Anda di halaman 1dari 16

PENDEKATAN ANTROPOLOGI DALAM STUDI ISLAM

Musyafa Achmad

50123013

Magister Hukum Keluarga Islam

Absrak

Pendekatan antropologis dalam Islam merupakan suatu perspektif atau


metode penelitian yang mendalam tentang hubungan manusia dengan Allah,
masyarakat, dan alam semesta. Pendekatan ini merangkul pemahaman terhadap
nilai-nilai, budaya, dan perilaku manusia dalam kerangka ajaran Islam. Dalam
Islam, manusia dianggap sebagai khalifah (wakil) Allah di bumi, yang memiliki
tanggung jawab moral dan etis untuk menjaga keseimbangan antara ibadah
kepada Allah dan pengabdian kepada sesama manusia serta alam.
Pendekatan antropologis dalam Islam menganalisis berbagai aspek
kehidupan manusia, termasuk agama, adat, ekonomi, politik, dan sosial, dengan
memperhatikan nilai-nilai Islam yang mendasarinya. Pemahaman terhadap
konsep-konsep seperti tawhid (keyakinan akan satu Tuhan), akhlak (etika),
ukhuwah (persaudaraan), dan amanah (tanggung jawab) menjadi elemen kunci
dalam pendekatan ini. Selain itu, pendekatan antropologis dalam Islam juga
mempertimbangkan peran nabi-nabi dan rasul-rasul dalam membimbing manusia
menuju jalan yang benar. Studi antropologis dalam Islam menggali bagaimana
agama dan budaya mempengaruhi perilaku dan pola pikir manusia, serta
bagaimana manusia berinteraksi dengan masyarakat yang beragam.
Kata Kunci: Antropologi, kebudayaan, studi islam
PENDAHULUAN

Studi Islam dalam artian kegiatan keilmuan sangatlah kaya nuansa


sehingga dimungkinkan untuk dapat diubah, dikembangkan, diperbaiki,
dirumuskan kembali, disempurnakan sesuai dengan semangat zaman yang
mengitarinya, perubahan ini tidak perlu dikhawatirkan karena inti pemikiran
keislaman yang berporos terhadap ajaran tauhid dan bermoralitas Al Qur’an tetap
seperti adanya. Studi Agama tidak cukup dipahami menggunakan pendekatan
teologis normatif, tapi perlu menggunakan pendekatan-pendekatan baru yang
sesuai dengan perkembangan pemikiran, dinamika sosial bahkan perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi. Pemahaman terhadap agama saat ini mengalami
pergeseran dari Idealitas ke historisitas, dari doktrin ke sosiologis dan dari esensi
ke eksistensi.
Dengan pendekatan-pendekatan yang sesuai dalam studi Islam dan
keislaman, maka diharapkan akan tercapai Islam yang ideal dan benar-benar
menjadi rahmatan lil ‘alamin. Dalam hal ini, para ilmuwan mengemukakan
beberapa pendekatan dalam studi Islam yang dapat diterapkan yaitu pendekatan
teologis normatis, antropologi, sosiologis, filosofis, historis, kebudayaan dan
psikologi.1Dengan berbagai pendekatan ini, diharapkan umat Islam akan terbebas
dari belenggu yang senantiasa mengungkungnya.
Salah satu pendekatan yang perlu diterapkan dalam studi Islam adalah
pendekatan antropologi. Antropologi seperti semua disiplin ilmu pengetahuan
lainnya, harus membebaskan dirinya dari visi yang sempit. Ia harus mempelajari
sesuatu yang baru, sederhana, tetapi kebenaran yang primordinal dari semua ilmu
pengetahuan yaitu kebenaran pertama Islam.
Antropologi mempelajari tentang manusia dan segala perilaku mereka
untuk dapat memahami perbedaan kebudayaan manusia. Dengan dibekali oleh
pendekatan yang holisik dan komitmennya tentang manusia, sesungguhnya
antropologi merupakan ilmu yang penting untuk mempelajari agama dan interaksi
sosialnya dengan berbagai budaya. Dalam artikel ini penulis akan membahas

1
Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, Ed. Revisi, (Jakarta: Rajawali Pres, 2012), h. 27-28
tentang antropologi dalam studi islam mulai dari pengertian, contoh, serta
kelebihan dan kekurangan dari antropologi studi islam.2

PEMBAHASAN

A. Pengertian Antropologi Studi Islam

Istilah antropologi sendiri berasal dari bahasa Yunani dari asal kata
anthropos berarti manusia, dan logos berarti ilmu, dengan demikian secara harfiah
antropologi berarti ilmu tentang manusia. Para ahli antropologi (antropolog)
sering mengemukakan bahwa antropologi merupakan studi tentang umat manusia
yang berusaha menyusun generalisasi yang bermanfaat tentang manusia dan
perilakunya, dan untuk memperoleh pengertian ataupun pemahaman yang lengkap
tentang keanekaragaman manusia. Dalam kamus besar bahasa indonesia,
antropologi disebut sebagai ilmu tentang manusia, khususnya tentang asal-usul,
aneka warna bentuk fisik, adat istiadat dan kepercayaan pada masa lampau.3

Para pengkaji memang tampak berbeda pendapat mengenai definisi (pengertian)


antropologi. Misalnya:

1. William A. Havilland : Antropologi adalah studi tentang umat manusia,


berusaha menyusun generalisasi yang bermanfaat tentang manusia dan
perilakunya serta untuk memperoleh pengertian yang lengkap tentang
keanekaragaman manusia.
2. David Hunter : Antropologi adalah ilmu yang lahir dari keingintahuan
yang tidak terbatas tentang umat manusia.
3. Koentjaraningrat : Antropologi adalah ilmu yang mempelajari umat
manusia pada umumnya dengan mempelajari aneka warna, bentuk fisik
masyarakat serta kebudayaan yang dihasilkan.

Dari beberapa definisi di atas, dapat disusun pengertian sederhana bahwa


antropologi adalah sebuah ilmu (studi) yang mempelajari tentang segala aspek
2
Akbar S. Ahmad, Kearah Antropologi Islam, (Jakarta: Media Da’wah), hlm. 5-9.
3
Yodi Fitradi Potabuga, ‘Pendekatan Antropologi Dalam Studi Islam’, Transformatif, 4.1 (2020),
19–30 (p. 12) <https://doi.org/10.23971/tf.v4i1.1807>.
dari manusia, yang terdiri dari aspek fisik dan nonfisik berupa warna kulit, bentuk
rambut, bentuk mata, kebudayaan, aspek politik, dan berbagai pengetahuan
tentang corak kehidupan lainnya yang bermanfaat.

Antropologi mempelajari manusia sebagai makhluk biologis sekaligus


makhluk sosial. Secara garis besar menurut obyek kajiannya bisa dibagi menjadi
dua macam. Yang pertama ialah antropologi fisik, yang obyek kajiannya berupa
manusia sebagai organisme biologis. Sedangkan kedua ialah antropologi budaya,
yang obyek kajiannya terkait manusia sebagai makhluk sosial-(ber)budaya.
Selanjutnya, obyek kajian antropologi budaya terdiri dari tiga cabang: arkeologi,
linguistik dan etnologi.4

B. Kontribusi Antropologi Bagi Studi Islam

Pendekatan antropologi digunakan dalam studi agama dengan memahami


praktek keberagamaan manusia sebagaimana yang pada masyarakat. Dengan
antropologi, agama nampak lebih dekat pada persoalan-persoalan yang dihadapi
masyarakat. Antropologi berupaya menjelaskan dan memberikan jawaban atas
persoalan tersebut. Sehingga dapat dikatakan bahwa metode dan cara yang
dikembangkan dalam disiplin ilmu antropologi untuk melihat sesuatu persoalan
dapat juga diaplikasikan untuk memahami agama.

Masuknya antropologi dalam wilayah studi agama memunculkan pro dan


kontra. Dalam konteks Islam perdebatan tersebut kemudian melahirkan dua arus
utama pendekatan dalam studi Islam. Kedua pendekatan tersebut adalah
pendekatan doktriner dan pendekatan ilmiah. Pendekatan doktriner memiliki
asumsi bahwa Islam merupakan doktrin yang harus diterima secara mutlak dan
dijalankan dengan sebaik-baiknya oleh pemeluknya. Sementara pendekatan ilmiah
bertolak dari anggapan bahwa Islam sebagai sebuah ilmu. Menyikapi kedua
perbedaan tersebut, Mukti Ali menjelaskan bahwa kedua pendekatan tersebut
tidak bisa ditinggalkan salah satunya. Keduanya harus digunakan secara bersama

4
Abd. Somad, “Pendekatan Antropologi”, dalam M. Amin Abdullah, Metodologi Penelitian
Agama: Pendekatan Multidisipliner, Yogyakarta: Lembaga Penelitian UIN Sunan Kalijaga, 2006,
hlm. 62
karena kompleksitas persoalan dan aspek yang ada dalam Islam. 37 Demikian
halnya Amin Abdullah mengatakan bahwa studi Islam membutuhkan pendekatan
doktriner (teologis filosofis) dan pendekatan ilmiah. Ia menjelaskan bahwa studi
Islam dengan berbagai kompleksitasnya membutuhkan bantuan dan sumbangsih
dari bidang ilmu lain. Menurutnya studi Islam harus terintegrasi dan terkoneksi
dengan bidang studi lain. Jika tidak maka studi Islam akan dibayang-bayangi oleh
sikap self sufficiency dan lambat laun akan berubah menjadi narrow-mindedness
atau fanatisme partikularitas disiplin keilmuan.

Pemanfaatan antropologi dalam studi Islam ini merupakan ikhtiar untuk


memahami Islam melalui pengamalan ajaran keagamaan yang dipraktekkan umat
Islam. Antropologi berusaha menjelaskan Islam melalui simbol-simbol atau nilai-
nilai yang terdapat di dalamnya dan hadir di mana-mana. Dalam hal ini Islam
dipercayai sebagai salah satu faktor yang ikut mempengaruhi pembentukan
struktur sosial, budaya, ekonomi dan politik umat Islam. Antropologi membantu
memahami Islam secara utuh dengan cara memahami pemahaman masyarakat
terhadap makna terdalam agama Islam itu sendiri. Dari sini kemudian terlihat
adanya keterkaitan antara agama dengan berbagai aspek kehidupan masyarakat
Islam.

Menurut Amin Abdullah, sebagaimana dikutip Santri Sahar, setidaknya


ada empat ciri mendasar cara kerja antropologi terhadap agama. Pertama,
deskriptive bukan normatif. Pendekatan antropologi diawali dari kerja lapangan
yang berhubungan dengan individu, kelompok atau masyarakat setempat yang
diamati dalam kurun waktu tertentu secara mendalam dan kadang dilakukan
secara berkesinambungan, tinggal dan hidup bersama masyarakat yang diteliti.
Melalui catatan lapangan, antropologi berusaha mendeskripsikan tradisi
keagamaan apa adanya. Hal demikian menuntut para peneliti untuk
mengesampingkan emosi pribadinya (ketidak sukaannya) terhadap tradisi yang
diteliti. Sebagaimana yang dilakukan oleh John R. Bowen yang bertahun-tahun
hidup bersama muslim Gayo dalam rangka penelitianya.
Kedua, local practices. Cara kerja yang demikian ini menuntut seorang
peneliti melihat langsung praktek nyata di lapangan yang berhubungan dengan
kehidupan sehari-hari, mingguan, bulanan, bahkan tahunan. Keadaan yang
demikian akan tampak ritus-ritus yang dijalani dalam kehidupan masyarakat
tersebut yang dipandang penting seperti peristiwa kelahiran, selamatan,
perkawinan, kematian dan penguburan. Ketiga, antropologi senantiasa mencari
keterkaitan antar berbagai macam kehidupan manusia yang mendominasi
masyarakatnya, sehingga bidang-bidang kehidupan itu tidak mendominasi secara
tunggal melainkan mempunyai hubungan yang erat, sehingga hampir tidak dapat
dipisahkan antara satu bidang dengan bidang lainnya. Seperti hubungan antara
bidang ekonomi dengan sosial, agama, budaya, dan politik. Keempat,
Comparative. Kajian antropologi selalu memerlukan perbandingan dari berbagai
tradisi, sosial, budaya dan agama-agama, dengan maksud bukan untuk
memandang yang satu lebih baik dari yang lain, melainkan untuk memperkaya
perspektif dan memperdalam bobot kajian. 5

Antropologi bisa berfungsi sebagai sebuah pendekatan dalam studi Islam.


Antropologi berguna sebagai alat metodologi dalam memahami kehidupan
keagamaan masyarakat. Kegunaan selanjutnya adalah mengarahkan dan
menambah keyakinan keagamaan yang dimiliki oleh masyarakat sesuai dengan
ajaran yang benar tanpa menimbulkan kegaduhan antar sesama warga masyarakat.
Oleh karena itu, melalui pendekatan antropologi dalam studi Islam ini diharapkan
umat Islam lebih toleran terhadap berbagai perbedaan budaya-budaya lokal
dengan ajaran islam itu sendiri.

Dengan pendekatan antropologi agama nampak lebih akrab dan dapat


difungsikan dengan berbagai fenomena kehidupan. Dari sini semakin nampak
kontribusi antropologi bagi kajian keagamaan. Setidaknya ada dua kontribusi
antropologi bagi studi Islam, yaitu:

5
Santri Sahar, Merintis Jalan: Membangun Wacana Pendekatan Antropologi Islam, Jurnal al-
Adyan Volume 1, no. 2 (2015): h. 21–33
Pertama, antropologi membantu dalam mempelajari agama secara
empiris. Di sini penelitian keagamaan diarahkan pada pemahaman aspek konteks
sosial yang melingkari agama. Oleh karena itu kajian semacam ini mengarahkan
perhatian pada manusia dan budayanya. Karena agama diciptakan untuk
membantu manusia dalam memenuhi kebutuhan kemanusiaanya sekaligus
mengarahkan pada kehidupan yang lebih baik. Hal ini menunjukkan bahwa
manusia merupakan persoalan agama yang harus diamati secara empiris. Artinya
pemahaman tentang agama akan menjadi utuh setelah memahami manusianya.
Karena pentingnya kajian tentang manusia ini, maka mengkaji budaya dan
masyarakat yang melingkupi kehidupan manusia juga menjadi penting. Sebagai
system of meaning yang berarti bagi kehidupan dan perilaku manusia, kebudayaan
menjadi aspek esensial manusia yang tidak bisa ditinggalkan dalam memahami
manusia.

Dalam bahasa Max Weber, budaya adalah jaring-jaring kepentingan


manusia. Sementara Geertz memahami budaya sebagai pola makna (pattern
meaning) yang diwariskan secara historis dan tersimpan dalam simbol-simbol.
Dengan budaya tersebut manusia berkomunikasi, berperilaku dan melihat
kehidupan. Namun demikian, analisis tentang kebudayaan dan manusia dalam
tradisi antropologi tidak berusaha menemukan hukum-hukum sebagaimana pada
ilmu alam, akan tetapi lebih pada kajian interpretatif untuk mengungkap makna
(meaning). Ditinjau dari makna kebudayaan yang demikian, maka agama sebagai
sistem makna yang tersimpan dalam simbol-simbol suci pada hakekatnya
merupakan pola makna yang diwarisi manusia sebagai ethos dan juga worldview-
nya. Di sini Geertz memaknai ethos sebagai tone, karakter dan kualitas dari
kehidupan manusia, aspek moral dan estetika mereka. Ditegaskan Geertz bahwa
agama telah memberikan karakter khusus bagi manusia yang kemudian
mempengaruhi tingkah laku kesehariannya. Selain itu, agama juga memberikan
gambaran tentang realitas yang ingin dicapai oleh manusia.

Kedua, antropologi membantu studi Islam melihat keragamaan pengaruh


budaya dalam praktik Islam. Kajian crossculture terhadap agama memberikan
gambaran yang beragam tentang kaitan agama dan budaya. Dengan luasnya
pemahaman tentang budaya-budaya yang ada, memungkinkan adanya dialog dan
tidak mustahil muncul gagasan moral dunia. Dalam istilah Tibbi disebut sebagai
”international morality” yang berdasar pada kekayaan budaya dunia. Dengan
demikian memahami Islam yang telah bergumul dalam sejarah dan budaya yang
cukup lama tidak akan sempurna jika mengabaikanpemahaman tentang manusia.
Karena realitas keagamaan sejatinya merupakan realitas kemanusiaan yang
terwujud dalam dunia nyata. Selai itu, makna sesungguhnya dari keberagamaan
terletak pada interpretasi dan pengamalan agama.

Pada posisi inilah antropologi dibutuhkan untuk membantu memahami


Islam. Antropologi berguna sebagai alat untuk memahami ralitas kemanusiaan dan
memahami Islam yang telah dipraktekkan umat Islam. Praktek umat Islam
tersebut menjadi gambaran sesunggunya dari keberagamaan umat Islam.
Antroplogi yang mengkaji secara langsung hubungan agama dan masyarakat pada
tataran grassroot memberikan data yang sebenarnya terjadi pada masyarakat.
Sehingga bagi antropologi, melihat agama yang ada pada masyarakat sama halnya
melihat bagaimana agama diyakini, diinterpretasi (dimaknai) dan dipraktekkan
oleh pemeluknya. Jadi, pembahasan tentang hubungan agama dan masyarakat
juga sangat penting jika dikaitkan dengan wacana postmodernisme yang
berkembang dewasa ini.6

D. Contoh Antropologi dalam Studi Islam

Pendekatan antropologi dalam memahami agama dapat diartikan sebagai


salah satu upaya dalam memahami agama dengan melihat wujud praktik
keagamaan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Melalui pendekatan
agama sangat akrab dengan masalahmasalah yang dihadapi manusia, berupaya
menjelaskan dan memberikan jawabannya. Dengan kata lain lain bahwa cara-cara
yang digunakan dalam disiplin ilmu antropologis dalam melihat suatu masalah
digunakan pula untuk memahami agama.

6
Nurhasanah Leni, Peran Antropologi Bagi Studi Islam, Analisis: Jurnal Studi Keislaman, Vol. 18,
No. 2 (2018)
Dawam Raharjo, lebih mengutamakan pengamatan langsung, bahkan
sifatnya partisipatif peneliti antropologis yang induktif, yaitu turun kelapangan
tanpa berpijak dengan upaya membebaskan diri dari lingkungan teori-teori formal
yang pada dasarnya sangat abstrak. Sejalan dengan pendapat tersebut, maka dalam
berbagai penelitian antropologi agama dapat ditemukan adanya hubungan pasif
antara kepercayaan agama dengan kondisi ekonomi dan politik. Melalui
pendekatan antropologi dapat dilihat bahwa agama ternyata berkorelasi dengan
kerja dan perkembangan ekonomi suatu masyarakat. Dalam hubungan ini
seseorang ingin mengubah pandangan dan sikap etos kerja maka dapat dilakukan
dengan cara mengubah pandangan keagamaan (Yatimin, 2006:68)

Penelitian antropologi yang Grounded Research, yakni penelitian yang


penelitinya terlibat dalam kehidupan masyarakat yang ditelitinya. Seorang peneliti
datang ke lapangan tanpa ada prakonsepsi apapun terhadap fenomena keagamaan
yang akan diamatinya. Fenomena-fenomena tersebut selanjutnya diinterpretasi
dengan menggunakan kerangka teori tertentu. Misalnya seperti penelitian yang
dilakukan oleh Geetz tentang strukturstruktur sosial di Jawa yang berlainan.
Struktur-struktur sosial yang di maksud adalah Abangan (yang intinya berpusat
dipedesaan), santri (yang intinya berpusat di tempat perdagangan atau pasar), dan
priyayi (yang intinya berpusat di kantor pemerintahan, dikota). Adanya tiga
struktur sosial yang berlainan ini menunjukkan bahwa dibalik kesan yang didapat
dari pernyataan bahwa penduduk Mojokuto itu sembilan puluh persen beragama
Islam.

Tiga lingkungan yang berbeda itu berkaitan dengan masuknya agama serta
peradaban Hindu dan Islam di Jawa yang telah mewujudkan adanya Abangan
yang menekankan pentingnya spek-aspek animistik, santri yang menekankan
pentingnya aspek-aspek Islam dan priyayi yang menekankan aspek-aspek Hindu.
Pendekatan antropologi ini dapat dilihat dalam hubungan dangan mekanisme
pengorganisasian. Melalui pendekatan antropologis terlihat dengan jelas
hubungan agama dengan berbagai masalah kehidupan manusia. Pendekatan
antropologis seperti itu diperlukan adanya, sebab masalah kehidupan agama hanya
bisa dijelaskan dengan tuntas melalui pendekatan antropologi. Artinya, manusia
dalam memahami ajaran agama, dapat dijelaskan melalui bantuan ilmu
antropologi dangan cabang-cabangnya (Abuddin, 2006:49).7

Contoh lainnya misalnya kita dapat menjumpai kebudayaan berpakaian,


bergaul, bermasyarakat, dan sebagainya. Dalam produk kebudayaan tersebut
unsur agama ikut berintegrasi. Seperti bentuk model berbusana bagi wanita dan
jilbab (Ghazali, 2015). Contoh pendekatan antropologi dalam studi Islam yaitu
tentang jual beli. Dalam konsep Islam Allah mengajarkan tentang halalnya sebuah
jual beli dan tidak membenarkan tindakan riba. (Q.S al-baqarah ayat 275) yang
menjadi dasar dalam Islam adalah tentang bahwa tindakan jual beli yang sah
dilakukan berarti itu menjadi halal, dan perbuatan yang mengakibatkan kerugian
disalah satu pihak karena riba maka itu merupakan sesuatu yang haram. Maka
selanjutnya aspek yang berkaitan dengan jual beli merupakan hal yang menjadi
budaya seperti adanya penjual, pembeli serta adanya barang yang akan
diperjualbelikan. Maka hal-hal yang berkaitan dengan wilyah aspek keagamaan
menjadi wilayah yang bisa didiskusikan termasuk bagaimana persyaratan menjadi
penjual, pembeli yang sah, bagaimana barang yang boleh diperjual belikan serta
bagaimana cara sehingga ada kesepakatan yang menjadi akad dalam aktivitas jual
beli.8

Adapun salah satu kisah yang terkait dengan Antropologi Islam yaitu
cerita Nabi Nuh a.s. Nabi Nuh a.s diutus Allah ke tengah-tengah masyarakat yang
menyembah berhala dari patung-patung yang mereka buat sendiri. Mereka juga
merupakan para penyembah berhala, selalu memuja, berdoa kepadanya dan
mengagungkannya. Nabi Nuh a.s adalah orang cerdas dan sabar. Ia mengajak
kaumnya untuk berfikir melihat alam semesta ciptaan Allah, langit dengan bulan,
bintang dengan matahari, bumi dengan kekayaan yang ada diatas dan dibawahnya,
berupa tumbuhan hewan dan air yang mengalir, pergantian siang dan malam
semua itu menjadi bukti tanda kekuasaan dan ke-esaan Allah SWT. Nabi Nuh a.s

7
Parni, ‘Pendekatan Antropologi Dalam Kajian Islam’, Jurnal Keguruan Dan Pendidikan Islam, 1
(2020), 23–40 (pp. 28–29) <http://ojs.iaisambas.ac.id/index.php/Tarbiya_Islamica/index>.
8
Hakim Atang Abd, dkk. (2015). Metodologi Studi Islam, Bandung: Remaja Rosdakarya.
berdakwah kepada umatnya selama 500 tahun dan diangkat menjadi rasul pada
usia 450 tahun. Meski demikian pengikut Nabi Nuh yang beriman hanya sedikit
yaitu kurang dari seratus orang. Karena semakin hari mereka justru semakin jauh
dari kebenaran serta bertambah sesat dan jahat. Maka Nabi Nuh a.s berdoa kepada
Allah SWT agar segera menurunkan siksa. Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Mendengar do’a hamba-Nya, lalu Allah memerintahkan Nabi Nuh a.s untuk
membuat sebuah perahu besar (bahtera).9

Pada suatu hari turunlah hujan dan tak berhenti selama berhari-hari,
hingga terjadilah banjir besar. Para pengikut Nabi Nuh a.s menaiki bahtera disertai
beberapa pasang hewan sesuai perintah Allah SWT, mereka semua selamat dari
dahsyatnya banjir tersebut kini orang-orang durhaka itu telah binasa. Di Gunung
Ararat, Turki. Para peneliti meyakini sebagai tempat berlabuhnya kapal NabiNuh
a.s saat banjir besar surut. Tampak model perahu yang dijadikan pusat penelitian.
Para peneliti arkeologi dari berbagai negara berlomba-lomba mengungkap
kebenaran cerita itu dengan meneliti tempat berlabuhnya kapal Nabi Nuh tersebut.
Melalui penelitian selama beratus-ratus tahun dan mengamati hasil foto satelit,
salah satu situs yang dipercaya sebagai jejak peninggalan kapal tersebut terletak di
pegunungan Ararat, Turki yang berdekatan dengan perbatasan Iran. Di lokasi
gunung Ararat, tampak sebuah bentuk simetris raksasa seperti cekungan perahu.
Diduga tanah, debu, dan batuan vulkanis yang memiliki usia berbeda-beda, telah
masuk ke dalam perahu tersebut selama ribuan tahun sehingga memadat dan
membentuk seperti perahu. Disekitarnya ditemukan pula jangkar batu, reruntuhan
bekas pemukiman, dan ukiran dari batu.(Sholikhin,2010:205) Di sekitar obyek
tersebut, juga ditemukan sebuah batu besar dengan lubang pahatan.

Para peneliti percaya bahwa pada zaman dulu, batu tersebut biasa dipakai
pada bagian belakang perahu besar (kemudi) untuk menstabilkan perahu sewaktu
berlayar. Kebenaran penemuan itu, masih diperdebatkan banyak pihak. Namun,
sejumlah peneliti percaya bahwa pegunungan Ararat adalah tempat berlabuhnya

9
Sutardi, 2009. Antropologi Keragaman Budaya. Jakarta: Departemen Nasional
kapal Nabi Nuh. Al-Quran tidak menyebutkan nama sebuah gunung kecuali nama
al-Judy, yang bermakna sebuah tempat yang tinggi.(Sholikhin, 2010:206)

Kapal Nabi Nabi Nuh AS ini dibuat di atas bukit yang tinggi. Diperlukan
peralatan yang canggih untuk mengangkut bahan bangunannya. Belum lagi
perhitungan struktur kapal yang harus teliti, tentunya untuk proyek raksasa
perjalanan Nabi Nuh a.s dan pengikutnya, tidak mungkin dibuat secara asal-
asalan. Lagipula Kapal Nabi Nuh yang mereka temukan diperkirakan terbuat dari
susunan kayu purba dan berdasarkan hasil penelitian, telah berumur 4.800
tahun.Intinya, Kapal Nabi Nuh a.s merupakan kapal tercanggih yang pernah
dibuat umat manusia. Dan sampai saat ini, keberadaannya masih misterius.
(Sholikhin,2010:207) Bahtera Nabi Nuh diperkirakan dibuat sekitar tahun 3465
SM. Dan beberapa berpendapat, perahu tersebut dibangun disebuah tempat
bernama Shuruppak, yaitu sebuah kawasan yang terletak di selatan Irak. Jika
perahu itu dibangun di selatan Irak (tempat Nabi Nuh diutus) dan akhirnya
terdampar di utara Turki, kemungkinan besar bahtera tersebut telah terbawa arus
air sejauh 560 km.

Baru-baru ini, gabungan peneliti Arkeolog-Antropologi dari dua negara,


China dan Turki. Mereka mengumpulkan artefak dan fosil-fosil berupa serpihan
kayu kapal, tambang dan paku. Hasil Laboratorium Noah’s Ark Ministries
International, China-Turki, setelah melakukan serangkaian uji materi fosil kayu
oleh tim ahli tanaman purba, menunjukan bukti yang mengejutkan, bahwa fosil
kayu Kapal Nabi Nuh a.s berasal dari kayu jati yang saat itu hanya tumbuh di
Pulau Jawa. Lembaga ini telah meneliti ratusan sampel kayu purba dari berbagai
negara dan memastikan bahwa fosil kayu jati yang berasal dari daerah Jawa Timur
dan Jawa Tengah 100 persen cocok dengan sampel fosil kayu kapal Nabi Nuh a.s.
Sedangkan Dr. Bill Shea seorang Antropolog, menemukan pecahan-pecahan
tembikar sekitar 18 M dari situs kapal Nabi Nuh a.s. Tembikar ini memiliki
ukiran-ukiran burung, ikan dan orang yang memegang palu dengan memakai
hiasan kepala bertuliskan Nuh. Dia menjelaskan, pada zaman kuno, barang-barang
tersebut dibuat oleh penduduk lokal di desa itu untuk dijual kepada para peziarah
situs kapal. “Sejak zaman kuno hingga saat ini, fosil kapal tersebut telah menjadi
lokasi wisata” ujarnya. (Sholikhin, 2010:209)

E. Kelebihan dan Kekurangan Pendekaan Antroplog dalam Studi Islam

Setiap metode atau pendekatan dalam penelitian dan pengkajian terhadap


suatu masalah pasti terdapat kelebihan dan kekurangan dari pendekatan yang
digunakan. Begitu pula pada pendekatan Antropologi dalam studi Islam, kita akan
menemukan kelebihan dan kekurangannya. Dalam pengkajian makalah ini kami
dapat mengemukakan beberapa kekurangan dan kelebihan yang terdapat pada
pendekatan antropologi dalam studi Islam, sebagai berikut :
1. Kelebihan
Kelebihan yang terdapat pada pendekatan antropologi dalam studi Islam yaitu :
a. Pendekatan antropologi bercorak deskriptif dan dengan melakukan
pengamatan langsung, sehingga peneliti mengetahui dengan sebenarnya
praktik keberagamaan (local practices) praktik yang nyata di suatu tempat.
b. Dengan antropologi kita dapat memahami berbagai corak dan perilaku
manusia berdasarkan keberagamaan yang dilakukannya.
c. Antropologi selalu keterkaitan atau hubungan antara berbagai domain
kehidupan secara lebih utuh dan melakukan perbandingan dari berbagai
tradisi.
d. Dengan antropologi kita dapat meneliti asal-usul agama, dan dengan
itu kita dapat mengerti cara berpikir manusia yang menganut agama
tersebut pada zamannya,sehingga dengan melakukan kajian lewat agama
kita dapat mengetahui pola berpikir manusia pada zaman dahulu, karena
pasti ada keterkaitan antara agama dan manusia.
e. Antropologi lebih terfokus pada symbol-simbol dan unsur-unsur dalam
agama seperti sholat, puasa, haji, golongan agama, pemuka agama dan
sebagainya, karena hal itu dapat mempengaruhi manusia.

2. Kekurangan
Kekurangan yang terdapat pada pendekatan antropologi dalam studi Islam yaitu :
a. antropologi tidak membahas fungsi agama bagi manusia, tetapi membahas
isi unsur-unsur pemebentuk dalam agama itu berkaitan dengan manusia
dan kebudayaan sehingga akan sulit mengamati terjadinya sekularisasi.10
b. Dalam kehidupan terjadinya pembauran antara budaya dan agama,
sehingga dalam praktiknya jika kita tidak cermat mengamatinya, maka
tidak dapat dibedakan antara agama dan budaya.11

KESIMPULAN
Pendekatan antropologi digunakan dalam studi agama dengan memahami
praktek keberagamaan manusia sebagaimana yang pada masyarakat. Dengan
antropologi, agama nampak lebih dekat pada persoalan-persoalan yang dihadapi
masyarakat. Antropologi berupaya menjelaskan dan memberikan jawaban atas
persoalan tersebut. Sehingga dapat dikatakan bahwa metode dan cara yang
dikembangkan dalam disiplin ilmu antropologi untuk melihat sesuatu persoalan
dapat juga diaplikasikan untuk memahami agama. Antropologi mempunyai
kontribusi terhadap studi islam yaitu membantu dalam mempelajari agama secara
empiris dimana penelitian keagamaan diarahkan pada pemahaman aspek konteks
sosial yang melingkari agama, serta antropologi membantu studi Islam melihat
keragamaan pengaruh budaya dalam praktik Islam.

10
Asriana Harahap and Mhd. Latip Kahpi, ‘Pendekatan Antropologis Dalam Studi Islam’, Tazkir :
Jurnal Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial Dan Keislaman, 7.1 (2021), 49–60 (p. 24)
<https://doi.org/10.24952/tazkir.v7i1.3642>.
11
Asriana Harahap, Pendekatan Antropologis dalam Studi Islam, TAZKIR: Jurnal Penelitian Ilmu-
ilmu Sosial dan Keislaman Vol. 07 No. 1 Juni 2021
DAFTAR PUSTAKA
Harahap, Asriana, and Mhd. Latip Kahpi, ‘Pendekatan Antropologis Dalam Studi
Islam’, Tazkir : Jurnal Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial Dan Keislaman, 7.1
(2021), 49–60 <https://doi.org/10.24952/tazkir.v7i1.3642>

Parni, ‘Pendekatan Antropologi Dalam Kajian Islam’, Jurnal Keguruan Dan


Pendidikan Islam, 1 (2020), 23–40
<http://ojs.iaisambas.ac.id/index.php/Tarbiya_Islamica/index>

Potabuga, Yodi Fitradi, ‘Pendekatan Antropologi Dalam Studi Islam’,


Transformatif, 4.1 (2020), 19–30 <https://doi.org/10.23971/tf.v4i1.1807>

Yodi Fitradi Potabuga, ‘Pendekatan Antropologi Dalam Studi Islam’,


Transformatif, 4.1 (2020), 19–30 (p. 12)
<https://doi.org/10.23971/tf.v4i1.1807>.

Abd. Somad, “Pendekatan Antropologi”, dalam M. Amin Abdullah, Metodologi


Penelitian Agama: Pendekatan Multidisipliner, Yogyakarta: Lembaga
Penelitian UIN Sunan Kalijaga, 2006, hlm. 62

Hakim Atang Abd, dkk. (2015). Metodologi Studi Islam, Bandung: Remaja
Rosdakarya.

Santri Sahar, Merintis Jalan: Membangun Wacana Pendekatan Antropologi Islam,


Jurnal al-Adyan Volume 1, no. 2 (2015): h. 21–33

Nurhasanah Leni, Peran Antropologi Bagi Studi Islam, Analisis: Jurnal Studi
Keislaman, Vol. 18, No. 2 (2018)

Abd. Shomad, Pendekatan Antropologi, dalam M. Amin Abdullah, dkk.,


Metodologi Penelitian Agama, Pendekatan Multidisipliner, (Yogyakarta:
Lembaga Penelitian UIN Sunan Kalijaga, 2006), hlm.26

Sutardi, 2009. Antropologi Keragaman Budaya. Jakarta: Departemen Nasional

Parni, ‘Pendekatan Antropologi Dalam Kajian Islam’, Jurnal Keguruan Dan


Pendidikan Islam, 1 (2020), 23–40 (pp. 28–29)
<http://ojs.iaisambas.ac.id/index.php/Tarbiya_Islamica/index>.

Asriana Harahap and Mhd. Latip Kahpi, ‘Pendekatan Antropologis Dalam Studi
Islam’, Tazkir : Jurnal Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial Dan Keislaman, 7.1
(2021), 49–60 (p. 24) <https://doi.org/10.24952/tazkir.v7i1.3642>.

Asriana Harahap, Pendekatan Antropologis dalam Studi Islam, TAZKIR: Jurnal


Penelitian Ilmu-ilmu Sosial dan Keislaman Vol. 07 No. 1 Juni 2021

Anda mungkin juga menyukai