membesar yang akhirnya membentuk Danau Siombun.

Air Panas Siabu


Air Panas ini terletak di desa Siabu 100 meter dari Kantor Camat Siabu. Objek wisata ini banyak
dikunjungi masyarakat pada saat hari libur. Temperaturnya tidak begitu panas bila dibandingkan dengan
tempat-tempat lain di Kab. Mandailing Natal. Air panas ini juga tidak mengandung belerang.

Pantai Sikara-kara dan Pulau Unggeh


Pantai Sikara-Kara dan Pulau Unggeh terletak di Kecamatan Natal. Jaraknya 6 km dari Kota Natal.
Seperti halnya Pantai Natal, Pantai Sikara-Kara juga belum dikelola secara optimal. Di tengah pantai ini
terdapat Pulau Unggeh yang berarti unggas. Disebut Pulau Unggeh karena di pulau ini terdapat banyak
jenis unggas atau burung di pulau ini. Pantai ini sangat indah dengan hamparan pasir putihnya, terlebih-
lebih pada saat matahari terbenam.
Pantai Natal
Salah satu karunia terbesar yang diberikan oleh Tuhan kepada masyarakat Mandailing Natal adalah
kawasan pantai yang cukup panjang kira-kira 170 mil. Pantai Natal termasuk sumber daya alam yang
banyak sekali manfaatnya. Pantai ini terletak di Kecamatan Natal. Pantai ini sangat potensial untuk
dikembangkan menjadi kawasan wisata bahari yang tidak kalah menariknya dengan kawasan wisata
bahari di daerah lain

Seni Dan Kebudayaan Madina


Alat Musik Mandailing

1. Gordang Sambilan

Gordang Sambilan adalah jenis alat musik pukul seperti Bedug.Terdiri dari Sembilan bedug yang
mempunyai Panjang dan Diameter yang berbeda sehingga menghasilkan nada yang berbedapula.

Gordang Sambilan di perdengarkan hanya dalam kegiatan kerajaan,Seperti acara Pernikahan ataupun
penyambutan Tamu Kerajaan.Sebelum Gordang Sambilan di perdengarkan di wajibkan untuk memotong
Kerbau.Tempat Gordang sambilan berada di alunalun Bagas Godang(Istana). Seiring berkembangnya
kultur sosial masyarakat saat ini Gordang sambilan sudah lebih sering di perdengarkan baik pada pesta
Pernikahan, Penyambutan dan Hari besar.

Gordang Sambilan salah satu pesona wisata di Kab. Mandailing Natal (Madina), salah satu warisan
budaya bangsa Indonesia. Bahkan diakui pakar etnomusikologi sebagai satu ensambel music teristimewa
di dunia.
Alat Musik di daerah Mandailing banyak macamnya,di antaranya
1. Uyub-Uyub ini terbuat dari Batang Padi yang biasa di bunyikan di waktu musim sebelum dan sesudah
panen padi.
2. Tulilla alat musik ini terbuat dari pohon bambu yang kecil yang di buat beberapa lobang yang mirip
dengan seruling.
3. Suling (seruling) terbuat dari bambu tua yang yang terdiri dari sembilan lobang.
4.Gondang ini terbuat dari kayu ukuran sedang yang di lobangi di kedua ujungnya di tutup dengan kulit
kambing yang sudah kering.
5.Ogung yang tebuat dari kuningan.
6.Tarompet ini terbuat dari batang padi yang di ujungnya di lilitkan daun kelapa mulai dari kecil sampai
besar yang berupa terompet.

7. ALAT MUSIK SALEOT Seorang seniman yang tergabung dalam grup gordang sambilan dari
Siantona, Mandailing Julu serius meniup alat musik saleot yang termasuk salah satu alat musik tiup
tradisional Mandailing.

8. Sulim

Alat musik tiup yang terbuat dari bambu. Sulim menjadi salah satu alat musik melodis bagi masyarakat batak.
Memiliki partitur dan tangga nada seperti lazimnya alat musik tradisional. Dimainkan dengan cara dihembus
melalui lubang yang terdapat disisi sulim. Nada yang keluar dari sulim dapat diatur melalui lubang-lubang yang
dibuat untuk mengkontrol udara yang masuk dan keluar.

9. Sarune Bolon

Sarune Bolon berasal dari Tapanuli, namun kini alat musik ini sudah semakin luas digunakan. Cara memainkannya
dengan ditiup, Alat musik Sarune Bolon banyak juga digunakan di gereja-gereja untuk mengiringi kidung jemaat.

10. Ogung

Ogung adalah seperangkat alat musik yang terdiri dari berbagai macam jenis yakni Panggora, Doal, Ihutan dan
Oloan. Alat musik ini kerap menjadi pengiring tarian tradisional Batak Toba yakni: Tortor.

Saat ini hanya terhitung sedikit orang Mandailing yang mampu memainkan alat musik ini, bahkan
dikhawatirkan akan punah. Dibutuhkan upaya re-generasi agar seniman peniup saleot tetap tumbuh pada
masa mendatang.

Kesenian tradisional
Kesenian yang ada di Mandailing antara lain:

Sibaso adalah acara yang dilakukan oleh dukun/tabib dalam rangka menyembuhkan penyakit atau memberi
peruntungan pada masyarakat yang membutuhkannya. Pada masa masyarakat pra Islam, Si Baso biasanya
melakukan hal-hal magis dengan upacara tertentu, untuk memenuhi keinginan masyarakat yang meminta
bantuannya. Dalam riwayatnya, acara Sibaso ini diperkenalkan oleh seorang Datu (Dukun/Tabib
tradisional) yang berasal dari Bugis yang tinggal di Sayurmaincat.

Gordang Sambilan adalah alat kesenian terdiri atas sembilan gendang besar (beduk) yang ditabuh
bersamaan, dalam rangka tertentu, misalnya pada hari raya. Salah satu beduk ditabuh oleh seorang
raja/pemimpin wilayah, yang biasanya memulai irama penabuhan.

Tarian Tor-tor atau Tarian Gunung-gunung adalah tarian yang dilakukan oleh raja-raja dan keturunannya di
Mandailing. Tor dalam bahasa Mandailing bisa berarti gunung, bisa juga berarti bukit, yang berasal dari
bahasa Arab/Ibrani, yaitu Thur. Tarian Tor-tor di Mandailing dilakukan dengan irama lambat, dengan
gerakan pelan dan lembut dari penarinya, dan berpindah tempat secara pelan atau diam di tempat, sehingga
terkesan sakral. Biasanya Tarian Tortor ini diiringi musik yang disebut sebagai Onang-onang. Tarian Tor-
tor ini dikenal sebagai warisan dari Nabi Sulaiman yang berasal dari suku Levi's, yang diciptakan sekitar
3000 tahun yang lalu, ketika berhasil menguasai wilayah Saba'.

Moncak atau Poncak adalah tarian yang berasal dari gerakan pencak silat. Biasanya tarian ini dilakukan
dalam rombongan yang hendak mendatangi tempat yang dituju, semisal dalam rangka pesta perkawinan
(Marolet/Baralek), ketika rombongan pengantin pria mendatangi tempat mempelai perempuan.

Markusip yang berarti berbisik adalah acara yang dilakukan para bujang di Mandailing dalam rangka
merayu anak gadis yang diincarnya pada tengah malam, dengan cara mendatangi bawah kolong kamar
dimana sang anak gadis itu tidur (biasanya pada zaman dahulu rumah tradisional di Mandailing berbentuk
rumah panggung. Awalnya, sang bujang akan meniup Tulila, yaitu alat tiup tradisional dengan irama
tertentu, sehingga anak gadis yang diincarnya mengetahui keberadaannya. Selanjutnya, anak bujang akan
mengeluarkan rayuan melalui pantun dan kata-kata bersyair secara berbisik-bisik, melalui lubang papan
lantai, dan dibalas dengan pantun dan kata-kata bersyair pula.

Ende-ende adalah nyanyian tradisional yang berbentuk puisi atau pantun yang dinyanyikan secara oral,
yang isinya menggambarkan nilai-nilai budaya, relijius, filsafat, estetika serta hiburan, juga termasuk di
dalamnya riwayat leluhur atau kisah tertentu.

Turi-turian adalah cerita adat yang menggambarkan cerita atau kejadian di masa lalu, yang pernah terjadi
dalam masyarakat Mandailing, bisa menggambarkan silsilah keluarga dan lainnya.

Salung adalah alat musik tiup yang digunakan untuk menghibur dengan cara sambil menyanyikan sebuah
cerita dalam suatu pesta adat.

BAHASA dan TULISAN MANDAILING

Suku Bangsa Mandailing memiliki bahasa sendiri yaitu Bahasa Mandailing (rumpun bahasa Austronesia).
Dalam prakteknya bahasa ini dibagi atas tujuh ragam yang dibedakan atas kosa-kata yang berbeda. Pertama, ata
somal, yang dipergunakan dalam komunikasi sehari-hari. Kedua, ata andung, dipakai dalam tradisi meratap
(mangandung). Ketiga, ata teas dohot jampolak, dipakai jika bertengkar (caci-maki), Keempat, ata si baso atau ata
Datu/Adat, suatu ragam bahasa yang dipakai oleh dukun (datu). Kelima, ata parkapur, dipakai ketika di dalam
hutan (mencari kapur barus, rotan dan lain-lain). Keenam, Ata Poda, dipakai untuk penulisan pustaha (sejarah, hal-
hal gaib dan sebagainya) dan ketujuh, Ata Bulung-bulung, dalam bentuk perlambang pada pergaulan remaja dan
upacara adat seperti mangupa dan lain-lain. Contohnya, harimau disebut babiat (hata somal) dan ompung i, raja i
atau na gogo i (hata parkapur).

Hata Andung sebagai berikut:


1. Simanjujung : Ulu = Kepala
2. Sitarupon : Obuk = rambut
3. Sipareon Pinggol = telinga
4. Simalolong : Mata
5. Silumandit : Igung= hidung
6. Simangkudap : Pamangan = mulut
7. Gugut : Ipon = gigi
8. Simangido : Tangan.
9. Siubeon : Butuha = perut
10. Simanjojak : Pat= kaki
11. Sirimpuron : Jari-jari.
12. Sisilon: kuku
13. Simatombom : Botohon dohot hae-hae = pangkal lengan dan paha
14. Among parsinuan : Amana parsinuan = bapak kandung
15. Inong namangintubu : Inong niba = ibu kandung
16. Ama namartunas : Ama paidua = bapak tiri (kedua)
17. Inong namartunas : Inong paidua.= ibu tiri (ibu kedua)
18. Sisumbaon : Pahompu = cucu
19. Ompung sisombaon : Ompung.
20. Sibijaon :Tulang/Ibebere
21. Silansapon : Lae/Eda.
22. Sinumbane : Namboru/paraman
23. Nabinalos : Simatua/Hela/Parumaen = mertua/menantu
24. Situriak : Panghataion = Pembicaraan
25. Simanangi : Parbinegean = pendengaran
26. Simalongkon : Parnidaan = penglihatan
27. Silumallan : Ilu/aek = airmata/air
28. Sitipahon : Ulos.
29. Sitabean : Tujung = ulos/kain penutup kepala
30. Sigumorsing : Mas.
31. Sihumisik : Ringgit = uang
32. Paiogom : Indahan/Parbue/Eme = nasi/beras/padi
33. Bona ni paigon : Bona ni eme = tanaman padi
34. Sidumuhut : Duhut = rumput
35. Tongani lobangon : Hauma = sawah
36. Sibonggaran : Bonggaran = ada yang tahu?
37. Silumantahon : Horbo = kerbau
38. Silomlom ni robean : Lombu = lembu/sapi
39. Sijambe ihur : Hoda = kuda
40. Bulung ni lopian : Biru-biru = kambing/biri-biri
41. Siteuon : Biang : panangga = anjing
42. Simarhurup : Manuk = ayam
43. Tongani asean : Jabu bale-bale = balai balai
44. Siatukolan : Jabu sopo = rumah adat sopo (untuk penyimpanan padi)
45. Siagalangon : Jabu ruma = rumah adat tempat tinggal
46. Bulu situlison : Jabu ruang tano .
47. Siruminsir : Solu, Kapal, Motor.
48. Silogo-logo : Kapal terbang.
49. Silali piuan : Iaher.
50. Sihais mira : Kapal pemburu.
51. Sibanua rea : Mariam, tomong.
52. Sitengger dibanua : Bodil. = bedil/senapan
53. Sijambe jalang : Roket.
54. Simaninggal dipea : Bom.
55. Sigargar dolok : Bom atom.
56. Babiat dipittu : Anak ni begu. = anak hantu
57. Gompul dialaman : Raja.
58. Parjaga-jaga dibibir pustaha ditoloan : Pamollung.= ??
59. Holi-holi so mansandi parjari-jari so mansohot : Tungkang. = tukang
60. Gokkonon botari alapan manogot : Datu/Raja/Tungkang.
61. Toru ni situmalin : Kuburan.
62. Bona ni ubeon : Buha baju = anak sulung
63. Punsu ni ubeon : Siampudan. = bungsu
64. Goar soltpe : Panggoaran = anak/boru sulung
65. Hau sinaiton : Hau/Btng ni namate/ranting = ranting atau batak kayu yg sudah mati
66. Silumambe hodong : Bagot = enau/aren
67. Papan narumimbas : Papan ni jabu = papan buat rumah
68. Rindang sibalunon : Amak = tikar
69. Dolok simanabun : Dolok = gunung
70. Langit ni sihadaoan : Taripar laut.
71. Urat naibongkion : Dengke = ikan
72. Juhut tinanggoan : Juhut = rumput makanan ternak
73. Sirumantos : Raut, Hujur,giringan. = senjata pisau/lembing
74. Natoga bulung : Naung tubu = sudah lahir
75. Didadang ari diullus alogo : Dihasiangon = dunia ini
76. Sirumata bulung : Napuran = daun sirih
77. Silumambe hodong : Saga-saga = ?
78. Sirumonggur : Ronggur = Guntur
79. Lombang simanamun : Lombang = jurang
80. Suga nasomarpatudu : Honas todos naso marsala = duri
81. Godung naso marhinambor : Nasomarala : kubangan atau lobang yang dibuat tanpa alas an
82. Mansitairon : Manarus = menyusui
83. Songon tungko nisolu ganup ni panabian : Leleng marsahit = lama sakit
84. Mangganupi siarianan, mangganupi sihabornginan : Leleng dipauli. = lama di perbaiki
85. Hatipulan simanjujung, haponggolan simanjojak : Ina namabalu = janda
86. Hatompasan tataring : Ama namabalu = duda
87. Mapurpur tuangin nahabang tu alogo : Naso marrindang = tidak punya keturunan
88. Naso martunas : Naso maranak = tidak punya anak laki-laki
89. Siparumpak balatuk soadong pajongjongkon : Napurpur
sisapsap bahal dang adong namangungkap
90. Marsada-sada bulung songon halak nalungun- : Sisada-sada/sada sabutuha
lungunan tandiang nahapuloan = tidak punya saudara kandung
91. Sibane-bane lili so sumungkar : Nalambok = yang lembut
92. Silumaksa ijur : Uta uta ni tohuk, sira = garam
93. Mangungkit sibonggaron : Pabalik uma = mengolah sawah
94. Mambuat sidumuhut : Marbabo = membersihkan gulma di sawah
95. Sipatuduhon luha sipapatar pangea, tanduk mambu : Nunga gok harorangon
nubu surat manjoloani, sotampil sipasingot soboi siajaron.= tidak bisa di ajar
96. Sanjongkal bulu dua dopaan tolong, poga-poga : Sian etek nahansit diulu pinagodang ni sidangolan = dari kecil
hidupnya selalu pedih dan di besarkan dalam kemiskinan
97. Namardingdinghon dolok namarhorihorihon : Taripar dolok simanamun
ombun dilangit sihadaoan Taripar tao silumallan. = merantau menyeberangi laut dan gunung
98. Lombu-lombu nabidang tula-tula ni hapal, : Tarhirim ibana tungkot dinalandit huat-huat dinagolap = berharap
tapi tidak kesampaian
99. Hais tujolo tandak tupudi, lombu panguge : Dipajolo anangkonna horbo panampar ?

100. Jerawat = ..??

AKSARA MANDAILING

Mandailing juga memiliki aksara tradisional untuk menulis yang disebut Surat Tulak-tulak. Dari tujuh
aksara di Indonesia, salah satunya adalah aksara Mandailing. (Surat Tulak-tulak selengkapnya lihat foto berikut).

ina ni surat

Ina ni surat merupakan huruf-huruf pembentuk dasar huruf aksara Batak. Selama ini, ina ni surat yang dikenal
terdiri dari: a, ha, ka, ba, pa, na, wa, ga, ja, da, ra, ma, ta, sa, ya, nga, la, ya, nya, ca, nda, mba, i, u. Nda dan Mba
adalah konsonan rangkap yang hanya ditemukan dalam variasi Batak Karo, sedangkan Nya hanya digunakan di
Mandailing akan tetapi dimasukkan juga dalam alfabat Toba walaupun tidak digunakan. Aksara Ca hanya terdapat
di Karo sedangkan di Angkola-Mandailing huruf Ca ditulis dengan menggunakan huruf Sa dengan sebuah tanda
diakritik yang bernama tompi di atasnya.

Surat (aksara) Tulak-tulak (sumber Jasinaloan)


Anak ni surat

Anak ni surat dalam aksara Batak adalah komponen fonetis yang disisipkan dalam ina ni surat (tanda diakritik)
yang berfungsi untuk mengubah pengucapan/lafal dari ina ni surat. Tanda diakritik tersebut dapat berupa tanda
vokalisasi, nasalisasi, atau frikatif. Anak ni surat ini terdiri dari:

Bunyi [e] (hatadingan)

Bunyi [] (haminsaran)

Bunyi [u] (haborotan)

Bunyi [i] (hauluan)

Bunyi [o] (sihora)

Pangolat (tanda untuk menghilangkan bunyi [a] pada ina ni surat)


Nama-nama tanda diakritis di atas hanya berlaku untuk bahasa Batak Toba. Dalam bahasa-bahasa Batak
lainnya terdapat sejumlah variasi nama ina ni surat. Misalnya Pangolet dalam bahasa Karo dinamakan "penengen".

Seperti halnya ina ni surat, anak ni surat dalam aksara Batak juga disusun menurut tradisi mereka sendiri,
yaitu: [e], [i], [o], [u], [], [x]. Tanda diakritik juga memiliki varian bentuk antara suatu daerah dengan daerah
lainnya yang menggunakan aksara yang sama. Di bawah ini disajikan contoh penggunaan tanda diakritik dengan
huruf Ka, dan varian tanda pangolat.

Proses Pembuatan Pustaha

Menurut Teygeler, apabila pembuatan pustaha pada masa lampau dilakukan oleh seorang datu dengan tujuan
sebagaimana telah disampaikan, maka pada masa modern saat ini pembuatan pustaha telah mengalami pergeseran
yakni untuk kepentingan pariwisata semata. Sehingga berdasarkan tujuan ini dapat kita ambil kesimpulan bahwa
pembuatan pustaha dapat dilakukan oleh setiap orang. Meski demikian, Teygeler menjelaskan bahwa bahan baku
serta proses pembuatan pustaha tidak pernah mengalami perubahan. Berikut adalah langkah-langkah pembuatan
pustaha yang diambil dari beberapa literatur:

1. Pembuatan pustaha menggunakan kulit pohon alim yang telah dikeringkan selama beberapa waktu. Datu
atau muridnya akan memilih satu lembar yang cocok antara panjang dan lebarnya. Apabila tidak
didapatkan bagian yang panjang, maka ia akan memotong kulit kayu tersebut kecil-kecil dan
menyambungnya dengan menggunakan lem atau dijahit. Ukuran pustaha terkecil mencapai 5 x 6 cm,
sedangkan ukuran terbesar mencapai 28,5 x 42,5 cm yang keduanya tersimpan pada koleksi pribadi H.J.A.
Promes.

2. Ia akan memotong lurus kedua ujungnya dan diratakan dengan pisau. Kemudian permukaannya yang kasar
dihaluskan dengan menggunakan daun yang kasar atau untuk saat ini dapat menggunakan ampelas.

3. Permukaan kulit yang terlipat atau robek harus diperbaiki dengan cara yang sangat sederhana.

4. Melipat kulit kayu merupakan tindakan yang tidak tepat karena dapat menyebabkan kertas tidak akan
pernah rata. Pada salah satu naskah Koninklijke Bibliotheek terdapat sebuah kertas yang dilipat menjadi
setengah ukuran buku pada umumnya, hal ini dimungkinkan bahwa pembuatnya membuat kesalahan pada
saat pembuatan. Kulit kayu pertama kali dilipat menggunakan tangan, kemudian lipatan itu dipukul
menggunakan palu sehingga menyebabkan permukaan kulit kayu itu menjadi rusak.

5. Biasanya sisi-sisi lipatan dipotong agar menjadi rata. Biasanya banyak ditemukan naskah-naskah yang sisi-
sisinya tidak rata.

6. Bagian depan dan belakang kulit disiram menggunakan air saripati beras agar tinta dapat melekat dengan
baik pada permukaan kulit. Saat ini pustaha yang digunakan untuk kepentingan wisata ditulis
menggunakan tinta yang disebut Parmagam, sebuah bahan kimia yang berasal dari apotik setempat.
7. Untuk memudahkan penulisan di atas permukaan kulit seringkali dibuat garis samar (blind lines). Garis
tersebut dibuat paralel dengan lipatan menggunakan penggaris dari bambu (balobas) dan digoreskan
menggunakan pisau dari bambu (panggorit).

8. Proses penulisan teks pada pustaha sudah bisa dilakukan. Terkadang penyalin ingin mencoba alat tulisnya
sehingga seringkali terdapat coretan-coretan pada lembar pertama di bawah sampul. Pustaha juga sering
digunakan sebagai buku catatan untuk memberikan informasi dan berbagi bersama orang lain sehingga
inilah yang menjadi alasan bahwa terkadang kita dapat menemukan buku yang ditulis oleh banyak tangan.

9. Setelah proses penulisan selesai, langkah terakhir adalah memberikan papan sampul. Akan tetapi tidak
semua pustaha mengalami proses pemberian papan sampul seperti yang terdapat pada koleksi Van der
Tuuk saat dimasukkan ke Universitas Leiden pada tahun 1896. Terdapat ragam dekorasi pada papan
sampul, ada yang diukir, polos, berwarna hitam atau coklat, dan terkadang ada juga yang tidak berwarna.

10. Biasanya naskah diikat bersama dengan menggunakan satu atau dua tali pengikat dengan menggunakan
bambu atau rotan yang dianyam atau diratakan.

Menurut van der Tuuk dan Uli Kozok (2009) aksara ini menyebar dari selatan ke Utara atau dari
Mandailing ke Toba dan kemudian dikenal sebagai aksara Batak, selanjutnya ke Angkola terus ke Simalungun,
Pakpak dan Karo. Hal yang sama juga dinyatakan oleh Bisuk Siahaan (2005) dalam bukunya "Batak Toba,
Kehidupan di Balik Tembok Bambu". Pendapat ini ikut memperkuat bahwa Mandailing bukan sub-etnis Batak.
Perlu dicatat bahwa di Mandailing banyak ditemukan situs-situs arkeologis, seperti di Desa Simangambat, Kec.
Siabu terdapat reruntuhan candi Ciwa (Hindu) yang didirikan pada abad ke-8 Masehi. Situs-situs lain terdapat di
Desa Pidoli Lombang (Saba Biaro), Desa Huta Siantar (Padang Mardia), Desa Sibanggor Juli (Gunung Sorik
Marapi) dan lain-lain. Fakta arkeologis seperti ini belum pernah ditemukan di Pusuk Buhit, Toba. Surat Tulak
Tulak (Aksara Mandailing) adalah salah satu warisan budaya Mandailing asli yang harus dilestarikan.

Kosa kata yang berasal dari bahasa Sanskerta dan Tamil bisa ditemukan dalam bahasa Mandailing, suatu
fakta historis persinggunggan peradaban India dengan Mandailing, yang bukan hanya terekam dalam bahasa,
melainkan juga terbukti dari kehadiran bangsa tersebut secara fisikal di Mandailing tempo dulu. Bisuk Siahaan,
mengakui bahwa tidak pernah ditemukan sebuah prasasti pun di wilayah Toba, yang dapat menunjukkan bukti fisik
kehadiran bangsa lain di wilayah itu. Sementara di Mandailing memiliki banyak sekali peninggalan purbakala dari
zaman batu hingga zaman Hindu/Buddha, yang sebagian sudah hancur, terlantar, dan sejauh ini masih menjadi
'warisan bisu' karena belum banyak diteliti secara ilmiah.

2. Tarombo atau Silsilah

Satu-satunya data yang dapat dipergunakan untuk menghitung usia marga-marga yang terdapat di Mandailing ialah
tarombo kerana ia mencatat setiap generasi marga dari nenek moyang masing-masing. jurai keturunan itu terkadang
meragukan kerana beberapa tarombo dari marga tertentu sering berselisih jumlah generasi yang tercatat di
dalamnya.
Jika diperhitungkan berdasarkan tarombo marga Nasution memiliki 19 sundut atau keturunan, maka dapat
ditaksirkan bahwa marga Nasution sudah bertempat di Mandailing selama kira-kira 475 tahun. Perkiraan ini
didasarkan pada taksiran 25 tahun untuk satu generasi. Sejak marga Nasution mulai berkuasa di Mandailing
Godang, tidak dapat dipastikan.

Sementara tarombo marga Lubis memiliki 22 sundut. Ini menunjukkan bahwa keturunan Namora Pande Bosi telah
bertempat tinggal di Mandailing selama kira-kira 550 tahun, yakni sejak abad ke 15, jika diperhitungkan 25 tahun
satu generasi. Bagaimanapun sejak bila marga Lubis mula berkuasa di Mandailing Julu tidak diketahui dengan
pasti.

KOPI MANDAILING (Mandheling Coffee)

Tampilan depan
kaleng Mandhelling
coffee
Sebelum perang dunia ke-2 kopi yang dihasilkan dari Pakantan dan Ulu Pungkut diekspor ke Eropah dan
Amerika dan kemudian dikenal sebagai Mandheling coffee. Saat ini Mandheling Coffee masih beredar dan dijual
di Indonesia dan di luar negeri baik dalam bentuk bubuk maupun biji (lihat foto). Dalam penjelasan di pembungkus
kopi ini tertulis "Mandheling Coffee uses only premium grade 1 single-origin coffee beans grown in the highlands
of the Mandailing tribes in North Sumatra".
Belanda telah menjejakkan kaki dan membawa kopi ke wilayah Mandailing sejak tahun 1699. Wilayah
Pakantan menjadi pusat penanaman dan pengembangan kopi (Arabika) di Mandailing. Sayang era keemasan kopi
Mandailing yang dikenal dunia mulai tahun 1878 seolah meredup. Saat ini sekitar 50 ha perkebunan kopi rakyat
mulai dikembangkan kembali di wilayah Simpang Banyak, Ulu Pungkut (Desa Langgamtama). Sementara di
dekatnya sebuah perusahaan Australia mengelola sekitar 150 ha kopi Arabika

Di wilayah ini juga tumbuh subur karet dan kayu manis. Gula aren kualitas terbaik yang dikenal dengan gula
bargot banyak dihasilkan dari pohon enau. Bekas penambangan emas banyak ditemukan di Mandailing Julu,
bahkan di aliran Aek Batang Gadis masyarakat sering mendapatkan emas (sere) dengan cara manggore
(mendulang). Banyaknya ditemukan sumber emas ini menjadikan Mandailing mendapat gelar sebagai Tano Sere.

Mandailing Godang memiliki areal dataran rendah yang cukup luas dan berhawa panas. di wilayah ini padi
tumbuh subur dan menjadi lumbung beras di Mandailing. Ibukota Kabupaten Mandailing Natal, Panyabungan
terletak di wilayah ini. Panyabungan awalnya adalah sebuah kota kecil. Namun karena posisinya di tengah-tengah
dataran rendah Mandailing Godang ia kemudian berkembang pesat sebagai pusat perdagangan dan
pemukiman. Aek Mata yang bermuara ke Aek Batang gadis adalah sungai yang membelah Kota Panyabungan dan
menjadikan pembagian wilayah berdasarkan arah alirannya yaitu: Panyabungan Julu (hulu), Panyabungan Tonga-
tonga (tengah) dan Panyabungan Jae (hilir).

Orang Mandailing juga gemar menciptakan aneka makanan (kuliner Mandailing) yang menarik dan enak
rasanya. Makanan ini khas Mandailing karena memiliki perbedaan bentuk, tampilan, rasa dan kemasan dengan
daerah atau etnis lain. Ikan sale, daun ubi tumbuk, sambal udang kecepe adalah di antara makanan khas yang
dikenal di Mandailing. Bagi perantau, menyebutkan nama makanan ini saja, dapat menimbulkan air liur. Untuk
makanan jajanan (kudapan) juga dikenal lemang, toge Panyabungan, pakkat, anyang pakis, kipang pulut dan alame
(dodol).

Anda mungkin juga menyukai